Anda di halaman 1dari 10

PROCEEDING SEMINAR NASIONAL

“Selamatkan Generasi Bangsa dengan Membentuk Karakter Berbasis Kearifan Lokal”

RESILIENSI PENDERITA HIV POSITIF


DITINJAU DARI RELASI DALAM KELUARGA

Nicke Purnama Kartawiharja Kusumah, Al Thuba Septa Priyanggasari 2


Fakultas Psikologi Universitas Merdeka Malang
fpsi.unmer@gmail.com

Abstrak.Penyebaran infeksi HIV telah menjadi perhatian masyarakat secara global. Indonesia,
sebagai negara berpopulasi terbesar keempat di dunia, menunjukkan terjadinya percepatan
epidemik tersebut. Telah tercatat 92.251 kasus infeksi HIV sejak 2005 hingga 2012 di
Indonesia, dan jumlah ini terus meningkat seiring dengan waktu. Para peneliti juga telah
memperkirakan bahwa jumlah penderita infeksi HIV di dunia akan semakin meningkat dari
tahun ke tahun pada segala lini usia. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi
penyebaran infeksi HIV. Di Amerika dan Afrika melakukan usaha prevensi melalui sosialisasi
dan edukasi berupa kelas-kelas kesehatan reproduksi, perilaku seks aman, meningkatkan
komunikasi dengan orang tua mengenai isu-isu seksual serta bersikap lebih positif terhadap
penderita HIV/AIDS. Usaha yang bersifat kuratif saat ini dilakukan dengan farmakoterapi.
Penggunaan obat-obatan yang dapat menekan pertumbuhan virus HIV telah menjadi cara yang
dominan ditempuh oleh penderita HIV positif. Namun demikian, angka mortalitas tetap
meningkat setiap tahunnya. Resiliensi para penderita dan keluarga penderita tidak serta merta
meningkat melalui farmakoterapi. Pada dasarnya usaha kuratif melalui famakoterapi saja tidak
cukup, mengingat kondisi penderita HIV positf yang sangat kompleks, yaitu kombinasi antara
rasa nyeri dalam tubuhnya dan tekanan secara mental akibat penyakit yang dideritanya.
Mengingat kondisi medis ini masih menjadi hal yang dianggap aib oleh masyarakat Indonesia.
Berdasarkan kajian literatur dewasa ini, telah ditemukan bahwa salah satu faktor yang mampu
meningkatkan resiliensi individu adalah hubungannya dengan keluarga. Melalui pembinaan
hubungan yang baik dengan keluarga, resiliensi dapat meningkat pada subjek-subjek dengan
masalah psikologis seperti trauma, masalah akademis dan pendidikan serta masalah dalam
penyesuaian sosial. Hubungan ini pula yang terjadi apabila relasi dalam keluarga dibangun
dengan baik pada penderita HIV positif.

Kata kunci: resiliensi, penderita HIV positif, relasi dalam keluarga

Latar Belakang PL Kemenkes RI) (2014), dari 1 April 1987


HIV/AIDS telah menjadi pandemi hingga 30 September 2014, secara kumulatif
yang menimbulkan kekuatiran global. Jumlah telah mencatat adanya 150.296 kasus infeksi
kasus HIV/AIDS dari tahun ke tahun di HIV dan 55.799 kasus AIDS.
seluruh bagian dunia terus meningkat Melalui Asian Epidemic Model (AEM),
meskipun berbagai upaya preventif terus diproyeksikan akan terjadinya peningkatan
dilaksanakan. Melalui Organisasi Kesehatan prevalensi HIV di Indonesia pada populasi
Dunia (WHO) tahun 2013, diungkapkan usia 15-49 tahun dari 0.38% pada tahun 2011
angka yang tercatat pada orang yang hidup menjadi 0.5% di tahun 2016. AEM adalah
dengan HIV berjumlah 35 juta jiwa dan pada alat bantu yang dirancang untuk menjelaskan
orang yang baru terinfeksi HIV berjumlah 2,1 dinamika epidemi HIV di negara Asia atau
juta jiwa. Peningkatan prevalensi HIV/AIDS lokasi geografis tertentu (Kemenkes RI,
terjadi pula di Indonesia. Berdasarkan laporan 2014). Peningkatan angka penderita HIV
Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit positif yang drastis patut menjadi perhatian
dan Penyehatan Lingkungan, Kementerian bagi praktisi medis maupun psikologis (Kapp,
Kesehatan Republik Indonesia (Ditjen PP & 2006; Harris, 2006; Naar-King, et.al., 2006).

iSBN : 978-602-71716-3-3 9
PROCEEDING SEMINAR NASIONAL
“Selamatkan Generasi Bangsa dengan Membentuk Karakter Berbasis Kearifan Lokal”

Hal tersebut membuat Indonesia digolongkan ketidakpatuhan terhadap perawatan akibat


sebagai negara dengan tingkat epidemik perasaan tidak berharga dan putus asa karena
terkonsentrasi yang cukup memprihatinkan. tidak lagi memiliki sesuatu yang layak untuk
Jika obat untuk memperlambat reaksi diperjuangkan atau akibat kompleksnya
virus tidak terjangkau sementara masa tindakan medis yang harus dijalani dapat
perkiraan inkubasi relatif panjang (1-15 mencapai angka 67% (Davies, et.al., 2006).
tahun), maka infeksi akan berlangsung Dukungan keluarga sangat dibutuhkan dalam
seumur hidup dan penderitaan individu meningkatkan kepatuhan pasien HIV positif
dengan HIV positif tentu semakin bertambah. terhadap saran medis, termasuk pengobatan,
WHO (2005) menyatakan bahwa kebanyakan diet, serta infeksi prenatal (Naar-King,et.al.,
penyakit kronis tidak menyebabkan kematian 2006).
secara langsung, namun mengakibatkan Stigma dan diskriminasi menciptakan
pasiennya merasa sangat sakit dan lemah suatu tekanan fisik maupun psikologis
dalam jangka waktu yang lama. Individu penderita HIV positif. Pengalaman individu
dengan HIV positif memerlukan layanan dan yang terinfeksi HIV/AIDS serta pengaruh
perawatan kesehatan yang lebih besar karena lingkungan yang negatif akan
infeksi HIV merupakan penyakit yang membangkitkan berbagai perasaan dan reaksi
bersifat kronis, membutuhkan kepatuhan stres, frustrasi, kecemasan, kemarahan,
pada berbagai pengobatan dan terapi lain penyangkalan, rasa malu, berduka dan
yang kompleks, kepatuhan pada berbagai ketidakpastian dengan adaptasi terhadap
program diet, serta sering kali berasosiasi kondisi dirinya (Widyaningtyas, 2009).
dengan gejala dan gangguan-gangguan multi Menurut Richardson (2002), seseorang yang
(Miller, et.al., 2007; Davies, et.al., 2006; mengetahui bahwa dirinya menjadi seorang
Balfour, et.al., 2006). pengidap HIV positif akan menghadapi
Meskipun pada penelitian banyak masalah yang saling berhubungan dan
sebelumnya menyatakan bahwa intervensi terus dipikirkannya, diantaranya adalah
farmakoterapi terbukti dapat meningkatkan diskriminasi, isolasi, kekuatiran, depresi, dan
daya hidup penderita HIV positif (Balfour, masalah seksualitas. Pandangan dari
et.al., 2006), namun di luar itu, individu HIV masyarakat barat terhadap HIV/AIDS lebih
positif seringkali menghadapi kendala- terbuka karena tingkat pengetahuan mereka
kendala psikologis dan sosial. Kendala yang tinggi terhadap HIV/AIDS. Dimensi
psikologi dan sosial yang dialami antara lain yang berorientasi pada diri dan autonomi
penerimaan status diri sebagai seseorang lebih menonjol dalam konteks budaya barat
yang positif HIV maupun penerimaan orang yang lebih bersifat individualistik. Sedangkan
terdekat atas status positif HIV tersebut. di Indonesia, tingkat pengetahuan dan
Donlou, et.al. (dalam Hoffman, 1996) penerimaan keluarga terhadap penderita HIV
menyatakan bahwa banyak penderita HIV masih rendah (Iqramie, 2010). Penderita HIV
mengalami rasa tertekan, rasa bersalah, serta positif menghadapi masalah sosial yang
kesepian setelah menerima diagnosis HIV memprihatinkan dari adanya stigma akan
positif. Di samping itu, tritmen yang berat penyakit ini. Stigma tersebut muncul karena
dan diskriminasi dari layanan medis, seperti pemahaman masyarakat terhadap HIV/AIDS
perawat yang menolak memberikan sebagai penyakit mematikan yang mudah
pelayanan kesehatan atau proses pelayanan menular melalui kontak sosial biasa (berjabat
yang lambat harus dihadapi oleh penderita tangan, berpegangan, berpelukan, dan
HIV positif. Kompleksitas perawatan tersebut sebagainya). Di samping itu, stigma terjadi
menyebabkan ketidakpatuhan penderita HIV karena HIV/AIDS identik dengan akibat dari
positif terhadap tritmen. Pada studi yang perilaku-perilaku immoral seperti seks bebas,
dilakukan terhadap populasi yang relatif well penyalahgunaan narkoba, dan seks sesama
educated dan memiliki status ekonomi tinggi, jenis, sehingga penderita dianggap pantas

iSBN : 978-602-71716-3-3 10
PROCEEDING SEMINAR NASIONAL
“Selamatkan Generasi Bangsa dengan Membentuk Karakter Berbasis Kearifan Lokal”

mendapatkan hukuman akibat perbuatannya yang memperhatikan relasi dalam keluarga


tersebut (Purnama & Haryanti, 2006). penderita.
Meskipun mengalami stres, pasien HIV Adapun secara praktis, penelitian ini
positif yang memiliki kekuatan dari dalam diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai
diri akan dapat beradaptasi dengan pemicu pihak sebagai berikut: (1) bagi peneliti lain,
stres tersebut dan memaknai hidupnya. diharapkan dapat menjadi bahan referensi
Individu yang menderita HIV positif dengan untuk penelitian-penelitian lainnya yang
resiliensi yang tinggi akan lebih mempunyai sejenis, serta dapat dikembangkan lagi dalam
semangat hidup. Salah satu faktor yang sudut pandang dan kerangka penelitian yang
mendukung resiliensi diantaranya adalah lebih luas; (2) bagi penderita HIV positif,
dukungan sosial, dimana hal tersebut diharapkan dapat membantu sebagai sumber
berhubungan dengan tingkat stres yang informasi tentang HIV positif; (3) bagi
rendah. Melalui penelitian yang dilakukan keluarga penderita HIV positif, diharapkan
oleh Werner dan Smith (dalam Reich, et.al., dapat dijadikan acuan dalam membangun
2010), salah satu faktor utama yang relasi dalam keluarga yang bertujuan untuk
mempengaruhi resilience outcome adalah meningkatkan resiliensi penderita; dan (4)
karakteristik keluarga, seperti kasih sayang bagi masyarakat secara luas, diharapkan
ibu dan dukungan keluarga. Jika hubungan dapat menjadi sumber rujukan dalam
individu dengan HIV psotif dan keluarga merespon kasus-kasus penderita HIV positif
kurang baik, sering kali individu tersebut yang terjadi.
mengalami keterpurukan kondisi pasca
diagnosis HIV positif. Hal ini dapat Kajian Teori
menyebabkan usia harapan hidupnya Resiliensi
berkurang. Menurut The Reciliency Center
Artikel ilmiah ini berusaha (dalam Rahmati & Siregar, 2012) Resiliensi
memberikan paparan mengenai resiliensi adalah kemampuan manusia untuk cepat
pada penderita HIV positif melalui pulih dari perubahan, sakit, kemalangan, atau
pandangan relasi dalam keluarga. Relasi kesulitan (da). Richardson (2002)
dalam keluarga dianggap penting dalam menyebutkan bahwa resiliensi adalah
mempengaruhi resiliensi, khususnya pada kemampuan seseorang dalam mengatasi dan
kasus penderita HIV positif. Isu ini diangkat mencari makna dalam peristiwa seperti
karena sesuai dengan gejala global yang tekanan berat yang dialaminya, dimana
sedang dihadapi masyarakat Indonesia terkait individu meresponnya dengan fungsi
kasus HIV positif. intelektual yang sehat dan dukungan sosial.
Resiliensi (resilience) merupakan
Tujuan kemampuan seseorang untuk menghadapi,
Tujuan utama penulisan artikel ilmiah mengatasi, mempelajari, atau berubah melalui
ini adalah untuk memperoleh gambaran kesulitan-kesulitan yang tak terhindarkan
mengenai resiliensi penderita HIV positif (Grotberg, 2003).
ditinjau dari relasi dalam keluarga. Konsep resiliensi dikaitkan dengan
dua faktor, yaitu faktor protektif (protective
Manfaat factor) dan faktor resiko (risk factor). Faktor
Secara teoretis, penulisan artikel ilmiah protektif adalah faktor-faktor yang menjaga
ini diharapkan dapat menambah wacana dan individu dari masalah perilaku, sedangkan
memperkaya khazanah kajian psikologi, faktor resiko adalah faktor-faktor yang
khususnya kajian terhadap konstruk menyebabkan individu dengan resiko
psikologis sebagai media terapi terutama permasalah tinggi mengalami masalah dalam
pada kasus resiliensi penderita HIV positif perilaku (Schoon, 2006). Faktor-faktor resiko
(risk factor) berkontribusi pada keadaan

iSBN : 978-602-71716-3-3 11
PROCEEDING SEMINAR NASIONAL
“Selamatkan Generasi Bangsa dengan Membentuk Karakter Berbasis Kearifan Lokal”

psikologis yang membahayakan, sementara melakukan tes darah karena sistem antibodi
faktor-faktor pencegah (protective factors) terhadap HIV belum terbentuk tetapi dia
mengurangi pengaruh dari kondisi kesulitan sudah dapat menulari orang lain. Pada fase
atau kemalangan yang dihadapi (Benard, kedua, periode ini berlangsung sekitar 2-10
Constantine, Benard & Diaz, Grothberg, tahun setelah terinfeksi HIV, sudah HIV
Masten, Tusaie & Dyer, dalam McCubbin, positif namun belum menampakkan gejala
2001). sakit dan dapat menularkan pada orang lain.
Protective factors dibagi menjadi dua Sedangkan pada fase ketiga, kekebalan tubuh
kategori, yakni: (1) Internal protective mulai berkurang dan muncul gejala-gejala
factors, seperti harga diri (self-esteem), awal penyakit. Gejala-gejalanya antara lain:
kemampuan diri (self-efficacy), dan kejujuran keringat yang berlebihan di malam hari, diare
(honesty) dan (2) External protective factors, terus menerus, pembengkakan kelenjar getah
seperti dukungan keluarga dan keterlibatan bening, flu yang tidak kunjung sembuh, nafsu
komunitas. Faktor resiko merupakan makan berkurang, tubuh terasa lemah, dan
kemalangan kronis dalam lingkungan yang berat badan terus menurun secara drastis.
dihadapi individu, yang dapat berupa stresor Fase keempat, yaitu mulai masuk pada tahap
akut dan dianggap sebagai stimulus disrupsi AIDS dan dapat didiagnosa setelah kekebalan
(Glants & Johnson, 2002). tubuh sangat berukuran dilihat dari jumlah sel
T-nya (di bawah 200/mikro-lt) dan timbul
Penderita HIV Positif infeksi oportunistik (infeksi penyakit yang
Human Immunodificiency Virus muncul pada saat daya tahan tubuh berkurang
(HIV) adalah virus penyebab penyakit AIDS karena AIDS (Widyaningtyas, 2009).
(Acquired Immuno Deficiency Syndrome).
Virus ini menyerang sistem kekebalan tubuh Relasi dalam Keluarga
dengan merusak sel-sel darah putih sebagai Untuk mengembangkan eksistensinya
penangkal infeksi sehingga lama kelamaan sebagai manusia, individu membutuhkan
kekebalan dan daya tahan tubuh berkurang keluarga sebagai media sosialisasi pertama.
serta mudah terkena penyakit. Virus HIV Di dalam keluarga, individu dapat
terdapat di cairan tubuh dan yang terbukti mengekspresikan aspek sosialnya serta
menularkan adalah darah, seperti sperma, menumbuhkembangkan perilakunya karena
cairan vagina, dan ASI. Sementara air mata, perilaku keluarga turut berperan dalam
air ludah, air kencing, dan keringat belum ada menentukan perkembangan suatu individu
laporan menularkan penyakit ini. Bila (Indra, 2010). Hubungan keluarga yang
seseorang dalam darahnya terdapat virus HIV meliputi hubungan antara suami-istri,
maka orang tersebut dikatakan positif HIV hubungan antara orang tua-anak, maupun
(Widyaningtyas, 2009). Ketika individu hubungan antar saudara menjadi media bagi
didiagnosis HIV positif, diperkirakan individu untuk mengungkapkan perasaan,
membutuhkan waktu satu hingga lima tahun harapan, dan rasa takut.
untuk terjangkit AIDS. Hingga sekarang Relasi dalam keluarga (family
belum ada obat yang dapat menyembuhkan relation) erat kaitannya dengan masalah
AIDS. Setelah positif AIDS, maka dapat internal yang dialami oleh keluarga (Hudson,
dipastikan harapan hidup individu semakin 1997). Selain kedalaman masalah internal
pendek karena sifat infeksi ini yang sangat yang dialam oleh keluarga, relasi dalam
merusak sistem imun tubuh (Depkes RI, keluarga juga mengkaitkan dengan besarnya
2012) dukungan yang diberikan oleh keluarga
Individu dengan HIV positif sehingga anggota keluarga memiliki perasaan
melewati beberapa fase hingga terjangkit dimiliki dan memiliki (Thomsen, 2006).
AIDS. Pada fase pertama individu yang Menurut Mubarak, dkk. (dalam Nasution,
terinfeksi belum terlihat, sekalipun 2012), secara psikologis fungsi keluarga

iSBN : 978-602-71716-3-3 12
PROCEEDING SEMINAR NASIONAL
“Selamatkan Generasi Bangsa dengan Membentuk Karakter Berbasis Kearifan Lokal”

adalah memberikan kasih sayang dan rasa mengasumsikan bahwa individu dengan self
aman bagi keluarga, memberikan perhatian di esteem yang tinggi memiliki sikap yang
antara keluarga, memberikan kedewasaan secara sosial lebih dapat diterima dan
kepribadian anggota keluarga, serta bertanggungjawab.
memberikan identitas pada keluarga. Self esteem terbentuk melalui
Jika fungsi keluarga berjalan dengan interaksi individu dengan orang lain. Interaksi
baik, maka afeksi dan kasih sayang yang yang positif dapat membangun kepercayaan
memberikan rasa nyaman terhadap anggota individu mengenai keadaan dirinya, sehingga
keluarga dapat terpenuhi sehingga anggota individu memiliki pandangan positif terhadap
keluarga tidak mencari kenyamanan dengan dirinya. Sebaliknya, interaksi yang negatif
hal-hal negatif bahkan dapat bertahan dalam dapat membuat individu memandang dirinya
situasi sulit (meningkatkan resiliensi). Studi dengan cara yang negatif. Cobb (dalam
mengenai keterkaitan antara relasi dalam Sarason, Sarason & Pierce, 1990)
keluarga dan infeksi HIV menunjukkan menyatakan bahwa peran utama dukungan
korelasi yang positif. Interaksi dan transfer sosial terutama dalam bentuk relasi dalam
nilai dalam keluarga akan mempengaruhi keluarga adalah memberikan informasi
resiliensi seseorang (Smith, et.al., 2008). kepada individu, bahwa orang lain
Setiap dimensi dalam lingkungan keluarga, memberikan perhatian dan menghargainya.
baik dimensi hubungan, pertumbuhan Perhatian dan penghargaan orang lain dapat
personal maupun sistem pemeliharaan, menimbulkan keyakinan dalam diri individu,
dimungkinkan akan memiliki kontribusi yang bahwa dirinya merupakan orang yang cukup
berbeda-beda dalam membentuk resiliensi berharga untuk diperhatikan dan dibutuhkan.
seseorang (Carlton, et.al., 2006). Perasan tersebut dapat mendorong seseorang
untuk menjalankan perilaku yang lebih sehat
Analisis Kritis (Sarafino, 1994).
Penelitian Wagnild (dalam Rosyani, Tingkat resiliensi yang tinggi pada
2012) menemukan bahwa resiliensi dapat diri seseorang biasanya berkorelasi positif
menjadi faktor protekif dari munculnya dengan tingkat self esteem, self confidence,
depresi, kecemasan, ketakutan, perasaan tidak dan disiplin yang tinggi; keberanian dan
berdaya, dan berbagai emosi negatif lainnya optimisme dalam menghadapi kegagalan;
sehingga memiliki potensi untuk mengurangi kapasitas kognitif di atas rata-rata; dan
efek fisiologis yang mungkin muncul. Bagi memiliki kemungkinan yang lebih besar
penderita HIV positif, resiliensi membantu untuk terbebas dari penyakit (Portzky,
meringankan beban atau stresor penderita Wagnild,. Bacquer & Audenaert, 2010). Jika
dari sakit fisik yang mereka alami dimana individu dengan HIV positif memiliki self
resiliensi dapat berperan sebagai “sistem esteem yang tinggi di dalam dirinya dan relasi
imun” psikologis. keluarga yang positif untuk mendukung
Di dalam resiliensi internal kondisinya pasca diagnosis, kategori Internal
protective factors yang juga mempengaruhi Protective Factors dan External Protective
adalah self esteem. Self esteem mengacu pada Factors sebagai Protective Factors yang
suatu gambaran menyeluruh dari individu dapat meningkatkan resiliensi terpenuhi.
terkait harga diri. Memiliki self esteem yang Bagaimanapun, individu tersebut diharapkan
baik dapat membantu individu dalam menjadi lebih resilien dalam menghadapi
menghadapi kesengsaraan. Self esteem status dan kondisinya sebagai penyandang
diargumentasikan oleh Burns & Covington HIV positif dan secara umum akan
(dalam Owens, Stryker, & Goodman, 2006) menunjukkan pencapaian yang lebih tinggi
sebagai pelindung individu dari pengaruh sehingga pada akhirnya secara
sakit dan mencegah dari berbagai macam sosioemosional menjadi lebih baik.
permasalahan hidup. Dasar pemikiran ini

iSBN : 978-602-71716-3-3 13
PROCEEDING SEMINAR NASIONAL
“Selamatkan Generasi Bangsa dengan Membentuk Karakter Berbasis Kearifan Lokal”

Lebih lanjut mengenai dungan sosial hambatan dari luar. Budaya Jawa misalnya,
sebagai External Protective Factors, mengajarkan pentingnya pengendalian diri,
penelitian sebelumnya mengimplikasikan sabar, menahan diri dalam menghadapi
bahwa faktor kebudayan memberikan perlakuan orang lain yang dipandang kurang
pengaruh dalam perkembangan koping dan menyenangkan, sementara orang tua dari
resiliensi individu dari berbagai latar budaya lain lebih menjunjung keberanian dan
belakang budaya. Grotberg (2003) kejantanan sebagai nilai kepahlawanan.
menambahkan bahwa budaya merupakan Harga diri sebagai simbol penghargaan
suatu faktor yang dapat mempromosikan terhadap etnis atau suku menjadi prinsip yang
resiliensi. Salah satu penelitian yang dipertahankan dan dianut beberapa suku.
dilakukan oleh Reinchenberg dan Friedman Kondisi itu selanjutnya akan menimbulkan
(dalam Moscardino, Axia, Scrimin, & perbedaan dalam resiliensi individu (Sriyanti,
Capello, 2007) menjelaskan individu dengan 2012).
latar belakang budaya kolektivis secara Pada budaya Jawa, kebanyakan orang
khusus menunjukkan bahwa dampak trauma Jawa percaya bahwa manusia di dunia sudah
pada diri individu tidak terlepas dari diatur oleh alam semesta, sehingga tidak
gangguan yang terjadi pada keluarga dan sedikit mereka yang bersikap nrima, yaitu
masyarakat. Hal itu berbeda dengan individu menyerahkan diri kepada takdir (Kodiran
yang memiliki latar belakang budaya dalam Koentjaraningrat, 1984). Hakikat
individualis, yang lebih fokus pada diri hubungan manusia Jawa adalah perwujudan
sendiri. pergaulan sosial yang lebih mengutamakan
Relasi keluarga dengan latar kepentingan kolektif dan tanpa
belakang budaya individualis memandang mementingkan kepentingan diri sendiri. Salah
individu secara mandiri, sehingga keluarga satu sikap yang dianggap menonjol pada
dengan latar belakang budaya individualis masyarakat Jawa adalah ketergantungannya
lebih menghargai setiap keputusan dari pada masyarakat secara luas (Jatman, 1997).
anggota keluarga termasuk pula resiko dan Sesuai dengan pola pemikiran mereka yang
tenggung jawab dari keputusan tersebut. menyatakan bahwa pada hakekatnya manusia
Proses individu dalam membuat dan hidup tidak sendiri, sehingga efek dari
mempertanggungjawabkan keputusan budaya gotong royong adalah munculnya
tersebut berpeluang untuk meningkatkan suatu sikap konformisme yang tinggi
resiliensinya. Pada keluarga yang tumbuh (Koentjaraningrat, 1984).
dari latar belakang budaya kolektivis, pola Citra diri bagi masyarakat Jawa
relasi lebih “menuntut” anggota keluarga adalah sosok pribadi yang sopan, sabar,
untuk konformis dengan masyarakat luas. Hal lemah lembut, tutur katanya lembut dengan
tersebut membuat individu cenderung pasif tata krama bahasa yang halus. Berdasar citra
dalam kreatifitas dan autonomi pribadi. Hal diri orang Jawa, maka seseorang akan
tersebut kurang membantu individu dalam berusaha menampilkan perilaku tersebut
meningkatkan kapasitas resiliensinya. dalam kehidupan sehari-hari. Keluarga akan
Meskipun sejauh ini belum ada studi mengajarkan sopan santun, mengajarkan
yang memfokuskan pada nilai, norma, dan pentingnya sikap sabar, melarang anaknya
praktik budaya sebagai komponen penting bicara keras-keras, serta mengajarkan
dalam kemampuan resiliensi orang Indonesia, tatakrama dalam berbahasa secara bertingkat
dalam hal ini penulis mencoba fokus pada sesuai dengan perbedaan usia dan status
resiliensi dan hubungannya dengan budaya sosial (Sriyanti, 2012). Oleh karena budaya
dalam konteks dukungan sosial yang dimulai kolektivis yang “halus” ini, penulis menduga
dari relasi dalam keluarga. Budaya yang bahwa tingkat resiliensi individu yang
berbeda mempunyai pandangan yang berbeda tumbuh dalam pola asuh budaya Jawa tidak
pula dalam menyikapi tantangan dan setinggi individu yang tumbuh di lingkungan

iSBN : 978-602-71716-3-3 14
PROCEEDING SEMINAR NASIONAL
“Selamatkan Generasi Bangsa dengan Membentuk Karakter Berbasis Kearifan Lokal”

pesisir. Namun, sikap nrima orang Jawa yang pola kehidupan bahari yang keras. Penelitian
anggota keluarganya terinfeksi HIV positif oleh Carlton, et.al. (2006), menunjukkan
bisa saja meningkatkan dukungan terhadap bahwa remaja dari keluarga Hawai
penderita HIV positif tersebut. Jika demikian, mengalami kesengsaraan yang lebih tinggi
resiliensi individu dengan HIV positif dapat dibandingkan dengan remaja dari keluarga
meningkat seiring dengan persepsinya akan non Hawai.
dukungan keluarga yang diterimanya. Budaya Madura lebih mengutamakan
Pada sisi yang lain, masyarakat nilai-nilai keberanian sebagai citra diri yang
Madura dikenal memiliki budaya yang khas, positif. Masyarakat Madura memandang
unik, stereotipikal, dan stigmatik. orang yang berani adalah orang yang hebat
Kekhususan kultural itu tampak antara lain yang pantas mendapat penghargaan. Salah
pada ketaatan, ketundukan, dan kepasrahan satu manifestasi keberanian adalah tidak
mereka secara hierarkis kepada empat figur menerima keadaan apa adanya melainkan
utama dalam berkehidupan, lebih-lebih dalam harus berjuang dan pantang menyerah untuk
praksis keberagamaan (Islam). Keempat figur meraih apa yang diinginkan (Sriyanti, 2012).
itu adalah Ayah, Ibu, Guru, dan Pemimpin Tingkat resiliensi individu yang tumbuh
pemerintahan. Kepada figur-figur utama dengan budaya individualis ini dapat lebih
itulah kepatuhan hierarkis masyarakat tinggi karena kondisi alami masyarakatnya
Madura menampakkan wujudnya dalam yang lebih ekspansif. Namun di sisi lain, jika
kehidupan sosial budaya mereka (Wiyata, ada anggota keluarga yang terinfeksi HIV,
2003). Keunikan budaya Madura itu tampak boleh jadi dukungan yang diberikan oleh
tidak sejalan dengan kuantitas komunalnya keluarga tidak terlalu besar, mengingat bahwa
yang menyebar ke berbagai daerah di masyarakat Madura dikenal memegang kuat
Nusantara. Wiyata (1995) mengungkapkan (memedomani) ajaran Islam dalam pola
bahwa masyarakat memiliki pandangan kehidupannya. Kefanatikan terhadap agama
stereotip negatif masyarakata madura sebagai yang digabungkan dengan kurangnya
pribadi yang mudah tersinggung, keras, pengetahuan dan kecenderungan stigmatisasi
temperamental, pendendam, mudah marah, terhadap penderita HIV positif dapat
menaruh curiga kepada orang lain. membuat penderita menjadi “pendosa” yang
Keunikan budaya Madura pada diasingkan oleh keluarga, sehingga tingkat
dasarnya banyak dibentuk dan dipengaruhi resiliensi akan menurun.
oleh kondisi geografis dan topografis Sementara itu diketahui bahwa
hidraulis dan lahan pertanian tadah hujan dukungan keluarga sangat dibutuhkan oleh
yang cenderung tandus sehingga survivalitas penderita HIV positif karena berfungsi
kehidupan mereka lebih banyak melaut sebagai support system untuk
sebagai mata perncarian utamanya. Mereka mengembangkan koping yang efektif untuk
pun dibentuk oleh kehidupan bahari yang beradaptasi dengan baik dalam menangani
penuh tantangan dan risiko sehingga stresor yang ia hadapi terkait penyakitnya
memunculkan keberanian jiwa dan fisik yang baik fisik, psikologis, maupun sosial. Namun,
tinggi, berjiwa keras dan ulet, penuh percaya adanya salah satu anggota keluarga yang sakit
diri, defensif dalam berbagai situasi bahaya kronis seperti HIV/AIDS menyebabkan
dan genting, bersikap terbuka, lugas dalam ketegangan dan keputusasaan dalam keluarga
bertutur, serta menjunjung martabat dan yang berlangsung lama karena dampak
harga diri (Sriyanti, 2012). Hal ini sejalan langsung yang akan diterima keluarga adalah
dengan penelitian yang dilakukan oleh dampak psikologis dan ekonomi. Dampak
Werner & Smith (dalam Diclemente, et.al., psikologis pada keluarga berupa penolakan,
2009) tentang resiliensi pada sekelompok marah, dan sedih, sedangkan dampak
remaja yang lahir di pulau Kauai, Hawaii, ekonomi adalah besarnya biaya perawatan
dimana remaja-remaja tersebut tumbuh dalam yang harus dikeluarkan oleh keluarga,

iSBN : 978-602-71716-3-3 15
PROCEEDING SEMINAR NASIONAL
“Selamatkan Generasi Bangsa dengan Membentuk Karakter Berbasis Kearifan Lokal”

terlebih lagi jika penderita HIV adalah for successful HIV medication
pencari nafkah utama di dalam keluarga adherence and reducing depression
tersebut. before initiating HAART, AIDS
Beberapa keluarga ada yang berhasil Care. 18 (7), 830-838.
melewati masa-masa krisis ini dan memasuki Carlton, B. S., Goebert, D. A., Miyamoto, R.
tahap penerimaan. Namun beberapa keluarga H., Andrade, N. N., Hishinuma, E. S.
lainnya justru memilih koping menghindar , Makini, G. K., Yuen, N. Y. C., Bell,
dan isoloasi karena malu akibat mempunyai C. K., McCubbin, L. D. & Else, I. R.
anggota yang terinfeksi HIV (Stuart & N. (2006). Resilience, family
Laraia, 2001). Keluarga juga akan merasa adversity and well-being among
sedih bila mengetahui bahwa penyakit yang Hawaiian and non-Hawaiian
dialami adalah penyakit yang mematikan, adolescents. International ournal of
sehingga respon keluarga terhadap penderita Social Psychiatry, 52 (4), 291-308.
HIV positif cenderung bersifat protektif. Hal Davies, G., Koeing, J., Stratford, D., Palmore,
ini membuat ODHA akan kehilangan rasa M., Bush, T., Golde, M., Malatino,
percaya diri. Sebaliknya, keluarga lainnya E., Tood-Tuner, M. & Ellerbrock, T.
justru menelantarkan karena dianggap V. (2006). Overview and
penyakit yang diderita adalah akibat perilaku implementation of an intervention to
individu yang kurang baik atau immoral, prevent adherence failure among
yang menyalahi aturan dan nilai-nilai dalam HIV-infected adults initiating
keluarga. Respon keluarga ini sangat antiretroviral therapy: Lessons
dipengaruhi oleh mekanisme koping yang learned from Project HEART, AIDS
biasa digunakan dalam pemecahan masalah Care. 18 (8),895-903.
keluarga (Stuart & Sundeen, 1999). Dampak Departemen Kesehatan Republik Indosesia.
psikologi yang besar ini membuat keluarga (2012). Perkembangan HIV/AIDS di
tidak menjalankan fungsinya secara maksimal Indonesia triwulan III tahun 2012.
terhadap penderita HIV positif. Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia.
Simpulan Ditjen PP & PL Kemenkes RI. (2014).
Berdasarkan analisis kritis yang telah Statistik kasus HIV/AIDS di
dilakukan pada artikel ilmiah ini, dapat Indonesia dilapor s/d September
disimpulkan bahwa relasi dalam keluarga 2014. Kementrian Kesehatan
merupakan salah satu bentuk faktor Republik Indonesia.
pendukung dari resiliensi. Namun demikian Glantz, M. D. & Johnson, J. L. (2002).
relasi dalam keluarga saja tidak cukup untuk Resilience and development: Positive
dapat memprediksikan resiliensi pendrita life adaptation. New York: Kluwer
HIV positif. Dalam hal ini tentu saja Academic Publisher.
memandang hadirnya peran-peran budaya Gordon, K. A. et.al. (1994). Resilient students
yang mempengaruhi interaksi dalam beliefs about their schooling
keluarga. environment: A possible role in
developing goals and motivation.
Rujukan Paper presented at the Annual
Balfour, L., Kowal, J., Silverman, A., Tasca, Meeting of the American Educational
G. A., Angel, J. B., Macpherson, P. Research Association (New Orleans).
A., Garber, G., Cooper, L. & Grotberg, E. H. (2003). Resilience for today:
Cameron, D. W. (2006). A Gaining strength from adversity.
randomized controlled psycho- Westport: Preger Publishers.
education intervention trial: Iqramie, M. L. 2010. Tingkat pengetahuan,
Improving psychological readiness sikap, dan penerimaan keluarga

iSBN : 978-602-71716-3-3 16
PROCEEDING SEMINAR NASIONAL
“Selamatkan Generasi Bangsa dengan Membentuk Karakter Berbasis Kearifan Lokal”

penderita HIV/AIDS terhadap Science and Medicine, 64, 1776-


penderita HIV/AIDS di Rumah Sakit 1787.
Haji Adam Malik, Medan. Skripsi. Naar-King, S., Wright, K., Parsons, J. T.,
Medan: Universitas Sumatera Utara. Frey, M., Templin, T. & Ondersma,
Indra, D., dkk. 2010. Relasi dalam keluarga S. (2006). Transtheoretical Model
(Hubungan relasi keluarga dalam and substance use in HIV-positive
pembentukan karakter anggota youth. AiDS Care, 18 (7), 839-854.
keluarga). Skripsi. Yogyakarta: Nasution, I. P. (2012). Peran keluarga dan
Universitas Gadjah Mada. gaya belajar anak usia sekolah di
Jatman, D. 1997. Psikologi Jawa. Kelurahan Indra Kasih Kecamatan
Yogyakarta: Bentang. Medan Tembung. Skripsi. Medan:
Kapp, C. (2006). South Africa hope for a new Universitas Sumatera Utara.
era in HIV/AIDS policies. The Nirmal, B., Divya, K. R., Dorairaj, V. S., &
Lancent, 368, 1759-1760. Venkateswaran, K. (2008). Quality of
Kemenkes RI. (2014). Estimasi dan proyeksi life in HIV/AIDS patients: A cross-
HIV/AIDS di Indonesia tahun 2011- sectional study in south India.
2016. Kementrian Kesehatan (online),
Republik Indonesia. (http://medind.nic.in/ibo/t08/i1/ibot0
Kinsler, J., Sneed, C. D., Morisky, D. E. & 8i1p15.pdf, diakses pada 31 Mei).
Ang, A. (2004). Evaluation of a Nugrahawati, E. N. & Nugraha, G. (2011).
school-based intervention for Hubungan antara dukungan keluarga
HIV/AIDS prevention among dengan “self esteem” pada ODHA di
Belizean adolescent. Health Yayasan Akses Indonesia
Education Research, 19 (6), 730-738. Tasikmalaya. Prosiding pada
Koentjaraningrat. 1984. Psikologi Jawa. Universitas Islam Bandung:
Yogyakarta: Bentang. diterbitkan.
Kusuma, H. (2011). Hubungan antara Owens, T. J., Stryker, S., & Goodman, N.
depresi dan dukungan keluarga (2006). Extending self-esteem theory
dengan kualitas hidup pasien and research: Sociological and
HIV/AIDS yang menjalani perawatan psychological current. New York:
di RSUPN Cipto Mangunkusumo Cambridge University Press
Jakarta. Tesis. Jakarta: Universitas
Indonesia. Portzky, M., Wagnild, G., Bacquer, D., &
Mashudi, E. A. (2012). Konseling rasional Audenaert, K. (2010). Psychometric
emotif behavioral untuk evaluation of the Dutch Resilience
meningkatkan resiliensi remaja . Scale RS-nl on 3265 healthy
Tesis. Jakarta: Universitas participants: a confirmation of the
Pendidikan Indonesia. association between age and
Miller, W., Bishop, D. S., Herman, D. S. & resilience found with the Swedish
Stein, M. D. (2007). Relationship version. Scandinavian Journal of
quality among HIV patients and their Caring Science; 24; 86-92.
caregivers. AIDS Care, 19 (2), 203- Purnama, A. & Haryanti, E. (2006). Stigma &
211. diskriminasi terhadap ODHA.
Moscardino, U., Axia, G., Scrimin, S., & (online), (http://www.rahima.or.id/,
Capello, F. (2007). Narratives from diakses pada 1 Juni).
caregivers of children surviving the Rahmati, N. & Siregar, M. A. (2012).
terrorist attack in Beslan: Issues of Gambaran resiliensi pada pekerja
health, culture, and resilience. Social anak yang mengalami abuse. Jurnal
PREDICARA, 1, 14-16.

iSBN : 978-602-71716-3-3 17
PROCEEDING SEMINAR NASIONAL
“Selamatkan Generasi Bangsa dengan Membentuk Karakter Berbasis Kearifan Lokal”

Reich, J. W., Zautra, A. J., & Hall, J. S. intervention to promote sexual health
(2010). Handbook of adult resilience. in HIV-positive men who have sex
New York: The Guilford Press with men. AIDS Patient Care and
Richardson, D. (2002). Perempuan dan STDs, 20 (12), 858-875.
AIDS. Yogyakarta: Med Press. Wagnild, G. & Young, H. M. (1993).
Richardson, G. E. (2002). The metatheory of Development and psychometric
resilienceand resiliency. Journal of evaluation of resilience scale.
Clinical Psychology, 58, 307-321. Journal of Nursing Measurement, 2,
Rosyani, C. (2012). Hubungan antara 13-19.
resiliensi dan coping pada pasien Widyaningtyas, N. (2009). Studi deskriptif
kanker dewasa. Skripsi . Jakarta: tentang derajat resiliensi pada
Universitas Indonesia. wanita yang terinfeksi HIV/AIDS di
Sarafino, E. P. (1994). Biopsychosocial Sanggar Kerja Yayasan “X” Jakarta.
interactions 2nd Edition. New York: Skripsi. Jakarta: Universitas Kristen
Jhon Wiley & Sons. Maranath.
Sarafino, E. P. (1994). Health psychology Wiyata, A. L. (2003). Madura yang patuh?;
biopsychososial interactions. New Kajian antropologi mengenai budaya
York: John Wiley & Sons Inc. Madura. Jakarta: CERIC-FISIP UI.
Sarason, B. R., Sarason, I. G., & Pierce, G. R. Wiyata, A. L. (1995). Carok: Konflik
1990. Social support: An kekerasan dan harga diri orang
interactional view. New York: Jhon Madura. Yogyakarta :Lkis.
Wiley & Sons. World Health Organization. (2005).
Schoon, I. (2006). Risk and resilience Preventing chronic diseases a vital
adaptation in changing times. New investment. Geneva: WHO Press.
York: Cambridge Universty Press. World Health Organization. (2014). Global
Smith, B. W., Dalen, J., Wiggins, K., Tooley, summary of the AIDS epidemic 2013.
E., Christopher, P. & Bernard, J. (online),
(2008). The brief resilience scale: (http://www.who.int/hiv/data/epi_cor
Assesing the ability to bounce back. e_dec2014.png?ua=1, diakses pada
International Journal of Behavioral 31 Mei).
Medicine, 15, 194-200. Soeparno, K. & Andayani, B. (2014). Male
Sriyanti, L. (2012). Pembentukan self control and female prostitutes: A fact of
dalam perspektif nilai multikultural. Indonesia. Anima, Vol. 29, No.4, 179-
MUDARRISA, 4, 12-14. 185.
Stuart, G. W., & Laraia, M. T. (2001). Strube, M. J. (2005). What did Triplett really
Principles and Practice of Phychiatry find? Acontemporary analysis of the
Nursing (7th Ed). St. Louis Missiouri: first experiment insocial psychology.
Mosby-Year Book-Inc. The American Journal of
Stuart, G. W., & Sundeen (1999). Phychiatry Psychology,118, 271–286
nursing. St. Louis Missiouri: Mosby-
Year Book-Inc.
Thomsen, N. (2006). Family support makes a
different in HIV Prevention. Journal
of The National Medical Association,
98 (2), 306.
Van Kesteren, N. M., Kok, G., Hospers, H. J.,
Schippers, J. & De Wildt, W. (2006).
Systematic development of a self-
help and motivational enhancement

iSBN : 978-602-71716-3-3 18

Anda mungkin juga menyukai