Anda di halaman 1dari 9

Berikut merupakan objek PPh Pasal 22 berdasarkan Pasal 1 Peraturan Menteri

Keuangan Nomor 34/PMK.010/2017 (PMK 34/2017):

1. Impor barang dan ekspor barang komoditas tambang batubara, mineral logam,
dan mineral bukan logam yang dilakukan oleh eksportir
2. Pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan oleh bendahara pemerintah
dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak pada Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau lembaga Pemerintah, dan lembaga-lembaga
negara lainnya.
3. Pembayaran atas pembelian barang dengan mekanisme uang persediaan (UP)
yang dilakukan oleh bendahara pengeluaran.
4. Pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga dengan mekanisme
pembayaran langsung (LS) oleh KPA atau pejabat penerbit surat perintah membayar
yang diberi delegasi oleh KPA.
5. Pembayaran atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan
kegiatan usahanya Badan Usaha Milik Negara.
6. Penjualan hasil produksi kepada distributor di dalam negeri oleh badan usaha
yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, yang
merupakan industri hulu, industri otomotif, dan industri farmasi.
7. Penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri oleh Agen Tunggal Pemegang
Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir umum kendaraan
bermotor.
8. Penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas oleh produsen
atau importir .
9. Pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul untuk keperluan industrinya
atau ekspornya oleh industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan,
perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan; dan
10. Penjualan barang yang tergolong sangat mewah yang dilakukan oleh wajib
pajak badan.

Objek PPh Pasal 23 terdiri dari:

1. Dividen.

2. Bunga.

3. Royalti.

4. Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain kepada Orang Pribadi.


5. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa tanah
dan/atau bangunan.

6. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan,
dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21.

Barang Sangat mewah

1) Pesawat terbang pribadi dan helikopter pribadi;


2) Kapal pesiar, yacht, dan sejenisnya;
3) Rumah beserta tanahnya, dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih
dari Rp5 miliar atau luas bangunan lebih dari 400m 2;
4) Apartemen, kondominium, dan sejenisnya, dengan harga jual atau
pengalihannya lebih dari Rp5 miliar atau luas bangunan lebih dari 150m 2;
5) Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang
berupa sedan, jeep, sport utility vehicle (suv), multi purpose vehicle (mpv),
minibus, dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp2 miliar atau dengan
kapasitas silinder lebih dari 3000cc; dan/atau
6) Kendaraan bermotor roda dua dan tiga dengan harga jual lebih dari Rp300
juta atau dengan kapasitas silinder lebih dari 250cc.

Pemungut PPh Pasal 22

Bendahara & badan-badan yang memungut PPh Pasal 22 sebesar 1,5% dari pembelian adalah:

1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) atas objek PPh Pasal
22 impor barang;
2. Bendahara Pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut
pajak pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau Lembaga Pemerintah dan
lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang;
3. Bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang yang
dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP);
4. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA)  atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar
yang diberikan delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), berkenaan dengan
pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan
mekanisme pembayaran langsung (LS);
5. Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian
besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal
dari kekayaan negara yang dipisahkan, yang meliputi:
o PT Pertamina (Persero), PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), PT Perusahaan
Gas Negara (Persero) Tbk., PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk., PT
Garuda Indonesia (Persero) Tbk., PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk.,
PT Wijaya Karya (Persero) Tbk., PT Adhi Karya (Persero) Tbk., PT Hutama
Karya (Persero), PT Krakatau Steel (Persero);
o Bank-bank Badan Usaha Milik Negara, berkenaan dengan pembayaran atas
pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usahanya.
6. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian,
peternakan, dan perikanan, atas pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul untuk
keperluan industrinya atau ekspornya.
7. Industri atau badan usaha yang melakukan pembelian komoditas tambang batubara,
mineral logam, dan mineral bukan logam, dari badan atau orang pribadi pemegang izin
usaha pertambangan. 
Wajib pajak badan atau perusahaan swasta yang wajib memungut PPh Pasal 22 saat penjualan
adalah:

1. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri
baja, industri otomotif, dan industri farmasi, atas penjualan hasil produksinya kepada
distributor di dalam negeri;
2. Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan
importir umum kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor di dalam
negeri;
3. Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, atas
penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas; 
4. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri baja yang merupakan
industri hulu, termasuk industri hulu yang terintegrasi dengan industri antara dan industri
hilir.
5. Pedagang pengumpul berupa badan atau orang pribadi yang kegiatan usahanya:
o mengumpulkan hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan
perikanan; dan
o menjual hasil tersebut kepada badan usaha industri dan eksportir yang bergerak
dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan.
6. Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No.  90/PMK.03/2015, pemerintah
menambahkan pemungut PPh Pasal 22 dengan wajib pajak badan yang melakukan
penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
  Pihak Pemotong PPh Pasal 23:
1. Badan Pemerintah ;
2. Bentuk Usaha Tetap ;
3. Penyelenggara Kegiatan ;
4. Subjek Pajak badan dalam negeri ;
5. Perwakilan perusahaan luar negeri ;
6. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri  yang menerima penunjukan
langsung dari Direktur Jenderal Pajak, yaitu akuntan, arsitekm dokter notaris, pejabat
pembuat akta tanah, kecuali camat, pengacara, dan konsultan yang melakukan
pekerjaan bebas.

Tarif PPh Pasal 22

1. Atas impor:
o yang menggunakan Angka Pengenal Importir (API) = 2,5% x nilai impor;
o non-API = 7,5% x nilai impor;
o yang tidak dikuasai = 7,5% x harga jual lelang.
2. Atas pembelian barang yang dilakukan oleh DJPB, Bendahara Pemerintah,
BUMN/BUMD = 1,5% x harga pembelian (tidak termasuk PPN dan tidak final.)
3. Atas penjualan hasil produksi ditetapkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal
Pajak, yaitu:
o Kertas = 0.1% x DPP PPN (Tidak Final)
o Semen = 0.25% x DPP PPN (Tidak Final)
o Baja = 0.3% x DPP PPN (Tidak Final)
o Otomotif = 0.45% x DPP PPN (Tidak Final)
4. Atas penjualan hasil produksi atau penyerahan barang oleh produsen atau importir
bahan bakar minyak,gas, dan pelumas adalah sebagai berikut:
o Pungutan PPh Pasal 22 kepada penyalur/agen, bersifat final. Selain penyalur/agen
bersifat tidak final
5. Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang
pengumpul ditetapkan = 0,25 % x harga pembelian (tidak termasuk PPN)
6. Atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu oleh importir yang menggunakan API
= 0,5% x nilai impor.
7. Atas penjualan
o Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp 20.000.000.000,-
o Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 10.000.000.000,-
o Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari
Rp 10.000.000.000,- dan luas bangunan lebih dari 500 m2.
o Apartemen, kondominium,dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya
lebih dari Rp 10.000.000.000,- dan/atau luas bangunan lebih dari 400 m2.
o Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa
sedan, jeep, sport utility vehicle(suv), multi purpose vehicle (mpv), minibus dan
sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah)
dan dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc. Sebesar 5% dari harga jual tidak
termasuk PPN dan PPnBM.
8. Untuk yang tidak memiliki NPWP dipotong 100% lebih tinggi dari tarif PPh Pasal 22.
Cara Penyetoran

1. Pemungutan PPh Pasal 22 atas impor barang dilaksanakan dengan cara penyetoran oleh
importir yang bersangkutan atau Direktorat Jenderal Bea dan Cukai ke kas negara melalui
Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Penyetoran
dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak.
2. Pemungutan PPh Pasal 22 atas pembelian barang oleh Bendahara Pemerintah dan KPA,
bendahara pengeluaran dan pejabat penerbit Surat Perintah Membayar, wajib disetor oleh
pemungut ke kas negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh
Menteri Keuangan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak yang telah diisi atas nama
rekanan serta ditandatangani oleh pemungut pajak.Surat Setoran Pajak tersebut berlaku
juga sebagai Bukti Pemungutan Pajak

3. Pemungutan PPh Pasal 22 oleh pemungut pajak selain , wajib disetor oleh pemungut ke kas
negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan
dengan menggunakan Surat Setoran Pajak. Pemungut wajib menerbitkan Bukti Pemungutan
pajak rangkap tiga.

Kewjiban Pelaporan

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan pemungut pajak wajib melaporkan hasil pemungutannya
dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa ke Kantor Pelayanan Pajak.

Semua Pemungutan PPh Pasal 22 bersifat tidak final dan dapat diperhitungkan sebagai
pembayaran PPh dalam tahun berjalan bagi Wajib Pajak yang dipungut, kecuali atas penjualan
bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas oleh Produsen atau importir bahan bakar
minyak, bahan bakar gas, dan pelumas kepada penyalur/agen.

Di bawah ini adalah tarif dan objek pajak yang terkena PPh Pasal 23 yang berlaku di
Indonesia.
1. Dikenakan 15% dari jumlah bruto atas:
a. dividen kecuali pembagian dividen kepada orang pribadi dikenakan final, bunga, dan
royalti;
b. hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong PPh pasal 21.

2. Dikenakan 2% dari jumlah bruto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan
dengan penggunaan harta, kecuali sewa tanah dan/atau bangunan.
3. Dikenakan 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa
konstruksi, dan jasa konsultan.
4. Dikenakan 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa lainnya, misalnya: 
a. Jasa penilai;

b. Jasa aktuaris;

c. Jasa akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan;

d. Jasa hukum;

e. Jasa arsitektur;

f. Jasa perencanaan kota dan arsitektur landscape;


g. Jasa perancang;

h. Jasa pengeboran di bidang migas kecuali yang dilakukan BUT;

i. Jasa penunjang di bidang penambangan migas;

j. Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas;

k. Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara;

l. Jasa penebangan hutan.

5. Untuk yang tidak ber-NPWP dipotong 100% lebih tinggi dari tarif PPh Pasal 23.
6. Yang dimaksud dengan jumlah bruto adalah seluruh jumlah penghasilan yang
dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya
oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan,
bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib
Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap. Tidak termasuk:
a. Pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai
imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dibayarkan WP penyedia tenaga kerja
kepada tenaga kerja yang melakukan pekerjaan, berdasarkan kontrak dengan
pengguna jasa;

b. Pembayaran atas pengadaan/pembelian barang atau material (dibuktikan dengan


faktur pembelian);

c. Pembayaran kepada pihak kedua (sebagai perantara) untuk selanjutnya dibayarkan


kepada pihak ketiga (dibuktikan dengan faktur tagihan pihak ketiga disertai dengan
perjanjian tertulis);
d. Pembayaran penggantian biaya (reimbursement), yaitu penggantian pembayaran
sebesar jumlah yang nyata-nyata telah dibayarkan pihak kedua kepada pihak ketiga
(dibuktikan dengan faktur tagihan atau bukti pembayaran yang telah dibayarkan kepada
pihak ketiga).

1. Pajak Penghasilan Pasal 23 terutang pada akhir bulan pembayaran atau pada akhir bulan
terutangnya pendapatan yang bersanglautan.  Hal yang disetujui dengan saat terutangnya yang
dibicarakan saat pembebanan sebagai biaya oleh pemotong pajak sesuai dengan metode
pembukuan yang dianutnya. 
2. Pajak Penghasilan Pasal 23 harus disetorkan oleh Pemotong Pajak selambat-lambatnya
tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajakke bank atau
Kantor Pos Indonesia
3. Pemotong PPh Pasal 23 diwawancarai dengan surat pemberitahuan Masa Selambat-
lambatnya 20 (dua  puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir. 
4. Pemotong PPh Pasal 23 harus memberikan tanda bukti pemotongan kepada orang pribadi
atau badan yang dibebani Pajak Penghasilan yang dipotong. 
5. Dilakukan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh. Pasal 23 dilakukan secara
desentralisasi, dilakukan di tempat pembayaran atau terutangnya yang merupakan Objek PPh. 
Transaksi-transaksi yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 pembayaran yang
dilakukan oleh kantor pusat, PPh Pasal 23 dipotong, disetor, dan dikirim oleh kantor pusat,
sedangkan objek PPh Pasal 23 yang pembayarannya dilakukan oleh kantor cabang, misalnya
penyewaan kantor cabang, PPh Pasal 23  dipotg disetor, dan disetujui oleh kantor cabang yang
diserahkan.

Pengertian PPh Pasal 24 (Pajak Penghasilan Pasal 24)


PPh Pasal 24 (Pajak Penghasilan Pasal 24) adalah peraturan yang mengatur hak wajib
pajak untuk memanfaatkan kredit pajak mereka di luar negeri, untuk mengurangi nilai pajak
terhutang yang dimiliki di Indonesia.

Sehingga, jumlah pajak yang harus dibayar di Indonesia dapat dikurangi dengan jumlah pajak
yang telah mereka bayar di luar negeri, asalkan nilai kredit pajak di luar negeri tidak melebihi
hutang pajak yang ingin dibayar di Indonesia. Pemanfaatan kredit pajak di luar negeri ini
dimaksudkan agar wajib pajak tidak terkena pajak ganda

Perhitungan

1. Menghitung PKP
Jumlah penghasilan neto = Penghasilan dari dalam negeri + Penghasilan dari luar negeri

2. Menghitung Total PPh Terutang


Tarif PPh Pasal 17 ayat 1 b (25%) x PKP

3. Menghitung PPh Maksimum Dikreditkan sesuai Perbandingan Penghasilan

Penghasilan luar negeri


x Total PPh terutang
Penghasilan Kena Pajak
4. Menghitung PPh yang Dipotong atau Dibayar di Luar Negeri
Tarif Pajak di luar negeri x Penghasilan luar negeri

PERMOHONAN KREDIT PAJAK LUAR NEGERI Pajak yang terutang atau dibayar di
luar negeri akan dapat dikreditkan, tetap sesuai dengan persyaratan Wajib Pajak
menyampalkan surat yang diberikan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan dilampirl: 
1. laporan keuangan 
 2, salinan Surat Pemberitahuan Pajak yang dikirim di luar negeri: dan 
3. dokumen pembayaran pajak di luar negeri
Permohonan kredit pajak luar negeri harus disampaikan bersamaan dengan
penyampafanral Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh. 
 Direktur Jenderal Pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian
permohonan-permohonan-permohonan-permohonan-permohonan-permohonan-
permohonan di luar-wilayah Wajib Pajak

PENGGABUNGAN PENGHASILAN
Langkah pertama yang harus dilakukan dalam menghitung total PPh terutang dalam
setiap tahun  dari luar negeri) yang digunakan sebagai dasar untuk menghitung PPh
tersebut.  Untuk informasi lebih lanjut tentang luar negeri, berikut ini ketentuan-
ketentuan atas penggabungan pelaporan tersebut. 
1. Penghasilan yang diperoleh dari usaha.  Penggabungan dilakukan di tahun yang lalu
(basis akrual)
2. Penghasilan lainnya, seperti sewa, bunga, royalti, dan lain-lain.  Penggabungan
dilakukan di tahun pajak yang diterima. 
3. Penghasilan dari dividen yang diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dari penyertaan
modal sekurang-tinggi 50% dari jumlah saham disetor atau total bersama-sama dengan
Wajib Pajak di negara lain sekurang-tinggi 50% dari jumlah uang disetor pada badan
usaha di luar negeri  tidak diperjualbelikan di bursa efek.  Penggabungan dilakukan di
tahun pajak saat dividen tersebut diperoleh

disetujui dividen di dalam kerangka penggabungan tersebut ditctapkan sesuai dengan


Keputusan Menteri Keuangan, yaitu:
1 Saat. pada bulan lalu setelah batas waktu yang diperlukan untuk menghasilkan Surat
Pengumuman Pajak Penghasilan (SPT Tahunan PPh) badan  usaha di luar CS
Scannenegeri untuk tahun pajak yang dimiliki, atadh CamScanner

2. Jika tidak ditentukan batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh, atau tidak ada
persyaratan penyampaian SPT PPh, saat diperolehnya dividen adalah pada bulan ketujuh
setelah tahun pajak berakhir. 
Penentuan besarnya dividen yang digabungkan dengan yang lain dihitung herdasarkan jumlah
yang ditentukan oleh badan usaha di luar negeri atas.  laba setelah pajak.  Laba setelah pajak
adalah laba usaha sesuai dengan laporan keuangan yang disusun berdasarkan prinsip-prinsip
akuntansi yang lazim diterapkan di negara yang disetujui dan telah diaudit oleh akuntan publik,
setelah diperhitungkan dengan PPh terutang di negara tersebut
Apabila kemudian terjadi pembagian dividen dalam jumlah yang ditambah dividen berdasarkan 
penghitungan Wajib Pajak dalam negeri tersebut dapat terjadi pembagian dividen maka
penghitungan taksir wajib dalam SPT Tahunan PPh pada tahun pajak dibagikannya dividen
tersebut.  Namun, jika sebelum jangka waktu ini dinyatakan sebagai badan usaha di luar negeri
yang harus sudah dibagi dividen yang menjadi hak Wajib Pajak maka dividen yang
digabungkan menjadi sebesar dividen yang dibagikan tersebut
Dividen yang menjadi hak Wajib Pajak adalah dividen yang sekurang-kurangnya sama
besarnya dengan dividen yang dihitung sebanding dengan penyertaan Wajib Pajak pada badan
usaha di luar negeri.
Apabila kemudian terjadi pembagian dividen selain dividen yang telah dibagikan di atas maka
dividen tersebut wajib dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh pada tahun pajak dibagikannya
dividen tersebut.

Anda mungkin juga menyukai