Matahari mulai tinggi, sinarnya semakin terik dan menyilaukan.
Hari itu tak tampak banyak
orang berlalu-lalang, hanya ada satu orang yang terlihat diluar rumah, yaitu Hamid. Hamid sudah berdiri di depan rumah Suminto, ia memanggil-manggil nama sahabatnya. “Minto… Mintoo! Kau masih tidur siang begini? “ teriak Hamid. Tak lama kemudian, tampak seorang perempuan membukakan pintu. Perempuan itu adalah Sumini, istri Suminto. Ia tampak parlente dan berpakaian rapi. Hamid pun menanyakan keberadaan Suminto kepada perempuan tersebut. “Mas… Mas.. Ini ada Pak Hamid” ucap Sumini kepada suaminya. Suminto pun keluar dan menemui Hamid. Ia tampak lesu, hanya menggunakan sarung dan kaos oblong. Melihat penampilan sahabatnya, Hamid pun menyindir Suminto. “Lho, aneh sekali, istrinya parlente, suaminya kayak gembel” sindir Hamid. Suminto pun menjawab sindiran Hamid dengan mengatakan bahwa istrinya akan pergi keluar, sedangkan dirinya hanya akan berdiam diri di rumah. Istri Suminto pamit kepada Hamid dan Suminto sebelum Ia pergi. Suminto tidak suka hari Minggu, menurutnya hari Minggu itu memusingkan, ia tak punya uang lebih untuk dihambur-hamburkan di hari Minggu. “Bagimana tidak lesu dan seperti gembel? Gaji pegawai rendah seperti saya ini tidak seimbang dengan harga-harga di pasar. Gaji yang saya terima saat ini hanya cukup untuk hidup sepuluh hari? Kau tau darimana saya bisa hidup untuk 20 hari berikutnya?” Tanya Suminto kepada Hamid dengan nada yang lemah. Hamid menggeleng. “Dua puluh hari berikutnya saya bergantung pada utang, kalau perlu menjual barang-barang yang layak dijual. Kian lama utang itu bukan semakin sedikit, Pak Hamid.” keluh Suminto Hamid kasihan kepada sahabatnya, akan tetapi Ia tak tahu apa yang bisa Ia lakukan untuk mebantu Suminto. “Suminto, aku sudah beberapa kali mengingatkan kamu untuk tidak pesimis dengan gajimu yang tidak cukup itu. Sebaiknya kau memikirkan cara agar rumah tanggamu menjadi kuat, meski hanya bergantung pada gaji yang pas-pasan.” Hamid berusaha menasihati Sumito “Lantas, apa aku harus korupsi untuk menutupi kekurangan? Aku tidak bisa berbuat senista itu, Pak Hamid.” Jawab Suminto Hamid menarik nafas dalam-dalam dan mebuangnya. Ia sudah tak tahu lagi bagaimana cara menyemangati sahabatnya yang satu ini. Hamid pun teringat akan tujuannya mengunjungi rumah Suminto. “Sudahlah, Minto… Aku kesini sebenarnya mau pinjem raket badminton milikmu” Ucap Hamid. Suminto mengtakan kepada Hamid bahwa raket yang hendak ia pinjam sudah tidak ada lagi. Hamid memiringkan kepala dan menatap Suminto sembari bertanya “Kemana raket itu?” “Sudah kujual untuk menutupi kekurangan” jawab Suminto.