Umumnya dalam penyelenggaraan akuntansi keuangan, termasuk sistem
akuntansinya akan terbayang kompleksitas. Maka apakah pembukuan perpajakan rumit? Sebenarnya pembukuan perpajakan tidak rumit, perhatikan syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-undang di bawah ini. Syarat ini wajib dipenuhi WP untuk menyakinkan pemeriksa pajak bahwa penghitungan pajak terutang dapat dilakukan dengan siste pembukuan yang telah dibangun Wajib Pajak.
1. Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan dengan memperhatikan
iktikad baik dan mencermintakan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya (mencerminkan apa adanya). Iktikad baik sebenarnya tercermin di kalbu dan niat Wajib Pajak dalam mencatat atau membukukan transaksi ekonomi dan keuangan yang berimplikasi kepada perpajakan. Sehingga iktikad baik juga dapat diuji pada wujud fisik pembukuan perpajakan, misalnya tidak terdapat ketidaktertiban dan ketidakteraturan atau irregularity, termasuk tax evasion. Persoalan eksistensi iktikad baik ini akan mengarahkan DJP dalam menilai apakah ada unsur kesengajaan atau kelalaian dan kecerobohan WP dalam pembukuan dan penghitungan pajak oleh WP. 2. Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing dan mata uang selaian Rupiah dapat diselenggarakan oleh WP setelah mendapat izin Mentri Keuangan. Bahas asing yang diizinkan adalah bahasa Inggris. Meskipun pembukuan dalam bahasa Inggris, pengisian SPT tetap harus dalam bahasa Indonesia. WP harus patuhi prosedur ini agar pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain rupiah dapat diakui (karena memenuhi prosedur) oleh pemeriksa pajak 3. Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas (konsistensi) dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas 4. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak-pajak yang terutang. Perhatikan, sistem pembukuan menurut Undang-undang KUP sebenarnya dapat dirancang sederhana sepanjang dapat menghasilkan keluaran yang diminta oleh undang-undang.
Pencatatan tidak sama dengan pembukuan karena pencatatan lebih sederhana.
Pencatatan oleh WP orang pribadi yang melakuan kegiatan usaha dan pekerjaan bebas cukup berupa catatan yang dikumpulkan secara teratur.
1. Peredaran, penjualan atau penerimaan bruto dan penerimaan penghasilan
lainnya yang merupakan objek pajak, 2. Penghasilan yang bukan objek pajak, dan/atau 3. Penghasilan yang dikenai pajak yang bersifat final.
Ini berarti WP semaksimal mungkin harus melakkukan pencatatan terpisah
antara penghasilan yang telah dikenakan pajak bersifat final (lihat kembali pasal 4 ayat (2) Undang-undang PPh) dengan penghasilan yang tidak dikenakan pajak bersifat final. WP juga semaksimal mungkin harus dapat melakukan pencatatan penghasilan yang bukan objek PPh (Lihat kembali Pasal 4 ayat (3) Undang-undang PPh).
Selain harus menyelenggarakan pencatatan butir a,b, dan c, WP orang pribadi
harus menyelenggarakan pencatatan atas harta dan kewajiban baik yang digunakan untuk melakukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas. Bagi WP yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha dan/atu tempat usaha, pencatatan harus dapat menggambarkan secara jelas untuk masing-masing jenis usaha dan/atau tempat usaha yang bersangkutan. Bentuk dan petunjuk pelaksaan pencatatan bagi WP Orang Pribadi diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Mentri Keuangan Nomor 198/PMK.03/2007 dan Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor Per-4/PJ/2009. Pencatatan juga memiliki periode yaitu harus dibuat dalam suatu Tahun Pajak, yaitu jangka waktu 1 (satu) tahun kalender mulai tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember. Pencatatan dalam satu tahun harus diselenggarakan secara kronologis dan sistematis berdasarkan urutan tanggal diterimanya peredaran dan/atau penerimaan bruto dan/atu penghasilan bruto.