Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Masalah Keperawatan

1. Konsep Appendisitis

a. Pengertian Appendiksitis

Apendisitis adalah peradangan dari apendiks dan merupakan

penyebab abdomen akut yang paling sering (Mansjoer,2001). Apendiks

merupakan suatu tambahan seperti kantung yang tak berfungsi terletak

pada bagian inferior dari sekum. Penyebab yang paling umum dari

Apendisitis adalah abstruksi lumen oleh feses yang akhirnya merusak

suplai aliran darah dan mengikis mukosa menyebabkan inflamasi

(Wilson dan Goldman,1989).

Apendisitis merupakan penyakit prototip yang berlanjut melalui

peradangan, obstruksi dan iskemia dalam jangka waktu bervariasi

(Sabiston, 1995). Apendisitis akut adalah penyebab paling umum

inflamasi akut pada kuadran bawah kanan rongga abdomen, penyebab

paling umum untuk bedah abdomen darurat (Smeltzer, 2001). Infeksi

pada apendiks terjadi karena tersumbatnya lumen oleh fekalit (batu

feses), hiperplasi jaringan limfoid, dan cacing usus. Apendisitis

merupakan peradangan pada apendiks yang berbahaya dan jika tidak

ditangani dengan segera akan terjadi infeksi berat yang bisa

menyebabkan pecahnya lumen usus. (Williams dan Wilkins dalam Indri

dkk, 2014).
b. Etiologi Apendiksitis

Apendiksitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Berbagai hal

berperan sebagai faktor pencetusnya, diantaranya adalah obstruksiyang

terjadi pada lumen apendiks. Obstruksi ini biasanya disebabkan karena

adanya timbunan tinja yang keras (fekalit), hiperplasia jaringan limfoid,

tumor apendiks, striktur, benda asing dalam tubuh dan cacing askaris.

Penelitian epidemiologi menunjukkan peranan kebiasaan

mengkonsumsi makan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap

timbulnya penyakit apendisitis.

c. Klasifikasi Apendiksitis

1) Appendiksitis Akut

Peradangan pada apendiks dengan gejala khas yang memberikan

tanda setempat. Gejala Apendisitis akut antara lain nyeri samar dan

tumpul yang merupakan nyeri visceral di daerah epigastrium di

sekitar umbilicus. Keluhan ini disertai rasa mual, muntah dan

penurunan nafsu makan. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah

ke titik McBurney. Pada titik ini, nyeri yang dirasakan lebih tajam

dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat

(Hidayat, 2005).

2) Appendiksitis Kronis

Diagnosis Apendiksitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan

tiga hal yaitu pertama pasien memiliki riwayat nyeri pada kuadran

kanan bawah abdomen selama paling sedikit tiga minggu tanpa


alternatif diagnosis lain. Kedua setelah dilakukan apendiktomi,

gejala yang dialami pasien akan hilang. Ketiga, secara histopatologik

gejala dibuktikan sebagai akibat dari inflamasi kronis yang aktif atau

fibrosis pada apendiks. (Santacroce dan Craig, 2006).

d. Gejala Klinis

Gejala berkembang cepat, kondisi dapat didiagnosis dalam 4 sampai

6 jam setelah munculnya gejala pertama.

1) Nyeri perut. Beberapa tanda nyeri yang terjadi pada kasus

apendiksitis dapat diketahui melalui beberapa tanda nyeri antara lain

Rovsing's sign, Psoas sign, dan Jump Sign. Nyeri perut ini sering

disertai mual serta satu atau lebih episode muntah dengan rasa sakit.

2) Umnya nafsu makan akan menurun.

3) Konstipasi.

4) Nilai leukosit biasanya meningkat dari rentang nilai normal.

5) Pada auskultasi, bising usus normal atau meningkat pada awal

apendiksitis dan bising melemah jika terjadi perforasi.

6) Demam.

7) Temuan dari hasil USG berupa cairan yang berada di sekitar

apendiks menjadi sebuah tanda sonografik penting.

e. Patofisiologi

Tanda patogenetik primer diduga karena obstruksi lumen dan

ulserasi mukosa menjadi langkah awal terjadinya apendisitis. Obstruksi

lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian proksimal.


Selanjutnya, terjadi peningkatan sekresi normal dari mukosa apendiks

yang distensi secara terus menerus karena multiplikasi cepat dari

bakteri. Obstruksi juga menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa

terbendung. Semakin lama, mukus tersebut semakin banyak, namun

elastisitas dinding apendiks terbatas sehingga meningkatkan tekanan

intralumen.

Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks

mengalami hipoksia, hambatan aliran limfe, ulserasi mukosa, dan invasi

bakteri. Infeksi memperberat pembengkakan apendiks (edema) dan

trombosis pada pembuluh darah intramural (dinding apendiks)

menyebabkan iskemik. Pada tahap ini mungkin terjadi apendisitis akut

fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi mukus terus

berlanjut, tekanan akan terus meningkat dan menyebabkan obstruksi

vena, edema bertambah, serta bakteri akan menembus dinding. Bila

kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang

diikuti dengan gangren.

f. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan yang dilakukan sebaiknya konservatif dengan

pemberian antibiotik dan istirahat di tempat tidur. Penatalaskaaan

pembedahan hanya dilakukan bila dalam perawatan terjadi abses

dengan atau tanpa peritonitis umum. Penatalaksanaan Apendiksitis

menurut Mansjoer (2001) antara lain :


1) Sebelum operasi

a) Pemasangan sonde lambung untuk dekompresi

b) Pemasangan kateter untuk kontrol produksi urin

c) Rehidrasi

d) Antibiotik dengan spektrum luas, dosis tinggi dan diberikan

secara intravena

e) Obat-obatan penurun panas diberikan setelah rehidrasi tercapai

f) Bila demam, harus diturunkan sebelum diberi anestesi.

2) Operasi

a) Appendiktomi

b) Apendiks dibuang, jika apendiks mengalami perforasi bebas,

maka abdomen dicuci dengan garam fisiologis dan antibiotika

c) Abses apendiks diobati dengan antibiotika IV, massanya mungkin

mengecil atau abses mungkin memerlukan drainase dalam jangka

waktu beberapa hari

d) Appendiktomí dilakukan bila abses dilakukan operasi elektif

sesudah 6 minggu sampai 3 bulan.

3) Pasca operasi

a) Observasi TTV
b) Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar sehingga aspirasi

cairan lambung dapat dicegah

c) Baringkan pasien dalam posisi semi fowler

d) Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan,

selama pasien dipuasakan

e) Bila ada tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi,

puasa dilanjutkan sampai fungsi usus kembali normal

f) Berikan minum mulai 15ml/jam selama 4-5 jam lalu naikan

menjadi 30ml/jam. Keesokan harinya berikan makanan saring dan

hari berikutnya diberikan makanan lunak

g) Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di

tempat tidur selama 2x30 menit.

h) Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar.

i) Hari ke-7 jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan

pulang.

Keadaan massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif

ditandai dengan:

1) Keadaan umum telah membaik dengan tidak terlihat sakit, suhu

tubuh tidak tinggi lagi.


2) Pemeriksaan lokal abdomen tidak terdapat tanda-tanda peritonitis

dan hanya teraba massa dengan jelas dan nyeri tekan ringan.

3) Laboratorium hitung lekosit dan hitung jenis normal.

2. Konsep Appendiktomi

a. Pengertian Appendiktomi

Apendiktomi adalah pembedahan untuk mengangkat apendiks yang

dilakukan sesegera mungkkin untuk menurunkan resiko perforsi

( Smeltzer , 2001). Apendiktomi tindakan pembedahan yaitu dengan

pengangkatan apendiks yang meradang.

b. Macam-Macam Appendiktomi

Pembedahan untuk mengangkat apendiks dapat dilakukan dengan

apendiktomi terbuka dan apendiktomi laparoskopi.

1) Apendiktomi Terbuka

Bila apendiktomi terbuka, incise McBurney paling banyak dipilih

oleh ahli bedah. Mc Burney/ Wechselschnitt/ muscle splitting adalah

sayatan berubah-ubah sesuai serabut otot.

Teknik Apendiktomi McBurney :

a) Pasien berbaring terlentang dalam anastesi umum ataupun

regional. Kemudian dilakukan tindakan asepsis dan antisepsis

pada daerah perut kanan bawah

b) Dibuat sayatan menurut Mc Burney sepanjang kurang lebih 10

cm dan otot-otot dinding perut dibelah secara tumpul menurut

arah serabutnya, berturut-turut m. oblikus abdominis eksternus,


m. abdominis internus, m. transverses abdominis, sampai

akhirnya tampak peritoneum

c) Peritoneum disayat sehingga cukup lebar untuk eksplorasi

d) Sekum beserta apendiks diluksasi keluar

e) Mesoapendiks dibebaskan dann dipotong dari apendiks secara

biasa, dari puncak ke arah basis.

f) Semua perdarahan dirawat.

g) Disiapkan tabac sac mengelilingi basis apendiks dengan sutra,

basis apendiks kemudian dijahit dengan catgut

h) Dilakukan pemotongan apendiks apical dari jahitan tersebut

i) Puntung apendiks diolesi betadine

j) Jahitan tabac sac disimpulkan dan puntung dikuburkan dalam

simpul tersebut. Mesoapendiks diikat dengan sutra

k) Dilakukan pemeriksaan terhadap rongga peritoneum dan alat-alat

didalamnya, semua perdarahan dirawat.

l) Sekum dikembalikan ke abdomen.

m)Sebelum ditutup, peritoneum dijepit dengan minimal 4 klem dan

didekatkan untuk memudahkan penutupannya. Peritoneum ini

dijahit jelujur dengan chromic catgut dan otot-otot dikembalikan.

2) Apendiktomi Laparoscopi

Pengangkatan usus buntu ini dilakukan untuk usus buntu akut.

Apendiktomi laparoskopi merupakan alternatif yang baik untuk

pasien dengan usus buntu akut, khususnya wanita muda pada usia
subur, karena prosedur laparoskopi memiliki keunggulan diagnosa

untuk diagnosa yang belum pasti. Keunggulan lainnya termasuk

hasil kosmetik lebih baik, nyeri berkurang dan pemulihan lebih

cepat.

Pada apendiktomi laparoskopi, 3 bukaan kecil untuk memasukkan

kamera miniature dan peralatan bedah dibuat melintang bagian

bawah perut untuk mengangkat usus buntu. Ini dibandingkan dengan

4 hingga 6 cm sayatan yang dibutuhkan untuk apendiktomi terbuka.

c. Indikasi Appendiktomi

1) Apendiktomi terbuka

a) apendisitis akut

b) periapendikuler infiltrate

c) apendisitis perforate

2) Apendiktomi Laparoskopi

a) Apendisitis akut

b) Appendicitis kronik

d. Kontraindikasi Appendiktomi Laparoskopi

Konraindikasi appendiktomi laparoskopi menurut (Tulandi, 2009)

adalah :

1) Wanita dengan kehamilan trimester kedua dan ketiga

2) Penyulit radang pelvis dan endometriosis


3) Peritonitis akut terutama yang mengenai abdomen bagian atas,

disertai dengan distensi dinding perut, sebab kelainan ini merupakan

kontraindikasi untuk melakukan pneumoperitonium.

4) Diatese hemoragik sehingga mengganggu fungsi pembekuan darah

5) Tumor abdomen yang sangat besar,sehingga sulit untuk

memasukkan trokar kedalam rongga pelvis oleh karena trokar dapat

melukai tumor tersebut

6) Hernia abdominalis, dikawatirkan dapat melukai usus pada saat

memasukkan trokar ke dalam rongga pelvis, atau memperberat

hernia pada saat dilakukan pneumoperitonium.

7) Kelainan atau insufisiensi paru, jantung, hepar, atau kelainan

pembuluh darah vena porta, goiter atau kelainan metabolisme lain

yang sulit menyerap gas CO2.

e. Komplikasi

1) Durante Operasi: perdarahan intra peritoneal, dinding perut, robekan

sekum atau usus lain.

2) Pasca bedah dini: perdarahan, infeksi, hamatom, paralitik ileus,

peritonitis, fistel usus, abses intraperitoneal.

f. Pelaksanaan

1) Sebelum operasi

a) Pemasangan kateter untuk control produksi urin

b) Rehidrasi
c) Antibiotic dengan spectrum luas, dosis tinggi dan diberikan

secara intravena.

d) Obat-obatan penurun panas, phenergan sebagai anti menggigil,

largaktil untuk membuka pembuluh-pembuluh darah perifer

diberikan setelah rehidrasi tercapai.

e) Bila demam, harus diturunkan sebelum diberi anestesi.

2) Operasi

a) Apendiktomi

b) Apendiks dibuang, jika apendiks mengalami perforasi bebas,maka

abdomen dicuci dengan garam fisiologis dan antibiotika

c) Abses apendiks diobati dengan antibiotika IV,massanya mungkin

mengecil,atau abses mungkin memerlukan drainase dalam jangka

waktu beberapa hari. Apendiktomi dilakukan bila abses dilakukan

operasi elektif sesudah 6 minggu sampai 3 bulan

3) Pasca operasi

a) Observasi TTV

b) Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar sehingga aspirasi

cairan lambung dapat dicegah

c) Baringkan pasien dalam posisi semi fowler

d) Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan,

selama pasien dipuasakan

e) Bila tindakan operasilebih besar, misalnya pada perforasi, puasa

dilanjutkan sampai fungsi usus kembali normal


f) Berikan minum mulai15ml/jam selama 4-5 jam lalu naikan

menjadi 30 ml/jam. Keesokan harinya berikan makanan saring

dan hari berikutnya diberikan makanan lunak

g) Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di

tempat tidur selama 2×30 menit

h) Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar

i) Hari ke-7 jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan

pulang.

g. Asuhan Keperawatan

1) Pengkajian

a) Anamnesa

Dapatkan riwayat kesehatan dengan cermat khususnya mengenai:

(a) Keluhan utama klien akan mendapatkan nyeri di sekitar

epigastrium menjalar ke perut kanan bawah. Timbul keluhan

Nyeri perut kanan bawah mungkin beberapa jam kemudian

setelah nyeri di pusat atau di epigastrium dirasakan dalam

beberapa waktu lalu.Sifat keluhan nyeri dirasakan terus-

menerus, dapat hilang atau timbul nyeri dalam waktu yang

lama. Keluhan yang menyertai biasanya klien mengeluh rasa

mual dan muntah, panas.

(b) Riwayat kesehatan masa lalu biasanya berhubungan dengan

masalah. kesehatan klien sekarang ditanyakan kepada orang

tua.
(c) Diet, kebiasaan makan makanan rendah serat.

(d) Kebiasaan eliminasi.

2) Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik keadaan umum klien tampak sakit

ringan/sedang/berat.

a) Sirkulasi : Takikardia.

b) Respirasi : Takipnoe, pernapasan dangkal.

c) Aktivitas/istirahat : Malaise.

d) Eliminasi : Konstipasi pada awitan awal, diare kadang-kadang.

e) Distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan, penurunan

atau tidak ada bising usus.

f) Nyeri/kenyamanan, nyeri abdomen sekitar epigastrium dan

umbilicus, yang meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc.

Burney, meningkat karena berjalan, bersin, batuk, atau napas

dalam. Nyeri pada kuadran kanan bawah karena posisi ekstensi

kaki kanan/posisi duduk tegak.

g) Demam lebih dari 380C.

h) Data psikologis klien nampak gelisah.

i) Ada perubahan denyut nadi dan pernapasan.

j) Pada pemeriksaan rektal toucher akan teraba benjolan dan

penderita merasa nyeri pada daerah prolitotomi.

k) Berat badan sebagai indicator untuk menentukan pemberian obat.

3) Pemeriksaan penunjang
a) Tanda-tanda peritonitis kuadran kanan bawah. Gambaran

perselubungan mungkin terlihat “ileal atau caecal ileus”

(gambaran garis permukaan cairan udara di sekum atau ileum).

b) Laju endap darah (LED) meningkat pada keadaan apendisitis

infiltrat.

c) Urine rutin penting untuk melihat apa ada infeksi pada ginjal.

d) Peningkatan leukosit, neutrofilia, tanpa eosinofil.

e) Pada enema barium apendiks tidak terisi.

f) Ultrasound: fekalit nonkalsifikasi, apendiks nonperforasi, abses

apendiks.

4) Diagnosa Keperawatan

Pre Operasi

a) Nyeri akut berhubungan dengan proses penyakit.

Tujuan: Nyeri dapat berkurang atau hilang.

Kriteria Hasil:

(a) Nyeri berkurang

(b) Ekspresi nyeri lisan atau pada wajah

(c) Kegelisahan atau ketegangan otot

(d) Mempertahankan tingkat nyeri pada skala 0-10

(e) Menunjukkan teknik relaksasi yang efektif untuk mencapai

kenyamanan

Intervensi
(a) Lakukan pengkajian nyeri, secara komprhensif meliputi

lokasi, keparahan, factor presipitasinya.

(b) Observasi ketidaknyamanan non verbal.

(c) Gunakan pendekatan yang positif terhadap pasien, hadir

dekat pasien untuk memenuhi kebutuhan rasa nyamannya

dengan cara: masase, perubahan posisi, berikan perawatan

yang tidak terburu-buru.

(d) Kendalikan factor lingkungan yang dapat mempengaruhi

respon pasien terhadap ketidaknyamanan.

(e) Anjurkan pasien untuk istirahat.

(f) Libatkan keluarga dalam pengendalian nyeri pada anak.

(g) Kolaborasi medis dalam pemberian analgesic.

b) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

berhubungan dengan mual,muntah, anoreksia.

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan

nutrisi pasien adekuat.

Kriteria Hasil:

(a) Mempertahankan berat badan.

(b) Toleransi terhadap diet yang dianjurkan.

(c) Menunjukan tingkat keadekuatan tingkat energi.

(d) Turgor kulit baik.

Intervensi
(a) Tentukan kemampuan pasien untuk memenuhi kebutuhan

nutrisi.

(b) Pantau kandungan nutrisi dan kalori pada catatan asupan.

(c) Berikan informasi yang tepat tentang kebutuhan nutrisi dan

bagaimana memenuhinya.

(d) Minimalkan faktor yang dapat menimbulkan mual dan

muntah.

(e) Pertahankan higiene mulut sebelum dan sesudah makan.

c) Ansietas berhubungan dengan tindakan pembedahan, perubahan

status kesehatan dan pemenuhan informasi.

Tujuan : kecemasan klien berkurang sampai hilang sehingga klien

merasa tenang dan nyaman

Kriteria Hasil:

(a) Klien tampak tenang dan merasa nyaman

Intervensi:

(a) Kaji ansietas klien

(b) Ajarkan tehnik relaksasi

(c) Beri informasi tentang proses penyakit dan tindakan

(d) Kolaborasi dengan dokter dan tim kesehatan lainnya dalam

pemberian obat anti depresan jika diperlukan

Post Operasi
a) Nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan /

insisi pembedahan.

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri

dapat berkurang atau hilang.

Kriteria Hasil:

(a) Nyeri berkurang

(b) Ekspresi nyeri lisan atau pada wajah

(c) Mempertahankan tingkat nyeri pada skala 0-10.

(d) Menunjukkan teknik relaksasi yang efektif untuk mencapai

kenyamanan.

Intervensi

(a) Lakukan pengkajian nyeri, secara komprhensif meliputi

lokasi, keparahan.

(b) Observasi ketidaknyamanan non verbal

(c) Gunakan pendekatan yang positif terhadap pasien, hadir

dekat pasien untuk memenuhi kebutuhan rasa nyamannya

dengan cara: masase, perubahan posisi, berikan perawatan

yang tidak terburu-buru.

(d) Kendalikan factor lingkungan yang dapat mempengaruhi

respon pasien terhadap ketidaknyamanan.

(e) Anjurkan pasien untuk istirahat dan menggunakan tenkik

relaksai saat nyeri.

(f) Libatkan keluarga dalam pengendalian nyeri pada anak.


(g) Kolaborasi medis dalam pemberian analgesic.

b) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan insisi

pembedahan.

Tujuan : mempercepat proses penyembuhan luka sehingga dapat

meningkatkan integritas kulit.

Kriteris hasil : Luka pasca operasi menunjukkan proses

penyembuhan

Intervensi :

(a) Kaji integritas kulit klien

(b) Lakukan perawatan luka dengan adekuat

(c) Beri informasi dan ajarkan klien dan keluarga klien mengenai

hal-hal yang dapat mempercepat penyembuhan luka.

(d) Kolaborasi dengan dokter dan tim kesehatan lainnya

(dermatologi) guna meningkatkan integritas kulit.

c) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

berhubungan dengan mual,muntah, anoreksia.

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan

nutrisi pasien adekuat.

Kriteria Hasil:

(a) Mempertahankan berat badan.

(b) Toleransi terhadap diet yang dianjurkan.

(c) Menunjukan tingkat keadekuatan tingkat energi.

(d) Turgor kulit baik.


Intervensi

(a) Tentukan kemampuan pasien untuk memenuhi kebutuhan

nutrisi.

(b) Pantau kandungan nutrisi dan kalori pada catatan asupan.

(c) Berikan informasi yang tepat tentang kebutuhan nutrisi dan

bagaimana memenuhinya.

(d) Minimalkan faktor yang dapat menimbulkan mual dan

muntah.

(e) Pertahankan higiene mulut sebelum dan sesudah makan.

d) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri pasca

operasi.

Tujuan: Dengan bergerak, otot-otot perut dan panggul akan

kembali normal sehingga otot perutnya menjadi kuat kembali dan

dapat mengurangi rasa sakit dengan demikian penderita merasa

sehat dan membantu memperoleh kekuatan dan mempercepat

kesembuhan.

Kriteria hasil :

(a) mobilitas klien meningkat

(b) klien aktif dan bersemangat dalam meningkatkan mobilisasi

diri.

(c) rasa nyeri klien berkurang

(d) otot - otot perut dan panggul kembali normal

(e) kekuatan otot perut meningkat


Intervensi:

(a) kaji tingkat mobilisasi klien

(b) ajarkan rom aktif dan pasif

(c) dorong klien dan keluarga dalam meningkatkan pergerakkan

klien.

e) Resiko infeksi berhubungan dengan port de entrée.

Tujuan : mengurangi resiko infeksi akibat luka pasca operasi

sehingga mempercepat proses penyambuhan.

Kriteria hasil:

(a) luka pasca operasi tidak menunjukkan tanda – tanda

inflamasi

(b) luka menunjukkan proses penyembuhan

Intervensi :

(a) Kaji tanda – tanda inflamasi pada luka operasi

(b) Lakukan perawatan luka dengan tehnik steril

(c) Beri tahu klien dan keluarga cara menjaga luka pasca operasi

untuk menghindari resiko infeksi

(d) Kolaborasi dengan dokter dan tim kesehatan lainnya dalam

pemberian antibiotic.
f) Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan asupan

cairan yang tidak adekuat.

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan

keseimbangan cairan pasien normal dan dapat mempertahankan

hidrasi yang adekuat.

Kriteria hasil:

(a) Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ

urine normal, HT normal.

(b) Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal.

(c) Tidak ada tanda-tanda dehidrasi, elastisitas, turgor kulit,

membran mukosa lembab.

(d) Tidak ada rasa haus yang berlebihan.

Intervensi

(a) Pertahankan catatan intake dan output yang akurat.

(b) Monitor vital sign dan status hidrasi.

(c) Monitor status nutrisi

(d) Awasi nilai laboratorium, seperti Hb/Ht, Na+ albumin dan

waktu pembekuan.

(e) Kolaborasikan pemberian cairan intravena sesuai terapi.

(f) Atur kemungkinan transfusi darah.

3. Konsep Nyeri

a. Pengertian Nyeri
Nyeri (Pain) adalah kondisi perasaan yang tidak menyenangkan.

Sifatnya sangat subjektif karena perasaan nyeri berbeda pada setiap

orang baik dalam hal skala ataupun tingkatannya dan hanya orang

tersebutlah yang dapat menjelaskan dan mengefakuasi rasa nyeri yang

dialaminya (Hidayat, 2006).

Internasional Association for Study of Pain (IASP), mendefinisikan

nyeri sebagai suatu sensori, subjektif dan pengalaman emosional yang

tidak menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang

bersifat akut yang dirasakan dalam kejadian-kejadian dimana terjadi

kerusakan (Potter & Perry, 2007).

Nyeri adalah pengalaman sensori nyeri dan emosional yang tidak

menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual dan

potensial yang tidak menenagkan yang terlokalisasi pada suatu bagian

tubuh ataupun sering disebut dengan istilah distruktrif dimana jaringan

rasanya seperti di tusuk-tusuk, panas, terbakar, melilit, seperti emosi,

perasaan takut dan mual (Potter, 2012).

b. Sifat Nyeri

Nyeri bersifat subjektif dan bersifat individual, ada empat atribut

pasti untuk pengalaman nyeri, yaitu: nyeri bersifat individual, tidak

menyenangkan, merupakan suatu kekuatan yang mendminasi, bersifat

tidak berkesudahan (Manuaba, 2008).

c. Teori-teori Nyeri

1) Teori Spesivitas (Specivity Theory)


Teori spesivitas ini diperkenalkan oleh Descartes, teori ini

menjelaskan bahwa nyeri berjalan dari reseptor-reseptor nyeri yang

spesifik melalui jalur neuroanotomik tertentu kepusat nyeri diotak

(Andarmoyo, 2013). Teori spesivitas ini tidak menunjukan

karakteristik multidimensi dari nyeri, teori ini hanya melihat nyeri

secara sederhana yakni paparan biologis tanpa melihat variasi dari

efek psiklogis imdividu (Prasetyo, 2010).

2) Teori pola

Teori pola diperkenalkan oleh Goldscheider pada tahun 1989,

teori imi menjeladkan bahwa nyeri disebabkan oleh berbagai

reseptor sensori yang dirangsang oleh pola tertentu, dimana nyeri ini

merupakan akibat dari stimulasi reseptor yang menghasilkan pola

dari impuls saraf (Andarmoy, 2013).

Pada sejumlah causalgia, nyeri pantom dan neuralgia, teori pola

ini bertujuan untuk menimbulkan rangsangan yang kuat yang

mengakibatkan berkembangnya gaung secara terus menerus pada

spinal cord sehingga saraf trasamisi nyeri bersifat hypersensitif yang

mana rangsangan dengan intensitas rendah dapat menghasilkan

trasmisi nyeri (Lewis, 1983 dalam Andarmoyo, 2013).

3) Teori Pengontrol Nyeri

Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) menyatakan

bahwa implus nyeri dapat diatur dan dihambat oleh mekanisme

pertahanan disepanjang sistem safaf pusat, dimana implus nyeri


dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan implus dihambat saat

sebuah pertahanan tertutup (Andarmoyo, 2013).

4) Endogenous Opiat Theory

Teori ini di kembangkan oleh Avron Goldstein, ia

mengemukakan bahwa terdapat substansi seperti opiet yang terjadi

selama alami didalam tubuh, substansi ini disebut endorphine

(Andarmoyo, 2013). Endorphine mempengaruhi trasmisi implus

yang diinterprestasikan sebagai nyeri. Endorphine kemungkinan

bertindak sebagai neurotrasmitter maupun neomododulator yang

menghambat trasmisi dari pesan nyeri. (Andarmoyo, 2013).

5) Konsep Teknik Relaksasi Nafas Dalam

a. Pengertian Relaksasi Nafas Dalam

Relaksasi merupakan metode yang efektif terutama pada pasien yang

mengalami ansietas. Latihan pernafasan dan teknik relaksasi

meningkatkan kadar oksigen dalam tubuh, frekuensi pernafasan,

frekuensi jantung dan ketegangan otot yang menghentikan siklus nyeri,

ansietas dan ketagangan otot (Dermawan, 2013).

Teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu bentuk asuhan

keperawatan, yang dalam hal ini perawat mengajarkan kepada klien

bagaimana cara melakukan nafas dalam, nafas lambat (menahan

inspirasi secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan nafas

secara perlahan. Selain dapat menurunkan intensitas nyeri, teknik


relaksasi nafas dalam juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan

meningkatkan oksigenasi darah (Smeltzer dan Bare, 2002).

Ada tiga hal utama yang diperlukan dalam relaksasi yaitu posisi

yang tepat, pikiran beristirahat dan lingkungan yang tenang. Posisi

pasien diatur senyaman mungkin dengan sebagian tubuh disokong

(misal : bantal menyokong leher).

b. Patofisiologi Teknik Relaksasi Nafas Dalam terhadap Penurunan Nyeri

Pembedahan

Teknik Rasa Nyeri Post Hormon


Relaksasi Operasi Adrenalin
Nafas Dalam

Memberikan
Rasa Tenang
Meningkatkan
Konsentrasi
Oksigen Dalam Mengurangi
Darah Detak Jantung
Mempermudah
Mengatur
Pernafasan
Nyeri Tekanan Darah

c. Tujuan Relaksasi Nafas Dalam

1) Mencapai ventilasi yang lebih terkontrol dan efesien.

2) Mengurangi kerja bernafas


3) Meningkatkan inflasi alveolar maksimal.

4) Meningkatkan relaksasi otot.

5) Menghilangkan ansietas.

6) Menyingkirkan pola aktifitas otot-otot pernapasan yang tidak

berguna, tidak terkoordinasi.

7) Melambatkan frekuensi pernafasan.

d. Indikasi

1) Pasien dengan nyeri kronis.

2) Pasien ansietas.

e. Kontra Indikasi

1) Pneumothoraks.

2) Edema Paru.

3) Efusi Pleura yang luas.

f. Persiapan Pasien, Alat dan Lingkungan

1) Persiapan Pasien

Pastika pasien sedang dalam keadaan santai.

2) Persiapan Alat

Alat perlindung diri : handscoon.

3) Persiapan Lingkungan

Jaga privasi pasien, pilih waktu dan tempat yang sesuai.


g. Prosedur Tindakan

1) Memberi salam kepada pasien.

2) Jelaskan prosedur yang akan kita lakukan pada pasien.

3) Tutup sampiran.

4) Cuci Tangan

5) Pakai Handscoon

6) Atur posisi nyaman bagi pasien dengan posisi duduk atau setengah

duduk (semi fowler) dengan lutut ditekuk dan perut tidak boleh

tegang.

7) Letakkan tangan diatas perut.

8) Hirup udara sebanyak-banyaknya dengan menggunakan hidung

dalam kondisi mulut tertutup rapat.

9) Tahan nafas beberapa saat (2-3 detik) kemudian secara perlahan-

lahan, udara dikeluarkan sedikit demi sedikit melalui mulut seperti

meniup (purse lips breathing).

10) Lakukan 4-5 kali latihan, lakukan minimal 3 kali sehari.

11) Kembalikan pasien ke posisi semula.

12) Tanyakan respon pasien setelah dilakukan tindakan.

13) Rencana tindak lanjut : Anjurkan klien agar melakukan nafas

dalam secara mandiri minimal 3 kali dalam sehari.


14) Lepaskan handscoon.

15) Cuci Tangan

16) Dokumentasi

h. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Teknik Relaksasi Nfas Dalam

terhadap Penurunan Nyeri

Teknik relaksasi nafas dalam dipercaya dapat menurunkan intensitas

nyeri melalui mekanisme yaitu (Smeltzer dan Bare, 2002) :

1) Dengan merelaksasikan otot-otot skelet yang mengalami spasme

yang disebabkan oleh peningkatan prostaglandin sehingga terjadi

vasodilatasi pembuluh darah dan akan meningkatkan aliran darah ke

daerah yang mengalami spasme dan iskemik.

2) Teknik relaksasi nafas dalam dipercayai mampu merangsang tubuh

untuk melepaskan opioid endogen yaitu endorphin dan enkefalin.

Pernyataan lain menyatakan bahwa penurunan nyeri oleh teknik

relaksasi nafas dalam disebabkan ketika seseorang melakukan relaksasi

nafas dalam untuk mengendalikan nyeri yang dirasakan, maka tubuh

akan meningkatkan komponen saraf parasimpatik secara stimulun,

maka ini menyebabkan terjadinya penurunan kadar hormon kortisol dan

adrenalin dalam tubuh yang mempengaruhi tingkat stress seseorang

sehingga dapat meningkatkan knsentrasi dan membuat klien merasa

tenang untuk mengatur ritme pernafasan menjadi teratur. Hal ini akan

mendorong terjadinya peningkatan kadar PaCO2 dan akan menurunkan


kadar pH sehingga terjadi peningkatan kadar oksigen (O2) dalam darah

(Handerson, 2005).

B. Hasil yang diharapkan dari Penerapan Relaksasi Nafas Dalam untuk

Menurunkan Skala Nyeri pada Pasien Post Operasi Appendiktomi

Relaksasi nafas dalam adalah tehnik untuk mengurangi ketegangan nyeri

dengan merelaksasikan otot. Beberapa penelitian menyatakan bahwa teknik

relaksasi efektif dalam menurunkan skala nyeri pasca operasi (Tamsuri,2012).

Dengan teknik relaksasi nafas dalam salah satu tindakan keperawatan yang

paling dianjurkan untuk mengurangi nyeri dengan cara merelaksasikan otot-

otot yang tegang dengan tarik nafas dari hidung pelan-pelan dan dada

mengembang, tahan dan dikeluarkan dari mulut (Fahriani, 2012).

Menurut Syahriyani (2010, dalam Cahyaningrum, 2016), tentang pengaruh

teknik relaksasi terhadap perubahan intensitas nyeri pada pasien post operasi

appendiktomi di ruang perawatan bedah RSU TK II Pelamonia Makassar,

menunjukkan bahwa intensitas nyeri responden sebelum dan sesudah

pemberian teknik relaksasi mengalami peningkatan penurunan nyeri dari

nyeri ringan 20,00% ke 66,67%, nyeri sedang 53,33% ke 20,00%, dan nyeri

berat 26,67% ke 13,33%.

Berdasarkan teori dari Smeltzer & Bare (2002) mengatakan bahwa nyeri

adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat

kerusakan jaringan yang aktual dan potensial. Impuls nyeri dapat diatur atau

dihambat oleh mekanisme pertahanan disepanjang system saraf pusat.Teori

ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan


dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan ditutup. Upaya ini dapat

dilakukan dengan menggunakan teknik relaksasi napas dalam (Qittun, 2008).

Anda mungkin juga menyukai