Anda di halaman 1dari 51

BAB I

PENDAHULUAN

Preeklampsia adalah suatu sindrom yang terjadi dalam kehamilan pada usia
di atas 20 minggu, ditandai dengan adanya peningkatan tekanan darah, edema,
dan proteinuria lebih dari +2. Preeklampsia dapat berkembang menjadi eklampsia
yang ditandai oleh adanya kejang dalam masa kehamilan.1
Eklampsia adalah kelainan akut pada wanita hamil, dalam persalinan atau
masa nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang yang tidak disebabkan
kelainan neurologik dan/atau koma dimana sebelumnya sudah menunjukkan
gejala-gejala preeklampsia.1
Insiden eklampsia bervariasi antara 0,2%-0,5% dari seluruh persalinan dan
lebih banyak ditemukan di negara berkembang (0,3%-0,7%) dibandingkan negara
maju (0,05%-0,1%). Eklampsia termasuk dari tiga besar penyebab kematian ibu di
Indonesia.2
Penanganan yang tidak tepat pada pasien eklampsia akan berakibat fatal
yang dapat menyebabkan komplikasi maternal dan fetal. Komplikasi maternal
dapat berupa kematian yang tiba-tiba terjadi bersamaan dengan kejang atau segera
setelahnya sebagai akibat perdarahan otak yang hebat, edem paru akut akibat
gagal jantung yang disebabkan hipertensi yang tidak terkontrol, gagal ginjal dan
juga berlanjut terjadinya HELLP sindrom (Hemolysis, Elevated Liver Enzyme,
Low Platlets Count) yang ditandai dengan gangguan hematologi, fungsi hati dan
koagulasi.3
Tatalaksana yang tepat sangat penting bila mendapatkan kasus eklampsia.
Ada empat poin intervensi yang harus dilakukan yaitu kontrol kejang, regulasi
tekanan darah, manajemen cairan dan terminasi kehamilan. Pada pasien dengan
eklampsia disertai tanda sindrom HELLP, pengunaan anestesi epidural maupun
spinal kurang tepat HELLP karena memperbesar risiko terjadinya hematom
epidural. General anestesi lebih direkomendasikan untuk kondisi pasien.4,5

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ANESTESI UMUM


2.1.1 DEFINISI
Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum yang sempurna
menghasilkan ketidaksadaran, analgesia, relaksasi otot tanpa menimbulkan
resiko yang tidak diinginkan dari pasien.3 Anestesi umum merupakan kondisi
yang dikendalikan dengan ketidaksadaran reversibel dan diperoleh melalui
penggunaan obat-obatan secara injeksi dan atau inhalasi yang ditandai dengan
hilangnya respon rasa nyeri (analgesia), hilangnya ingatan (amnesia),
hilangnya respon terhadap rangsangan atau refleks dan hilangnya gerak
spontan (immobility), serta hilangnya kesadaran (unconsciousness). Anestesi
memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut: Hipnotik/sedasi: hilangnya kesadaran ,
Analgesia: hilangnya respon terhadap nyeri, Muscle relaxant: relaksasi otot
rangka.

2.1.2 TRIAS ANESTHESIA


Terlepas dari cara penggunaanya, suatu anestetik yang ideal sebenarnya
harus memperlihatkan 3 efek utama yang dikenal sebagai “Trias Anestesia”,
yaitu efek hipnotik, efek analgesia, dan efek relaksasi otot. Sesungguhnya istilah
anestesi hanya digunakan untuk substansi yang bisa digunakan untuk
mendapatkan ketiga efek anestesi (trias anestesi) tanpa penambahan obat lain.
Overton adalah yang pertama kali mengangkat masalah keamanan dari
agen-agen anestesi yang digunakan, dan mengusulkan konsep anestesi modern
dengan mengunakan lebih dari satu agen. Hal ini cukup beralasan karena dapat
mengeliminasi sebagian dari efek samping yang muncul. Kemudian Overton
menyarankan penggunaan dua agen narkosis untuk mencapai efek yang
diinginkan. Pertama satu agen narkosis diberikan setengah dari dosis, kemudian
diikuti dengan satu agen anestesi yang berbeda dengan setengah dosis juga.

2
Konsep ini digunakan hingga sekarang dan menurunkan mortalirtas akibat dari
prosedur anestesi. Dengan munculnya konsep ini, maka munculnya istilah
“Balanced Anesthesia” untuk menggambarkan keseimbangan dari kombinasi
obat anestesi. 5

2.1.3 INDIKASI DAN KONTRAINDIKASI ANASTESI UMUM

Indikasi anestesi umum diantaranya:

a) Operasi di sekitar kepala, leher, intra-torakal atau intra-abdomen


b) Pada bayi atau anak-anak (pasien tidak kooperatif)
c) Pasien gelisah, tidak kooperatif atau disorientasi gangguan jiwa
d) Pembedahan lama
e) Pembedahannya luas atau ekstensif
f) Memiliki riwayat alergi terhadap anestesi lokal
g) Pasien yang memilih anestesi umum.

Kontraindikasi relative anestesi umum dilakukannya anestesi umum


yaitu gangguan kardiovaskular yang berat, hipertensi berat atau tak terkontrol
(diastolik >110 mmHg), diabetes tak terkontrol, infeksi akut, sepsis. Sedangkan
kontraindikasi mutlak anestesi umum adalah dekompresi kordis derajat III -IV,
AV blok derajat II-total (tidak ada gelombang P).
Kombinasi agen anestestik yang digunakan pada anestesi umum
memiliki beberapa tujuan, diantaranya:
a) Analgesia (respon terhadap nyeri hilang)
b) Amnesia (kehilangan memori atau tidak mengingat apa yang terjadi)
c) Immobilitas (hilangnya refleks motorik)
d) Kehilangan kesadaran
e) Relaksasi otot skeletal

3
2.1.4 KELEBIHAN DAN KEKURANGAN ANESTESI UMUM
Kelebihan:
a. Mengurangi kesadaran dan ingatan pasien selama operasi
b. Memungkinkan relaksasi otot untuk jangka waktu yang lama
c. Dapat mempertahankan jalan napas, pernapasan dan sirkulasi yang
adekuat
d. Dapat digunakan pada pasien yang sensitive terhadap agen anestetik
lokal
e. Dapat dilakukan tanpa merubah posisi pasien dari posisi supine
f. Dapat dengan mudah disesuaikan pada durasi yang tidak terduga atau
lebih lama
g. Dapat diberikan dengan cepat dan bersifat reversible.

Kerugian:
a. Membutuhkan perawatan yang lebih rumit dan biaya yang lebih besar
b. Membutuhkan beberapa persiapan preoperative
c. Dapat menginduksi fluktuasi fisiologi yang membutuhkan intervensi
aktif
d. Berhubungan dengan komplikasi seperti mual, muntah, sakit
tenggorokan, sakit kepala, menggigil dan lamanya perbaikan
psikomotorik.2

2.1.5 FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ANESTESI UMUM


1. Faktor Respirasi
Sesudah obat anestesi inhalasi sampai di alveoli, maka akan
mencapai tekanan parsiel tertentu, makin tinggi konsentrasi zat yang
dihirup tekanan parsielnya makin tinggi. Perbedaan tekanan parsiel zat
anestesi dalam alveoli dan di dalam darah menyebabkan terjadinya difusi.
Bila tekanan di dalam alveoli lebih tinggi maka difusi terjadi dari alveoli
ke dalam sirkulasi dan sebaliknya difusi terjadi dari sirkulasi ke dalam
alveoli bila tekanan parsiel di dalam alveoli lebih rendah (keadaan ini

4
terjadi bila pemberian obat anestesi dihentikan). Makin tinggi perbedaan
tekanan parsiel makin cepat terjadinya difusi. Proses difusi akan terganggu
bila terdapat penghalang antara alveoli dan sirkulasi darah misalnya pada
udem paru dan fibrosis paru. Pada keadaan ventilasi alveoler meningkat
atau keadaan ventilasi yang menurun misalnya pada depresi respirasi atau
obstruksi respirasi.
2. Faktor Sirkulasi
Aliran darah paru menentukan pengangkutan gas anestesi dari paru
ke jaringan dan sebaliknya. Pada gangguan pembuluh darah paru makin
sedikit obat yang dapat diangkut demikian juga pada keadaan cardiac
output yang menurun.
Blood gas partition coefisien adalah rasio konsentrasi zat anestesi
dalam darah dan dalam gas bila keduanya dalam keadaan keseimbangan.
Bila kelarutan zat anestesi dalam darah tinggi/BG koefisien tinggi maka
obat yang berdifusi cepat larut di dalam darah, sebaliknya obat dengan
BG koefisien rendah, maka cepat terjadi keseimbangan antara alveoli dan
sirkulasi darah, akibatnya penderita mudah tertidur waktu induksi dan
mudah bangun waktu anestesi diakhiri.
3. Faktor Jaringan
1. Perbedaan tekanan parsial obat anestesika antara darah arteri dan
jaringan.
2. Koefisien partisi jaringan/darah: kira-kira 1,0 untuk sebagian besar zat
anestesika, kecuali halotan.
3. Aliran darah terdapat dalam 4 kelompok jaringan:
a) Jaringan kaya pembuluh darah (JKPD): otak, jantung, hepar,
ginjal. Organ-organ ini menerima 70-75% curah jantung hingga
tekanan parsial zat anestesika ini meninggi dengan cepat dalam
organ-organ ini. Otak menerima 14% curah jantung.
b) Kelompok intermediate : otot skelet dan kulit.
c) Lemak : jaringan lemak

5
d) Jaringan sedikit pembuluh darah (JSPD) : relative tidak ada aliran
darah: ligament dan tendon.
4. Faktor Zat Anestesi
Tiap-tiap zat anestesi mempunyai potensi yang berbeda. Untuk
mengukur potensi obat anestesi inhalasi dikenal adanya MAC (minimal
alveolar concentration). Menurut Merkel dan Eger (1963), MAC adalah
konsentrasi obat anestesi inhalasi minimal pada tekanan udara 1 atm
yang dapat mencegah gerakan otot skelet sebagai respon rangsang sakit
supra maksimal pada 50% pasien. Makin rendah MAC makin tinggi
potensi obat anestesi tersebut.

2.1.6 INDUKSI ANESTESI UMUM

1. Premedikasi

Obat-obatan yang biasanya digunakan untuk premedikasi adalah :


 Antimuskarinik
Hipersekresi kelenjar ludah dan bronkus yang ditimbulkan oleh
anestesi inhalasi dapat mengganggu pernapasan selama anestesia.
Atropine 0,4-0,6 mg IM dapat mencegah hipersekresi ini 10-15 menit
setelah penyuntikan. Efek ini berlangsung selama ± 90 menit. Dosis
obat ini tidaklah cukup untuk mencegah perubahan kardiovaskular
akibat rangsangan parasimpatis, berupa hipotensi dan bradikardia, yang
disebabkan oleh manipulasi sinus karotikus atau pemberian berulang
suksinilkolin IV. Untuk keadaan ini diperlukan dosis IV 1,5-2 mg pada
dewasa dan 0,02 mg/kgBB pada anak.
 Obat golongan analgetik narkotik
Morfin dapat digunakan untuk mengurangi cemas dan
ketegangan pasien, mengurangi nyeri. Teknik anestesi berimbang dapat
membuat dampak buruk morfin yaitu memperpanjang waktu pemulihan
dan depresi kardiovaskular, dapat diatasi, dan mual, muntah serta nyeri
paska bedah dapat dikurangi. Morfin 8-10 mg yang diberikan IM

6
biasanya sudah cukup untuk tujuan tersebut, sedangkan dosis 0,01-0,2
mg/kg IV sudah cukup untuk menimbulkan analgesia. Dalam dosis
berimbang dengan N2O diperlukan morfin sampai 3 mg/kgBB,
sedangkan apabila digunakan anestetik inhalasi lainnya dianjurkan
dosis tidak lebih dari 1-2 mg/kgBB.
Opioid lain yang biasa digunakan sebagai premedikasi, sesuai
dengan urutan kekuatannya adalah sulfentanil (1000 kali), remifentanil
(300 kali), fentanil (100 kali), alfentanil (15 kali), morfin (1 kali) dan
meperidin (0,1 kali). Pemilihan penggunaan analgesik opioid
didasarkan pada lama kerja karena semuanya dapat memberikan efek
analgesia dan efek samping sama. Berdasarkan lama kerjanya,
analgesik opioid dibedakan atas opioid dengan lama kerja singkat
misalnya remifentanil (10 menit), dan opioid lama kerja sedang
misalnya sulfentanil (15 menit), alfentanil (20 menit) dan fentanil (30
menit). Dosis fentanil pada dewasa 3-6 mcg/kgBB atau 1-3 mcg/kgBB
pada anak.
 Barbiturat
Barbiturat (Pentobarbital dan Sekobarbital) biasanya diberikan
untuk sedasi dan untuk mengurangi kekhawatiran sebelum operasi.
Obat ini dapat diberikan secara oral atau IM. Dosis dewasa 100-150 mg
dan 1 mg/kgBB pada anak di atas 6 bulan. Keuntungan dari pemakaian
barbiturate adalah masa pemulihan tidak diperpanjang dan efek
depresannya yang lemah terhadap pernapasan dan sirkulasi serta jarang
menyebabkan mual dan muntah.8
 Benzodiazepine
Golongan benzodiazepine yang lebih dianjurkan dibandingkan
opioid dan berbiturat. Pada dosis biasa, obat tersebut tidak menambah
depresi napas akibat opioid. Opioid menyebabkan tidur, amnesia
retrograde fam dapat mengurangi rasa cemas. Penggunaan
benzodiazepine untuk premedikasi berbeda dosis dengan induksi,

7
diazepam oral 0,2-0,5 mg/kgBB, midazolam intramuscular 0,07-0,15
mg/kgBB serta lorazepam oral 0,05 mg/kgBB.
 Neuroleptik
Kelompok obat neuroleptik digunakan untuk mengurangi mual
dan muntah akibat anestetik pada masa induksi maupun pemulihan,
misalnya droperidol yang biasa digunakan bersama fentanil. Kualitas
sedasinya pun lebih baik daripada kualitas sedasi yang ditimbulkan bila
menggunakan morfin saja. Golongan fenotiazin seperti klorpromazin
atau prometazin juga dapat mengurangi muntah, tetapi penggunaannya
dibatasi oleh adanya efek hipotensi intraoperatif dan takikardi .

1. Induksi

Obat-obat induksi intravena:


a. Tiopental (pentotal, tiopenton) amp 500 mg atau 1000 mg
Sebelum tiopental digunakan dilarutkan dalam akuades steril
sampai kepekatan 2,5% (1ml=25mg). Tiopental hanya boleh
digunakan untuk intravena yaitu dengan dosis 3-7 mg/kg disuntikan
perlahan-lahan dihabiskan dalam 30-60 detik.
Bergantung dosis dan kecepatan suntikan tiopental akan
menyebabkan pasien berada dalam keadaan sedasi, hipnosis, anestesi
atau depresi napas. Tiopental menurunkan aliran darah otak, tekanan
likuor, tekanan intracranial dan diguda dapat melindungi otak akibat
kekurangan O2 . Dosis rendah bersifat anti-analgesi.
b. Propofol (diprivan, recofol)
Propofol dikemas ke dalam cairan emulsi lemak berwarna
putih susu yang bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1 ml = 10
mg). Suntikan intravena seringkali menyebabkan nyeri, sehingga
beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg
intravena. Dosis bolus propofol untuk induksi adalah 2-2,5 mg/kg,
sedangkan untuk dosis rumatannya adalah anesthesia intravena total
4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0.2

8
mg/kg. pengenceran hanya diperbolehkan menggunakan dekstrosa
5%. Propofol tidak dianjurkan untuk anak < 3 tahun dan pada wanita
hamil.
c. Ketamin (ketalar)
Ketamin seringkali menimbulkan takikardia, hipertensi,
hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anesthesia bahkan dapat
menimbulkan mual-muntah, pandangan kabur serta mimpi buruk.
Sebelum pemberian sebaiknya diberikan sedasi midazolam
(dormikum) atau diazepam (valium) dengan dosis 0,1 mg/kg
intravena dan untuk mengurangi salvias diberikan sulfas atropin 0,01
mg/kg. Dosis ketamin untuk bolus adalah 1-2 mg/kg dan untuk
intramuscular 3-10 mg. Ketamin dikemas dalam cairan bening
kepekatan 1% (1 ml = 10 mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% ( 1 ml = 100
mg).
d. Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil)
Opioid diberikan dosis tinggi. Obat ini tidak mengganggu
kardiovaskular, sehingga banyak digunakan untuk induksi pasien
dengan kelainan jantung. Anestesi opioid ini sendiri digunakan
fentanil dosis 20-50 mg/kg dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1
mg/kg/menit.
Teknik anestesi dengan menggunakan Intravena (TIVA)
merupakan teknik anestesi umum dengan hanya menggunakan
obat-obat anestesi yang dimasukkan lewat jalur intravena. TIVA
digunakan untuk ketiga trias anestesi yaitu hipnotik, analgetik
maupun relaksasi otot.yang lengkap.
Kebanyakan obat-obat anestesi intravena hanya mencakup
2 komponen anestesi, akan tetapi ketamin mempunyai trias
anestesi.12
Kelebihan TIVA adalah: 12

9
1. TIVA dapat dikombonasikan atau terpisah dan dapat
dititrasi dalam dosis yang lebih akurat dalam
pemakaiannya.
2. Tidak mengganggu jalan nafas pada pasien
3. TIVA mudah untuk dilakukan

Untuk indikasi TIVA sendiri antara lain digunakan sebagai berikut1

1. TIVA digunakan sebagai obat induksi anestesi mum


2. TIVA digunakan sebagai Obat tunggal untuk anestesi
pembedahan singkat
3. TIVA ebagai tambahan obat inhalasi yang kurang kuat
4. TIVA sebagai obat tambahan anestesi regional
5. TIVA dapat menghilangkan keadaan patologis akibat
ransangan sistem saraf pusat (SSP).

Cara pemberian TIVA ini sendiri diberikan dengan : 12

1. Suntukan tunggal, untuk operasi singkat


2. Suntikan yang berulang sesuai dengan kebutuhan
3. TIVA diteteskan lewat infuse.

Mengenai jenis induksi serta agen anestesi rumatan yang


diberikan telah dijelaskan sebelumnya.

2. Induksi intramuscular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan
secara intramuscular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit
pasien tidur.

3. Induksi inhalasi
a) N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida)
Berbentuk gas, tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar
dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian harus disertai O2

10
minimal 25%. Bersifat anastetik lemah, analgesinya kuat, sehingga
sering digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan.
Pada anestesi inhalasi jarang digunakan sendirian, tapi dikombinasi
dengan salah satu cairanan astetik lain seperti halotan.10
b) Halotan (fluotan)
Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan
anestesinya cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan
analgesi semprot lidokain 4% atau 10% sekitar faring
laring.Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya
tonus simpatis, terjadi hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer,
depresi vasomotor, depresi miokard, dan inhibisi reflex baroreseptor.
Merupakan analgesi lemah, anestesi kuat. Halotan menghambat
pelepasan insulin sehingga meninggikan kadar gula darah.
c) Enfluran (etran, aliran)
Efek depresi napas lebih kuat disbanding halotan dan enfluran
lebih iritatif dibanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi lebih kuat
disbanding halotan, tetapi lebih jarang menimbulkan aritmia. Efek
relaksasi terhadap otot lurik lebih baik dibanding halotan.
d) Isofluran (foran, aeran)
Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial.
Peninggian aliran darah otak dan tekanan intracranial dapat
dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi, sehingga isofluran
banyak digunakan untuk bedah otak.Efek terhadap depresi jantung
dan curah jantung minimal, sehingga digemari untuk anestesi teknik
hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan gangguan
koroner.
e) Desfluran (suprane)
Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%),
bersifat simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi. Efek
depresi napasnya seperti isofluran dan etran. Merangsang jalan napas
atas sehingga tidak digunakan untuk induksi anestesi.

11
f) Sevofluran (ultane)
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan
isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan
napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi di samping
halotan.

4. Induksi perektal
Obat induksi per rektal adalah tiopental atau midazolam.
Midazolam memiliki kontraindikasi dengan glaukoma sudut sempit
akut, miastenia gravis, syok atau koma, intoksikasi alkohol akut dengan
depresi tanda- tanda vital, bayi prematur. Efek samping dapat
menyebabkan kejadian- kejadian kardiorespirasi, fluktuasi pada tanda-
tanda vital.

5. Pelumpuh otot non-depolarisasi Tracurium 20 mg (Antracurium)


Berikatan dengan reseptor nikotinik - kolinergik, tetapi tidak
menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin
menempatinya, sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja.
Dosis awal 0,5-0,6 mg/kgBB, dosis rumatan 0,1 mg/kgBB,
durasi selama 20-45 menit, kecepatan efek kerjanya -2 menit.
Tanda-tanda kekurangan pelumpuh otot:
1) Cegukan (hiccup)
2) Dinding perut kaku
3) Ada tahanan pada inflasi paru

3. Rumatan
i. Rumatan anestesia (maintenance) dapat diberikan secara intravena
(anestesia intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan
campuran intravena dan inhalasi. Rumatan anestesia biasanya
mengacu pada trias anestesia yaitu tidur ringan (hipnosis) sekedar
tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah
tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup.

12
ii. Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis
tinggi, fentanil 10-50 mikrogram/kgbb. Dosis tinggi opioid
menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal
memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga
menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan
infus propofol 4-12 mg/kgbb/jam. Bedah lama dengan anestesia total
intravena menggunakan opioid, pelumpuh otot dan ventilator. Untuk
mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara O2 atau N2O
dan O2.

2.1.7 LANGKAH – LANGKAH ANESTESI UMUM


1. Evaluasi Pra Anestesia
Evaluasi praanestesia adalah langkah awal dari tindakan
anestesia yang dilakukan terhadap pasien yang direncanakan untuk
menjalani tindakan operatif
Tujuan:
1. Mengetahui status fisik pasien praoperatif
2. Mengetahui dan menganalisis jenis operasi
3. Memilih jenis atau teknik anestesia yang sesuai
4. Meramalkan penyulit yang mungkin terjadi selama operasi
dan atau pasca bedah.
5. Mempersiapkan obat atau alat guna menanggulangi penyulit
yang diramalkan.
Pada kasus bedah elektif, evaluasi pra anestesia dilakukan
beberapa hari sebelum operasi. Kemudian evaluasi ulang dilakukan
sehari menjelang operasi, selanjutnya evaluasi ulang dilakukan lagi
pada pagi hari menjelang pasien dikirim ke kamar operasi dan evaluasi
terakhir dilakukan di kamar persiapan Instalasi Bedah Sentral (IBS)
untuk menentukan status fisik ASA.
Pada kasus bedah darurat, evaluasi dilakukan pada saat itu juga
di ruang persiapan operasi Instalasi Rawat Darurat (IRD), karena waktu

13
yang tersedia untuk evaluasi sangat terbatas, sehingga sering kali
informasi tentang penyakit yang diderita kurang akurat.
Tatalaksana Evaluasi
1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan dengan pasien sendiri atau dengan orang
lain (keluarganya/pengantarnya), meliputi:
a. Identitas pasien atau biodata
b. Anamnesis khusus yang berkaitan dengan penyakit bedah yang
mungkin menimbulkan gangguan fungsi sistem organ
c. Anamnesis umum, meliputi:
1) Riwayat penyakit sistemik yang pernah diderita atau sedang
menderita penyakit sistemik selain penyakit bedah yang
diderita, yang bisa mempengaruhi anestesia atau dipengaruhi
anestesia
2) Riwayat pemakaian obat yang telah/sedang digunakan yang
mungkin berinteraksi dengan obat anestesia, misalnya
kortikosteroid, obat antihipertensi, obat anti-diabetik,
antibiotik golongan aminoglikosid, digitalis, diuretika,
transquilizer, obat penghambat enzim mono-amin oksidase
dan bronkodilator
3) Riwayat operasi/anestesia terdahulu, misalnya apakah pasien
mengalami komplikasi anestesia
4) Kebiasaan buruk, antara lain; perokok, peminum minuman
keras (alkohol), pemakai obat-obat terlarang (sedatif dan
narkotik)
5) Riwayat alergi terhadap obat atau yang lain

2. Pemeriksaan
Pemeriksaan yang dilakukan adalah:

14
a. Pemeriksaan atau pengukuran status pasien: kesadaran, vital
sign, berat dan tinggi badan untuk menilai status gizi/BMI
b. Pemeriksaan fisik umum, meliputi pemeriksaan status:
1) Psikis: gelisah, takut, atau kesakitan
2) Saraf (otak, medula spinalis, dan saraf tepi)
3) Respirasi
4) Hemodinamik
5) Penyakit darah
6) Gastrointestinal
7) Hepatobilier
8) Urogenital dan saluran kencing
9) Metabolik dan endokrin
10) Otot rangka
11) Integumen
3. Pemeriksaan laboratorium, radiologi dan yang lainnya
a. Pemeriksaan rutin
Ditujukan kepada pasien yang dipersiapkan untuk operasi kecil
dan sedang. Hal-hal yang diperiksa adalah:
1) Darah: Hb, Ht, eritrosit, leukosit dan hitung jenis,
trombosit, masa perdarahan dan masa pembekuan
2) Urin: pemeriksaan fisik, kimiawi dan sedimen urin
b. Pemeriksaan khusus
Ditujukan kepada pasien yang dipersiapkan untuk operasi
besar dan pasien yang menderita penyakit sistemik tertentu
dengan indikasi tegas. Hal-hal yang diperiksa adalah:
1) Pemeriksaan laboratorium lengkap meliputi: fungsi hati,
fungsi ginjal, analisis gas darah, elektrolit, hematologi
dan faal hemostasis lengkap, sesuai dengan indikasi.
2) Pemeriksaan radiologi: foto toraks, IVP dan yang lainnya
sesuai indikasi

15
3) Evaluasi kardiologi terutama untuk pasien yang berumur
di atas usia 35 tahun.
4. Konsultasi dan koreksi terhadap kelainan fungsi organ vital11
a. Konsultasi
1) Konsultasi dilakukan dengan Lab/staf medik fungsional yang
terkait, apabila dijumpai gangguan fungsi organ, baik yang
bersifat kronis maupun yang akut yang dapat mengganggu
kelancaran anestesia dan pembedahan atau kemungkinan
gangguan fungsi tersebut dapat diperberat oleh anestesia dan
pembedahan. Dalam keadaan demikian, tanggapan dan saran
terapi dari konsulen terkait sangat diperlukan
2) Konsultasi dapat dilakukan berencana atau darurat
b. Koreksi terhadap gangguan fungsi sistem organ prabedah.
Apabila dianggap perlu dapat dilakukan koreksi terhadap kelainan
fungsi organ yang dijumpai dan rencana operasi dapat ditunda
menunggu perbaikan atau pemulihan fungsi organ yang
bermasalah
5. Menentukan prognosis pasien perioperatif
Berdasarkan hasil evaluasi pra operatif tersebut di atas
maka dapat disimpulkan status fisik pasien pra anestesia. American
Society of Anesthesiologist (ASA) membuat klasifikasi status fisik
praanestesia menjadi 5 kelas: 11
ASA 1 : pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik
ASA 2 : pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik
ringan sampai sedang
ASA 3 : pasien panyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik
berat yang disebabkan karena berbagai penyebab tetapi
tidak mengancam nyawa
ASA 4 : pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik
berat yang secara langsung mengancam kehidupannya

16
ASA 5 : pasien penyakit bedah yang disertai dengan penyakit
sistemik berat yang sudah tidak mungkin ditolong lagi,
dioperasi ataupun tidak dalam 24 jam pasien akan
meninggal
ASA 6 : pasien penyakit bedah yang telah dinyatakan mati otaknya
yang mana organnya akan diangkat untuk kemudian
diberikan sebagai organ donor bagi yang membutuhkan
Apabila tindakan pembedahannya dilakukan secara darurat,
dicantumkan tanda E (emergency) di belakang angka, misalnya ASA
1 E. 11

2. Persiapan Praanestesia
Langkah lanjut dari hasil evaluasi pra operatif khususnya
anestesia untuk mempersiapkan pasien, baik psikis maupun fisik pasien
agar pasien siap dan optimal untuk menjalani prosedur anestesia dan
diagnostik atau pembedahan yang akan direncanakan.
1. Persiapan pasien:
a. Persiapan psikis
Berikan penjelasan kepada pasien dan atau keluarganya
agar mengerti perihal rencana anestesi dan pembedahan yang
direncanakan sehingga dengan demikian diharapkan pasien
dan keluarganya bisa tenang.
b. Persiapan fisik
Diinformasikan agar pasien melakukan:
1) Menghentikan kebiasaan-kebiasaan seperti : merokok,
minuman keras dan obat-obatan tertentu minimal dua
minggu sebelum anestesia atau minimal dimulai sejak
evaluasi pertama kali di poliklinik
2) Melepas segala macam protesis dan asesoris
3) Tidak mempergunakan kosmetik misalnya cat kuku atau
cat bibir
4) Puasa.

17
c. Diharuskan agar pasien ditemani oleh salah satu keluarga atau
orang tua atau teman dekatnya untuk menjaga kemungkinan
penyulit yang tidak diinginkannya
d. Membuat surat persetujuan tindakan medik
e. Mengganti pakaian yang dipakai dari rumah dengan pakaian
khusus kamar operasi

2. Premedikasi
Adalah tindakan pemberian obat-obatan pendahuluan dalam
rangka pelaksanaan anestesia, dengan tujuan:
1) Menimbulkan suasana nyaman bagi pasien, yaitu
menghilangkan rasa cemas, memberi ketenangan, membuat
amnesia, bebas nyeri dan mencegah mual/muntah
2) Memudahkan dan memperlancar induksi
3) Mengurangi dosis anestesia
4) Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan
5) Menekan dan mengurangi sekresi kelenjar

3. Pemasangan infus
1) Tujuan:
a) Mengganti defisit cairan selama puasa
b) Koreksi defisit cairan prabedah
c) Fasilitasi vena terbuka untuk memasukkan obat-obatan
selama operasi
d) Memberikan cairan pemeliharaan
e) Koreksi defisit atau kehilangan cairan selama operasi
f) Koreksi cairan akibat terapi lain
g) Fasilitas transfusi darah

4. Persiapan di kamar operasi :


a. Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan

18
b. Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya
c. Alat-alat resusitasi: alat bantu napas, laringoskop, pipa jalan
napas, alat isap, defibrilator dan lain-lain
d. Obat-obat anestesia yang diperlukan
e. Obat-obat resusitasi: adrenalin, atropin, aminofilin, natrium
bikarbonat
f. Tiang infus, plester dan lain-lain
g. Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG dipasang
h. Alat-alat pantau yang lain dipasang sesuai dengan indikasi,
misalnya “Pulse Oxymeter” dan “Capnograf”
i. Kartu catatan medik anesthesia

3. Pemberian Anestesi
1. Induksi Anestesi
Pemberian/induksi anestesi adalah tindakan untuk
membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga
memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksi anestesi
dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi, intramuscular atau rectal.
Setelah pasien tidur akibat induksi anestesi langsung dilanjutkan
dengan pemeliharaan anestesi sampai tindakan pembedahan selesai.
Sebelum memulai induksi anestesi disiapkan peralatan dan obat-
obatan yang diperlukan, sehingga jika terjadi keadaan gawat darurat
dapat diatasi lebih cepat dan lebih baik.1 Setelah pasien tidur akibat
induksi anestesia langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesia
sampai tindakan pembedahan selesai.

2. Tatalaksana jalan nafas


Hubungan jalan napas dan dunia luar melalui 2 jalan:
1. Hidung : Menuju nasofaring
2. Mulut : Menuju orofaring

19
Hidung dan mulut dibagian depan dipisahkan oleh palatum durum
dan palatum molle dan dibagian belakang bersatu di hipofaring.
Hipofaring menuju esophagus dan laring dipisahkan oleh epiglotis
menuju ke trakea. Laring terdiri dari tulang rawan tiroid, krikoid,
epiglotis dan sepasang aritenoid, kornikulata dan kuneiform.
 Manuver triple jalan napas
Terdiri dari:
1. Kepala ekstensi pada sendi atlanto-oksipital.
2. Mandibula didorong ke depan pada kedua angulus mandibula
3. Mulut dibuka
Dengan maneuver ini diharapkan lidah terangkat dan jalan napas bebas,
sehingga gas atau udara lancar masuk ke trakea lewat hidung atau mulut.
 Jalan napas faring
Jika maneuver tripel kurang berhasil, maka dapat dipasang jalan napas
mulut-faring lewat mulut (oro-pharyngeal airway) atau jalan napas lewat
hidung (naso-pharyngeal airway).
 Sungkup muka
Mengantar udara / gas anestesi dari alat resusitasi atau sistem anestesi ke
jalan napas pasien. Bentuknya dibuat sedemikian rupa sehingga ketika
digunakan untuk bernapas spontan atau dengan tekanan positif tidak
bocor dan gas masuk semua ke trakea lewat mulut atau hidung.
 Sungkup laring (Laryngeal mask)
Merupakan alat jalan napas berbentuk sendok terdiri dari pipa besar
berlubang dengan ujung menyerupai sendok yang pinggirnya dapat
dikembang-kempiskan seperti balon pada pipa trakea. Tangkai LMA
dapat berupa pipa keras dari polivinil atau lembek dengan spiral untuk
menjaga supaya tetap paten. Dikenal 2 macam sungkup laring:
1. Sungkup laring standar dengan satu pipa napas
2. Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar dan
lainnya pipa tambahan yang ujung distalnya berhubungan dengan
esophagus

20
 Pipa trakea (endotracheal tube)
Mengantar gas anestesi langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat
dari bahan standar polivinil-klorida. Pipa trakea dapat dimasukan melalui
mulut (orotracheal tube) atau melalui hidung (nasotracheal tube).
 Laringoskopi dan intubasi
Fungsi laring ialah mencegah benda asing masuk paru. Laringoskop
merupakan alat yang digunakan untuk melihat laring secara langsung
supaya kita dapat memasukkan pipa trakea dengan baik dan benar.
Secara garis besar dikenal dua macam laringoskop:
1. Bilah, daun (blade) lurus (Miller, Magill) untuk bayi-anak-dewasa
2. Bilah lengkung (Macintosh) untuk anak besar-dewasa.

Klasifikasi tampakan faring pada saat membuka mulut terbuka maksimal


dan lidah dijulurkan maksimal menurut Mallapati dibagi menjadi 4 gradasi.
Gradasi Pilar faring Uvula Palatum Molle

1 + + +
2 - + +
3 - - +
4 - - -

Gambar 5. Klasifikasi struktur faring (mallampati)


3. Teknik Anestesi Umum
a. Teknik anestesi dengan sungkup/ nasal kanul
Indikasi:

21
1. Untuk tindakan yang singkat (0,5 – 1 jam) tanpa membuka
rongga perut.
2. Keadaan umum pasien cukup baik (PSA ASA 1 atau 2).
3. Lambung harus kosong.
Kontra indikasi
1. Operasi di daerah kepala dan jalan napas
2. Operasi dengan posisi miring atau tertelungkup

Macam Face mask :

Gambar 4. Macam face mask

Tabel 7. Macam face mask

22
Urutan tindakan:
1. Periksa peralatan yang akan digunakan (seperti pada masa
pra-induksi).
2. Pasang infus dengan kanul intravena atau jarum kupu-kupu
3. Persiapan obat
4. Induksi, dapat dilakukan dengan propofol 2-2.5 mg/kgBB
5. Selesai induksi, sampai pasien tertidur dan reflek bulu mata
hilang, sungkup muka ditempatkan pada muka. Sebaiknya
dagu ditahan atau sedikit ditarik ke belakang (posisi kepala
ekstensi) agar jalan napas bebas dan pernapasan lancar.
Pengikat sungkup muka ditempatkan di bawah kepala.
6. Kalau pernapasan masih tidak lancar dicoba mendorong
kedua pangkal rahang ke depan dengan jari manis dan tengah
tangan kiri kita. Kalau perlu dengan kedua tangan kita yaitu
kedua ibu jari dan telunjuk yang memegang sungkup muka
dan dengan jari-jari yang lain menarik rahang ke atas. Tangan
kanan kita bila bebas dapat memegang balon pernapasan dari
alat anestesi untuk membantu pernapasan pasien (menekan
balon sedikit bila pasien melakukan inspirasi).
7. N2O mulai diberikan 4 L dengan O2 2 L/menit untuk
memperdalam anestesi, bersamaan dengan halotan dibuka
sampai 1 % dan sedikit demi sedikit dinaikkan sampai 3-4 %
tergantung reaksi tubuh penderita.

23
8. Kedalaman anestesi dinilai dari tanda – tanda mata (bola
mata menetap), nadi tidak cepat dan terhadap rangsang
operasi tidak banyak berubah.
9. Kalau stadium anestesi sudah cukup dalam, masukkan pipa
orofaring
10. Halotan kemudian dikurangi menjadi 1-1.5 % dan dihentikan
beberapa menit sebelum operasi selesai
11. Selesai operasi N2O dihentikan dan penderita diberi O2 100%
beberapa menit untuk mencegah hipoksi difusi.

b. Teknik Anestesi dengan menggunakan ETT


Pengertian :
Intubasi Trakhea adalah tindakan memasukkan pipa trakhea
kedalam trakhea melalui rima glotis, sehingga ujung distalnya berada
kira-kira dipertengahan trakhea antara pita suara dan bifurkasio
trakhea (Latief, 2007). Tindakan intubasi trakhea merupakan salah
satu teknik anestesi umum inhalasi, yaitu memberikan kombinasi
obat anestesi inhalasi yang berupa gas atau cairan yang mudah
menguap melalui alat/ mesin anestesi langsung ke udara inspirasi.

Ukuran ETT :
Pipa endotrakheal. terbuat dari karet atau plastik. Untuk operasi
tertentu misalnya di daerah kepala dan leher dibutuhkan pipa yang
tidak bisa ditekuk yang mempunyai spiral nilon atau besi (non
kinking). Untuk mencegah kebocoran jalan nafas, kebanyakan pipa
endotrakheal mempunyai balon (cuff) pada ujung distalnya. Pipa
tanpa balon biasanya digunakan pada anak-anak karena bagian
tersempit jalan nafas adalah daerah rawan krikoid. Pada orang
dewasa biasa dipakai pipa dengan balon karena bagian tersempit
adalah trachea. Pipa pada orang dewasa biasa digunakan dengan

24
diameter internal untuk laki-laki berkisar 8,0 – 9,0 mm dan
perempuan 7,5 – 8,5 mm (Latief, 2007).
Untuk intubasi oral panjang pipa yang masuk 20 – 23 cm. Pada
anak-anak dipakai rumus :

Indikasi Intubasi trakea :


Indikasi intubasi trakhea sangat bervariasi dan umumnya digolongkan
sebagai berikut :
a. Menjaga patensi jalan nafas oleh sebab apapun
Kelainan anatomi, bedah khusus, bedah posisi khusus, pembersihan
sekret jalan nafas dan lain-lain.
b. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi
Misalnya saat resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan
dengan efisien, ventilasi jangka panjang.
c. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi.
Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut terbuka maksimal dan
lidah dijulurkan maksimal menurut Mallampati dibagi menjadi 4
gradasi

Kontraindikasi Intubasi trakea :


Terdapat beberapa kondisi yang diperkirakan akan mengalami kesulitan
pada saat dilakukan intubasi, antara lain:
a. Tumor : Higroma kistik, hemangioma, hematom
b. Infeksi : Abces mandibula, peritonsiler abces, epiglotitis
c. Kelainan kongenital : Piere Robin Syndrome, Syndrom Collin
teacher, atresi laring, Syndrom Goldenhar, disostosis kraniofasial
d. Benda asing

25
e. Trauma : Fraktur laring, fraktur maxila/ mandibula, trauma tulang
leher
f. Obesitas
g. Extensi leher yang tidask maksimal : Artritis rematik, spondilosis
arkilosing, halo traction
h. Variasi anatomi : Mikrognatia, prognatisme, lidah besar, leher
pendek, gigi moncong.

Untuk persiapan intubasi diperlukan ‘STATICS’:


S : ScopeStetoskop untuk mendengarkan suara paru dan
jantung. Laringo-Scope, pilih bilah atau daun
(blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu
harus cukup terang.
T : Tube Pipa trakea.pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun
tanpa balon (cuffed) dan > 5 tahun dengan
balon (cuffed).
A : Airway Pipa mulut faring (Guedel, orotracheal airway)
atau pipa hidung-faring (naso-tracheal airway).
Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak
sadar untuk menjaga supaya lidah tidak
menyumbat jalan napas.
T : Tape  Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong
atau tercabut.
I : Introducer Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus
plastic (kabel) yang mudah dibengkokan untuk
pemandu supaya pipa trakea mudah
dimasukkan.
C : Connector Penyambung antara pipa dan peralatan
anestesia
S : Suction  penyedot lender, ludah

26
Teknik Intubasi
1. Mesin siap pakai
2. Cuci tangan
3. Memakai sarung tangan steril
4. Periksa balon pipa/ cuff ETT
5. Pasang macintosh blade yang sesuai
6. Anjurkan klien berdoa, karena intubasi/ induksi akan dimulai
7. Beri oksigen 100% dengan masker/ ambu bag 4 liter/ menit
8. Masukkan obat-obat sedasi dan relaksan
9. Lakukan bagging sesuai irama pernafasan
10. Buka mulut dengan teknik cross finger dengan tangan kanan
11. Masukkan laringoskop dengan tangan kiri sampai terlihat
epiglotis, dorong blade sampai pangkal epiglotis
12. Berikan anestesi daerah laring dengan xylocain spray 10%
13. Masukkan ETT yang sebelumnya sudah diberi jelly dengan
tangan kanan
14. Sambungkan dengan bag/ sirkuit anestesi, berikan oksigen
dengan nafas kontrol 8-10 kali/ menit dengan tidal volume 8-10
ml/kgBB
15. Kunci cuff ETT dengan udara ± 4-8 cc, sampai kebocoran tidak
terdengar
16. Cek suara nafas/ auskultasi pada seluruh lapangan paru kiri
kanan
17. Pasang OPA/NPA sesuai ukuran
18. Lakukan fiksasi ETT dengan plester
19. Lakukan pengisapan lendir bila terdapat banyak lendir
20. Bereskan dan rapikan kembali peralatan
21. Lepaskan sarung tangan, cuci tangan.

c. Teknik Anestesi dengan menggunakan ETT terkendali

27
Teknik anestesi maupun intubasi sama dengan teknik yang
dijabarkan di penggunaan ETT.
 Sesudah pengaruh suksinil kolin mulai habis, kemudian
diberikan obat pelumpuh otot jangka panjang misalnya
alkuronium dosis 0.1-0.2 mg/kgBB.
 Napas lalu dikendalikan dengan menggunakan respirator
ataupun secara manual. Apabila menggunakan respirator, maka
setiap inspirasi diusahakan ± 10 ml/kgBB dengan frekuensi 10
– 14 kali per menit. Jika nafas dikendalikan secara manual
maka harus diperhatikan pergerakan dada kanan kiri yang
simetris. Kemudian konsentrasi halotan sedikit demi sedikit
dikurangi dan dipertahankan dengan 0.5-1 %.
 Obat pelumpuh otot dapat diulang lagi dengan 1/3 dosis jika
pasien sudah terlihat ada usaha untuk mulai bernafas sendiri.
 Halotan dapat dihentikan jika lapisan fasi kulit sudah terjahit.
N2O dihentikan apabila lapisan kulit mulai dijahit.
 Ekstubasi dapat dilakukan apabila nafas spontan telah normal
kembali. O2 diberikan secara terus-menerus selama 2-3 menit
untuk mencegah terjadinya hipoksia difusi.
 Jika napas sesudah ditunggu beberapa menit masih lemah,
dapat diberikan obat anti pelumpuh otot non depolarisasi
sebelum di ekstubasi yang terdiri dari kombinasi obat atropine
2 ampul (2 x 0,25 mg) dengan prostigmin 2 ampul (2 x 0,5
mg). Kombinasi obat ini akan menghilangkan sisa efek obat
pelumpuh otot.

Komplikasi intubasi
1. Selama intubasi
- Trauma gigi geligi
- Laserasi bibir, gusi, laring
- Merangsang saraf simpatis

28
- Intubasi bronkus
- Intubasi esophagus
- Aspirasi
- Spasme bronkus
2. Setelah ekstubasi
- Spasme laring
- Aspirasi
- Gangguan fonasi
- Edema glottis-subglotis
- Infeksi laring, faring, trakea

2.1.8 MONITORING PERIANESTESI


1. Monitoring Standar
Monitoring dasar pada pasien dalam keadaan anestesia adalah
monitoring tanpa alat atau dengan alat sederhana seperti stetoskop dan
tensimeter, serta dengan pemeriksaan fisik inspeksi, palpasi, perkusi, dan
auskultasi.
A. Monitoring Kardiovaskular
a) Nadi
Monitoring terhadap nadi merupakan keharusan, karena
gangguan sirkulasi sering terjadi selama anastesi. Makin bradikardi
makin menurunkan curah jantung. Monitoring terhadap nadi dapat
dilakukan dengan cara palpasi arteria radialis, brakialis, femoralis

29
atau karotis. Dengan palpasi dapat diketahui frekuensi, irama dan
kekuatan nadi. Selain palpasi dapat dilakukan auskultasi dengan
menempelkan stetoskop di dada atau dengan kateter khusus
melalui sofagus.
b) Tekanan darah
Tekanan darah dapat diukur secara manual atau otomatis
dengan manse tang harus tepat ukurannya. Tekanan sistolik-
diastolik diketahui dengan cara auskultasi, palpasi, sedangkan
tekanan arteri rata-rata (mean arterial pressure) diketahui secara
langsung dengan monitor tekanan darah elektronik atau dengan
menghitung yaitu 1/3 (tekanan sistolik + 2 x tekanan diastolik) atau
tekanan diastolik + 1/3 (tekanan sistolik – tekanan diastolik).
c) Banyaknya perdarahan

B. Monitoring Respirasi
Dengan inspeksi kita dapat mengawasi pasien secara langsung
gerakan dada-perut baik pada saat bernapas spontan atau dengan napas
kendali dan gerakan kantong cadang apakah sinkron. Untuk oksigenasi
warna mukosa bibir, kuku pada ujung jari dan darah pada luka bedah
apakah pucat, kebiruan atau merah muda.

C. Monitoring Suhu Badan


Dilakukan pada bedah lama atau pada bayi dan anak kecil.
Pengukuran suhu sangat penting pada anak terutama bayi, karena bayi
mudah sekali kehilangan panas secara radiasi, konveksi, evaporasi dan
konduksi, dengan konsekuensi depresi otot jantung, hipoksia, asidosis,
pulih anastesia lambat dan pada neonatus dapat terjadi sirkulasi
persistent fetal.
D. Monitoring Ginjal
Untuk mengetahui keadaan sikulasi ginjal. Produksi air
kemih normal minimal 0.5-1,0 ml/kgBB/jam dimonitor pada bedah

30
lama dan sangat bermanfaat untuk menghindari retensi urin atau distenti
buli-buli.
E. Monitoring Blokade Neuromuskular
Stimulasi saraf untuk mengetahui apakah relaksasi otot sudah
cukup baik atau sebaliknya setelah selesai anestesia apakah tonus otot
sudah kembali normal.
F. Monitoring Sistem Saraf
Pada pasien sehat sadar, oksigenasi pada otaknya adekuat kalau
orientasi terhadap personal, waktu dan tempat baik. Pada saat pasien
dalam keadaan tidak sadar, monitoring terhadap SSP dikerjakan dengan
memeriksa respon pupil terhadap cahaya, respons terhadap trauma
pembedahan, respons terhadap otot apakah relaksasi cukup atau tidak.
2. Monitoring Khusus
Monitoring tambahan biasanya digunakan pada bedah mayor atau
bedah khusus seperti bedah jantung, bedah otak posisi telungkup atau
posisi duduk, bedah dengan teknik hipotensi atau hipotermi dan bedah
pada pasien keadaan umum kurang baik yang disertai oleh kelainan
sistemis. Oksimeter denyut, infrared CO2 dan analisa zat anestetik dapat
memberitahukan kita adanya gangguan dini, tetapi alat ini ada yang
menggolongkan monitoring tambahan ada yang memasukkan dalam
monitoring standar. Ketiga alat ini walaupun sangat bermanfaat, tetapi
sering diganggu oleh kauter listrik, intervensi cahaya dan sering alarm
walaupun pasien dalam keadaan klinis baik.

2.1.9 TATALAKSANA PASCA BEDAH


Setelah operasi selesai pasien dibawa ke ruang pemulihan (recovery
room) atau ke ruang perawatan intensif (bila ada indikasi). Secara umum,
ekstubasi terbaik dilakukan pada saat pasien dalam anestesi ringan atau sadar. Di
ruang pemulihan dilakukan pemantauan keadaan umum, kesadaran, tekanan
darah, nadi, pernapasan suhu, sensibilitas nyeri, pendarahan dari drain, dan lain-
lain. 11

31
Pemeriksaan tekanan darah, frekuensi nadi, dan frekuensi pernapasan
dilakukan paling tidak setiap dalam 15 menit pertama atau hingga stabil, setelah
itu dilakukan setiap 15 menit, selama 2 jam pertama. Dan setiap 30 menit selama
4 jam berikutnya Pulse oximetry dimonitor hingga pasien sadar kembali.
Pemeriksaan suhu juga dilakukan.
Seluruh pasien yang sedang dalam masa pemulihan dari anestesi umum
harus mendapat oksigen 30 – 40 % untuk mencegah hipoksemia yang mungkin
terjadi. Pasien yang memiliki resiko hipoksia adalah pasien yang mempunyai
kelainan paru sebelumnya atau yang dilakukan tindakan operasi didaerah
abdomen atas atau daerah dada. Pemeriksaan analisa gas darah dapat dilakukan
untuk mengkonfirmasi penilaian oksimetri yang abnormal. Terapi oksigen benar-
benar diperhatikan pada pasien dengan riwayat penyakit paru obstruksi kronis
atau dengan riwayat retensi CO2 sebelumnya.
Bila keadaan umum dan tanda vital pasien normal dan stabil, maka
pasien dapat dipindahkan ke ruang rawat dengan pemberian instruksi pasca
operasi.
1. Gangguan Pernapasan
Obstruksi napas parsial (napas berbunyi) atau total, tak ada ekspirasi
(tidak ada suara napas). Pasien pasca anastesia umum yang belum sadar sering
mengalami: lidah jatuh menutup faring atau oleh edema laring. Selain itu dapat
terjadi spasme laring karena laring terangsang oleh benda asing, darah, ludah
sekret atau sebelumnya ada kesulitan pada saat intubasi intubasi trakea.
Apabila terjadi obstruksi saat pasien masih dalam anestesi dan lidah
menutup faring, maka harus dilakukan manufer tripel dengan memasang jalan
napas mulut-faring, hidung faring dan tentunya berikan O2 100%. Jika tidak
berhasil menolong pasang sungkup laring.
Bila terjadi obstruksi karena kejang laring atau edema laring, selain
perlu O2 100%, harus dibersihkan jalan napas, berikan preparat kortokosteroid
(oradekson) dan kalau tak berhasil perlu dipertimbangkan memberikan
pelumpuh otot.

32
Obstruksi napas mungkin tidak terjadi, tetapi pasien sianosis (hiper-
karbi, hiper-kapni, PaCO2>45 mmHg) atau saturasi O2 menurun (hipoksemi,
SaO2<90). Hal ini disebabkan pernapasan pasien lambat dan dangkal
(hipoventilasi). Pernapasan lambat sering akibat opioid terlalu banyak dan
dangkal sering akibat pelumpuh otot masih bekerja. Jika penyebab jelas karena
opioid, dapat diberikan nalokson dan kalau oleh pelumpuh otot dapat diberikan
prostikmin-atropin. Hipoventilasi yang berlanjut menyebabkan asidosis,
hipertensi, takikardi yang dapat berakhir dengan depresi sirkulasi dan henti
jantung.

2. Gangguan Kardiovaskular
Hipertensi dapat disebabkan karena nyeri akibat pembedahan, iritasi
pipa trakea, cairan infus berlebihan, buli-buli penuh atau aktivasi saraf simpatis
karena hipoksia, hiperkapni dan asidosis. Hipertensi akut dan berat yang
berlangsung lama menyebabkan gagal ventrikel kiri, infark miokard, disritmia,
edema paru atau pendarahan otak. Terapi hipertensi ditujukan pada faktor
penyebab dan kalau perlu dapat diberikan klonidin (catapres) atau nitroprusid
(niprus) 0.5 - 1.0 µg/kg/menit.
Hipotensi yang terjadi isian balik vena (venous return) menurun
disebabkan pendarahan, terapi cairan kurang adekuat, diuresis, kontraksi
miokardium kurang kuat atau tahanan veskuler perifer menurun. Hipotensi
harus segera diatasi untuk mencegah terjadi hipoperfusi organ vital yang dapat
berlanjut dengan hipoksemia dan kerusahan jaringan. Terapi hipotensi
disesuaikan dengan faktor penyebabnya. Berikan O2 100%dan infus kristaloid
RL atau Asering 300-500 ml.
Distritmia yang terjadi dapat disebabkan oleh hipokalemia, asidosis-
alkalosis, hipoksia, hiperkapnia atau penyakit jantung.
3. Gelisah
Gelisah pasca anestesia dapat disebabkan oleh hipoksia, asidosis,
hipotensi, kesakitan, efek samping obat misalnya ketamin atau buli-buli penuh.

33
Setelah disingkirkan sebab-sebab tersebut diatas, pasien dapat diberikan
penenang midazolam (dormikum) 0.05 – 0.1 mg/kgBB.
4. Mual-Muntah
Mual-muntah pasca anestesi sering terjadi setelah anestesi umum
terutama pada penggunaan opioid, bedah intra-abdomen, hipotensi dan pada
analgesia regional. Obat mual-muntah yang sering digunakan pada
perianestesia adalah :
a. Dehydrobenzoperidol 0.05-0.1 mg/kgBB (amp 5 mg/ml) i.m atau i.v.
b. Metoklopramid 0.1 mg/kgBB i.v.,supp 20 mg
c. Ondansetron 0.05-0.1 mg/kgBB i.v
d. Cyclizine 25-50 mg.
5. Menggigil
Menggigil (shivering) terjadi akibat hipotermia atau efek obat anestesi.
Hipotermi terjadi akibat suhu ruang operasi, ruang UPPA yang dingin, cairan
infus dingin, cairan irigasi dingin, bedah abdomen luas dan lama. Terapi
petidin 10-20 mg i.v. pada pasien dewasa, selimut hangat, infus hangat dengan
infusion warmer, lampu t untuk menghangatkan suhu tubuh.

2.1.10 NILAI PULIH DARI ANESTESI


Adapun pasien dipindahkan ke ruang pemulihan dan terus diobservasi
dengan cara menilai Aldrette’s score, dan Steward’s score nya.
Tabel 9. Aldrete Score
Kriteria Skala Nilai
Skorsing
1. Aktivitas Motorik
- Mampu menggerakkan ekstremitas dengan 2
perintah
- Mampu menggerakkan 2 ekstremitas dengan 1
perintah
- Tidak mampu menggerakkkan semua ekstremitas 0
2. Respirasi
- Napas adekuat dan dapat batuk 2
Score ≥ 8
- Napas kurang adekuat/ hipoventilasi/ usaha 1
Boleh Pindah
Ruangan
34
bernapas
- Apneu 0

3. Sirkulasi
- TD berbeda ± 20% dari semula preanesthesi 2
- TD berbeda ± 20% - 50% dari semula preanesthesi 1
- TD berbeda ± 50% dari semula preanesthesi 0
4. Kesadaran
- Sadar penuh 2
- Bangun jika dipanggil 1
- Tidak ada respon / belum sadar 0
5. Warna kulit
- Kemerahan 2
- Pucat 1
- Sianosis 0
Total

Kriteria Pulih Sadar dari Anesthesi Umum pada Anak


(STEWARD SCORE)
Tabel 10. Steward Score 11
Kriteria Skala Nilai
Skorsing
1. Kesadaran
- Bangun
Score ≥ 5 2
- Ada respon
Boleh terhadap rangsang
Pindah 1
- Tidak ada respon
Ruangan 0

2. Respirasi
- Batuk / menangis 2
- Berusaha bernapas 1
- Perlu bantuan bernapas 0
3. Aktivitas motorik
- Gerakan bertujuan 2
- Gerakan tanpa tujuan 1

35
- Tidak bergerak 0
Total

2.2 EKLAMPSIA
2.2.1 DEFINISI EKLAMPSIA
Eklampsia adalah kelainan akut pada wanita hamil, dalam persalinan
atau masa nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang yang tidak disebabkan
kelainan neurologik dan/atau koma dimana sebelumnya sudah menunjukkan
gejala-gejala preeklampsia. Kejang pada eklamsia dapat berupa kejang motorik
fokal atau kejang tonik klonik umum.1
Eklampsia dibedakan menjadi eklampsia gravidarum (antepartum),
eklampsia partuirentum (intrapartum), dan eklampsia puerperale (postpartum),
berdasarkan saat timbulnya serangan. Eklampsia banyak terjadi pada trimester
terakhir dan semakin meningkat saat mendekati kelahiran. Pada kasus yang
jarang, eklampsia terjadi pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu. Sekitar
75% kejang eklampsia terjadi sebelum melahirkan, 50% saat 48 jam pertama
setelah melahirkan, tetapi kejang juga dapat timbul setelah 6 minggu
postpartum.3
Beberapa tanda dan gejala peringatan yang mendahului eklamsia dapat
berupa peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba, nyeri kepala, perubahan visual
dan mental, retensi cairan, hiperrefleksia, fotofobia, iritabel, dan mual dan
muntah. Untuk menentukan dengan pasti kondisi neuropatologik yang menjadi
pemicu kejang dapat dilakukan pemeriksaan diagnostik seperti foto rongen, CT
scan atau MRI.3

2.2.2 EPIDEMILOGI
Insiden eklampsia bervariasi antara 0,2%-0,5% dari seluruh persalinan
dan lebih banyak ditemukan di negara berkembang (0,3%-0,7%) dibandingkan
negara maju (0,05%-0,1%). Insiden yang bervariasi dipengaruhi antara lain oleh
paritas, gravida, obesitas, ras, etnis, geografi, faktor genetik dan faktor
lingkungan yang merupakan faktor risikonya.2

36
Eklampsia termasuk dari tiga besar penyebab kematian ibu di
Indonesia. Menurut laporan KIA Provinsi tahun 2011, jumlah kematian ibu yang
dilaporkan sebanyak 5.118 jiwa. Penyebab kematian ibu terbanyak masih
didominasi Perdarahan (32%), disusul hipertensi dalam kehamilan (25%),
infeksi (5%), partus lama (5%) dan abortus (1%). Penyebab lain –lain (32%)
cukup besar, termasuk di dalamnya penyebab penyakit non obstetrik.10

2.2.3 ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI


Etiologi dari hipertensi dalam kehamilan masih belum diketahui dengan
pasti. Telah banyak hipotesis yang diajukan untuk mencari etiologi dan
patogenesis dari hipertensi dalam kehamilan namun hingga kini belum
memuaskan sehingga preeklampsia dan eklampsia sebagai “the disease of
theory”.3,11
Saat ini ada 4 hipotesis utama yang paling banyak diteliti :
2. Iskemik Plasenta
Pada kehamilan normal, proliferasi trofoblas akan menginvasi
desidua dan miometrium dalam dua tahap. Pertama, sel-sel trofoblas
endovaskuler menginvasi arteri spiralis yaitu dengan mengganti endotel,
merusak jaringan elastis pada tunika media dan jaringan otot polos dinding
arteri serta mengganti dinding arteri dengan material fibrinoid. Proses ini
selesai pada akhir trimester I dan pada masa ini proses tersebut telah sampai
pada deciduo myometrial junction.
Pada usia kehamilan 14-16 minggu terjadi invasi tahap kedua dari sel
trofoblas di mana sel-sel trofoblas tersebut akan menginvasi arteri spiralis
lebih dalam hingga kedalaman miometrium. Selanjutnya terjadi proses
seperti tahap pertama yaitu penggantian endotel, perusakan jaringan
muskulo-elastis serta perubahan material fibrionid dinding arteri. Akhir dari
proses ini adalah pembuluh darah yang berdinding tipis, lemas dan
berbentuk seperti kantong yang memungkinkan terjadi dilatasi secara pasif
untuk menyesuaikan dengan kebutuhan aliran darah yang meningkat pada
kehamilan.

37
Pada preeklampsia, proses plasentasi tersebut tidak berjalan
sebagaimana mestinya disebabkan oleh dua hal, yaitu : (1) tidak semua arteri
spiralis mengalami invasi oleh sel-sel trofoblas; (2) pada arteri spiralis yang
mengalami invasi, terjadi tahap pertama invasi sel trofoblas secara normal
tetapi invasi tahap kedua tidak berlangsung sehingga bagian arteri spiralis
yang berada dalam miometrium tetapi mempunyai dinding muskulo-elastis
yang reaktif yang berarti masih terdapat resistensi vaskuler.
Sel sitotrofoblas menginvasi dengan baik pada kehamilan
normotensi. Disamping itu juga terjadi arterosis akut (lesi seperti
atherosklerosis) pada arteri spiralis yang dapat menyebabkan lumen arteri
bertambah kecil atau bahkan mengalami obliterasi. Hal ini akan
menyebabkan penurunan aliran darah ke plasenta dan berhubungan dengan
luasnya daerah infark pada plasenta.
Pada preeklampsia, adanya daerah pada arteri spiralis yang memiliki
resistensi vaskuler disebabkan oleh karena kegagalan invasi trofoblas ke
arteri spiralis pada tahap kedua. Akibatnya, terjadi gangguan aliran darah di
daerah intervilli yang menyebabkan penurunan perfusi darah ke plasenta.
Hal ini dapat menimbulkan iskemi dan hipoksia di plasenta yang berakibat
terganggunya pertumbuhan bayi intra uterin (IUGR) hingga kematian bayi.
3. Genetik
Terdapat suatu kecenderungan bahwa faktor keturunan turut
berperanan dalam patogenesis preeklampsia dan eklampsia. Telah
dilaporkan adanya peningkatan angka kejadian preeklampsia dan eklampsia
pada wanita yang dilahirkan oleh ibu yang menderita preeklampsia dan
eklampsia. Bukti yang mendukung berperannya faktor genetik pada kejadian
preeklampsia dan eklampsia adalah peningkatan Human Leukocyte Antigene
(HLA) pada penderita preeklampsia.
Peneliti lain menyatakan kemungkinan preeklampsia eklampsia
berhubungan dengan gen resesif tunggal. Meningkatnya prevalensi
preeklampsia eklampsia pada anak perempuan yang lahir dari ibu yang
menderita preeklampsia eklampsia mengindikasikan adanya pengaruh

38
genotip fetus terhadap kejadian preeklampsia. Walaupun faktor genetik
nampaknya berperan pada preeklampsia eklampsia tetapi manifestasinya
pada penyakit ini secara jelas belum dapat diterangkan.
4. Maladaptasi Imun
Pada penderita preeklampsia terjadi penurunan proporsi T-helper
dibandingkan dengan penderita yang normotensi yang dimulai sejak awal
trimester II. Antibodi yang melawan sel endotel ditemukan pada 50% wanita
dengan preeklampsia, sedangkan pada kontrol hanya terdapat 15%.
Maladaptasi sistem imun dapat menyebabkan invasi yang dangkal dari arteri
spiralis oleh sel sitotrofoblas endovaskuler dan disfungsi sel endotel yang
dimediasi oleh peningkatan pelepasan sitokin (TNF-α dan IL-1), enzim
proteolitik dan radikal bebas oleh desidua. Sitokin TNF-α dan IL-1
berperanan dalam stress oksidatif yang berhubungan dengan preeklampsia.
Di dalam mitokondria, TNF-α akan merubah sebagian aliran elektron
untuk melepaskan radikal bebas oksigen yang selanjutkan akan membentuk
lipid peroksida dimana hal ini dihambat oleh antioksidan. Sistem imun
dalam patofisiologi preeklampsia. Radikal bebas yang dilepaskan oleh sel
desidua akan menyebabkan kerusakan sel endotel. Radikal bebas-oksigen
dapat menyebabkan pembentukan lipid perioksida yang akan membuat
radikal bebas lebih toksik dalam merusak sel endotel.
Hal ini akan menyebabkan gangguan produksi nitrit oksida oleh
endotel vaskuler yang akan mempengaruhi keseimbangan prostasiklin dan
tromboksan di mana terjadi peningkatan produksi tromboksan A2 plasenta
dan inhibisi produksi prostasiklin dari endotel vaskuler. Akibat dari stress
oksidatif akan meningkatkan produksi sel makrofag lipid laden, aktivasi dari
faktor koagulasi mikrovaskuler (trombositopenia) serta peningkatan
permeabilitas mikrovaskuler (oedem dan proteinuria).
5. Prostasiklin - tromboksan
Prostasiklin akan meningkatkan cAMP intraselular pada sel otot
polos dan trombosit dan memiliki efek vasodilator dan anti agregasi
trombosit. Tromboksan A2 dihasilkan oleh trombosit, berasal dari asam

39
arakidonat dengan bantuan enzim siklooksigenase. Tromboksan memiliki
efek vasikonstriktor dan agregasi trombosit prostasiklin dan tromboksan A 2
mempunyai efek yang berlawanan dalam mekanisme yang mengatur
interaksi antara trombosit dan dinding pembuluh darah.
Pada kehamilan normal terjadi kenaikan prostasiklin oleh jaringan
ibu, plasenta dan janin. Sedangkan pada preeklampsia terjadi penurunan
produksi prostasiklin dan kenaikan tromboksan A2 sehingga terjadi
peningkatan rasio tromboksan A2 : prostasiklin.
Pada preeklampsia terjadi kerusakan sel endotel akan mengakibatkan
menurunnya produksi prostasiklin karena endotel merupakan tempat
pembentuknya prostasiklin dan meningkatnya produksi tromboksan sebagai
kompensasi tubuh terhadap kerusakan endotel tersebut. Preeklampsia
berhubungan dengan adanya vasospasme dan aktivasi sistem koagulasi
hemostasis. Perubahan aktivitas tromboksan memegang peranan sentral
pada proses ini di mana hal ini sangat berhubungan dengan
ketidakseimbangan antara tromboksan dan prostasiklin.
Kerusakan endotel vaskuler pada preeklampsia menyebabkan
penurunan produksi prostasiklin, peningkatan aktivasi agregaasi trombosit
dan fibrinolisis yang kemudian akan diganti trombin dan plasmin. Trombin
akan mengkonsumsi antitrombin III shingga terjadi deposit fibrin. Aktivasi
trombosit menyababkan pelepasan tromboksan A2 dan serotonin sehingga
akan terjadi vasospasme dan kerusakan endotel.

2.2.4 ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI KEJANG EKLAMPSIA


Patofisiologi kejang eklamptik belum diketahui secara pasti. Kejang
eklamptik dapat disebabkan oleh hipoksia karena vasokonstriksi lokal otak, dan
fokus perdarahan di korteks otak.
Beberapa mekanisme yang diduga sebagai etiologi kejang adalah sebagai
berikut:12
a) Edema serebral
b) Perdarahan serebral

40
c) Infark serebral
d) Vasospasme serebral
e) Pertukaran ion antara intra dan ekstra seluler
f) Koagulopati intravaskuler serebral
g) Ensefalopati hipertensi

2.2.5 DIAGNOSIS DAN GAMBARAN KLINIK EKLAMPSIA


Seluruh kejang eklampsia didahului dengan preeklampsia. Preeklampsia
dibagi menjadi ringan dan berat.13 Penyakit digolongkan berat bila ada satu
atau lebih tanda dibawah ini:
1. Tekanan sistolik 160 mmHg atau lebih, atau tekanan diastolik 110
mmHg atau lebih
2. Proteinuria 5 gr atau lebih dalam 24 jam; 3+ atau 4+ pada pemeriksaan
kualitatif
3. Oliguria, diuresis 400 ml atau kurang dalam 24 jam
4. Keluhan serebral, gangguan penglihatan atau nyeri di daerah
epigastrium
5. Edema paru atau sianosis.
Tanda bahaya yang harus diperhatikan pada pasien dengan preeklampsia
antara lain:
1. Trombositopenia dengan hitung trombosit < 100.000/µL.
2. Insufisiensi ginjal dengan konsentrasi kreatinin serum > 1,1 mg/dL
atau lebih dari dua kali kadarnya dan tidak terdapat penyakit ginjal
lainnya.
3. Gangguan fungsi hati berupa konsentrasi enzim transaminase lebih
dari dua kali nilai normal.
4. Edema paru.
5. Gangguan serebral atau pengelihatan.

Tanpa memandang waktu dari onset kejang, gerakan kejang biasanya


dimulai dari daerah mulut sebagai bentuk kejang di daerah wajah. Beberapa

41
saat kemudian seluruh tubuh menjadi kaku karena kontraksi otot yang
menyeluruh, fase ini dapat berlangsung 10 sampai 15 detik. 14 Pada saat yang
bersamaan rahang akan terbuka dan tertutup dengan keras, demikian juga hal
ini akan terjadi pada kelopak mata, otot-otot wajah yang lain dan akhirnya
seluruh otot mengalami kontraksi dan relaksasi secara bergantian dalam waktu
yang cepat. Keadaan ini kadang-kadang begitu hebatnya sehingga dapat
mengakibatkan penderita terlempar dari tempat tidurnya, bila tidak dijaga.
Lidah penderita dapat tergigit oleh karena kejang otot-otot rahang.15
Fase ini dapat berlangsung sampai satu menit, kemudian secara berangsur
kontraksi otot menjadi semakin lemah dan jarang dan pada akhirnya penderita
tak bergerak. Setelah kejang diafragma menjadi kaku dan pernapasan berhenti.
Selama beberapa detik penderita seperti meninggal karena henti napas, namun
kemudian penderita bernapas panjang dan dalam, selanjutnya pernapasan
kembali normal. Apabila tidak ditangani dengan baik, kejang pertama ini akan
diikuti dengan kejang-kejang berikutnya yang bervariasi dari kejang yang
ringan sampai kejang yang berkelanjutan yang disebut status epileptikus.15
Setelah kejang berhenti, penderita mengalami koma selama beberapa saat.
Lamanya koma setelah kejang eklampsia bervariasi. Apabila kejang yang
terjadi jarang, penderita biasanya segera pulih kesadarannya segera setelah
kejang. Namun, pada kasus-kasus yang berat, keadaan koma belangsung lama,
bahkan penderita dapat mengalami kematian tanpa sempat pulih
kesadarannya.15
Pada kasus yang jarang, kejang yang terjadi hanya sekali namun dapat
diikuti dengan koma yang lama bahkan kematian. Frekuensi pernapasan
biasanya meningkat setelah kejang eklampsia dan dapat mencapai 50 kali per
menit. Hal ini dapat menyebabkan hiperkarbia sampai asidosis laktat,
tergantung derajat hipoksianya. Pada kasus yang berat ditemukan sianosis.
Demam tinggi merupakan keadaan yang jarang terjadi, apabila hal tersebut
terjadi maka penyebabnya adalah perdarahan pada susunan saraf pusat.
Proteinuria hampir selalu didapatkan, produksi urin berkurang, bahkan kadang
– kadang sampai anuria dan pada umumnya terdapat hemoglobinuria.15

42
Setelah persalinan urin output akan meningkat dan ini merupakan tanda
awal perbaikan kondisi penderita. Proteinuria dan edema menghilang dalam
waktu beberapa hari sampai dua minggu setelah persalinan apabila keadaan
hipertensi menetap setelah persalinan maka hal ini merupakan akibat penyakit
vaskuler kronis.15

2.2.6 KOMPLIKASI
Komplikasi dapat terjadi pada sang ibu maupun pada janin :11,16,17
 Maternal :
1. Paru  Edema paru adalah tanda prognostik yang buruk yang menyertai
eklampsia. Faktor penyebab atau sumber terjadinya edema adalah:
a. Pneumonitis aspirasi setelah inhalasi isi lambung jika terjadi muntah
pada saat kejang
b. Kegagalan fungsi jantung yang mungkin sebagai akibat hipertensi
berat dan pemberian cairan intravena yang berlebihan.
2. Otak  Pada preeklampsia, kematian yang tiba-tiba terjadi bersamaan
dengan kejang atau segera setelahnya sebagai akibat perdarahan otak
yang hebat.
3. Sistem hematologi  Plasma darah menurun, viskositas darah
meningkat, hemokonsentrasi, gangguan pembekuan darah, disseminated
intravascular coagulation (DIC), sindroma HELLP.
4. Perdarahan  Perdarahan antepartum merupakan perdarahan dari uterus
dan terjadi sebelum melahirkan. Eklampsia merupakan faktor
predisposisi terjadinya solusio plasenta walaupun lebih banyak terjadi
pada kasus hipertensi kronik.
Perdarahan postpartum didefinisikan sebagai hilangnya 500 ml
atau lebih darah pada persalinan pervaginam, 1000 ml pada seksio
sesaria, 1400 ml pada histerektomi secara elektif atau 3000 sampai 3500
ml pada histerektomi sesarea darurat, setelah kala tiga persalinan selesai.
Pada eklampsia sering didapat adanya hemokonsentrasi atau tidak
terjadinya hipervolemia seperti pada kehamilan normal. Hal tersebut

43
membuat ibu hamil pada kasus eklampsia jauh lebih rentan terhadap
kehilangan darah dibandingkan ibu normotensif.
5. Kematian Maternal  Kematian maternal adalah kematian setiap ibu
dalam kehamilan, persalinan, masa nifas sampai batas waktu 42 hari
setelah persalinan, tidak tergantung usia dan tempat kehamilan serta
tindakan yang dilakukan untuk mengakhiri kehamilan tersebut dan
bukan disebabkan oleh kecelakaan. Kematian maternal pada eklampsia
disebabkan karena beberapa hal antara lain karena perdarahan otak,
kelinan perfusi otak, infeksi, perdarahan dan sindroma HELLP.
 Perinatal : Saat kejang terjadi peningkatan frekuensi kontraksi uterus
sehingga tonus otot uterus meningkat. Peningkatan tersebut menyebabkan
vasospasme arterioli pada miometrium. Aliran darah menuju retroplasenter
makin berkurang sehingga dampaknya pada denyut jantung janin (DJJ)
seperti terjadi takikardi, kompensasi takikardi dan selanjutnya diikuti
bradikardi.
1. Asfiksia neonatorum, asfiksia neonatorum adalah suatu keadaan
kegawatan bayi, karena terjadinya kegagalan bernapas secara spontan
dan teratur segera setelah lahir dan disertai dengan hipoksia dan
hiperkapnea yang dapat berlanjut menjadi asidosis. Asfiksia neonatorum
dapat disebabkan karena faktor ibu yaitu adanya gangguan aliran darah
ke uterus. Gangguan aliran darah ke uterus menyebabkan berkurangnya
asupan oksigen ke plasenta dan janin. Penilaian derajat asfiksia dapat
dilakukan dengan Apgar skor, yaitu dengan ketentuan sebagai berikut :
Tabel APGAR Skor

44
 Apgar skor 7-10 : vigorous baby, maka dalam hal ini bayi dianggap sehat dan tidak
memerlukan tindakan istimewa.
 Apgar skor 4-6 : asfiksia ringan – sedang.
 Apgar skor 0-3 : asfiksia berat.

2. Sindroma Distress Respirasi, Insidens sindrom distres respirasi pada bayi


yang dilahirkan dari ibu preeklampsia-eklampsia sebanyak 26,1-40,8%.
Beberapa faktor yang berperan terjadinya gangguan ini adalah
hipovolemik, asfiksia, dan aspirasi mekonium.
3. Prematuritas, partus prematuritas sering terjadi pada ibu dengan
eklampsia karena terjaadi kenakan tonus uterus dan kepekaan terhadap
perangsangan yang meningkat.
4. Hiperbilrubinemia
5. Sindrom aspirasi mekonium, kesulitan pernapasan yang sering
ditemukan pada bayi dismatur. Keadaan hipoksia intrauterin akan
mengakibatkan janin mengadakan gasping dalam uterus. Selain itu
mekonium akan dilepaskan kedalam liquor amnion, akibatnya cairan
yang mengandung mekonium masuk kedalam paru janin karena
inhalasi. Pada saat bayi lahir akan menderita gangguan pernapasan.
6. Kematian Perinatal, kematian perinatal terjadi karena asfiksia nonatorum
berat, trauma saat kejang intrapartum, dismaturitas yang berat. Beberapa
kasus ditemukan bayi meninggal intrauterin.

2.3 ANESTESI PADA EKLAMSPSIA


2.3.1 Pemilihan anestesi pada eklampsia
Pemilihan teknik anestesi pada pasien preeklampsia tergantung dari
berbagai faktor, termasuk cara persalinan (per vaginam, bedah Caesar) dan
status medis dari pasien (adanya koagulopati, gangguan pernafasan, dll). Jika
persalinan dilakukan secara bedah Caesar maka pemilihan teknik anestesia di
sini termasuk epidural, spinal, combine spinal-epidural dan anestesia umum.
Meskipun kemungkinan terjadinya hipotensi yang berat pada pasien
preeklampsia yang menjalani anesthesia regional (terutama spinal anestesia),

45
banyak data yang mendukung pemilihan anestesia regional baik pada bedah
Caesar yang berencana ataupun darurat.
Anestesia umum pada bedah Caesar pada preeklampsia berat dikatakan
berhubungan dengan peningkatan yang bermakna pada tekanan arteri sistemik
dan pulmoner pada saat induksi, jika dibandingkan dengan epidural anestesia.
Pada anestesia umum juga potensial terjadinya aspirasi isi lambung, kesulitan
intubasi endotrakeal yang disebabkan karena adanya resiko edema faring laring.
Apapun teknik anestesia yang dipilih, harus diingat bahwa meskipun
persalinan adalah terapi untuk preeklampsia, pada periode post partum
perubahan kardiovaskular, kardiak output dan status cairan, harus tetap
dimonitor.

2.3.2 Anestesi Umum


Teknik anestesi umum pada bedah sesar, pasien dengan preeklampsia
berat adalah memiliki risiko yang cukup tinggi. Faktor – faktor yang
menyebabkan anestesi umum pada preeklampsia cukup beresiko tinggi meliputi:
meningkatnya resiko jalan napas dan intubasi yang sulit; respon pressor yang
terjadi selama laringoskopi, intubasi dan ekstubasi akan mengakibatkan
lonjakan tekanan darah yang berbahaya. Ada risiko perdarahan intrakranial yang
signifikan.
Bedah sesar dibawah anestesi umum pada preeklampsia berat adalah
prosedur berisiko tinggi. Factor factor yang menyebabkan anestesi umum pada
preeklampsia sangat berbahaya meliputi : meningkatkan risiko jalan napas dan
intubasi yang sulit; respon pressor yang ditandai pada laringoskopi, intubasi dan
ekstubasi yang mengakibatkan lonjatan tekanan darah yang berbahaya; ada
risiko perdarahan intracranial yang signifikan akibat hipertensi berat yang tidak
terkontrol pada induksi anestesi umum.
Oleh karena itu pada pasien PEB dan eklampsia yang direncanakan
dengan teknik anestesi umum, pastikan bahwa tekanan darah dan kejang harus
dikendalikan secara maksimal dan idealnya, pemantauan onvasif dimasukkan
sebelum induksi anestesi umum, walaupun prinsip ini tampaknya hanya biasa

46
terlaksana bila operasi direncanakan secara elektif, sedangkan pada operasi
emergensi, hal – hal tersebut sering kali sukar tercapai karena kondisi pasien
yang jelek dan tuntutan waktu operasi sesegera mungkin karena ancaman gawat
janin atau faktor – faktor lainnya. Laringoskopi dapat menyebabkan lonjakan
signifikan dalam tekanan darah pada preeklampsia berat dan tindakan untuk
mendapatkan respon tekanan darah harus dilakukan.
Respon terhadap laringoskopi dapat diperoleh dengan cara sebagai berikut
: dapat diberikan bolus opioid short acting pendek (missal: Alfentanyl 10 – 20
mcg / Kg atau remifentanyl 1 mcg / Kg): bias juga dengan bolus labetalol
dengan dosis 10 – 20 mg IV: pilihan lain menggunakan bolus magnesium 40
mg/ KgBB IV: atau menggunakan bolus lidocaine 1,5 mg/ KgBB IV 3 – 5 menit
sebelum induksi.
Jika oioid diberikan sebelum melahirkan, beri tahu tim neonatal tentang
kemungkinan depresi pernapasan neonatal da nada kemungkinan bayi tertidur,
yang dapat disebabkan oleh pengaruh sedasi obat anestesi atau pengaruh opioid
yang diberikan ke maternal. Bila pasien PEB atau eklampsia pasca anestesi
umum mengalami keterlambatan bangun bisa disebabkan oleh berbagai hal
diantaranya yang paling sering dan besar kemungkinannya adalah karena
perdarahan intracranial / lesi di otak akibat perdarahan sehubungan dengan
patofisiologi perjalanan penyakit atau karena gangguan koagulasi yang terjadi;
juga dapat terjadi karena peningkatan TIK berkaitan dengan edema otak pada
pasien PEB atau eklampsia, dimana kedua hal di atas harus ditelusuri dengan
pemeriksaan CT – Scan kepala emergensi.
Kemungkinan penyebab lain adalah masih dalam pengaruh obat opioid
atau obat – obat anestesi yang diberikan, efek blockade neuromuscular yang
diberikan ke maternal pada waktu intubasi dan selama operasi yang belum di
reverse secara sempurna, hipoglikemia. Penyebab lain yang harus dipikirkan
juga sejak awal adalah kemungkinan karena pengaruh magnesium sulfat yang
mempotensiasi obat penghambat neuromuscular non – depolarisasi, atau akibat
toksisitas magnesium sulfat yang diberikan ke maternal.

47
Anastesi umum merupakan pilihan yang harus dilakukan pada pasien PEB
atau eklampsia dalam keadaan gangguan kesadaran, ada tanda-tanda
peningkatan TIK, atau pasien dengan gangguan koagulasi. Anestesi dilakukan
baik dengan kombinasi dengan teknik opioid dan pelumpuh otot maupun
bantuan ventilasi mekanik.
Pertimbangan yang penting adalah edema jalan napas, kemungkinan
pengelolaan jalan napas yang sulit, meskipun kadar kolinesterase menurun, serta
durasi tindakan anastetik local, sedangkan pelumpuh otot depolarisasi
suksinilkolin jarang terpengaruh, respon hipertensi berlebihan terhadap intubasi
endotrakeal, interaksi obat antara magnesium dengan jumlah pelumpuh otot,
obat anestesi halogenasi dosis kecil saja sudah dapat langsung menurunkan
kesadaran secara bermakna. Pasca ekstubasi pastikan jalan napas aman dan
terkendali, bila perlu dilakukan pada posisi lateral kiri sampai saat pasien benar
– benar sadar atau pasien dipindahkan ke ICU untuk mendapatkan bantuan
ventilasi mekanik bila diperlukan, tergantung pada kondisi preoperative dan
perilaku intraoperative.
Bahaya yang muncul apada anatesi umum untuk PEB dan eklampsia :
1. kesulitan dalam pemeliharaan saluran napas
2. respons berlebihan pada saat tindakan laringoskopi
3. intubasi endotrakeal.

Selain itu diperlukan kewaspadaan adanya interaksi obat anestesi dengan


obat yang digunakan oleh dokter kandungan terutama magnesium sulfat.
Meskipun berbagai bahaya, beberapa institusi merasa bahwa risiko anestesi
umum lebih rendah dibanding pada anestesi regional sementara instuitusi yang
lain merasa bahwa anestesi umum telah meningkatkan risiko yang signifikan.
Indikasi anestesi umum :
1. koagulopati,
2. edema paru, atau
3. eklampsia.

48
Jika anestesi umum digunakan, perhatian khusus dan kewaspadaan ekstrem
harus diberikan untuk mengurangi respons hipertensi terhadap intubasi, karena hal
ini dikhawatirkan dapat menghasilkan outcome yang buruk. Obat yang digunakan
untuk mencapai tujuan ini yaitu : alfentanyl, fentanyl, remifentanyl, lidokain
MgSO4 dan esmolol. Telah direkomendasikan dokter anestesi menggunakan obat
yang apling mereka kenal.

a. Periode Pra Induksi


Keterlibatan awal ahli anaestesiologi sangat penting. Bila memungkinkan
dan operasi direncanakan elektif, masih memungkinkan agar kondisi klinis
pasien dioptimalkan sebelum operasi. Tekanan darah dan kejang harus
dikontrol dengan baik. Semua obat antihipertensi dan antikonvulsan
dilanjutkan sampai pasien berada diruang operasi.
Bila bersifat emergensi seperti pada keadaan gawat janin dan indikasi
operasi lainnya dari dokter spesialis obstetric ginekologi. Dianjrkan membawa
pasien dalam posisi left lateral decubitus dan menggunakan oksigen melalui
masker saat transportasi. Biasanya dosis antiemetic (metocloprarnide 10 rug
IM) dan antasida (Sodium sitrat 0,30 mmol, 30 ml) atau antagonis reseptor H2
histamin (ranitidine atau Cimetidine atau Famotidine) yang diberikan secara
oral 1 – 2 jam sebelumnya atau 40 – 60 menit sebelumnya secara intravena.

b. Periode induksi
Dalam kasus gawat janin berat atau ancaman gawat janin, induksi
intravena dengan anestetika seperti Tiopental atau Propofol cenderung
mengurangi perfusi plasenta sehingga dapat berpengaruh pada janin. Ketamine
dikontraindikasikan sementara etomidate telah dilaporkan menghasilkan efek
yang tidak diinginkan pada sumbu adrenokorteks, namun obat ini stabil secara
kardiovaskular.
Mungkin ada justifikasi untuk penggunaan benzodiazepine untuk induksi
terutama, bila antagonis reseptor benzodiazepine spesifik (Flumazenil)
tersedia. Respons tekanan darah yang berlebihan terhadap larigoskopi dan

49
intubasi dapat dilumpuhkan dengan berbagai teknik menggunakan obat seperti
Hydralazine, Labetalol, atau Sodium Nitroprusside. Teknik rapid sequence
induction cepat harus digunakan untuk mengamankan jalan nafas.

c. Intraoperatif
Pasien dengan PEB dan eklampsia dapat mengalami gangguan perfusi
arteri uterine dan selanjutnya mempengaruhi perfusi kebayi, dimana perfusi
uterus berkurang akibat berkurangnya curah jantung, terutama pada pasien
dalam kondisi dehidrasi atau hypovolemia berat. Hiperventilasi harus
dihindari karena akan menyebabkan penurunan aliran darah uterus maupun
plasenta karena penurunan tekanan jantung, vasokontriksi dan alkalosis
respiratorik yang akan menggeser kurva disosiasi oksigen kekiri.
Sudah diketahui Nitrous Oxide memiliki kelarutan lipid rendah dan
memiliki jalur transplasental yang relative cepat yang dapat menyebabkan
beberapa tingkat depresi neonatal selama operasi caesar. Mungkin ada risiko
nyata yang nyata namun pasti bahwa bayi yang sudah mengalami hipoksia
dapat terpengaruh agen ini. Namun, pada pasien PEB atau eklampsia dengan
gangguan kesadaran, direkomendasikan untuk menghindari penggunaan
Nitrous Oxyde serta dianjurkan memberikan fraksi oksigen inspirasi (FiO2)
yang lebih tinggi, dengan pemberian agen inhalasi.
Dalam penelitian , Isoflurane 0,75% ditemukan lebih baik dari Halotan
0,5% selama operasi bedah sesar karena pemulihan lebih cepat, jumlah
perdarahan lebih sedikit dan namun relaksasi uterus kurang disbanding
Halotan. Relaksasi otot intraoperatif dapat dipertahankan dengan infus
Suxamethonium (4 mg/ menit atau bolus kecil agen depolarisasi dalam dosis
tambahan) atau dengan pelumpuh otot non depolarisasi misalnya Vecuronium
(1-2 mg) atau atakrium (10-15 mg) disesuaikan sesuai kebutuhan dengan
menggunakan saraf stimulator.

d. Ekstubasi

50
Pada saat melakukan ekstubasi, pastikan benar bahwa pasien telah
terbebas dari kemungkinan pengaruh opioid pada pernapasan, bebas pengaruh
pelumpuh otot, maupun bebas pengaruh magnesium sulfat terhadap potensiasi
dan pemanjangan efek pelumpuh otot nondepolarisasi. Ekstubasi pasien harus
dilakukan secara smooth, namun pernapasan sudah adekuat, untuk menjamin
stabilitas hemodinamik.

51

Anda mungkin juga menyukai