Anda di halaman 1dari 3

Tasawuf Abu Yazid Al Bistami

Abu Yazid al Bistami lahir di Bustam, bagian Timur Laut Persia pada sekitar tahun 188
H-261 H/874-974 M. Dengan nama kecil Taifur, sedangkan nama lengkapnya adalah Abu
Yazid Taifur bin Isa bin Adam bin Syurusan. Kakeknya bernama Surusyan, seorang penganut
agama Zoroaster atau Majusi, kemudian masuk dan memeluk agama Islam di Bustam. Ayah
Abu Yazid termasuk tokoh masyarakat Bustam. Keluarga Abu Yazid termasuk keluarga yang
berada di daerahnya, tetapi ia memilih hidup sederhana.

Masa remaja Abu Yazid adalah saat ia mulai tertarik dengan ketasawufan. Saat inilah
pemikiran atau keingin tahuan akan ilmu tasawuf pada Abu Yazid muncul. Abu Yazid pernah
berkata, “Kewajiban yang semula kukira sebagai kewajiban yang paling ringan, paling sepele
diantara yang lain-lainnya, ternyata merupakan kewajiban yang paling utama. Yaitu
kewajiban untuk berbakti kepada ibuku. Didalam berbakti kepada ibuku itulah kuperoleh
segala sesuatu yang kucari, yakni segala sesuatu yang hanya bisa dipahami lewat tindakan
disiplin diri dan pengabdian kepada Allah.”

Abu Yazid yang mencapai kebersihan hati melalui riyadhah bathin akhirnya mendapat
buah dari jerih payahnya yaitu kedekatan yang sangat dengan tuhannya. Dari segi bahasa,
kata fana’(‫ )الفناء‬berasal dari kata faniya ( ‫ )فني‬yang berarti musnah atau lenyap. Dalam usaha

mencapai fana’, pembersihan diri dari sifat jelek ( ‫ )المذمومة‬saja tidak cukup tetapi juga
dengan amalan zhohir apakah itu yang wajib ataupun sunnah. Karna seperti itulah tasawuf
yang sebenarnya.

Imam Juanid Al- Bagdadi berkata:

‫من تف ّقه بغير تصوف فقد تفسّق ومن تصوّ ف بغير تف ّقه فقد تزندق ومن جمع بينهما فقد‬
‫تح ّقق‬

“Siapa merasa alim pada ilmu fiqih tapi tidak paham sedikitpun ilmu tasawuf maka ia tertipu
dalam kefasikan, dan siapa merasa mengerti ilmu tasawuf tapi tidak paham ilmu fiqih dan
tidak mengamalkan nya maka ia terjerumus dalam jurang kefasikan, dan siapa yang mampu
menggabung amalan zhohir dan amalan batin maka ia dianggap ahli haqiqat yang
sebenarnya”. Bahkan fana’ juga diartikan dengan hilangnya rasa pada diri entah itu rasa enak
ataupun rasa sakit.

Zulfi Nayyiroh T20197077


MATEMATIKA 2
Baqo, berasal dari kata ( ‫ )بقي‬yang artinya tetap/kekal. Dalam segi istilah para sufi,
baqo’ berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah.

Dalam menerangkan baqa’, al-Qusyairi menyatakan: “Barangsiapa meninggalkan


perbuatan-perbuatan yang tercela, ia sedang fana’ dari syahwatnya. Tatkala fana’ dari
syahwatnya, ia baqa’ dalam niat dan keikhlasan ibadah; Barangsiapa yang hatinya zuhud dari
keduniaan, ia sedang fana’ dari keinginannya, berarti pula sedang baqa’ dalam ketulusan
inabahnya....”

Ada beberapa pendapat ulama tentang ittihad, mulai dari menolak dan ada pula yang
membela para sufi yang berfaham ittihad. Berikut pendapat-pendapat ulama tersebut, yaitu:

‫ ُث َّم َقا َل فِي آخ ِِر‬.‫ َوأَ َطا َل فِي َذل َِك‬،‫ْن‬ ِ ‫ْن ْالقِسْ َمي‬
ِ ‫ُون إ َلى َه َذي‬ َ ‫ َو َك َذا الصُّوفِ َّي ُة َي ْن َقسِ م‬: ُّ‫َقا َل ال ُّس ْبكِي‬
ِ ‫ِين َو ْالقُ ْط‬
ِّ‫ب ْالقُو َن ِوي‬ َ ‫ْن َس ْبع‬
ِ ‫ْن َع َر ِبيٍّ َواب‬ِ ‫ين َكاب‬ َ ‫ان ِمنْ َهؤُ اَل ِء الصُّوفِ َّي ِة ْال ُم َتأ َ ِّخ ِر‬ َ ‫ َو َمنْ َك‬:ِ‫َكاَل ِمه‬
‫يق اإْل ِسْ اَل ِم َفضْ اًل َعنْ ْال ُع َل َما ِء‬
ِ ‫ُون َعنْ َط ِر‬ ِ ‫ضاَّل ٌل ُجهَّا ٌل َخ‬
َ ‫ارج‬ َ ‫َو ْال َعفِيفِ ال ِّت ْلم‬
ُ ‫ َف َهؤُ اَل ِء‬، ِّ‫ِسانِي‬

As-Subki berkata: begitu juga kalangan shufi terbagi dalam dua golongan ini, dijelaskannya
panjang-lebar, lalu diakhir ucapannya berkata: golongan ulama shufi mutaakhirin seperti Ibnu
Arabi, Ibnu Sab'in, al-Qawnawi, dan al-Tilmisani, mereka tersesat, jahil, keluar dari jalur
islam apalagi jalur ulama.

َّ ‫ إنَّ ال َّش‬:ِ‫َو َقا َل ابْنُ ْال ُم ْق ِري فِي َر ْوضِ ه‬


ِ ‫ك فِي ُك ْف ِر َطا ِئ َف ِة اب‬
‫ْن َع َر ِبيٍّ ُك ْف ٌر‬

Ibnu Muqri berkata: keraguan atas kekafiran golongan seperti Ibnu Arabi akan dihukumi
kufur.

‫ُون أَ ْخ َيا ٌر‬


َ ‫ َو ْال َح ُّق أَ َّن ُه ْم مُسْ لِم‬:‫ َقا َل‬.‫ِين َظا ِه ُر َكاَل م ِِه ْم عِ ْندَ َغي ِْر ِه ْم ااِل ِّت َحا ُد‬
َ ‫ َو ُه ْم الَّذ‬:‫َقا َل َش ْي ُخ َنا‬
‫ار َع َلى اصْ طِ اَل ح ِِه ْم َك َسائ ِِر الصُّوفِ َّي ِة َوه َُو َحقِي َق ٌة عِ ْن َد ُه ْم فِي م َُرا ِد ِه ْم‬ ٍ ‫َو َكاَل ُم ُه ْم َج‬
Zakariya al-Anshari berkomentar: golongan seperti Ibnu Arabi maksudnya golongan yang
ucapan-ucapannya bagi orang lain tampak sebagai ucapan hulul. Pendapat yang benar atas
masalah ini bahwa mereka tetap sebagai muslim terkemuka, ucapan-ucapan hulul tersebut
diberlakukan dalam konteks istilah mereka para ulama shufiyah serta menjadi kalam haqiqi
bagi mereka.

Zulfi Nayyiroh T20197077


MATEMATIKA 2
Maksud syatahat adalah perkataan tentang sesuatu hal yang tidak bisa diterima hukum
syari’at seperti (‫ا الحق‬KK‫)أن‬. Syatahat Abu Yazid sendiri sangat lah banyak. Ucapan dan
pengalaman sufi Abu Yazid banyak diriwayatkan oleh murid-muridnya. Diantara murid-
muridnya adalah keponakannya sendiri, yaitu Abu Musa bin Idham, yang dengan
perantaranya ucapan-ucapan Abu Yazid diketahui oleh Juanid al-Bagdadi dan diterjemahkan
ke dalam bahasa Arab dengan disertai komentar, yang sebagian dicatat oleh al-Sarraj dalam
a-luma.

Salah satu syatahat Abu Yazid yaitu: ( ‫دوني‬KK‫ا فاعب‬KK‫ )إني انا هللا ال إله إال أن‬artinya: Aku
adalah Allah. Tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku. Perkataan Abu Yazid ini
tentu tidak boleh dipahami bahwa Abu Yazid mengaku sebagai tuhan. Tetapi terlebih dahulu
dipahami kapan Abu Yazid mengatakannya. Abu Yazid berkata demikian di tengah
perjalannya menuju tanah suci. Di sebuah kota dalam perjalanan tersebut, suatu rombongan
besar telah menjadi muridnya dan ketika ia meninggalkan tanah suci, banyak orang yang
mengikutinya.

"Siapakah orang-orang ini?", Abu Yazid bertanya sambil melihat ke belakang.

"Mereka ingin berjalan bersamamu", terdengar sebuah jawaban.

"Ya Allah!", Abu Yazid memohon, "Janganlah Engkau tutup penglihatan hamba-hambaMu
karenaku". Doa ini kemudian dijawab Allah. Dengan kata-kata tersebut diatas. Hal ini tidak
dipahami oleh orang yang mengikuti Abu Yazid. Mereka pun berkata. "Abu Yazid sudah
gila!", seru mereka kemudian meninggalkannya.

Diriwayatkan bahwa Abu Yazid telah tujuh puluh kali diterima Allah ke hadhiratNya.
Setiap kali kembali dari perjumpaan dengan Allah itu, Abu Yazid mengenakan sebuah ikat
pinggang yang lantas diputuskannya pula.

Menjelang akhir hayatnya Abu Yazid memasuki tempat sholat dan mengenakan sebuah
ikat pinggang. Mantel dan topinya yang terbuat dari bulu domba itu dikenakannya secara
terbalik. Kemudian Abu Yazid menghembuskan nafas terakhirnya dengan menyebut nama
Allah pada tahun 261 H /974 M.

Zulfi Nayyiroh T20197077


MATEMATIKA 2

Anda mungkin juga menyukai