Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Trauma merupakan suatu keadaan dimana seseorang mengalami cedera

oleh salah satu sebab. Penyebab yang paling sering adalah kecelakaan lalu

lintas, kecelakaan kerja, olahraga dan rumah tangga. Multiple trauma dapat

didefinisikan sebagai cedera pada minimal dua sistem organ yang

menyebabkan kondisi yang mengancam jiwa.

Menurut National Consultant for Injury dari WHO Indonesia (dikutip

dari data kepolisian RI) terdapat kecelakaan selama tahun 2007 memakan

korban sekitar 16.000 jiwa dan di tahun 2010 meningkat menjadi 31.234 jiwa

di Indonesia. Sedangkan pada tahum 2017 jumlah jumlah korban kecelakaan

lalu lintas sebanyak 47.563 jiwa.

Banyak dari korban trauma tersebut mengalami cedera musculoskeletal

berupa fraktur, dislokasi, dan cedera jaringan lunak. Cedera system

musculoskeletal cenderung meningkat dan terus meningkat dan akan

mengancam kehidupan kita. (Rasjad C,2003).

Salah satu tanda proses penyembuhan fraktur adalah dengan

terbentuknya kalus yang menyeberangi celah fraktur (bridging callus) untuk

menyatukan kembali fragmen-fragmen tulang yang fraktur. (Jay. R. liberman,

M. D. and Gary E Friedlaender, 2005). Dampak masalah dari fraktur yaitu

dapat mengalami perubahan pada bagian tubuh yang terkena cidera,

merasakan cemas akibat rasa sakit dan rasa nyeri yang dirasakannya, resiko

1
terjadinya infeksi, resiko perdarahan, gangguan integritas kulit serta berbagai

masalah yang mengganggu kebutuhan dasar lainnya, selain itu fraktur juga

dapat menyebabkan kematian.

Kegawatan fraktur diharuskan segera dilakukan tindakan untuk

menyelamatkan klien dari kecacatan fisik. Kecacatan fisik dapat dipulihkan

secara bertahap melalui mobilisasi persendian yaitu dengan latihan range of

motion (ROM). Range of motion adalah latihan yang dilakukan untuk

mempertahankan atau memperbaiki tingkat kesempurnaan kemampuan

menggerakkan persendian secara normal dan lengkap untuk meningkatkan

massa otot dan tonus otot (Potter & Perry, 2005).

B. Rumusan Masalah

1. Apa diagnosis yang dapat diambil sesuai prioritas ?

2. Bagaimana perencanaan yang dilakukan untuk kasus multiple trauma ?

3. Bagaimana mendokumentasikan yang dilakukan untuk kasus multiple

trauma ?

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah penulis dapat mempelajari

asuhan keperawatan pada Ny.z dengan multiple trauma di IGD RSUD

Balaraja.

2. Tujuan khusus

a. Dapat merumuskan diagnosis tentang multiple trauma

b. Dapat melakukan perencanaan tentang multiple trauma

2
c. Dapat mendokumentasi tentang multiple trauma

D. Manfaat Penulisan

1. Bagi Penulis

Dapat menambah wawasan dan pengetahuan dalam memberikan asuhan

keperawatan yang komprehensif pada klien dengan masalah multiple

trauma.

2. Instansi Akademik

Dapat digunakan sebagai informasi bagi instansi pendidikan dalam

pengembangan dan peningkatan mutu pendidikan tentang asuhan

keperawatan dengan masalah multiple trauma.

3. Bagi Klien dan Keluarga

Klien penderita multiple trauma bisa menerima perawatan yang maksimal

dari petugas kesehatan dan keluarga dapat mengetahui tentang penyakit

dan cara perawatan pada keluarga yang menderita multiple trauma.

4. Bagi Rumah Sakit

Dapat menjadikan bahan masukan bagi perawat dalam melakukan

tindakan dan mengambil kebijakan dalam rangka peningkatan mutu

pelayanan pada pasien dengan masalah multiple trauma, supaya derajat

kesehatan pasien lenih menigkat.

5. Bagi Pembaca

Dapat memberikan informasi dan pengetahuan tentang multiple trauma

yang berbentuk asuhan keperawatan dan sebagai pembanding dalam

memberikan asuhan keperawatan pada kasus multiple trauma.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Multipel Trauma

Multi trauma adalah keadaan yang di sebabkan oleh luka atau cedera

definisi ini memberikaan gambaran superficial dari respon fisik terhadap

cedera, trauma juga mempunyai dampak psikologis dan sosial. Pada

kenyataannya trauma adalah kejadian yang bersifat holistic dan dapat

menyebabkan hilangnya produktif seseorang. Informasi tentang pola atau

mekanisme terjadinya cedera seringkali akan sangat terbantu dalam

mendiagnosa kemungkinan gangguan yang diakibatkan. Trauma tumpul

terjadi pada kecelakaan kendaraan bermotor ( KKB) dan jatuh, sedangkan

trauma tusuk (penetrasi) seringkali diakibatkan oleh luka tembak atau luka

tikam. Umumnya, makin besar kecepatan yang terlibat dalam suatu

kecelakaan, akan makin besar cedera yang terjadi, misalnya : KKB

kecelakaan tinggi, peluru dengan kecepatan tinggi, jatuh dari tempat yang

sangat tinggi.

Trauma multipel atau politrauma adalah apabila terdapat 2 atau

lebih kecederaan secara fisikal pada regio atau organ tertentu, dimana salah

satunya bisa menyebabkan kematian dan memberi impak pada fisikal,

kognitif, psikologik atau kelainan psikososial dan disabilitas fungsional.

Trauma kepala paling banyak dicatat pada pasien politrauma dengan

kombinasi dari kondisi yang cacat seperti amputasi, kelainan pendengaran

4
dan penglihatan, post-traumatic stress syndrome dan kondisi kelainan jiwa

yang lain (Veterans Health Administration Transmittal Sheet).

B. Etiologi Multipel Trauma

Trauma dapat disebabkan oleh benda tajam, benda tumpul, atau peluru.

Luka tusuk dan luka tembak pada suatu rongga dapat di kelompokan dalam

kategori luka tembus. Untuk mengetahui bagian tubuh yang terkena,organ apa

yang cedera ,dan bagaimana derajat kerusakannya, perlu diketahui

biomekanik terutama cedera pada trauma dapat terjadi akibat tenaga dari luar

berupa benturan, perlambatan (deselerasi), dan kompresi, baik oleh benda

tajam , benda tumpul, peluru, ledakan, panas, maupun zat kimia . Akibat

cedera ini dapat menyebabkan cedera muskuloskeletal dan kerusakan organ.

C. Klasifikasi

Berdasarkan Hudak Carolyn 1996:517-534 bahwa klasifikasi dari multi

trauma adalah sebagai berikut :

1. Trauma Tumpul

Pada kecelakaan kendaraan mobil, badan kendaraan memberikan

sebagian perlindungan dan menyerap energi dari hasil benturan tabrakan.

Pengendara atau penumpang yang tidak menggunakan sabuk pengman,

bagaimanapun akan terlempar dari mobil dan dampaknya mendapat cedera

tambahan. Pengendara sepeda motor mempunyai perlindungan yang

minimal dan seringkali akan menderita cedera yang lebih parah apabila

terlempar dari motor.

5
Perlambatan yang cepat selama KKB atau jatuh dapat menyebabkan

kekuatan yang terputus yang dapat merobek struktur tertentu. Organ-organ

yang berdenyut seperti jantung dapat terlepas dari pembuluh besar yang

menahannya. Demikian juga organ-organ abdomen (limpa, ginjal, usus)

akan terlepas dari mesenteri.

Tipe kedua trauma tumpul termasuk kompresi yang disebabkan oleh

kekuatan tabrakan berat. Pada kasus demikian, jantung dapat terhimpit

diantara sternum dan tulang belakang. Hepar, limpa, dan pancreas juga

sering tertekan terhadap tulang belakang. Cedera karena benturan

seringkali menyebabkan kerusakan internal dengan sedikit tanda-tanda

trauma eksternal.

Tipe kerusakan pada kendaraan seringkali memberikan petunjuk-

petumjuk cedera spesifik yang diderita pada KKB. Stir atau kemudi

kendaraan yang bengkok atau rusak memperbesar dugaaan akan

kemungkinan cedera pada dada, iga, jantung, trakea, tulang belakang atau

abdomen. Trauma kepala dan wajah, cedera tulang belakang servikal dan

cedera trakeal sering berkaitan dengan kerusakan pada kaca depan mobil

atau dashboard. Benturan lateral dapat menyebabkan patah iga, luka dada

penetrasi akibat pegangan pintu atau jendela, cedera limpa atau hepar dan

fraktur pelvis.

2. Trauma Penetrasi

6
Luka tembak berkaitan dengan derajat kerusakan yang lebih tinggi

dari luka-luka tikaman. Peluru dapat menyebakan lubang di sekitar

jaringan dan dapat terpecah atau merubah arah dalam tubuh,

mengakibatkan peningkatan cedera. Perdarahan internal, perforasi organ,

dan fraktur kesemuanya dapat disebabkan oleh cedera penetrasi. Dengan

menggunakan keterampilan pengkajian yang baik dan kewaspadaan pada

mekanisne terjadinya cederam, perawat unit perawatan kritis dapat

membantu dalam mengidentifikasi cedera yang tidak didiagnosa di unit

kegawatdaruratan.

3. Trauma Torakik

Kurang lebih 25% dari kematian karena trauma adalah karena cedera

torakik. Banyak cedera toraks yang secara potensial mengancam jiwa,

misalnya tension atau pneumotoraks terbuka, hemotoraks massif, iga

melayang (flail chest) dan tamponade jantung, dapat ditangani secara cepat

dan mudah, seringkali tanpa operasi besar. Jika tidak ditangani, maka akan

mengancam jiwa. Cedera pada paru dan iga :

a. Pneumotoraks dan hematoraks

Trauma tumpul dan penetrasi dapat menyebabkan pneumotoraks dan

hemotoraks. Seringkali satu-satunya tindakan yang diperlukan adalah

pemasangan selang dada. Hemotoraks massif (>1.500ml pada awalnya

atau >100-200ml/jam) akan memerlukan torakotomi, sedangkan selang

dada untuk mengembangkan kembali paru-paru seringkali sudah

memadai tamponade dengan sumber perdarahan yang lebih kecil.

7
Intervensi pembedahan juga mungkin diperlukan dalam kasus

pneumotoraks terbuka (luka menyedot dada) atau kebocoran udara yang

tidak terkontrol.

Selain memberikan perawatan rutin post operasi (spirometri, batuk,

latihan napas dalam), perawatan unit perawatan kritis harus mengkaji

fungsi pernapasan dan hemodinamik dengan cermat. Pasien dengan

cedera paru mempunyai resiko lebih besar untuk mengalami komplikasi

pulmonal seperti atlektaksis, pneumonia, dan empiema. Selang dada

harus dikaji patensi dan fungsinya serta dokter harus diberitahu jika

drainase menjadi berlebihan. Untuk kehilangan darah dalam jumlah

besar dari selang dada, mungkin harus dilakukan ototranfusi.

b. Iga melayang

Iga melayang terjadi bila trauma tumpul menyebabkan fraktur multiple

iga, menyebabkan ketidakstabialan dinding dada. Iga melayang

berkaitan dengan pneumotoraks, hemotoraks kontusio pulmonal,

kontusio miokardial. Tujuan utama dari perawatan terhadap tulang iga

mengambang adalah untuk meningkatkan ventilasi yang adekuat. Jika

status pernapasan terganggu atau diperlukan operasi untuk cedera

terjadi, maka ada indikasi pemasangan intubasi dan ventilasi mekanis.

Mungkin juga digunakan tekanan akhir ekspirasi positif (PEEP). Pada

kejadian yang langka, mungkin dilakukan stabilisasi operatif dengan

kawat dan staples. Fraktur iga tidak pernah dibalut karena hal ini

nantinya hanya akan mengurangi fungsi pulmonal.

8
Fraktur iga sering berkaitan dengan nyeri hebat. Control nyeri yang

adekuat dapat meningkatkan ekspansi paru tanpa memerlukan ventilasi

mekanis jangka panjang. Sering diberikan analgesi parenteral,

intramuscular, atau analgesia yang dikontrol pasien. Analgesic sistemik

tidak cukup kuat untuk menghilangkan nyeri iga melayang, sehingga

membutuhkan metode lain untuk meringankan nyeri seperti blok

interkosta atau analgesia epidural.

Asuhan keperawatan pada pasien dengan iga melayang ditujukan pada

pengkajian dan pengontrolan nyeri deisertai dengan peningkatan

oksigenasi dan pertukaran gas yang adekuat. Hipoventilasi akiibat nyeri

meningkatkan resiko terhadap komplikasi pernapasan, termasuk

atlektaksis dan pneumonia. Berbagai intervensi untuk memperbaiki

fungsi pernapasan dapat dilaksanakan termasuk batuk dan napas dalam,

spirometrik, drainase, dan chapping, mukolitik, bronkodilator,

pernapasan tekanan positif intermitten (PTPI), suksion endotrakeal dan

nasotrakeal, bronkoskopi terapeutik. Serangkaian pengkajian pulmonal,

termasuk sinar x-dada, gas-gas arterial darah, pemeriksaan fisik, dan

kadang-kadang pemantauan dengan oksimetrik adalah penting.

c. Kontusio pulmonal

Kontusio pulmonal adalah memar pada parenkim paru, seringkali akibat

trauma tumpul. Gangguan ini dapat tidak terdiagnosa pada foto dada

awal. Bagaimanapun adanya fraktur iga atau iga melayang harus

mengarah pada dugaan kemungkinan adanya kontusio pulmonal.

9
Kontusio pulmonal terjadi bila perlambatan cepat memecahkan dinding

sel kapiler, menyebabkan hemoragi dan ekstravasasi plasma dan protein

ke dalam alveolar dan spasium interstisial. Hal ini mengakibatkan

atlektaksis dan konsolidasi, mengarah pada pengalihan (shunting)

intrapulmonal dan hipoksemia. Tanda-tanda dan gejala-gejalanya

tgermasuk dispnea, rales, hemoptisis, takipnea. Kontusio yang hebat

juga akan mengakibatkan peningkatan tekanan puncak jalan udara,

hipoksemia, dan asidosis respiratorik. Kontusio pulmonal mirip dengan

ARDS dimana keduanya berespon sangat terburuk terhadap fraksi

inspirasi oksigen yang tinggi (FiO2).

Perbedaan antara kontusio pulmonal dan ARDS

Kontusio ARDS

pulmonal
Awitan Awitan gagal pernapasan

gagal mendadak

pernapasan

bertahap
Perubahan- Perubahan-perubahan gambaran

perubahan radiografi seringkali tertunda 2-3

gambaran hari setelah timbul gejala- gejala.

radiografi

dapat segera

terlihat
Infiltrat Infiltrat menyebar

setempat

10
Dapat Dapat mengarah pada fibrosis

mengarah pulmonal kronis

pada

terbentukny

a rongga dan

abses
Pasien dengan kontusio ringan memerlukan pengamanan ketat. Perlu

sering dilakukan pengukuran gas darah arterial (GDA) atau oksimetri

nadi. Inter vensi keperawatan tambahan termasuk pengkajian

pernapasan yang kerap, perawatan pulomonal dan control nyeri.

Fisioterapi dada dan analgesia epidural kontinu juga akan sangat

bermanfaat. Kontusion pulmonal yang parah akan memerlukan

dukungan ventilator dengan TAEP. Kateter arteri oksimetrik pulmonal (

oximetri Swans-Ganz) dan biasanya aliran arteri untuk membantu

memantau GDA, hemodinamik dan parameter respiratori (pengiriman

oksigen, pirau intrapulmonal).

Meskipun ventilasi alveolar membaik dengan penambahan TAEP,

aliran darah ke alveoli dapat berkurang, mengarah pada pirau

intrapulmonal. Untuk mengoptimalkan perfusi jaringan dan oksigenasi,

setiap pergantian pada TAEP membutuhkan status pirau, pengiriman

oksigen, dan indicator lain perfusi jaringan (curah jantung, tekanan

darah, haluaran urine). Pernapasan yang parah, peningkatan atau

paralisis dapat menjadi tanda untuk menurunkan pemakaian energi dan

kebutuhan oksigen. Tempat tidur berrotasi seperti Roto-Rest (Kinetic

11
Concepts, Ins., San Antonio, TX) juga harus dipertimbangkan.

Penggunaan ventilasi jet frekuensi tinggi untuk tipe cidera seperti ini

masih merupakan suatu kontroversia. Kontusio unilateral berat dapat

ditangani dengan ventilasi paru independen simultan dan

membaringkan posisi pasien dengan bagian cidera di sebelah atas.

Penatalaksanaan cairan juga penting. Masukkan dan haluarkan, berat

badan setiap hari, tekanan vena central, tekanan desak kapiler pulmonal

harus dipantau. Konsentrasi medikasi mungkin diperlukan untuk

mengurangi masukan yang berlebihan, dan diuretik akan diperlukan

secara periodik. Pembatasan ketat cairan tidak dianjurkan. Sebaliknya,

keseimbangan cairan harus dipertahankan pada tingkat mendekati

normal untuk mendukung curah jantungdan pengiriman oksigen.

Karena paru yang basah dan mengalami kontusio mengalami

kemampuan untuk membersihkan bakteri, mungkin diberikan antibiotik

profilaktik. Steroid profilaktik dan pemberian protein tetap menjadi

suatu hal yang kontroversial. Pneumonia dan gangguan ARDS adalah

komplikasi yang umum.

d. Cidera Trakeobronkial

Cedera pada trakea atau bronki dapat disebabkan oleh trauma tumpul

atau penetrasi dan seringkali disertai dengan kerusakan pada esofagus

dan vaskuler. Ruptur bronki sering terjadi berkaitan dengan fraktur iga

bagian atas atau pneumotoraks. Cedera trakeobronkial yang parah

mempunyai angka kematian yang tinggi, bagaimana pun dengan

12
bertambah baiknya perawatan dan transportasi prarumah sakit akhir-

akhir ini, maka makin banyak pasien ini yang bertahan hidup. Cidera

jalan udara seringkali tidak tersamar. Tanda-tandanya termasuk dispnea

(adakalanya satu-satunya tanda), hemoptasis, batuk, dan emfisema

subkutan. Berdasarkan sinar-x dada dapat memberikan tanda pada

dokter terhadap kemungkinan adanya cedera, bagaimanapun biasanya

diagnosa dibuat dengan bronkoskopi atau selama operasi. Perbaikan

operasi dengan ventilasi mekanis pascaoperasi melalui selang

endotrakeal atau trakeostomi akan diperlukan.

Asuhan keperawatan melibatkan pengkajian terhadap oksigenasi dan

pertukaran gas, disertai dengan perawatan pulmonal yang tepat. Selama

beberapa hari pertama, dokter akan melakukan bronkoskopi untuk

melihat tempat yang diperbaiki serta untuk memberikan suction yang

lebih efektif. Pneumonia adalah komplikasi jangka pendek, sedangkan

stenosis trakeal dapat terjadi kemudian.

4. Cedera pada Jantung

a. Kontusio Miokard

Memar pada miokardium kebanyakan disebabkan oleh benturan dada

pada batang stir atau dashboard selama KKB. Perlambatan cepat

mengakibatkan jantung yang berdenyut akan menbentur dinding dada

anterior. Ventrikel kanan, karena letaknya di sebelah anterior, adalah

yang paling sering terkena. Kontusio juga dapat terjadi apabila jantung

terdesak diantara sternum dan tulang belakang. Gejala-gejala kontusio

13
jarang bervariasi dari tidak ada gejala (umum) sampai pada gagal

jantung kongestif yang berat dan syok kardiogenik. Setelah trauma,

keluhan-keluhan tentang nyeri dada harus di evaluasi dengan cermat.

Perubahan-perubahan ECG nonspesifik sering terlihat dan dapat

mencakup setiap tipe disritmia. Takikardia sinus, kontraksi atrial

ventrikular prematur, takikardia supraventrikular paroksimal, blok

berkas his kanan, atau perubahan-perubahan gelombang ST dan T

adalah hal yang paling umum. Secara histologi, kontusio jantung mirip

dengan infark miokardial. Diagnosa bisa sulit ditegakkan. Untuk

menegakkannya dilakukan serangkaiaan pemeriksaan EKG dan

serangkaian pengukuran kreatin kinase isoenzim miokardial, namun

pemeriksaan ini tidak 100% sensitif. Ada dokter yang menginstruksi

pemeriksan ekokardiogram dua dimensi untuk memeriksa komplikasi-

komplikasi dan tingkat cedera manakala kontusio sudah dipastikan

terjadi.

Pemantauan dengan ketat diperlukan sampai kontusio miokardial telah

disingkirkan. Yang lebih umum dari kontusio miokardial yang sudah

dipastikan adalah cedera tipe “konkusio” (gegar) yang dapat pilih.

Tanda-tanda dan gejala-gejala yang bersifat temporer akan terlihat

tanpa adanya perubahan dalam isoenzim. Selama diagnosanya belum

jelas, oksigenasi, hemodinamik, dan toleransi aktivitas harus diamati

dengan cermat. Jika timbul takikardia, maka penyebab-penyebab

alternatif seperti nyeri, penipisan volume herus menjadi pertimbangan.

14
Manakala kontusio sudah dipastikan, maka tindakan yang dilakukan

serupa dengan untuk infark miokardial akut.

b. Cedera Penetrasi jantung

Cedera penetrasi pada jantung mengakibatkan kematian korban

prarumah sakit sekitar 60% sampai 90% dari kasus. Pada 10% sisanya,

hemoragi dan syok adalah yang umum terlihat. Luka tikam kecil yang

mengenai ventrikel ada kalanya menutup sendiri karena tebalnya

muskulatur ventrikular. Pada kondisi dimana terjadi hemoragi terus

menerus, volume yang hilang harus diganti, dan operasi perbaikan

diperlukan. Pada kasus-kasus parah, torakotomi departemen gawat

darurat mungkin harus dilakukan sebagai tindakan untuk

menyelamatkan jiwa.

Setelah operasi perbaikan, kateter arteri pulmonal dn selang arterial

dipasang untuk memudahkan pemantauan hemodinamik dengan cermat.

Vasopresor atau agen-agen inotropik mungkin diperlukan untuk

mempertahankan tekanan darah dan curah jantung yang adekuat.

Keseimbangan cairan dan elektrolit, sejalan dengan irama jantung,

harus dipantau dengan seksama. Bunyi jantung harus dikaji terhadap

murmur, yang menandakan kelainan katup atau septum, dan sebagai

tanda-tanda gagal jantung kongestif. Drainase selang dada dan

mediastinal harus sering dicatat. Berikan plasma beku segar dan

platelet, sesuai instruksi, untuk memperbaiki koagulopati. Komplikasi

termasuk hemoragi berlanjut dan sindrom poskardiotomi.

15
5. Trauma Abdomen

Rongga abdomen memuat baik organ yang padat maupun yang

berongga. Trauma tumpul kemungkinan besar menyebabkan kerusakan

yang serius organ-organ padat dan trauma penetrasi sebagian besar

melukai organ-organ berongga. Kompresi dan perlambatan dari trauma

tumpul menyebabkan fraktur pada kapsula dan parenkim organ padat,

sementara organ berongga dapat kolaps dan menyerap energi benturan.

Bagaimana pun usus yang menempati sebagian besar rongga abdomen,

rentan untuk mengalami oleh trauma penetrasi. Secara umum, organ-organ

padat berespons terhadap trauma dengan perdarahan. Organ-organ

berongga pecah dan mengeluarkan isinya dan ke dalam rongga peritoneal,

menyebabkan peradangan dan infeksi.

Diagnosis dini adalah penting pada trauma abdomen. Pasien yang

memperlihatkan adanya cedera abdomen penetrasi fasia dalam peritoneal,

ketidakstabilan hemodinamik, atau tanda-tanda dan gejala-gejala abdomen

akut dilakukan eksplorasi dengan pembedahan. Pada kebanyakan kasus

trauma abdomen lainnya, dilakukan lavase peritoneal diagnostic (LPD).

LPD yang positif juga mengharuskan dilakukan eksplorasi pembedahan.

Baik LPD ataupun CT scan adalah 100% diagnostic, sehingga

pasien-pasien trauma dengan hasil negative harus diobservasi. Dilakukan

serangkaian pengukuran tingkat hematokrit dan amylase. Pengobatan nyeri

mungkin ditunda sehingga tidak mengaburkan tanda-tanda dan gejala-

gejala yang potensial. Masukan per oral juga ditunda untuk berjaga-jaga

16
jika dilakukan pembedahan. Pasien dikaji untuk mendapatkan tanda-tanda

abdomen akut, seperti distensi, rigiditas, guarding, dan nyeri lepas.

Eksplorasi pembedahan menjadi perlu dengan adanya awitan setiap tanda-

tanda dan gejala-gejala yang mengindikasikan cedera. Penggunaan CT

abdomen telah memperoleh popularitas dan sering digunakan atau sebagai

tambahan pada LPD. Cedera retroperitoneal, seringkali terlewatkan

dengan LPD dan bahkan dengan pembedahan eksplorasi, sering dapat

diidentifikasi dengan CT scan. Namun CT scan tidak dapat terlalu

diandalkan dalam mendeteksi cedera pada organ-organ berongga.

a. Cedera pada lambung dan usus halus

Cedera lambung yang signifikan jarang ditemui, namun usus halus

lebih umum mengalami cedera. Meskipun sering mengalami kerusakan

oleh trauma penetrasi, trauma tumpul juga dapat menyebabkan usus

halus memar. Konvolusi multiple adakalanya membentuk loop tertutup

yang dapat menjadi sasaran pecah karena meningkatnya tekanan dari

benturan dengan kemudi atau sabuk pengaman. Mobilitas usus di

sekitar titik tetap (seperti ligamentum treitz) mencetuskan terjadinya

cedera dengan adanya perlambatan.

Cedera tumpul usus halus atau lambung dapat terlihat dengan adanya

darah pada aspirasi nasogastrik atau hematemesis. Namun sering tidak

terdapat tanda-tanda fisik dan diagnosis tidak dapat ditegakkan sampai

timbul peritonitis. Cedera penetrasi biasanya menyebabkan LPD positif.

Meskipun kontusio usus ringan dapat diatasi secara konservatif

17
(dekompresi lambung dan menunda masukan per oral), pembedahan

biasanya diperlukan untuk memperbaiki luka-luka penetrasi.

Dekompresi pasca operasi, baik dengan selang nasogastrik atau selang

lambung, dipertahankan sampai fungsi usus pulih. Pada kebanyakan

kasus selang makan, jejunustomi dipasang sebelah distal dari tempat

yang diperbaiki. Selang pemberi makan dapat dipasangkan segera pasca

operasi. Dengan ditingkatkannya konsentrasi dan frekuensi pemberian

makan secara bertahap, maka pengkajian secara berkala terhadap tanda-

tanda intolerans (distensi, muntah) adalah penting. Karena lambung dan

usus halus mengandung jumlah bakteri yang signifikan, maka resiko

terhadap sepsis adalah kecil, namun pemberian antibiotic profilaktik

dapat dilakukan kapan saja terjadi perforasi usus. Pada sisi lain, getah

asam lambung mengiritasi peritoneum dan dapat menyebabkan

peritonitis. Potensial komplikasi lainnya termasuk perdarahan pasca

operasi, hipovolemia karena “spasium ketiga”, serta timbulnya fistula

atau obstruksi. Beberapa dari keadaan ini mengharuskan adanya

tindakan pembedahan tambahan. Sindrom malabsorpsi jarang terjadi

kecuali jika lebih dari 200 cm usus telah diangkat.

b. Cedera pada duodenum dan pancreas

Pancreas dan duodenum akan dibahas bersama-sama karena keduanya

adalah organ-organ retroperitoneal dan secara anatomi dan fisiologi

mempunyai hubungan yang dekat. Diperlukan kekuatan yang besar

untuk mencerai organ-organ ini, karena organ-organ ini terlindung

18
dengan baik, jauh di dalam abdomen. Cedera pada organ yang

berdekatan hampir selalu ada. Letak retroperitoneal membuat cedera ini

sulit untuk didiagnosa karena LPD sering negative, oleh karena itu CT

scan abdomen sangat penting untuk keadaan ini. Tanda-tanda dan

gejala-gejala dapat mencakup abdomen akut, peningkatan kadar

amylase serum, nyeri epigastrik yang menjalar ke punggung, mual, dan

muntah.

Laserasi minor atau kontusio hanya akan memerlukan pemasangan

drain, sedangkan luka-luka besar memerlukan perbaikan pembedahan.

Kebanyakan cedera pankreatik akan membutuhkan drain pasca operasi

untuk menghindari pembentukan fistula. Pankreatektomi distal atau

anstomosis Roux-en-Y adalah dua prosedur yang umum dilakukan pada

cedera tubuh dan bagian ekor pancreas. Adakalanya limpa juga harus

diangkat karena banyaknya perlekatan vascular. Kerusakan pada kaput

pancreas berkaitan dengan cedera duodenal dan hemoragi hebat karena

kedekatan dari struktur vascular. Prosedur pembedahan yang dilakukan

pada kasus-kasus ini termasuk pankreotikoduodenektomi, anastomosis

ROUX-en-Y, dan pada keadaan yang langka dilakukan pankreatektomi

total.

Pengkajian dan asuhan keperawatan pasca operasi adalah sama untuk

berbagai prosedur. Patensi drain harus dipertahankan dan pasien

dipantau terhadap timbulnya fistula. Perlindungan terhadap kulit adalah

penting jika fistula sudah terbentuk, karena tingginya kandungan enzim

19
dari getah pankreatin. Pengkajian keseimbangan cairan dan elektrolit

adalah penting karena fistula pankreatik mengakibatkan kehilangan

cairan juga kalium dan bikarbonat. Stimulasi pancreas dapat dikurangi

dengan pemberian hiteralimentasi parental atau pemberian makanan

jejuna daripada diet oral. Awitan diabetes mellitus jarang terjadi kecuali

jika dilakukan pankreatektomi total. Komplikasi lainnya termasuk

perdarahan dari fistula yang mengikis ke dalam pembuluh, peritonitis,

sepsis intra abdominal atau sistemik, pancreatitis, dan obstruksi usus

mekanis.

Cedera pada duodenum sendiri dapat disembuhkan dengan anastomosis

primer atau Billroth II. Selang duodenostomi mungkin dipasang untuk

dekompresi dan selang jejunustomi untuk pemberian makanan. Trauma

tumpul pada duodenum juga dapat menyebabkan hematoma intramural,

yang dapat mengarah pada obstruksi duodenal. Diagnosis ditegakkan

dengan pemeriksaan diatrizoate (Gastrografin) gastrointestinal atas.

Obstruksi menyeluruh umumnya memerlukan drainase pembedahan

dari hematoma.

c. Cedera pada kolon

Cedera pada kolon biasanya berkaitan dengan trauma penetrasi. Sifat

dari cedera paling sering menuntut segera dilakukannya operasi

eksplorasi. Perbaikan primer adalah tindakan pilihan untuk laserasi

kolon. Pada beberapa keadaan, perlu dilakukan perbaikan eksterior atau

kolostomi. Selang sekostomi bisa dipasang untuk dekompresi. Jaringan

20
subkutan dan kulit pada tempat insisi mungkin dibiarkan terbuka untuk

mengurangi kemungkinan terjadinya infeksi luka. Kolon mempunyai

jumlah bakteri yang tinggi, tumpahnya isi kolon dapat mencetuskan

terjadinya sepsis intra abdominal dan pembentukan abses.

Asuhan keperawatan pasca operasi difokuskan pada pencegahan

infeksi. Penggantian balutan penting untuk insisi terbuka dan biasanya

diberikan antibiotic profilaktik. Pada kasus perbaikan kolon eksterior

dan dilakukan anastomosis ujung ke ujung eksterior untuk

memudahkan identifikasi kebocoran. Kolon eksterior harus dijaga agar

tetap lembab dan ditutup dengan balutan yang tidak melekat atau

kantung untuk melindungi integritas jahitan. Karena sepsis adalah

komplikasi utama pada cedera kolon, mungkin diperlukan serangkaian

prosedur radiografi dan pembedahan untuk menemukan dan

mengalirkan abses.

d. Cedera pada hepar

Setelah limpa, hepar adalah organ abdomen yang paling umum

mengalami cedera. Baik trauma tumpul maupun trauma penetrasi dapat

menyebabkan cedera. Pasien dalam persentase yang kecil dapat

ditangani non operasi dengan serangkaian CT scan. Pada banyak kasus,

baik sifat dari cedera atau LPD positif atau CT scan digabung dengan

kondisi klinis pasien akan menuntut dilakukannya pembedahan.

Trauma hepatic dapat menyebabkan kehilangan banyak darah ke dalam

peritoneum, namun perdarahan dapat berhenti secara spontan. Laserasi

21
kecil dperbaiki, sedangkan cedera lebih besar dapat memerlukan reseksi

segmental atau debridement. Pada kasus hemoragi tak terkontrol, hepar

dibungkus. Setelah dibungkus, abdomen ditutup atau hanya ditutup

dengan penutup (mesh). Prosedur pembedahan tambahan diperlukan

dalam beberapa hari kemudian untuk mengangkat pembungkus dan

memperbaiki laserasi. Cedera besar pada hepar juga memerlukan

drainase empedu dan darah pasca operasi melalui drain (Penrose,

Davol, atau Jackso-Pratt).

Setelah pembedahan, mungkin timbul syok hipovolemik dan

koagulapati. Hemostatis inkomplit juga mungkin terjadi dan harus

dibedakan dari perdarahan akibat koagulopati. Perdarahan hebat karena

hemostatis inkomplit mengharuskan kembali ke ruang operasi untuk

pengangkatan bekuan, pembungkusan, dan perbaikan tambahan.

Dengan koagulopati, perdarahan timbul dari berbagai tempat,

sedangkan dengan hemostatis inkomplit perdarahan terutama berasal

dari tempat pembedahan. Asuhan keperawatan termasuk penggantian

produk darah sambil memantau hematokrit dan pemeriksaan koagulasi.

Pengkajian tipe dan jumlah selang drainase disertai keseimbangan

cairan, juga adalah penting. Potensial komplikasi dari cedera hepar

termasuk abses hepatic atau perihepatik, obstruksi atau kebocoran

saluran empedu, sepsis, ARDS, dan KID.

e. Cedera pada limpa

22
Limpa adalah organ abdomen yang paling umum mengalami cedera,

lebih sering sebagai akibat trauma tumpul. Adanya fraktur iga kiri

bawah dapat meningkatkan kecurigaan terhadap cedera limpa. Tanda-

tanda dan gejala-gejala yang ditunjukkan termasuk dukungan nutrisi

parenteral. Diberikan transfuse darah berulang, namun hematokrit dan

tekanan darah sistolik tetap rendah (Ht = 20-25%, TDS = 90 mmHg).

Perdarahan internal berkelanjutan mengharuskan pasien kembali ke

ruang operasi untuk tindakan debridement dan pembungkusan ulang

hepar. Sampai hari berikutnya, perdarahan berhasil diatasi.

Pembungkus lalu dilepaskan, laserasi liver dapat diperbaiki dan

dipasang selang drain.

Pada hari berikutnya, timbul tanda-tanda dan gejala-gejala sepsis pada

pasien, termasuk kenaikan suhu dan jumlah sel darah putih, takikardia,

takipnea, peningkatan curah jantung, penurunan tahanan vascular

sistemik, dan penurunan tingkat kesadaran. Biakan diperoleh dan

pemberian antibiotic dimulai. Kemudian berkembang ARDS dan GGA,

meningkatkan kebutuhan dukungan ventilator dan hemodialisis.

Asuhan keperawatan intensif perlu untuk mengatasi gangguan yang ada

dan mencegah komplikasi lebih lanjut. Dukungan psikososial bagi

pasien dan keluarganya juga diberikan. Setelah prosedur pembedahan

ketiga untuk debridement jaringan nekrotik dan mengalirkan abses

perihepatik, akhirnya pasien mulai membaik. Beberapa minggu

kemudian, dukungan dialysis dan ventilator dihentikan. Dua bulan

23
setelah masuk rumah sakit, pasien keluar dari unit rawat intensif, dan

tiga minggu kemudian diperbolehkan pulang.

6. Trauma Pelvik

a. Cedera pada Kandung Kemih

Kandung kemih dapat mengalami laserasi atau pecah, paling sering

sebagai konsekuensi trauma tumpul. Cedera pada kangdung kemih

sering kali berhubungan dengan fraktur pelvik.adanya hematuria ( nyata

atau mikroskopik ), nyeri abdomen bawah, atau tidak mampuan

berkemih memerlukan pemeriksaan terhadap cidera uretra dengan

uretrogram retrograd sebelum pemasangan kateter urine. Cidera pada

kandung kemih dapat mennyebabkan ekstravasasi urine intraperitonial

atau ekstraperitoneal. Ekstravasi ekstraperitoneal sering dapat ditangani

dengan drainase kateter urine . ektravasi intraperitoneal, bagaimanapun

memerlukan pembedahan. Mungkin dipasang selang sistostomi

suprapubik . komplikasi jarang tejadi infeksi karena kateter urine atau

sepsis akibat ekstra vasasi urine.

b. Fraktur Pelvik

Fraktur pelvik yang kompleks berkaitan dengan mortalitas yang tinggi.

Hemoragi sekunder adalah penyebab yang paing sering dari kematian

dini, sedangkan sepsis menyebabkan penundaan mortalitas. Radiografi

dan scan CT dapat memastikan adanya dan menentukan tingkat fraktur

pelvik. Fraktur pelvik sering sering menyebabkan laserasi pembuluh –

pembuluh kecil yang mengeluarkan darah ke dalam jaringan lunak pada

24
rongga retroperineal. Areal ini meluas dari difragma sampai ke

pertengahan paha dan akan menampung beberapa liter darah sebelum

terjadi tamponade. Angiogram sering kali diperlukan untuk menemukan

letak dan menyumbat sumber darah.

Kontrol terhadap hemoragi merupakan pokok permasalahan primer.

PASG mungkin dipasang pada fase prarumah sakit atau di unit gawat

intensif. PASG dapat membantu membelat pelvis dan tamponade

hemoragi, karena PASG menurunkan volume tidal, maka ada

kemungkinan dibutuhkan bantuan ventilator mekanik. Fiksasi internal

atau eksternal adalah lebih efektif dalam menstabilkan fraktur juga

dalam mengontrol perdarahan. selain itu, fiksasi dini mengurangi nyeri

dan membantu ambulasi lebih dini. Pembedahan untuk mengontrol

hemoragi mungkin juga diperlukan .

Perhatian utama dari perawat unit perawatan kritis adalah untuk

mencegah syok hemoragi. Tranfusi multiple dan pemantauan

hemodinamik diperlukan dalam kasus hemoragi yang signifikan.

Hematoma pelvik dapat menjadi sumberdari sepsis dan dapat

memerlukan drainase perkuata atau pembedahan. Komplikasi utama

lain dari fraktur pelvik termasuk keterlibatan saraf pelvik dan emboli

pulmonal. Penting untuk dilakukan terapi fisik yang berkepanjangan

dan rehabilitasi yang sering.

7. Trauma pada Ekstremitas

a. Fraktur

25
Fraktur sering terjadi pada trauma tumpul, kurang jarang pada trauma

penetrasi. Manakalah radiografi sudah memastikan adanya fraktur,

maka harus dilakukan stabilitas atau perbaikan fraktur. Karena prosedur

ortopedik akan memakan banyak waktu,sehingga cidera lain yang

mengancam jiwa harus terlebih dahulu di atasi, dan operasi perbaikan

dapat di tunda sampai masalah itu teratasi. Fiksasi internal fraktur

sering memungkinkan ambulasi dini pada pasien dengan cidera

multiple yang mungkin akan mengalami komplikasi akibat tirah baring

berkepanjangan ( ulkus dekubitus, emboli pulmonal, penyusutan otot).

Penatalaksanaan fraktur juga dapat dikerjakan dengan fiksasi eksternal

atau traksi skeletal . fraktur terbuka akan memerlukan debridemen

dengan pembedahan. Tanggung jawab keperawatan termasuk

pengkajian neurovaskular, sejalan dengan perawatan lika dan pin.

Fraktur terbuka mempunyai resiko tinggi terhadap infeksi. Potensial

komplikasi lainnya adalah emboli lemak dari fraktur tulang panjang dan

sindom kompartemen. Asuhan keperawatan harus di arahkan terhadap

pencegahan dan deteksi dini tentang masalah – masalah ini. Perawat

juga harus bekerja sama dengan terapis fisik untuk meningkatkan

kekuatan dan mobilisasi dini.

b. Dislokasi

Dislokasi menimbulkan rasa nyeri yang sangat hebat. Dislokasi mudah

dikenali karena adanya perubahan dari anatomi yang normal. Dislokasi

sendi umumnya tidak mengancam jiwa, tapi memerlukan tindakan

26
darurat karena apabila tidak dilakukan tindakan secepatnya, akan

menyebabkan gangguan pada daerah distal yang mengalami dislokasi.

Sangat sulit diketahui apakah fraktur disertai dengan dilokasi atau tidak,

maka sangat penting untuk mengetahui denyut nadi, gerakan dan

gangguan persyarafan distal dari dislokasi. Kebanyakan tindakan yang

baik untuk klien adalah menyangga dan meluruskan ekstremitas ke

posisi yang lebih menyenangkan untuk klien dan membawanya ke

pelayanan kesehatan yang terdapat fasilitas ortopedi yang baik.

8. Cedera vaskular

Cedera vaskular seringkali mengakibatkan perdarahan atau

trombosis pembuluh. Cedera vaskular biasanya disebabkan oleh trauma

penetrasi, dan kurang sering karena fraktur. Ultrasonografi doppler seing

digunakan untuk mendiagnosa cedera vaskular perifer. Angiogram juga

dapat digunakan untuk menetukan tempat cedera dan mengidentifikasi

fistula arteriovenosa, psudoaneurisme, dan penutupan intima. Dilakukan

perbaikan pembedahan primer atau tandur vaskular. Segera setelah periode

pascaoperasi, terdapat resiko perdarahan berlanjut atau oklusi trombotik

dari pembuluh keduannya mengharuskan kembali kekamar operasi.

Perawat harus mengkaji nadi distal, warna kulit, sensasi gerakan , dan suhu

ekstrimitas yang cedera. Indeks ankel – brakial (ABI) serinkali berguna

dalam mendeteksi perkembangan oklusi setelah trauma ekstrimitas bawah.

Untuk meghitung nilai ABI, tekanan darah sistolik pada pergelangan kaki

di bagi dengan tekanan darah sistolik lengan . penurunan ABI

27
menunjukkan peningkatan gradien tekanan yang menembus pembuluh.

Metoda ini memberikan data yang lebih objektif ketimbang hanya meraba

nadi. Perawat juga harus memperhatikan perkembangan sindrom

kompartemen.

D. Pathway

28
E. Manifestasi Klinis

1. Laserasi, memar,ekimosis

2. Hipotensi

3. Tidak adanya bising usus

4. Hemoperitoneum

5. Mual dan muntah

6. Adanya tanda “Bruit” (bunyi abnormal pd auskultasi pembuluh darah,

biasanya pada arteri karotis)

7. Nyeri

8. Pendarahan

9. Penurunan kesadaran

10. Sesak

11. Tanda Kehrs adalah nyeri di sebelah kiri yang disebabkan oleh

perdarahan limfa. Tanda ini ada saat pasien dalam posisi recumbent.

12. Tanda Cullen adalah ekimosis periumbulikal pada perdarahan peritoneal

13. Tanda Grey-Turner adalah ekimosis pada sisi tubuh ( pinggang ) pada

perdarahan retroperitoneal

14. Tanda Coopernail adalah ekimosis pada perineum,skrotum atau labia

pada fraktur pelvis

15. Tanda Balance adalah daerah suara tumpul yang menetap pada kuadran

kiri atas ketika dilakukan perkusi pada hematoma limfe

29
F. Komplikasi

1. Penyebab kematian dini ( dalam 72 jam )

b. Hemoragi dan cedera kepala

Hemoragi dan cedera kepala adalah penyebab utama kematian dini

setelah trauma multiple. Untuk mencegah kehabisan darah, maka

perdarahan harus dikendalikan. Ini dapat diselesaikan dengan operasi

ligasi ( pengikatan ) dan pembungkusan, dan embolisasi dengan

angiografi. Hemoragi berkelanjutan memerlukan tranfusi multiple,

sehingga meningkatkan kecenderungan terjadinya ARDS dan DIC.

Hemoragi berkepanjangan mengarah pada syok hipovolemik dan

akhirnya terjadi penurunan perfusi organ.

Mekanisme yang mengarah pada penurunan perfusi jaringan :

1) Faktor penyebab ( seperti , penurunan volume, pelepasan toksin )

2) Penurunan isi secukup

3) Penurunan curah jantung

4) Penurunan perfusi jaringan yang tidak sama

5) Berbagai organ memberikan respon yang berbeda terhadap

6) penurunan perfusi yang disebabkan oleh syok hipovolemik.

2. Penyebab Lambat Kematian ( Setelah 3 Hari ) :

a. Sepsis

Sepsis adalah komplikasi yang sering terjadi pada trauma multiple.

Pelepasan toksin menyebabkan dilatasi pembuluh, yang mengarah pada

penggumpalan venosa yang mengakibatkan penurunan arus balik vena.

30
Pada mulannya, curah jantung mengikat untuk mengimbangi penurunan

tekanan vaskular sistemik. Akhirnya, mekanisme kompensasi

terlampaui dan curah jantung menurun sejalan dengan tekanan darah

dan perfusi.

Sumber infektif harus ditemukan dan di basmi. Diberikan antibiotik,

dilakukan pemeriksaan kultur, mulai dilakukan pemeriksaan

radiologok, operasi eksplorasi sering dilakukan. Abses intra abdomen

merupakan penyebab sepsis paling sering . Sebagaian abses dapat

keluarkan perkuatan, sedangkan yang lainnya memerlukan

pembedahan. Setelah pembedahan drainase abses abdomen, insisi di

biarkan terbuka, dengan drainase terpasang, untuk memungkinkan

penyembuhan dan menghindari kekambuhan .sumber – sumber infeksi

lainnya yang perlu diperhatikan adalah selang invasif, saluran kemih,

dan paru – paru. Di perkirakan bahwa pemberian nutrisi yang dini dapat

menurunkan perkembangan sepsis dan gagal organ multipel.

BAB III

TINJAUAN KASUS

A. Pengkajian

Pada tanggal 26 Maret 2019 jam 06:00 WIB seorang wanita bernama Ny.Z

berusia 22 tahun ingin berangkat kuliah menggunakan sepeda motor, lalu

Ny.Z mengalami kecelakaan dijalan bertabrakan dengan mobil, pada kejadian

itu Ny.Z tidak sadarkan diri dan dilarikan ke IGD RSUD Balaraja dengan

31
dibantu oleh warga sekitar. Jam 08:00 WIB Ny.Z sampai di IGD RSUD

Balaraja dengan kondisi sudah sadar kan diri, dengan hasil :

a. Primary Survey : Circulation : Nadi 89x/menit, tekanan darah

91/73mmHg, respirasi 27x/menit, akral dingin, wajah pucat, crt >3 detik,

terdapat pendarahan di tangan kanan, dan terdapat fraktur pada kaki kiri

dan kanan. Airway : tidak ada sumbatan jalan nafas. Briting : Respirasi

27x/menit, pergerakan dingding dada simetris, tidak ada jejas pada

daerah dada. Disabilty : GCS 9 dan saat dikaji ulang terdapat luka pada

daerah bibir dan fraktur femur kiri dan kanan.

b. Secondary Survey : keluhan utama : nyeri dan sesak nafas, riwayat

penyakit sekarang klien merasakan nyeri yang disebabkan oleh adanya

pendarahan pada tangan kanan dan fraktur di ekstremitas bawah kiri dan

kanan, rasanya seperti tertusuk, skala nyeri 6, rasanya hilang timbul.

c. Data fokus

Data subjektif : Klien mengatakan nyeri pada tangan kanan, kaki kiri dan

kanan, rasa nyeri seperti ditusuk dan rasanya hilang timbul, klien

mengatakan sesak nafas

Data objektif : Tekanan darah 91/73mmHg, nadi 89x/menit, respirasi

27x/menit, GCS 9, skala nyeri 6, akral dingin, wajah pucat, crt >3 detik,

terdapat pendarahan di tangan kanan, dan terdapat fraktur pada kaki kiri

dan kanan

B. Analisa Data

Data Fokus Interprestasi Data Masalah

32
Ds : klien mengaatakan Trauma Nyeri

nyeri pada bagian tangan

kanan, kaki kiri dan

kanan

Do : Cedera jaringan otak

Tekanan darah 91/73

mmHg, nadi 89x/menit,

respirasi 27x/menit,

skala nyeri 6, klien Respon peradangan

tampak meringis

Tegangan darurat dan

pembuluh darah

nyeri

33
Ds : klien mengatakan Trauma abdomen Ketidakseimbangan

lemas volume cairan

Do : tampak adanya

perdarahan terbuka

ditangan, mukosa bibir Penurunan perfusi pada

kering, akral dingin ginjal

CRT >3detik

TD: 91/73

N:89x/menit

jumlah urin menurun

retensi cairan meningkat

resiko

ketidakseimbangan

volume cairan

C. Masalah Keperawatan

1. Nyeri berhubungan dengan adanya trauma

34
2. Resiko ketidakseimbangan volume cairan berhubungan dengan retensi

cairan meningkat

D. Perencanaan, Pelaksanaan dan Evaluasi

Diagnosa Tujuan Intervensi Implementasi Evaluasi

keperawatan
Nyeri Setelah dilakukan a. Kaji skala a. Mengkaji skala S : klien

tindakan nyeri nyeri. Dengan mengatakan

keperawatan b. Lakukan hasil : skala nyeri seperti

diharapkan nyeri relaksasi nafas nyeri 6 tertusuk pada

dapat berkurang. dalam b. Melakukan daerah kaki

Dengan kriteria c. Lakukan relaksasi nafas dan tangan

hasil : pembidaian dalam

a. Skala nyeri 1-10 d. Kalaborasi c. Melakukan O : skala nyeri

(0) pemberian pembidaian 6

b. Tidak ada tanda- analgetik pada tangan

tanda infeksi kanan, kaki kiri A : masalah

dan kanan belum teratasi

d. Kalaborasi

pemberian P : intervensi

analgetik dilanjutkan

- Kalaborasi

pemberian

analgetik

35
Resiko Setelah dilakukan a. Monitor status a. Memonitor S : klien

Ketidakseimbanga tindakan hidrasi status hidrasi, mengatakan

n volume cairan keperawatan (kelembapan Hasil: lemas dan

diharapkan volume mukosa,nadi membran haus

cairan sesuai adekuat,tekana mukosa masih

dengan kebutuhan n darah kering,nadi O : mukosa

tubuh dengan normal) cepat,tekanan bibir kering,

kriteria hasil: b. Monitor cairan darah menurun akral dingin,

a. intake output b. Memonitor nadi

Mempertahankan c. Pemasangan cairan intake 93x/menit,

urine output sesuai cairan IV output tekanan darah

dengan usia dan d. Kolaborasikan c. Pemasangan 91/73mmHg

BB dengan dokter cairan IV

b. Tanda-tanda pemasangan d. Kolaborasikan A : masalah

vital dalam batas transfusi darah dengan dokter belum teratasi

normal pemasangan

c. Tidak ada tanda- transfusi P : Intervensi

tanda darah. Hasil: dilanjutkan

dehidrasi,elastisitas terpasang - Pertahankan

turgor kulit transfusi darah cairan

baik,membran 2 - Monitor

mukosa lembab tanda

hidrasi

36
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kecelakaan adalah serangkaian peristiwa dari kejadian-kejadian yang

tidak terduga sebelumnya, dan selalu mengakibatkan kerusakan pada benda,

luka, atau kematian. Secara umum ada tiga faktor utama penyebab

kecelakaan; Faktor Pengemudi (Road User), Faktor Kendaraan (Vehicle),

Faktor Lingkungan Jalan (Road Environment). Kecelakaan yang terjadi pada

umumnya tidak hanya disebabkan oleh satu faktor saja, melainkan hasil

interaksi antar faktor lain. Tindakan kedaruratan yang dapat dilakukan ketika

terjadi kecelakaan yaitu melakukan pengecekan ABC (Airway, Breathing,

Circulation). Selain melakukan ABC hal penting lainnya yaitu mengevakuasi

korban ke rumah sakit terdekat untuk dilakukan tindakan lebih lanjut.

mengalami kecelakaan lalu lintas.

B. Saran

Dengan mempelajari materi ini mahasiswa keperawatan yang nantinya

menjadi seorang perawat professional agar dapat lebih terampil ketika

menemukan pasien yang mengalami kecelakaan dan dapat melakukan

pertolongan segera. Mahasiswa dapat melakukan tindakan-tindakan

emergency untuk melakukan pertolongan segera kepada pasien yang

mengalami kecelakaan lalu lintas.

37

Anda mungkin juga menyukai