Anda di halaman 1dari 9

Menyusui dan Kadar IL-10 pada anak-anak yang terpengaruh oleh alergi

protein susu sapi: Sebuah studi restrospektif


Sara Manti, Vassilios Lougaris, Caterina Cuppari, Lucia Tardino, Valeria Dipasquale,
Teresa Arrigo, Carmelo Salpietro, Salvatore Leonardi.

Abstrak

Tujuan: Menilai peran protektif menyusui pada bayi dengan (atopic, eczema, dermatitis
syndrome) AEDS terkait CMPA serta penggunaan IL-10 sebagai penanda/marker evolusi
penyakit.

Metode: 64 anak menyusui dengan AEDS terkait CMPA (31 laki-laki dan 33 perempuan; usia
rata-rata 5,56 ± 2,41 bulan; 21 AEDS ringan; 25 AEDS sedang; 18 AEDS berat) dan 60 bayi
yang diberi makanan buatan/artifisial (33 laki-laki dan 27 perempuan; usia rata-rata 6,01 ± 2,08
bulan; 26 AEDS ringan; 19 AEDS sedang; 15 AEDS berat ) telah dievaluasi. Pada
semua pasien, kadar IL-10 serum telah terdeteksi.

Hasil: Telah terdeteksi perbedaan nilai Significant Score Atopic Dermatitis (SCORAD) yang


signifikan antara anak yang disusui dan tidak (p <0,001). Kadar serum IL-10 lebih rendah pada
anak - anak dengan AEDS terkait CMPA dibandingkan dengan kelompok kontrol yang sehat (p
<0,001). Selain itu, korelasi terbalik yang signifikan antara kadar serum IL-10 dan SCORAD
pada kedua kelompok yang diteliti juga telah dicatat. Secara khusus, kadar IL-10, pada kedua
kelompok, secara signifikan lebih rendah pada anak-anak dengan gejala yang berat. Sebaliknya,
kadar serum IL-10 meningkat secara signifikan pada anak-anak dengan gejala ringan-berat
pada kedua kelompok. Lebih lanjut, pada kelompok anak-anak yang disusui, dengan gejala berat
yang lebih rendah, memiliki kadar serum IL-10 yang lebih tinggi. Terakhir, kadar  serum total 
IgE berkorelasi negatif dengan kadar serum IL-10 pada kedua kelompok anak-anak
yang disusui dan yang tidak, dengan AEDS terkait CMPA (p <0,001).

Kesimpulan: Kami melaporkan bahwa pemberian ASI eksklusif


menyebabkan hiposensitisasi pada anak-anak dengan AEDS terkait CMPA dan hal itu terkait
dengan keparahan penyakit ringan dan kadar serum IL-10 yang lebih tinggi, yang
menghasilkan marker pemantau penyakit yang berguna.

1. Pendahuluan

Alergi protein susu sapi/Cow’s milk protein allergy (CMPA) adalah penyebab
utama alergi makanan pada bayi dan anak-anak di bawah 3 tahun (Fiocchi et al.,
2010; Koletzko et al., 2012), dengan presentasi klinis pleiotropik (mis., kulit, gastrointestinal,
dan pernapasan) dengan intensitas yang bervariasi pada bayi (Fiocchi et al., 2010; Koletzko et
al., 2012; Katz et al., 2010). Meskipun prevalensinya sekitar 2% -7,5%
pada populasi bayi (Fiocchi et al., 2010), kejadiannya turun menjadi <1% pada anak-anak
berusia 6 tahun ke atas (Yavuz et al., 2013). CMPA dihasilkan dari reaksi imunologis terhadap
satu atau lebih protein susu dan mungkin dimediasi oleh imunoglobulin (Ig) E dan non- IgE,
serta campurannya (Fiocchi et al., 2010; Koletzko et al., 2012; Katz et al., 2012; Katz et al.,
2012; Katz et al., 2012; Katz et al., 2012; Katz et al., 2012; Katz et al., 2012; Katz et al.,
2012; al., 2010).

Etiologi dari CMPA masih belum jelas. Riwayat keluarga yang positif dengan atopi, predisposisi
genetik, waktu pengenalan susu sapi, permeabilitas saluran pencernaan,
dan faktor lingkungan telah disarankan sebagai penyebab kumulatif yang mungkin berkontribusi
terhadap perkembangan penyakit ( Fiocchi et al., 2010; Koletzko et al., 2012 ; Katz dkk., 2010 ).

Hal ini menjadi bukti bahwa banyak faktor, melalui modulasi respon imun, dapat mempengaruhi
perkembangan CMPA (Yavuz et al., 2013). Berkaitan dengan hal ini, beberapa penelitian telah
meneliti kemungkinan manfaat pemberian ASI dibandingkan dengan yang
diberi susu formula terhadap alergi makanan pada anak-anak (Greer et al., 2008). ASI diketahui
untuk menunjukkan karakteristik sebagai berikut: (i) mengandung sejumlah kecil CMP (Fiocchi
et al, 2010., (ii) menghambat antigen penyerapan makanan, (iii) dan akhirnya bertindak sebagai
imuno-modulator flora usus (Greer et al., 2008; Kuitunen et al., 2012; Castellazzi et al., 2013).

Faktanya, ASI mengandung banyak komponen yang aktif secara imunologis, termasuk


interleukin (IL)-10, sitokin regulasi utama dari respon inflamasi, yang, dengan
mempromosikan induksi Th-1 dan penekanan fungsi Th-2, membantu bayi dalam adaptasi imun
esensial (Fiocchi et al., 2010; Katz et al., 2010). Secara khusus, IL-10 bahkan mempengaruhi
regulasi lingkungan mikro tolerogenik, mendorong pemeliharaan toleransi kekebalan
terhadap antigen makanan (Berni Canani et al., 2015; Leonardi et al., 2015; Manti et al.,
2015).

Dalam studi retrospektif ini, kami mengevaluasi apakah menyusui dapat mewakili faktor
protektif pada anak-anak terkait CMPA terkait atopic eczema/dermatitis syndrome
(AEDS). Selain itu, kami mengukur kadar serum IL-10 dari bayi yang disusui dan tidak dengan
CMPA, selama periode simptomatik dan asimtomatik, untuk mengevaluasi kegunaannya sebagai
penanda evolusi penyakit.
2. Bahan dan metode

2.1. Subjek dan desain eksperimental

Sebanyak 124 anak, lahir cukup bulan dan berusia 2–36 bulan, telah dirujuk ke Bagian Immuno-
Allergoloy, Genetics and Pediatric Immunology Unit, Department of Pediatrics, University of
Messina, antara September 2013 dan Desember 2013, dan telah didaftarkan dalam penelitian ini.

Subjek memenuhi syarat jika mereka terkena CMPA tanpa gejala alarm, dinilai menurut NICE
(Baker, 2013), tes tantangan susu sapi positif dan skin prick tests (SPT) (susu sapi utuh atau pada
satu protein susu sapi seperti alpha-laktalbumin, kasein, beta-laktoglobulin) atau penentuan
kadar serum IgE total. Tingkat keparahan AEDS dievaluasi menurut indeks Score
Atopic Dermatitis (SCORAD) (Anon, 1993).

Kriteria eksklusi meliputi: penyakit terkait (penyakit hati, infeksi, atau penyakit endokrin,
sindrom genetik, imunodefisiensi, masalah neurologis dan psikiatrik), infeksi dalam waktu satu
bulan sebelum dimulainya penelitian, penyakit kulit lainnya, SPT positif untuk alergen makanan
tambahan, penyakit gastrointestinal (diare dan/atau muntah kronis, penyakit gastroesophageal
reflux, sembelit, kolik, gagal tumbuh, sindrom enterokolitis) dan komorbiditas pernapasan (batuk
dan mengi), serta penggunaan pengobatan apa pun, yang dapat mengganggu hasil
(kortikosteroid) sebelumnya.

Peserta dengan AEDS terkait CMPA dibagi menjadi dua kelompok: disusui atau tidak. Secara
khusus, 64 partisipan (31 laki-laki dan 33 perempuan; usia rata-rata 5,56 ± 2,41 bulan; 21 AEDS
ringan; 25 AEDS sedang; 18 AEDS berat) terdaftar dalam kelompok CMPA yang disusui; 60
partisipan (33 laki-laki dan 27 perempuan; usia rata-rata 6,01 ± 2,08 bulan; 26 AED ringan; 19
AED moderat; 15 AED berat) terdaftar sebagai kelompok non-menyusui dengan CMPA.

73 anak sehat (39 laki-laki dan 34 perempuan; usia rata-rata adalah 5,51 ± 2,93 bulan) terdaftar
sebagai kontrol sehat (kelompok kontrol). Terlepas dari AEDS terkait CMPA, kriteria
inklusi/eksklusi identik dengan yang digunakan untuk grup AEDS terkait CMPA.

Persetujuan tertulis diperoleh dari orang tua dan persetujuan lisan dari anak-anak dan remaja.

Seorang dokter melakukan pemeriksaan fisik pada setiap anak. Data demografi dan karakteristik
klinis lain dari subjek penelitian dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner. Juga,
panjang/berat setiap anak telah diukur.
2.2. Skin prick test dan pengukuran IgE

Skin Prick Test (SPT) dilakukan pada aspek volar lengan bawah dengan menggunakan panel
aero- (meliputi: tungau debu rumah, rumput campuran, parietaria, birch, pohon zaitun, alternaria,
kucing, dan anjing) dan allergen-makanan (kasein, -laktoglobulin, a- laktoalbumin)
(Allergopharma, Reinbek , Jerman). Saline dan histamin normal masing-masing digunakan
sebagai kontrol negatif dan positif. Diameter bintik kulit dicatat pada 15 menit sebagai rata-rata
dari 2 pengukuran perpendikuler. Respon positif didefinisikan sebagai diameter wheal kulit 3
mm atau lebih dibandingkan dengan kontrol negatif (Heinzerling et al., 2013).

Kadar serum IgE total juga ditentukan pada semua subjek dengan sistem ImmunoCAP100


(Phadia, Uppsala, Swedia).

2.3. Tes tantangan oral/oral challenge test

Anak-anak harus dalam keadaan sehat dan obat sistemik dihentikan setidaknya 15 hari
sebelumnya. Pasien dirawat di rumah sakit selama 8 hari (Vázquez-Ortiz et al., 2013; Meglio et
al., 2004; Vandenplas et al., 2007). Dosis awal adalah setetes susu formula di bibir. Jika tidak
ada reaksi tercatat setelah 15 menit, formula tersebut secara oral diberikan dan dosis dinaikkan
sebagai berikut: 0,5, 1, 3, 10, 30, 50, 100 ml setiap 30 menit. Setelah itu, anak-anak mendapatkan
250 ml susu formula berbahan dasar susu sapi setiap hari selama 7 hari. Tantangan
itu dianggap negatif atau positif dengan gejala obyektif. Jika tantangannya positif, anak-anak
menjalani diet eliminasi. Pasien yang tidak menunjukkan gejala selama tes
tantangan, melanjutkan diet normal, meskipun mereka tetap dalam observasi. Tidak semua
subjek menyelesaikan studi.

Ketika melanjutkan CMP dalam diet mereka, meskipun dengan uji tantangan oral negatif, 14
pasien (5 anak yang disusui dan 9 anak yang tidak disusui) melaporkan gejala kulit. Mereka
terdaftar dalam sub-kelompok A (pasien dengan tes tantangan oral negatif dan relaps).

Akhirnya, setelah diet eliminasi, 16 pasien (7 anak yang disusui dan 9 anak yang tidak disusui)
tidak menunjukkan perbaikan gejala, sehingga tidak menjalani tes tantangan oral
dan mempertahankan diet eliminasi CMPA. Mereka terdaftar dalam subkelompok B
(pasien tidak menjalani tes tantangan oral).

2.4. Uji serum sitokin


Alat IL-10 Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) digunakan dengan metode Enzyme
Amplified Sensitivity Immunoassay (EASIA) fase padat pada plat mikrotiter. Tes tersebut
menggunakan antibodi monoklonal yang ditujukan untuk melawan epitop IL-10. Standar (78-
5000 pg/ml) dan sampel direaksikan dengan antibodi monoklonal penangkapan yang dilapisi
pada mikrotiter dengan baik, antibodi monoklonal yang diberi label dengan biotin dan dengan
antibodi monoklonal yang diberi label horseradish peroksidase (HRP). Setelah masa inkubasi
yang memungkinkan pembentukan seperti sandwich: coated-human IL-10 biotin-HRP, plat
mikrotiter dicuci untuk menghilangkan enzim yang tidak terikat antibodi berlabel. Antibodi
berlabel enzim terikat diukur melalui reaksi kromogenik. Larutan kromogenik
(TMB) ditambahkan dan diinkubasi selama 15 menit. Reaksi dihentikan dengan tambahan Stop
Solution dan lempeng-mikrotiter secara berurutan dibaca pada panjang gelombang 450
nm. Besarnya pergantian substrat ditentukan secara kolourimetri dengan mengukur absorbansi
yang sebanding dengan konsentrasi IL tersebut. Sebuah kurva kalibrasi diplot dan konsentrasi
IL-dalam sampel ditentukan dengan interpolasi dari kalibrasi kurva. Penggunaan pembaca
EASIA (linieritas hingga 3 unit OD) dan metode reduksi data yang canggih (reduksi data
polikromatik) menghasilkan sensitivitas tinggi pada kisaran rendah dan pada rentang kalibrasi
yang diperluas. Sampel darah kemudian diambil dalam 3 periode: saat diagnosis CMPA,
3 bulan setelah menghindari susu sapi (pre-challenge), dan post-challenge, untuk mengukur
respon in vitro sitokin (IL-10) terhadap protein susu sapi.

2.5. Analisis data

Data ditabulasi menggunakan Excel 2003 (Microsoft Corp., Redmond, WA, USA). Data yang
terkumpul dianalisis secara statistik dengan software statistik komputer SPSS, versi 15.0. Nilai
p kurang dari 0,05 dianggap signifikan secara statistik. Rata-rata dan deviasi standar dihitung
untuk variabel dan uji-t digunakan untuk perbandingan. Untuk atribut dihitung dulu
persentasenya, kemudian uji v2 digunakan untuk perbandingan. Korelasi antara tingkat
interleukin, keparahan penyakit dan kadar serum IgE dihitung dengan menggunakan uji Pearson.

3. Hasil

Temuan demografis, klinis, dan laboratoris bayi dengan CMPA dirangkum dalam Tabel 1. Tidak


ada perbedaan yang signifikan antara pasien dan subjek menurut jenis kelamin dan usia (Tabel
1).

Dengan mengacu pada karakterisasi keparahan penyakit pada anak-anak dengan AEDS terkait
CMPA, kami menemukan perbedaan poin indeks SCORAD yang signifikan antara anak yang
disusui dan tidak disusui (masing-masing 52,19 ± 2,76 vs 54,91 ± 3,98, p <0,001). Total kadar
serum IgE meningkat secara signifikan di kedua kelompok ASI dan non-ASI (377,53 ± 9,76
U/mL dan 385,58 ± 13,02 U/mL p <0,001, masing-masing).

Kadar serum IL-10 lebih rendah pada anak-anak dengan AEDS terkait CMPA dibandingkan
dengan kelompok kontrol yang sehat (masing-masing 2,63 ± 0,28 pg/ml versus 4,95 ± 0,5 pg/ml;
p <0,001) (Tabel 1).

Selain itu, kadar total serum IgE  berkorelasi negatif dengan kadar serum IL-10 pada kedua anak
yang disusui dengan AEDS terkait CMPA (pada saat diagnosis: r: -0,4016, p <0,001; pada
waktu pre-challenge: r: -0,4301, p <0,001; pada waktu post-challenge: r: -0,4042, p <0,001) dan
anak-anak yang tidak disusui dengan CMPA (pada saat diagnosis: r: -0,53, p <0,001; pada waktu
pre-challenge: r: - 0,3866, p <0,001; pada waktu post-challenge: r : -0,5344, p <0,001).

Selain itu, kami juga mendeteksi korelasi terbalik yang signifikan antara kadar serum IL-10 dan
indeks SCORAD (kelompok yang diberi ASI : AEDS berat r: - 0,5082, p <0,05; AEDS r sedang:
-0,6283, p <0,001; AEDS ringan r: -0,6635 , p <0,001. Kelompok tidak disusui: AEDS berat r:
- 0,6226, p <0,05; AEDS r sedang: -0,6612, p <0,001; AEDS ringan r: -0,9666, p <0,001) (Gbr.
1). Tepatnya, kadar IL-10, pada kedua kelompok, secara signifikan lebih rendah pada anak-anak
dengan gejala berat. Sebaliknya, kadar serum IL-10 meningkat secara signifikan pada anak-anak
dengan gejala ringan-berat pada kedua kelompok (Gbr. 1).

Secara khusus, pada saat diagnosis, membandingkan dua subkelompok, kami bahkan
menemukan bahwa kadar serum,IL-10 secara signifikan lebih rendah pada anak yang tidak
disusui dibandingkan pada anak yang disusui dengan CMPA terkait AEDS (p <0,001) (Tabel 2).

3 bulan setelah diet eliminasi (waktu pre-challenge), kadar serum IL-10 meningkat secara
signifikan pada kedua kelompok.

Tepatnya, pada anak-anak yang disusui dengan AEDS terkait CMPA, kadar IL-10 serum secara
signifikan lebih tinggi pada 3 bulan dibandingkan dengan tingkat pada saat diagnosis (3,04 ±
0,27 pg/ml versus 3,62 ± 0,32 pg/ml, masing-masing; p <0,001) (Tabel 2).
Pada waktu post-challenge, kadar serum IL-10 secara signifikan lebih tinggi dibandingkan
dengan kadar pada 3 bulan (4,77 ± 0,42 pg/ml versus 3,62 ± 0,32 pg/ml, masing-masing; p
<0,001) (Tabel 2).

Gambar 1. Hubungan kadar serum IL-10 dan nilai indeks SCORAD ringan (a), sedang (b) dan,
berat (c) pada bayi terkait AD CMPA dengan pemberian ASI atau tidak.
Pada anak-anak yang tidak disusui dengan AEDS terkait CMPA, kadar serum IL-10 secara
signifikan lebih tinggi pada 3 bulan dibandingkan dengan tingkat pada saat diagnosis (masing-
masing 2,58 ± 0,41 pg/ml versus 2,23 ± 0,3 pg/ml; p <0,001) (Tabel 2).

Pada waktu pasca-tantangan, kadar IL-10 serum secara signifikan lebih tinggi dibandingkan
dengan tingkat pada 3 bulan (3,17 ± 0,52 pg/ml versus 2,58 ± 0,41 pg/ml, masing-masing; p
<0,001) (Tabel 2).

Sebaliknya, dalam subkelompok A e B, kadar serum IL-10  yang rendah atau tidak


meningkat (masing-masing 2,47 ± 0,35 pg/ml versus 2,53 ± 0,58 pg/ml) telah terdeteksi.

4. Diskusi

Dalam penelitian ini, kami membandingkan sekelompok pasien yang disusui dengan anak yang
tidak disusui untuk mengevaluasi peran menyusui pada AEDS terkait CMPA.

Meskipun beberapa penulis menyelidiki peran menyusui dalam perkembangan penyakit atopik,


data yang tersedia tidak mencapai kesimpulan yang jelas (Helm, 2014; Liao et al.,
2014; MiceliSopo et al., 2014; Atanaskovic -Markovic, 2014; Järvinen et al. al., 2014; Flohr et
al., 2014).

Dalam penelitian kami, kami telah menunjukkan bahwa menyusui dikaitkan dengan penyakit
ringan pada anak-anak AEDS terkait CMPA dan juga mendorong pelepasan IL-10 sistemik,
mencapai nilai yang sama dengan yang ditemukan pada kelompok kontrol.

Data ini juga sesuai dengan pengamatan baru-baru ini bahwa IL-10 memiliki peran sentral
dalam meregulasi kaskade inflamasi, dengan memodulasi respons Th2 dan alergi
(Tiemessen et al., 2004; Ma dan Yin, 2013). Sesuai dengan temuan ini, di sini, kami melaporkan
kadar serum IL-10 yang lebih rendah pada bayi yang diberi ASI dengan gejala klinis yang lebih
parah. Sebaliknya, kadar serum IL- 10  yang lebih tinggi tercatat pada anak-anak yang disusui
dengan gejala berat yang lebih rendah .

Data ini juga mengkonfirmasi hipotesis bahwa keparahan AEDS, pada subjek yang terkena
CMPA, mungkin terkait dengan gangguan regulasi IL-10. Selama masa tindak lanjut, kami
mengamati peningkatan yang signifikan secara statistik dari kadar serum IL-10 pada anak-anak
yang mendapat ASI yang menjalani tes tantangan oral terbuka yang positif. Hasil kami
menunjukkan bahwa menyusui, dengan partisipasi sitokin penekan/supresor, seperti IL-10, dapat
menyebabkan hiposensitisasi pada anak-anak yang terkena CMPA. Temuan ini menunjukkan
bahwa pemberian ASI eksklusif, dan sebaliknya dengan pemberian makanan buatan/artifisial,
meningkatkan sitokin anti-inflamasi, yang dipertahankan selama masa bayi.

Akhirnya, data kami menunjukkan bahwa IL-10 tampaknya memainkan peran kunci
dalam keseimbangan kekebalan AEDS terkait CMPA dan mungkin menjadi penanda
yang berguna untuk pemantauan perbaikan penyakit.

Pernyataan persetujuan yang diinformasikan

Semua peserta studi, atau wali sah mereka, memberikan persetujuan tertulis sebelum pendaftaran
studi.

Pernyataan konflik kepentingan

Penulis tidak memiliki konflik kepentingan terkait dengan manuskrip.

Pengungkapan keuangan

Penulis telah menyatakan tidak ada konflik kepentingan.

Pendanaan/dukungan

Penulis menyatakan bahwa penelitian ini tidak didukung oleh dukungan hibah atau sumber
pendanaan.

Anda mungkin juga menyukai