Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN PENDAHULUAN

PERILAKU KEKERASAN
DI POLI JIWA RSU DR.SAIFUL ANWAR KOTA MALANG
Disusun untuk Memenuhi Tugas Keperawatan Jiwa

OLEH :

FAHRIZAL MUHARRAM

201920461011099

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2020
LAPORAN PENDAHULUAN
PERILAKU KEKERASAN

A. Pengertian
Perilaku kekerasan merupakan salah satu respon marah yang
diekspresikan dengan melakukan ancaman, menciderai orang lain, dan atau
merusak lingkunagan (Keliat, dkk, 2012). Menurut Stuart (2013), perilaku
kekerasan merupakan salah satu respon terhadap stresor yang dihadapi oleh
seseorang, yang ditunjukkan dengan perilaku aktual melakukan kekerasan, baik
pada diri sendiri, orang lain maupun lingkungan, secara verbal maupun
nonverbal. Beberapa pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku
kekerasan atau agresifitas dapat didefinisikan yaitu suatu perilaku mencederai
atau melukai diri sendiri, orang lain/sekelompok orang dan lingkungan, baik
secara verbal, fisik, dan psikologis yang akan mengakibatkan beberapa
kerugian seperti trauma fisik, psikologis dan bahkan kematian.
Perilaku kekerasan yang bertujuan untuk melukai seseorang baik secara
fisik maupun psikologis. berfluktuasi dari tingkat rendah sampai tinggi. Hirarki
perilaku kekerasan tersebut terdiri dari tingkat rendah hingga tinggi sebagai
mana terlihat pada skema berikut :
Hirarki Perilaku Kekerasan daari tingkat rendah ke tinggi (Sumber: Stuart,
2013):
1. Memperlihatkan permusuhan tingkat rendah
2. Bicara keras dan menuntut
3. Mendekati orang lain dengan ancaman
4. Mengucapkan kata-kata ancaman, tanpa rencana untuk melukai
5. Menyentuh orang lain dengan cara menakutkan
6. Mengancam dengan kata-kata dengan rencana melukai
7. Melukai dalam tingkat tidak berbahaya
8. Melukai dalam tingkat serius dan bahaya

B. Etiologi
Perilaku kekerasan bisa disebabkan adanya gangguan konsep diri: harga
diri rendah. Harga diri adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan
menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri.
Dimana gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai perasaan negatif
terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri, merasa gagal mencapai
keinginan,sehingga mengakibatkan perasaan seperti:
1. Perasaan malu terhadap diri sendiri
2. Rasa bersalah terhadap diri sendiri
3. Merendahkan martabat
4. Gangguan hubungan sosial
5. Percaya diri kurang
6. Mencederai diri

C. Rentang Respon Marah


Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai respon terhadap
kecemasan/kebutuhan yang tidak terpenenuhi yang dirasakan sebagai ancaman
(Stuart & sundeen, 2007). Perasaan marah normal bagi tiap individu, namun
perilaku yang dimanifestasikan oleh marah dapat berfluktuai sepanjang rentang
adaktif dan maladaktif.
Respon Adaptif Respon Maladaktif

Asertif Frustrasi Pasif Agresif Kekerasan


Kegagalan yang menimbulkan respon pasif dan melarikan diri atau respon
melawan dan menantang. Respon melawan dan menentang merupakan respon
yang maladaktif yaitu-agresif-kekerasan, sedangkan respon yang adaptif adalah
asertif dan frustrasi yaitu :
1. Respon Adaptif
a. Asertif : Mengemukakan pendapat atau menunjukkan ekspresi tidak
senang atau tidak setuju tetapi tidak menyakiti orang
lain/lawan bicaranya.
b. Frustrasi : Respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan karena
tidak realistis atau disebut juga hambatan dalam proses
pencapaian tujuan.
2. Respon Maladaptif
a. Pasif : Suatu perilaku dimana seseorang merasa tidak mampu untuk
mengungkapkan perasaannya sebagai usaha untuk
mempertahankan hak-haknya.
b. Agresif :Suatu perilaku yang menyertai rasa marah sebagai usaha atau
merupakan dorongan mental untuk bertindak,memperlihatkan
permusuhan, keras dan menuntut, mendekati orang lain
dengan ancaman, memberkata-kata ancaman tanpa niat
melukai. Umumnya klien masih dapat mengontrol perilaku
untuk tidak melukai orang lain
c. Kekerasan :Sering juga disebut gaduh gelisah atau amuk. Perilaku
kekerasan ditandai dengan menyentuh orang lain secara
menakutkan, memberi kata-kata ancaman melukai disertai
melukai pada tingkat ringan dan yang paling berat adalah
melukai/merusak secara seriu. Klien tidak mampu
mengendalikan diri.

D. Factor Predisposisi
Faktor-faktor yang mendukung terjadinya masalah perilaku kekerasan
adalah faktor biologis, psikologis dan sosiokultural.
1. Faktor biologis
a. Instinctual drive theory (teori dorongan naluri)
Teori ini menyatakan bahwa perilaku kekerasan disebabkan oleh suatu
dorongan kebutuhan dasar yang sangat kuat.
b. Psychosomatic theory (teori psikosomatik)
Pengalaman marah adalah akibat dari respons psikologis terhadap
stimulus eksternal, internal maupun lingkungan. Dalam hal ini sistem
limbic berperan sebagai pusat untuk mengekspresikan maupuin
menghambat rasa marah.
2. Faktor psikologis
a. Frustation aggression theory (teori agresif-frustasi)
Menurut teori ini perilaku kekerasan terjadi sebagai hasil dari
akumulasi frustasi. Frustasi tejadi apabila keinginan individu untuk
mencapai sesuatu gagal atau terhambat. Keadaan tersebut dapat
mendorong individu berperilaku agresif karena perasaan frustasiakan
berkurang melalui perilaku kekerasan.
b. Behavioral theory (teori perilaku)
Kemarahan adalah proses belajar, hal ini dapat dicapai apabila
tersedia fasilitas/situasi yang mendukung.
c. Existential theory (teori eksistensi)
Bertingkah laku adalah kebutuhan dasar manusia, apabila kebutuhan
tersebut tidak dapat dipenuhi melalui berperilaku konstruktif, maka
individu akan memenuhinya melalui berperilaku destruktif.
3. Faktor sosial cultural
a. Social environment theory (teori lingkungan social)
Lingkungan social akan mempengaruhi sikap individu dalam
mengekspresikan marah. Norma budaya dapat mendukung individu
untuk berespons asertif atau agresif.
b. Social learning theory (teori belajar social)
Perilaku kekerasan dapat dipelajari secara langsung maupun melalui
proses sosialisasi.
E. Factor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali
berkaitan dengan (Yosep, 2009):
1. Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas
seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah,
perkelahian masal dan sebagainya.
2. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial
ekonomi.
3. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak
membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melalukan
kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
4. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan
ketidakmampuan dirinya sebagai seorang yang dewasa.
5. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan
alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi
rasa frustasi.
6. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan
keluarga.

F. Tanda dan Gejala


Yosep (2009) mengemukakan bahwa tanda dan gejala perilaku kekerasan
adalah sebagai berikut:
1. Fisik
a. Muka merah dan tegang
b. Mata melotot/ pandangan tajam
c. Tangan mengepal
d. Rahang mengatup
e. Postur tubuh kaku
f. Jalan mondar-mandir
2. Verbal
a. Bicara kasar
b. Suara tinggi, membentak atau berteriak
c. Mengancam secara verbal atau fisik
d. Mengumpat dengan kata-kata kotor
e. Suara keras
f. Ketus
3. Perilaku
a. Melempar atau memukul benda/orang lain
b. Menyerang orang lain
c. Melukai diri sendiri/orang lain
d. Merusak lingkungan
e. Amuk/agresif
2. Emosi
a. Tidak adekuat
b. Tidak aman dan nyaman
c. Rasa terganggu, dendam dan jengkel
d. Tidak berdaya
e. Bermusuhan
f. Mengamuk, ingin berkelahi
g. Menyalahkan dan menuntut
3. Intelektual :Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan,
sarkasme.
4. Spiritual: Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat
orang lain,  menyinggung perasaan orang lain, tidak perduli dan kasar.
5. Sosial : Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran.
6. Perhatian: Bolos, mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual.
G. Mekanisme Koping
Mekanisme koping yang umum digunakan adalah mekanisme pertahanan
ego seperti, displacement, sublimasi, proyeksi, represi, denial, dan reaction
formation. Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada
penatalaksanaan stress, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan
mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri.
Kemarahan merupakan ekspresi dari rasa cemas yang timbul karena adanya
ancaman. Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien marah untuk
melindungi diri antara lain : (Maramis,2009, hal 83)
1. Sublimasi
Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia artinya di mata
masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan penyalurannya
secara normal. Misalnya seseorang yang sedang marah melampiaskan
kemarahannya pada obyek lain seperti meremas adonan kue, meninju
tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk mengurangi ketegangan
akibat rasa marah.
2. Proyeksi
Menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau keinginannya
yang tidak baik. Misalnya seseorang wanita muda yang menyangkal bahwa
ia mempunyai perasaan seksual terhadap rekan sekerjanya, berbalik
menuduh bahwa temannya tersebut mencoba merayu, mencumbunya.
3. Represi
Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk ke
alam sadar. Misalnya seseorang anak yang sangat benci pada orang tuanya
yang tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang
diterimanya sejak kecil bahwa membenci orang tua merupakan hal yang
tidak baik dan dikutuk oleh Tuhan, sehingga perasaan benci itu ditekannya
dan akhirnya ia dapat melupakannya.
4. Reaksi formasi
Mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan, dengan
melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakannya
sebagai rintangan. Misalnya seorang yang tertarik pada teman suaminya,
akan memperlakukan orang tersebut dengan kasar.
5. Displacement
Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan, pada obyek
yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang
membangkitkan emosi itu. Misalnya Timmy berusia 4 tahun marah karena ia
baru saja mendapat hukuman dari ibunya karena menggambar di dinding
kamarnya. Dia mulai bermain perang-perangan dengan temannya.

H. Perilaku
Perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan antara lain :
1. Menyerang atau menghindar (fight or flight)
Pada keadaan ini respons fisiologis timbul karena kegiatan system saraf
otonom beraksi terhadap sekresi epinephrine yang menyebabkan tekanan
darah meningkat, takikardi, wajah merah, pupil melebar, mual, sekresi HCL
meningkat, konstipasi, kewaspadaan juga meningkat disertai ketegangan
otot, seperti rahang terkatup, tangan dikepal, tubuh menjadi kaku dan disertai
reflek yang cepat.
2. Menyatakan secara asertif (assertiveness)
Perilaku yang sering ditampilkan individu dalam mengekspresikan
kemarahannya yaitu dengan perilaku pasif, agresif, dan asertif. Perilaku
asertif adalah cara yang terbaik untuk mengekspresikan rasa marahnya
tanpa menyakiti orang lain secara fisik maupun psikologis. Disamping itu
perilaku ini juga untuk pengembangan diri klien.
3. Memberontak (acting out)
Perilaku yang muncul biasanya disertai kekerasan akibat konflik
perilaku ‘acting out’ untuk menarik perhatian orang lain.
4. Perilaku kekerasan
Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan kepada diri sendiri, orang
lain maupun lingkungan
Pasien dengan perilaku kekerasan memiliki enam siklus agresi menurut bowie:
1. Trigerring Incident
Ditandai dengan adanya pemicu sehingga muncul agresi klien. Beberapa
faktor yang dapat memicu agresi antara lain provokasi, respon terhadap
kegagalan, komunikasi yang buruk,situasi yang menyebabkan frustasi,
pelanggaran batas terhadap batas personal, dan harapan yang tidak terpenuhi.
Pada fase ini klien dan keluarga baru datang.
2. Escalation Fase
Ditandai dengan kebangkitan fisik dan emosional. Dapat disetarakan
dengan respon fight or flight. Pada fase escalasi kemarahan klien memuncak,
dan belum terjadi tindakan kekerasan. Pemicu dari perilaku agresif klien
gangguan psikiatrik bervariasi misalnya: halusinasi, gangguan kognitif,
gangguan penggunaan zat, kerusakan neurologi/kognitif, bunuh dir dan
koping tidak efektif.
3. Crisis Point
Sebagai lanjutan dari fase escalasi apabila negoisasi dan teknik de
escalation gagal mencapai tujuannya. Pada fase ini klien sudah melakukan
tindakan kekerasan.
4. Settling Phase
Klien yang telah melakukan kekerasan melepaskan energi marahanya.
Mungkin masih ada rasa cemas dan marah, dan beresiko kembali ke fase
awal.
5. Post Crisis Depression
Klien pada fase ini mungkin mengalami kecemasan dan depresi serta
berfokus pada kemarahan dan kelelahan.
6. Return To Normal Funtcioning
Klien kembali pada keseimbangan normal dari perasaan cemas, depresi
dan kelelahan.

I. Patofisiologi (Clinical Pathway): Patofisiologi, Situasional, Maturasional


Risiko Menciderai Diri, Orang Lain dan Lingkungan : Akibat

Perilaku Kekerasan : Core problem

Gangguan Konsep Diri : Harga Diri Rendah : Penyebab

Faktor Predisposisi Faktor Presipitasi


Patofisiologi
Berhubungan dengan perasaan ketidakberdayaan, kesepian atau atau
keputusasaan sekunder akibat:
 Ketidakmampuan
 Penyakit terminal
 Penyakit kronis
 Nyeri kronis
 Ketergantungan kimia
 Penyalahgunaan zat
 Kerusakan mental
 Kelainan pskiatrik
 Diagnosis baru positive HIV Aids
 AIDS tahap lanjut
Situasional
Berhubungan dengan:
 Depresi
 Konflik orang tua/perkawinan
 Penyalahgunaan zat dalam keluarga
 Ketidakefektifan keterampilan koping individu
 Penyiksaan anak
Berhubungan dengan kehilangan nyata atau yang dirasakan akibat:
 Keuangan atau pekerjaan
 Status atau penghargaan
 Ancaman pengabdian
 Perpisahan
 Kematian orang terdekat
Maturasional
Remaja
 Berhubungan dengan perasaan diabaikan
 Berhubungan dengan pengharapan yang tidak realistik
 Berhubungan dengan penolakan atau tekanan teman sebaya
 Berhubungan dengan depresi
 Berhubungan dengan relokasi
 Berhubungan dengan kehilangan orang terdekat
Lansia
 Berhubungan dengan kehilangan multipel sekunder akibat pensiun,
kehilangan orang terdekat, atau penyakit.

I. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan

a. Medis

1) Psikofarmakologi
Penggunaan obat-obatan untuk gangguan jiwa berkembang dari

penemuan neurobilogi. Obat-obatan tersebut mempengaruhi system

saraf pusat (SSP) secara langsung dan selanjutnya mempengaruhi

prilaku, persepsi, pemikiran dan emosi. Menurut Stuart dan Laraia

(2005), beberapa kategori obat yang digunakan untuk mengatasi prilaku

kekerasan adalah sebagai berikut :

a) Antianxiety dan Sedative Hipnotics

Obat-obatan ini dapat mengendalikan agitasi yang akut,

Benzodiazepines seperti Lorazepam dan Clonazepam, sering

digunakan dalam kedaruratan psikiatrik untuk menenagkan

perlawanan klien. Tapi bat ini direkomendasikan untuk dalam waktu

lama karena dapat menyebabkan kebingungan dan ketergantungan,

juga bisa memperburuk gejala depresi. Lorazepam adalah pilihan yang

baik digunakan untuk mengobati pasien dengan agitasi dan prilaku

kekerasan secara khusus apabila etiologi belum jelas. Obat ini aman

dan efektif. Obat ini adalah satu-satunya obat Benzodiazepine yang

diserap dengan baik apabila diberikan melalui intramuscular.

Lorazepam juga dapat diberikan secara oral, sublingual, atau

intravascular. Pemberian obat ini harus hati-hati karena dapat

menimbulkan depresi pernafasan. Pemberian Lorazepam juga dapat

menimbulkan reaksi paradoksial.


b) Antidepressant

Antidepresant dapat mengurangi ketakutan, irribilitas, dan kecemasan.

Emosi ini memiliki spectrum yang sama dengan agitasi. Penemuan

sekarang menunjukkan bahwa obat ini dapat menurunkan mood yang

negative dan prilaku kekerasan seperti juga perubahan positif pada

kepribadian. Pasien dengan angguan kepribadian yang diberikan obat

anidepresan serotonin ini dapat berkurang irritabilitas dan prilaku

kekerasannya. Pasien dengan agitasi posttraumatik memiliki respon

terhadap pemberian Amitriptilin.

c) Mood Stabilizers

Mood stabilizers digunakan untuk menangani pasien dengan

gangguan bipolar ddan sebagai terapi tambahan pada skizoferenia.

Obat-obat ini digunakan juga untuk mengatasi prilaku kekerasan

meskipun bukan protitipe untuk tujuan ini. Valproate (depakene)

banyak diguankan pada beberapa keadaan seperti demensia,

gangguan kepribadian ambang, sindrom mood organik, gangguan

bipolar, skizofrenia, gangguan skizoafektif, dan retardasi mental.

Divalproex (depakote) dan Carmabazepine digunakan secara

luasuntuk menangani impulsitas dan prilaku kekerasan. Sayangnya

carmabazepine mempunyai efek seperti pusing, ataksia,

kebingungan, agranulositsis dan hepatoksis seghingga

penggunaannya terbatas. Devalproex memilki sedikit efek samping


dan interaksi obat yang sidikit sehingga banyak digunakan sebagai

mood stabilizer pada pasien demensia. Berkurangnya prilaku

kekerasan pada episode maiak merupakan peran yang penting dari

Lithium Carbonate. Lithium juga digunakan untuk mengatasi prilaku

kekerasan pada pasien dengan retardasi mental. Lithium juga

digunakan untuk mengurangi prilaku kekerasan pada tahanan yang

mengamuk. Meskipun efektif tetapi karena masalah torelabilitasnya

maka penggunaannya terbatas

d) Antipsychotic

Obat neuropletik menyebabkan efek sedasi ketika diberikan dengan

dosis yang tinggi. Haloperidol dapat diberikan secara intramuscular

untuk mengatasi agitasi agitasi dan prilaku kekerasan pada pasien

dengan variasi penyebab yang luas. Haloperidol tidak terlalu

menyebabkan hipotensi dan hanya memilki efek antiklonergik yang

kecil dibaningkan dengan neuroletik yang kecil dibandingkan

dengan neuroleptik yang ‘low ptoency’ seperti Chlorpomazine.

Tetapi kadang-kadang neuroleptik ‘low potency’ kadang-kadang

digunakan karena dokter menginginkan efek sedasinya. Dengan

mengobati psikosis yang menjadi penyabnya, neuroleptik dapat

memberikan efek yang panjang tehadap agitasi dan prilaku

kekerasannya. Mania akut dapat dengan cepat dan efektif datasi

dengan obat neuroleptik dosis tinggi dapat menyebabkan efek


samping seperti akatisia (tidak dapat duduk dengan tenang).

Generasi kedua atau obat antipsikotik atipikal. Obat ini sekarang

menjadi pilihan yang penting dalam penanganan prilaku kekerasan

pada pasien psikosis. Obat-obat ini mempunyai efek samping yang

lebih rendah dalam efek ekstrapiramidal, akatisia, dan terdive

diskinesia (repetitive, purposeless, involuntary movement), dan obat-

obat ini memiliki efek antipsikotik yang digunakan termasuk

Ziprasidone, Clozapine, Risperidone, dan Olanzapine. Antipsikotik

tidak dianjuran diberikan pada pasien tanpa gangguan psikotik atau

bipolar. Dalam hal ini Lorazepame dan obat sedative non spesifik

lain dapat diberikan. Suatu studi oleh Doskoh tahun 2001

menunjukkan bahwa Clozapine dapat mengurangi prilaku kekerasan

dan pencederaan diri sendiri pada pasien dengan retardasi mental.

e) Medikasi lainnya

Banyak kasus menunjukkan bahwa pemberian Naltrexone

(anatagonis opiate), dapat menurunkan prilaku mencedarai diri.

Beta adrenergic blocker khususnya Propranolol digunakan untuk

mengatasi prilaku kekerasan pada banyak diagnosis termasuk

retardasi mental, autism, syndrome otak posttraumatic, demensia,

Huntington disease, Wilson disease, psikosis postensefalitis,

disfungsi sitem saraf pusat kronik yang ditandai ‘soft neurologic

sign’, EEG abnormal atau epilepsy. Propranolol juga digunakan


sebagai terapi tambahan untuk mengurangi gejala prilaku kekerasan

pada pasien skizofrenia. Masalah utama yang timbul pada

penggunaan propranolol untuk prilaku kekerasan adalah terjadinya

gangguan kardiovaskular yang sering. Beta Blocker yang lain

digunakan untuk terapi prilaku kekerasan adalah Pindolol,

Metoprolol, dan Nadolol.

2) ECT (Elektro Convulsive Thrapy)

Elektro Convulsive Teraphy (ECT) adalah suatu jenis pengobatan

dimana arus listrik digunakan pada otak dengan menggunakan dua

elektroda yang ditempatkan dibagian temporal kepala pelipis kiri

dan kanan). Arus menimbulkan kejang grand mall yag berlangsung

25-30 detik dengan tujuan terapeutik. Respon bangkitan listrik

diotak menyebabkan terjadinya perubahan faal dan biokimia dalam

otak.

b. Keperawatan

a) Terapi lingkungan

Begitu pentingnya bagi perawat untuk mempertimbangkan lingkungan

bagi semua klien ketika mencoba mengurangi atau menghilangkan

agresif. Aktivitas atau kelompok yang direncanakan seperti permainan

kartu, menonton, dan mediskusikan sebuah film, atau diskusi informal

memberikan klien kesempatan untuk membicarakan peristiwa atau isu

ketika klien tenang. Aktivitas juga melibatkan klien dalam proses


terapeutik dan meminimalkan kebosanan. Penjadwalan interaksi satu-

satu dengan klien menunjukkan perhatian perawat yang tulus terhadap

klien dan kesiapan untuk mendengarkan masalah, pikiran serta

perasaan klien. Mengetahui apa yang diharapkan dapat meningkatkan

rasa aman klien (Videbeck, 2001).

b) Terapi kelompok

Pada terapi kelompok, klien berpartisipasi dalam sesi bersama

kelompok individu. Para anggota kelompok bertujuan sama dan

diharapkan member kontribusi kepada kelompok untuk membantu

yang lain dan juga mendapatkan bantuan dari yang lain. Peraturan

kelompok ditetapkan dan harus dipatuhi oleh semua anggota

kelompok. Dengan menjadi anggota kelompok klien dapat,

mempelajari cara baru memandang masalah atatu cara koping atau

menyelesaikan masalah dan juga membantunya mempelajari

ketrampilan intrapersonal yang penting (Videbeck, 2001).

c) Terapi keluarga

Terapi keluarga adalah bentuk terapi kelompok yang mengikutsertakan

klien dan anggota keluarganya. Tujuannya ialah memahami

bagaimana dinamika keluarga mempengaruhi psikopatologi klien,

memobilisasi kekuatan dan sumber fungsional keluarga,

mresrukturisasi gaya prilaku keluarga yang maladaptive, dan


menguatkan prilaku penyelesaian masalah keluarga (Steinglass, 1995

dalam Videbeck, 2001)

d) Terapi individual

Psikoterapi individu adalah metode yang menimbulkan perubahan

individu dengan cara pengkajian perasaan, sikap, cara pikir, dan

prilakunya. Terapi ini memiliki hubungan personal antara ahli terapi

dan klien. Tujuan dari terapi individu yaitu, memahami diri dan

prilaku mereka sendiri, membuat hubungan interpersonal, atau

berusaha lepas dari sakit hati atau ketidakbahagiaan (Videbeck, 2001).

J. Strategi Pertemuan Perilaku Kekerasan


 Strategi pertemuan adalah pelaksanaan standar asuhan keperawatan terjadwal
yang diterapkan pada pasien dan keluarga pasien yang bertujuan untuk
mengurangi masalah keperawatan jiwa yang ditangani (Purba dkk, 2008).
 Tujuan
a. Pasien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
b. Pasien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan
c. Pasien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang pernah
dilakukannya.
d. Pasien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang
dilakukannya
e. Pasien dapat menyebutkan cara mengontrol perilaku kekerasannya.
f. Pasien dapat mengontrol perilaku kekerasannya secara fisik, spiritual,
sosial, dan dengan terapi psikofarmaka.

 Tindakan
1. Bina hubungan saling percaya
 Mengucapkan salam terapeutik
 Berjabat tangan
 Menjelaskan tujuan interaksi
 Membuat kontrak topik, waktu dan tempat setiap kali bertemu
pasien
2. Diskusikan bersama pasien penyebab perilaku kekerasan saat ini
dan yang lalu.
3. Diskusikan perasaan paien jika terjadi penyebab perilaku kekerasan
 Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara fisik
 Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara
psikologis
 Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara sosial
 Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara
spiritual
 Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara
intelektual
4. Diskusikan bersama pasien perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan pada saat marah secara:
 Sosial/verbal
 Terhadap orang lain
 Terhadap diri sendiri
 Terhadap lingkungan
5. Diskusikan bersama pasien akibat perilakunya
6. Diskusikkan bersama pasien cara mengontrol perilaku kekerasan
secara:
 Fisik: pukul kasur dan bantal, tarik napaas dalam
 Obat
 Sosial/verbal: menyatakan secara asertif rasa marahnya
 Spiritual: sholat/berdoa sesuai keyakinan pasien
7. Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara fisik
 Latihan napas dalam dan pukul kasur-bantal
 Susun jadwal latihan napas dalam dan pukul kasur bantal
8. Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara sosial/verbal
 Diskusikan hasil latihan mengontrol perilaku kekerasan secara
fisik
 Latihan mengungkapan rasa marah secara verbal: menolak
dengan baik, meminta dengan baik, mengungkapkan perasaan
dengan baik
 Susun jadwal latihan mengungkapkan marah secara verbal
9. Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara spiritual
 Diskusikan hasil latihan mengontrol perilaku kekerasan secara
fisik dan sosial/verbal
 Latihan sholat dan berdoa
 Buat jadwal latihan sholat/berdoa
10. Latihan mengontrol perilaku kekerasan dengan patuh minum obat:
 Latih pasien minum obat secara teratur dengan prinsip lima
benar (benar nama pasien, benar nama obat, benar cara minum
obat, benar dosis obat) disertai penjelasan guna obat dan
akibat berhenti minum obat.
 Susun jadwal minum obat secara teratur
11. Ikut sertakan pasien dalam TAK stimulasi persepsi untuk
mengendalikan perilaku kekerasan (Keliat & Akemat, 2009).

K. Pembagian Strategi Pertemuan Perilaku Kekerasan


SP 1 pasien: membina hubungan saling percaya, mengidentifikasi
penyebab marah, tanda dan gejala yang dirasakan, perilaku kekerasan yang
dilakukan, akibat, dan cara mengendalikan perilaku kekerasan dengan cara
fisik I (latihan napas dalam).
SP 2 pasien: membantu pasien latihan mengendalikan perilaku kekerasan
dengan cara fisik II (evaluasi latihan napas dalam, latihan mengendalikan
perilaku kekerasan dengan cara fisik II [pukul kasur dan bantal], menyusun
jadwal kegiatan harian cara kedua).
SP 3 pasien: membantu pasien latihan mengendalikan perilaku kekerasan
secara sosial/verbal (evaluasi jadwal kegiatan harian tentang kedua cara
fisik mengendalikan perilaku kekerasan, latihan mengungkapkan rasa
marah secara verbal [menolak dengan baik, meminta dengan baik,
mengungkapkan perasaan dengan baik], susun jadwal latihan
mengungkapkan marah secara verbal).
SP 4 pasien: Bantu pasien latihan mengendalikan perilaku kekerasan secara
spiritual (diskusikan hasil latihan mengendalikan perilaku kekerasan secara
fisik dan sosial/ verbal, latihan beribadah dan berdoa, buat jadwal latihan
ibadah/ berdoa).
SP 5 pasien: Membantu pasien latihan mengendalikan perilaku kekerasan
dengan
obat (bantu pasien minum obat secara teratur dengan prinsip lima benar
[benar nama pasien/ pasien, benar nama obat, benar cara minum obat,
benar waktu minum obat, dan benar dosis obat] disertai penjelasan guna
obat dan akibat berhenti minum obat, susun jadwal minum obat secara
teratur).
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS

1. Pengkajian

1. Identitas

Nama, umur, jenis kelamn, No MR, tanggal masuk, tangal pengkajian

2. Alasan masuk

Biasanya klien masuk dengan alasan sering mengamuk tanpa sebab,

memukul, membanting, mengancam, menyerang orang lain, melukai diri

sendiri, mengganggu lingkungan, bersifat kasar dan pernah mengalami

gangguan jiwa dimasa lalu kambuh karena tidak mau minum obat secara

teratur(Budiana Keliat,2004)

3. Faktor predisposisi

a. Gangguan jiwa dimasa lalu

Biasanya klien pernah mengalami gangguan jiwa pada masa lalu dan

pernah dirawat atau baru pertama kali mengalami gangguan

jiwa(Sunden,1996)

b. Pengobatan sebelumnya

Biasanya klien berobat untuk pertama kalinya kedukun sebagai alternatif

serta memasung dan bila tidak berhasil baru di bawa ke rumah sakit jiwa

c. Trauma
Biasnya klien pernah mengalami atau menyaksikan penganiayaan fisik,

seksual, penolakan, dari lingkungan

d. Herediter

Biasanya ada anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, kalau ada

hubungan dengan keluarga, gejala, pengobatan dan perawatan.

e. Pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan

Biasanya klien pernah mengalami pengalaman masa lalu yang tidak

menyenangkan misalnya, perasaan ditolak, dihina, dianiaya, penolakan

dari llingkungan

4. Fisik

Pengkajian fisik

a. Ukur dan observasi tanda-tanda vital seperti tekanan darah akan

bertambah naik, nadi cepat, suhu, pernapasan terlihat cepat

b. Ukur tinggi badan dan berat badan

c. Yang kita temukan pada klien dengan prilaku kekerasan pada saat

pemeriksaan fisik (mata melotot, pandangan tajam, tangan mengepal,

rahang mengatup, wajah memerah)

d. Verbal (mengancam, mengupat kata-kata kotor, berbicara kasar dan ketus)

5. Psikososial

1. Genogram
Genogram dibuat 3 generasi keatas yang dapat menggambarkan hubungan

klien dengan keluarga. Tiga generasi ini dimaksud jangkauan yang mudah

diingat oleh klien maupun keluarga pada saat pengkajian.

2. Konsep diri

a. Citra tubuh

Biasanya ada anggota tubuh klien yang tidak disukai klien yang

mempengaruhi keadaan klien saat berhubungan dengan orang lain

sehingga klien merasa terhina, diejek dengan kondisinya tersebut.

b. Identitas

Biasanya pada klien dengan prilaku kekerasan tidak puas dengan

pekerjaannya, tidak puas dengan statusnya, baik disekolah, tempat kerja

dan dalam lingkungan tempat ia tinggal

c. Harga diri

Biasanya klien dengan prilaku kekerasan hubungan dengan orang lain

akan terlihat baik, harmonis atau terdapat penolakan atau klien merasa

tidak berharga, dihina, diejek dalam lingkungan keluarga maupun diluar

lingkungan keluarga.

d. Peran diri

Biasanya klien memiliki masalah dengan peran atau tugas yang

diembannya dalam keluarga, kelompok atau masyarakat dan biasanya


klien tidak mampu melaksanakan tugas dan peran tersebut dan merasa

tidak berguna.

e. Ideal diri

Biasanya klien memilki harapan yang tinggi terhadap tubuh, posisi dan

perannya baik dalam keluarga, sekolah, tempat kerja dan masyarakat.

f. Harga diri

Biasanya hubungan klien dengan orang lain tidak baik, penilaian dan

penghargaan terhadap diri dan kehidupannya yang selalu mengarah pada

penghinaan dan penolakan.

3. Hubungan sosial

a. Orang yang berarti

Tempat mengadu, berbicara

b. Peran serta dalam kegiatan kelompok

Kegiatan yang diikuti klien dalam masyarakat dan apakah klien berperan

aktif dalam kelompok tersebut

c. Hambatan dalam berhubungan dengan orang lain/tingkat keterlibatan klien

dalam hubungan masyarakat

4. Spiritual

a. Nilai dan keyakinan

Biasanya klien mengatakan bahwa dia tidak mengalami gangguan jiwa.


b. Kegiatan ibadah

Biasaya dalam selama sakit klien jarang melakukan ibadah.

5. Status mental

a. Penampilan

Biasanya penampilan klien kotor.

b. Pembicaraan

Biasanya pada klien prilaku kekerasan pada saat dilakukan pengkajian

bicara cepat, keras, kasar, nada tinggi dan mudah tersinggung.

c. Aktivitas motorik

Biasanya aktivitas motorik klien dengan prilaku kekerasan akan terlihat

tegang, gelisah, gerakan otot muka berubah-ubah, gemetar, tangan

mengepal, dan rahang dengan kuat.

d. Alam perasaan

Biasanya akan merasa sedih dan menyesali apa yang telah dilakukan

e. Efek

Biasanya klien mudah tersinggung dan sering marah-marah tanpa sebab

f. Interaksi selama wawancara

Biasanya klien dengan prilaku kekerasan akan terlihat bermusuhan,

curiga, tidak kooperatif, tidak mau menatap lawan bicara dan mudah

tersinggung.
g. Persepsi

Biasanya klien dengan prilaku kekerasan masih dapat menjawab

pertanyaan dengan jelas

h. Isi fikir

Biasanya klien meyakini dirinya tidak sakit, dan baik-baik saja

i. Tingkat kesadaran

Biasanya klien prilaku kekerasan kadang tampak bingung,

j. Memori

Biasanya klien diwaktu wawancara dapat mengingat kejadian yang terjadi

dan mengalami gangguan daya ingat jangka panjang.

k. Kemampuan penilaian

Biasanya klien mengalami kemampuan penilaian ringan dan sedang dan

tidak mampu mengambil keputusan

l. Daya fikir diri

Biasanya klien mengingkari penyakit yang dideritanya

6. Kebutuhan persiapan pulang

a. Makan

Biasanya klien tidak mengalami perubahan

b. BAB/BAK
Biasanya klien dengan prilaku kekerasan tidak ada gangguan

c. Mandi

Biasanya klien jarang mandi, tidak menyikat gigi, jarang mencuci rambut

dan bercukur atau berhias. Badan klien sangat bau dan kotor, dan klien

hanya melakukan kebersihan diri jika disuruh.

d. Berpakaian/berhias

Biasanya klien jarang mengganti pakaian, dan tidak mau berdandan. Klien

tidak mampu mengenakan pakaian dengan sesuai dank lien tidak

mengenakan alas kaki

e. Istirahat dan tidur

Biasanya klien tidak melakukan persiapan sebelum tidur, seperti:

menyikat gigi, cucui kaki, berdoa. Dan sesudah tidur seperti: merapikan

tempat tidur, mandi atau cuci muka dan menyikat gigi. Frekuensi tidur

klien berubah-ubah, kadang nyenyak dan kadang gaduh atau tidak tidur.

f. Penggunaan obat

Biasanya klien mengatakan minum obat 3 kali sehari dank klien tidak

mengetahui fungsi obat dan akibat jika putus minum obat.

g. Pemeliharaan kesehatan

Biasanya klien tidak memperhatikan kesehatannya, dan tidak peduli

tentang bagaimana cara yang baik untuk merawat dirinya.


h. Aktifitas didalam rumah

Biasanya klien mampu merencanakan, mengolah, dan menyajikan

makanan, merapikan rumah, mencuci pakaian sendiri dan mengatur biaya

sehari-hari.

7. Mekanisme koping

Biasanya klien menggunakan respon maldaptif yang ditandai dengan tingkah

laku yang tidak terorganisir, marah-marah bila keinginannya tidak terpenuhi,

memukul anggota keluarganya, dan merusak alat-alat rumah tangga.

8. Masalah psikologis dan lingkungan

Biasanya klien merasa ditolak dan mengalami masalah interaksi dengan

linkungan

9. Pengetahuan

Biasanya klien dengan prilaku kekerasan kurang pengetahuan tentang

penyakitnya, dan klien tidak mengetahui akibat dari putus obat dan fungsi dari

obat yang diminumnya.

2. Aspek Medik

Diagnosis medik : Skizoporanoid

Terapi medis : - Clor promanazine

- Haloperidol
3. Diagnosa Keperawatan Yang Muncul

1. Prilaku kekerasan

2. Resiko menciderai diri sendiri, orang lain dan lingkungan

3. Harga diri rendah

Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan pada Perilaku Kekerasan

SP 1 Pasien:
 Membina hubungan saling percaya, identifikasi penyebab perasaan marah,
tanda dan gejala yang dirasakan, perilaku kekerasan yang dilakukan,
akibatnya serta cara mengontrol secara fisik I

Orientasi (Perkenalan):
“Assalamualaikum pak, perkenalkan nama saya A K, panggil saya A, saya perawat yang
dinas di ruangan soka in. Hari ini saya dinas pagi dari pukul 07.00-14.00. Saya yang akan
merawat bapak selama bapak di rumah sakit ini. Nama bapak siapa, senangnya dipanggil
apa?”
“Bagaimana perasaan bapak saat ini?, Masih ada perasaan kesal atau marah?”
“Baiklah kita akan berbincang-bincang sekarang tentang perasaan marah bapak”
“Berapa lama bapak mau kita berbincang-bincang?” Bagaimana kalau 10 menit?
“Dimana enaknya kita duduk untuk berbincang-bincang, pak? Bagaimana kalau di ruang
tamu?”

Kerja:
“Apa yang menyebabkan bapak marah?, Apakah sebelumnya bapak pernah marah?
Terus, penyebabnya apa? Samakah dengan yang sekarang?. Baik.. jadi ada 2 penyebab
marah bapak”
“Pada saat penyebab marah itu ada, seperti bapak pulang ke rumah dan istri belum
menyediakan makanan(misalnya ini penyebab marah klien), apa yang bapak rasakan?”
(tunggu respons klien)
“Apakah bapak merasakan kesal kemudian dada bapak berdebar-debar, mata melotot,
rahang terkatup rapat, dan tangan mengepal?”
“Setelah itu apa yang bapak lakukan? O..iya, jadi bapak memukul istri bapak dan
memecahkan piring, apakah dengan cara ini makanan terhidang? Iya, tentu tidak. Apa
kerugian cara yang bapak lakukan? Betul, istri jadi sakit dan takut, piring-piring pecah.
Menurut bapak adakah cara lain yang lebih baik? Maukah bapak belajar cara
mengungkapkan kemarahan dengan baik tanpa menimbulkan kerugian?”
Ada beberapa cara untuk mengontrol kemarahan, pak. Salah satunya adalah dengan cara
fisik. Jadi melalui kegiatan fisik disalurkanrasa marah.”
”Ada beberapa cara, bagaimana kalau kita belajar satu cara dulu?”
”Begini pak, kalau tanda-tanda marah tadi sudah bapak rasakan maka bapak berdiri, lalu
tarik napas dari hidung, tahan sebentar, lalu keluarkan/tiupu perlahan –lahan melalui mulut
seperti mengeluarkan kemarahan. Ayo coba lagi, tarik dari hidung, bagus.., tahan, dan tiup
melalui mulut. Nah, lakukan 5 kali. Bagus sekali, bapak sudah bisa melakukannya.
Bagaimana perasaannya?”
“Nah, sebaiknya latihan ini bapak lakukan secara rutin, sehingga bila sewaktu-waktu rasa
marah itu muncul bapak sudah terbiasa melakukannya”

Terminasi:
“Bagaimana perasaan bapak setelah berbincang-bincang tentang kemarahan bapak?”
”Iya jadi ada 2 penyebab bapak marah ........ (sebutkan) dan yang bapak rasakan ........
(sebutkan) dan yang bapak lakukan ....... (sebutkan) serta akibatnya ......... (sebutkan)
”Coba selama saya tidak ada, ingat-ingat lagi penyebab marah bapak yang lalu, apa yang
bapak lakukan kalau marah yang belum kita bahas dan jangan lupa latihan napas
dalamnya ya pak. ‘Sekarang kita buat jadual latihannya, berapa kali sehari bapak mau
latihan napas dalam?, jam berapa saja pak?”
”Baik, bagaimana kalau besok saya datang dan kita latihan cara yang lain untuk
mencegah/mengontrol marah. Tempatnya disini saja ya pak, assalamualaikum”

SP 2 klien: Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara fisik ke-2


 Evaluasi latihan nafas dalam
 Latih cara fisik ke-2: pukul kasur dan bantal
 Susun jadwal kegiatan harian cara kedua
Orientasi (Perkenalan):
“Assalamualaikum pak, sesuai dengan janji saya kemarin sekarang saya datang lagi”
“Bagaimana pak, sudah dilakukan latihan tarik napas dalam?, apa yang dirasakan setelah
melakukan latihan secara teratur?”
“Bagaimana perasaan bapak saat ini, adakah hal yang menyebabkan bapak marah?”
“Baik, sekarang kita akan belajar cara mengontrol perasaan marah dengan kegiatan fisik
untuk cara yang kedua”
“Mau berapa lama? Bagaimana kalau 20 menit?”
“Dimana kita bicara?Bagaimana kalau di ruang tamu?”

Kerja:
“Kalau ada yang menyebabkan bapak marah dan muncul perasaan kesal, berdebar-
debar, mata melotot, selain napas dalam bapak dapat melakukan pukul kasur dan bantal”.
“Sekarang mari kita latihan memukul kasur dan bantal. Mana kamar bapak? Jadi kalau
nanti bapak kesal dan ingin marah, langsung ke kamar dan lampiaskan kemarahan
tersebut dengan memukul kasur dan bantal. Nah, coba bapak lakukan, pukul kasur dan
bantal. Ya, bagus sekali bapak melakukannya”.
“Kekesalan lampiaskan ke kasur atau bantal.”
“Nah cara inipun dapat dilakukan secara rutin jika ada perasaan marah. Kemudian jangan
lupa merapikan tempat tidurnya

Terminasi:
“Bagaimana perasaan bapak setelah latihan cara menyalurkan marah tadi?”
“Ada berapa cara yang sudah kita latih, coba bapak sebutkan lagi?Bagus!”
“Mari kita masukkan kedalam jadual kegiatan sehari-hari bapak. Pukul kasur bantal mau
jam berapa? Bagaimana kalau setiap bangun tidur? Baik, jadi jam 05.00 pagi. dan jam
jam 15.00 sore. Lalu kalau ada keinginan marah sewaktu-waktu gunakan kedua cara tadi
ya pak. Sekarang kita buat jadwalnya ya, mau berapa kali sehari bapak latihan memukul
kasur dan bantal serta tarik nafas dalam ini?”
“Besok pagi kita ketemu lagi kita akan latihan cara mengontrol marah dengan belajar
bicara yang baik. Mau jam berapa pak? Baik, jam 10 pagi ya. Sampai jumpa”
SP 1 Keluarga: Memberikan penyuluhan kepada keluarga tentang cara
merawat klien perilaku kekerasan di rumah

1) Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat klien


2) Diskusikan bersama keluarga tentang perilaku kekerasan (penyebab, tanda dan
gejala, perilaku yang muncul dan akibat dari perilaku tersebut)
3) Diskusikan bersama keluarga kondisi-kondisi klien yang perlu segera dilaporkan
kepada perawat, seperti melempar atau memukul benda/orang lain

Orientasi (Perkenalan):
“Assalamualaikum bu, perkenalkan nama saya A K, saya perawat dari ruang Soka ini,
saya yang akan merawat bapak (klien). Nama ibu siapa, senangnya dipanggil apa?”
“Bisa kita berbincang-bincang sekarang tentang masalah yang Ibu hadapi?”
“Berapa lama ibu kita berbincang-bincang? Bagaimana kalau 30 menit?”
“Dimana enaknya kita berbincang-bincang, Bu? Bagaimana kalau di kantor Perawat?”

Kerja:
“Bu, apa masalah yang Ibu hadapi dalam merawat Bapak? Apa yang Ibu lakukan? Baik
Bu, Saya akan coba jelaskan tentang marah Bapak dan hal-hal yang perlu diperhatikan.”
“Bu, marah adalah suatu perasaan yang wajar tapi jika tidak disalurkan dengan benar
akan membahayakan dirinya sendiri, orang lain dan lingkungan.
“Yang menyebabkan suami ibu marah adalah kalau dia merasa direndahkan, keinginan
tidak terpenuhi. Kalau menurut ibu, apa penyebabnya Bu?”
“Kalau nanti wajah suami ibu tampak tegang dan merah, lalu kelihatan gelisah, itu artinya
suami ibu sedang marah, dan biasanya setelah itu ia akan melampiaskannya dengan
membanting-banting perabot rumah tangga atau memukul atau bicara kasar? Bilamana
perubahan akan terjadi? Lalu apa yang biasa dia lakukan?””
“Bila hal tersebut terjadi sebaiknya ibu tetap tenang, bicara lembut tapi tegas, jangan lupa
jaga jarak dan jauhkan benda-benda tajam dari sekitar bapak seperti gelas, pisau.
Jauhkan juga anak-anak kecil dari bapak.”
“Bila bapak masih marah dan ngamuk segera bawa ke puskesmas atau RSJ setelah
sebelumnya diikat dulu (ajarkan caranya pada keluarga). Jangan lupa minta bantuan
orang lain saat mengikat bapak ya bu, lakukan dengan tidak menyakiti bapak dan
dijelaskan alasan mengikat yaitu agar bapak tidak mencedari diri sendiri, orang lain dan
lingkungan”
“Nah bu, ibu sudah lihat khan apa yang saya ajarkan kepada bapak bila tanda-tanda
kemarahan itu muncul. Ibu bisa bantu bapak dengan cara mengingatkan jadual latihan
cara mengontrol marah yang sudah dibuat yaitu secara fisik, verbal, spiritual dan obat
teratur”.
“Kalau bapak bisa melakukan latihannya dengan baik jangan lupa dipuji ya bu”.

Terminasi:
“Bagaimana perasaan ibu setelah kita bercakap-cakap tentang cara merawat bapak?”
“Coba ibu sebutkan lagi cara merawat bapak”
“Setelah ini coba ibu ingatkan jadual yang telah dibuat untuk bapak ya bu”
“Bagaimana kalau kita ketemu 2 hari lagi untuk latihan cara-cara yang telah kita bicarakan
tadi langsung kepada bapak?”
“Tempatnya disini saja lagi ya bu?”

DAFTAR PUSTAKA

Azis R, dkk. 2003. Pedoman asuhan keperawatan jiwa. Semarang : RSJD Dr. Amino
Gondoutomo.
Dalan, Ernawati. 2009. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Jiwa. Edisis 2.
Jakarta : Airlangga

Keliat, B.A dan Akemat. 2012. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa.
Jakarta : EGC.

Maramis. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2. Surabaya: Airlangga


University Press.

Tim Direktorat Keswa, Standar Asuhan Keperawatan Jiwa, Edisi 1, Bandung, RSJP
Bandung, 2000

Yosep, Iyus. 2009. Keperawatan Jiwa. Edisi Revisi. Bandung : Rafika adiatma

Purba, Dkk. 2009. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Jiwa. Edisi Pertama. Jakarta
: EGCS

Stuart, G.W., and Sundenen, S.J. (2007).Buku saku keperawatan jiwa.6 thediton. St.
Louis: Mosby Yeart Book.

Stuart, G.W., and Sundenen, S.J. (2013).Buku saku keperawatan jiwa.6 thediton. St.
Louis: Mosby Yeart Book.

Videbeck, S.L. (2001). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Diterjemahkan oleh


Komalasari, R. dan Hany, A. 2008. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai