Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia diciptakan oleh Allah hanya dengan satu tujuan yaitu untuk menyembah
kepada-Nya. Manusia itu terdiri dari 2 unsur yaitu unsur jasmani dan unsur rohani (roh, akal,
hati, dan nafsu). Menyadari asal kejadian manusia, seharusnya manusia sadar bahwa dirinya
adalah makhluk lemah yang tidak sepatutnya bersikap angkuh dan sombong. Allah memberikan
kita waktu untuk hidup di dunia ini tidaklah lama, hal ini dimaksudkan agar manusia itu sadar
untuk mengisi hidupnya dengan hal-hal yang baik. Oleh karena itu jadilah orang yang
“malamnya bercermin kitab suci, siangnya bertongkat besi” yang artinya dimalam hari menjadi
hamba Allah yang khusuk dalam beribadah dan siang harinya menjadi pekerja keras.

B. Tujuan Penulisan

Untuk mengetahui unsur-unsur jasmani manusia

Untuk mengetahui unsur-unsur rohani manusia

Untuk mengetahui cara menyikapi penggunaan unsur-unsur tersebut

BAB II

PEMBAHASAN

A. Unsur Jismiah/Jasmaniyah

Sebagaimana pada penciptaan awalnya, fitrah jismiah adalah citra penciptaan fisik
manusia yang terdiri atas struktur organisme fisik. Organisme manusia lebih sempurna dibanding
dengan organisme fisik makhluk-makhluk lain. Pada citra ini, proses penciptaan manusia
memiliki kesamaan dengan hewan, ataupun tumbuhan, sebab ssemuanya termasuk bagian dari
alam. Setiap alam biotik lahiriah memiliki unsur material yang sama, yakni terbuat dari unsur
tanah, api, udara, dan air. Sedangkan manusia merupakan makhluk biotik yang unsur-unsur
pembentukan materialnya bersifat proporsional antara keempat unsur tersebut, sehingga manusia
disebut sebagai makhluk yang sempurna dan terbaik penciptaannya. Firman Allah SWT :

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (Qs. At-
Tiin : 4)

Keempat unsur di atas merupakan materi yang abiotik (tidak hidup). Ia akan hidup jika
diberi energi kehidupan yang bersifat fisik (thaqat al-jismiat). Energi kehidupan ini lazimnya
disebut dengan nyawa, karena nyawa manusia hidup.

Nyawa atau daya hidup pada diri manusia ini telah ada sejak adanya sel-sel seks pria
(sperma) dan wanita (ovum). Sperma dan ovum itu hidup dan kehidupannya mampu menjalin
hubungan sehingga terjadilah benih manusia (embrio). Dengan begitu, maka al-hayat(hidup)
berbeda dengan al-ruh, sebab al-hayat ada sejak adanya sel-sel kelamin, sedangkan al-ruh ada
setelah embrio berusia empat bulan dalam kandungan. Kematian al-hayat tidak berarti kematian
al-ruh, sebab al-ruh selalu hidup sebelum dan sesudah adanya nyawa manusia. Ruh bersifat
subtansi (jauhar), sedang nyawa merupakan sesuatu yang baru datang (‘aradh).

Daya hidup pada diri manusia memiliki batas, yang batas itu disebut dengan ajal. Apabila
batas energi tersebut telah habis, tanpa sebab apapu manusia akan mengalami kematian (al-
mawt). Daya hidup telah menyatu pada semua organ tubuh manusia yang pusat peredaranny
pada jantung. Apabila organ vital manusia rusak atau tidak berfungsi sebagaimana hukum atau
sunnahnya maka daya hidup tersebut belum waktunya habis. Kerusakan organ tubuh dapat
diakibatkan oleh upaya manusia seperti bunuh diri, dibunuh, kecelakaan, kurang menjaga
kesehatan dan terlalu mengekploitasi energi fisik dengan kerja diluar kemampuan fisiknya.[1]

Cara menyikapi unsur jasmani manusia

Melalui anggota tubuh seperti sholat, puasa, haji, dan lain sebagainya dan untuk mengusahakan
anggota tubuh ke arah yang lebih baik, maka harus menggunakan amalan-amalan yang telah
diwajibkan oleh Allah atas hamba-hambaNya dengan cara melakukan perbuatan baik dan
memperkokoh iman dengan taqwa.
Melalui perasaan kita terhadap Allah, dengan cara perbanyak berdzikir dan memohon ampun
kepadanya atas semua kesalahan yang telah dilakukan.[2]

B. Unsur Rohaniyah

1. Ruh

Istilah ruh yang diungkapkan dalam pergaulan sosial sehari-hari sering disamakan dengan roh
atau rohani. Kata rohani sendiri biasanya dilawankan dengan jasmani, sehingga kedua kata ini
merupakan dua aspek yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia yang memang
mengandung dua unsur tersebut.

Rohani adalah spiritual yang berkaitan dengan rasa batin yang tidak nampak dan tidak bisa
diukur dengan kualitas kebendaan, meskipun kualitas batin itu sendiri dapat saja muncul dari
benda-benda. Sedangkan jasmani adalah aspek fisik-materi yang bersifat kebendaan ia dalam
konteks jasmani. Rohani adalah tubuh atau badan yang kasat mata.[3]

Menurut Imam Al-Ghazali ruh (nyawa) adalah lobang hati yang jasmani, lalu tersebar dengan
perantara urat-urat yang merasuk kebagian-bagian lainnya. Dan perjalanannya ruh pada badan,
banjirnya cahaya-cahaya kehidupan, perasaan, penglihatan, pendengaran, penciuman, dari
padanya atas semua anggotanya itu menyerupai banjirnya cahaya lampu yang diputar disudut-
sudut rumah. Sesungguhnya cahaya itu tidak sampai kesuatu bagian rumah melainkan ia bersinar
dengan cahaya itu. Kehidupan itu diumpamakan seperti cahaya yang menyinari dinding-dinding.
Nyawa itu barat lampu, perjalanan ruh atau gerakannya terhadap hati seperti merapatnya cahaya
ke sudut-sudut ruangan.[4]

Firman Allah SWT dalam surat Al-Isra’ ayat 85

Artinya :

“Katakanlah : Ruh itu termasuk urusan Tuhanku.”

Ruh merupakan perkara dan urusan yang luar biasa, kebanyakan akal dan pemahaman
manusia tidak mampu menangkap hakikatnya.[5]

2. Hati
Menurut Imam Al-Ghazali hati mempunyai 2 arti umum yaitu :

a. Hati dengan arti daging yang berbentuk buah shanubari yang diletakkan pada sebelah kiri
dada yaitu daging yang khusus dan di dalamnya ada lobang, dan di dalam lobang itu ada darah
yang hitam yang menjadi sumber ruh dan tambangnya. Hati ini ada pada binatang-binatang dan
orang, bahkan orang mati.

b. Hati dengan arti sesuatu yang halus, rabbaniyah (ketuhanan) ruhaniyah (kerohanian). Dia
mempunyai kaitan dengan hati yang jasmani (yang bertubuh ini).

Hati yang halus inilah hakekat manusia. Dialah yang mengetahui yang mengerti yang mengenal
diri manusia. Dialah yang diajak bicara, yang disiksa, yang dicela dan dituntut.

Hati yang halus itu mempunyai kaitan dengan hati yang jasmani dan akal kebanyakan makhluk
bingung dalam mengetahui segi kaitannya dengan hati yang jasmani itu, seperti menyerupai
kaitannya perangai-perangai yang terpuji dengan tubuh, dan sifat-sifat dengan yang disifati atau
kaitannyaorang yang memakai alat dengan alatnya atau kaitannya orang yang tempat dengan
tempatnya.[6]

Psikologi sufi menyatakan bahwa hati itu menyimpan kecerdasan dan kearifan terdalam. Cita-
cita para sufi adalah menumbuhkan kecerdasan hati yang lembut dan penuh kasih sayang.
Dikatakan bahwa jika mata hati terbuka, akan dapat mendengar kebenaran yang tersembunyi
dibalik kata-kata yang diucapkan.

Hati menyimpan percikan atau ruhilahiyah di dalam diri manusia. Karenanya, hati adalah rumah
Tuhan. Bagi para pemilik rumah ini akan selalu mencoba dan mengingat untuk memperlakukan
segala sesuatu, lebih-lebih sesama manusia, dengan kebaikan dan penghormatan.[7]

3. Nafsu

Nafsu mempunyai banyak pengertian :

a. Nafsu merupakan nyawa manusia yang wujudnya berupa angin yang keluar-masuk di
dalam tubuh manusia melalui mulut dan kekosongan.

b. Nafsu merupakan gabungan psiko-fisik manusia dan merupakan struktur kepribadian


manusia.
c. Nafsu adalah daya-daya nafsani yang memiliki dua kekuatan, yaitu kekuatan Al-
Ghadhabiyat dan Al-Syaharaniyat.

Al-Ghadab adalah suatu daya yang berpotensi untuk meghindari diri dari segala yang
membahayakan. Ghadab dalam terminologi psikolog-analisa disebut dengan “defense”
(pertahanan, pembelaan dan penjagaan) yaitu tingkah laku yang berusaha membela atau
melidungi ego terhadap kesalahan, kecemasan, dan rasa malu ; perbuatan untuk melindungi diri
sendiri ; dan memanfaatkan dan merasioanalisasikan perbuatannya sendiri.

Al-Syahwat adalah suatu daya yang berpotensi untuk menginduksi diri dari segala yang
menyenangkan. Syahwat dalam terminologi psikologi disebut dengan “appetitte”, yaitu suatu
hasrat (keinginan, birahi, hawa nafsu, motif atau impuls berdasarkan perubahan keadaan
psikologi.[8]

Dalam tinjauan tasawuf, nafsu cenderung menghimpun sifat-sifat tercela dalam diri manusia.
Menurut Imam Al-Ghazali, nafsu itu disifati dengan sifat yang bermacam-macam menurut
keadaannya. Jika nafsu itu tenang dibawah perintah maka ia disebut nafsu mutmainah. Artinya
jiwa yang tenang. Al-Qur’an menjelaskan :

“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.
(Qs. Al-Fajr 27-28).

Nafsu mutmainah itu selalu tenang dan mendukung pada kebaikan. Ada pula tingkatan nafsu
dibawah mutmainah yang disebut nafsu lawwamah yaitu nafsu yang ‘mencaci’ pemiliknya jika
ia teledor dalam beribadah kepada Tuhannya. Dijelaskan dalam Al-Qur’an :

Artinya : “Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (diri sendiri). (Qs. Qiyamah:2).

Jadi ketika seseorang telah menuruti budi durjana kemudian menyesal, maka yang memainkan
penyesalan itu adalah nafsu lawwamah. Nafsu ini memprotes kepada pemiliknya karena telah
mematuhi kedurjananan budi.

Kesimpulannya, nafsu itu ada dua yaitu nafsu yang senantiasa mendorong seseorang menyembah
budi durjana dan nafsu yang tenang yang mendorong berbuat kebaikan.[9]

Cara-cara menyikapi unsur-unsur ruhani manusia.


Melalui amalan hati yang berasal dari agama dan kenyataannya amalan hati ini bisa diterima
apabila dilandasi dengan perbuatan hati seperti keikhlasan dan ketulusan kepada Allah.

Amalan hati memimpin atas setiap orang dan bila meninggalkannya dianggap tidak mempunyai
nilai terpuji kepada Allah SWT. Karena hati merupakan salah satu organ tubuh yang sangat
penting yang dapat melakukan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari apabila hati
baik maka tubuh kita juga baik dan apabila buruk maka buruk pula semuanya.[10]

4. Akal

Secara etimologi, akal memiliki al-imsak (menahan), al-ribath (ikatan), al-hajs (menahan), al-
nahy(melarang), dan man’u (mencegah). Orang yang berakal (al-‘aqil) adalah orang yang
mampu menahan dan mengikat hawa nafsunya. Jika hawa nafsunya terikat maka jiwa
rasionalitasnya mampu bereksistensi.

Akal merupakan bagian dari fitrah nafsani manusia yang memiliki dua makna :

a. Akal jasmani, yaitu salah satu organ tubuh yang terletak di kepala. Akal ini lazimnya
disebut dengan otak (al-dimagh)

b. Akal ruhani, yaitu cahaya (al-nur) nurani dan daya nafsani yang dipersiapkan dan mampu
memperoleh pengetahuan (al-ma’rifah) dan kognisi (al-mudrikat).[11]

Akal memang mulia kedudukannya bagi manusia. Begitu mulianya, hingga melahirkan berbagai
ungkapan yang bernada sanjungan kepada orang-orang yang bisa menggunakannya dengan baik.
Tidak ketinggalan para budayawan juga menyanjungnyadengan mengatakan, “Teman sejati
seseorang adalah akalnya, sedangkan musuh yang akan mencelakakannya adalah kebodohan”.
Para ahli bahasa juga berkata, “sebaik-baiknya karunia adalah akal dan sejelek-jeleknya bencana
adalah kebodohan.”

Demikian juga dengan akal tersebut, ia bisa membedakan antara kebaikan dan kejelekan. Akal
yang dianugerahkan kepada manusia ini ada dua macam, ghariziy (instinktif) dan muktasab
(diusahakan). Akal instinktif adalah akal yang dimiliki manusia yang membedakannya dengan
binatang, ia tidak berkembang tidak juga berkurang. Sedangkan akal muktasab adalah
kemampuan nalar yang bisa dicapai dengan usaha-usaha tertentu.
Dalam pandangan Ibn Rusyd, akal dibagi menjadi tiga macam. Pertama akal demonstratif
(burhani), yaitu akal yang mampu memahami dalil-dalil atau bukti-bukti yang meyakinkan dan
tepat. Kedua logika (manthiq), akal yang sekedar memahami fakta-fakta argumentatif, tanpa
melalui pembuktian yang jelas dan pasti. Ketiga adalah akal retorik (khitabi), akal yang hanya
mampu menangkap hal-hal yang bersifat nasihat dan retorik, tidak dipersiapkan untuk
memahami aturan berpikir secara sistematis.

Akal adalah fitrah insinktif dan cahaya orisinal yang menjadi sarana manusia dalam memahami
realitas. Akal adalah nabi bagi perjalanan hidup manusia, yang akan membimbing menuju
realitas yang haqiqi.[12]

BAB III

PENUTUP

SIMPULAN

Manusia itu terdiri 2 unsur, yaitu unsur jasmani dan unsur rohani. Kedua unsur tersebut
saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Unsur jasmani manusia itu berasal
dari tanah dan akan kembali ke tanah. Sedangkan unsur ruhani manusia itu diciptakan oleh
Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Dengan adanya roh yang tinggi yang mengandung akal
pikiran yang akan menimbulkan sifat kemanusiaan sehingga dapat dibedakan manusia itu dengan
makhluk lain.

DAFTAR PUSTAKA

Mujib, Abdul.1999.Fitrah dan Kepribadian Islam.Jakarta:Darul Falah.

Hawwa, Sa’id.2001.Jalan Ruhani.Bandung:Mizan Media Utama.

Al-Ghazali, Imam.2003.Ikhya’ Ulumuddin.Semarang:CV.Asy Syifa’.

Al-Qalami, Abu Fajar . -.Ajaran Makrifat Syekh Siti Jenar.Surabaya:Pustaka Media.


Khalil, Ahmad.2007.Merengkuh Bahagia.Malang:UIN –Malang Press.

http://studyng.blogspot.com/2001/09/unsur-unsur-jasmani-dan-rohani-manusia.html.

[1] Abdul Mujib, Fitrah dan Kepribadian Islam hal:40-41

[2] http://studyng.blogspot.com/2011/09/unsur-unsur-jasmani-dan-rohani-manusia.html

[3] Akhmad Kholil, Merengkuh Bahagia, hal Merengkuh Bahagia –Dialog Al-Qur’an, Tasawuf,
dan psikolog, hal.116

[4] Imam Al-Ghazali, Ikhya’ Ulumuddin hal 583-584

[5] Sa’id Hawwa, Jalan Ruhani hal:46

[6] Imam Al-Ghazali, Ikhya’ Ulumuddin, hal.582-583

[7] Ahmad Khalil, Merengkuh Bahagia-Dialog Al-Qur’an, Tasawuf, &psikologi, hal.121

[8] Abdul Mujib, M.Ag., Fitrah & Kepribadian Islam, hal.69-70

[9] Abu Fajar Al-Qalami, Ajaran Makrifat Syekh Siti Jenar, hal.116-118

[10] http://studying.blogspot.com/2011/09/unsur-unsur-jasmani-dan-rohani-manusia.html

[11] Abdul Mujib, Fitrah dan Kepribadian Islam, hal:64-65

[12] Ahmad Khalil, Merengkuh Bahagia, hal:124-127

Anda mungkin juga menyukai