Anda di halaman 1dari 9

TEORI-TEORI PENDIDIKAN

1. Pengertian Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. (UUR.I. No. 2 Tahun
1989, Bab 1, Pasal 1).[1]
Menurut Theodore Meyer Greene, pendidikan adalah usaha manusia untuk menyiapkan dirinya
untuk suatu kehidupan yang bermakna.[2]
Pendidikan ialah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam
usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. (kamus besar bahasa
indonesia, 1991).[3]
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UUSPN No. 20 tahun
2003).[4]
1. Teori-Teori Pendidikan
Sebuah teori adalah sebuah sistem konsep-konsep yang terpadu, menerangkan, dan memprediksi.
Sebuah teori pendidikan adalah sebuah sistem konsep-konsep yang terpadu, menerangkan dan
prediktif tentang peristiwa-peristiwa pendidikan. Teori pendidikan ada yang berperan sebagai
asumsi atau titik tolak pemikiran pendidikan dan ada yang berperan sebagai definisi
menerangkan makna. Asumsi pokok pendidikan adalah:[5]
1. Pendidikan adalah aktual, artinya pendidikan bermula dari kondisi-kondisi aktual dari
individu yang belajar dan lingkungan belajarnya.
2. Pendidikan adalah normatif, artinya pendidikan tertuju pada mencapai hal-hal yang baik
atau norma-norma yang baik.
3. Pendidikan adalah suatu proses pencapaian pendidikan berupa serangkaian kegiatan
bermula dari kondisi-kondisi aktual dan individu yang belajar, tertuju pada pencapaian
individu yang diharapkan.
Gambaran pendidikan dilihat dari teori pendidikan secara faktual adalah aktivitas sekelompok
orang dan guru yang melaksanakan kegiatan pendidikan untuk orang-orang muda dan secara
prespektif memberi petunjuk bahwa pendidikan adalah muatan, arahan, pilihan yang telah
ditetapkan sebagai wahana pengembangan masa depan anak didik yang tidak terlepas dari
keharusan kontrol manusia. Pemahaman mengenai pendidikan mengacu pada konsep tersebut
menggambarkan bahwa pendidikan seperti sifat sasarannya yaitu manusia mengandung banyak
aspek dan sifatnya sangat kompleks. Karena sifatnya yang demikian kompleks tersebut, maka
tidak suatu batasan pun yang cukup memadai untuk menjelaskan arti pendidikan secara lengkap.

Pernyataan secara filosofis apa itu pendidikan harus diangkat pada level konsep yang tinggi,
sehingga terlepas dari pengertian yang hanya melihat pendidikan sebagai kegiatan belajar
mengajar saja dan suatu usaha membantu orang lain menjadi manusia terdidik, dan ini muncul
sebagai fenomena sosial. Secara prinsip pernyataan filosofis harus memberi identitas pada
pendidikan yang berbeda dengan yang lain bersifat “cross culture” artinya bahwa kita melihat
pendidikan itu dengan konsep yang lebih luas dan lintas kultural yang memandang manusia
sebagai bagian dari masyarakat sosial yang secara akumulatif mempengaruhi proses pendidikan.
[6]
Ada berbagai rumusan yang dikemukakan untuk memahami yang dikemukakan untuk
memahami apa itu pendidikan, diantaranya ada yang melihat dari berbagai sudut pandang
keilmuan tertentu seperti pandangan:[7]
1. Sosiologik memandang pendidikan dari aspek sosial, yaitu mengartikan pendidikan
sebagai usaha pewarisan dari generasi ke generasi. Pandangan tradisi sosial selama ini melihat
bahwa pendidikan itu bertujuan agar orang lain menjadi terdidik, dan untuk menjadi terdidik
mereka harus belajar.
2. Antrophologik memandang pendidikan adalah enkulturasi yaitu proses pemindahan
budaya dari generasi ke generasi (mengartikan pendidikan sebagai usaha pemindahan
pengetahuan dan nilai-nilai kepada generasi berikutnya).
3. Psikologik memandang pendidikan dari aspek tingkah laku individu, yaitu mengartikan
pendidikan sebagai perkembangan kapasitas individu secara optimal. Pendidikan sebagai suatu
sistem adalah suatu keseluruhan karya insani yang terbentuk dari bagian-bagian yang
mempunyai hubungan fungsional dalam membantu terjadinya proses transformasi atau
perubahan tingkah laku seseorang sehingga mencapai kualitas hidup yang diharapkan.
4. Ekonomi, yaitu memandang pendidikan sebagai usaha penanaman modal insani (human
capital) yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu bangsa.
5. Politik yang melihat pendidikan adalah proses menjadi warga negara yang diharapkan
(civilisasi) sebagai usaha pembinaan kader bangsa yang tangguh. Konsep politik menjadi
dasar penyelenggaraan sistem pendidikan makro nasional. Karena itu politik dimaknai sebagai
pembentukan dan aksi-aksi koalisi (kelompok-kelompok) yang bertujuan untuk
mempengaruhi nilai (tujuan) yang mana yang akan diimplementasikan pemerintah.
6. Pendidikan selalu dapat dibedakan menjadi teori dan praktek, teori pendidikan adalah
pengetahuan tentang makna dan bagaimana seyogianya pendidikan itu dilaksanakan,
sedangkan praktek adalah tentang pelaksanaan pendidikan secara kronkritnya. Teori dan
praktek itu seyogianya tidak dipisahkan, siapa yang berkecimpung di bidang pendidikan
sebaiknya menguasai kedua hal tersebut.
7. O’Connon berpendapat bahwa suatu teori pendidikan  perlu memiliki syarat-syarat,
seperti logis yaitu memenuhi syarat-syarat untuk berfikir lurus dan benar, deskriptif atau
penggambaran berarti dipaparkan secara jelas, dan menjelaskan berarti memberikan
penerangan. Teori pendidikan menurut Pratte  tidak dapat disusun seperti teori dalam
ilmu pengetahuan alam. Teori pendidikan disusun sebagai latar belakang yang hakiki dan
sebagai rasional dari praktek pendidikan serta pada dasarnya bersifat direktif (bermakna
pendidikan itu mengarah kepada tujuan yang pada hakekatnya untuk mencapai
kesejahteraan bagi subjek didik).[8]
8. Pendidikan mempunyai objek materi manusia, maka nilai-nilai yang berkenaan
kemanusiaan menjadi muatan dalam teori pendidikan. Dalam teori pendidikan tentu
menjadi pertimbangan penting pengertian dasar tentang manusia seperti materialis-
spiritual yaitu terbentuknya aku, historisitas adalah pertumbuhan dan perkembangan
individu secara kontinu dengan memperhatikan latar belakang keadaan sekarang dan
masa yang akan datang, sosialitas, etis yaitu terbentuknya keterkaitan struktur kejiwaan
individu dan tata pergaulan dengan nilai-nilai kesusilaan agar dapat dicapai ketentraman
dan ketenangan, dan religius yaitu manusia berhadapan dan berhubungan dengan
penciptanya yaitu Tuhan seru sekalian alam. Nilai adalah norma yang berfungsi sebagai
petunjuk dalam mengidentifikasi apa yang diwajibkan, diperbolehkan, dan dilarang.
Teori pendidikan juga perlu menggunakan referensi hubungan pribadi dengan pribadi.[9]
9. O’Connon mengatakan bahwa teori pendidikan tidak memiliki keterkaitan logis sebagai
suatu rangkaian hipotesis dan gagal membentuk suatu paradigma sebagai suatu teori
ilmiah. Tetapi ini disangkal oleh Langford yang berpendapat bahwa teori pendidikan
tidaklah gagal menjadi suatu teori didalam bahasa ilmiah, kemudian persoalannya
bukanlah gagal atau berhasil menjadi suatu teori.[10]
10. Hirst mengatakan bahwa sifat pelaksanaan dari teori pendidikan disuatu sisi itu adalah
teori dan barangkali bukan bagian dari pelaksanaan pendidikan. Sebab pendidikan
mampu mengarahkan pelaksanaan sekaligus memiliki nilai penghargaan dan itu
merupakan kebenaran yang universal. Jadi teori pendidikan yang dihasilkan adalah
universal dan mampu menggiring pelaksanaan pendidikan kemana-mana, ini tidak terkait
pada pendidikan dalam konteks tradisional tetapi didesain untuk pengajaran konteks
tradisional. Kemudian ditegaskan kembali bahwa pendidikan dapat dimaknai sebagai
proses mengubah tingkah laku anak didik agar menjadi manusia dewasa yang mampu
hidup mandiri dan sebagai anggota masyarakat dalam lingkunagn alam sekitar dimana
individu itu berada. Artinya pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta
didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latian baik yang dilaksanakan secara
formal disekolah maupun non-formal diluar sekolah.[11]
Teori pendidikan merupakan landasan dalam pengembangan praktik-praktik pendidikan,
misalnya pengembangan kurikulum, proses belajar mengajar, dan manajemen sekolah.
Kurikulum dan pembelajaran memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan teori pendidikan.
Suatu kurikulum dan rencana pembelajaran disusun dengan mengacu pada teori pendidikan.[12]
Ada empat teori pendidikan, yaitu:[13]
1. Teori pendidikan klasik (classical education).
Teori pendidikan klasik berlandaskan pada filsafat klasik, seperti perenialisme, essensialisme dan
eksistensialisme, yang memandang bahwa pendidikan berfungsi sebagai upaya memelihara,
mengawetkan dan meneruskan warisan budaya. Teori pendidikan ini lebih menekankan peranan
isi pendidikan dari pada proses. Isi pendidikan atau materi di ambil dari khazanah ilmu
pengetahuan yang ditemukan dan dikembangkan para ahli tempo dulu yang telah disusun secara
logis dan sistematis. Dalam praktiknya, pendidikan mempunyai peranan besar dan lebih
dominan, sedangkan peserta didik memiliki peran yang pasif, sebagai penerima informasi dan
tugas-tugas dari pendidik. Pendidikan klasik menjadi sumber bagi pengembangan model
kurikulum subjek akademis, yaitu suatu kurikulum yang bertujuan memberikan pengetahuan
yang solid serta melatih peserta didik menggunakan ide-ide dan proses “penelitian”, melalui
metode ekspositori dan inkuiri.

2. Teori pendidikan personal (personalized education).


Teori pendidikan ini bertolak dari asumsi sejak dilahirkan anak telah memiliki potensi-potensi
tertentu. Pendidikan harus dapat mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki peserta didik
dengan bertolak dari kebutuhan dan minat peserta didik. Dalam hal ini, peserta didik menjadi
pelaku utama pendidikan, sedangkan pendidikan hanya menepati posisi kedua, yang lebih
berperan sebagai pembimbing, pendorong, fasilitator dan pelayan peserta didik.

Teori ini memiliki dua aliran yaitu pendidikan progresif dan pendidikan romantik. Pendidikan
progresif dengan tokoh pendahulunya, Francis Parker dan John Dewey memandang bahwa
peserta didik merupakan satu kesatuan yang utuh. Materi pengajaran berasal dari pengalaman
peserta didik sendiri yang sesuai dengan minat dan kebutuhannya. Ia merefleksi terhadap
masalah-masalah yang muncul dalam kehidupannya. Berkat refleksinya itu, ia dapat memahami
dan menggunakkannya bagi kehidupan. Pendidik lebih merupakan ahli dalam metodologi dan
membantu perkembangan peserta didik sesuai dengan kemampuan dan kecepatannya masing-
masing. Pendidikan romantik berpangkal dari pemikiran-pemikiran J.J Rouseau tentang
tabularasa, yang memandang setiap individu dalam keadaan fitrah, memiliki nurani kejujuran,
kebenaran dan ketulusan.
Teori pendidikan personal menjadi sumber bagi pengembangan kurikulum humanis,  yaitu suatu
model kurikulum yang bertujuan memperluas kesadaran diri dan mengurangi kerenggangan dan
keterasingan dari lingkungan dan proses aktualisasi diri. Kurikulum humanis merupakan reaksi
atas pendidikan yang lebih menekankan pada aspek intelektual (kurikulum subjek akademis).

3. Teknologi pendidikan.
Teknologi pendidikan, yaitu suatu konsep pendidikan yang mempunyai persamaan dengan
pendidikan klasik tentang peranan pendidikan dalam menyampaikan informasi. Namun diantara
keduanya ada yang berbeda. Dalam teknologi pendidikan, yang lebih diutamakan adalah
pembentukan dan penguasaan kompetensi atau kemampuan-kemampuan praktis, bukan
pengawetan dan pemeliharaan budaya alam.
Dalam konsep pendidikan teknologi, isi pendidikan dipilih oleh tim ahli bidang-bidang khusus.
Isi pendidikan berupa objek dan keterampilan yang mengarah kepada kemampuan vokasional. Isi
disusun dalam bentuk desain program atau desain pengajaran dan disampaikan dengan
menggunakan bantuan media elektronika, dan para peserta didik belajar secara individual.
Peserta didik berusaha untuk menguasai sejumlah besar bahkan dan pola-pola kegiatan secara
efisien. Keterampilan-keterampilan barunya segera digunakan dalam masyarakat. Pendidik
berfungsi sebagai direktur belajar (director of learning), lebih banyak tugas-tugas pengelolaan 
dari pada penyampaian dan pendalaman bahan.
Teknologi pendidikan menjadi sumber untuk pengembangan model kurikulum, yaitu model
kurikulum yang bertujuan memberikan penguasaan kompetensi bagi para peserta didik.
Pembelajaran dilakukan melalui metode pembelajaran individual, media buku ataupun media
elektronik, sehingga pembelajar dapat menguasai keterampilan-keterampilan dasar tertentu.

4. Teori pendidikan interaksional.


Pendidikan interaksional yaitu suatu konsep pendidikan yang bertitik tolak dari pemikiran
manusia sebagai makhluk sosial yang senantiasa berinteraksi dan bekerja sama dengan manusia
lain. Pendidikan sebagai salah satu bentuk kehidupan juga berintikan kerja sama dan interaksi.
Dalam pendidikan interaksional menekankan interaksi dua pihak dari pendidik kepada peserta
didik dan dari peserta didik kepada pendidik. Lebih dari itu, interaksi ini juga terjadi antara
peserta didik dengan materi pembelajaran dan dengan lingkungan, antara pemikiran manusia
dengan lingkungannya. Interaksi ini terjadi melalui berbagai bentuk dialog. Dalam pendidikan
interaksional, belajar lebih sekedar mempelajari fakta-fakta. Peserta didik mengadakan
pemahaman eksperimental dari fakta-fakta tersebut, memberikan interpretasi yang bersifat
menyeluruh serta memahaminya dalam konteks kehidupan. Filsafat yang melandasi pendidikan
interaksional yaitu filsafat rekonstruksi sosial.

Pendidikan interaksional menjadi sumber untuk pengembangan model kurikulum rekonstruksi


sosial, yaitu model kurikulum yang memiliki tujuan utama menghadapkan para peserta didik
pada tantangan, ancaman, hambatan-hambatan atau gangguan-gangguan yang dihadapi manusia.
Peserta didik didorong untuk mempunyai pengetahuan yang cukup tentang masalah-masalah
sosial yang mendesak (crucial) dan bekerja sama untuk memecahkannya.
Pembahasan mengenai teori pendidikan, dikenal ada tiga macam aliran:[14]
1. Aliran nativisme
Dengan tokohnya adalah Schopenhaver, ia mengatakan bahwa bakat mempunyai peranan yang
penting, tidak ada gunanya orang mendidik kalau bakat anak memang jelek. Sehingga
pendidikan diumpamakan dengan “mengubah emas menjadi perak” adalah suatu hal yang tidak
mungkin.

2. Aliran empirisme
Dengan tokohnya adalah John Locke, ia mengatakan bahwa pendidikan itu perlu sekali. Teorinya
terkenal dengan istilah “ teori tabularasa”. Ini artinya bahwa kelahiran anak diumpamakan
sebagai kertas putih bersih yang dapat diwarnai setiap orang (penulis). Dalam konteks
pendidikan “warna” terhadap anak didik.

3. Aliran convergensi
Dengan tokohnya Wiliam Stern, aliran ini mengakui kedua aliran sebelumnya. Oleh karena itu
pendidikan sangat perlu, namun bakat (pembawaan) yang ada pada anak didik juga
mempengaruhi keberhasilan pendidikan. Aliran ini seolah-olah merupakan campuran dari aliran
nativisme danaliran empirisme. Aliran ini sekarang banyak dianut.

1. Pilar-Pilar Pendidikan
Ada lima pilar pendidikan yang direkomendasikan UNESCO yang dapat digunakan sebagai
prinsip pembelajaran yang bisa diterapkan didunia pendidikan:[15]
1. Learning to know
Learning to know bukan sebatas proses belajar dimana pebelajar mengetahui dan memiliki
materi informasi sebanyak-banyaknya, menyimpan dan mengingat, namun juga kemampuan
untuk dapat memahami makna dibalik materi ajar yang telah diterimanya. Dengan learning to
know, kemampuan menangkap peluang untuk melakukan pendekatan ilmiah diharapkan bisa
berkembang yang tidak hanya melalui logika empirisme semata, tetapi juga secara transendental,
yaitu kemampuan mengaitkannya dengan nilai-nilai spiritual
2. Learning to do
Learning to do merupakan konsekuensi dari learning to know. Kelemahan model pendidikan dan
pengajaran yang selama ini berjalan adalah mengajarkan “omong” (baca: teori), dan kurang
menuntun orang untuk “berbuat” (praktik). Learning to do bukanlah pembelajaran yang hanya
menumbuhkembangkan kemampuan berbuat mekanis dan keterampilan tanpa pemikiran; tetapi
mendorong peserta didik agar terus belajar bagaimana menumbuhkembangkan kerja, juga
bagaimana mengembangkan teori atau konsep.
3. Learning to be
Melengkapi learning to know dan learning to do, Robinson Crussoe berpendapat bahwa manusia
itu tidak bisa hidup sendiri tanpa kerja sama atau dengan kata lain manusia saling bergantung
dengan manusia lain. Manusia di era sekarang bisa hanyut ditelan waktu jika tidak berpegang
teguh pada jati dirinya. Learning to be akan menuntun peserta didik menjadi ilmuan sehingga
mampu menggali dan menentukan nilai kehidupannya dan menentukan nilai kehidupannya
sendiri dalam hidup bermasyarakat sebagai hasil belajarnya.
4. Learning to live together
Learning to live together ini mengajarkan seseorang untuk hidup bermasyarakat dan menjadi
manusia berpendidikan yang bermanfaat baik bagi diri sendiri dan masyarakatnya maupun bagi
seluruh umat manusia.
5. Learning how to learn
Learning how to learn akan membawa peserta didik pada kemampuan untuk dapat
mengembangkan strategidan kiat belajar yang lebih independen, kreatif, inovatif, efektif dan
efisien, dan penuh percaya diri, karena masyarakat adalah learning society atau knowledge
society. Orang-orang yang mampu menduduki posisi sosial yang tinggi dan penting adalah
mereka yang mampu belajar terus menerus.
 

DAFTAR PUSTAKA
Hamalik, Oemar. 2011. Kurikulum Dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.
Tafsir, Ahmad. 1990. Metodik Khusus Pendidikan Agama Islam. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Sagala, Syaiful. 2011. Konsep Dan Makna Pembelajaran. Bandung:ALFABETA, cv.
Arief, Armai. 2002. Pengantar Ilmu Dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Pers.
Kadir, Abdul. 2012. Dasar-Dasar Pendidikan. Jakarta: Kencana
[1] Dr. Oemar Hamalik, Kurikulum Dan Pembelajaran,  (Jakarta : Bumi Aksara, 2011), Cet ke-
11, Hlm 2.
[2] Dr. Ahmad Tafsir, Metodik Khusus Pendidikan Agama Islam, (Bandung : PT Remaja
Rosdakarya, 1990), Hlm 6.
[3] Prof. Dr. Syaiful Sagala,  Konsep Dan Makna Pembelajaran,  (Bandung : ALFABETA, cv,
2011), Cet Ke-9, Hlm. 2.
[4] Ibid, Hlm 3.
[5] Ibid, Hlm 4.
[6] Ibid, Hlm 5.
[7] Ibid,  Hlm 5-6.
[8] Ibid, Hlm 7.
[9] Ibid.
[10] Ibid. Hlm 8.
[11] Ibid.
[12] Abdul Kadir, Dasar-Dasar Pendidikan,  (Jakarta : Kencana, 2012), Hlm, 141.
[13] Ibid, Hlm 141-143.
[14] DR. Armai Arief, M.A, Pengantar Ilmu Dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta:
Ciputat Pers, 2002), Hlm 5-6.
[15] Abdul Kadir, Op Cit, Hlm 143-145

Anda mungkin juga menyukai