HERIN
NIM : 17111144
Pernyataan Masalah
Periode 0-59 bulan merupakan periode yang menentukan kualitas kehidupan sehingga disebut dengan
periode emas. Periode ini merupakan periode yang sensitive karena akibat yang ditimbulkan terhadap
bayi yang pada masa ini akan bersifat permanen dan tidak dapat dikoreksi. Untuk itu diperlukan
pemenuhan gizi yang adekuat pada rentang usia ini (Mucha, 2013). Asupan zat gizi pada balita sangat
penting dalam mendukung pertumbuhan sesuai grafik pertumbuhannya. Asupan zat gizi yang
tidak adekuat dan berlangsung terus-menerus dapat menyebabkan defisiensi zat gizi
(Sulistyoningsih dalam Purwani, 2013). . Apabila hal tersebut tidak diperhatikan dalam waktu
yang lama, maka balita berisiko mengalami gagal tumbuh (growth faltering) yang dapat
menyebabkan stunting (Wiyono, 2016).
Stunting merupakan bentuk kegagalan pertumbuhan (growth faltering) akibat akumulasi
ketidakcukupan nutrisi yang berlangsung lama mulai dari kehamilan sampai usia 59 bulan (Hoffman et al,
2000; Bloem et al, 2013). Indicator yang digunakan untuk mengidentifikasi balita stunting adalah
berdasarkan indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) menurut standar WHO child growth standart
dengan criteria stunting jika nilai TB/U <-2 Standar Deviasi (SD) (WHO, 2010).
Indicator gizi pada tinggi badan menurut umur (TB/U) memberikan indikasi masalah gizi yang
bersifat kronis sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama. Hal ini disebabkan karena
kemiskinan, perilaku hidup tidak sehat dan pola asuh atau pemberian makanan yang kurang baik dari
sejak dilahirkan. Menurut data UNICEF, terdapat 195 juta anak yang hidup di Negara miskin dan
berkembang mengalami stunting. Prevelensi stunting di dunia pada tahun 2017, lebih dari setengah balita
stunting di dunia berasal dari Asia (55%) sedangkan lebih dari sepertiganya (39%) tinggal di Afrika. Dari
proporsi terbanyak berasal dari Asia Selatan (58,7%) dan proporsi paling sedikit Asia Tengah (0,9%)
(Joint Child Malnurition Eltimates, 2018).
Prevalensi balita stunting yang dikumpulan World Health Organization (WHO), Indonesia
termasuk kedalam Negara ketiga dengan prevalensi tertinggi di regional Asia Tenggara/South-East-Asia
Regional (SEAR). Rata-rata prevalensi balita stunting di Indonesia tahun 2005-2017 adalah 36,4%
(WHO, 2018). Di Indonesia, provinsi dengan proporsi tertinggi balita sangat pendek dan pendek tahun
2018 adalah Nusa Tenggara Timur (42,6%) sedangkan proporsi terendah balita sangat pendek dan pendek
adalah DKI Jakarta (17,7%). Presentasi balita usia 0-59 bulan menurut status gizi dengan indeks TB/U di
Provinsi NTT pada tahun 2017-2018 adalah pada tahun 2017 balita sangat pendek sebanyak 18,00% dan
balita pendek sebanyak 22,30%. Pada tahun 2018 balita sangat pendek sebanyak 16,00% dan balita
pendek sebanyak 26,70% (Riskesdas, 2018).
Faktor penyebab stunting terdiri dari status basic seperti faktor ekonomi dan pendidikan ibu,
(TAMBAH TEORI PENGETAHUAN IBU MULAI DARI SINI) SETELAH ITU TAMBAHKAN
BAGAIMANA PRAKTIK PEMBERIAN MAKAN DENGAN PENGARUHNYA TERHADAP
KEJADIAN STUNTING. kemudian faktor intemediet seperti jumlah anggota keluarga, tinggi badan ibu,
usia ibu dan jumlah anak ibu. Selanjutnya adalah faktor proximal seperti pemberian asi eksklusif, usia
anak dan BBLR (Darteh et al, 2014). Beberapa faktor penyebab lainnya adalah tidak terlaksananya
Inisiasi Menyusui Dini (IMD), gagalnya pemberian ASI eksklusif dan proses penyapihan dini dapat
menjadi faktor risiko kejadian stunting (Pusat Data dan Informasi Kesehatan,2018).
Berdasarkan pernyataan masalah tersebut maka saya tertarik untuk melakukan penelitian tentang
‘’Hubungan pengetahuan ibu tentang praktik pemberian makan dengan kejadian stunting pada
balita’’
MENGETAHUI
PEMBIMBING I PEMBIMBING II