Anda di halaman 1dari 5

1.

TB spine + indikasi surgery & penangan nyeri pada spondylitis TB + prognosis


Spondilitis tuberkulosa (pott’s disease) adalah infeksi tuberkulosis ekstrapulmonal yang
mengenai satu atau lebih tulang belakang. Spondilitis tuberkulosa merupakan bentuk paling
berbahaya dari tuberkulosis muskuloskeletal karena dapat menyebabkan destruksi tulang,
deformitas dan paraplegia. TB tulang belakang menyumbang sekitar 50% dari kasus TB tulang.
Hampir 10% dari seluruh penderita TB memiliki keterlibatan muskulo-skeletal. Setengahnya
mempunyai lesi di tulang belakang dengan disertai defisit neurologik 10–45% dari penderita.
Tulang belakang merupakan sisi yang paling sering terkena akibat proses penyebaran
tuberkulosis pada tulang (bony dissemination). Predileksi spondilitis TB mungkin karena
vaskularisasi vertebra sangat baik, meskipun pada dewasa. Lokasi yang sering terserang adalah
vertebra torakalis bawah dan lumbalis.
Di waktu yang lampau, spondilitis tuberkulosa merupakan istilah yang dipergunakan
untuk penyakit pada masa anak-anak, yang terutama berusia 3–5 tahun. Saat ini dengan adanya
perbaikan pelayanan kesehatan, maka insidensi usia ini mengalami perubahan sehingga
golongan umur dewasa menjadi lebih sering terkena dibandingkan anak-anak.
Diagnosis TB ekstra paru seringkali sulit. Pasien dengan spondilitis TB biasanya tanpa nyeri
namun tidak jarang juga pasien datang dengan nyeri tulang belakang disertai kelemahan tungkai
dan defisit neurologis
Perjalanan infeksi pada vertebra melalui 2 jalur utama yaitu arteri dan vena, serta jalur
tambahan. Jalur utama berlangsung secara sistemik mengalir sepanjang arteri ke perifer masuk
ke dalam korpus vertebra, berasal dari arteri segmental lumbal yang memberikan darah ke
separuh dari korpus yang berdekatan, di mana setiap korpus diberi nutrisi oleh 4 buah arteri. Di
dalam korpus ini berakhir sebagai end artery sehingga perluasan infeksi korpus vertebra sering
dimulai di daerah paradiskus Jalur kedua adalah melalui pleksus Batson, yaitu sebuah anyaman
vena epidural dan peridural. Vena dari korpus vertebra mengalir ke pleksus Batson pada daerah
perivertebral. Pleksus ini beranastomosa dengan pleksuspleksus pada dasar otak, dinding dada,
interkostal, lumbal dan pelvis. Jika terjadi aliran balik akibat perubahan tekanan pada dinding
dada dan abdomen maka basil dapat ikut menyebar. Basil M. tuberculosis mungkin berjalan dari
paru ke spinal melalui pleksus venosus paravertebral Batson, melalui drainase limfatik ke
kelanjar paraaorta. Pada individu sehat respons imun selular sudah mengandung basil ini tapi
tidak melakukan eradikasi. Penyebaran infeksi tuberkulosis akan menyebabkan inflamasi pada
paradiskus, terjadi hyperemia, edema sumsum tulang belakang dan osteoporosis. Desttruksi
tulang terjadi progresif, akibat lisis jaringan tulang di bagian anterior, serta adanya iskemi
sekunder, periartritis dan endarteritis, akan menyebabkan kolapsnya bagian tersebut
Terapi bedah saat ini relatif ditinggalkan yang kemudian digantikan dengan OAT sebagai
terapi utama. Indikasi operasi secara umum apabila didapatkan defisit neurologis akut seperti
paraplegia atau paraparesis, deformitas tulang belakang yang tidak stabil atau dengan disertai
nyeri seperti adanya kifosis (30° untuk dewasa, 15° untuk anak), tidak respons kemoterpi selama
4 minggu, terdapat abses luas, biopsi perkutan gagal untuk diagnosis dan didapatkan nyeri berat
karena kompresi abses. Pada pasien yang direncanakan operasi kemoterapi OAT diberikan
minimal 10 hari sebelum operasi. Saat ini, kebutuhan operasi dilakukan pada pasien dengan
adanya kompresi akar saraf spinal cord, abses yang ekstensif, instabilitas spinal dikarenakan
osteolisis dengan kifosis dan kegagalan terapi medikamentosa. Operasi dekompresi darurat
diindikasikan hanya pada pasien dengan bukti kompresi spinal cord dan umumnya melibatkan
laminektomi diikuti oleh fiksasi internal dan penggabungan di posterior (posterior fusion) pada
torakolumbar atau dengan corporectomy pada cervical spine

Indications for surgical treatment of Pott disease generally include the following:
 Neurologic deficit - Acute neurologic deterioration, paraparesis, and paraplegia
 Spinal deformity with instability or pain
 No response to medical therapy - Continuing progression of kyphosis or instability
 Large paraspinal abscess
 Nondiagnostic percutaneous needle biopsy sample
In Pott disease that involves the cervical spine, the following factors justify early surgical intervention:
 High frequency and severity of neurologic deficits
 Severe abscess compression that may induce dysphagia or asphyxia
 Instability of the cervical spine
Contraindications
Vertebral collapse of a lesser magnitude is not considered an indication for surgery
because, with appropriate treatment and therapy compliance, it is less likely to progress to a
severe deformity.

Infeksi dari TB kemudian akan menyebabkan terjadinya destruksi vertebra yang


berdekatan yang mengakibatkan adanya kompresi diskus dan kompresi medula spinalis
sehingga menimbulkan keluhan nyeri. Selain itu, nyeri juga dapat muncul akibat adanya
pembentukan abses di bagian paravertebral, lumbal atau femur. melakukan manajemen nyeri
yaitu dengan mengajarkan teknik non farmakologi, seperti: relaksasi, distraksi, massase, dan
pemberian kompres hangat atau dingin. Pemberian kompres hangat, terapi ini dapat diberikan
pada pasien yang mengalami nyeri pinggang bawah (low back pain), hal ini karena pemberian
terapi panas dapat melemaskan otot, memperbaiki peredaran darah, serta melenturkan
jaringan ikat sehingga memberikan rasa nyaman. Terapi panas dapat diberikan dengan
menggunakan kompres air hangat. Kompres hangat adalah suatu tindakan mandiri perawat
berupa pemberian cairan atau alat yang memberikan rasa hangat dan bertujuan untuk
mengurangi rasa sakit selama 3 x 24 jam diharapkan nyeri berkurang/hilang dengan goals pasien
mengatakan nyeri berkurang atau dapat diadaptasi, skala nyeri 0 – 4, pasien dapat
mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri, pasien tampak lebih
rileks SERTA didampingi pemberian analgetik pemberian antibiotik. Pada pengidap TBC tulang
belakang, mungkin akan disarankan untuk mengurangi, bahkan tidak menggerakkan tulang
belakang hingga waktu tertentu. Biasanya cara ini akan dilakukan dengan menggunakan alat
bantu khusus.

Untuk mengurangi nyeri, biasanya akan dilakukan serangkaian terapi fisik agar melatih
kekuatan dan fleksibilitas tulang. Meski membutuhkan waktu berbulan-bulan hingga bertahun-
tahun, TBC tulang belakang sebenarnya merupakan penyakit yang bisa disembuhkan. Dengan
catatan, kondisi ini harus segera dideteksi dan ditangani dengan cara pengobatan yang benar.

Prognosis is generally good in patients without neurological deficit and deformity.


Various studies show that 82–95% cases respond to medical treatment alone in the form of pain
relief, improving neurological deficit, and correction of spinal deformity. In a recently published
study among patients with neurologic deficit, significant recovery occurred in 92%, with 74%
improving from nonambulatory to ambulatory status. This study included 82 patients; 52% of
patients presented in a nonambulatory state, 21% had mild neurologic deficits, and 27% had
intact neurological function. patients had severe motor and sensory impairment. Imaging
revealed multiple vertebral involvements in 90 patients (80%). All patients were managed using
antituberculous treatment; however, 33 patients required operative treatment as well. Marked
clinical improvement was seen in 91 patients (70%) within 6 months of treatment. The prognosis
for spinal tuberculosis is improved by early diagnosis and rapid intervention. A high degree of
clinical suspicion is required if patients present with chronic back pain, even in the absence of
neurological symptoms and signs. Medical treatment is generally effective. Surgical intervention
is necessary in advanced cases with marked bony involvement, abscess formation, or paraplegia.

2. Treatment plan untuk Asep


Terapi konservatif + Penanganan spondilitis TB secara umum dibagi menjadi dua bagian
yang berjalan dapat secara bersamaan, medikamentosa dan pembedahan. Terapi
medikamentosa lebih diutamakan, sedangkan terapi pembedahan melengkapi terapi
medikamentosa dan disesuaikan dengan keadaan individual tiap pasien. Terapi farmakologi awal
adekuat dapat mencegah komplikasi berat. Penggunaan OAT harus dimonitor ketat untuk
mencegah munculnya strain yang multiresisten. Kombinasi OAT untuk 6-9 bulan dan operasi
eksisi pada lesi dengan bone grafting sama efektifnya dengan terapi OAT selama 18 bulan.
American Thoracic Society merekomendasikan 9 bulan untuk terapi dengan obat pertama yang
sama dikonsumsi untuk pada 2 bulan pertama diikuti 7 bulan terapi isoniazid dan rifampisin
pada fase lanjutan, sedangkan Canadian Thoracic Society merekomendasikan total waktu terapi
selama 9–12 bulan. The British Thoracic Society merekomendasikan 6 bulan dari terapi harian
dengan rifampisin dan isoniazid, diberikan pada 2 bulan pertama dengan pirazinamid dan baik
etambutol atau streptomisin (regimen 4 obat selama 6 bulan), tidak berdasarkan umur. Selain
itu, Erythrocyte Sedimentation Rate (ESR) dan C Reactive Protein (CRP) juga menurun. ESR dan
CRP merupakan parameter yang cocok untuk mengevaluasi respon terapi dan prognosis dari TB
spinal. Terapi medikamentosa sendiri bahkan dapat memperbaiki defisit neurologis. Jadi,
operasi bukan merupakan pilihan terapi utama pada semua kasus.
World Health Organization (WHO) recommends a category-based treatment for
tuberculosis. Spinal tuberculosis falls under category-1 of the WHO treatment category. The
category-1 antituberculosis treatment regimen is divided into two phases: an intensive (initial)
phase and a continuation phase. In the 2-month intensive phase, antituberculous therapy
includes a combination of four first-line drugs: isoniazid, rifampicin, streptomycin, and
pyrazinamide. In the continuation phase, two drugs (isoniazid and rifampicin) are given for 4
months. Because of the serious risk of disability and mortality and because of difficulties of
assessing treatment response, WHO recommends 9 months of treatment for tuberculosis of
bones or joints. Patients with tuberculous spondylitis normally improve with appropriate
antimicrobial therapy, analgesia, and rehabilitation. Treatment is aimed at preventing
complications and restoring quality of life. Surgical intervention is rare and usually reserved for
those with persistent instability, severe kyphosis, radiculopathy, or other neurological
compromise. All physicians are reminded to be vigilant during screening of patients with low
back pain.

Follow up Patients with Pott disease should be closely monitored to assess their response to
therapy and compliance with medication. Directly observed therapy may be required.
The development or progression of neurologic deficits, spinal deformity, or intractable pain
should be considered evidence of poor therapeutic response. This raises the possibility of
antimicrobial drug resistance, as well as the necessity for surgery.
Because of the risk of deformity exacerbations, children with Pott disease should undergo long-
term follow-up until their entire growth potential is completed
Consultations in Pott disease can include the following:
 Orthopedic surgeons
 Neurosurgeons
 Rehabilitation teams

3. Transmission of pain (fiber- fibernya: A-delta, B-beta, C -> jenis yg mana? Naiknya lewat
mana?)

Signals from mechanical, thermal and mechano-thermal nociceptors are transmitted to the
dorsal horn of the spinal cord predominantly by Aδ fibres. These myelinated fibres have a low
threshold for firing and the fast conduction speed means they are responsible for transmitting the
first pain felt.

In addition, Aδ fibres permit for the localisation of pain and form the afferent pathway for the
reflexes elicited by pain. Aδ fibres predominantly terminate in Rexed laminae I where they mainly
release the neurotransmitter glutamate.

Polymodal nociceptors transmit their signals into the dorsal horn through C fibres. C fibres are
unmyelinated and a slow conduction speed. For this reason, C fibres are responsible for the
secondary pain we feel which is often dull, deep and throbbing in nature. These fibres typically have
large receptive fields and therefore lead to poor localisation of pain.
Compared to Aδ fibres, C fibres have a high threshold for firing. However, noxious stimuli can cause
sensitisation of C fibres and reduce their threshold for firing. C fibres predominately terminate in
Rexed laminae I and II and release the neurotransmitter substance P. Other neurotransmitters are
released by primary afferent neurons terminating within the spinal cord such as aspartate and
vasoactive peptide.

A variety of factors are released upon tissue damage which lead to the activation of nociceptors.
These include:

 Arachidonic acid
 Potassium
 5-HT
 Histamine
 Bradykinin
 Lactic acid
 A-beta fibers are intermediate size, myelinated, and fastest sensory conductivity. These fibers
mediate the sensation of touch, mild pressure, vibration, and joint positioning sensations. These
are measured in the sensory nerve conduction tests of standard electrodiagnostic studies
(EMG/NCV).
 A-delta fibers are small, myelinated, and moderate sensory conductivity speed. These fibers
mediate the sensation of cold and the secondary components of cold sensation and pain.
 C-fibers are the smallest diameter, non-myelinated, and slowest sensory and motor
conductivity. These fibers mediate the sensation of heat and the primary components of hot
sensation and pain.
The ascending nociceptive pathways consist of A delta and C fibres that are unmyelinated or only slightly
myelinated (compared with the highly myelinated tactile and proprioceptive fibres).

Anda mungkin juga menyukai