Anda di halaman 1dari 2

INISIASI V

Hukum Perkawinan dalam Masyarakat Hukum Adat


A. Hukum Kekeluargaan Adat
          Hukum kekeluargaan adat membahas tentang keturunan dan hubungan hukum seseorang
dengan orang yang terdekat dengannya. Hubungan hukum itu dapat terjadi karena: keturunan,
perkawinan dan adopsi. 
    1. Keturunan.
    Keturunan timbul karena ada hubungan darah antara seseorang dengan orang lain
yang mempunyai akibat hukum. Akibat hukum itu antara satu daerah dengan daerah lain tidak
sama. Tapi meskipun tidak sama, dalam hal ini terdapat satu pandangan yang sama bahwa
keturunan merupakan unsur yang hakiki serta mutlak dalam suatu suku. Oleh karena itu ada
suatu keharusan pada beberapa daerah untuk melakukan adopsi, jika satu keluarga tidak
mempunyai keturunan, untuk mencegah hilangnya suatu suku.
          Dalam keturunan itu, seseorang mempunyai hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum
adat. Dalam sisilsilah yang dibuat nampak dengan jelas garis keturunan: ada yang lurus, lurus
kebawah, lurus keatas, menyimpang dan juga nampak derajat keturunan yang ditandai dengan
kelahiran, yaitu setiap kelahiran menciptakan satu tingkatan derajat.
Kemudian dikenal juga keturunan patrilineal, misalnya di Batak, keturunan matrilineal di
Minangkabau dan juga bilateral seperti di Aceh.
      2. Hubungan Anak Dengan Orang Tuanya.      
Anak kandung memiliki kedudukan yang penting tiap keluarga dalam suatu masyarakat adat.
Anak merupakan penerus generasinya bagi orang tua, dipandang sebagai wadah dimana 
harapan semua orang tuanya kelak dikemudian hari wajib ditumpahkan, juga sebagai pelindung
orang tuanya manakala orang tuanya sudah tidak mampu lagi secara fisik mencari nafkah
sendiri. Oleh karenanya tatkala anak itu masih dalam kandungan hingga ia dilahirkan, juga
dalam pertumbuhan selanjutnya dalam masyarakat adat terdapat banyak upacara adat yang
sifatnya religio-magis dan yang penyelenggaranya berurutan mengikuti pertumbuhan fisik anak
tersebut. Kesemuanya itu bertujuan melindungi anak beserta ibu yang mengandungnya dari
segala bahaya.
      3. Anak Yang Lahir di Luar Perkawinan
Hubungan antara anak dengan orang tua yang melahirkan anaknya di luar perkawinan  setiap
daerah mempunyai pandangan yang berbeda, di Minahasa, Timor, Mentawai sama haknya
dengan anak yang dilahirkan  dalam perkawinan  sah, tetapi di beberapa daerah lain ada
pendapat wajib mencela keras si ibu yang tidak menikah itu dengan anaknya.  Untuk mencegah
nasib si ibu beserta anak- anaknya yang malang ini, orang mengenal lembaga-lembaga yang
bermaksud melepaskan ibu dan anaknya yang malang tersebut dengan cara kawin paksa
dengan orang yang menghamilinya, atau kawin darurat yaitu kawin dengan sembarang pria
( misalnya kepala desa) agar kelahiran bayinya dalam ikatan perkawinan sah.
      4. Anak Yang Lahir Karena Zina      
      Manakala seorang anak selama ikatan perkawinan diturunkan oleh pria lain dari pada yang
telah nikah dengan ibunya maka ayah anak tersebut menurut hukum adat ialah pria, yang nikah
sah dengan ibunya, kecuali jika suami sah ini menyangkal kebapaannya berdasarkan alasan-
alasan yang dapat diterima, hal ini memungkinkan di jawa. Lain halnya di Minahasa dalam hal ini
si ayah biologis juga diakui sebagai ayah yuridis, sepanjang kebapaannya dapat dipastikan.
Dalam hukum adat tidak ada kebiasaan, seperti halnya dalam hukum Islam yang menetapkan
waktu lebih dari 6 bulan setelah nikah sebagai syarat kelahiran anak supaya diakui sebagai anak
yang sah  
      5. Anak Lahir Setelah Perceraian
      Anak yang lahir sesudah perkawinan putus, berayah bekas suami yang melahirkan itu, bila ia
dilahirkan masih dalam batas-batas waktu hamil, maka haknya tidak sama dengan anak yang
dilahirkan dari istri utama.  
      Hubungan anak dengan orang tua (anak dengan bapak, atau anak dengan ibu) ini
menimbulkan akibat-akibat hukum sebagai berikut,
      a. Larangan kawin antara ayah dengan anak perempuannya, antara ibu dengan anak laki-
lakinya disemua wilayah.
      b. Saling berkewajiban untuk dipelihara secara timbal balik, namun pretensi dari kerabat
unilateral dalam hal tertentu dapat mengesampingkan kewajiban dan prestasi dari si ayah atau si
ibu dan
      c. Jika sang ayah ada, maka ia harus bertindak selaku wali dari anak perempuannya pada
upacara akad nikah yang dilakukan secara Islam.

B. Hukum Perkawinan dalam Masyarakat Adat Unilateral


      Perkawinan adalah suatu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat kita,
sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut kedua calon pengantin saja, tetapi juga
menyangkut kedua orang tua, saudara-saudaranya, bahkan keluarga mereka masing-masing. 
      Hazirin dalam bukunya Rejang menyebut peristiwa-peristiwa perkawinan sebagai tiga buah
rentetan perbuatan magis yang bertujuan menjamin ketenangan, kebahagiaan, dan kesuburan.
      Seorang ahli sosiologi Perancis, yaitu A. Van Gennep menamakan semua upacara –
upacara itu sebagai rites de pasage ( upacara-upacara perolehan). Upacara yang
melambangkan peralihan status mempelai yang tadinya hidup terpisah, setelah melalui upacara
tersebut menjadi hidup bersatu sebagai suami istri.
      Perkawinan menurut hukum adat  merupakan suatu persoalan masyarakat, clan, keluarga
dan masyarakat orang banyak dalam masyarakat  hukum adat, Bisa juga merupakan urusan
pribadi, tergantung kepada susunan masyarakat yang bersangkutan. 

Anda mungkin juga menyukai