PENDAHULUAN
Preeklampsia adalah suatu sindrom yang terjadi dalam kehamilan pada usia
di atas 20 minggu, ditandai dengan adanya peningkatan tekanan darah, edema,
dan proteinuria lebih dari +2. Preeklampsia dapat berkembang menjadi eklampsia
yang ditandai oleh adanya kejang dalam masa kehamilan.1
Eklampsia adalah kelainan akut pada wanita hamil, dalam persalinan atau
masa nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang yang tidak disebabkan
kelainan neurologik dan/atau koma dimana sebelumnya sudah menunjukkan
gejala-gejala preeklampsia.1
Insiden eklampsia bervariasi antara 0,2%-0,5% dari seluruh persalinan dan
lebih banyak ditemukan di negara berkembang (0,3%-0,7%) dibandingkan negara
maju (0,05%-0,1%). Eklampsia termasuk dari tiga besar penyebab kematian ibu di
Indonesia.2
Penanganan yang tidak tepat pada pasien eklampsia akan berakibat fatal
yang dapat menyebabkan komplikasi maternal dan fetal. Komplikasi maternal
dapat berupa kematian yang tiba-tiba terjadi bersamaan dengan kejang atau segera
setelahnya sebagai akibat perdarahan otak yang hebat, edem paru akut akibat
gagal jantung yang disebabkan hipertensi yang tidak terkontrol, gagal ginjal dan
juga berlanjut terjadinya HELLP sindrom (Hemolysis, Elevated Liver Enzyme,
Low Platlets Count) yang ditandai dengan gangguan hematologi, fungsi hati dan
koagulasi.3
Tatalaksana yang tepat sangat penting bila mendapatkan kasus eklampsia.
Ada empat poin intervensi yang harus dilakukan yaitu kontrol kejang, regulasi
tekanan darah, manajemen cairan dan terminasi kehamilan. Pada pasien dengan
eklampsia disertai tanda sindrom HELLP, pengunaan anestesi epidural maupun
spinal kurang tepat HELLP karena memperbesar risiko terjadinya hematom
epidural. General anestesi lebih direkomendasikan untuk kondisi pasien.4,5
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
Konsep ini digunakan hingga sekarang dan menurunkan mortalirtas akibat dari
prosedur anestesi. Dengan munculnya konsep ini, maka munculnya istilah
“Balanced Anesthesia” untuk menggambarkan keseimbangan dari kombinasi
obat anestesi. 5
3
2.1.4 KELEBIHAN DAN KEKURANGAN ANESTESI UMUM
Kelebihan:
a. Mengurangi kesadaran dan ingatan pasien selama operasi
b. Memungkinkan relaksasi otot untuk jangka waktu yang lama
c. Dapat mempertahankan jalan napas, pernapasan dan sirkulasi yang
adekuat
d. Dapat digunakan pada pasien yang sensitive terhadap agen anestetik
lokal
e. Dapat dilakukan tanpa merubah posisi pasien dari posisi supine
f. Dapat dengan mudah disesuaikan pada durasi yang tidak terduga atau
lebih lama
g. Dapat diberikan dengan cepat dan bersifat reversible.
Kerugian:
a. Membutuhkan perawatan yang lebih rumit dan biaya yang lebih besar
b. Membutuhkan beberapa persiapan preoperative
c. Dapat menginduksi fluktuasi fisiologi yang membutuhkan intervensi
aktif
d. Berhubungan dengan komplikasi seperti mual, muntah, sakit
tenggorokan, sakit kepala, menggigil dan lamanya perbaikan
psikomotorik.2
4
terjadi bila pemberian obat anestesi dihentikan). Makin tinggi perbedaan
tekanan parsiel makin cepat terjadinya difusi. Proses difusi akan terganggu
bila terdapat penghalang antara alveoli dan sirkulasi darah misalnya pada
udem paru dan fibrosis paru. Pada keadaan ventilasi alveoler meningkat
atau keadaan ventilasi yang menurun misalnya pada depresi respirasi atau
obstruksi respirasi.
2. Faktor Sirkulasi
Aliran darah paru menentukan pengangkutan gas anestesi dari paru
ke jaringan dan sebaliknya. Pada gangguan pembuluh darah paru makin
sedikit obat yang dapat diangkut demikian juga pada keadaan cardiac
output yang menurun.
Blood gas partition coefisien adalah rasio konsentrasi zat anestesi
dalam darah dan dalam gas bila keduanya dalam keadaan keseimbangan.
Bila kelarutan zat anestesi dalam darah tinggi/BG koefisien tinggi maka
obat yang berdifusi cepat larut di dalam darah, sebaliknya obat dengan
BG koefisien rendah, maka cepat terjadi keseimbangan antara alveoli dan
sirkulasi darah, akibatnya penderita mudah tertidur waktu induksi dan
mudah bangun waktu anestesi diakhiri.
3. Faktor Jaringan
1. Perbedaan tekanan parsial obat anestesika antara darah arteri dan
jaringan.
2. Koefisien partisi jaringan/darah: kira-kira 1,0 untuk sebagian besar zat
anestesika, kecuali halotan.
3. Aliran darah terdapat dalam 4 kelompok jaringan:
a) Jaringan kaya pembuluh darah (JKPD): otak, jantung, hepar,
ginjal. Organ-organ ini menerima 70-75% curah jantung hingga
tekanan parsial zat anestesika ini meninggi dengan cepat dalam
organ-organ ini. Otak menerima 14% curah jantung.
b) Kelompok intermediate : otot skelet dan kulit.
c) Lemak : jaringan lemak
5
d) Jaringan sedikit pembuluh darah (JSPD) : relative tidak ada aliran
darah: ligament dan tendon.
4. Faktor Zat Anestesi
Tiap-tiap zat anestesi mempunyai potensi yang berbeda. Untuk
mengukur potensi obat anestesi inhalasi dikenal adanya MAC (minimal
alveolar concentration). Menurut Merkel dan Eger (1963), MAC adalah
konsentrasi obat anestesi inhalasi minimal pada tekanan udara 1 atm
yang dapat mencegah gerakan otot skelet sebagai respon rangsang sakit
supra maksimal pada 50% pasien. Makin rendah MAC makin tinggi
potensi obat anestesi tersebut.
1. Premedikasi
6
biasanya sudah cukup untuk tujuan tersebut, sedangkan dosis 0,01-0,2
mg/kg IV sudah cukup untuk menimbulkan analgesia. Dalam dosis
berimbang dengan N2O diperlukan morfin sampai 3 mg/kgBB,
sedangkan apabila digunakan anestetik inhalasi lainnya dianjurkan
dosis tidak lebih dari 1-2 mg/kgBB.
Opioid lain yang biasa digunakan sebagai premedikasi, sesuai
dengan urutan kekuatannya adalah sulfentanil (1000 kali), remifentanil
(300 kali), fentanil (100 kali), alfentanil (15 kali), morfin (1 kali) dan
meperidin (0,1 kali). Pemilihan penggunaan analgesik opioid
didasarkan pada lama kerja karena semuanya dapat memberikan efek
analgesia dan efek samping sama. Berdasarkan lama kerjanya,
analgesik opioid dibedakan atas opioid dengan lama kerja singkat
misalnya remifentanil (10 menit), dan opioid lama kerja sedang
misalnya sulfentanil (15 menit), alfentanil (20 menit) dan fentanil (30
menit). Dosis fentanil pada dewasa 3-6 mcg/kgBB atau 1-3 mcg/kgBB
pada anak.
Barbiturat
Barbiturat (Pentobarbital dan Sekobarbital) biasanya diberikan
untuk sedasi dan untuk mengurangi kekhawatiran sebelum operasi.
Obat ini dapat diberikan secara oral atau IM. Dosis dewasa 100-150 mg
dan 1 mg/kgBB pada anak di atas 6 bulan. Keuntungan dari pemakaian
barbiturate adalah masa pemulihan tidak diperpanjang dan efek
depresannya yang lemah terhadap pernapasan dan sirkulasi serta jarang
menyebabkan mual dan muntah.8
Benzodiazepine
Golongan benzodiazepine yang lebih dianjurkan dibandingkan
opioid dan berbiturat. Pada dosis biasa, obat tersebut tidak menambah
depresi napas akibat opioid. Opioid menyebabkan tidur, amnesia
retrograde fam dapat mengurangi rasa cemas. Penggunaan
benzodiazepine untuk premedikasi berbeda dosis dengan induksi,
7
diazepam oral 0,2-0,5 mg/kgBB, midazolam intramuscular 0,07-0,15
mg/kgBB serta lorazepam oral 0,05 mg/kgBB.
Neuroleptik
Kelompok obat neuroleptik digunakan untuk mengurangi mual
dan muntah akibat anestetik pada masa induksi maupun pemulihan,
misalnya droperidol yang biasa digunakan bersama fentanil. Kualitas
sedasinya pun lebih baik daripada kualitas sedasi yang ditimbulkan bila
menggunakan morfin saja. Golongan fenotiazin seperti klorpromazin
atau prometazin juga dapat mengurangi muntah, tetapi penggunaannya
dibatasi oleh adanya efek hipotensi intraoperatif dan takikardi .
1. Induksi
8
mg/kg. pengenceran hanya diperbolehkan menggunakan dekstrosa
5%. Propofol tidak dianjurkan untuk anak < 3 tahun dan pada wanita
hamil.
c. Ketamin (ketalar)
Ketamin seringkali menimbulkan takikardia, hipertensi,
hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anesthesia bahkan dapat
menimbulkan mual-muntah, pandangan kabur serta mimpi buruk.
Sebelum pemberian sebaiknya diberikan sedasi midazolam
(dormikum) atau diazepam (valium) dengan dosis 0,1 mg/kg
intravena dan untuk mengurangi salvias diberikan sulfas atropin 0,01
mg/kg. Dosis ketamin untuk bolus adalah 1-2 mg/kg dan untuk
intramuscular 3-10 mg. Ketamin dikemas dalam cairan bening
kepekatan 1% (1 ml = 10 mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% ( 1 ml = 100
mg).
d. Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil)
Opioid diberikan dosis tinggi. Obat ini tidak mengganggu
kardiovaskular, sehingga banyak digunakan untuk induksi pasien
dengan kelainan jantung. Anestesi opioid ini sendiri digunakan
fentanil dosis 20-50 mg/kg dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1
mg/kg/menit.
Teknik anestesi dengan menggunakan Intravena (TIVA)
merupakan teknik anestesi umum dengan hanya menggunakan
obat-obat anestesi yang dimasukkan lewat jalur intravena. TIVA
digunakan untuk ketiga trias anestesi yaitu hipnotik, analgetik
maupun relaksasi otot.yang lengkap.
Kebanyakan obat-obat anestesi intravena hanya mencakup
2 komponen anestesi, akan tetapi ketamin mempunyai trias
anestesi.12
Kelebihan TIVA adalah: 12
9
1. TIVA dapat dikombonasikan atau terpisah dan dapat
dititrasi dalam dosis yang lebih akurat dalam
pemakaiannya.
2. Tidak mengganggu jalan nafas pada pasien
3. TIVA mudah untuk dilakukan
2. Induksi intramuscular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan
secara intramuscular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit
pasien tidur.
3. Induksi inhalasi
a) N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida)
Berbentuk gas, tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar
dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian harus disertai O2
10
minimal 25%. Bersifat anastetik lemah, analgesinya kuat, sehingga
sering digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan.
Pada anestesi inhalasi jarang digunakan sendirian, tapi dikombinasi
dengan salah satu cairanan astetik lain seperti halotan.10
b) Halotan (fluotan)
Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan
anestesinya cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan
analgesi semprot lidokain 4% atau 10% sekitar faring
laring.Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya
tonus simpatis, terjadi hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer,
depresi vasomotor, depresi miokard, dan inhibisi reflex baroreseptor.
Merupakan analgesi lemah, anestesi kuat. Halotan menghambat
pelepasan insulin sehingga meninggikan kadar gula darah.
c) Enfluran (etran, aliran)
Efek depresi napas lebih kuat disbanding halotan dan enfluran
lebih iritatif dibanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi lebih kuat
disbanding halotan, tetapi lebih jarang menimbulkan aritmia. Efek
relaksasi terhadap otot lurik lebih baik dibanding halotan.
d) Isofluran (foran, aeran)
Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial.
Peninggian aliran darah otak dan tekanan intracranial dapat
dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi, sehingga isofluran
banyak digunakan untuk bedah otak.Efek terhadap depresi jantung
dan curah jantung minimal, sehingga digemari untuk anestesi teknik
hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan gangguan
koroner.
e) Desfluran (suprane)
Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%),
bersifat simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi. Efek
depresi napasnya seperti isofluran dan etran. Merangsang jalan napas
atas sehingga tidak digunakan untuk induksi anestesi.
11
f) Sevofluran (ultane)
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan
isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan
napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi di samping
halotan.
4. Induksi perektal
Obat induksi per rektal adalah tiopental atau midazolam.
Midazolam memiliki kontraindikasi dengan glaukoma sudut sempit
akut, miastenia gravis, syok atau koma, intoksikasi alkohol akut dengan
depresi tanda- tanda vital, bayi prematur. Efek samping dapat
menyebabkan kejadian- kejadian kardiorespirasi, fluktuasi pada tanda-
tanda vital.
3. Rumatan
i. Rumatan anestesia (maintenance) dapat diberikan secara intravena
(anestesia intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan
campuran intravena dan inhalasi. Rumatan anestesia biasanya
mengacu pada trias anestesia yaitu tidur ringan (hipnosis) sekedar
tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah
tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup.
12
ii. Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis
tinggi, fentanil 10-50 mikrogram/kgbb. Dosis tinggi opioid
menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal
memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga
menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan
infus propofol 4-12 mg/kgbb/jam. Bedah lama dengan anestesia total
intravena menggunakan opioid, pelumpuh otot dan ventilator. Untuk
mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara O2 atau N2O
dan O2.
13
yang tersedia untuk evaluasi sangat terbatas, sehingga sering kali
informasi tentang penyakit yang diderita kurang akurat.
Tatalaksana Evaluasi
1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan dengan pasien sendiri atau dengan orang
lain (keluarganya/pengantarnya), meliputi:
a. Identitas pasien atau biodata
b. Anamnesis khusus yang berkaitan dengan penyakit bedah yang
mungkin menimbulkan gangguan fungsi sistem organ
c. Anamnesis umum, meliputi:
1) Riwayat penyakit sistemik yang pernah diderita atau sedang
menderita penyakit sistemik selain penyakit bedah yang
diderita, yang bisa mempengaruhi anestesia atau dipengaruhi
anestesia
2) Riwayat pemakaian obat yang telah/sedang digunakan yang
mungkin berinteraksi dengan obat anestesia, misalnya
kortikosteroid, obat antihipertensi, obat anti-diabetik,
antibiotik golongan aminoglikosid, digitalis, diuretika,
transquilizer, obat penghambat enzim mono-amin oksidase
dan bronkodilator
3) Riwayat operasi/anestesia terdahulu, misalnya apakah pasien
mengalami komplikasi anestesia
4) Kebiasaan buruk, antara lain; perokok, peminum minuman
keras (alkohol), pemakai obat-obat terlarang (sedatif dan
narkotik)
5) Riwayat alergi terhadap obat atau yang lain
2. Pemeriksaan
Pemeriksaan yang dilakukan adalah:
14
a. Pemeriksaan atau pengukuran status pasien: kesadaran, vital
sign, berat dan tinggi badan untuk menilai status gizi/BMI
b. Pemeriksaan fisik umum, meliputi pemeriksaan status:
1) Psikis: gelisah, takut, atau kesakitan
2) Saraf (otak, medula spinalis, dan saraf tepi)
3) Respirasi
4) Hemodinamik
5) Penyakit darah
6) Gastrointestinal
7) Hepatobilier
8) Urogenital dan saluran kencing
9) Metabolik dan endokrin
10) Otot rangka
11) Integumen
3. Pemeriksaan laboratorium, radiologi dan yang lainnya
a. Pemeriksaan rutin
Ditujukan kepada pasien yang dipersiapkan untuk operasi kecil
dan sedang. Hal-hal yang diperiksa adalah:
1) Darah: Hb, Ht, eritrosit, leukosit dan hitung jenis,
trombosit, masa perdarahan dan masa pembekuan
2) Urin: pemeriksaan fisik, kimiawi dan sedimen urin
b. Pemeriksaan khusus
Ditujukan kepada pasien yang dipersiapkan untuk operasi
besar dan pasien yang menderita penyakit sistemik tertentu
dengan indikasi tegas. Hal-hal yang diperiksa adalah:
1) Pemeriksaan laboratorium lengkap meliputi: fungsi hati,
fungsi ginjal, analisis gas darah, elektrolit, hematologi
dan faal hemostasis lengkap, sesuai dengan indikasi.
2) Pemeriksaan radiologi: foto toraks, IVP dan yang lainnya
sesuai indikasi
15
3) Evaluasi kardiologi terutama untuk pasien yang berumur
di atas usia 35 tahun.
4. Konsultasi dan koreksi terhadap kelainan fungsi organ vital11
a. Konsultasi
1) Konsultasi dilakukan dengan Lab/staf medik fungsional yang
terkait, apabila dijumpai gangguan fungsi organ, baik yang
bersifat kronis maupun yang akut yang dapat mengganggu
kelancaran anestesia dan pembedahan atau kemungkinan
gangguan fungsi tersebut dapat diperberat oleh anestesia dan
pembedahan. Dalam keadaan demikian, tanggapan dan saran
terapi dari konsulen terkait sangat diperlukan
2) Konsultasi dapat dilakukan berencana atau darurat
b. Koreksi terhadap gangguan fungsi sistem organ prabedah.
Apabila dianggap perlu dapat dilakukan koreksi terhadap kelainan
fungsi organ yang dijumpai dan rencana operasi dapat ditunda
menunggu perbaikan atau pemulihan fungsi organ yang
bermasalah
5. Menentukan prognosis pasien perioperatif
Berdasarkan hasil evaluasi pra operatif tersebut di atas
maka dapat disimpulkan status fisik pasien pra anestesia. American
Society of Anesthesiologist (ASA) membuat klasifikasi status fisik
praanestesia menjadi 5 kelas: 11
ASA 1 : pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik
ASA 2 : pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik
ringan sampai sedang
ASA 3 : pasien panyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik
berat yang disebabkan karena berbagai penyebab tetapi
tidak mengancam nyawa
ASA 4 : pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik
berat yang secara langsung mengancam kehidupannya
16
ASA 5 : pasien penyakit bedah yang disertai dengan penyakit
sistemik berat yang sudah tidak mungkin ditolong lagi,
dioperasi ataupun tidak dalam 24 jam pasien akan
meninggal
ASA 6 : pasien penyakit bedah yang telah dinyatakan mati otaknya
yang mana organnya akan diangkat untuk kemudian
diberikan sebagai organ donor bagi yang membutuhkan
Apabila tindakan pembedahannya dilakukan secara darurat,
dicantumkan tanda E (emergency) di belakang angka, misalnya ASA
1 E. 11
2. Persiapan Praanestesia
Langkah lanjut dari hasil evaluasi pra operatif khususnya
anestesia untuk mempersiapkan pasien, baik psikis maupun fisik pasien
agar pasien siap dan optimal untuk menjalani prosedur anestesia dan
diagnostik atau pembedahan yang akan direncanakan.
1. Persiapan pasien:
a. Persiapan psikis
Berikan penjelasan kepada pasien dan atau keluarganya
agar mengerti perihal rencana anestesi dan pembedahan yang
direncanakan sehingga dengan demikian diharapkan pasien
dan keluarganya bisa tenang.
b. Persiapan fisik
Diinformasikan agar pasien melakukan:
1) Menghentikan kebiasaan-kebiasaan seperti : merokok,
minuman keras dan obat-obatan tertentu minimal dua
minggu sebelum anestesia atau minimal dimulai sejak
evaluasi pertama kali di poliklinik
2) Melepas segala macam protesis dan asesoris
3) Tidak mempergunakan kosmetik misalnya cat kuku atau
cat bibir
4) Puasa.
17
c. Diharuskan agar pasien ditemani oleh salah satu keluarga atau
orang tua atau teman dekatnya untuk menjaga kemungkinan
penyulit yang tidak diinginkannya
d. Membuat surat persetujuan tindakan medik
e. Mengganti pakaian yang dipakai dari rumah dengan pakaian
khusus kamar operasi
2. Premedikasi
Adalah tindakan pemberian obat-obatan pendahuluan dalam
rangka pelaksanaan anestesia, dengan tujuan:
1) Menimbulkan suasana nyaman bagi pasien, yaitu
menghilangkan rasa cemas, memberi ketenangan, membuat
amnesia, bebas nyeri dan mencegah mual/muntah
2) Memudahkan dan memperlancar induksi
3) Mengurangi dosis anestesia
4) Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan
5) Menekan dan mengurangi sekresi kelenjar
3. Pemasangan infus
1) Tujuan:
a) Mengganti defisit cairan selama puasa
b) Koreksi defisit cairan prabedah
c) Fasilitasi vena terbuka untuk memasukkan obat-obatan
selama operasi
d) Memberikan cairan pemeliharaan
e) Koreksi defisit atau kehilangan cairan selama operasi
f) Koreksi cairan akibat terapi lain
g) Fasilitas transfusi darah
18
b. Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya
c. Alat-alat resusitasi: alat bantu napas, laringoskop, pipa jalan
napas, alat isap, defibrilator dan lain-lain
d. Obat-obat anestesia yang diperlukan
e. Obat-obat resusitasi: adrenalin, atropin, aminofilin, natrium
bikarbonat
f. Tiang infus, plester dan lain-lain
g. Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG dipasang
h. Alat-alat pantau yang lain dipasang sesuai dengan indikasi,
misalnya “Pulse Oxymeter” dan “Capnograf”
i. Kartu catatan medik anesthesia
3. Pemberian Anestesi
1. Induksi Anestesi
Pemberian/induksi anestesi adalah tindakan untuk
membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga
memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksi anestesi
dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi, intramuscular atau rectal.
Setelah pasien tidur akibat induksi anestesi langsung dilanjutkan
dengan pemeliharaan anestesi sampai tindakan pembedahan selesai.
Sebelum memulai induksi anestesi disiapkan peralatan dan obat-
obatan yang diperlukan, sehingga jika terjadi keadaan gawat darurat
dapat diatasi lebih cepat dan lebih baik.1 Setelah pasien tidur akibat
induksi anestesia langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesia
sampai tindakan pembedahan selesai.
19
Hidung dan mulut dibagian depan dipisahkan oleh palatum durum
dan palatum molle dan dibagian belakang bersatu di hipofaring.
Hipofaring menuju esophagus dan laring dipisahkan oleh epiglotis
menuju ke trakea. Laring terdiri dari tulang rawan tiroid, krikoid,
epiglotis dan sepasang aritenoid, kornikulata dan kuneiform.
Manuver triple jalan napas
Terdiri dari:
1. Kepala ekstensi pada sendi atlanto-oksipital.
2. Mandibula didorong ke depan pada kedua angulus mandibula
3. Mulut dibuka
Dengan maneuver ini diharapkan lidah terangkat dan jalan napas bebas,
sehingga gas atau udara lancar masuk ke trakea lewat hidung atau mulut.
Jalan napas faring
Jika maneuver tripel kurang berhasil, maka dapat dipasang jalan napas
mulut-faring lewat mulut (oro-pharyngeal airway) atau jalan napas lewat
hidung (naso-pharyngeal airway).
Sungkup muka
Mengantar udara / gas anestesi dari alat resusitasi atau sistem anestesi ke
jalan napas pasien. Bentuknya dibuat sedemikian rupa sehingga ketika
digunakan untuk bernapas spontan atau dengan tekanan positif tidak
bocor dan gas masuk semua ke trakea lewat mulut atau hidung.
Sungkup laring (Laryngeal mask)
Merupakan alat jalan napas berbentuk sendok terdiri dari pipa besar
berlubang dengan ujung menyerupai sendok yang pinggirnya dapat
dikembang-kempiskan seperti balon pada pipa trakea. Tangkai LMA
dapat berupa pipa keras dari polivinil atau lembek dengan spiral untuk
menjaga supaya tetap paten. Dikenal 2 macam sungkup laring:
1. Sungkup laring standar dengan satu pipa napas
2. Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar dan
lainnya pipa tambahan yang ujung distalnya berhubungan dengan
esophagus
20
Pipa trakea (endotracheal tube)
Mengantar gas anestesi langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat
dari bahan standar polivinil-klorida. Pipa trakea dapat dimasukan melalui
mulut (orotracheal tube) atau melalui hidung (nasotracheal tube).
Laringoskopi dan intubasi
Fungsi laring ialah mencegah benda asing masuk paru. Laringoskop
merupakan alat yang digunakan untuk melihat laring secara langsung
supaya kita dapat memasukkan pipa trakea dengan baik dan benar.
Secara garis besar dikenal dua macam laringoskop:
1. Bilah, daun (blade) lurus (Miller, Magill) untuk bayi-anak-dewasa
2. Bilah lengkung (Macintosh) untuk anak besar-dewasa.
1 + + +
2 - + +
3 - - +
4 - - -
21
1. Untuk tindakan yang singkat (0,5 – 1 jam) tanpa membuka
rongga perut.
2. Keadaan umum pasien cukup baik (PSA ASA 1 atau 2).
3. Lambung harus kosong.
Kontra indikasi
1. Operasi di daerah kepala dan jalan napas
2. Operasi dengan posisi miring atau tertelungkup
22
Urutan tindakan:
1. Periksa peralatan yang akan digunakan (seperti pada masa
pra-induksi).
2. Pasang infus dengan kanul intravena atau jarum kupu-kupu
3. Persiapan obat
4. Induksi, dapat dilakukan dengan propofol 2-2.5 mg/kgBB
5. Selesai induksi, sampai pasien tertidur dan reflek bulu mata
hilang, sungkup muka ditempatkan pada muka. Sebaiknya
dagu ditahan atau sedikit ditarik ke belakang (posisi kepala
ekstensi) agar jalan napas bebas dan pernapasan lancar.
Pengikat sungkup muka ditempatkan di bawah kepala.
6. Kalau pernapasan masih tidak lancar dicoba mendorong
kedua pangkal rahang ke depan dengan jari manis dan tengah
tangan kiri kita. Kalau perlu dengan kedua tangan kita yaitu
kedua ibu jari dan telunjuk yang memegang sungkup muka
dan dengan jari-jari yang lain menarik rahang ke atas. Tangan
kanan kita bila bebas dapat memegang balon pernapasan dari
alat anestesi untuk membantu pernapasan pasien (menekan
balon sedikit bila pasien melakukan inspirasi).
7. N2O mulai diberikan 4 L dengan O2 2 L/menit untuk
memperdalam anestesi, bersamaan dengan halotan dibuka
sampai 1 % dan sedikit demi sedikit dinaikkan sampai 3-4 %
tergantung reaksi tubuh penderita.
23
8. Kedalaman anestesi dinilai dari tanda – tanda mata (bola
mata menetap), nadi tidak cepat dan terhadap rangsang
operasi tidak banyak berubah.
9. Kalau stadium anestesi sudah cukup dalam, masukkan pipa
orofaring
10. Halotan kemudian dikurangi menjadi 1-1.5 % dan dihentikan
beberapa menit sebelum operasi selesai
11. Selesai operasi N2O dihentikan dan penderita diberi O2 100%
beberapa menit untuk mencegah hipoksi difusi.
Ukuran ETT :
Pipa endotrakheal. terbuat dari karet atau plastik. Untuk operasi
tertentu misalnya di daerah kepala dan leher dibutuhkan pipa yang
tidak bisa ditekuk yang mempunyai spiral nilon atau besi (non
kinking). Untuk mencegah kebocoran jalan nafas, kebanyakan pipa
endotrakheal mempunyai balon (cuff) pada ujung distalnya. Pipa
tanpa balon biasanya digunakan pada anak-anak karena bagian
tersempit jalan nafas adalah daerah rawan krikoid. Pada orang
dewasa biasa dipakai pipa dengan balon karena bagian tersempit
adalah trachea. Pipa pada orang dewasa biasa digunakan dengan
24
diameter internal untuk laki-laki berkisar 8,0 – 9,0 mm dan
perempuan 7,5 – 8,5 mm (Latief, 2007).
Untuk intubasi oral panjang pipa yang masuk 20 – 23 cm. Pada
anak-anak dipakai rumus :
25
e. Trauma : Fraktur laring, fraktur maxila/ mandibula, trauma tulang
leher
f. Obesitas
g. Extensi leher yang tidask maksimal : Artritis rematik, spondilosis
arkilosing, halo traction
h. Variasi anatomi : Mikrognatia, prognatisme, lidah besar, leher
pendek, gigi moncong.
26
Teknik Intubasi
1. Mesin siap pakai
2. Cuci tangan
3. Memakai sarung tangan steril
4. Periksa balon pipa/ cuff ETT
5. Pasang macintosh blade yang sesuai
6. Anjurkan klien berdoa, karena intubasi/ induksi akan dimulai
7. Beri oksigen 100% dengan masker/ ambu bag 4 liter/ menit
8. Masukkan obat-obat sedasi dan relaksan
9. Lakukan bagging sesuai irama pernafasan
10. Buka mulut dengan teknik cross finger dengan tangan kanan
11. Masukkan laringoskop dengan tangan kiri sampai terlihat
epiglotis, dorong blade sampai pangkal epiglotis
12. Berikan anestesi daerah laring dengan xylocain spray 10%
13. Masukkan ETT yang sebelumnya sudah diberi jelly dengan
tangan kanan
14. Sambungkan dengan bag/ sirkuit anestesi, berikan oksigen
dengan nafas kontrol 8-10 kali/ menit dengan tidal volume 8-10
ml/kgBB
15. Kunci cuff ETT dengan udara ± 4-8 cc, sampai kebocoran tidak
terdengar
16. Cek suara nafas/ auskultasi pada seluruh lapangan paru kiri
kanan
17. Pasang OPA/NPA sesuai ukuran
18. Lakukan fiksasi ETT dengan plester
19. Lakukan pengisapan lendir bila terdapat banyak lendir
20. Bereskan dan rapikan kembali peralatan
21. Lepaskan sarung tangan, cuci tangan.
27
Teknik anestesi maupun intubasi sama dengan teknik yang
dijabarkan di penggunaan ETT.
Sesudah pengaruh suksinil kolin mulai habis, kemudian
diberikan obat pelumpuh otot jangka panjang misalnya
alkuronium dosis 0.1-0.2 mg/kgBB.
Napas lalu dikendalikan dengan menggunakan respirator
ataupun secara manual. Apabila menggunakan respirator, maka
setiap inspirasi diusahakan ± 10 ml/kgBB dengan frekuensi 10
– 14 kali per menit. Jika nafas dikendalikan secara manual
maka harus diperhatikan pergerakan dada kanan kiri yang
simetris. Kemudian konsentrasi halotan sedikit demi sedikit
dikurangi dan dipertahankan dengan 0.5-1 %.
Obat pelumpuh otot dapat diulang lagi dengan 1/3 dosis jika
pasien sudah terlihat ada usaha untuk mulai bernafas sendiri.
Halotan dapat dihentikan jika lapisan fasi kulit sudah terjahit.
N2O dihentikan apabila lapisan kulit mulai dijahit.
Ekstubasi dapat dilakukan apabila nafas spontan telah normal
kembali. O2 diberikan secara terus-menerus selama 2-3 menit
untuk mencegah terjadinya hipoksia difusi.
Jika napas sesudah ditunggu beberapa menit masih lemah,
dapat diberikan obat anti pelumpuh otot non depolarisasi
sebelum di ekstubasi yang terdiri dari kombinasi obat atropine
2 ampul (2 x 0,25 mg) dengan prostigmin 2 ampul (2 x 0,5
mg). Kombinasi obat ini akan menghilangkan sisa efek obat
pelumpuh otot.
Komplikasi intubasi
1. Selama intubasi
- Trauma gigi geligi
- Laserasi bibir, gusi, laring
- Merangsang saraf simpatis
28
- Intubasi bronkus
- Intubasi esophagus
- Aspirasi
- Spasme bronkus
2. Setelah ekstubasi
- Spasme laring
- Aspirasi
- Gangguan fonasi
- Edema glottis-subglotis
- Infeksi laring, faring, trakea
29
atau karotis. Dengan palpasi dapat diketahui frekuensi, irama dan
kekuatan nadi. Selain palpasi dapat dilakukan auskultasi dengan
menempelkan stetoskop di dada atau dengan kateter khusus
melalui sofagus.
b) Tekanan darah
Tekanan darah dapat diukur secara manual atau otomatis
dengan manse tang harus tepat ukurannya. Tekanan sistolik-
diastolik diketahui dengan cara auskultasi, palpasi, sedangkan
tekanan arteri rata-rata (mean arterial pressure) diketahui secara
langsung dengan monitor tekanan darah elektronik atau dengan
menghitung yaitu 1/3 (tekanan sistolik + 2 x tekanan diastolik) atau
tekanan diastolik + 1/3 (tekanan sistolik – tekanan diastolik).
c) Banyaknya perdarahan
B. Monitoring Respirasi
Dengan inspeksi kita dapat mengawasi pasien secara langsung
gerakan dada-perut baik pada saat bernapas spontan atau dengan napas
kendali dan gerakan kantong cadang apakah sinkron. Untuk oksigenasi
warna mukosa bibir, kuku pada ujung jari dan darah pada luka bedah
apakah pucat, kebiruan atau merah muda.
30
lama dan sangat bermanfaat untuk menghindari retensi urin atau distenti
buli-buli.
E. Monitoring Blokade Neuromuskular
Stimulasi saraf untuk mengetahui apakah relaksasi otot sudah
cukup baik atau sebaliknya setelah selesai anestesia apakah tonus otot
sudah kembali normal.
F. Monitoring Sistem Saraf
Pada pasien sehat sadar, oksigenasi pada otaknya adekuat kalau
orientasi terhadap personal, waktu dan tempat baik. Pada saat pasien
dalam keadaan tidak sadar, monitoring terhadap SSP dikerjakan dengan
memeriksa respon pupil terhadap cahaya, respons terhadap trauma
pembedahan, respons terhadap otot apakah relaksasi cukup atau tidak.
2. Monitoring Khusus
Monitoring tambahan biasanya digunakan pada bedah mayor atau
bedah khusus seperti bedah jantung, bedah otak posisi telungkup atau
posisi duduk, bedah dengan teknik hipotensi atau hipotermi dan bedah
pada pasien keadaan umum kurang baik yang disertai oleh kelainan
sistemis. Oksimeter denyut, infrared CO2 dan analisa zat anestetik dapat
memberitahukan kita adanya gangguan dini, tetapi alat ini ada yang
menggolongkan monitoring tambahan ada yang memasukkan dalam
monitoring standar. Ketiga alat ini walaupun sangat bermanfaat, tetapi
sering diganggu oleh kauter listrik, intervensi cahaya dan sering alarm
walaupun pasien dalam keadaan klinis baik.
31
Pemeriksaan tekanan darah, frekuensi nadi, dan frekuensi pernapasan
dilakukan paling tidak setiap dalam 15 menit pertama atau hingga stabil, setelah
itu dilakukan setiap 15 menit, selama 2 jam pertama. Dan setiap 30 menit selama
4 jam berikutnya Pulse oximetry dimonitor hingga pasien sadar kembali.
Pemeriksaan suhu juga dilakukan.
Seluruh pasien yang sedang dalam masa pemulihan dari anestesi umum
harus mendapat oksigen 30 – 40 % untuk mencegah hipoksemia yang mungkin
terjadi. Pasien yang memiliki resiko hipoksia adalah pasien yang mempunyai
kelainan paru sebelumnya atau yang dilakukan tindakan operasi didaerah
abdomen atas atau daerah dada. Pemeriksaan analisa gas darah dapat dilakukan
untuk mengkonfirmasi penilaian oksimetri yang abnormal. Terapi oksigen benar-
benar diperhatikan pada pasien dengan riwayat penyakit paru obstruksi kronis
atau dengan riwayat retensi CO2 sebelumnya.
Bila keadaan umum dan tanda vital pasien normal dan stabil, maka
pasien dapat dipindahkan ke ruang rawat dengan pemberian instruksi pasca
operasi.
1. Gangguan Pernapasan
Obstruksi napas parsial (napas berbunyi) atau total, tak ada ekspirasi
(tidak ada suara napas). Pasien pasca anastesia umum yang belum sadar sering
mengalami: lidah jatuh menutup faring atau oleh edema laring. Selain itu dapat
terjadi spasme laring karena laring terangsang oleh benda asing, darah, ludah
sekret atau sebelumnya ada kesulitan pada saat intubasi intubasi trakea.
Apabila terjadi obstruksi saat pasien masih dalam anestesi dan lidah
menutup faring, maka harus dilakukan manufer tripel dengan memasang jalan
napas mulut-faring, hidung faring dan tentunya berikan O2 100%. Jika tidak
berhasil menolong pasang sungkup laring.
Bila terjadi obstruksi karena kejang laring atau edema laring, selain
perlu O2 100%, harus dibersihkan jalan napas, berikan preparat kortokosteroid
(oradekson) dan kalau tak berhasil perlu dipertimbangkan memberikan
pelumpuh otot.
32
Obstruksi napas mungkin tidak terjadi, tetapi pasien sianosis (hiper-
karbi, hiper-kapni, PaCO2>45 mmHg) atau saturasi O2 menurun (hipoksemi,
SaO2<90). Hal ini disebabkan pernapasan pasien lambat dan dangkal
(hipoventilasi). Pernapasan lambat sering akibat opioid terlalu banyak dan
dangkal sering akibat pelumpuh otot masih bekerja. Jika penyebab jelas karena
opioid, dapat diberikan nalokson dan kalau oleh pelumpuh otot dapat diberikan
prostikmin-atropin. Hipoventilasi yang berlanjut menyebabkan asidosis,
hipertensi, takikardi yang dapat berakhir dengan depresi sirkulasi dan henti
jantung.
2. Gangguan Kardiovaskular
Hipertensi dapat disebabkan karena nyeri akibat pembedahan, iritasi
pipa trakea, cairan infus berlebihan, buli-buli penuh atau aktivasi saraf simpatis
karena hipoksia, hiperkapni dan asidosis. Hipertensi akut dan berat yang
berlangsung lama menyebabkan gagal ventrikel kiri, infark miokard, disritmia,
edema paru atau pendarahan otak. Terapi hipertensi ditujukan pada faktor
penyebab dan kalau perlu dapat diberikan klonidin (catapres) atau nitroprusid
(niprus) 0.5 - 1.0 µg/kg/menit.
Hipotensi yang terjadi isian balik vena (venous return) menurun
disebabkan pendarahan, terapi cairan kurang adekuat, diuresis, kontraksi
miokardium kurang kuat atau tahanan veskuler perifer menurun. Hipotensi
harus segera diatasi untuk mencegah terjadi hipoperfusi organ vital yang dapat
berlanjut dengan hipoksemia dan kerusahan jaringan. Terapi hipotensi
disesuaikan dengan faktor penyebabnya. Berikan O2 100%dan infus kristaloid
RL atau Asering 300-500 ml.
Distritmia yang terjadi dapat disebabkan oleh hipokalemia, asidosis-
alkalosis, hipoksia, hiperkapnia atau penyakit jantung.
3. Gelisah
Gelisah pasca anestesia dapat disebabkan oleh hipoksia, asidosis,
hipotensi, kesakitan, efek samping obat misalnya ketamin atau buli-buli penuh.
33
Setelah disingkirkan sebab-sebab tersebut diatas, pasien dapat diberikan
penenang midazolam (dormikum) 0.05 – 0.1 mg/kgBB.
4. Mual-Muntah
Mual-muntah pasca anestesi sering terjadi setelah anestesi umum
terutama pada penggunaan opioid, bedah intra-abdomen, hipotensi dan pada
analgesia regional. Obat mual-muntah yang sering digunakan pada
perianestesia adalah :
a. Dehydrobenzoperidol 0.05-0.1 mg/kgBB (amp 5 mg/ml) i.m atau i.v.
b. Metoklopramid 0.1 mg/kgBB i.v.,supp 20 mg
c. Ondansetron 0.05-0.1 mg/kgBB i.v
d. Cyclizine 25-50 mg.
5. Menggigil
Menggigil (shivering) terjadi akibat hipotermia atau efek obat anestesi.
Hipotermi terjadi akibat suhu ruang operasi, ruang UPPA yang dingin, cairan
infus dingin, cairan irigasi dingin, bedah abdomen luas dan lama. Terapi
petidin 10-20 mg i.v. pada pasien dewasa, selimut hangat, infus hangat dengan
infusion warmer, lampu t untuk menghangatkan suhu tubuh.
3. Sirkulasi
- TD berbeda ± 20% dari semula preanesthesi 2
- TD berbeda ± 20% - 50% dari semula preanesthesi 1
- TD berbeda ± 50% dari semula preanesthesi 0
4. Kesadaran
- Sadar penuh 2
- Bangun jika dipanggil 1
- Tidak ada respon / belum sadar 0
5. Warna kulit
- Kemerahan 2
- Pucat 1
- Sianosis 0
Total
2. Respirasi
- Batuk / menangis 2
- Berusaha bernapas 1
- Perlu bantuan bernapas 0
3. Aktivitas motorik
- Gerakan bertujuan 2
- Gerakan tanpa tujuan 1
35
- Tidak bergerak 0
Total
2.2 EKLAMPSIA
2.2.1 DEFINISI EKLAMPSIA
Eklampsia adalah kelainan akut pada wanita hamil, dalam persalinan
atau masa nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang yang tidak disebabkan
kelainan neurologik dan/atau koma dimana sebelumnya sudah menunjukkan
gejala-gejala preeklampsia. Kejang pada eklamsia dapat berupa kejang motorik
fokal atau kejang tonik klonik umum.1
Eklampsia dibedakan menjadi eklampsia gravidarum (antepartum),
eklampsia partuirentum (intrapartum), dan eklampsia puerperale (postpartum),
berdasarkan saat timbulnya serangan. Eklampsia banyak terjadi pada trimester
terakhir dan semakin meningkat saat mendekati kelahiran. Pada kasus yang
jarang, eklampsia terjadi pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu. Sekitar
75% kejang eklampsia terjadi sebelum melahirkan, 50% saat 48 jam pertama
setelah melahirkan, tetapi kejang juga dapat timbul setelah 6 minggu
postpartum.3
Beberapa tanda dan gejala peringatan yang mendahului eklamsia dapat
berupa peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba, nyeri kepala, perubahan visual
dan mental, retensi cairan, hiperrefleksia, fotofobia, iritabel, dan mual dan
muntah. Untuk menentukan dengan pasti kondisi neuropatologik yang menjadi
pemicu kejang dapat dilakukan pemeriksaan diagnostik seperti foto rongen, CT
scan atau MRI.3
2.2.2 EPIDEMILOGI
Insiden eklampsia bervariasi antara 0,2%-0,5% dari seluruh persalinan
dan lebih banyak ditemukan di negara berkembang (0,3%-0,7%) dibandingkan
negara maju (0,05%-0,1%). Insiden yang bervariasi dipengaruhi antara lain oleh
paritas, gravida, obesitas, ras, etnis, geografi, faktor genetik dan faktor
lingkungan yang merupakan faktor risikonya.2
36
Eklampsia termasuk dari tiga besar penyebab kematian ibu di
Indonesia. Menurut laporan KIA Provinsi tahun 2011, jumlah kematian ibu yang
dilaporkan sebanyak 5.118 jiwa. Penyebab kematian ibu terbanyak masih
didominasi Perdarahan (32%), disusul hipertensi dalam kehamilan (25%),
infeksi (5%), partus lama (5%) dan abortus (1%). Penyebab lain –lain (32%)
cukup besar, termasuk di dalamnya penyebab penyakit non obstetrik.10
37
Pada preeklampsia, proses plasentasi tersebut tidak berjalan
sebagaimana mestinya disebabkan oleh dua hal, yaitu : (1) tidak semua arteri
spiralis mengalami invasi oleh sel-sel trofoblas; (2) pada arteri spiralis yang
mengalami invasi, terjadi tahap pertama invasi sel trofoblas secara normal
tetapi invasi tahap kedua tidak berlangsung sehingga bagian arteri spiralis
yang berada dalam miometrium tetapi mempunyai dinding muskulo-elastis
yang reaktif yang berarti masih terdapat resistensi vaskuler.
Sel sitotrofoblas menginvasi dengan baik pada kehamilan
normotensi. Disamping itu juga terjadi arterosis akut (lesi seperti
atherosklerosis) pada arteri spiralis yang dapat menyebabkan lumen arteri
bertambah kecil atau bahkan mengalami obliterasi. Hal ini akan
menyebabkan penurunan aliran darah ke plasenta dan berhubungan dengan
luasnya daerah infark pada plasenta.
Pada preeklampsia, adanya daerah pada arteri spiralis yang memiliki
resistensi vaskuler disebabkan oleh karena kegagalan invasi trofoblas ke
arteri spiralis pada tahap kedua. Akibatnya, terjadi gangguan aliran darah di
daerah intervilli yang menyebabkan penurunan perfusi darah ke plasenta.
Hal ini dapat menimbulkan iskemi dan hipoksia di plasenta yang berakibat
terganggunya pertumbuhan bayi intra uterin (IUGR) hingga kematian bayi.
3. Genetik
Terdapat suatu kecenderungan bahwa faktor keturunan turut
berperanan dalam patogenesis preeklampsia dan eklampsia. Telah
dilaporkan adanya peningkatan angka kejadian preeklampsia dan eklampsia
pada wanita yang dilahirkan oleh ibu yang menderita preeklampsia dan
eklampsia. Bukti yang mendukung berperannya faktor genetik pada kejadian
preeklampsia dan eklampsia adalah peningkatan Human Leukocyte Antigene
(HLA) pada penderita preeklampsia.
Peneliti lain menyatakan kemungkinan preeklampsia eklampsia
berhubungan dengan gen resesif tunggal. Meningkatnya prevalensi
preeklampsia eklampsia pada anak perempuan yang lahir dari ibu yang
menderita preeklampsia eklampsia mengindikasikan adanya pengaruh
38
genotip fetus terhadap kejadian preeklampsia. Walaupun faktor genetik
nampaknya berperan pada preeklampsia eklampsia tetapi manifestasinya
pada penyakit ini secara jelas belum dapat diterangkan.
4. Maladaptasi Imun
Pada penderita preeklampsia terjadi penurunan proporsi T-helper
dibandingkan dengan penderita yang normotensi yang dimulai sejak awal
trimester II. Antibodi yang melawan sel endotel ditemukan pada 50% wanita
dengan preeklampsia, sedangkan pada kontrol hanya terdapat 15%.
Maladaptasi sistem imun dapat menyebabkan invasi yang dangkal dari arteri
spiralis oleh sel sitotrofoblas endovaskuler dan disfungsi sel endotel yang
dimediasi oleh peningkatan pelepasan sitokin (TNF-α dan IL-1), enzim
proteolitik dan radikal bebas oleh desidua. Sitokin TNF-α dan IL-1
berperanan dalam stress oksidatif yang berhubungan dengan preeklampsia.
Di dalam mitokondria, TNF-α akan merubah sebagian aliran elektron
untuk melepaskan radikal bebas oksigen yang selanjutkan akan membentuk
lipid peroksida dimana hal ini dihambat oleh antioksidan. Sistem imun
dalam patofisiologi preeklampsia. Radikal bebas yang dilepaskan oleh sel
desidua akan menyebabkan kerusakan sel endotel. Radikal bebas-oksigen
dapat menyebabkan pembentukan lipid perioksida yang akan membuat
radikal bebas lebih toksik dalam merusak sel endotel.
Hal ini akan menyebabkan gangguan produksi nitrit oksida oleh
endotel vaskuler yang akan mempengaruhi keseimbangan prostasiklin dan
tromboksan di mana terjadi peningkatan produksi tromboksan A2 plasenta
dan inhibisi produksi prostasiklin dari endotel vaskuler. Akibat dari stress
oksidatif akan meningkatkan produksi sel makrofag lipid laden, aktivasi dari
faktor koagulasi mikrovaskuler (trombositopenia) serta peningkatan
permeabilitas mikrovaskuler (oedem dan proteinuria).
5. Prostasiklin - tromboksan
Prostasiklin akan meningkatkan cAMP intraselular pada sel otot
polos dan trombosit dan memiliki efek vasodilator dan anti agregasi
trombosit. Tromboksan A2 dihasilkan oleh trombosit, berasal dari asam
39
arakidonat dengan bantuan enzim siklooksigenase. Tromboksan memiliki
efek vasikonstriktor dan agregasi trombosit prostasiklin dan tromboksan A 2
mempunyai efek yang berlawanan dalam mekanisme yang mengatur
interaksi antara trombosit dan dinding pembuluh darah.
Pada kehamilan normal terjadi kenaikan prostasiklin oleh jaringan
ibu, plasenta dan janin. Sedangkan pada preeklampsia terjadi penurunan
produksi prostasiklin dan kenaikan tromboksan A2 sehingga terjadi
peningkatan rasio tromboksan A2 : prostasiklin.
Pada preeklampsia terjadi kerusakan sel endotel akan mengakibatkan
menurunnya produksi prostasiklin karena endotel merupakan tempat
pembentuknya prostasiklin dan meningkatnya produksi tromboksan sebagai
kompensasi tubuh terhadap kerusakan endotel tersebut. Preeklampsia
berhubungan dengan adanya vasospasme dan aktivasi sistem koagulasi
hemostasis. Perubahan aktivitas tromboksan memegang peranan sentral
pada proses ini di mana hal ini sangat berhubungan dengan
ketidakseimbangan antara tromboksan dan prostasiklin.
Kerusakan endotel vaskuler pada preeklampsia menyebabkan
penurunan produksi prostasiklin, peningkatan aktivasi agregaasi trombosit
dan fibrinolisis yang kemudian akan diganti trombin dan plasmin. Trombin
akan mengkonsumsi antitrombin III shingga terjadi deposit fibrin. Aktivasi
trombosit menyababkan pelepasan tromboksan A2 dan serotonin sehingga
akan terjadi vasospasme dan kerusakan endotel.
40
c) Infark serebral
d) Vasospasme serebral
e) Pertukaran ion antara intra dan ekstra seluler
f) Koagulopati intravaskuler serebral
g) Ensefalopati hipertensi
41
saat kemudian seluruh tubuh menjadi kaku karena kontraksi otot yang
menyeluruh, fase ini dapat berlangsung 10 sampai 15 detik. 14 Pada saat yang
bersamaan rahang akan terbuka dan tertutup dengan keras, demikian juga hal
ini akan terjadi pada kelopak mata, otot-otot wajah yang lain dan akhirnya
seluruh otot mengalami kontraksi dan relaksasi secara bergantian dalam waktu
yang cepat. Keadaan ini kadang-kadang begitu hebatnya sehingga dapat
mengakibatkan penderita terlempar dari tempat tidurnya, bila tidak dijaga.
Lidah penderita dapat tergigit oleh karena kejang otot-otot rahang.15
Fase ini dapat berlangsung sampai satu menit, kemudian secara berangsur
kontraksi otot menjadi semakin lemah dan jarang dan pada akhirnya penderita
tak bergerak. Setelah kejang diafragma menjadi kaku dan pernapasan berhenti.
Selama beberapa detik penderita seperti meninggal karena henti napas, namun
kemudian penderita bernapas panjang dan dalam, selanjutnya pernapasan
kembali normal. Apabila tidak ditangani dengan baik, kejang pertama ini akan
diikuti dengan kejang-kejang berikutnya yang bervariasi dari kejang yang
ringan sampai kejang yang berkelanjutan yang disebut status epileptikus.15
Setelah kejang berhenti, penderita mengalami koma selama beberapa saat.
Lamanya koma setelah kejang eklampsia bervariasi. Apabila kejang yang
terjadi jarang, penderita biasanya segera pulih kesadarannya segera setelah
kejang. Namun, pada kasus-kasus yang berat, keadaan koma belangsung lama,
bahkan penderita dapat mengalami kematian tanpa sempat pulih
kesadarannya.15
Pada kasus yang jarang, kejang yang terjadi hanya sekali namun dapat
diikuti dengan koma yang lama bahkan kematian. Frekuensi pernapasan
biasanya meningkat setelah kejang eklampsia dan dapat mencapai 50 kali per
menit. Hal ini dapat menyebabkan hiperkarbia sampai asidosis laktat,
tergantung derajat hipoksianya. Pada kasus yang berat ditemukan sianosis.
Demam tinggi merupakan keadaan yang jarang terjadi, apabila hal tersebut
terjadi maka penyebabnya adalah perdarahan pada susunan saraf pusat.
Proteinuria hampir selalu didapatkan, produksi urin berkurang, bahkan kadang
– kadang sampai anuria dan pada umumnya terdapat hemoglobinuria.15
42
Setelah persalinan urin output akan meningkat dan ini merupakan tanda
awal perbaikan kondisi penderita. Proteinuria dan edema menghilang dalam
waktu beberapa hari sampai dua minggu setelah persalinan apabila keadaan
hipertensi menetap setelah persalinan maka hal ini merupakan akibat penyakit
vaskuler kronis.15
2.2.6 KOMPLIKASI
Komplikasi dapat terjadi pada sang ibu maupun pada janin :11,16,17
Maternal :
1. Paru Edema paru adalah tanda prognostik yang buruk yang menyertai
eklampsia. Faktor penyebab atau sumber terjadinya edema adalah:
a. Pneumonitis aspirasi setelah inhalasi isi lambung jika terjadi muntah
pada saat kejang
b. Kegagalan fungsi jantung yang mungkin sebagai akibat hipertensi
berat dan pemberian cairan intravena yang berlebihan.
2. Otak Pada preeklampsia, kematian yang tiba-tiba terjadi bersamaan
dengan kejang atau segera setelahnya sebagai akibat perdarahan otak
yang hebat.
3. Sistem hematologi Plasma darah menurun, viskositas darah
meningkat, hemokonsentrasi, gangguan pembekuan darah, disseminated
intravascular coagulation (DIC), sindroma HELLP.
4. Perdarahan Perdarahan antepartum merupakan perdarahan dari uterus
dan terjadi sebelum melahirkan. Eklampsia merupakan faktor
predisposisi terjadinya solusio plasenta walaupun lebih banyak terjadi
pada kasus hipertensi kronik.
Perdarahan postpartum didefinisikan sebagai hilangnya 500 ml
atau lebih darah pada persalinan pervaginam, 1000 ml pada seksio
sesaria, 1400 ml pada histerektomi secara elektif atau 3000 sampai 3500
ml pada histerektomi sesarea darurat, setelah kala tiga persalinan selesai.
Pada eklampsia sering didapat adanya hemokonsentrasi atau tidak
terjadinya hipervolemia seperti pada kehamilan normal. Hal tersebut
43
membuat ibu hamil pada kasus eklampsia jauh lebih rentan terhadap
kehilangan darah dibandingkan ibu normotensif.
5. Kematian Maternal Kematian maternal adalah kematian setiap ibu
dalam kehamilan, persalinan, masa nifas sampai batas waktu 42 hari
setelah persalinan, tidak tergantung usia dan tempat kehamilan serta
tindakan yang dilakukan untuk mengakhiri kehamilan tersebut dan
bukan disebabkan oleh kecelakaan. Kematian maternal pada eklampsia
disebabkan karena beberapa hal antara lain karena perdarahan otak,
kelinan perfusi otak, infeksi, perdarahan dan sindroma HELLP.
Perinatal : Saat kejang terjadi peningkatan frekuensi kontraksi uterus
sehingga tonus otot uterus meningkat. Peningkatan tersebut menyebabkan
vasospasme arterioli pada miometrium. Aliran darah menuju retroplasenter
makin berkurang sehingga dampaknya pada denyut jantung janin (DJJ)
seperti terjadi takikardi, kompensasi takikardi dan selanjutnya diikuti
bradikardi.
1. Asfiksia neonatorum, asfiksia neonatorum adalah suatu keadaan
kegawatan bayi, karena terjadinya kegagalan bernapas secara spontan
dan teratur segera setelah lahir dan disertai dengan hipoksia dan
hiperkapnea yang dapat berlanjut menjadi asidosis. Asfiksia neonatorum
dapat disebabkan karena faktor ibu yaitu adanya gangguan aliran darah
ke uterus. Gangguan aliran darah ke uterus menyebabkan berkurangnya
asupan oksigen ke plasenta dan janin. Penilaian derajat asfiksia dapat
dilakukan dengan Apgar skor, yaitu dengan ketentuan sebagai berikut :
Tabel APGAR Skor
44
Apgar skor 7-10 : vigorous baby, maka dalam hal ini bayi dianggap sehat dan tidak
memerlukan tindakan istimewa.
Apgar skor 4-6 : asfiksia ringan – sedang.
Apgar skor 0-3 : asfiksia berat.
45
banyak data yang mendukung pemilihan anestesia regional baik pada bedah
Caesar yang berencana ataupun darurat.
Anestesia umum pada bedah Caesar pada preeklampsia berat dikatakan
berhubungan dengan peningkatan yang bermakna pada tekanan arteri sistemik
dan pulmoner pada saat induksi, jika dibandingkan dengan epidural anestesia.
Pada anestesia umum juga potensial terjadinya aspirasi isi lambung, kesulitan
intubasi endotrakeal yang disebabkan karena adanya resiko edema faring laring.
Apapun teknik anestesia yang dipilih, harus diingat bahwa meskipun
persalinan adalah terapi untuk preeklampsia, pada periode post partum
perubahan kardiovaskular, kardiak output dan status cairan, harus tetap
dimonitor.
46
terlaksana bila operasi direncanakan secara elektif, sedangkan pada operasi
emergensi, hal – hal tersebut sering kali sukar tercapai karena kondisi pasien
yang jelek dan tuntutan waktu operasi sesegera mungkin karena ancaman gawat
janin atau faktor – faktor lainnya. Laringoskopi dapat menyebabkan lonjakan
signifikan dalam tekanan darah pada preeklampsia berat dan tindakan untuk
mendapatkan respon tekanan darah harus dilakukan.
Respon terhadap laringoskopi dapat diperoleh dengan cara sebagai berikut
: dapat diberikan bolus opioid short acting pendek (missal: Alfentanyl 10 – 20
mcg / Kg atau remifentanyl 1 mcg / Kg): bias juga dengan bolus labetalol
dengan dosis 10 – 20 mg IV: pilihan lain menggunakan bolus magnesium 40
mg/ KgBB IV: atau menggunakan bolus lidocaine 1,5 mg/ KgBB IV 3 – 5 menit
sebelum induksi.
Jika oioid diberikan sebelum melahirkan, beri tahu tim neonatal tentang
kemungkinan depresi pernapasan neonatal da nada kemungkinan bayi tertidur,
yang dapat disebabkan oleh pengaruh sedasi obat anestesi atau pengaruh opioid
yang diberikan ke maternal. Bila pasien PEB atau eklampsia pasca anestesi
umum mengalami keterlambatan bangun bisa disebabkan oleh berbagai hal
diantaranya yang paling sering dan besar kemungkinannya adalah karena
perdarahan intracranial / lesi di otak akibat perdarahan sehubungan dengan
patofisiologi perjalanan penyakit atau karena gangguan koagulasi yang terjadi;
juga dapat terjadi karena peningkatan TIK berkaitan dengan edema otak pada
pasien PEB atau eklampsia, dimana kedua hal di atas harus ditelusuri dengan
pemeriksaan CT – Scan kepala emergensi.
Kemungkinan penyebab lain adalah masih dalam pengaruh obat opioid
atau obat – obat anestesi yang diberikan, efek blockade neuromuscular yang
diberikan ke maternal pada waktu intubasi dan selama operasi yang belum di
reverse secara sempurna, hipoglikemia. Penyebab lain yang harus dipikirkan
juga sejak awal adalah kemungkinan karena pengaruh magnesium sulfat yang
mempotensiasi obat penghambat neuromuscular non – depolarisasi, atau akibat
toksisitas magnesium sulfat yang diberikan ke maternal.
47
Anastesi umum merupakan pilihan yang harus dilakukan pada pasien PEB
atau eklampsia dalam keadaan gangguan kesadaran, ada tanda-tanda
peningkatan TIK, atau pasien dengan gangguan koagulasi. Anestesi dilakukan
baik dengan kombinasi dengan teknik opioid dan pelumpuh otot maupun
bantuan ventilasi mekanik.
Pertimbangan yang penting adalah edema jalan napas, kemungkinan
pengelolaan jalan napas yang sulit, meskipun kadar kolinesterase menurun, serta
durasi tindakan anastetik local, sedangkan pelumpuh otot depolarisasi
suksinilkolin jarang terpengaruh, respon hipertensi berlebihan terhadap intubasi
endotrakeal, interaksi obat antara magnesium dengan jumlah pelumpuh otot,
obat anestesi halogenasi dosis kecil saja sudah dapat langsung menurunkan
kesadaran secara bermakna. Pasca ekstubasi pastikan jalan napas aman dan
terkendali, bila perlu dilakukan pada posisi lateral kiri sampai saat pasien benar
– benar sadar atau pasien dipindahkan ke ICU untuk mendapatkan bantuan
ventilasi mekanik bila diperlukan, tergantung pada kondisi preoperative dan
perilaku intraoperative.
Bahaya yang muncul apada anatesi umum untuk PEB dan eklampsia :
1. kesulitan dalam pemeliharaan saluran napas
2. respons berlebihan pada saat tindakan laringoskopi
3. intubasi endotrakeal.
48
Jika anestesi umum digunakan, perhatian khusus dan kewaspadaan ekstrem
harus diberikan untuk mengurangi respons hipertensi terhadap intubasi, karena hal
ini dikhawatirkan dapat menghasilkan outcome yang buruk. Obat yang digunakan
untuk mencapai tujuan ini yaitu : alfentanyl, fentanyl, remifentanyl, lidokain
MgSO4 dan esmolol. Telah direkomendasikan dokter anestesi menggunakan obat
yang apling mereka kenal.
b. Periode induksi
Dalam kasus gawat janin berat atau ancaman gawat janin, induksi
intravena dengan anestetika seperti Tiopental atau Propofol cenderung
mengurangi perfusi plasenta sehingga dapat berpengaruh pada janin. Ketamine
dikontraindikasikan sementara etomidate telah dilaporkan menghasilkan efek
yang tidak diinginkan pada sumbu adrenokorteks, namun obat ini stabil secara
kardiovaskular.
Mungkin ada justifikasi untuk penggunaan benzodiazepine untuk induksi
terutama, bila antagonis reseptor benzodiazepine spesifik (Flumazenil)
tersedia. Respons tekanan darah yang berlebihan terhadap larigoskopi dan
49
intubasi dapat dilumpuhkan dengan berbagai teknik menggunakan obat seperti
Hydralazine, Labetalol, atau Sodium Nitroprusside. Teknik rapid sequence
induction cepat harus digunakan untuk mengamankan jalan nafas.
c. Intraoperatif
Pasien dengan PEB dan eklampsia dapat mengalami gangguan perfusi
arteri uterine dan selanjutnya mempengaruhi perfusi kebayi, dimana perfusi
uterus berkurang akibat berkurangnya curah jantung, terutama pada pasien
dalam kondisi dehidrasi atau hypovolemia berat. Hiperventilasi harus
dihindari karena akan menyebabkan penurunan aliran darah uterus maupun
plasenta karena penurunan tekanan jantung, vasokontriksi dan alkalosis
respiratorik yang akan menggeser kurva disosiasi oksigen kekiri.
Sudah diketahui Nitrous Oxide memiliki kelarutan lipid rendah dan
memiliki jalur transplasental yang relative cepat yang dapat menyebabkan
beberapa tingkat depresi neonatal selama operasi caesar. Mungkin ada risiko
nyata yang nyata namun pasti bahwa bayi yang sudah mengalami hipoksia
dapat terpengaruh agen ini. Namun, pada pasien PEB atau eklampsia dengan
gangguan kesadaran, direkomendasikan untuk menghindari penggunaan
Nitrous Oxyde serta dianjurkan memberikan fraksi oksigen inspirasi (FiO2)
yang lebih tinggi, dengan pemberian agen inhalasi.
Dalam penelitian , Isoflurane 0,75% ditemukan lebih baik dari Halotan
0,5% selama operasi bedah sesar karena pemulihan lebih cepat, jumlah
perdarahan lebih sedikit dan namun relaksasi uterus kurang disbanding
Halotan. Relaksasi otot intraoperatif dapat dipertahankan dengan infus
Suxamethonium (4 mg/ menit atau bolus kecil agen depolarisasi dalam dosis
tambahan) atau dengan pelumpuh otot non depolarisasi misalnya Vecuronium
(1-2 mg) atau atakrium (10-15 mg) disesuaikan sesuai kebutuhan dengan
menggunakan saraf stimulator.
d. Ekstubasi
50
Pada saat melakukan ekstubasi, pastikan benar bahwa pasien telah
terbebas dari kemungkinan pengaruh opioid pada pernapasan, bebas pengaruh
pelumpuh otot, maupun bebas pengaruh magnesium sulfat terhadap potensiasi
dan pemanjangan efek pelumpuh otot nondepolarisasi. Ekstubasi pasien harus
dilakukan secara smooth, namun pernapasan sudah adekuat, untuk menjamin
stabilitas hemodinamik.
51