Anda di halaman 1dari 29

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Swimmer’s Shoulder

Renang merupakan aktivitas yang unik dikarenakan sumber tenaga

pendorong utama dalam olahraga ini berasal dari ekstremitas atas, dengan

presentasi tenaga pendorong atau penggerak dalam olahraga ini yaitu sebesar 90%

yang berasal pada area bahu (Pink dan Tibone, 2000). Hal ini menunjukkan

bahwa bahu pada perenang berperan penting sebagai komponen utama yang

sangat dominan digunakan pada olahraga renang. Adapun jumlah gerakan bahu

yang dihasilkan pada perenang dapat mencapai hingga 16.000 gerakan rotasi per

minggu selama latihan, dengan frekuensi latihan sebanyak 6-7 hari dalam

seminggu (Hibberd, dkk., 2012).

Banyaknya gerakan bahu yang dihasilkan oleh perenang ini menimbulkan

keluhan muskuloskeletal pada area bahu berupa nyeri. Nyeri bahu merupakan

permasalahan yang paling banyak terjadi pada atlet renang dengan angka kejadian

sekitar 40%-91% (Matzkin, dkk., 2016). Nyeri bahu yang sering dialami oleh

perenang dikenal dengan swimmer’s shoulder.

Swimmer’s shoulder didefinisikan sebagai nyeri yang dirasakan pada

perenang dan terjadi pada area bahu yang berhubungan pada aktivitas renang.

Beberapa literatur menekankan bahwa adanya rasa nyeri pada bagian bahu

perenang merupakan penyebab utama dari menurunnya performa perenang

(Weldon dan Richardson, 2001). Perenang yang mengalami swimmer’s shoulder

9
10

cenderung mengeluhkan adanya rasa nyeri baal pada malam hari (saat tidur),

sensasi nyeri yang menusuk baik saat memulai maupun setelah selesai latihan

renang, serta nyeri pada saat gerakan rotasi bahu saat berenang (Swanik, 2002).

Menurut Tovin (2006), swimmer’s shoulder merupakan suatu kondisi

muskuloskeletal yang mana merupakan hasil dari suatu gejala yang terjadi pada

area bagian anterior lateral dari bahu, dan terkadang mengakibatkan penjepitan

pada bagian subacromial. Adapun permulaan dari gejala tersebut dapat diikuti

dengan adanya gangguan postur, mobilitas dari sendi glenohumeral,

neuromuscular control, atau gangguan kemampuan otot.

Faktor utama pencetus terjadinya swimmer’s shoulder diakibatkan oleh

tingginya volume latihan. Tingginya durasi serta frekuensi latihan yang dilakukan

oleh perenang dapat mengakibatkan perubahan fleksibilitas dan kekakuan yang

terjadi pada area sekitar sendi bahu dan trunk yang mana dapat mempengaruhi

terjadinya nyeri pada bagian bahu (Bak, 2010).

2.1.1 Etiologi Swimmer’s Shoulder

Sebagian besar kondisi muskuloskeletal dapat dibagi menjadi dua yaitu

macrotrauma dan microtrauma yang dibagi berdasarkan onsetnya. Swimmer’s

shoulder merupakan suatu kondisi yang terjadi akibat adanya onset yang terjadi

secara bertahap akibat suatu aktivitas yang dilakukan secara berulang-ulang.

Untuk itu, kondisi swimmer’s shoulder dapat dikategorikan sebagai kondisi

muskuloskeletal microtrauma (Tovin, 2006).


11

Berbeda halnya dengan kondisi muskuloskeletal yang diakibatkan oleh

macrotrauma, kondisi microtrauma dapat diakibatkan oleh beberapa faktor yang

mendasari di antaranya faktor intrinsik maupun ekstrinsik. Adapun etiologi dari

swimmer’s shoulder berdasarkan faktor intrinsik dan faktor ekstrinsiknya sebagai

berikut:

Tabel 2.1 Etiologi Swimmer’s Shoulder

Faktor Intrinsik Faktor Ekstrinsik


Joint hypermobility Volume pelatihan
Kesalahan teknik pada saat
Isolated joint hyperlaxity
berenang
Postur, core stability, dan kifosis torakal Abuse hand paddles
Scapular dyskinesis

Keterbatasan internal rotasi glenohumeral

Rotator cuff imbalance


Lack of flexibility/stiffness
(Sumber: Tovin, 2006)

2.2 Anatomi Bahu

Bahu merupakan salah satu bagian sendi yang sangat kompleks pada

tubuh manusia. Sendi pada bagian bahu terbentuk dari tulang humerus yaitu

tulang yang berada pada lengan atas yang sesuai dengan tulang skapula atau yang

disebut dengan shoulder blade, membentuk rangkaian ball dan socket (Hoffman,

2005). Gerakan pada bahu manusia meliputi gerakan yang memiliki hubungan

yang kompleks yang melibatkan struktur-struktur terkait seperti macam-macam

tulang, otot, sendi dan nervorum. Menurut Terry dkk (2000), gerakan pada bahu

manusia mewakili gerakan dinamis yang kompleks yang berhubungan dengan


12

berbagai macam jenis otot, ligamen, dan juga beberapa tulang. Stabilisasi statis,

maupun dinamis memungkinkan bahu memiliki ruang lingkup sendi yang luas

pada setiap bidang sendi pada tubuh dan juga memposisikan tangan dan bahu

pada jaraknya.

2.2.1 Tulang

Bahu tersusun dari tulang-tulang yang menyusunnya diantaranya tulang

humerus, klavikula, dan skapula. Menurut Prasetyo (2014), sendi bahu merupakan

sendi yang komplek pada tubuh manusia yang dibentuk oleh tulang-tulang yaitu:

scapula (shoulder blade), clavicula (collarbone),dan humerus (upper arm bone).

Berikut adalah gambar dari susunan tulang pada regio bahu .

Gambar 2.1 Tulang Bahu (Shoulderdoc.co.uk, 2017)

Tulang humerus yang berada pada bagian bahu merupakan tulang terbesar

dan terpanjang yang terdapat pada ekstremitas atas, dengan bagian proksimal
13

terdiri dari setengah spheroid yang mengartikulasikan permukaan atau kepala

(caput humeri), collum anatomicum, tuberositas mayor humeri, tuberositas minor

humeri, sulcus intertubercularis, dan corpus humeri ( Terry dkk, 2000).

Kemudian selain tulang humeri, bahu terdiri dari tulang klavikula dimana tulang

tersebut merupakan tulang yang biasa dikenal dengan tulang selangka. Tulang

klavikula merupakan satu-satunya tulang yang menghubungakan antara trunk dan

anggota tubuh bagian atas. Klavikula membentuk bagian depan pada shoulder

girdle dan dapat dipalpasi sepanjang tulang tersebut yang mana tulang tersebut

membentuk lekukan yang berbentuk seperti huruf S (Shoulderdoc.co.uk, 2017).

Klavikula berfungsi sebagai media untuk menempelnya beberapa lapisan

otot, serta sebagai barier atau penghalang untuk melindungi struktur neromuskular

yang mendasarinya, dan penyangga untuk menstabilisasi bahu yang kompleks dan

mencegah bahu bergeser kearah medial dengan pengaktifan dari otot pectoralis

dan otot-otot axiohumeral lainnya (Terry dkk, 2000). Tulang ketiga yang

membentuk regio bahu merupakan tulang skapula. Tulang skapula merupakan

tulang yang sering dikenal dengan tulang belikat. Tulang skapula berbentuk pipih

dan membentuk seperti segitiga. Secara anatomis, memiliki dua permukaan

(fascia), 3 pinggir (margo), dan 3 sudut (angulus).

Tulang skapula merupakan tulang yang besar, tipis dan berbentuk segitiga

yang berada pada bagian posterolateral dari thorak, di atas tulang rusuk 2 sampai

tulang rusuk ke 7, yang mana berfungsi sebagai tempat perlekatan otot (Terry

dkk., 2000). Skapula terdiri dari acromeon, cavitas glenoidalis, angulus inferior,
14

angulus superior, margo medial, margo lateral, spina skapula, fosa supra

spinata, processus coracoideus.

2.2.2 Otot

Otot merupakan stabilisator dan penggerak aktif sendi. Pada sendi

glenohumeralis diperkuat oleh otot-otot rotator cuff yang mana otot tersebut

terdiri dari beberapa otot diantaranya otot supraspinatus, otot infraspinatus, otot

subscapularis dan teres minor. Selain itu otot yang terdapat pada area bahu

diantaranya otot pectoralis mayor, teres mayor dan tendon bicep caput longum.

Bagian atas diperkuat oleh otot supraspinatus dan bicep caput longum, sementara

pada bagian bawah diperkuat oleh otot triceps caput longum, di depan diperkuat

oleh otot subscapularis dan perpanjangan fibrous di kedua otot pectoralis mayor

dan teres mayor serta pada bagian belakang diperkuat oleh otot infraspinatus dan

teres minor (Setiyawati, 2013).

Otot supraspinatus berorigo di bagian supraspinatus pada skapula dan

berinsertio di bagian superior tuberositas mayor. Selama melakukan aktivitas

supraspinatus ditekan oleh sendi acromioclavicular dan ligamen coracoacromial.

Otot infraspinatus berasal dari bagian infraspinatus pada skapula dan insersionya

pada bagian posterior dari tuberositas mayor. Teres minor yang fungsinya kurang

pada rotator cuff dibandingkan supraspinatus berorigo pada bagian axila pada

skapula berjalan ke permukaan inferior dari tuberositas mayor. Tendon yang

terakhir yaitu subscapularis mempunyai origo di fosa subscapularis dan

membentuk bagian anterior rotator cuff. Tidak seperti tendon pada supraspinatus,
15

infraspinatus dan teres minor, subscapularis berinsertio pada tuberositas minor,

subscapularis tidak hanya bagian dari rotator cuff, tetapi juga berperan dalam

gerakan internal rotasi shoulder (Nurmawan, 2012).

Otot supraspinatus bersama-sama dengan otot middle deltoid berfungsi

sebagai penggerak utama saat gerakan abduksi. Otot deltoid anterior, pectoralis

major yang dibantu oleh otot coracobrachialis berfungsi pada saat gerakan fleksi.

Sedangkan pada saat gerakan adduksi dilakukan oleh otot latissimus dorsi dan

dibantu oleh otot teres major. Otot infraspinatus dan teres minor berfungsi pada

saat gerak rotasi eksternal. Otot subscapularis (prime mover) yang dibantu oleh

teres major dan otot pectoralis major berfungsi pada saat gerakan internal rotasi

(Setiyawati, 2013).

2.2.3 Sendi Bahu

Bahu tersusun dari berbagai macam sendi yang menghubungkan antara

tulang yang satu dan tulang yang lain. Seperti diketahui, sendi pada region bahu

terdiri dari 3 macam sendi. Sendi-sendi tersebut yaitu glenohumeral joint,

acromioclavicular joint, dan sternoclavicular joint. Glenohumeral joint

merupakan sendi yang menghubungkan antara tulang humerus dan cavitas

glenoidalis yang terdapat pada skapula. Acromeoclavicular joint merupakan sendi

yang menghubungkan antara acromeon pada skapula dan tulang klavikula.

Kemudian sternoclavicular joint merupakan sendi yang menghubungkan antara

sternum dengan klavikula (Terry dkk, 2000).


16

Gerakan pada bahu secara normal merupakan hasil gerak yang kompleks

dari 7 sendi yang terpisah. Adapun sendi-sendi tersebut diantaranya, sendi

glenohumeral, scapulokosta, scapulohumeral, suprahumeral, skapulothorakal,

sternoklavikular dan acromioclavicular (Setiyawati, 2013).

2.3 Biomekanika Bahu

Osteokinematika adalah gerakan yang terjadi pada tulang. Glenohumeral

joint memiliki 3 derajat kebebasan gerak, yaitu fleksi-ekstensi, abduksi-adduksi,

internal rotasi-eksternal rotasi (Nurmawan, 2012).

Arthrokinematika adalah gerakan sendi yang dilihat dari gerak antar

permukaan sendi yang dikenal sebagai gerak intra artikular atau joint play

movement berupa traksi, kompresi, translasi, dan spin. Gerakan arthrokinematika

terjadi pada setiap gerakan bahu. Karena caput humeri berbentuk konveks yang

bergerak terhadap cavitas glenoidalis yang berbentuk konkaf maka gerakan caput

humeri selalu slide dalam arah yang berlawanan dengan arah gerak badan

humerus (Setiyawati, 2013).

Gerak fisiologis fleksi-ekstensi dalam bidang sagital dengan ROM fleksi

180⁰ dan ekstensi 60⁰ dengan stretch end feel (elastic) dan gerak arthrokinematika

nya berupa spin. Gerak fisiologi abduksi dalam bidal frontal dengan ROM 90⁰

dan elastic hard end feel, gerak arthrokinematiknya berupa caudal translasi.

Gerak fisiologi internal rotasi dalam bidang transversal dengan ROM 100⁰ dan

elastic end feel, gerak arthrokinematiknya berupa dorsal translasi. Gerak fisiologi

eksternal rotasi dalam bidang transversal dengan ROM 80⁰ dan elastic end feel ,
17

gerak arthrokinematiknya berupa ventral translasi. Gerak fisiologi horizontal

abduksi dan adduksi dalam bidang transversal ROM 110⁰ dan 30⁰ dengan elastic

end feel, gerak arthrokinematiknya berupa ventral translasi dan dorsal translasi

(Clarkson, 2000).

Sternoclavicular joint memungkinkan untuk gerakan elevasi dan depresi

clavicula 45⁰-10⁰, translasi anterior dan posterior atau biasa disebut protraksi dan

retraksi sekitar 15⁰, dan rotasi posterior di sepanjang sumbu clavicula sekitar 50⁰

(Armfield dkk., 2003). Pada acromion joint, gerakan yang terjadi sangat kecil,

sendi ini merupakan penghubung antara gerakan sternoclavicular dan scapula.

Gerakan dimulai dari sternoclavicular joint, kemudian ditransmisikan ke scapular

sliding lalu berotasi di sepanjang bidang scapulothoracic (Setiyawati, 2013).

Sementara untuk gerakan skapula, berdasarkan pada orientasinya yang

mana saat melakukan internal rotasi 30⁰, abduksi 3⁰, dan tilted ke anterior 20⁰.

Skapula bergerak pada bidang yang berbeda untuk menghasilkan gerakan

kombinasi yang berujung pada protraksi dan retraksi. Untuk kegiatan sehari-hari,

gerakan scapulothoracic hanya terjadi sekitar 15⁰, dari internal rotasi. Jika

skapula dalam posisi menyatu atau tergabung, keterbatasan terjadi terutama pada

gerakan ekstensi dan internal rotasi. Adanya artikulasi pada scapulothoracic

memungkinkan terjadinya peningkatan pada gerakan bahu melebihi asalnya 120⁰,

yang disediakan oleh glenohumeral joint. Gerakan koordinasi antara

scapulothoracic joint dan glenohumeral joint lebih dikenal dengan


18

scapulothoracic rhythm. Rasio estimasi gerakan antara glenohumeral joint dan

scapulothoracic joint yaitu sekitar 2:1 (Lugo, 2008).

2.4 Biomekanika Shoulder Saat Berenang

Saat tenaga klinis berpikir mengenai “overhead athlete” berenang

merupakan salah satu olah raga yang terlintas dalam pikiran. Renang masuk

dalam salah satu kategori olah raga dengan intensitas latihan yang lebih atau

banyak, selain olahraga melempar, volley dan tenis. Pada masa lalu, terkadang

mekanisme “overhead athlete” sering dilihat secara kolektif. Sebagian olahraga

yang bersifat “overhead” secara mekanis sering berada dalam risiko selama

abduksi humeral dan elevasi yang disertai dengan eksternal rotasi. Hal tersebut

tidak berlaku pada atlet renang. Salah satu aspek unik dari mekanisme berenang

yaitu power nya berasal dari otot-otot yang berada pada shoulder girdle. Pada saat

berenang gerakan pada tubuh justru berasal dari tarikan lengan. Dengan demikian,

lengan berperan sebagai mekanisme pendorong dan kondisi bahu berada pada

keadaan yang rentan terhadap cedera, terutama apabila skapula tidak dapat

bertindak sebagai dasar stabil bagi glenohumeral untuk mengendalikan otot (Pink

dkk., 2010).

Hal ini menunjukkan bahwa dalam olahraga gerakan bahu memiliki

peranan yang sangat penting. Menurut Tovin (2006), pada atlet renang gerakan

yang terjadi pada bagian bahu dapat melebihi 4000 gerakan dalam sekali latihan.

Pada atlet renang durasi latihan yang dilakukan berkisar 6-7 hari per

minggu, dengan jarak renang antara 10.000 meter dan 14.000 meter setiap hari
19

dan menghasilkan gerakan pada bahu dengan estimasi sekitar 16.000-25.000

gerakan rotasi bahu selama latihan khas setiap minggu (Matthew, 2016).

Sementara menurut Sein dkk. (2010), menyatakan bahwa pada perenang

kompetitif biasanya melakukan 2.500 gerakan pada ekstremitas atas per hari

selama latihan berenang. Sehingga selama satu tahun latihan berenang, rata-rata

pada level atas perenang dapat meghasilkan sekitar 500.000 gerakan dalam setiap

lengan (Eva dkk., 2004). Pada perenang kompetitif mengalami pelatihan sekitar

11.000-15.000 yard/hari, dengan frekuensi latihan 6-7 kali per minggu, yang mana

memberikan korelasi gerakan pada bahu perminggu sekitar 16.000 gerakan. Hal

ini memberikan pembebanan yang signifikan pada bahu, sebagai ekstremitas atas

yang memasok 90% gaya pendorong pada saat berenang (Hibberd, 2012).

2.4.1 Gaya Bebas (Freestyle Stroke)

Gaya bebas merupakan jenis gaya renang yang sering digunakan sebagai

prinsip utama dari latihan renang pada atlet renang, tanpa memperhatikan

spesialisasi dari gaya renang tiap atlet. Dengan tenaga pendorong utama yang

dihasilkan berasal dari gerakan adduksi dan internal rotasi, dimana otot latissimus

dorsi dan pectoralis mayor merupakan otot yang memiliki peranan yang paling

besar (Matzkin, dkk., 2016).

Gaya bebas terdiri dari gerakan kombinasi antara retraksi skapula dan

elevasi dengan abduksi humerus serta eksternal rotasi saat kembali ke posisi awal

(Tovin, 2006). Mekanisme dasar dari lengan, dengan posisi lengan yang menandai

fase yang berbeda dari gaya bebas diantaranya adalah sebagai berikut:
20

1. Saat lengan memasuki air, akan diikuti dengan posisi ekstensi ke

depan bahu. Daya tarik bawah air dimulai dengan fase early pull

through yang mana ditandai dengan adanya awalan gerakan lengan ke

belakang. Telapak tangan dan lengan bawah harus menghadap ke arah

belakang dengan ujung jari yang mengarah ke bawah selama mungkin.

2. Titik dimana humerus tegak lurus terhadap sumbu tubuh disebut mid

pull-through.

3. Setelah mid pull-through, fase selanjutnya adalah pullthrough. Fase

ini yaitu fase dimana tangan gerakan tangan kebelakang hingga

melewati panggul sampai tangan keluar dari air, yang diikuti dengan

gerakan pada siku.

4. Setelah lengan keluar dari air, maka fase recovery dimulai, yaitu fase

dimana saat lengan diayunkan diatas air untuk membawa lengan pada

posisi untuk menarik tubuh sekali lagi.

Gambar 2.2 Fase dalam gerakan renang free style (Pink dkk., 2010)
21

2.5 Mekanisme Penurunan Kemampuan Fungsional Bahu

Pada atlet renang, gerakan pada bagian bahu merupakan komponen gerak

yang paling penting dalam berenang. Adanya gerakan terus menerus yang terjadi

pada bagian bahu perenang dapat menimbulkan timbulnya risiko terjadinya cedera

pada bagian bahu. Banyaknya gerakan pada bahu yang dilakukan dalam berenang

yang dilakukan secara terus menerus dapat mengakibatkan cedera kondisi

patologis yang disebut dengan swimmer’s shoulder.

Swimmer’s shoulder merupakan suatu kondisi muskuloskeletal yang mana

merupakan hasil dari suatu gejala yang terjadi pada area bagian anterior lateral

dari bahu, dan terkadang mengakibatkan penjepitan pada bagian subacromial

(Tovin, 2006). Pada atlet renang gerakan yang terjadi pada bagian bahu dapat

melebihi 4000 gerakan dalam sekali latihan, hal ini mengakibatkan olahraga

renang tersebut menjadi salah satu pencetus terjadinya patologi pada bagian bahu.

Banyaknya gerakan pada bagian bahu perenang memberikan pembebanan

yang signifikan yang memicu terjadinya overload. Tingginya frekuensi dan durasi

latihan ini mengakibatkan micro trauma berulang yang terjadi karena gerakan

yang terus menerus tanpa jeda sehingga tidak memberikan waktu bagi jaringan

untuk memperbaiki diri (self recovery). Hal ini merupakan salah satu faktor

pencetus terjadinya overuse. Saat suatu jaringan mengalami overuse, maka akan

terjadi micro tear sehingga mengakibatkan jaringan mengalami inflamasi. Salah

satu tanda dari terdapatnya inflamasi pada jaringan yaitu dengan timbulnya nyeri

pada bagian bahu. Selain itu, overuse mengakibatkan kelelahan pada otot atau

yang disebut dengan muscle fatigue. Saat otot-otot bahu mengalami kelelahan
22

(fatigue), maka kekuatan maksimal yang dihasilkan berkurang sehingga memicu

terjadinya kelemahan otot (muscle weakness) (Weldon dan Richardson, 2001).

Penurunan kekuatan otot memberikan efek pada menurunnya kemampuan

fungsional pada bahu perenang. Karena pada saat terjadi penurunan kekuatan otot

yang disertai nyeri akibat overuse akan mengakibatkan adaptasi pola gerak yang

salah sehingga menimbulkan banyak gerakan kompensasi yang dapat memicu

terjadinya cedera berulang serta mempengaruhi performa dari atlet.

2.6 Latihan Shoulder Girdle Dynamic Stabilization

Latihan Shoulder girdle dynamic stabilization merupakan salah satu

latihan bagian dari dynamic neuromuscular stabilization (DNS). DNS merupakan

strategi rehabilitasi terbaru yang berdasarkan pada developmental kinesiologi dan

aspek neurophysiological pada kematangan sistem postural lokomotor. DNS

merupakan suatu pendekatan yang membandingkan antara pola stabilisasi pada

individu dengan pola stabilisasi perkembangan pada bayi (Kobesova, 2013).

DNS merupakan pendekatan manual maupun rehabilitative untuk

mengoptimalkan sistem gerak berdasarkan pada pendekatan secara ilmiah yang

paling utama mengenai developmental kinesiology (DK). DNS meningkatkan

perhatian dengan cepat dan juga mendapatkan penerimaan yang baik dalam

bidang sport rehabilitation dan performa di lapangan dalam dua bidang recovery

dari cedera musculoskeletal overuse dan dalam pencegahan cedera (Frank dkk.,

2013).
23

DNS berdasarkan pada developmental kinesiologi. Developmental

kinesiologi merupakan ilmu pengetahuan mengenai sistem kematangan gerak

pada manusia selama hidupnya dari awal perkembangan dimulai dari lahir hingga

anak-anak mulai berjalan. Manfaat dari DNS yaitu, DNS memiliki keunggulan

yang terletak pada kemampuannya untuk melibatkan pola gerak yang ideal atau

mendekati ideal dari nervous system yang berlandaskan pada kode genetik (New

York Dynamic Neuromuscular Rehabilitation And Physical Therapy, 2017).

DNS merupakan metode yang mengacu kepada developmental kinesiology

yang menetapkan prinsip dari postur yang ideal, pola napas, serta sentralisasi

fungsional gabungan yang berasal dari paradigma neurodevelopmental (Kolar,

2006). Tujuan utama dari metode DNS ini adalah mengoptimalkan distribusi dari

kemampuan internal dari suatu aktivitas otot pada setiap segment pada tulang

belakang dan sendi-sendi. Sistem terapeutik DNS menggunakan sistem latihan

fungsional yang spesifik untuk memperbaiki stabilisasi dari tulang belakang dan

sendi dengan memusatkan perhatian pada sistem stabilisasi pada tulang belakang.

Adapun target utama dari metode DNS ini adalah otak yang mana harus diberikan

stimulasi yang tepat dan dikondisikan agar dapat secara otomatis mengaktifkan

pola gerak optimal yang dibutuhkan untuk koaktivasi stabilisator (Liebenson,

2015).

Treatment ini menggunakan pendekatan yang menekankan pada pola

natural postural-lokomotor yang digambarkan dengan developmental kinesiologi.

Otak harus distimulasi secara tepat dan dilatih untuk dapat secara otomatis

mengaktifkan pola gerak yang optimal yang dibutuhkan untuk mengaktifkan


24

stabilizers. Hal ini dapat dicapai dengan pengaktifan stabilizers saat menempatkan

pasien dalam posisi developmental (Kobesova, 2015).

DNS dapat digunakan untuk rehabilitasi cedera dan juga dapat digunakan

untuk mengoptimalkan gerakan atlet untuk mencegah terjadinya cedera. DNS juga

dapat digunakan untuk meningkatkan performa dalam olahraga dengan

mengoptimalkan efisiensi dari gerakan. Metode DNS merupakan satu-satunya

terapi yang fokus terhadap memperbaiki stabilitas spinal dan motor control acting

directly pada CNS. Latihan tersebut dilakukan dalam posisi tubuh yang paling

netral. Posisi ini merupakan posisi dimana bayi menganggap bahwa dirinya

sedang melawan gravitasi untuk berdiri dan berjalan. Saat dilatih dalam keadaan

ini, adanya patologi yang mengganggu jalan saraf menuju pusat kontrol gerak

dibentuk kembali beserta dengan mekanisme stabilisasi menjadi otomatis

memberikan dasar untuk gerakan sehat dan efisien (New York Dynamic

Neuromuscular Rehabilitation And Physical Therapy, 2017).

Dengan diberikannya latihan yang terarah dan terstruktur pada atlet, maka

akan mempengaruhi postur secara global. Yang mana ketika postur keseluruhan

ini terbentuk maka akan memberikan pengaruh terhadap kualitas dari gerakan

dinamik pada atlet. Sehingga terbentuklah pola gerak yang ideal yang dapat

meningkatkan kemampuan fungsional pada atlet (Liebenson, 2015)

Latihan shoulder girdle dynamic stabilization terbagi menjadi 4 macam

gerakan diantaranya:
25

Gambar 2.5 Prone position

(Sumber: Data pribadi)

Latihan posisi prone memiliki kemiripan dengan posisi prone natural pada

bayi yang berada pada usia perkembangan 3 bulan. Posisi diawali dengan prone,

dengan support pada elbow dan posisinya kurang lebih pada sudut 125-135⁰

diantara trunk dan lengan. Adapun zona supportnya yaitu medial epicondilus dari

kedua elbow, SIAS bilateral dan symphysis pubis. Instruksi: fokus pada elbow

support, tulang belakang dipanjangkan, dorong kebawah bahu, dagu dimasukkan

atau dilipat, pertahankan posisi selama kamu tidak merasakan kelelahan dan

shoulder blade melekat pada sangkar thorak.


26

Gambar 2.6 Quadruped Position

(Sumber: Data pribadi)

Latihan posisi Quadruped memiliki kemiripan dengan posisi quadruped

natural pada bayi yang berada di usia perkembangan 9 bulan. Posisi awal: pasien

dalam posisi quadruped menggunakan support dari tangan dan lutut. Shoulder

girdle diposisikan pada tangan yang telah tersupport dengan baik. Sendi panggul

sedikit eksternal rotasi, dan diposisikan diatas lutut yang disupport.Seluruh tulang

belakang dan trunk dalam keadaan tegak lurus. Zona support: support yang

memadai dan weight bearing seluruhnya berada pada telapak tangan dimana

distribusi berat harus memadai pada seluruh sendi metacarpopalangeal atau sama

dengan pada area thenar dan hypothenar. Instruksi: fokus pada support dan

weight bearing yang berada pada telapak tangan, tulang belakang dalam keadaan

dipanjangkan, dagu disatukan. Perlahan-lahan gerakkan kepala dan tubuh ke

depan dan tahan dalam posisi ini selama kurang lebih 5 detik, kemudian kembali

ke posisi awal. Lakukan pengulangan hanya sebanyak yang dapat dilakukan


27

sambil mempertahankan stereotype yang tepat dengan shoulder girdle dan hand

stabilization yang benar.

Gambar 2.7 Side Sitting Position

(Sumber: Data pribadi)

Latihan dalam posisi side sitting memiliki kemiripan dengan posisi natural

side sitting (fase rolling over) pada bayi dengan usia perkembangan 7 bulan.

Posisi awal: side sitting, supporting elbow dalam satu garis lurus dengan

trochanter major. Kaki yang atas didepan kaki yang bawah atau diletakkan dalam

posisi beristirahat diatas kaki yang bawah. Hip dan knee dalam keadaan sedikit

fleksi pada kedua kaki. Zona support: epicondilus medial pada bagian dasar dari

elbow, bagian dasar dari trochanter mayor. Instruksi: focus pada support dan

weight bearing sepanjang epicondylus medial dari dari elbow yang mensupport

dan juga pada bagian dasar dari area trochantor, tarik bagian dasar dari caput

bahu kearah caudal, tulang belakang dipanjangkan dan dagu ditarik kearah dalam.
28

Gambar 2.8 Bear Position

(Sumber: Data pribadi)

Latihan dalam posisi “bear” memiliki kemiripan dengan posisi natural

(fase verticalization stereotype) pada bayi dengan usia perkembangan 12 bulan.

Posisi awal: pasien berada dalam posisi quadruped dengan menggunakan tangan

dan ujung jari kaki sebagai supportnya. Seluruh tulang belakang dan trunk dalam

posisi memanjang, shoulder blade menempel pada sangkar thorak, dagu ditarik

kedalam, sementara lutut dan pergelangan kaki tidak boleh terlipat kedalam. Zona

support: support yang tepat dan weight bearing sepanjang telapak tangan

(distribusi berat harus tepat pada seluruh sendi metacarpal atau sama dengan pada

area thenar dan hypothenar). Instruksi: fokus pada support dan weight bearing

sepanjang telapak tangan, memanjangkan tulang belakang, dan menarik dagu

kedalam. Pertahankan posisi selama tidak terjadi kelelahan dan shoulder blade

tetap menempel pada sangkar thorak.


29

2.7 Latihan Prone Scapular Stabilization

Posisi skapula secara langsung memberikan efek pada posisi caput humeri

dan menentukan dari panjangnya tension yang berhubungan pada otot rotatorcuff

yang mana otot tersebut memiliki origo pada bagian skapula. Adanya

ketidakstabilan pada skapula atau kesalahan pola gerak pada skapula dapat

merubah tuntutan yang harusnya dilakukan pada otot rotatorcuff, yang mana

memiliki potensial akan terjadinya microtrauma injury (Tovin, 2006). Menurut

Reinold dkk. (2009), kekuatan dan keseimbangan pada otot-otot skapular yang

tepat merupakan komponen yang sangat penting karena skapula dan humerus

bergerak bersama dalam suatu koordinasi selama gerakan lengan, yang mengarah

pada scapulohumeral rhythm.

Peranan dari skapula sangat penting sebagai asal dari landasan stabilisasi

dari fungsi sendi glenohumeral, dan juga sebagai penentu dari seluruh posisi pada

shoulder girdle (Magarey, 2003). Efisiensi dari ativitas otot tergantung pada

posisi dari hubungan dari skapula dan panjang ketegangan dari scapular stabiliser

dan otot-otot rotatorcuff, yang mana berasal dari skapula, cervical dan thoracic

spine ( Horsley, 2010).

Latihan PSS merupakan salah satu latihan stabilisasi skapula dimana pada

latihan shoulder ini merupakan latihan yang menggabungkan antara reedukasi

dari neuromuskular dan strengthening. Latihan PSS merupakan latihan yang

dinilai berdasarkan kemampuan dari perekrutan otot-otot yang ditargetkan dalam

posisi yang didesain sedemikian rupa sehingga membentuk simulasi pada saat
30

berenang. Untuk latihan prone, terapis harus memberikan instruksi kepada pasien

untuk mempertahankan skapula dalam posisi retraksi/depresi sambil mempalpasi

upper trapezius untuk memastikan tidak adanya gerakan kompensasi yang terlibat

(Tovin, 2006).

Gerakan latihan prone scapular stability terdiri dari 8 macam gerakan

diantaranya:

Gambar 2.9 Rowing In Prone

(Sumber: Data pribadi)

Gerakan mengayuh pada Gambar 2.9 dilakukan dalam posisi ekstensi

humerus dan fleksi elbow.


31

Gambar 2.10 Prone Extension

(Sumber: Data pribadi)

Pada posisi prone extension, pasien mengekstensikan bahu dengan posisi

ekstensi elbow dengan posisi jempol menjauhi tubuh.

Gambar 2.11 Prone Horizontal Abduction

(Sumber: Data pribadi)


32

Pada prone horizontal abduction, pasien diminta untuk melakukan

horizontal abduksi pada bagian lengan dengan ekstensi elbow dan mengeksternal

rotasikan humeri. Selama latihan ini terapis harus menginstruksikan pasien untuk

meretraksikan skapula baik sebelum maupun selama dilakukannya gerakan pada

humerus. Pasien juga harus mengetahui untuk tidak menggerakkan humerus

kedepan menjauhi tubuh.

Gambar 2.12 Recruitment Dari Lower Trapezius. Angkat tangan dari meja
dengan cara mengeksternal rotasikan bahu.

(Sumber: Data pribadi)

Pada Gambar 2.12 merupakan salah satu latihan yang melibatkan lower

trapezius. Dalam hal ini pasien diminta untuk melakukan prone laying dengan

abduksi humerus 150⁰ dan fleksi elbow 90⁰. Pasien diinstruksikan untuk

mengangkat tangan dengan mengeksternal rotasikan bahu.


33

Gambar 2.13 Superman

(Sumber: Data pribadi)

Gerakan superman dilakukan dalam posisi prone laying dengan posisi

elbow full ekstensi dan bahu eksternal rotasi disamping tubuh.

Gambar 2.14 “TYI Exercises.” T: posisi prone laying pada matras.

Meretraksikan skapuladengan posisi lengan abduksi 90⁰ dan humerus


dalam posisi horizontal abduksi.

(Sumber: Data pribadi)


34

Pada Gambar 2.14 merupakan posisi T dimana merupakan salah satu

bagian dari 3 gerakan TYI exercise. Dengan posisi pasien meretraksikan skapula

dengan posisi lengan abduksi 90⁰ dan menggerakkan humerus ke arah horizontal

abduksi membentuk huruf “T”.

Gambar 2.15 “TYI Exercises.” Y: bahu dalam posisi eksternal rotasi


dengan fleksi elbow 90⁰

(Sumber: Data pribadi)

Untuk gerakan membentuk huruf “Y” posisikan bahu pasien dalam posisi

eksternal abduksi dengan fleksi elbow 90⁰.


35

Gambar 2.16 “TYI Exercises.” I: kedua bahu berada dalam posisi full
elevasi dengan ekstensi elbow.

(Sumber: Data pribadi)

Pada latihan terakhir dari “TYI exercise” pasien diminta untuk bergerak

membentuk posisi full elevasi bilateral dengan ekstensi elbow, sehingga

membentuk huruf “I”.

2.8 Mekanisme Peningkatan Kemampuan Fungsional Bahu

Pada kasus swimmer’s shoulder yang ditandai dengan adanya rasa nyeri

pada bagian bahu yang mengakibatkan adanya keterbatasan fungsional pada

perenang. Adapun keterbatasan fungsional itu meliputi aktifitas saat menyampo,

rasa nyeri yang pada saat malam hari (pada saat tidur), sensasi nyeri yang tajam

baik saat memulai maupun setelah selesai melakukan latihan renang, serta nyeri

pada saat gerakan rotasi bahu saat berenang. Hal ini sangat erat kaitannya dengan

muscle fatigue yang terjadi pada perenang, yang mengakibatkan menurunnya


36

kekuatan otot, gangguan pada kontrol neuromuskular serta stabilitas mekanik

sehingga memberikan efek perubahan pola gerak yang tidak ideal. Perubahan pola

gerak yang terjadi pada perenang mengakibatkan kerja otot yang tidak efisien

sehingga mempengaruhi performa dan meningkatkan risiko terjadinya cedera

berulang.

Latihan yang dilakukan berdasarkan pola gerak yang diberikan pada atlet

akan mengarah kepada kemampuan fungsional. Dimana pada saat pemberian

latihan, goal utama yang ingin dicapai yaitu terciptanya cortical plasticity. Saat

latihan yang diberikan dilakukan secara berulang-ulang maka akan diterima oleh

oleh CNS sebagai new engram. Kemudian dari latihan yang dilakukan secara

berulang tersebut akan menciptakan adaptasi neuromuskular yang memperbaiki

kontrol neuromuskular. Hal ini akan memperbaiki efisiensi kerja dari otot dan

memperbaiki kemampuan fungsional dari bahu perenang, mencegah terjadinya

cedera berulang serta meningkatkan performa atlet renang.

2.9 Shoulder Pain and Dissability Index

Shoulder Pain and Dissability Index atau yang biasa dikenal dengan

SPADI merupakan salah satu modalitas yang digunakan untuk mengukur

kemampuan fungsional bahu. Menurut Jain dkk. (2015) SPADI merupakan alat

ukur yang berfungsi untuk mengukur nyeri serta tingkat ketidakmampuan pada

bahu seseorang dalam melakukan suatu aktivitas.

SPADI merupakan alat ukur berupa form pertanyaan yang terdiri dari dua

jenis kategori, yaitu skala nyeri dan skala disabilitas bahu seseorang saat
37

melakukan suatu aktivitas kerja. Total pertanyaan yang terdapat dalam form

SPADI yaitu terdiri dari 13 pertanyaaan dengan mode bentuk jawaban berupa

skala 0-10. Dengan 5 item pertanyaan yang berfungsi untuk mengukur nyeri

selayaknya Visual Analog Scale (VAS) dan 8 pertanyaan berfungsi untuk

mengukur disabilitas pada bahu (Breckenridge, 2011). Adapun cara pengukuran

SPADI dengan menjumlahkan total dari kedua versi pertanyaan lalu dibagi

dengan 130 dan dirubah dalam bentuk persentase (%) (Jain dkk., 2015). Adapun

form SPADI terlampir.

Anda mungkin juga menyukai