Anda di halaman 1dari 28

Nama : Willy Via Septiani

NIM : 52120018
KASUS SISTEM PERNAFASAN

Tn. D 52 tahun masuk IGD dengan kondisi sesak nafas. Sudah lama kakek sering sesak nafas
karena kedinginan atau terkena debu tetapi akhir-akhir ini semakin sering sesak nafas hamper
setiap malam. Beliau batuk produktif dengan sputum warna kecoklatan. Chest x-ray
menunjukkan adanya hiperinflasi paru dan didiagnosa PPOK exacerbasi akut. Saat masuk
ruangan rawat pasien mengeluh bersin-bersin karena debu di ruangan rumah sakit dan
kedinginan. Setelah diberikan obat pasien mengeluh tidak ada perubahan sesak yang dideritanya.
Riwayat penyakit : Asma, Rhinitis Alergi
Riwayat habit : perokok aktif, kerja jaga perlintasan kereta api , pernah mengalami flek
30 tahun yang lalu tapi sembuh
Data Laboratorium :
FEV 1 = 40%
Tekanan darah= 110/90
Nadi Rate = 110x
Respirasi Rate = 26x
R/ levofloxacin tablet 50 mg 2 x 1
RL 20 tts/menit
Ceftriaxone inj 2 x 1
Dextrometorfan 3 x 1

Kata yang asing :


1. Batuk produktif : Batuk produktif atau yang biasa dikenal dengan istilah
batuk berdahak adalah batuk yang menghasilkan dahak atau lendir. Kemungkinan lendir
mengalir dari tenggorokan, hidung atau sinus, atau paru-paru. Berikut adalah beberapa
penyebab batuk berdahak :
a. Infeksi virus. Batuk oleh karena virus terjadi karena terinfeksi oleh virus influenza.
Batuk dipicu oleh lendir yang mengalir ke bagian tenggorokan.
b. Infeksi saluran nafas. Infeksi pada paru-paru atau saluran nafas dapat menjadi pemicu
terjadinya batuk. Batuk berdahak dapat merupakan gejala dari penyakit pneumonia,
bronkitis, sinusitis atau tuberkulosis.
c. Penyakit Paru-paru Obstruktif Kronik (PPOK). Batuk berdahak dapat merupakan
gejala PPOK yang bertambah parah atau merupakan tanda bahwa telah terjadi infeksi.
d. Gastroesophageal Reflux Disease (GERD). Batuk berdahak dapat menjadi tanda atau
gejala dari meningkatnya asam lambung karena penyakit GERD.
e. Merokok dan penggunaan tembakau. Batuk berdahak merupakan tanda kerusakan
paru-paru atau iritasi tenggorokan atau kerongkongan akibat dari kebiasaan merokok
dan penggunaan tembakau.

2. Sputum : pemeriksaan dahak untuk mendeteksi adanya bakteri penyebab


infeksi saluran pernafasan, terutama infeksi paru-paru (pneumonia). Dahak merupakan
cairan yang diproduksi oleh saluran pernafasan, dan dikeluarkan dari saluran pernafasan
saat batuk. Selain bakteri, pemeriksaan kultur dahak juga dapat mendeteksi infeksi
jamur. 

3. Chest x-ray : suatu proyeksi radiografi dari thorax untuk mendiagnosis kondisi-kondisi
yang mempengaruhi thorax, isi dan struktur-struktur di dekatnya. Foto thorax
menggunakan radiasi terionisasi dalam bentuk x-ray. Dosis radiasi yang digunakan pada
orang dewasa untuk membentuk radiografi adalah sekitar 0.06 mSv.

4. Hiperinflasi paru : merupakan inflasi kronis dan berlebih atau ekspansi paru-paru.
Penyakit ini dapat diakibatkan karbon dioksida berlebih yang terperangkap di dalam
paru-paru atau kurangnya elastisitas paru-paru akibat penyakit pada organ tersebut.

5. PPOK fase eksaserbasi : fase memburuknya PPOK. penyakit peradangan paru yang


berkembang dalam jangka waktu panjang. Penyakit ini menghalangi aliran udara dari paru-
paru karena terhalang pembengkakan dan lendir atau dahak, sehingga penderitanya sulit
bernapas.

6. FEV 1 : besarnya udara yang diembus dalam satu detik.nilai normal 75% - 80%

A. DEFINISI
1. COPD (Chronic Obstructive Pulmonary Disease) adalah penyakit umum yang dapat
dicegah dan diobati, yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang terus-
menerus biasanya progresif dan terkait dengan peningkatan respons inflamasi kronis
di saluran udara dan paru-paru untuk partikel atau gas berbahaya. Eksaserbasi dan
komorbiditas berkontribusi pada keparahan keseluruhan pada individu pasien.
(GOLD, 2014)
2. Asma adalah penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan peradangan saluran napas
kronis. Ini ditentukan oleh Riwayat gejala pernafasan seperti mengi, sesak nafas, dada
sesak dan batuk yang bervariasi waktu dan intensitas, bersama dengan batasan aliran
udara ekspirasi variabel. [GINA 2014]
3. Rinitis alergi, atau hay fever, terjadi saat Anda menghirup sesuatu yang membuat
Anda alergi, dan bagian dalam hidung meradang dan bengkak. (WHO, 2020)

B. Epidemiologi
1. Asma adalah penyakit kronis paling umum di antara anak-anak di seluruh dunia.
Lebih dari 339 juta orang hidup dengan asma. Lebih dari 80% kematian terkait asma
terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah. Pengobatan dan
penanganan asma yang efektif menyelamatkan nyawa (WHO, 2020).
Prevalensi asma terus mengalami peningkatan terutama di negara-negara
berkembang akibat perubahan gaya hidup dan peningkatan polusi udara. Riset
Kesehatan Dasar tahun 2013, melaporkan prevalensi asma di Indonesia adalah 4,5%
dari populasi, dengan jumlah kumulatif kasus asma sekitar 11.179.032. Asma
berpengaruh pada disabilitas dan kematian dini terutama pada anak usia 10-14 tahun
dan orang tua usia 75-79 tahun. Diluar usia tersebut kematian dini berkurang, namun
lebih banyak memberikan efek disabilitas. Saat ini, asma termasuk dalam 14 besar
penyakit yang menyebabkan disabilitas di seluruh Dunia (pdpi, 2018)
2. Penyakit Paru Obstruktif Kronik merupakan penyakit progresif dan mengancam jiwa
yang diperkirakan mempengaruhi lebih dari 251 juta orang di seluruh dunia.
Sedangkan prevalensi di Indonesia menurut Riskesdas 2013 adalah 3,7% atau sekitar
9,2 juta penduduk. Saat ini menjadi penyebab utama keempat kematian di dunia,
menyebabkan lebih dari 3 juta kematian setiap tahunnya. PPOK diperkirakan akan
menjadi penyebab utama ketiga kematian di dunia pada tahun 2020. (PDPI, 2018)
3. Pada penelitian Hauswald et al. (2014), prevalensi rhinitis alergi di dunia adalah 20-
30%, di Eropa 22,7% dan di Jerman 20,6% dan cenderung meningkat. Rinitis alergi
memengaruhi sekitar 500 juta jiwa di dunia. Prevalensi rinitis alergi di Indonesia
adalah sebesar 24,3%. Di Sulawesi Utara, prevalensi rinitis alergi adalah sebesar
27,8%.4 Di Manado, penderita rinitis alergi di poliklinik THT-KL BLU RSUP Prof.
Dr. R. D. Kandou periode Januari 2010-Desember 2012 sebanyak 209 orang
(1,61%). (Riskesda, 2012)
4. Meskipun jumlah kematian akibat tuberkulosis menurun 22% antara tahun 2000 dan
2015, namun tuberkulosis masih menepati peringkat ke-10 penyebab kematian
tertinggi di dunia pada tahun 2016 berdasarkan laporan WHO. Oleh sebab itu hingga
saat ini TBC masih menjadi prioritas utama di dunia dan menjadi salah satu tujuan
dalam SDGs (Sustainability Development Goals). Angka prevalensi TBC Indonesia
pada tahun 2014 sebesar 297 per 100.000 penduduk. Eliminasi TBC juga menjadi
salah satu dari 3 fokus utama pemerintah di bidang kesehatan selain penurunan
stunting dan peningkatan cakupan dan mutu imunisasi. Visi yang dibangun terkait
penyakit ini yaitu dunia bebas dari tuberkulosis, nol kematian, penyakit, dan
penderitaan yang disebabkan oleh TBC.

C. ETIOLOGI
1. Penyebab mendasar asma tidak sepenuhnya dipahami. Faktor risiko terkuat untuk
mengembangkan asma adalah kombinasi dari kecenderungan genetik dengan paparan
lingkungan terhadap zat dan partikel yang dihirup yang dapat memicu reaksi alergi
atau mengiritasi saluran udara, seperti:
o alergen dalam ruangan (misalnya tungau debu rumah di tempat tidur, karpet dan
furnitur boneka, polusi dan bulu hewan peliharaan)
o alergen luar ruangan (seperti serbuk sari dan jamur)
o asap tembakau
o iritasi kimiawi di tempat kerja
o polusi udara
o Pemicu lain dapat berupa udara dingin, gairah emosional yang ekstrim seperti
kemarahan atau ketakutan, dan latihan fisik. Bahkan obat-obatan tertentu dapat
memicu asma: aspirin dan obat anti-inflamasi non-steroid lainnya, dan beta-
blocker (yang digunakan untuk mengobati tekanan darah tinggi, kondisi jantung,
dan migrain). (WHO, 2020)
2. Seiring waktu, paparan bahan iritan yang merusak paru-paru dan saluran udara dapat
menyebabkan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), yang meliputi bronkitis
kronis dan emfisema. Penyebab utama COPD adalah merokok, tetapi bukan perokok
bisa terkena PPOK juga.
o Merokok
Sekitar 85 hingga 90 persen dari semua kasus COPD disebabkan oleh merokok.
Rokok yang terbakar menghasilkan lebih dari 7.000 bahan kimia, banyak di
antaranya berbahaya. Racun dalam asap rokok melemahkan pertahanan paru-paru
Anda terhadap infeksi, mempersempit saluran udara, menyebabkan
pembengkakan di saluran udara, dan menghancurkan kantung udara — semuanya
merupakan faktor penyebab COPD.
o Lingkungan
Apa yang Anda hirup setiap hari di tempat kerja, di rumah, dan di luar dapat
berperan dalam mengembangkan PPOK. Paparan jangka panjang terhadap polusi
udara, asap rokok dan debu, asap dan bahan kimia (yang seringkali terkait dengan
pekerjaan) dapat menyebabkan COPD.
o Defisiensi Alpha-1
Sejumlah kecil orang memiliki bentuk PPOK langka yang disebut emfisema
terkait defisiensi alfa-1. Bentuk PPOK ini disebabkan oleh kondisi genetik
(diturunkan) yang memengaruhi kemampuan tubuh untuk menghasilkan protein
(Alfa-1) yang melindungi paru-paru.
Faktor Risiko COPD
Merokok merupakan faktor risiko terbesar penyakit paru obstruktif kronik (PPOK),
yang meliputi bronkitis kronis dan emfisema. Ini meningkatkan risiko Anda
berkembang dan meninggal akibat COPD. Sekitar 85 hingga 90 persen kasus PPOK
disebabkan oleh merokok. Wanita perokok hampir 13 kali lebih mungkin meninggal
karena PPOK dibandingkan wanita yang tidak pernah merokok; pria perokok hampir
12 kali lebih mungkin meninggal akibat PPOK dibandingkan pria yang tidak pernah
merokok.
Faktor risiko lain untuk COPD meliputi:
o Paparan polusi udara
o Menghirup asap rokok orang lain
o Bekerja dengan bahan kimia, debu dan asap
o Kondisi genetik yang disebut defisiensi Alpha-1
o Riwayat infeksi saluran pernapasan masa kanak-kanak (ALA, 2020)
3. Rinitis alergi adalah suatu kondisi alergi seperti asma, artinya tubuh cenderung bereaksi
berlebihan terhadap jenis zat luar tertentu. disebabkan oleh hidung dan / atau mata yang
bersentuhan dengan alergen lingkungan, seperti serbuk sari, tungau debu, jamur dan bulu
binatang. Salah satu cara bereaksi berlebihan adalah dengan memproduksi antibodi yang
memberi sinyal pada sistem kekebalan Anda untuk melepaskan histamin dan bahan kimia
lainnya. Bahan kimia ini menyebabkan gejala rinitis alergi termasuk bersin, hidung gatal
atau meler, mata gatal atau berair, dan bahkan batuk. (ASCIA, 2019)

D. PATOFISIOLOGI
1. ASMA
Gejala asma, yaitu batuk sesak dengan mengi merupakan akibat dari obstruksi bronkus
yang didasari oleh inflamasi kronik dan hiperaktivitas bronkus.

Hiperaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hiperaktivitas bronkus ini
dapat diukur secara tidak langsung. Pengukuran ini merupakan parameter objektif untuk
menentukan beratnya hiperaktivitas bronkus yang ada pada seseorang pasien. Berbagai
cara digunakan untuk mengukur hiperaktivitas bronkus ini, antara lain dengan uji
provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen maupun inhalasi zat
nonspesifik.
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah factor antara lain allergen, virus
dan iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi akut yang tedirin atas reaksi asma
dini (early asthma reaction = EAR) dan reaksi asma lambat (late asthma reaction = LAR).
Setelah reaksi asma awal dan reaksi asma lambat, proses dapat terus berlanjut menjadi
reaksi inflamasi sub akut atau kronik. Pada keadaan ini terjadi inflamasi di bronkus dan
sekitarnya berupa infiltrasi sel-sel inflamasi terutama eosinophil dan monosit dalam
jumlah besar ke dinding dan lumen bronkus.
Penyempitan saluran napas yang terjadi pada asma merupakan suatu hal yang kompleks.
Hal ini terjadi karena lepasnya mediator dari sel mast yang banyak ditemukan
dipermukaan mukosa bronkus, lumen jalan nafas dan dibawah membrane basal. Berbagai
factor pencetus dapat mengaktivasi sel mast. Selain sel mast sel lain yang juga dapat
melepaskan mediator adalah sel makrofag alveolar, eosinophil, sel epitel jalan nafas,
netrofil, platelet, limfosit dan monosit.
Inhalasi allergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus
vagus, dan mungkin juga epitel saluran nafas. Peregangan vagal menyebabkan reflex
bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan
membuat epitel jalan nafas lebih permeable dan memudahkan allergen masuk ke dalam
submucosa, sehingga memperbesar reaksi yang terjadi.
Mediator inflamasi secara langsung meupun tidak langsung menyebabkan serangan asma,
melalui sel efektor sekunder seperti eosinophil, netrofil, platelet, dan limfosit. Sel-sel
inflamasi ini juga mengeluarkan mediator yang kuat seperti leukotriene, tromboksan,
PAF, dan protein sitotoksis yang memperkuat reaksi asma. Keadaan ini menyebabkan
inflamasi yang akhirnya menimbulkan hiperaktivitas bronkus.

2. PPOK
Hambatan aliran udara yang progresif memburuk merupakan perubahan fisiologi
utama pada PPOK yang disebabkan perubahan saluran nafas secara anatomi di bagian
proksimal, perifer, parenkim dan vaskularisasi paru dikarenakan adanya suatu proses
peradangan atau inflamasi yang kronik dan perubahan struktural pada paru. Dalam
keadaan normal, radikal bebas dan antioksidan berada dalam keadaan dan jumlah
yang seimbang, sehingga bila terjadi perubahan pada kondisi dan jumlah ini maka
akan menyebabkan kerusakan di paru. Radikal bebas mempunyai peranan besar
menimbulkan kerusakan sel dan menjadi dasar dari berbagai macam penyakit paru.
Pajanan terhadap faktor pencetus PPOK yaitu partikel noxius yang terhirup bersama
dengan udara akan memasuki saluran pernapasan dan mengendap hingga
terakumulasi. Partikel tersebut mengendap pada lapisan mukus yang melapisi mukosa
bronkus sehingga menghambat aktivitas silia. Akibatnya pergerakan cairan yang
melapisi mukosa berkurang dan menimbulkan iritasi pada sel mukosa sehingga
merangsang kelenjar mukosa, kelenjar mukosa akan melebar dan terjadi hiperplasia
sel goblet sampai produksi mukus berlebih. Produksi mukus yang berlebihan
menimbulkan infeksi serta menghambat proses penyembuhan, keadaan ini merupakan
suatu siklus yang menyebabkan terjadinya hipersekresi mukus. Manifestasi klinis
yang terjadi adalah batuk kronis yang produktif. Dampak lain yang ditimbulkan
partikel tersebut dapat berupa rusaknya dinding alveolus. Kerusakan yang terjadi
berupa perforasi alveolus yang kemudian mengakibatkan bersatunya alveoulus satu
dan yang lain membentuk abnormal largeairspace. Selain itu terjadinya modifikasi
fungsi anti-protease pada saluran pernafasan yang berfungsi untuk menghambat
neutrofil, menyebabkan timbulnya kerusakan jaringan interstitial alveolus. Seiring
terus berlangsungnya iritasi di saluran pernafasan maka akan terjadi erosi epitel serta
pembentukan jaringan parut. Akan timbul juga metaplasia skuamosa dan penebalan
lapisan skuamosa yang menimbulkan stenosis dan obstruksi ireversibel dari saluran
nafas. 4,6 Walaupun tidak menonjol seperti pada asma, pada PPOK juga dapat terjadi
hipertrofi otot polos dan hiperaktivitas bronkus yang menyebabkan gangguan
sirkulasi udara.6 7 Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa
bronkus, metaplasia sel goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta
distorsi akibat fibrosis. Pada emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal
bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli yang menyebabkan
berkurangnya daya regang elastis paru. Terdapat dua jenis emfisema yang relevan
terhadap PPOK, yaitu emfisema pan-asinar dan emfisema sentri-asinar. Pada jenis
pan-asinar kerusakan asinar bersifat difus dan dihubungkan dengan proses penuaan
serta pengurangan luas permukaan alveolus. Pada jenis sentri-asinar kelainan terjadi
pada bronkiolus dan daerah perifer asinar, yang erat hubungannya dengan asap
rokok.1,4,6

3. RHINITIS ALERGI
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti tahap provokasi atau reaksi alergi. Reaksi alergi dapat dibagi
menjadi dua yaitu reaksi alergi fase cepat dan reaksi alergi fase lambat. Reaksi alergi
fase cepat berlangsung sejak kontak dengan alergen hingga satu jam setelahnya 6
sedangkan reaksi alergi fase lambat berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam
setelah paparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.1,4 Pada kontak pertama dengan
alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit berperan sebagai sel penyaji
atau Antigen Presenting Cell (APC) akan menangkap alergen yang menempel di
permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen
peptida pendek dan bergabung dengan molekul Human Leucocyte Antigen atau HLA
kelas II membentuk komplek peptida Major Hystocompatibility Complex atau MHC
kelas II yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper yaitu Th0. Kemudian APC
akan melepaskan sitokin seperti IL 1 yang akan mengaktifkan Th0 untuk
berproliferasi menjadi Th1 dan Th2.1,4 Th2 akan menghasilkan sitokin seperti IL 3,
IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13 diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit
B sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan memproduksi imunoglobulin E atau IgE.
IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di
permukaan sel mastosit atau basofil sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini
disebut sensitisasi. Pada proses ini dihasilkan sel mediator yang tersensitisasi.1,4 Jika
mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar oleh alergen yang sama maka kedua rantai
IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi sel mastosit dan basofil.
Mediator kimia yang sudah terbentuk atau disebut juga preformed mediator seperti
histamin akan terlepas. Selain itu juga dikeluarkan newly formed mediator seperti
prostaglandin D2, leukotrien D4, leukotrien C4, bradikinin, platelet activating factor
dan berbagai sitokin seperti IL 3, IL4, IL5, IL6, Granulocyte Macrofage Colony
Stimulating FactorI (GM-CSF). Reaksi ini disebut reaksi alergi fase cepat.1,4
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin; hipersekresi kelenjar mukosa
dan sel goblet serta peningkatan permeabilitas kapiler sehingga terjadi rinore;
vasodilatasi sinusoid sehingga menimbulkan hidung tersumbat; menyebabkan 7
rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular
Adhesion Molecule 1 (ICAM 1).1,4 Pada reaksi alergi fase cepat, sel mastosit juga
akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan
netrofil di jaringan target. Gejala akan berlanjut dan mencapai puncak setelah 6-8
jam. Reaksi ini disebut reaksi alergi fase lambat.1,4 Reaksi alergi fase lambat ditandai
dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil,
basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL 3, IL 4, IL
5, GM-CSF dan ICAM 1 pada sekret hidung. Gejala hiperaktif dan hiperresponsif
hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya
seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP),
Major Basic Protein (MBP), Eosinophilic Peroxidase (EPO).1,4

E. MANIFESTASI KLINIK
Orang yang sensitif terhadap alergen ini mungkin mengalami satu atau lebih berikut
Tanda atau gejala langsung:
 Pilek.
 Hidung gatal.
 Bersin.
 Mata gatal dan berair.
Tanda atau gejala obstruktif:
• Hidung tersumbat.
• Mendengkur.
Beberapa gejala ini mungkin mirip dengan yang disebabkan oleh infeksi (seperti pilek
dan flu). Namun, gejala alergi cenderung bertahan, kecuali jika ditangani dengan benar.
Gejala berkisar dari ringan hingga sedang (tidak memengaruhi fungsi sehari-hari), hingga
parah (memengaruhi hari ke hari fungsi). Mereka mungkin terjadi pada musim tertentu
(biasanya karena alergi terhadap rumput, gulma atau serbuk sari pohon), atau mungkin
gigih dan ada sepanjang tahun (biasanya disebabkan oleh alergi terhadap tungau debu
rumah, jamur, atau hewan kemarahan). Perlu diketahui bahwa rinitis alergi tidak
disebabkan oleh alergi makanan. Komplikasi dari rinitis alergi mungkin termasuk:
• Gangguan tidur.
• Kelelahan siang hari.
• Sakit kepala.
• Konsentrasi yang buruk.
• Infeksi telinga berulang pada anak-anak.
• Infeksi sinus berulang pada orang dewasa.
• Asma yang lebih sulit dikendalikan. (ASCIA, 2019)
Beberapa orang dengan asma parah mungkin mengalami masalah pernapasan hampir
sepanjang waktu.
Gejala asma yang paling umum adalah:
o mengi (suara siulan saat bernapas)
o sesak napas
o dada yang kencang - mungkin terasa seperti ada pita yang mengencang di
sekitarnya
o batuk
Banyak hal yang dapat menyebabkan gejala ini, tetapi kemungkinan besar menjadi asma
jika:
o sering terjadi dan terus datang kembali
o lebih buruk di malam hari dan di pagi hari
o tampaknya terjadi sebagai respons terhadap pemicu asma seperti olahraga atau
alergi (seperti serbuk sari atau bulu binatang) (GINA, 2020)
Banyak orang tidak mengenali gejala COPD sampai tahap penyakit selanjutnya.
Kadang-kadang orang mengira mereka sesak napas atau kurang bisa melakukan
aktivitas normal karena mereka "semakin tua". Sesak napas bisa menjadi gejala
penting penyakit paru-paru. Jika Anda mengalami salah satu dari gejala ini, atau
merasa berisiko terkena COPD, penting untuk membicarakannya dengan dokter
Anda.

o Batuk kronis
o Sesak napas saat melakukan aktivitas sehari-hari (dispnea)
o Infeksi saluran pernafasan yang sering
o Kebiruan pada bibir atau bantalan kuku (sianosis)
o Kelelahan
o Menghasilkan banyak lendir (disebut juga dahak atau sputum)
o Wheezing (american lung association, 2020)

B. DIAGNOSIS
1. ASMA
Spirometri menunjukkan obstruksi (FEV1 / FVC kurang dari 80%) dengan
reversibilitas setelah pemberian β2-agonis inhalasi (setidaknya peningkatan 12%
dalam FEV1). Penurunan FEV1 setidaknya 20% setelah 6 menit mendekat latihan
maksimal. Peningkatan jumlah eosinofil dan konsentrasi lgE dalam darah.
Peningkatan FeNO (lebih dari 12ppb). Positif methacholine challenge (PC20 FEV1
kurang dari 12,5 mg / mL).
2. PPOK
a. Spirometri

b. Combined COPD Assessment

3. RHINITIS ALERGI
Dokter akan mengawali diagnosis rhinitis alergi dengan menanyakan gejala yang
dialami pasien, serta riwayat kesehatan pasien dan keluarganya. Dokter kemudian
akan memeriksa hidung pasien untuk mencari kelainan yang dapat menjadi penyebab
kemunculan gejala.
Dokter juga akan memeriksa bagian dalam hidung untuk menentukan apakah
terdapat polip pada hidung. Setelah melakukan pemeriksaan fisik dan gejalanya,
dokter dapat melakukan tes alergi kulit untuk memastikan jenis alergen yang
menimbulkan rhinitis alergi tersebut.
Tes alergi kulit dilakukan dengan menusukkan alergen ke dalam kulit, kemudian
menunggu apakah timbul reaksi alergi atau tidak. Melalui tes ini, dokter dapat
mengetahui jenis alergen yang memicu alergi tersebut. Dengan begitu, pasien bisa
menghindarinya di kemudian hari.
Dokter juga dapat menyarankan penderita untuk menjalani tes darah (RAST) sebagai
pemeriksaan penunjang. Tes darah dilakukan untuk menganalisis antibodi yang
memicu terjadinya reaksi alergi. Tes darah ini biasanya dilakukan setelah tes alergi
kulit untuk memastikan hasil dari tes alergi kulit. Untuk memastikan diagnosis,
dokter dapat menyarankan penderita untuk menjalani tes penunjang, seperti:
 Pemindaian melalui foto Rontgen atau CT Scan
 Endoskopi hidung

C. PENATALAKSAAN
1. ASMA

Terapi Non Farmakologi


Terapi non farmakologi pada pasien asma meliputi :
1. Pendidikan pasien dan pengajaran keterampilan manajemen diri harus menjadi
landasan program perawatan. Program manajemen diri meningkat kepatuhan
terhadap rejimen pengobatan, ketrampilan manajemen diri dan pengunaan
layanan kesehatan.
2. Pengukuran obstruksi airflow obstruktif dengan flow meter di rumah belum
tentu meningkatkan kesehatan pasien. NAEPP menganjurkan pengunaan
pemantauan DTP hanya untuk pasie dengan persisten asma parah yang
mengalami kesulitan obstruksi jalan nafas.
3. Menghindari pemicu alergi yang diketahui dapat meningkatkan gejala, seperti
mengurangi pengunaan obat-obatan, dan mengurangi BHR. Pemicu dari
lingkungan (misalkan, hewan) harus di hindari pada pasien yang sensitif dan
untuk perokok disarankan untuk berhenti merokok.
4. Pasien dengan asma yang berat harus menerima oksigen tambahan terapi untuk
mempertahankan oksigen arteri di atas 90%. Dehidrasi yang signifikan harus di
perbaiki, gravitaasi spesifik urin dapat memandu terapi pada anak- anak, di
antaranya penilaian hidrasi yang sulit (Diporo T Joseph et al, 2007:).
Pola hidup sehat dapat dilakukan dengan cara penghentian merrokok menghindari
kegemukan,Kegiatan fisik misalnya senam asma (Direktorat Binfar, 2007).
Terapi Farmakologi Terapi farmakologi pada asma meliputi
1. β2 Agonis kerja pendek adalah bronkodilator paling efektif yang tersedia, β2 –
Adrenergik menstimulasi reseotor adrenergik mengaktifkan adrenal cylcase,
yang menghasilkan peningkatan adenosin siklik intraseluler monofosfat,
menghasilkan relaksasi otot polos, sel mast stabilisasi membran, dan stimulasi
otot rangka.
2. Pemberian aerosol meningkatkan bronkoselektifitas dan memberikan lebih
banyak respon cepat dan perlindungan yang lebih cepat dan perlindungan yang
lebih besar terhadap provokasi yang mendoron bronkospasme (misalkan,
olahraga, tantangan allergen) daripada sistemik administrasi.
3. Albuterol dan β2 selektif short-acting yang di hirup lainnya di indikasikan untuk
asma berat akut dan EIB. Perawatan rutin (empat kali sehari) tidak
meningkatkan kontrol gejala atas penggunaan sesuai kebutuhan.
4. Formoterol dan salmeterol adalah inhalasi β2-agonis kerja panjang untuk
tambahan jangka panjang kontrol untuk pasien dengan gejala yang sudah
menggunakan dosis rendah hingga sedang, kortikosteroid inhalasi sebelum
memajukan ke kortikosteroid inhalasi dosis menengah atau tinggi, agonis β2
kerja pendek harus dilanjutkan untuk eksaserbasi akut. Agen yang bekerja lama
tidak efektif untuk asma berat akut karena dapat memakan waktu hingga 20
menit untuk onset dan 1 hingga 4 jam untuk bronkodilasi maksimum.
5. Pada asma berat akut, nebulisasi terus-menerus dari agonis β2 kerja pendek
(mis., Albuterol) direkomendasikan untuk pasien yang memiliki respons yang
tidak memuaskan setelah tiga dosis (setiap 20 menit) agonis β2 aerosol dan
berpotensi untuk pasien yang datang pertama kali dengan nilai PEF atau FEV1
kurang dari 30% dari yang diperkirakan normal.
6. Agen agonis β2 inhalasi adalah pengobatan pilihan untuk EIB. Agen kerja
pendek memberikan perlindungan lengkap selama minimal 2 jam; agen jangka
panjang memberikan signifikan perlindungan selama 8 hingga 12 jam pada
awalnya, tetapi durasi menurun dengan kronis penggunaan reguler.
7. Pada asma nokturnal, agonis β2 inhalasi kerja jangka panjang lebih disukai
daripada oral, agonis β2 rilis berkelanjutan atau teofilin rilis berkelanjutan.
Namun, nokturnal asma dapat menjadi indikator pengobatan antiinflamasi yang
tidak memadai.
Menurut pharmacotherapy hand book edisi 9
Menurut pedoman diagnosis & penatalaksanaan asma di Indonesia (PDPI)

2. PPOK
Penatalaksanaan Non Farmakologi
 Berhenti Merokok
 Semua pasien dengan napas pendek ketika berjalan harus diberikan
rehabilitasi yang akan memperbaiki gejala, kualitas hidup, kualitas fisik dan
emosional dan Kritis Respirasi Departemen Ilmu Penyakit Dalam RS Dr
Hasan Sadikin – FK Unpad Ina J Chest Crit and Emerg Med Vol. 1, No. 2
June - August 2014.
Penatalaksanaan Farmakologi
Menurut guideline : Global Initiative For Chronic Obstructive Lung Disease
(GOLD), 2010
3. RHINITIS ALERGI

Penatalaksanaan non farmakologi : hindari alergen

Penatalaksanaan farmakologi :
 Rinitis alergi intermiten
1. Ringan Antihistamin H1 generasi I, misalnya CTM 0,25 mg/kg/hari dibagi 3 dosis. Bila
terdapat gejala hidung tersumbat dapat ditambah dekongestan seperti pseudoefedrin 1
mg/kg/dosis, diberikan 3 kali sehari.
2. Sedang/Berat Antihistamin H1 generasi II misalnya setirizin 0,25mg/kg/kali diberikan
sekali sehari atau 2 kali sehari pada anak usia kurang dari 2 tahun, atau generasi ketiga
seperti desloratadine dan levocetirizin pada anak > 2 tahun. Bila tidak ada perbaikan atau
bertambah berat dapat diberikan kortikosteroid misalnya prednison 1 mg/kg/hari dibagi 3
dosis, paling lama 7 hari.
 Rinitis alergi persisten
1. Ringan Antihistamin generasi II (setirizin) jangka lama. Bila gejala tidak membaik dapat
diberikan kortikosteroid intranasal misalnya mometason furoat atau flutikason propionat.
2. Sedang/berat Diberikan kortikosteroid intranasal jangka lama dengan evaluasi setelah 2-4
minggu. Bila diperlukan ditambahkan pula obat-obat simtomatik lain seperti rinitis alergi
intermiten sedang/berat.

Terapi ko-morbiditas Terapi untuk konjungtivitis, sinusitis maupun asma yang menyertai
gejala rinitis alergi sebaiknya dilakukan dengan mengatasi penyebabnya terlebih dahulu,
dalam hal ini adalah proses alergi.
Menurut UMHS Allergic Rhinitis Guideline October 2013 Quality Department

D. SOAP
S O A P M
Chest x-ray DRPs : Asma dan PPOK : Efektivitas :
Tn. D 52 tahun menunjukkan 1. Ketidak tepatan diberikan LABA  Saturasi oksigen
masuk IGD adanya hiperinflasi pemilihan obat : (Long Action 95%-100%
dengan kondisi paru Levofloxacin Beta-2 Agonis)  Batuk mereda
sesak nafas. diagnosa PPOK Ceftriaxone, dikombinasikan  Frekuensi sesak
sering sesak exacerbasi akut. dextrometorphan ICS (Inhaler nafas berkurang
nafas karena 2. Subterapetik : - Costicosteroid)  FEV 1 mencapai
kedinginan Data Laboratorium 3. Over dosis : karena dapat nilai normal 75-
atau terkena : 4. Efek samping : mereduksi 80%
debu tetapi FEV 1 = 40% 5. Interaksi obat : kejadian
akhir-akhir ini Tekanan darah= 6. Indikasi tanpa exacerbasi Efek samping :
semakin sering 110/90 terapi : sebanyak 8,4% SALMETEROL
sesak nafas Nadi Rate= 110x 7. Terapi tanpa yaitu salmaterol Takikardi, palpitasi,
hampIr setiap Respirasi Rate= indikasi : 50 mcg 2x1 hari tremor, gelisah,
malam. batuk 26x 8. Kegagalan dan Fluticasoen kelelahan, pusing,
produktif menerima 500 mcg 2x1 hari vertigo, gugup, mual,
dengan sputum terapi : (GOLD, 2020) muntah, diare, batuk
OBAT
warna Tidak ada  Untuk FLUTICASON
kecoklatan. levofloxacin tablet perubahan pada mengurangi Sakit kepala, pusing,
pasien 50 mg 2 x 1 sesak setelah exacerbasi akut mual, muntah, diare,
mengeluh RL 20 tts/menit menerima terapi diberikan batuk, reaksi
bersin-bersin Ceftriaxone inj 2 x antibiotic lini
hipersensitivitas
karena debu di 1 pertama AZITHROMISIN
ruangan rumah Dextrometorfan 3 azithromisin 250 Palpitasi, nyeri dada,
sakit dan x1 mg/hari pusing, sakit kepala,
kedinginan. (GOLD,2020) vertigo, kelelahan,
Riwayat  Oksigen 2L diare, mual, muntah,
penyakit:  Ambroxol 3 x 1 sakit perut,
Asma, Rhinitis  Antihistamin fotosensitifitas,
Alergi Cetrizin 1 x 1 angioedema,
anafilaksis
Riwayat habit Non farmakologi: AMBROXOL
:  Hindari alergen Mual, muntah, diare,
perokok aktif, sakit perut, perut
 Meningkatkan
kerja jaga kembung, lidah
pemahaman
perlintasan
mengenai penyakit terasa kelu, bibir dan
kereta api , tenggorokan kering
asma
pernah
 Meningkatkan
mengalami
kepatuhan
flek 30 tahun
yang lalu tapi
sembuh

KONSELING
1. SALMETEROL
 Anjurkan pasien tentang penyimpanan dan penggunaan inhaler aerosol yang
benar, rujuk pasien ke lembar instruksi yang disertakan dengan obat.
 Anjurkan pasien untuk tidak melebihi dosis dan frekuensi pengobatan yang
dianjurkan.
 Peringatkan pasien untuk tidak mengubah dosis atau menghentikan pengobatan
tanpa berkonsultasi dengan penyedia layanan kesehatan.
 Anjurkan pasien untuk memeriksa dengan dokternya terlebih dahulu sebelum
minum obat lain atau resep.
 Tekankan kepada pasien bahwa obat ini TIDAK boleh digunakan untuk
pengobatan asma akut atau memburuk.
 Beri tahu pasien bahwa obat ini BUKAN pengganti obat lain yang mungkin dia
konsumsi, termasuk kortikosteroid oral atau hirup.
 Anjurkan pasien untuk menghubungi penyedia layanan kesehatan jika
pengobatannya tampaknya kurang efektif.
 Peringatkan pasien bahwa obat ini dapat digunakan 30 sampai 60 menit
SEBELUM berolahraga untuk mengurangi atau mencegah bronkospasme akibat
olahraga.
 Minta pasien melaporkan efek samping yang serius kepada penyedia layanan
kesehatan, termasuk: Takikardia, palpitasi, tremor, perubahan kepribadian,
insomnia, sesak napas dan kram perut.

2. FLUTICASON
 Jelaskan nama, dosis, tindakan, dan potensi efek samping obat.
 Sarankan pasien untuk membaca "Petunjuk Penggunaan Pasien" sebelum memulai
terapi dan sekali lagi dengan setiap isi ulang.
 Tinjau teknik administrasi yang benar. Minta pasien mendemonstrasikan teknik.
 Beri tahu pasien bahwa dosis dapat diubah secara berkala tergantung pada
seberapa baik gejala dikendalikan.
 Anjurkan pasien untuk tidak melebihi dosis yang ditentukan.
 Jelaskan bahwa efek obat tidak langsung. Manfaat membutuhkan penggunaan
sehari-hari seperti yang diinstruksikan dan biasanya terjadi setelah 1 sampai 2 hari
tetapi pemulihan penuh mungkin membutuhkan waktu 1 sampai 2 minggu.
 Anjurkan pasien untuk tidak menghentikan pengobatan setelah gejalanya
terkontrol. Penggunaan harian yang berkelanjutan diperlukan untuk terus
mengontrol gejala.
 Sarankan pasien untuk tidak menambah dosis dan memberi tahu penyedia layanan
kesehatan jika gejala tidak membaik atau memburuk.
 Jika pasien sedang diubah dari kortikosteroid oral menjadi kortikosteroid inhalasi
atau intranasal, tinjau kembali tanda dan gejala insufisiensi adrenal, yang dapat
terjadi beberapa hari atau minggu setelah konversi selesai. Sarankan pasien untuk
membawa kartu Medi-Alert yang menunjukkan bahwa mereka mungkin
memerlukan kortikosteroid sistemik tambahan selama periode stres atau serangan
asma yang parah.
 Sarankan pasien untuk membuang tabung aerosol atau botol semprot hidung jika
jumlah dosis berlabel telah digunakan. Sarankan pasien untuk menggunakan
perangkat inhalasi serbuk kering pada penyimpanan dan tanggal kedaluwarsa
setelah perangkat atau lecet dilepaskan dari pembungkus foil pelindung
kelembaban.
 Anjurkan pasien untuk menghindari terkena cacar air dan campak dan segera
dapatkan bantuan medis jika terpapar.
 Anjurkan wanita untuk menghubungi penyedia layanan kesehatan jika hamil,
berencana untuk hamil, atau menyusui.
 Hati-hati pasien untuk tidak mengambil resep atau obat OTC, atau suplemen
makanan kecuali disarankan oleh penyedia layanan kesehatan.
 Sarankan pasien bahwa kunjungan tindak lanjut mungkin diperlukan untuk
memantau terapi dan untuk menjaga janji.
Inhalasi oral (bubuk kering atau aerosol)
Peringatkan pasien bahwa obat adalah "pengontrol asma" dan tidak boleh digunakan
untuk mengobati serangan asma akut. Mereka harus menggunakan “obat penyelamat”
(bronkodilator) untuk meredakan gejala asma dengan cepat.
Anjurkan pasien untuk membawa kartu Medi-Alert jika mengalami serangan asma
berat akut yang membutuhkan perawatan sistemik cepat.
Sarankan pasien untuk melaporkan gejala berikut kepada penyedia layanan
kesehatan: sakit tenggorokan atau mulut, batuk, mulut kering, ruam, pembengkakan
wajah, atau gejala asma yang memburuk (misalnya, peningkatan kebutuhan akan
bronkodilator).
Menghirup hidung
Anjurkan pasien untuk menggunakan dengan hati-hati jika timbul luka atau cedera
terjadi di saluran hidung. Obat dapat mencegah atau memperlambat penyembuhan.
Sarankan pasien untuk melaporkan gejala berikut kepada penyedia layanan
kesehatan: bersin, iritasi hidung, mimisan.

3. AZITHROMISIN
 Anjurkan pasien untuk menentukan waktu dosis untuk pemerataan selama 24
jam.
 Beri tahu pasien bahwa obat bekerja paling baik saat perut kosong, tetapi dapat
diminum dengan makanan jika ada gangguan GI.
 Anjurkan pasien untuk minum obat dengan segelas penuh air atau jus noncitrus.
 Dorong pasien untuk meningkatkan asupan cairan hingga 2000 hingga 3000
mL / hari, jika tidak ada kontraindikasi.
 Anjurkan pasien untuk memberi tahu penyedia layanan kesehatan jika timbul
ruam atau kesulitan bernapas.
 Jelaskan bahwa antasida harus dihindari saat obat ini diminum.
4. AMBROXOL
Resiko kongesti dahak meningkat jika ambroxol dikonsumsi bersamaan dengan
antitusif. Selain itu, konsumsi bersamaan dengan antibiotik seperti cefuroxime,
doksisiklin, dan eritromisin dapat meningkatkan konsentrasi obat di darah.
5. CETRIZIN
 Beri tahu pasien bahwa obat dapat menyebabkan kantuk dan berhati-hatilah saat
mengemudi atau melakukan tugas lain yang memerlukan kewaspadaan sampai
respons terhadap pengobatan diketahui.
 Anjurkan pasien bahwa fotosensitifitas dapat terjadi dan untuk mengambil
tindakan perlindungan (misalnya, tabir surya, pakaian pelindung) dari paparan
sinar ultraviolet atau sinar matahari sampai toleransi ditentukan.
 Hati-hati pasien untuk menghindari penggunaan alkohol atau depresan SSP
lainnya (misalnya, sedatif, hipnotik, obat penenang).
 Anjurkan pasien untuk sering menyesap air, isap keripik es atau permen keras
tanpa gula, atau kunyah permen karet tanpa gula jika mulut kering.
 Jika pasien akan menjalani tes alergi kulit, anjurkan untuk menghindari minum
obat setidaknya 4 hari sebelum tes.

Anda mungkin juga menyukai