Anda di halaman 1dari 6

BINA NUSANTARA BINUS UNIVERSITY Business Law  

People Innovation Excellence

Home Rubric of Faculty Members TAFSIR PASAL 216 DAN 218 KUHP DALAM...

TAFSIR PASAL 216 DAN 218 KUHP DALAM KAITANNYA


DENGAN UU NO. 9 TAHUN 1998

Oleh AHMAD SOFIAN (Oktober 2016)

Tulisan ini  menganalisis satu kasus konkret terkait dengan penggunaan Pasal 216 ayat (1) dan
218 KUHP dalam perkara penyampaian pendapat secara damai. Jaksa Penuntut Umum
mendakwa  dengan pasal-pasal tersebut dan bukan mendakwanya dengan pasal-pasal yang
ada dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat
di Muka Umum. Dakwaan ini menarik perhatian penulis karena peristiwa konkret yang terjadi
adalah peristiwa yang diatur dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1998. Pertanyaannya adalah:
apakah penggunaan pasal-pasal tersebut tidak bertentangan dengan asas hukum pidana yang
berlaku secara universal, atau apakah jaksa  sedang melakukan trial atas peristiwa hukum
dengan undang-undang lain yang tidak memiliki hubungan kausal dengan peristiwa hukum.

Kasus Posisi

Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya menangkap 23 buruh termasuk 7 buruh perempuan, dua
pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, usai pembubaran aksi
menyampaikan pendapat secara damai di depan Istana Merdeka, Jalan Medan Merdeka Utara,
pada tanggal 30 Oktober 2015 malam.

Perbuatan penyampaian pendapat  dilakukan dengan damai yang dimulai dari permohonan
surat dari 4 organisasi buruh, yaitu Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI), 
Federasi Serikat Pekerja Aneka Sektor Indonesia (FSPASI), Dewan Serikat Buruh Sejahtera
Indonesia (FSBSI),  dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Keempat organisasi sudah
mengajukan surat untuk melakukan penyampaian pendapat secara damai mulai pukul 08.00
sampai dengan selesai. Dalam aksi ini, ada sekitar 11.000 buruh yang menyuarakan
aspirasinya di depan Istana Merdeka, Jalan Medan Merdeka Utara. Massa mulai berdatangan
pada pukul 11.30,  massa juga sempat melaksanakan Sholat Jumat berjemaah di depan Istana
Negara. Setelah itu massa juga melakukan orasi dengan beberapa pengeras suara. Perwakilan
pengunjuk rasa diterima oleh staff Kepresidenan di Istana Negara namun tuntutan buruh
agar PP No. 78 tahun 2015 tentang pengupahan segera dicabut ditolak oleh Pemerintah.

Pada sekitar pukul 18.00 massa aksi  masih melakukan kegiatan penyampaian pendapat
secara damai. Polda Metro Jaya melakukan himbauan agar massa  membubarkan diri. Namun
massa tetap bertahan karena tuntutannya tidak diterima. Petugas melakukan pembubaran
paksa dengan menyemprotkan gas air mata. Lalu petugas juga menembakkan gas air mata ke
arah kerumunan massa. Setelah massa bubar, petugas melakukan penangkapan terhadap 23
orang massa pengunjuk rasa dan 3 orang pengacara publik dan asisten pengacara publik LBH
Jakarta.

Dakwaan

Dalam kasus ini,  jaksa mendakwa para terdakwa dengan Pasal 216 ayat (1) dan Pasa; 218
KUHP.  Jaksa menggunakan kedua pasal ini dengan pertimbangan bahwa para pengunjuk rasa
tidak menghormati perintah penguasa yang diakui oleh undang-undang yaitu petugas
kepolisian. Para penguasa juga tidak membubarkan diri setelah diberi peringatan sebanyak
tiga kali oleh petugas kepolisian sehingga atas atas itu petugas kepolisian membubarkan
secara paksa dan menangkap 23 pengunjuk rasa dan tiga orang pengacara/asisten pengacara
publik LBH Jakarta.

Jaksa juga mengkaitkan dakwaannya dengan  Peraturan Kapolri (Perkap) No. 7 Tahun 2012
tentang Tatacara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, Penanganan Perkara
Penyampaian Pendapat di Muka Umum sebagai dasar untuk menyatakan bahwa massa aksi
telah melanggar ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf a yang menyatakan batas waktu untuk
melakukan unjuk rasa adalah pukul 18.00 waktu setempat. Dengan dasar Perkap ini, petugas
membubarkan massa aksi dan melakukan penangkapan terhadap 23 massa aksi dan 3 orang
pengacara/asisten pengacara publik LBH Medan.

Kedua pasal yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum dapat dilihat di bawah ini:

Pasal 216 ayat (1): Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan
yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau
oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau
memeriksa tindak pidana; demikian pula barang siapa dengan sengaja mencegah,
menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan undang-
undang yang dilakukan oleh salah seorang pejabat tersebut, diancam dengan pidana penjara
paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah.

Pasal 218:  Barang siapa pada waktu rakyat datang berkerumun dengan sengaja tidak segera
pergi setelah diperintah tiga kali oleh atau atas nama penguasa yang berwenang, diancam
karena ikut serta perkelompokan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua
minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah.
Sementara isi Pasal 7 ayat (1) huruf a Perkap No. 7 Tahun 2012 adalah:  “Penyampaian
pendapat di muka umum dilaksanakan, pada tempat dan waktu sebagai berikut: Di tempat
terbuka antara pukul 06.00 sampai dengan 18.00 waktu setempat;…”

Analisis Hukum

Penulis akan menganalisis penggunaan pasal 216  ayat (1), 218 KUHP dan Pasal 7 (1) huruf a
Perkap No. 7 tahun 2012 oleh Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaan kasus unjuk rasa ini.

Unsur-Unsur Pasal 216 ayat 2 dan 218

Sebelum membahas lebih jauh terhadap penggunaan pasal ini, maka perlu diuraikan lebih
dahulu unsur-unsur dari pasal 216 ayat (1) dan unsur-unsur dari pasal 218 KUHP. Unsur-unsur
pasal 216 ayat (1) adalah sebagai berikut:

barang siapa
dengan sengaja
tidak menuruti perintah atau permintanaan menurut undang-undang

atau

barang siapa
dengan sengaja
mencegah/menghalangi/menggagalkan
tindak pejabat guna menjalankan undang-undang.

dipidana paling lama 4 bulan 2 minggu atau denda paling banyak 9 ribu rupiah.

Tafsir yang dapat diberikan atas pasal tersebut adalah bahwa perbuatan yang dapat dipidana
adalah ketika ada seseorang atau sekelompok orang dengan sengaja tidak mengikuti perintah
dari alat-alat perlengkapan Negara  misalnya pegawai negeri sipil atau kepolisian untuk tidak
melakukan sesuatu yang dilarang undang-undang atau mencegah/menghalang-halangi
perbuatan yang dilarang oleh undang-undang, maka pengawai negeri atau kepolisian dapat
melakukan tindakan-tindakan  yang menurut undang-undang dibenarkan. Tindakan yang
dibenarkan oleh undang-undang dapat berupa menyelidiki atau menyidik atau menangkap
atau menahan. Dalam konteks ini, maka harus ada  dasar yang kuat bahwa perbuatan tersebut
melanggar undang-undang, artinya asas legalitas harus terpenuhi lebih dahulu, barulah
pejabat tadi dapat melakukan langkah-langkah yang dibenarkan oleh undang-undang.

Berdasarkan kasus posisi, perbuatan yang dilakukan oleh massa aksi adalah tidak mengikuti
perintah kepolisian untuk membubarkan diri dan menurut kepolisian telah melanggar Pasal 7
ayat (1) Perkab No. 7 tahun 2012.  Merujuk pada Pasal 216 ayat (1), perbuatan yang  dilanggar
haruslah sesuai dengan ketentuan undang-undang, tidak boleh di bawah undang-undang.
Peraturan Kapolri merupakan sebuah pedoman internal  yang mengikat bagi anggota
kepolisian, atau merupakan sebuah SOP (standard operating procedure) bagi petugas kepolisian
ketika melaksanakan tugas mengamankan aksi menyampaikan pendapat secara damai.
Peraturan Kapolri tidak bisa dijadikan dasar untuk menyatakan seseorang telah melanggar
perintah jabatan sepanjang perbuatan tersebut tidak melanggar undang-undang.

Sementara itu, unsur-unsur dari Pasal 218 KUHP adalah sebagai berikut :

Barang siapa
dengan sengaja
berkerumun
tidak segera pergi setelah diperintah tiga kali
oleh pejabat yang berwenang
dipidana paling lama 4 bulan 2 minggu atau denda paling banyak 9 ribu rupiah.

Beberapa unsur dari pasal ini yang patut ditafsirkan adalah “berkerumun”. Berkerumun yang
dimaksudkan dalam pasal ini adalah  perbuatan berkelompok yang lebih lebih dari satu orang
dilakukan secara tidak syah, perbuatan tersebut dilakukan tidak dengan tidak  tentram dan
tidak damai.  Berkerumun juga mengandung unsur bahwa perbautan tersebut memberikan 
ancaman bagi orang lain dan  melanggar ketentuan undang-undang. Oleh karena itu, tidak
semua perbuatan berkerumun dengan serta merta bisa dibubarkan oleh pejabat yang
berwenang atau bisa dikatakan sebagai perbuatan yang melanggar undang-undang, hanya
perbuatan berkerumun yang melanggar undang-undang saja yang bisa dipidana

Undang-Undang No. 9 Tahun 2008

Melakukan unjuk rasa secara damai merupakan sarana untuk meyampaikan aspirasi sebagai
perbuatan yang legal dan dijamin oleh Undang-Undang No. 9 Tahun 1998. Unjuk rasa adalah
peristiwa hukum, yang sejak awal menggunakan sarana Undang-Undang No. 9 Tahun 1998.
Mulai dari proses persiapan  untuk menyampaikan pendapat secara damai, proses
melaporkan kegiatan penyampaian pendapat secara damai dan proses meminta pengamanan
ke Polda Metro hingga proses pembubaran penyampaian pendapat.  Langkah-langkah ini
semua diatur dalam UU tersebut.

Dengan demikian ketika terjadi perbuatan melawan hukum dalam konteks penyampaian
pendapat maka yang digunakan adalah UU No. 9 tahun 1998 bukan undang-undang lain. 
Konteks perbuatan melawan  hukum dalam undang-undang ini diatur secara limitasi
sebagaimana diatur dalam Pasal 15, 16, 17 dan Pasal 18.

Dalam pasal 15 disebutkan bahwa jika pelaksanaan penyampaian pendapat dilakukan dengan
tidak menghormati hak dan kebebasan orang lain, tidak menghormati aturan moral yang
berlaku umum, menaati hukum dan ketentua peraturan perundang-undangan yang berlaku,
tidak menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum dan tidak menjaga
keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa maka pihak kepolisian hanya dapat membubarkan 
penyampaian pendapat tersebut dan undang-undang tidak memerintahkan untuk menangkap
para peserta apalagi menahannya.
Demikian juga jika penyampaian pendapat dilakukan di depan Istana Kepresidenan, tempat
ibadah, instalasi militer dan sarana-sarana umum lainnya, maka para peserta penyampaian
pendapat hanya bisa dibubarkan. Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tidak mengatur masalah
batas waktu untuk  menyampaikan pendapat secara damai, sehingga bisa ditafsirkan bahwa
jika penyampaian pendapat melampaui dari batas waktu dari pemberitahahuan maka peserta
dapat dibubarkan, namun sepanjang tidak melampaui batas waktu, maka peserta
penyampaian pendapat tidak boleh dibubarkan.

Dalam Pasal 16 ditentukan bahwa hanya penyampaian pendapat yang nyata-nyata melanggar
undang-undang yang dapat dikenakan sanksi, sepanjang tidak melanggar undang-undang
maka para seperti penyampaian pendapat tidak dapat dikenakan sanksi pidana. Bahkan Pasal
18 memberikan jaminan terhadap siapa saja yang melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan kepada peserta yang menyampaikan pendapat secara damai atau bahkan
menghalang-halangi warga dalam menyampaikan pendapat dimuka umum maka dapat
dipidana penjara paling lama 1 tahun penjara.

Dengan demikian peristiwa penyampaian pendapat yang dilakukan oleh buruh pada tanggal
30 Oktober 2015 tidak dapat menggunakan sarana undang-undang lain dalam
memperlakukan para peserta, karena Undang-Undang No. 99 Tahun  1998 adalah undang-
undang khusus yang mengenyampingkan undang-undang lainnya. Undang-undang lain
 termasuk KUHP hanya bisa digunakan ketika terjadap peristiwa pelanggaran hukum
sebagaimana diatur dalam KUHP. Pasal-pasal 216 (1) dan pasal 218 KUHP harus ditafsirkan
sebagai pasal-pasal umum sementara pasal-pasal 15, 16, 17 dan 18 UU No. 9 Tahun 1998
adalah pasal-pasal khusus dalam konteks perisitiwa penyampaian pendapat secara damai.

Lex Specialis Derogat Legi Generali

Doktrin lex specialis derogat legi generali diatur dalam dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP yang
menyatakan bahwa jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum,
diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang
dikenakan. Pasal ini digunakan sebagai filter dalam menentukan validitas keberlakuan suatu
peraturan ketika aturan tersebut diatur dalam dua undang-undang yang berbeda dengan
kadar aturan yang berbeda  atau mungkin kadar sanksi yang berbeda pula, maka dipilihlah
aturan yang khusus sebagai aturan yang valid.  Dengan kata lain, aturan yang bersifat umum
tidak memiliki validity lagi untuk diterapkan.

Menurut Hart, asas ini mengatur tentang pembatasan kewenangan aparat penegak hukum
dalam menentukan hukum mana yang berlaku dan diterapkan. Dengan kata lain memberikan
batasan atas tindak represi oleh aparat Negara atas dugaan adanya tindak pidana. Ancel
menambahkan bahwa dalam tahap aplikasi, asas lex specialis derogate legi generalis
merupakan suatu asas yang mengatur kewenangan, bukan terkait dengan perumusan delik.
Dia menambankan bahwa asas ini merupakan suatu games-rules dalam penerapan hukum.
Asas ini penting bagi penegak hukum, dalam menerapkan aturan hukum mana yang
diberlakukan atas suatu peristiwa konkrit tertentu yaitu aturan yang bersifat khusus.
Tidak ada kriteria dalam membatasi ketentuan pidana yang bersifat khusus  (bijzondere
strafbepaling). Namun secara doktrin ada dua cara pandang dalam menentukan ketentuan
khusus ini yaitu cara pandang logis (logische beschouwing) dan cara pandang juridis (jurisdische
beschouwing).  Menurut  Enschede dalam tulisannya yang berjudul “Lex specialis derogat legi
generali” (1963), pandangan secara logis mengatakan bahwa suatu ketentuan pidana yang
bersifat khusus, jika ketentuan pidana tersebut di samping memuat unsur-unsur yang lain,
juga memuat semua unsur dari suatu ketentuan pidana yang bersifat umum. Pandangan ini
juga disebut sebagai suatu logische specialiteit atau sebagai suatu kekhususan secara logis.

Sementara itu dalam pandangan  yuridis dikatakannya suatu ketentuan pidana itu walaupun
tidak memuat semua unsur dari suatu ketentuan yang bersifat umum, ia tetap dianggap
sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, yaitu apabila dengan jelas dapat
diketahui, bahwa pembentuk undang-undang memang bermaksud untuk memberlakukan
ketentuan pidana tersebut sebagai suatu ketetentuan pidana yang bersifat khusus.
Pandangan ini juga disebut suatu jurisdische specialiteit atau systematische specialiteit, yang
berarti kekhususan secara yuridis atau secara sistematis (Alvi Syahrin, 2013).

Mengacu doktrin ini dan ketika dikaitkan dengan  pada pasal 216 ayat (2) dan pasal 218 KUHP
dan pasal 15, 16, 17, 18 Undang-Undang No. 9 Tahun 1998, maka dapat dikatakan bahwa pasal-
pasal 15-18 Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 merupakan lex specialis yang bersifat yuridis
(jurisdische beschouwing). Sehingga penegak hukum seharusnya menggunakan ketentuan-
ketentuan yang bersifat khusus ini yang mengenyampingkan ketentuan-ketentuan yang
bersifat umum.

Kesimpulan

Uraian-uraian yang dipaparkan di atas menunjukkan  bahwa tiga indicator  yang digunakan
sebagai analisa menunjukkan bahwa penggunaan Pasal 216 ayat (2) dan Pasal 218 KUHP
dalam dakwaan adalah  tidak tepat. Pertama, unsur-unsur Pasal 216 ayat (2) dan Pasal 218
KUHP tidak terpenuhi untuk menyatakan bahwa perbuatan unjuk rasa damai sebagai sebuah
tindak pidana. Kedua, penggunaan Perkap No.  7 Tahun 2012 sebagai dasar untuk
membubarkan para peserta yang menyampaikan pendapat secara damai lalu menangkapnya
adalah perbuatan yang bertentangan dengan pasal 18 Undang-Undang No. 9 Tahun 1998.
Ketiga, penggunaan Pasal 216 (2) dan Pasal 218 bertentangan doktrin lex specialis derogat legi
generalis. (***)

Anda mungkin juga menyukai