Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Teh merupakan tanaman yang sudah sangat terkenal apalagi di Indonesia,
teh bahkan sudah menjadi bagian budaya, walaupun teh sendiri bukan tanaman
asli Indonesia. Teh (Camellia sinensis) adalah tumbuhan asli Cina, Tibet dan
India dari keluarga Camellia. Tanaman teh harus menenuhi syarat yang sesuai
dengan keperluan pertumbuhannya agar dapat tumbuh dan berproduksi optimal
karena Indonesia memiliki iklim tropis (Setyamidjaja, 2000). Teh diproduksi dari
pucuk daun muda tanaman teh. Produk daun teh dapat menjadi berbeda satu sama
lain karena melalui berbagai metode atau cara pengolahan yang berbeda, sehingga
ketika daun teh kering tersebut diseduh dengan air panas, akan menimbulkan
aroma serta rasa yang khas yang berbeda pula (Balittri, 2012).
Saat ini ketersedian teh untuk dikonsumsi dapat diperoleh dalam berbagai
macam ragam jenis dan bentuk. Banyaknya ragam jenis dan bentuk ketersediaan
teh mampu meningkatkan konsumsi teh di dunia sebesar 5% dari 4,62 juta ton
ditahun 2012 menjadi 4,84 juta ton ditahun 2013 (Prawira, 2016). Jenis-jenis teh
yang terkenal dan paling banyak dikonsumsi adalah teh hijau, teh hitam, teh
oolong dan teh putih. Menurut Balittri (2013), teh putih adalah jenis teh yang
paling mahal dan produksinya sedikit sehingga jarang diketahui dan dikonsumsi
oleh masyarakat. Sedikitnya produksi teh putih dikarenakan produksi teh putih ini
dihasilkan dari satu pucuk tertinggi yang belum mekar sempurna dan masih
diselimuti bulu-bulu halus berwana perak (silver needle) di satu pohon serta hanya
dapat dipanen saat pagi hari. Menurut Asosiasi Teh Indonesia (2013) juga,
konsumsi teh putih di Indonesia sendiri masih sangat rendah, karena sekitar 80%
produksi teh putih diekspor ke beberapa negara.
Daun teh putih adalah daun teh yang paling sedikit mengalami pemrosesan
dari semua jenis teh, hanya dibiarkan layu secara alami di udara terbuka pada
ruangan yang telah diatur suhu dan kelembabannya (Somantri et al., 2011).
Dengan proses yang lebih singkat tersebut, teh putih memiliki kandungan

1
2

polifenol tertinggi atau biasa disebut katekin. Kandungan polifenol dalam daun
teh berkisar antara 25-35% berat kering. Tinggi atau rendahnya kandungan kimia
dalam teh termasuk polifenol sangat dipengaruhi oleh jenis klon, variasi musim,
kesuburan tanah, perlakuan kultur teknis, umur daun, intensitas sinar matahari
yang diterimanya dan faktor-faktor pendukung lainnya (Rohdiana, 2012).
Polifenol sendiri sangat berguna untuk menangkal radikal bebas karena memiliki
aktivitas antioksidan. Komponen polifenol dalam teh terdiri atas flavanol, flavonol
glikosida, flavonone, asam-asam. Potensi dari teh putih tidak sejalan dengan
tingkat produksinya. Industri hilir banyak memanfaatkan ekstrak polifenol
(ekstrak teh hijau dengan kandungan polifenol yang tinggi) sebagai bahan baku
dalam komposisi produknya antara lain industri makanan dan minuman, industri
farmasi dan kosmetik. Pendistribusian produk ekstrak polifenol sangat terbatas di
Indonesia dan masih diimpor (Hara, 2008).
Kandungan polifenol dalam teh merupakan salah satu parameter dalam
mutu teh. Hal ini dikarenakan polifenol merupakan salah satu senyawa kimia yang
mempunyai peran penting dalam menjaga kesehatan. Untuk mengetahui
kandungan polifenol dalam teh harus dilakukan pengujian yang dimulai dengan
mengekstrak teh putih terlebih dahulu. Akan tetapi, komponen polifenol tersebut
mudah rusak oleh panas, oksigen, cahaya, logam dan bahan kimia lain.
Berbagai macam metode ekstraksi yang dapat dilakukan untuk
mengekstrak kandungan senyawa-senyawa yang ada pada teh putih salah satunya
adalah maserasi bertingkat. Maserasi bertingkat adalah proses pengekstrakan yang
bertujuan mengekstrak keseluruhan senyawa dalam teh berdasarkan polaritas
pelarut yang digunakan. Polifenol merupakan zat yang mudah rusak apabila
dipanaskan, pemilihan maserasi bertingkat ini untuk menghindari hal tersebut
terjadi. Keuntungan lain dari penggunaan maserasi bertingkat ini adalah alat untuk
melakukan ekstraksinya sangat sederhana dan tidak memerlukan jumlah pelarut
yang banyak dalam tiap tahapan maserasinya.
Pelarut yang paling sering digunakan untuk mengekstraksi senyawa
fenolik antara lain metanol, etanol, etil asetat, dan n-heksana. Ekstraksi dilakukan
secara bertingkat, dimana urutan ekstraksi ditentukan berdasarkan tingkat
3

kepolaran pelarut. Berdasarkan penelitian Ekatama (2014), proses maserasi


bertingkat dilakukan dengan mencampurkan bubuk teh putih dengan tiga jenis
pelarut yaitu etanol 96% (polar), etil asetat (semi polar) dan n-heksana (non
polar). Perbandingan antara bubuk teh putih yang digunakan dan pelarut adalah 1 :
9. Kadar polifenol tertinggi terdapat pada ekstrak teh putih menggunakan pelarut
etanol sebanyak 57,54% dan pelarut etil asetat sebanyak 59,32% (Ekatama, 2014).
Berdasarkan penelitian Shabri (2016), dilakukan analisis terhadap pencampuran
ekstrak teh hijau dengan berbagai pelarut dan hasilnya menunjukkan aseton 70%
memiliki nilai kandungan polifenol yang cukup tinggi yaitu sebesar 53,30%.
Dilihat dari kedua penelitian ini, penggunaan pelarut etil asetat dan aseton 70%
untuk penarikan senyawa-senyawa semi polar memiliki hasil yang tidak jauh
berbeda. Selain itu, pelarut etil asetat dan aseton termasuk pelarut organik bersifat
semi polar yang sering digunakan untuk mengekstraksi sesuatu dibanding pelarut
organik lainnya dengan kepolaran yang sama. Aseton juga memiliki harga yang
lebih murah dibanding etil asetat. Hal ini menjadi dasar untuk mencoba mengganti
pelarut etil asetat menjadi aseton 70%.
Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu dilakukan penelitian untuk
mengetahui karakteristik hasil mutu ekstrak teh putih dengan menggunakan
metode maserasi bertingkat menggunakan pelarut n-heksana, aseton 70% dan
etanol 96% dimana selain kandungan polifenol yang menjadi parameter mutu ada
beberapa parameter lain yang dapat diukur antara lain kadar air, kadar serat kasar,
ekstrak dalam air, kadar abu, bobot jenis, rendemen parsial, rendemen total dan
kadar sisa pelarut (ksp).

1.2 Identifikasi Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat ditentukan identifikasi
masalah yaitu bagaimana karakteristik mutu ekstrak teh putih yang dihasilkan dari
proses ekstraksi hasil metode maserasi bertingkat menggunakan pelarut n-
heksana, aseton 70% dan etanol 96%
4

1.3 Tujuan Penelitian


Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui karakterisastik mutu
ekstrak teh putih hasil metode maserasi bertingkat menggunakan pelarut n-
heksana, aseton 70% dan etanol 96% dibandingkan dengan RSNI tahun 2014.

1.4 Kegunaan Penelitian


Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu menjadi referensi mengenai
ekstraksi teh putih menggunakan metode maserasi bertingkat. Serta dapat
memberikan informasi mengenai mutu ekstrak teh putih yang dihasilkan dari
proses ekstraksi menggunakan pelarut organik baik untuk bidang akademis
maupun industri pangan maupun non-pangan.

1.5 Kerangka Penelitian


Teh putih merupakan salah satu jenis teh yang jarang dikonsumsi sebagai
minuman dikarenakan produksinya yang sedikit dan harganya sangat mahal.
Padahal teh putih ini memiliki manfaat yang besar dibanding dengan jenis teh
lainnya. Berdasarkan proses pengolahannya yang terbilang singkat, teh putih
mengandung polifenol tertinggi dibanding teh hijau dan teh hitam. Besarnya nilai
kandungan polifenol pada teh menjadikannya senyawa utama yang dijadikan
syarat mutu kualitas teh. Menurut RSNI (2014) mengenai syarat mutu teh putih,
kandungan polifenol yang dimiliki teh putih sebesar 17,5 %.
Dalam memperoleh senyawa polifenol dari tumbuhan untuk kebutuhan
industri perlu dilakukan isolasi bahan alami, yaitu dengan metode ekstraksi.
Menurut Sarker et al (2006) pemilihan metode ekstraksi didasari pada target
komponen yang ingin diisolasi, yaitu senyawa yang akan diekstrak adalah
senyawa yang telah diketahui keberadaannya pada suatu organisme atau
sekelompok senyawa dalam organisme yang secara struktural terkait. Pada
penelitian ini metode ekstraksi yang digunakan adalah maserasi bertingkat.
Metode maserasi bertingkat adalah metode perendaman bahan dengan
mengunakan pelarut dengan polaritas yang berbeda serta tanpa adanya pemanasan
yang terjadi selama proses ekstraksi. Pemilihan metode ini juga untuk menjaga
5

agar kandungan polifenolnya tidak rusak akibat pemanasan. Pelarut yang


digunakan berturut-turut dimulai dari pelarut yang bersifat non-polar, semipolar
dan polar. Penggunaan ketiga pelarut dengan sifat yang berbeda ini agar
mendapatkan hasil ekstrak yang berkualitas dibandingkan metode maserasi tidak
bertingkat, karena metode maserasi bertingkat senyawa kimia golongan lain selain
flavonoid dapat teristribusi berdasarkan kepolaran pelarut yang digunakan. Pelarut
yang bersifat non-polar akan menarik senyawa non-polar begitupun dengan
pelarut semi polar menarik senyawa semi polar sehingga nantinya dengan mudah
pelarut polar menarik senyawa polar tanpa ada gangguan yang ikut terekstrak dari
senyawa golongan lain dan hasilnya pun akan maksimal (Permadi, 2015).
Menurut Saker et al (2006) mengenai tahapan proses persiapan bahan
baku bahan, dilakukan pengecilan ukuran bahan baku tersebut. Pada penelitian ini
dilakukan pengecilan ukuran pekoe teh menggunakan grinder hingga menjadi
bubuk teh putih. Pengecilan ukuran bertujuan mempermudah penetrasi pelarut ke
dalam sel tumbuhan sehingga meningkatkan nilai rendemen (Sharief, 2006). Pada
penelitian yang dilakukan oleh Siringo-ringo (2006), mengenai ekstraksi teh hijau
dengan berbagai ukuran butir, teh hijau dengan ukuran butir mesh 18
menghasilkan ekstrak teh hijau dengan nilai polifenol yang optimum. Bubuk teh
putih kemudian diayak menggunakan tyler sieves dan mesh 18. Selain itu,
Widyasanti (2016), juga menggunakan bubuk teh putih lolos mesh 18 pada
ekstraksi maserasi bertingkat. Pada tahapan persiapan bahan baku dilakukan
identifikasi data berupa kadar air pada peko dan bubuk teh putih, kadar serat
kasar, kadar ekstrak dalam air, kadar abu serta rendemen penggilingan dan
pengayakan.
Tahapan selanjutnya adalah ekstraksi dengan metode maserasi bertingkat
bubuk teh putih dengan 3 jenis pelarut yang berbeda. Menurut Harbone (1987),
menyatakan bahwa pelarut yang bersifat polar (etanol 96%) mampu mengesktrak
senyawa alkaloid kuartener, komponen fenolik, karotenoid, tannin, gula, asam
amino dan glikosida. Pelarut bersifat semi polar (etil asetat) mampu mengekstrak
senyawa fenol, terpenoid, alkaloid, aglikon, dan glikosida. Pelarut bersifat non
polar (n-heksana) mampu mengekstrak senyawa kimia seperti lilin, lemak dan
6

minyak yang mudah menguap. Pada penelitian kali ini digunakan n-heksana,
aseton 70% dan etanol 96%. Penggunaan aseton 70% untuk menggantikan etil
asetat dikarenakan sebagai senyawa semipolar dapat menarik polifenol dengan
baik, tidak jauh berbeda nilai kandungannya dengan penggunaan pelarut etil asetat
pada penelitian Ekatama (2014). Selain itu, harga aseton lebih murah dibandikan
dengan harga etil asetat per liternya.
Maserasi dilakukan selama 24 jam. Maserasi dilakukan dengan beberapa
kali pengocokan atau pengadukan pada suhu ruangan (Depkes RI, 2000). Pada
penelitian ini dilakukan pengadukan sebanyak dua kali secara berkala untuk
menjamin keseimbangan konsentrasi bahan ekstraksi.
Menurut penelitian Ekatama (2014), rasio optimum antara bubuk teh putih
dan pelarut n-heksana, aseton 70% dan etanol 96% adalah 1 : 9 (b/v), hal ini dlihat
dari hasil polifenol yang didapatkan sebesar 22,04% untuk n-heksana, 57,54%
untuk aseton 70% dan 59,32% untuk etanol 96%. Penelitian yang dilakukan
Shabri (2016) pada ekstraksi menggunakan beberapa macam aseton menunjukkan
rasio yang optimum adalah 1 : 15 (b/v) dengan nilai kandungan polifenol sebesar
53,39%. Sehingga dilakukan penelitian pendahuluan menggunakan dua
perbandingan untuk n-heksana dan etanol 96% digunakan rasio 1 : 9 (b/v)
sedangkan untuk aseton 70% digunakan rasio 1 : 9 dan 1 : 15 (b/v). Hal ini
dilakukan untuk melihat rasio mana yang paling baik dari hasil analisa datanya.
Setiap tahap ekstraksi ampas yang akan dimaserasi kembali harus dikeringkan
menggunakan oven terlebih dahulu untuk menghilangkan kandungan pelarut atau
air sampai nilai kadar airnya konstan seperti nilai kadar air bubuk teh putih
diawal. Perlakuan ini dilakukan untuk mengurangi nilai rendemen total yang
terlalu besar akibat masih terdapat pelarut sebelumnya pada ampas.
Proses selanjutnya adalah proses penguapan filtrat menggunakan rotary
evaporator vacuum yang bertujuan untuk menghilangkan kandungan pelarut pada
hasil ekstraksi (filtrat) sehingga menjadi ekstrak kental teh putih. Suhu evaporasi
tidak boleh terlalu tinggi karena takut akan merusak bahan aktif yang diinginkan.
Suhu yang baik digunakan untuk proses vakum evaporasi adalah 40°C (Yulia,
2006). Waktu pengentalan juga perlu diperhatikan agar ekstrak tidak mengering
7

dan menempel di labu rotary. Berdasarkan penelitian pendahuluan yang telah


dilakukan, waktu yang digunakan untuk mengentalkan filtrat adalah aseton 70%
dan etanol 96% selama 5 jam, sedangkan n-heksana merupakan senyawa yang
dapat menguap di suhu ruangan sehingga tidak perlu dilakukan rotary evaporator
vacuum. Ekstrak n-heksana hanya dimasukkan kedalam botol terbuka dan
dibiarkan selama tiga hari atau sampai mengalami massa konstan.
Analisa data yang dilakukan pada penelitian pendahuluan berupa data
rendemen total dan ksp masing-masing pelarut. Pada perlakuan A (tiga pelarut =
rasio 1 : 9 (b/v)) didapat nilai rendemen total untuk n-heksana sebesar 1,0056%,
aseton 70% sebesar 66,9173 dan etanol 96% sebesar 9,8014%. Pada perlakuan B
(aseton 70% = 1 : 15 (b/v)) didapat nilai rendemen total untuk n-heksana sebesar
0,1935%, aseton 70% sebesar 217,3839 dan etanol 96% sebesar 23,9565%.
Besarnya nilai rendemen aseton 70% karena masih banyak air yang terkandung
didalam ekstrak kentalnya. Hasil ksp yang paling sedikit adalah hasil dari
perlakuan A juga dengan nilai 29,3578% untuk aseton 70% dan 27,8146% untuk
etanol 96%. Pelarut n-heksana tidak dilakukan pengujian kadar sisa pelarut
dikarenakan ekstrak kentalnya sudah berupa padatan sehingga dianggap sudah
tidak ada pelarut yang terkandung. Berdasarkan penelitian pendahuluan, pada
penelitian utama akan digunakan rasio 1 : 9 (b/v) untuk perbandingan antara
bahan dan pelarut.
Setiap perlakuan dilakukan sebanyak 3 kali ulangan. Seluruh ekstrak yang
dihasilkan akan dilakukan pengujian mutu. Pertama identifikasi bahan baku
terhadap kadar air, kadar serat kasar, eksrak dalam air serta kadar abu untuk
menunjukkan kualitas dari teh peko teh putih yang digunakan sebagai bahan baku
utama pada peneltian ini. Kedua pengujian dan perhitungan rendemen ekstraksi
baik parsial maupun total, ksp, bobot jenis filtrat dan bobot jenis ekstrak, warna,
serta kandungan polifenol yang ada dalam ekstrak tersebut menggunakan reagen
Folin-Ciocalteu Assay. Dengan demikian akan diketahui bagaimana karakteristik
mutu ekstrak teh putih hasil maserasi bertingkat menggunakan pelarut organik.

Anda mungkin juga menyukai