Anda di halaman 1dari 6

Perbedaan pengobatan asma dan PPOK

A. ASMA
Pengobatan asma dibagi menjadi pengobatan non farmakologi dan pengobatan
farmakologi.
1. Pengobatan Non Farmakologi
a. Penyuluhan
Ditujukan pada peningkatan pengetahuan pasien tentang penyakit asma, sehingga
pasien dapat menghindari faktor-faktor pencetus serta menggunakan obat secara
benar dan berkonsoltasi pada tim kesehatan.
b. Menghindari faktor pencetus
Pasien perlu dibantu mengidentifikasi pencetus serangan asma yang ada pada
ligkungannya, serta diajarkan cara menghidari dan mengurangi faktor pencetus.
c. Fisioterapi
Fisioterapi dapat digunakan untuk mempermudah pengeluaran mukus. Hal
tersebut dapat dilakukan dengan drainage postural, perkusi, dan fibrasi dada.
2. Pengobatan Farmakologi
a. Agonis beta
Berbentuk aerosol, diberikan 3-4 kali dalam sehari. Salah satu bentuk obat ini
adalah metaproterenol.
b. Metil Xantin
Golongan metil xantin adalah aminophilin dan teoppilin. Obat ini diberika jika
golongan beta agonis tidak memberikan efek pada pasien. Pada orang dewasa
diberikan 125-200 mg empat kali/hari.
c. Kortikosteroid
Kortikosteroid diberikan jika agonis beta dan metil xantin tidak memberikan
respon yang baik. Steroid ini berbentuk aerosol dengan dosis 800 ug dan
diberikan empat kali semprot dalam sehari.
d. Kromolin
Kromolin merupakan obat pencegah asma, yang biasanya diberikan kepada anak-
anak. Dosis yang diberikan berkisar 1-2 kapsul, empat kali dalam sehari.
e. Ketotifen
Ketotifen berefek sama dengan kromolin, dan diberikan dengan dosis 2 x 1 mg
perhari.
f. Ipratropium bromide (Atroven)
Atroven adalah antikolenergik, diberikan dalam bentuk aerosol dan bersifat
bronkodilator.
3. Pengobatan selama serangan asma
a. Infus RL
b. Pemberian oksigen 4 liter/menit melalui nasal kanul
c. Aminophilin bolus 5 mg/kg BB
d. Terbutalin 0,25 mg/6 jam diberikan secara subcutan
e. Dexamatason 10-20 mg/6 jam secara intra vena
f. Antibiotik spektrum luas.

B. PPOK
Pemberian obat-obatan
a. Bronkodilator
Bronkodilator merupakan obat utama untuk mengurangi/mengatasi
obstruksi saluran nafas yang terdapat pada penyakit paru obstruktif. Obat-
obat golongan bronkodilator adalah obat-obat utama untuk manajemen PPOK.
Bronkodilator golongan inhalasi lebih disukai terutama jenis long acting
karena lebih efektif dan nyaman, pilihan obat diantarnya adalah golongan β2
Agonis, Antikolinergik, Teofilin atau kombinasi.
Bronkodilator tergolongkan menjadi beta-agonist (salbutamol 2.5-5
mg; salmeterolatau formoterol diberikan 2x/hari), anti kolinergik (ipatropium
bromide 20 mg atau 40 mg; tiotrotium bromide 18 mg 1x/hari pagi hari)
dan theophyllines 10-20mg/l atau 100-600 per oral). Pemberian bronkodilator
dapat membantu pasien mengurangi sesak serta meningkatkan toleransi
latihan/aktifitas dengan mengurangi air-trapping dan meningkatkan efisiensi
otot pernafasan. Kombinasi dari obat-obat tersebut efektif mengontrol gejala
yang muncul pada pasien. Reaksi merugikan yang dilaporkan meliputi sakit
kepala, insomnia, tremor, hipertensi, aritmia, hiperglikemia, mual dan muntah
(Deglin & Vallerand, 2005).
b. Antikolinergik
Golongan antikolinergik seperti Ipatropium Bromide mempunyai efek
bronkodilator yang lebih baik bila dibandingkan dengan golongan
simpatomimetik. Penambahan antikolenergik pada pasien yang telah
mendapatkan golongan simpatomimetik akan mendapatkan efek
bronkodilator yang lebih besar (Sharma, 2010).
c. Metilxantin
Golongan xantin yaitu teofilin bekerja dengan menghambat enzim
fosfodiesterase yang menginaktifkan siklik AMP. Pemberian kombinasi
xantin dan simpatomimetik memberikan efek sinergis sehinga efek optimal
dapat dicapai dengan dosis masing-masing lebih rendah dan efek samping
juga berkurang. Golongan ini tidak hanya bekerja sebagai bronkodilator
tetapi mempunyai efek yang kuat untuk meningkatkan kontraktilitas
diafragma dan daya tahan terhadap kelelahan otot pada pasien PPOK
(Sharma, 2010).
d. Glukokortikosteroid
Glukokortikosteroid bermanfaat dalam pengelolaan eksaserbasi
PPOK, dengan memperpendek waktu pemulihan, meningkatkan fungsi paru
dan mengurangi hipoksemia. Disamping itu glukokortikosteroid juga dapat
mengurangi risiko kekambuhan yang lebih awal, kegagalan pengobatan dan
memperpendek masa rawat inap di RS (GOLD, 2006).
e. Kortikosteroid
Kortikosteroid inhalasi dipilih pada pasien PPOK dengan
FEV1<60%, pengobatan reguler dengan kortikosteroid inhalasi dapat
mengurangi gejala, meningkatkan fungsi paru dan kualtias hidup dan
menurunkan frekuensi eksaserbasi. Kortikosteroid inhalasi diasosiasikan
dengan peningkatan pneumonia. Penghentian tiba-tiba terapi dengan
kortikosteroid inhalasi bisa menyebabkan eksaserbasi di beberapa pasien.
Terpai monoterm jangka panjang dengan kortikosteroid inhalasi tidak
direkomendasikan. Kortikosteroid inhalasi dikombinasikan dengan beta 2
agonist kerja lama lebih efektif daripada salah satu antara kortikosteroid dan
bronkodilator dalam peningkatan fungsi paru dan mengurangi eksaserbasi
pada pasien dengan PPOK sedang sampai sangat berat. Pengobatan
jangka panjang dengan kortikosteroid oral tidak direkomendasikan.
Barnes, (2000; Burge, 2000) menyatakan bahwa peradangan yang
nampak pada jalan nafas pasien PPOK berbeda dengan peradangan dan
respon terhadap kortikosteroid pada pasien asma. Meskipun belum terdapat
banyak bukti yang menyarankan pemberian kortikosteroid pada PPOK
derajat ringan, namun ada yang menyatakan pemberian kortikosteroid pada
PPOK derajat sedang sampai berat dengan nilai FEV 1kurang dari 50% dapat
mengurangi frekwensi eksaserbasi dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
Mengingat pada pasien dapat mengalami eksaserbasi lebih dari satu kali,
maka pemberian steroid oral atau antibiotik selama periode 12 bulan
sebaiknya diresepkan juga asteroid inhaler dan kombinasi bronkodilator.

f. Obat-obat lainnya
a) Vaksin
Pemberian vaksin influenza dapat mengurangi risiko penyakit
yang parah dan menurunkan angka kematian sekitar 50 %. Vaksin
mengandung virus yang telah dilemahkan lebih efektif diberikan
kepada pasien PPOK lanjut, yang diberikan setiap satu tahun sekali.
Vaksin Pneumokokkal Polisakarida dianjurkan untuk pasien PPOK
usia 65 tahun keatas (GOLD, 2006)
b) Alpha-1 Antitripsin
Alpha 1 Antitripsin direkomendasikan untuk pasien PPOK
dengan usia muda yang mengalami defisiensi enzim Alpha 1
Antitripsin sangat berat. Namum terapi ini sangat mahal dan belum
tersedia disetiap negara (GOLD, 2006).
c) Antibiotik
Pada pasien PPOK infeksi kronis pada saluran nafas biasanya
berasal dari Streptococcus Pneumonia, Haemophilus Influensa dan
Moraxella Catarrhlis. Diperlukan pemeriksaan kultur untuk
mendapatkan antibiotik yang sesuai. Tujuan pemberian antibiotika
adalah untuk mengurangi lama dan beratnya eksaserbasi akut, yang
ditandai oleh peningkatan produksi sputum, dipsnue, demam dan
leukositosis (GOLD, 2006; Sharma, 2010).
d) Mukolitik
Mukolitik diberikan untuk mengurangi produksi dan kekentalan
sputum. Sputum kental pada pasien PPOK terdiri dari derivat
glikoprotein dan derivate lekosit DNA (GOLD, 2006).
Sebagian besar pasien PPOK mengalami batuk kronis dan
memproduksi sputum. Pemberian codeine 15 mg (5 ml) 3-4 x/hari
dapat mengurangi gangguan tidur pada pasien akibat batuk. Mukolitik
semacam carbocysteine dengan dosis 750 mg 3x/hari dan mecysteine
hydrochloride 200 mg 4x/hari adalah obat-obat yang dapat
mengencerkan dan memudahkan pengeluaran sputum. Efek samping
meliputi mual, muntah, stomatitis, diare dan nyeri lambung (Deglin &
Vallerand, 2005)
e) Agen antioksidan
Agen antioksi dan khususnya N-Acetilsistein telah dilaporkan
mengurangi frekuensi eksaserbasi pada pasien PPOK (GOLD, 2006).
f) Imunoregulator
Pada sebuah studi penggunaan imuniregulator pada pasien
PPOK dapat menurunkan angka keparahan dan frekuensi eksaserbasi
(GOLD, 2006).
g) Antitusif
Meskipun batuk merupakan salah satu gejala PPOK yang
merepotkan, tetapi batuk mempunyai peran yang signifikan sebagai
mekanisme protektif. Dengan demikian penggunaan antitusif secara
rutin tidak direkomendasikan pada PPOK stabil (GOLD, 2006).
h) Vasodilator
Berbagai upaya pada hipertensi pulmonal telah dilakukan
diantaraanya mengurangi beban ventrikel kanan, meningkatkan curah
jantung, dan meningkatkan perfusi oksigen jaringan. Hipoksemia
pada PPOK terutama disebabkan oleh ketidakseimbangan antara
ventilasi dan perfusi bukan karena peningkatan shunt intrapulmonari
(seperti pada oedem paru nonkardiogenik) dimana pemberian
oksida nitrat dapat memperburuk keseimbangan ventilasi dan perfusi.
Sehingga oksida nitrat merupakan kontraindikasi pada PPOK stabil
(GOLD, 2006).
i) Narkotin (Morfin)
Morfin secara oral ataupun parenteral efektif untuk mengurangi
dipsnue pada pasien PPOK pada tahap lanjut. Nikotin juga diberikan
sebagai obat antidepresan pada pasien dengan dengan sindrom paska
merokok (GOLD, 2006; Sharma, 2010).

Anda mungkin juga menyukai