Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN LANSIA DENGAN MASALAH


PERKEMIHAN

DISUSUN KELOMPOK 8 :

1. BELLAADINDA NOVIA SARI 1911006


2. CHRISTINA CATUR 1911008
3. DUI WIJAYANTI 1911011
4. JOKO EDI 1911016
5. SRI MAYANTI 1911027

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWTAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH SURABAYA

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat
serta karunia-Nya, sehingga saya bisa menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya. Makalah yang berjudul “Makalah Asuhan Keperawatan Lansia Dengan
Masalah Perkemihan” mata kuliah Keperawatan Gerontik.

Makalah ini berisikan tentang Asuhan Keperawatan Lansia Dengan Masalah


Perkemihan. Diharapkan makalah ini dapat memberikan pemahaman tentang Asuhan
Keperawatan tersebut.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu, kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan
demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, saya sampaikan terima kasih. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua yang membacanya.

Surabaya, 9 November
2020

Kelompok 8

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar...........................................................................................................i
Daftar Isi.....................................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang..................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah.............................................................................................3
1.3. Tujuan ..............................................................................................................3
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1. Definisi Inkontinensia Urin..............................................................................4
2.2. Etiologi.............................................................................................................6
2.3. Faktor Presdiposisi Atau Faktor Pencetus........................................................7
2.4. Patofisiologi......................................................................................................6
2.5. Tanda Dan Gejala.............................................................................................7
2.6. Pemeriksaan Penunjang....................................................................................10
2.7. Pathway.............................................................................................................13
2.8. Asuhan Keperawatan Perkemihan....................................................................14
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan........................................................................................................19
3.2 Saran..................................................................................................................19
Daftar Pustaka............................................................................................................20

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Menua (menjadi tua) adalah suatu proses secra perlahan–lahan kemampuan jaringan untuk
memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak
dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Proses menua
merupakan proses yang terus menerus berlanjut secara alamiah. Dimulai sejak lahir dan
umumnya dialami pada semua makhluk hidup.

Usia lanjut adalah tahap akhir dari siklus hidup manusia, merupakan bagian dari proses
alamiah kehidupan yang tidak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh setiap individu.
Penuaan adalah normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat diramalkan
terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap perkembangan kronologis
tertentu. Ini merupakan suatu fenomena yang kompleks dan multi dimensional yang dapat
diobservasi di dalam satu sel dan berkembang pada keseluruhan sistem. Walaupun hal itu
terjadi pada tingkat kecepatan yang berbeda, di dalam parameter yang  cukup sempit, proses 
tersebut tidak tertandingi.

Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan proses berkurangnya daya tahan tubuh
dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun luar tubuh. Walaupun demikian, memang
harus diakui bahwa ada berbagai penyakit yang sering menghinggapi kaum lanjut usia. Proses
menua sudah mulai berlangsung sejak seseorang mencapai usia dewasa, misalnya dengan
terjadinya kehilangan jaringan pada otot, susunan saraf, dan jaringan lain sehingga tubuh mati
sedikit demi sedikit, dan terjadi juga pada sistem pencernaan.

Pada tahap ini individu mengalami banyak perubahan, baik secara fisik maupun mental,
khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah dimilikinya.
Perubahan penampilan fisik sebagai bagian dari proses penuaan yang normal, seperti
berkurangnya ketajaman panca indera, menurunnya daya tahan tubuh , lebih mudah terkena
konstipasi  merupakan ancaman bagi integritas orang usia lanjut. Belum lagi mereka masih

1
harus berhadapan dengan kehilangan peran diri, kedudukan sosial serta perpisahan dengan
orang-orang yang dicintai.

Proses menua (aging) merupakan suatu perubahan progresif pada organisme yang telah
mencapai kematangan intrinsik dan bersifat irreversibel serta menunjukkan adanya
kemunduran sejalan dengan waktu. Proses alami yang disertai dengan adanya penurunan
kondisi fisik, psikologis maupun sosial akan saling berinteraksi satu sama lain . Proses menua
yang terjadi pada lansia secara linier dapat digambarkan melalui tiga tahap yaitu, kelemahan
(impairment), keterbatasan fungsional (functional limitations), ketidakmampuan (disability),
dan keterhambatan (handicap) yang akan dialami bersamaan dengan proses kemunduran.

Pada lansia mengalami banyak perubahan, baik secara fisik maupun mental, khususnya
kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah dimilikinya. Perubahan
penampilan fisik sebagai bagian dari proses penuaan yang normal, seperti berkurangnya
ketajaman panca indera, menurunnya daya tahan tubuh, dan adanya inkontinensia baik urine
maupun tinja merupakan ancaman bagi integritas orang usia lanjut. Belum lagi mereka masih
harus berhadapan dengan kehilangan peran diri, kedudukan sosial serta perpisahan dengan
orang-orang yang dicintai.

Inkontinensia urin merupakan salah satu manifestasi penyakit yang sering ditemukan pada
pasien geriatri. Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar antara 15–30% usia lanjut
di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit mengalami
inkontinensia urin, dan kemungkinan bertambah berat inkontinensia urinnya 25-30% saat
berumur 65-74 tahun.

Ketidakmampuan mengontrol pengeluaran urin atau inkontinensia jarang dikeluhkan oleh


pasien atau keluarga karena dianggap sesuatu yang biasa, malu atau tabu untuk diceritakan
pada orang lain maupun pada dokter, dianggap sesuatu yang wajar tidak perlu diobati.
Inkontinensia urine bukan penyakit, tetapi merupakan gejala yang menimbulkan gangguan
kesehatan, sosial, psikologi serta dapat menurunkan kualitas hidup (Rochani, 2002).

Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak yang merugikan
pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena pakaian basah terus, risiko terjadi

2
dekubitus (luka pada daerah yang tertekan), dan dapat menimbulkan rasa rendah diri pada
pasien. Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani juga akan mempersulit rehabilitasi
pengontrolan keluarnya urin (Hariyati, 2010).

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Apa definsi dari definisi inkontinensia urin pada lanjut usia?


2. Apa saja etiologi inkontinensia urin pada lanjut usia?
3. Apa saja faktor predisposisi atau faktor pencetus inkontinensia urin pada lanjut usia?
4. Bagaimana asuhan keperawatan inkontinensia urin pada lanjut usia?

1.3 TUJUAN

1. Mengetahui dan memahami mengenai definsi inkontinensia urin pada lanjut usia
2. Menegtahui dan memahami etiologi inkontinesia pada lanjut usia
3. Mengetahui dan memahami faktor pencetus inkontinensia urin pada lanjut usia
4. Mengethaui dan memahami asuhan keperawatan inkontinensia urin pada lanjut usia

3
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI INKONTINENSIA URIN

Inkontinensia urin merupakan kehilangan kontrol berkemih yang bersifat sementara atau
menetap. Klien tidak dapat mengontrol sfingter uretra eksterna. Merembesnya urine dapat
berlangsung terus menerus atau sedikit sedikit (Potter dan Perry, 2005). Menurut Hidayat
(2006), inkontinensia urin merupakan ketidakmampuan otot sfingter eksternal sementara atau
menetap untuk mengontrol ekskresi urin. Secara umum penyebab inkontinensia dapat berupa
proses penuaan, pembesaran kelenjar prostat, penurunan kesadaran, dan penggunaan obat
narkotik atau sedatif.

Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak yang merugikan
pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena pakaian basah terus, risiko terjadi dekubitus
(luka pada daerah yang tertekan), dan dapat menimbulkan rasa rendah diri pada pasien.
Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani juga akan mempersulit rehabilitasi pengontrolan
keluarnya urin (Hariyati, 2000).

Adapun tipe-tipe inkontinensia urin menurut Hidayat, 2010

Inkontinensia Dorongan Keadaan dimana seseorang mengalami


pengeluaran urin tanpa sadar, terjadi segera
setelah merasa dorongan yang kuat setelah
berkemih.

Inkontinensia dorongan ditandai dengan


seringnya terjadi miksi (miksi lebih dari 2 jam
sekali) dan spame kandung kemih (Hidayat,
2006). Pasien Inkontinensia dorongan
mengeluh tidak dapat menahan kencing segera
setelah timbul sensasi ingin kencing. Keadaan
ini disebabkan otot detrusor sudah mulai
mengadakan kontraksi pada saat kapasitas
kandung kemih belum terpenuhi.

4
Inkontinensia Total Keadaan dimana seseorang mengalami
pengeluaran urin yang terus menerus dan tidak
dapat diperkirakan. Kemungkinan penyebab
inkontinensia total antara lain: disfungsi
neorologis, kontraksi independen dan refleks
detrusor karena pembedahan, trauma atau
penyakit yang mempengaruhi saraf medulla
spinalis, fistula, neuropati.
Inkontinensia Stress tipe ini ditandai dengan adanya urin menetes
dengan peningkatan tekanan abdomen, adanya
dorongan berkemih, dan sering miksi.
Inkontinensia stress terjadi disebabkan otot
spingter uretra tidak dapat menahan keluarnya
urin yang disebabkan meningkatnya tekanan
di abdomen secara tiba-tiba. Peningkatan
tekanan abdomen dapat terjadi sewaktu batuk,
bersin, mengangkat benda yang berat, tertawa
(Panker, 2007).
Inkontinensia Reflex Keadaan di mana seseorang mengalami
pengeluaran urin yang tidak dirasakan.

Inkontinensia tipe ini kemungkinan


disebabkan oleh adanya kerusakan neurologis
(lesi medulla spinalis). Inkontinensia refleks
ditandai dengan tidak adanya dorongan untuk
berkemih, merasa bahwa kandung kemih
penuh, dan kontraksi atau spasme kandung
kemih tidak dihambat pada interval teratur
Inkontinensia Fungsional keadaan seseorang yang mengalami
pengeluaran urin secara tanpa disadari dan
tidak dapat diperkirakan. Keadaan
inkontinensia ini ditandai dengan tidak adanya
dorongan untuk berkemih, merasa bahwa
kandung kemih penuh, kontraksi kandung
kemih cukup kuat untuk mengeluarkan urin.

5
2.2 ETIOLOGI

Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan fungsi organ
kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali, kebiasaan
mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air
seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga
walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih.
Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait dengan gangguan di saluran kemih
bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau adanya gangguan
kemampuan/keinginan ke toilet.

Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi infeksi saluran kemih,
maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika. Apabila vaginitis atau uretritis atrofi
penyebabnya, maka dilakukan tertapi estrogen topical. Terapi perilaku harus dilakukan jika
pasien baru menjalani prostatektomi. Dan, bila terjadi impaksi feses, maka harus dihilangkan
misalnya dengan makanan kaya serat, mobilitas, asupan cairan yang adekuat, atau jika perlu
penggunaan laksatif. Inkontinensia Urine juga bisa terjadi karena produksi urin berlebih karena
berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti diabetes melitus, yang harus terus
dipantau. Sebab lain adalah asupan cairan yang berlebihan yang bisa diatasi dengan
mengurangi asupan cairan yang bersifat diuretika seperti kafein.

Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi urin meningkat dan
harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan kemampuan ke toilet bisa disebabkan oleh
penyakit kronik, trauma, atau gangguan mobilitas. Untuk mengatasinya penderita harus
diupayakan ke toilet secara teratur atau menggunakan substitusi toilet. Apabila penyebabnya
adalah masalah psikologis, maka hal itu harus disingkirkan dengan terapi non farmakologik
atau farmakologik yang tepat.

Pasien lansia, kerap mengonsumsi obat-obatan tertentu karena penyakit yang dideritanya. Jika
kondisi ini yang terjadi, maka penghentian atau penggantian obat jika memungkinkan,
penurunan dosis atau modifikasi jadwal pemberian obat. Golongan obat yang berkontribusi
pada IU, yaitu diuretika, antikolinergik, analgesik, narkotik, antagonis adrenergic alfa, agonic
adrenergic alfa, ACE inhibitor, dan kalsium antagonik. Golongan psikotropika seperti

6
antidepresi, antipsikotik, dan sedatif hipnotik juga memiliki andil dalam IU. Kafein dan alcohol
juga berperan dalam terjadinya mengompol. Selain hal-hal yang disebutkan diatas
inkontinensia urine juga terjadi akibat kelemahan otot dasar panggul, karena kehamilan, pasca
melahirkan, kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina.

Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan melemahnya otot dasar
panggul karena ditekan selama sembilan bulan. Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot
dasar panggul rusak akibat regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir,
sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urine. Dengan menurunnya kadar
hormon estrogen pada wanita di usia menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan
tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya
inkontinensia urine. Faktor risiko yang lain adalah obesitas atau kegemukan, riwayat operasi
kandungan dan lainnya juga berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua seseorang
semakin besar kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan struktur
kandung kemih dan otot dasar panggul (Darmojo, 2009).

2.3 FAKTOR PRESDIPOSISI ATAU FAKTOR PENCETUS

1. Usia
Usia bukan hanya berpengaruh pada eliminasi feses dan urine saja, tetapi juga
berpengaruh terhadap kontrol eliminasi itu sendiri. Anak-anak masih belum mampu
untuk mengontrol buang air besar maupun buang air kecil karena sistem
neuromuskulernya belum berkembang dengan baik. Manusia usia lanjut juga akan
mengalami perubahan dalam eliminasi tersebut. Biasanya terjadi penurunan tonus otot,
sehingga peristaltik menjadi lambat. Hal tersebut menyebabkan kesulitan dalam
pengontrolan eliminasi feses, sehingga pada manusia usia lanjut berisiko mengalami
konstipasi. Begitu pula pada eliminasi urine, terjadi penurunan kontrol otot sfingter
sehingga terjadi inkontinensia (Asmadi, 2008).
2. Diet
Pemilihan makanan yang kurang memerhatikan unsur manfaatnya, misalnya jengkol,
dapat menghambat proses miksi. Jengkol dapat menghambat miksi karena kandungan

7
pada jengkol yaitu asam jengkolat, dalam jumlah yang banyak dapat menyebabkan
terbentuknya kristal asam jengkolat yang akan menyumbat saluran kemih sehingga
pengeluaran utine menjadi terganggu. Selain itu, urine juga dapat menjadi bau jengkol.
Malnutrisi menjadi dasar terjadinya penurunan tonus otot, sehingga mengurangi
kemampuan seseorang untuk mengeluarkan feses maupun urine. Selain itu malnutrisi
menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh terhadap infeksi yang menyerang pada
organ pencernaan maupun organ perkemihan (Asmadi, 2008).
3. Cairan
Kurangnya intake cairan menyebabkan volume darah yang masuk ke ginjal untuk
difiltrasi menjadi berkurang sehingga urine menjadi berkurang dan lebih pekat (Asmadi,
2008).
4. Latihan Fisik
Latihan fisik membantu seseorang untuk mempertahankan tonus otot. Tonus otot yang
baik dati otot-otot abdominal, otol pelvis, dan diagfragma sangat penting bagi miksi
(Asmadi, 2008).
5. Stress Psikologi
Ketika seseorang mengalami kecemasan atau ketakutan, terkadang ia akan mengalami
diare ataupun beser (Asmadi, 2008).
6. Temperature
Seseorang yang demam akan mengalami peningkatan penguapan cairan tubuh karena
meningkatnya aktivitas metabolik. Hal tersebut menyebabkan tubuh akan kekurangan
cairan sehingga dampaknya berpotensi terjadi konstipasi dan pengeluaran urine menjadi
sedikit. Selain itu, demam juga dapat memegaruhi nafsu makan yaitu terjadi anoreksia,
kelemahan otot, dan penurunan intake cairan (Asmadi, 2008).
7. Nyeri
Seseorang yang berasa dalam keadaan nyeri sulit untuk makan, diet yang seimbang,
maupun nyaman. Oleh karena itu berpangaruh pada eliminasi urine (Asmadi, 2008).
8. Sosio Kultural
Adat istiadat tentang privasi berkemih berbeda-beda. Contoh saja di masyarakat Amerika
Utara mengharapkan agar fasilitas toilet merupaka sesuatu yang pribadi , sementara

8
budaya Eropa menerima fasilitas toilet yang digunakan secara bersama-sama (Potter &
Perry,2006).

9. Status Volume
Apabila cairan dan konsentrasi eletrolit serta solut berada dalam keseimbangan,
peningkatakan asupan cairan dapat menyebabkan peningkatan produksi urine. Cairan
yang diminum akan meningkatakan volume filtrat glomerulus dan eksresi urina (Potter &
Perry,2006).
10. Penyakit
Adanya luka pada saraf perifer yang menuju kandung kemih menyebabkan hilangnya
tonus kandung kemih, berkurangnya sensasi penuh kandung kemih, dan individu
mengalami kesulitan untuk mengontrol urinasi. Misalnya diabetes melitus dan sklerosis
multiple menyebabkan kondusi neuropatik yang mengubah fungsikandung kemih.
Artritis reumatoid, penyakit sendi degeneratif dan parkinson, penyakit ginjal kronis atau
penyakit ginjal tahap akhir (Potter & Perry,2006).
11. Procedure Bedah
Klien bedah sering memiliki perubahan keseimbangan cairan sebelum menjali
pembedahan yang diakibatkan oleh proses penyakit atau puasa praoperasi, yang
memperburuk berkurangnya keluaran urine. Respons stres juga meningkatkan kadar
aldosteron menyebabkan berkurangnya keluaran urine dalam upaya mempertahankan
volume sirkulasi cairan (Potter & Perry,2006).
12. Obat – obatan
Retensi urine dapat disebabkan oleh penggunaan obat antikolinergik (atropin),
antihistamin (sudafed), antihipertensi (aldomet), dan obat penyekat beta adrenergik
(inderal) (Potter & Perry,2006).

2.4 PATOFISIOLOGI

Pada lanjut usia inkontinensia urin berkaitan erat dengan anatomi dan fisiologis juga
dipengaruhi oleh faktor fungsional, psikologis dan lingkungan. Pada tingkat yang paling dasar,

9
proses berkemih diatur oleh reflek yang berpusat di pusat berkemih disacrum. Jalur aferen
membawa informasi mengenai volume kandung kemih di medulla spinalis (Darmojo, 2000).

Pengisian kandung kemih dilakukan dengan cara relaksasi kandung kemih melalui
penghambatan kerja syaraf parasimpatis dan kontraksi leher kandung kemih yang dipersarafi
oleh saraf simpatis serta saraf somatic yang mempersyarafi otot dasar panggul (Guyton, 1995).

Pengosongan kandung kemih melalui persarafan kolinergik parasimpatis yang menyebabkan


kontraksi kandung kemih sedangkan efek simpatis kandung kemih berkurang. Jika kortek
serebri menekan pusat penghambatan, akan merangsang timbulnya berkemih. Hilangnya
penghambatan pusat kortikal ini dapat disebabkan karena usia sehingga lansia sering
mengalami inkontinensia urin. Karena dengan kerusakan dapat mengganggu kondisi antara
kontraksi kandung kemih dan  relaksasi uretra yang mana gangguan kontraksi kandung kemih
akan menimbulkan inkontinensia (Setiati, 2010).

2.5 TANDA DAN GEJALA

Tanda dan gejala yang ditemukan pada pasien retensi urin menurut (Uliyah, 2008) :

1. Ketidaknyamanan daerah pubis


2. Distensia vesika urinaria
3. Ketidak sanggupan untuk berkemih
4. Sering berkemih, saat vesika urinaria berisi sedikit urine. ( 25-50 ml)
5. Ketidakseimbangan jumlah urine yang dikeluarkan dengan asupannya
6. Meningkatkan keresahan dan keinginan berkemih
7. Adanya urine sebanyak 3000-4000 ml dalam kandung kemih.

2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Urinalisis
Digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah dan glukosa dalam urine.
2. Uroflometer
Digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukkan obstruksi pintu bawah
kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika pasien berkemih.

10
3. Cysometry
digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuskular kandung kemih dengan mengukur
efisiensi refleks otot destrusor, tekana dan kapasitas intravesikal, dan reaksi kandung
kemih terhadap rangsangan panas.
Urografi ekskretori bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika pasien
berkemih.
4. Urografi elektronik
Disebut juga pielografi intravena, digunakan untuk mengevaluasi struktur dan fungsi
ginjal, ureter dan kandung kemih.
5. Katerisasi residu pasca kemih
Digunakan untuk menentukan luasnya pengosongan kandung kemih dan jumlah urine
yang tersisa dalam kandung kemih setelah pasien berkemih.

Adapun penatalaksanaan medis inkontinensia urin menurut Muller adalah mengurangi faktor
resiko, mempertahankan homeostasis,  mengontrol inkontinensia urin, modifikasi
lingkungan,medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan. Dari beberapa hal tersebut di atas,
dapat dilakukan sebagai berikut :

a. Pemanfaatan kartu berkemih


Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan jumlah urin yang
keluar,baik yang keluar secara normal, maupun yang keluar karena tak tertahan, selain
itu dicatat pula waktu, jumlah dan jenis minuman yang diminum.
b. Terapi Non Farmakologi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia
urin,seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan
lain-lain.Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah :
 Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih)
dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekuensi berkemih 6-7x/hari
 Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum
waktunya.

11
 Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula
setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin
berkemih setiap 2-3 jam.
 Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai
dengankebiasaan lansia.
 Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi
berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila
ingin berkemih.Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi
kognitif  (berpikir).
c. Terapi Farmakologi
Obat – obatan yang dapat diberikan pada inkontinensia urine adalah :
 Antikolenergik seperti oxybutynin, propantteine, dicylomine
 Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu
pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra
 Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau alfa
kolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapi
diberikan secara singkat.
d. Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila
terapinon farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow
umumnyamemerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin.
Terapi inidilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan
prolaps pelvis (pada wanita).
e. Modilitas Lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan
inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang
mengalamiinkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter, dan alat bantu
toilet seperti urinal, komod dan bedpan
 Kelainan neurologis (medulla spinalis)
 Penyumbatan saluran urin (obat2an, tumor)
 Otot detrusor tdk stabil/ bereaksi berlebihan

12
 Ingin kencing mendadak, dimalam hari

2.7 PATHWAY

13
2.8 ASUHAN KEPERAWATAN

1. Identitas Klien
Inkontinensia pada umumnya biasanya sering atau cenderung terjadi pada lansia (usia ke
atas 65 tahun), dengan jenis kelamin perempuan, tetapi tidak menutup kemungkinan
lansia laki-laki juga beresiko mengalaminya.
2. Riwayat Kesehatan
 Riwayat Kesehatan Sekarang
Meliputi gangguan yang berhubungan dengan gangguan yang dirasakan saat ini.
Berapakah frekuensi inkonteninsianya, apakah ada sesuatu yang mendahului
inkonteninsia (stres, ketakutan, tertawa, gerakan), masukan cairan, usia/kondisi
fisik,kekuatan dorongan/aliran jumlah cairan berkenaan dengan waktu miksi.
Apakah ada penggunaan diuretik, terasa ingin berkemih sebelum terjadi
inkontenin, apakah terjadi ketidakmampuan.

 Riwayat Kesehatan Masa Lalu


Tanyakan pada klien apakah klien pernah mengalami penyakit serupa
sebelumnya, riwayat urinasi dan catatan eliminasi klien, apakah pernah terjadi
trauma/cedera genitourinarius, pembedahan ginjal, infeksi saluran kemih dan
apakah dirawat dirumah sakit.

 Riwayat Kesehatan Keluarga


Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit serupa
dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit bawaan atau keturunan, penyakit
ginjal bawaan/bukan bawaan.

3. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena respon dari
terjadinya inkontinensia

14
b. Pemeriksaan Sistem
 B1 (Breathing)
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena suplai oksigen
menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi.
 B2 (Blood)
Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah
 B3 (Brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
 B4 (Bladder)
Inspeksi: periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat karena
adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih serta disertai
keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder, pembesaran daerah supra pubik lesi
pada meatus uretra,banyak kencing dan nyeri saat berkemih menandakan disuria
akibat dari infeksi, apakah klien terpasang kateter sebelumnya.
Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis, seperti rasa
terbakar di urera luar sewaktu kencing / dapat juga di luar waktu kencing.
 B5 (Bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan abdomen,
adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan palpasi pada ginjal.
 B6 (Bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas yang lain,
adakah nyeri pada persendian.
4. Data Penunjang
a. Urinalisis
b. Hematuria
c. Poliuria
d. Bakteriuria
5. Pemeriksaan Kardiografi
a. IVP ( Intravenous Pyelographi) memprediksi local ginjal dan ureter
b. Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas yang lain,
adakah nyeri pada persendian.

15
6. Kultur Urine
a. Steril
b. Pertumbuhan tak bermakna ( 100.000 koloni / ml).
c. Organisme.

7. Diagnosa
Diagnosa yang mungkin muncul pada klien inkontinensia adalah sebagai berikut :
1. Inkontinensia stress berhubungan dengan kelemahan otot pelvis dan struktur
penyokongnya
2. Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinensia, imobilitas dalam waktu yang lama.
3. Resiko Kerusakan Integitas kulit berhubungan dengan irigasi konstan oleh urine
4. Resiko Isolasi Sosial berhubungan dengan keadaan yang memalukan akibat mengompol
di depan orang lain atau takut bau urine
5. Resiko ketidakefektifan penatalaksaan program terapeutik berhubungan dengan deficit
pengetahuan tentang penyebab inkontinen, penatalaksaan, progam latihan pemulihan
kandung kemih, tanda dan gejala komplikasi, serta sumbe komonitas.

8. Rencana Asuhan Keperawatan

No Diagnosa Tujuan Intervensi


1. Inkonteninsia Klien akan melaporkan 1. Kaji kebiasaan pola
berhubungan suatu pengurangan / berkemih dan gunakan
dengan penghilangan inkonteninsia, catatan sehari – hari
kelemahan otot klien dapat menjelaskan 2. Pertahankan catatan harian
pelvis penyebab. untuk mengkaji efektifitas
program yang
direncanakan.
3. Observasi meatus
perkemihan untuk
memeriksa kebocoran saat
kandung kemih.
4. Intruksikan klien batuk
dalam posisi litotomi, jika
tidak ada kebocoran, ulangi
dengan posisi klien

16
membentuk sudut 45,
lanjutkan dengan klien
berdiri jika tidak ada
kebocoranyang lebih dulu.
5. Pantau masukan dan
pengeluaran, pastikan klien
mendapat masukan cairan
2000 ml, kecuali harus
dibatasi.
6. Ajarkan klien untuk
mengidentifikasi otot
dinding pelvis dan
kekuatannya dengan latihan
7. Kolaborasi dengan dokter
dalam mengkaji efek
medikasi dan tentukan
kemungkinan perubahan
obat, dosis / jadwal
pemberian obat untuk
menurunkan frekuensi
inkonteninsia.

2. Resiko infeksi Berkemih dengan urine 1. Berikan perawatan perineal


berhubungan jernih tanpa dengan air sabun setiap
dengan ketidaknyamanan, urinalisis shift, jika pasien
inkontinensia, dalam batas normal, kultur inkontinensia, cuci daerah
imobilitas dalam urine menunjukkan tidak perineal segera mungkin.
waktu yang lama. adanya bakteri. 2. Jika di pasang kateter
indwelling, berikan
perawatan kateter 2x sehari
(merupakan bagian dari
waktu mandi pagi dan pada
waktu akan tidur) dan
setelah buang air besar.
3. Resiko Kerusakan 1. Jumlah bakteri < Pantau penampilan kulit
Integitas kulit 100.000 / ml. periostomal setiap 8jam
yang 2. Kulit periostomal
berhubungan tetap utuh.
dengan irigasi 3. Suhu 37° C.
konstan oleh 4. Urine jernih dengan
urine

17
sedimen minimal.

4. Resiko Isolasi Agar pasien tidak merasa Yakinkan apakah konseling


Sosial malu atau dikucilkan dilakukan dan atau perlu diversi
berhubungan urinaria, diskusikan pada saat
dengan keadaan pertama.
yang memalukan
akibat
mengompol di
depan orang lain
atau takut bau
urine

5. Resiko 1. Mengungkapkan 1. Berikan kesempatan kepada


ketidakefektifan pemahaman tentang klien dan orang terdekat
penatalaksaan kondisi, pemeriksaan untuk mengekspresikan
program diagnostik, dan perasaan dan harapannya.
terapeutik yang macam terapeutik. Perbaiki konsep yang salah.
berhubungan 2. Keluhan berkurang 2. Berikan informasi tentang:
dengan defisit tentang cemas atau sifat penyakit, deskripsi
pengetahuan gugup. singkat tentang tidur,
tentang penyebab 3. Ekspresi wajah pemeriksaan setelah
inkontinen, rileks. perawatan.
penatalaksaan,
progam latihan
pemulihan
kandung kemih,
tanda dan gejala
komplikasi, serta
sumber komonitas

BAB 3
PENUTUP

18
3.1 KESIMPULAN
Inkontinensia urin merupakan eliminasi urin dari kandung kemih yang tidak terkendali
atau terjadi diluar keinginan. Inkontinensia urin dapat disebabkan oleh cerebral clouding,
infeksi, gangguan jalur dari saraf pusat (lesi korteks), lesi neuron atas, lesi motor neuron
bawah, dan kerusakan jaringan. Inkontinensia urin dapat ditangani dengan beberapa cara,
diantaranya adalah: katerisasi, medkasi, pengaturan diet, terapi prilaku, dan latihan otot
panggul.

3.2 SARAN
Sebagai seorang perawat, sudah menjadi kewajiban untuk memberikan tindakan
perawatan dalam asuhan keperawatan yang diarahkan kepada pembentukan tingkat
kenyamanan klien, manajemen rasa tidak nyaman dan keamanan. Perawat harus mampu
mamahami faktor psikologis dan emosional yang berhubungan dengan diagnosa penyakit,
dan perawat juga harus terus mendukung pasien dan keluarga dalam menjalani proses
penyakitnya.

19
STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)
IRIGASI KANDUNG KEMIH SISTEM TERTUTUP

PENGERTIAN Irigasi kandung kemih / kateter adalah pencucian selang kateter


dengan cara memasukkan cairan yang bertujuan untuk
membersihkan dan menjaga kepatenan selang kateter. Untuk irigasi
vesica urinaria orang dewasa pada umumnya 1000 ml, irigasi
kateter 200 ml, variasi dari irigasi sederhana yaitu irigasi
sementara.
TUJUAN 1. Untuk melakukan medikasi pada vesica urinaria.
2. Mengirigasi kateter itu sendiri yang mungkin terhambat
oleh gumpalan darah/sekret atau endapan urin.
INDIKASI Irigasi vesica urinaria biasanya dilakukan pada pasien dengan
reseksi prostat dan pembedahan vesica urinaria. Dalam kasus ini
biasanya digunakan dua kateter yaitu kateter dengan Y adapter
ataupun three way catheter.
PROSEDUR 1. Persiapan alat :
a) Kateter dengan tiga saluran
b) Katub IV yang kuat
c) Sarung tangan
d) Cairan pengisi
e) Kantong pengering
f) Tisu
2. Persiapan pasien:
a) Jelaskan prosedur kepada klien dan alas an-alasan
pelaksanaan tindakan.
b) Beritahu klien tentang tanda dan gejala distensi vesica
urinaria.

3. Pelaksanaan
Pra Interaksi
a) Mengkaji kebutuhan pasien tentang irigasi kandung
kemih
b) Memvalidasi data tentang irigasi kandung kemih
c) Menyiapkan alat dan bahan tentang irigasi kandung
kemih

Interaksi
Tahap Orientasi

20
a) Menyampaikan salam
b) Memperkenalkan diri dengan pasien dan keluarga (jika
ada)
c) Menanyakan nama pasien
d) Menjelaskan maksud dan tujuan
e) Menjelaskan langkah atau prosedur yang akan dilakukan
f) Mendekatkan alat dan bahan untuk melakukan tindakan
irigasi kandung kemih
g) Mencuci tangan

Tahap Kerja
a) Mencuci tangan dengan cara 6 langkah
b) Memakai sarung tangan
c) Jaga privasi pasien : Tutup tirai, jendela dan pintu
d) Jelaskan prosedur kepada klien. Jawab pertanyaan dan
berikan dukungan pada klien
e) Gantungkan larutan irigasi yang telah ditentukan Dario
IV pole
f) Sisipkan klamp ke selang irigasi dan sambungkan ke
botol irigasi yang telah berisi cairan dan klamp kembali
selang
g) Siapkan kapas antiseptic yang steril dan peralatan steril
lain yang diperlukan
h) Pakai sarung tangan steril
i) Klamp kateter urin
j) Bersihkan ujung selang dengan antiseptik
k) Sambungkan selang irigasi
l) Lepas klamp kateter dan observasi pembuangan urin
m) Masukkan aliran sesuai dengan yang telah ditentukan
n) Klamp selang irigasi
o) Jika dokter atau praktisi yang berwenang meminta
pengukuran cairan, klamp selang urobag untuk
memasukkan cairan irigasi dan tunggu sampai waktu
yang telah ditentukan
p) Memonitor cairan yang masuk ke urobag

21
q) Klamp selang irigasi untuk mengikuti kecepatan aliran
yang ditentukan untuk mengalir ke dalam kateter dan
bladder
r) Monitor cairan di urobag dalam warna, kejernihan,
debris, dan volume
s) Balut kateter pada daerah yang lebih tinggi dan nyaman
t) Cuci tangan 6 langkah

Tahap Terminasi
a) Menginformasikan hasil tersebut kepada klien dan
evaluasi tujuan
b) Kontrak pertemuan selanjutnya dan mengucapkan salam
terminasi
c) Merapikan alat dan mengembalikan ke tempat semula
(ruang penyimpanan).

Tahap Evaluasi
a) Mengobservasi respon klien selama dan sesudah
prosedur irigasi kandung kemih.
b) Dokumentasikan tindakan :
1. Mencatat prosedur dan respon klien selama
prosedur.
2. Mencatat waktu tindakan (hari tanggal, jam).
3. Mencatat keluhan pasien jika ada.
4. Mencatat jumlah cairan yang digunakan untuk
irigasi, jumlah yang keluar, karakter, urine output di
catatan drainase, warna, ada darah, ada gumpalan,
perawat dan intake-output cairan di lembar
observasi.
5. Mencatat adanya sumbatan kateter, perdarahan yang
tiba-tiba, infeksi atau peningkatan nyeri.
6. Mencatat nama perawat yang melakukan
tindakan/tanda tangan.
  

Referensi Potter, P. A, Perry. A. G, Stockert, P. dkk. 2014. Canadian


Fundamentals of nursing (5th ed). Toronto, ON Mosby/Elsevier
Canada.

22
STANDARD OPERATING PROCEDURE (SOP)
(Prosedur Operasional Tetap)
Judul SOP : Bladder Training
No. Dokumen : … /SOP/... /2017
No. Revisi :
UPTD RSUD JAMPANGKULON
Tanggal Mulai Berlaku :
PROVINSI JAWA BARAT Ditetapkan Oleh :
Halaman :
Salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi kandung
1 PENGERTIAN kemih yang mengalami gangguan ke keadaan normal atau
ke fungsi optimal neurogenik.
1. Melatih kandung kemih dan mengembalikan pola
normal perkemihan dengan menghambat atau
menstimulasi pengeluaran air kemih.
2. Mengembangkan tonus otot kandung kemih
2 TUJUAN 3. Memperpanjang interval waktu berkemih
4. Meningkatkan kapasitas kandung kemih
5. Mengurangi atau menghilangkan inkontinensia
6. Meningkatkan kemandirian dalam manajemen
kandung kemih
1. Pasien yang mengalami retensi urin
2. Pasien yang terpasang kateter dalam waktu yang lama
3 INDIKASI
sehingga fungsi spingter kandung kemih terganggu
3. Pasien yang mengalami inkontinensia urin

23
1. Pasien dengan penyakit tromboemboli vena / deep
vein thrombosis (DVT)
2. Infeksi kandung kemih
4 KONTRAINDIKASI
3. Pasien dengan gagal ginjal
4. Gangguan sensasi sarf perifer (penyakit
serebrovaskular)
1. Berikan salam, perkenalkan diri, dan identitas klien
dengan memeriksa identitas klien secara cermat.
2. Kaji kondisi pasien
5 PERSIAPAN PASIEN 3. Ajarkan kepada pasien dan keluarga mengenai
tindakan yang akan dilakukan dengan prosedur yang
benar

1. Handscone
2. Klem(khusus klien yang memakai kateter)
PERSIAPAN ALAT
6 3. Jam Tangan
DAN BAHAN
4. Obat Diuretik jika diperlukan
5. Air minum dalam tempatnya
7 CARA BEKERJA TAHAP PRE INTERAKSI
1. Baca catatan medis klien dan daftar intake dan output
2. Siapkan alat dan privacy ruangan
3. Cuci tangan
TAHAP ORIENTASI
1. Berikan salam, panggil klien dengan namanya
2. Memberitahu pasien tentang hal yang akan dilakukan
TAHAP KERJA
Pasien dengan tidak terpasang kateter :
1. Tentukan pola waktu biasanya klien berkemih
2. Rencanakan waktu toilet terjadwal berdasarkan pola
dari klien, bantu seperlunya
3. Berikan pasien sejumlah cairan untuk diminum pada
waktu yang dijadwalkan secara teratur (2500 ml/hari)
4. Anjurkan pasien untuk menunggu selama 30 menit
kemudian coba pasien untuk berkemih
a. Posisikan pasien dengan paha fleksi, kaki dan

24
punggung disupport
b. Perintahkan untuk menekan atay memasge
diatas area bladder atau meningkatkan
tekanan abdominal dengan cara bersandar ke
depan. Ini dapat membantu dalam memulai
pengosongan bladder
c. Anjurkan klien untuk berkonsentrasi terhadap
BAK
d. Anjurkan klien untuk mencoba berkemih
setiap 2 jam. Interval dapat diperpanjang
(Atur bunyi alarm jam dengan interval setiap
2-3 jam pada siang hari dan pada malam hari
cukup 2 kali), batasi cairan setelah jam 17.00
5. Anjurkan pasien untuk berkemih sesuai jadwal, catat
jumlah cairan yang diminum serta urine yang keluar
dalam waktu berkemih
6. Anjurkan klien untuk menahan urinnya sampai waktu
BAK yang telah dijadwalkan
7. Kaji adanya tanda-tanda retensi urin. Jika diperlukan
tes residu iurine secara langsung dengan katerisasi
8. Anjurkan pasien untuk melakukan program latihan
secara kontinue

Pasien dengan terpasang kateter :

1. Tentukan pola waktu biasanya klien berkemih


2. Rencanakan waktu toilet terjadwal berdasarkan pola
dari klien, bantu seperlunya
3. Berikan pasien sejumlah cairan untuk diminum pada
waktu yang dijadwalkan secara teratur (2500 ml/hari)
sekitar 30 menit sebelum waktu jadwal untuk
berkemih
4. Beritahu klien untuk menahan berkemih (pada pasien
yang terpasang kateter, klem selang kateter 1-2 jam,

25
disarankan bisa mencapai waktu 2 jam kecuali pasien
merasa kesakitan)
5. Kosongkan urine bag
6. Cek dan evaluasi kondisi pasien, jika pasien merasa
kesakitan dan tidak toleran terhadap waktu 2 jam yang
ditentukan, maka kurangi waktunya dan tingkatkan
secara bertahap
7. Lepaskan klem setelah 2 jam dan biarkan urine
mengalir dari kandung kemih menuju urine bag
hingga kandung kemih kosong
8. Biarkan klem tidak terpasang 15 menit, setelah itu
klem lagi 1-2 jam
9. Lanjutkan prosedur ini hingga 24 jam pertama
9. Lakukan bladder training ini hingga pasien mampu
mengontrol keinginan untuk berkemih
10. Jika klien memakai kateter, lepas kateter jika klien
sudah merasakan keingin untuk berkemih

1. Evaluasi respon pasien


2. Berikan reinforcement positif
8 HASIL
3. Lakukan kontrak untuk kegiatan selanjutnya
4. Mengakhiri kegiatan dengan baik
1. Catat kegiatan yang telah dilakukan dalam catatan
keperawatan
9 DOKUMENTASI 2. Catat respon klien
3. Dokumentasikan evaluasi tindakan: SOAP
4. Tanda tangan dan nama perawat

26
DAFTAR PUSTAKA

Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi. Jakarta : Salemba
Medika.

Darmojo B. 2009. Geriatri ilmu kesehatan usia lanjut. Edisi keempat. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.

Hariyati, Tutik S. (2010). Hubungan antara bladder retraining dengan proses pemulihan
inkontinensia urin pada pasien stoke. Diakses dari
http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=76387&lokasi=lokal pada tanggal 9
November 2020

Hidayat, A. Alimul. (2006). Pengantar kebutuhan dasar manusia: aplikasi konsep dan proses
keperawatan. Jakarta: Salemba Medika

27

Anda mungkin juga menyukai