Anda di halaman 1dari 14

Subjek Pajak Penghasilan Orang Pribadi

Subjek PPh Dalam Negeri

Subjek pajak penghasilan orang pribadi dalam negeri adalah WNI/WNA yang bekerja dan
memperoleh penghasilan serta berdomisili (berkediaman tetap) di Indonesia lebih dari 183 hari
dalam jangka waktu 12 bulan, atau yang dalam satu tahun pajak ada di Indonesia dan
mempunyai niat untuk tinggal di Indonesia.

Namun, tidak semua WNI/WNA dalam pengertian di atas dikategorikan sebagai wajib pajak
penghasilan. Sebab, seseorang yang menerima penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena
Pajak (PTKP) senilai Rp 54 juta/tahun tidak wajib membayar pajak penghasilan.

Subjek PPh Luar Negeri

Subjek pajak penghasilan orang pribadi luar negeri adalah mereka yang tidak berdomisili di
Indonesia dan tinggal kurang dari 183 hari di Indonesia dalam jangka waktu 12 bulan.

Orang tersebut dapat berada di luar negeri atau menjalankan usahanya di Indonesia dengan
pergi-pulang. Namun, selama mendapatkan penghasilan dari usahanya tersebut, dia
dikategorikan sebagai subjek pajak penghasilan.

Namun, bila orang tersebut setelah 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan menambah masa
tinggalnya, dia bisa mengurus penggantian status subjek pajak ke Direktorat Jenderal Pajak dan
berhak memperoleh keuntungan seperti hak membayar pajak secara angsuran selama satu tahun
pajak.

Subjek Pajak Penghasilan Badan

Subjek PPh Badan Dalam Negeri

Subjek pajak penghasilan badan meliputi semua perusahaan yang melakukan aktivitas usahanya
di Indonesia. Sebuah badan terkena kewajiban membayar pajak atau disebut subjek pajak
penghasilan dalam negeri ketika mulai didirikan atau bertempat kedudukan atau memperoleh
penghasilan di Indonesia.

Kewajiban perpajakan badan berakhir ketika dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di
Indonesia. Setiap badan usaha dikategorikan sebagai subjek pajak penghasilan badan dalam
negeri saat didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.

Namun, ada pengecualiannya yakni unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria
sebagai berikut:

1. Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.


2. Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
3. Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran pemerintah pusat atau pemerintah daerah.
4. Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.

Subjek PPh Badan Luar Negeri

Subjek pajak penghasilan badan luar negeri adalah badan yang tidak berkedudukan atau
didirikan di Indonesia tetapi menjalankan aktivitasnya dan memperoleh penghasilan di
Indonesia.

Contoh badan yang menjadi subjek pajak penghasilan luar negeri adalah perusahaan A dari
Singapura yang tidak memiliki kantor di Indonesia tetapi perusahaan tersebut memiliki karyawan
yang secara berkala datang ke Indonesia untuk berjualan dan mendapatkan penghasilan.

Subjek Pajak Penghasilan Warisan

Warisan yang belum dibagi dikategorikan sebagai subjek pajak penghasilan jika berpotensi
menjadi penghasilan. Salah satu contohnya adalah warisan berupa properti (bisa rumah, ruko,
kantor, Gudang dll) yang disewakan.

Nah, pelaksanaan kewajiban perpajakan, baik kewajiban bayar pajak dan lapor pajak, dari subjek
pajak warisan dapat diwakili oleh salah satu ahli waris, pengurus warisan maupun pelaksana
wasiat.

Subjek Pajak Penghasilan Badan Usaha Tetap

Badan Usaha Tetap (BUT) adalah aset berupa tanah, gedung, mesin, peralatan, gudang dan
komputer atau agen elektronik atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan
oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan aktivitas usaha melalui internet.

Tempat usaha dari badan usaha tetap dapat tidak bertempat kedudukan di Indonesia selama ia
melakukan aktivitas ekonomi yang memberikan penghasilan. Subjek penghasilan badan usaha
tetap ini dapat berupa:

 Tempat kedudukan manajemen.


 Cabang perusahaan.
 Kantor perwakilan.
 Gedung kantor.
 Pabrik.
 Bengkel.
 Gudang.
 Ruang untuk promosi dan penjualan.
 Pertambangan dan penggalian sumber alam.
 Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi.
 Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan atau kehutanan.
 Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan.
 Pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan
lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan.
 Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas.
 Agen atau pegawai perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di
Indonesia.
 Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan
oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui
internet.

Bukan Subjek Pajak Penghasilan 

Berikut ini merupakan contoh orang perorangan dan badan yang tidak termasuk subjek pajak
penghasilan:

1. Kantor kedutaan, konsulat jenderal atau lainnya yang merupakan perwakilan negara
asing.
2. Pejabat negara asing yang bertugas sebagai pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat.
3. Organisasi internasional yang ditetapkan melalui keputusan menteri keuangan.
4. Pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh menteri keuangan. 

Dasar Hukum Subjek Pajak Penghasilan

Pengaturan mengenai subjek pajak penghasilan dapat kita temukan dalam:

 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.


 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 215/PMK.03/2008 tentang Penetapan Organisasi-
Organisasi Internasional dan Pejabat-Pejabat Perwakilan Organisasi Internasional yang
Tidak Termasuk Subjek Pajak Penghasilan.

Pengertian Bentuk Usaha Tetap

Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang
tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih 183 hari
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas), dan badan  yang tidak
didirikan dan tidak bertempat tinggal  kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan di Indonesia.

BUT dapat berupa:

1. Tempat kedudukan manajemen
2. Cabang perusahaan
3. Kantor perwakilan
4. Gedung kantor
5. Pabrik
6. Bengkel
7. Gudang
8. Ruang untuk promosi dan penjualan
9. Pertambangan dan penggalian sumber daya alam
10. Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi
11. Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan atau kehutanan
12. Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perikatan
13. Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan
lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan
14. Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas
15. Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung resiko di
Indonesia dan
16. Komputer, agen elektronik atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan
oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melelui
internet

Bentuk usaha tetap dikenakan pajak  atas penghasilan baik yang berasal dari usaha atau kegiatan,
maupun yang berasal  dari harta yang dimiliki atau dikuasainya. Dengan demikian  semua
penghasilan  tersebut dikenakan pajak penghasilan di Indonesia.

Objek Pajak Penghasilan BUT

Yang menjadi pajak penghasilan BUT adalah:

1. Penghasilan dari usaha atau kegiatan BUT tersebut dan dari harta yang di miliki atau
dikuasai

Sebagai contoh: Communitel Ltd yang bergerak dalam usaha penjualan satelit komunikasi
mempunyai cabang di Jakarta dengan nama Communitel Indonesia. Apabila Communitel
Indonesia memperoleh laba melalui usaha penjualan satelit komunikasi,  maka atas laba
penjualan tersebut dikenakan  pajak penghasilan  sebagai pajak atas penghasilan wajib pajak
BUT.

2. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang atau pemberian jasa
di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan  atau dilakukan di Indonesia

Sebagai contoh: New York Bank mempunyai cabang di Jakarta (New York Bank Indonesia).
Apabila New York Bank mendapatkan penghasilan berupa bunga atas pinjaman yang diberikan
tanpa melalui New York Bank Indonesia, maka penghasilan bunga tersebut tetap dianggap
sebagai penghasilan BUT (NewYork Bank-Indonesia)

3. Penghasilan sebagaimana tersebut pada PPh pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor
pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan harta atau kegiatan yang
memberikan penghasilan dimaksud.
Sebagai contoh: Foodz Inc. membuat perjanjian dengan PT Lezzat untuk menggunakan merk
dagang Foodz Inc. atas penggunaan hak tersebut Foodz Inc. menerima imbalan  berupa royalti
dari PT Lezzat. Dalam rangka pemasaran produk, foodz Inc. juga memberikan
jasa manajemen kepada PT Lezzat melalui Foodz-Indonesia (BUTnya di Indonesia). Dalam hal
demikian merek dagang oleh PT Lezzat mempunyai hubungan.

Cara Melunasi Pajak

Pada dasarnya, wajib pajak dapat menghitung dan melunasi pajak penghasilan melalui dua cara
yaitu:

1. Pelunasan pajak tahun berjalan, yaitu pelunasan pajak dalam masa pajak yang meliputi:

 Pembayaran sendiri oleh wajib (PPh pasal 25) untuk setiap masa pajak
 Pembayaran pajak melaui pemotonga/pemungutan pihak ketiga (orang pribadi atau badan
baik swasta maupun pemerintah) berupa kredit pajak yang dapat diperhitungkan dengan
jumlah pajak terutang selama tahun pajak yaitu:

1). Pemotongan PPh atas penghasilan dari pekerjaan, jasa atau kegiatan (PPh pasal 21)

2). Pemungutan PPh atas penghasilan dari kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha dibidang
lain, dan pembayaran atas penyerahan barang kepada badan pemerintah (PPh pasal 22)

3). Pemotongan PPh atas penghasilan dari modal atau penggunaan harta oleh orang lain, Jasa,
Hadiah dan penghargaan (PPh pasal 23)

4). Pelunasan PPh di luar negeri atas penghasilan di luar negeri (PPh pasal 24)

5) Pemotongan PPh atas penghasilan yang terutang atas wajib pajak luar negeri (PPh pasal 26)

6). Pemotongan atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya,
penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya dibursa efek, penghasilan dari
penghasilan harta berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya (PPh pasal
4 ayat 2). Untuk PPh pasal 4 ayat 2 tidak dikreditkan

2.  Pelunasan pajak sesudah akhir tahun

Pelunasan pajak sesudah tahun pajak berakhir dilakukan dengan cara:

 Membayar pajak yang kurang disetor yaitu dengan menghitung sendiri


jumlah pajak penghasilan terutang untuk suatu tahun pajak dikurangi dengan jumlah
kredit pajak tahun yang bersangkutan
 Membayar pajak yang kurang disetor berdasarkan surat ketetapan pajak atau surat
tagihan pajak  yang ditetapkan oleh direktur jendral pajak, apabila terdapat buktu bahwa
jumlah pajak penghasilan terutang tidak benar.
Penentuan Laba BUT

Dalam menentukan besarnya laba BUT ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan yaitu:

1. Biaya adminstrasi kantor pusat yang diperbolehkan dibebankan adalah biaya yang
berkaitan dengan usaha atau kegiatan BUT, yang besarnya ditetapkan direktur jendral
pajak
2. Pembayaran oelh BUT kepada kantor pusat yang tidak diperbolehkan dibebankan sebagai
biaya adalah:

 Royalti atau imbalan lain sehubungan dengan penggunaan harta, paten atau hak hak
lainnya
 Imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya
 Bunga, kecuali bungan yang berkenaan dengan usaha perbankan

Sebagai konsukuensinya, atas pembayaran seperti tersebut diatas, yang diterima atau diperoleh
BUT dari kantor pusat tidak dianggap sebagai objek pajak, kecuali bunga yang berkenaan
dengan usaha perbankan.

Perlakuan Pajak atas Penghasilan Kena Pajak dari Suatu BUT yang di nyatakan kembali di
Indonesia

Penghasilan kena pajak sesudah dikurangi pajak penghasilan dari suatu bentuk usaha tetap di
indonesia, akan dikenakan PPh pasal 26 sebesar 20% (bersifat final) kecuali penghasilan tersebut
ditanamkan kembali di indonesia. Penanaman kembali tersebut harus memenuhi  persyaratan
sebagai berikut:

1. Penanaman kembali dilakukan atas seluruh penghasilan kena pajak setelah dikurangi
pajak penghsilan dalam bentuk penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan
dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri.
2. Perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagaimana dimaksud
hruf a, harus secara aktif melakukan kegiatan usaha sesuai dengan akte pendiriannya,
paling lama 1(satu) tahun sejak perusahaan tersebut didirikan
3. Penanaman kembali dilakukan dalam tahun pajak  berjalan atau paling lama tahun pajak
berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperolehnya penghasilan tersebut dan
4. Tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut paling singkat dalam
jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan baru tersebut telah berproduksi komersial

Bentuk usaha tetap yang melakukan penanaman kembali, wajib menyampaikan pemberitahuan
secara  tertulis mengenai bentuk  penanaman yang dilakukan  kepada Dirjen Pajak  sebagai
lampiran SPT Tahunan  PPH tahun pajak diterima atau diperolehnya penghasilan yang
bersangkutan
Contoh

Foodz Indonesia yang merupakan bentuk usaha tetap mempunyai penghasilan kena pajak dalam
tahun 2009 sebesar Rp.1.000.000.000,00

Penghasilan Pajak atas BUT tersebut adalah sebagai berikut:

Penghasilan kena pajak                                                 Rp.1.000.000.000,00

PPh terutang

28% x Rp.1.000.000.000,00                           Rp.280.000.000,00

Penghasilan kena pajak BUT sesudah

Dikurangi dengan pajak penghasilan       Rp.720.000.000,00

Atas penghasilan tersebut akan dikenakan pajak lagi sebesar

20% x RP.720.000.000,00 atau sama dengan Rp.144.000.000,00

Namun apabila atas penghasilan kena pajak BUT sesudah dikurangi pajak penghasilan tersebut
(sebesar Rp.720.000.000,00) ditanamkan kembali di Indonesia, maka atas penghasilan tersebut
tidak dipotong pajak. Jadi tidak ada pemotongan pajak penghasilan sebesar 20% atau sebesar
144.000.000,00

Sesuai dengan Undang-Undang No.36 Tahun 2008 tetang Pajak Penghasilan, pengertian dan
ketentuan kompensasi kerugian fiskal adalah sebagai berikut:

1. Kerugian fiskal adalah kerugian fiskal berdasarkan ketetapan pajak yang telah diterbitkan
Direktur Jenderal Pajak serta kerugian fiskal berdasarkan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak
(self assesment) dalam hal tidak ada atau belum diterbitkan ketetapan pajak oleh Direktur
Jenderal Pajak.
2. Kompensasi kerugian fiskal timbul apabila untuk tahun pajak sebelumnya terdapat
kerugian fiskal (SPT Tahunan dilaporkan Nihil atau Lebih Bayar tetapi ada kerugian fiskal).
3. Kerugian Fiskal terjadi karena penghasilan bruto dikurangi dengan biaya (yang
diperbolehkan menurut ketentuan fiskal) hasilnya mengalami kerugian.
4. Kerugian Fiskal tersebut dikompensasikan dengan laba neto fiskal dimulai tahun pajak
berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.
5. Ketentuan jangka waktu pengakuan kompensasi kerugian fiskal mulai berlaku tahun 2009
sedangkan untuk tahun pajak sebelumnya berlaku ketentuan Undang-undang no.17 Tahun
2000 tentang Pajak Penghasilan.
6. Apabila kemudian ternyata berdasarkan ketetapan pajak hasil pemeriksaan menunjukkan
jumlah kerugian fiskal yang berbeda dari kerugian menurut SPT Tahunan PPh atau hasil
pemeriksaan menjadi tidak rugi, kompensasi kerugian fiskal menurut SPT Tahunan PPh
tersebut harus segera dibetulkan sesuai dengan ketentuan dan prosedur pembetulan SPT
sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Ketentuan Umum Perpajakan.

Wajib Pajak Badan dan Wajib Pajak Orang Pribadi yang menggunakan pembukuan dan
penghasilan tidak termasuk penghasilan yang bersifat final dapat menghitung Kompensasi
kerugian  sesuai ketentuan tersebut diatas sedangkan penggunaan norma penghitungan
penghasilan netto tidak diperkenankan.

Contoh 1
PT ABC dalam tahun 2009 menderita kerugian fiskal sebesar Rp1.200.000.000,00 (satu miliar
dua ratus juta rupiah). Dalam 5 (lima) tahun berikutnya laba rugi fiskal PT ABC sebagai berikut:
201
: laba     Rp200.000.000,00
0
201
: rugi    (Rp300.000.000,00)
1
201
: laba     Rp N I H I L
2
201
: rugi    (Rp100.000.000,00) » menerapkan PPh Final PP No. 46 Tahun 2013
3
201
: laba     Rp800.000.000,00
4

Perhitungan Kompensasi kerugian PT ABC dilakukan sebagai berikut :


Rugi fiskal tahun 2009 (Rp1.200.000.000,00)
Laba fiskal tahun 2010 Rp   200.000.000,00  (+)
Sisa rugi fiskal tahun 2009  (Rp1.000.000.000,00)
Rugi fiskal tahun 2011 (Rp   300.000.000,00)
Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp1.000.000.000,00)
Laba fiskal tahun 2012 Rp        N I H I L        (+)
Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp1.000.000.000,00)
Rugi fiskal tahun 2013 (Rp   100.000.000,00) (+) >> tidak bisa dikompensasi
Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp1.000.000.000,00)
Laba fiskal tahun 2014 Rp   800.000.000,00  (+)
Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp   200.000.000,00)

Penjelasan

1. Rugi fiskal tahun 2009 sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) yang masih
tersisa pada akhir tahun 2014 tidak boleh dikompensasikan lagi dengan laba fiskal tahun
2015 karena jangka waktu 5 tahun telah selesai di tahun 2014
2. Rugi fiskal tahun 2011 sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) hanya boleh
dikompensasikan dengan laba fiskal tahun 2015 dan tahun 2016, karena jangka waktu lima
tahun yang dimulai sejak tahun 2012 dan berakhir pada akhir tahun 2016.
3. Pada tahun 2014, perusahaan menerapkan ketentuan PPh Final berdasarkan PP No. 46
Tahun 2013. Maka rugi fiskal tahun 2013 sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
tidak boleh dikompensasikan. Hal ini sesuai dengan PP No.46/2013 Pasal 8 bahwa kerugian
pada suatu Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan
Peraturan Pemerintah ini tidak dapat dikompensasikan pada Tahun Pajak berikutnya.
4. Sehingga untuk Tahun Pajak 2009 sampai dengan 2014 tidak ada PPh Badan yang
terutang.

Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak
yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk:

a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang
pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-
undang ini;
b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
c. laba usaha;
d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan
lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
2. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau
anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan,
pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa
pun;
4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan,
kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan,
koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang
tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di
antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan
5. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak
penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam
perusahaan pertambangan;
e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan
pembayaran tambahan pengembalian pajak;
f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
h. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
l. keuntungan selisih kurs mata uang asing;
m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n. premi asuransi;
o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib
Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
q. penghasilan dari usaha berbasis syariah;
r. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai
ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
s. surplus Bank Indonesia.

Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:

1. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang
negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi
orang pribadi;
2. penghasilan berupa hadiah undian;
3. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan
modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
4. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa
konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan
5. penghasilan tertentu lainnya yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:

1. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh
penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi
pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang
dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan
yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di
antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan
2. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi,
atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan sepanjang tidak ada hubungan
dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan;
3. warisan;
4. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan
modal;
5. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah,
kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak
secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed
profit);
6. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi
kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
7. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib
Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah,
dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di
Indonesia dengan syarat: dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan bagi
perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang
menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling
rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor;
8. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
9. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada
huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan;
10. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi,
termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
11. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba
dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di
Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut merupakan perusahaan mikro,
kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan sahamnya tidak
diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
12. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
13. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam
bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar
pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan
prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka
waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
dan
14. bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap,
ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan, termasuk:

1. biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara
lain: biaya pembelian bahan; biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah,
gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang;
bunga, sewa, dan royalti; biaya perjalanan; biaya pengolahan limbah; premi asuransi;
biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan; biaya administrasi; dan pajak kecuali Pajak Penghasilan;
2. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas
pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat
lebih dari 1 (satu) tahun;
3. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan;
4. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam
perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan;
5. kerugian selisih kurs mata uang asing;
6. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia;
7. biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;
8. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat telah dibebankan sebagai
biaya dalam laporan laba rugi komersial; Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang
yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan telah diserahkan perkara
penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani
piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan
piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah
dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur
bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu. Syarat telah
dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur
bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu tidak berlaku untuk
penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
9. sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah;
10. sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia
yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
11. biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah;
12. sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
dan
13. sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

Anda mungkin juga menyukai