Anda di halaman 1dari 12

Penelitian

126 Ahmad Ali MD

Mengharmoniskan Hubungan Syiah dan Sunni:


Perspektif Ushul Fikih

Ahmad Ali MD
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Nahdlatul Ulama (STISNU) Nusantara Tangerang
Jl. Perintis Kemerdekaan II Cikokol Kota Tangerang Banten
E-mail: alimd3708@gmail.com
Diterima redaksi tanggal 28 Oktober 2014, diseleksi 4 November 2014, dan direvisi 3 Desember 2014

Abstract Abstrak

The perceived differences between Shiites Perbedaan (ikhtilâf) yang muncul di antara
and Sunnis often causes disharmony in the Syiah dan Sunni acapkali menimbulkan
relationship between the two. The severity disharmonisasi hubungan di antara
of this disharmony is expressed in the form keduanya. Parahnya disharmonisasi itu
of expiation (takfîr) and even violence terekpresikan dalam bentuk pengkafiran
(takfîr) bahkan tindakan anarkis antara satu
between the two groups. Whereas the
dan yang lainnya. Padahal perbedaan di
difference between a man of grace, if not
antara manusia itu merupakan rahmat, jika
motivated and caused by the attitudes and
bukan dimotivasi dan diakibatkan oleh
actions of fanaticism of school or flow (al- sikap dan tindakan fanatisme mazhab atau
ta‘ashshub), and selfishness or lust (ittibâ‘ aliran (al-ta‘ashshub), dan egoisme atau
al-hawâ). To that end, efforts towards the hawa nafsu (ittibâ‘ al-hawâ). Untuk itu,
harmonization of these two major schools upaya menuju ke arah harmonisasi kedua
has become important, and can even be seen mazhab besar tersebut menjadi penting,
as a political and social necessity (darûrah bahkan dipandang sebagai keniscayaan
siyâsiyyah wa-hatmiyyah wâqi‘iyyah). One politis dan kemestian empiris (dharûrah
such harmonization effort is done through siyâsiyyah wa-hatmiyyah wâqi‘iyyah).
usûl al-fiqh. In this context, the concept of Di antara upaya harmonisasi itu adalah
ijtihâd were revitalized and re-actualized dilakukan melalui pendekatan Ushul
in order to be relevant and important. The Fikih. Dalam konteks ini konsep ijtihad
yang direvitalisasi dan direaktualisasikan
application of ijtihâd as a medium for the
menjadi relevan dan sangat penting.
harmonization of Shia and Sunni relations
Aplikasi ijtihad yang dimaksudkan sebagai
must be placed within the framework of
media untuk harmonisasi hubungan Syiah
the tashwîb paradigm and not the takhthî dan Sunni harus ditempatkan dalam
paradigm. kerangka paradigma tashwîb dan bukan
paradigma takhthî’.
Keywords: Shia, Sunni, harmonization,
Ushul Fiqh, ijtihad Kata Kunci: Syiah, Sunni, harmonisasi,
Ushul Fikih, ijtihad

HARMONI September - Desember 2014


Mengharmoniskan Hubungan Syiah dan Sunni: Perspektif Ushul Fikih 127

Pendahuluan seruan hayya ‘alâ khayr al-‘amal yang


dibaca dua kali setelah bacaan hayya ‘alâ
Syiah, pada awalnya berarti al-falâh, dan bacaan asyhadu anna ‘Aliyan
pendukung ‘Alî ibn Abî Thalib r.a. dan waliyyallâh, yang dibaca dua kali setelah
semua ahli baitnya, adalah sebuah syahadat. (Richard, Yann, 1995: 7-8, dan
mazhab dalam Islam yang lebih Mughniyyah, Muhammad Jawwâd,
mengutamakan Ahl al-Bait, yang 2008: 85-88). Perbedaan di antara kedua
kemudian terpecah menjadi banyak mazhab ini tak pelak menimbulkan
kelompok (Amîn, al-Sayyid Muhsin, 1998: problem yang sangat serius karena
Juz I, 19). Penganut Syiah sejak revolusi mengakibatkan saling pengkafiran (takfîr)
Iran (1979), diakui eksistensinya sebagai di antara keduanya, dan berujung pada
Muslim, sebagaimana halnya Ahl al- keretakan di antara mereka, sehingga
Sunnah (Sunni). Terdapat persamaan di keduanya hampir-hampir tidak dapat
antara keduanya, baik dalam hal tauhid bercampur, dan tentu sangat sulit
(syahadat kepada keesaan Tuhan), kitab bersatu. Padahal para ulama terkemuka
suci Alquran, Nabi Muhammad S.A.W., dari berbagai mazhab telah menetapkan
kebangkitan manusia pada Hari Akhir persyaratan yang sangat ketat mengenai
(ma‘âd), kewajiban-kewajiban pokok, takfîr, sebagaimana dikemukakan al-
salat, puasa, zakat, haji dan jihad. Poin- Subkî (w. 756 H.), ibn Hazm (w. 465)
poin utama ini, dipandang oleh Yann dalam al-Fishâl fî al-Ahwâ’ wa-al-Milal
Richard, misalnya, lebih penting daripada wa-al-Nihal, Muhammad Amîn (Ibn
perbedaan di antara keduanya (Richard, ‘Âbidîn, ulama Hanafiyah) dalam Radd
Yann, 1995: 5). al-Mukhtâr, dan Sayyid Rasyid Ridhâ (w.
Sungguhpun demikian, perbedaan 1935) dalam Majalah al-Manâr. al-Subkî,
di antara kedua aliran ini kemudian disebut dalam al-Thabaqât al-Sya‘ranî,
tampak lebih mencolok dan tajam, berfatwa: ”...maka hukum pengkafiran
dalam rinci aspek ajaran Islam: akidah, hanya boleh ditujukan kepada orang
hukum, etika, dan sebagainya, meskipun yang mengingkari dua kalimat syahadat
keduanya berdasar utama pada way of (syahâdatain) dan keluar dari agama
life yang sama, yaitu kitab suci Alquran. Islam secara total....” (al-Mûsawî, ‘Abd al-
Dalam bidang akidah yang esensial (rukun Husain Syaraf al-Dîn, 1967: 28-29).
iman), misalnya, Syiah menambahkan Dalam beberapa kasus,
doktrin keadilan Tuhan dan Imâmah disharmonitas hubungan di antara
(Richard, Yann, 1995: 5-6). Rukun iman keduanya berujung pada anarkisme
(ushûl al-‘aqâ’id) dalam Syiah Imamiyah yang mengakibatkan kematian korban,
ada 5 (lima): al-tauhîd, al-nubuwwah, al-al- sebagaimana menimpa Ahmad al-
imâmah, al-‘adl, dan al-ma‘âd. (al-Ghathâ’, Kasrawî (w. 1946), guru besar di
Muhammad al-Husain al-Kâsyif, 1993: Universitas Tehran (al-Kasrawî, Ahmad,
64-79). Berkaitan dengan imâmah, yang 2010: 6). Di Indonesia, pengkafiran
menjadi titik perbedaan antara Syiah dan terhadap Syiah, misalnya dilakukan
Sunni berkisar pada tiga poin penting, oleh Persatuan Serikat Islam (Persis)
yaitu: keharusan pengangkatan imam dengan fatwanya, Lembaga Penelitian
dari sisi Allah SWT, keharusan seorang dan Pengkajian Islam (LPPI) dan Al-
imam memiliki kemaksuman, dan Irsyad, sebagaimana dalam Seminar
keharusan seorang imam memiliki ilmu tahun 1997. Konsekuensi dan implikasi
ladunni dari Allah. Dalam bidang ibadah, hukum selanjutnya sangat dahsyat yang
seperti azan shalat, dalam praktiknya di muncul dari pengkafiran tersebut adalah
masjid-masjid terdapat persamaan di halal hukumnya darah orang Syiah dan
antara Syiah dan Sunni, kecuali dalam bahkan muncul tindakan anarkis. Fatwa

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3


128 Ahmad Ali MD

semacam ini jauh sebelumnya pernah Syiah adalah sah. (Amîr Bâdasyâh,
dikemukakan oleh Syaikh Nûh al-Hanafî Muhammad Amîn al-Ma‘rûf bi, t.t.: Juz
dalam kitabnya, al-Fatâwâ al-Hamîdiyyah. III: 242).
Fatwa Persis berisi: 1) Syiah adalah kafir
dan menumpahkan darahnya lebih Dalam hal ini, tentu konsep
halal daripada membuang khamer; 2) ijtihad signifikan dikaji secara
Syiah Itsnâ ‘Asyariyyah adalah kafir dan mendalam dengan menggunakan
menetapkan darahnya halal (dibunuh); analisis filosofis/perspektif Ushul Fikih.
3) Syiah tidak termasuk golongan Islam, Dengan demikian, pembahasan ini
sebagaimana Yahudi dan Nasrani; tidak bertujuan untuk mengelaborasi upaya
boleh disalatkan jenazahnya, pendusta, mengharmonisasikan hubungan (taqrîb
kafir, bodoh, dan dungu keterlaluan, al-syiqqah) di antara kedua mazhab
tidak sah bermakmum salat pada mereka, besar tersebut. Untuk tujuan tersebut,
bukan muslim, bohong dan kafir; 4) pembahasan ini menggunakan teori
Dijejali dengan tumpukan kebatilan, reaktualisasi ijtihad. Teori ini menyatakan
kepicikan, khurafat, caci maki dan bahwa penafsiran ajaran Islam yang
kebohongan, dan menamakan tumpukan masih dominan sekarang ini berasal
sampah busuk itu dengan ”Rujukan dari upaya mengadaptasikan ajaran
Agama”. (Hashem, O., 2011: 107-108). tersebut ke dalam situasi masa lampau,
Bahkan dalam kasus tertentu muncul yang dipandang terlalu dipengaruhi
tuntutan Pemuda Persis Kota Bandung oleh proses perkembangan historis dan
dan Badan Otonom di Bandung, pada kultural, sehingga beban-beban sejarah
tahun 2012 yang menuntut pelarangan dan budaya itu dilepas guna diberi
Syiah, karena dinilai bertentangan dengan alternatif-alternatif baru yang diharapkan
Surat Edaran Departemen Agama Nomor lebih responsif, kontekstual, dan selaras
D/BA.01/4865/1983, tanggal 5 Desember dengan kebutuhan manusia, seiring
1983 perihal ”Hal Ikhwal Mengenai dengan perkembangan zaman (Yusdani,
Golongan Syiah”, dan menyimpang dari 2000: 2).
ajaran/prinsip Islam (http://www.voa-
islam.com).
Faktor Penyebab Keretakan Hubungan
Mencermati problematika di atas, Syiah dan Sunni
artikel ini akan menjawab masalah pokok
bagaimana mengharmonisasikan mazhab Menurut ‘Abd al-Husain Syaraf
Syiah dan Sunni melalui pendekatan al-Dîn al-Mûsawî (1290-1957), seorang
ushul fikih? Kajian kritis mengenai tokoh Syiah, tafsir kelompok Sunni tidak
perspektif ushul fikih kedua mazhab bersedia merujuk kepada penafsiran Ahl
penting dilakukan karena perbedaan al-Bait, jikapun ada jumlahnya jauh lebih
perspektif keduanya berimplikasi luas sedikit daripada penafsiran yang berasal
dan tajam dalam hukum. Taqî al-Hakîm dari Muqâtil ibn Sulaimân, seorang
mengatakan: ”perbedaan yang terjadi penganut aliran tajsîm (mematerialkan
dalam ranah ushul fikih (al-kubriyyât) Tuhan). Dalam bidang periwayatan hadits,
lebih besar implikasi, pengaruh atau tokoh-tokoh dari kelompok Ahl al-Bait
akibatnya dibandingkan perbedaan yang yang dijadikan hujjah jauh lebih sedikit
terjadi dalam ranah fikih (sughriyyât).” daripada yang berasal dari kelompok
Contohnya: ijma’ yang hanya dilakukan Khawarij, Musyabbihah/Mujassimah,
oleh Ahl al-Bait (‘Ali, Fatimah, al- Murji‘ah, dan Qadariyah. Menurutnya,
Hasan dan al-Husain) dan tidak ada al-Bukhârî tidak bersedia untuk berhujjah
persepakatan dari selain mereka menurut dengan para imam Ahl al-Bait al-Nabawî.
Sunni tidaklah sah, sebaliknya menurut (al-Mûsawî, 171). Sebaliknya, pandangan

HARMONI September - Desember 2014


Mengharmoniskan Hubungan Syiah dan Sunni: Perspektif Ushul Fikih 129

yang mendeskriditkan kelompok Ahl al- problem hukum. Sungguhpun kedua


Bait misalnya dikemukakan Ibn Khaldûn. mazhab ini sama-sama menjadikan
Ia menyatakan keanehan Syiah, yang empat sumber utama hukum Islam,
tampak dalam dasar-dasar pijakannya yaitu Alquran, Sunnah, Ijmak, dan Akal/
yang sangat lemah. Ia berkata: ”…Ahl Qiyas (keempat sumber ini selain Akal,
al-Bait telah bersikap ’ganjil’ (syâdz) disepakati oleh empat mazhab sunni),
menyendiri dengan pelbagai mazhab namun terjadi perbedaan yang tajam
yang mereka ciptakan. Demikian pula dalam artikulasi dan aplikasinya. Sebagai
fikih yang hanya khusus bagi mereka, bukti, artikulasi Sunnah dapat dilihat dari
dan dibangun atas dasar pendapat definisi yang dibuat oleh kedua mazhab
mereka dalam hal mengecam sebagian tersebut. Sunnah, oleh Fukaha Syiah (al-
dari para Sahabat. Juga berdasarkan Imâmiyyah) diartikan sebagai perkataan
pendapat mereka tentang adanya seorang yang ma‘shûm, perbuatan dan
‘ishmah (penjagaan dari segala dosa dan penetapannya (taqrîr) (al-Muzhaffar,
kesalahan) bagi para imam serta tidak Muhammad Ridhâ, 1421: 53); sementara
diperkenankan ada pendapat lain yang oleh Sunni diartikan sebagai perkataan
berlawanan dengan mereka. Semuanya itu Nabi, perbuatan, dan penetapannya
merupakan dasar-dasar yang amat lemah (taqrîr). Penggunaan redaksi al-ma‘shûm
(ushûl wâhiyyah).” ”...Setiap kelompok menunjukkan bukan hanya Nabi s.a.w.
dari mereka (yakni Syiah dan Khawârij) tetapi juga para imam Itsnâ ‘Ashariyah
mempunyai buku-buku dan pikiran- dari golongan Ahl al-Bait. Dalam konteks
pikiran aneh dalam bidang fikih....” (ibn ‘ishmah/al-ma‘shûm ini, ulama besar Syiah
Khaldûn, ‘Abd al-Rahmân, 2005: 364). al-Sayyid Ja‘far Murtadâ al-‘Âmilî berkata:
Sementara faktor yang menyebabkan ”Lâ ma‘shûma illâ al-anbiyâ’, tsumma al-
kelompok Sunni menjadi terganggu a’immah al-itsnâ ‘asyara ‘alaihim al-salâm,
adalah masalah pencercaan terhadap wa-kullu man ‘adâhum yajûzu ‘alaihi
para Sahabat Nabi, yang masalahnya al-khathâ’, wa-al-sahwu, wa-al-nisyânu
bersumber pada sekelompok kaum ghulat wa-ghairuh, wa-lâ yashihhu qauluhum:
(ekstrimis) yang seringkali dimaksud
Inna al-ummah ma‘shûmah, fadhlan ‘an
ketika predikat ”Syiah” disebutkan.
‘ishmati ayyin kâna min al-nâs.” (al-‘Âmilî,
Kelompok ini misalnya al-Kâmiliyyah,
Ja‘far Murtadhâ, 2007: 282). Istilah
yakni para pengikut Abû al-Kâmil, yang
Sunnah dalam definisi Syiah ini lebih
menganggap para sahabat menjadi
luas cakupannya dibandingkan istilah
kafir karena tidak berbaiat kepada ‘Alî,
Sunnah dalam definisi Sunni. Perluasan
dan ia pun menjadi kafir karena tidak
arti Sunnah ini didasarkan pada alasan
memerangi para sahabat itu, padahal
bahwa perkataan seorang ma‘shûm dari
wajib memerangi mereka sebagaimana
keluarga Nabi (‘Ahl al-Bait) menempati
para pemberontak Shiffîn yang membenci
posisi sabda Nabi dari segi eksistensinya
seluruh sahabat dan mencerca seluruh
sebagai hujjah bagi manusia yang wajib
kalangan salaf. (Abû al-Khair, 2005: Juz I,
diikuti. Atas dasar ini, penjelasan mereka
156).
tentang hukum bukan sebagai bentuk
riwayat dan pengabaran hadits, juga
tidak termasuk ijtihad dalam pendapat
Ushul Fikih Syiah dan Sunni
dan istinbâth dari sumber-sumber syariat,
Perbedaan dalam aspek hukum tetapi mereka sendiri adalah sebagai
di antara kedua mazhab besar ini sumber syariat. Jadi perkataan mereka
diakibatkan oleh perbedaan konsep adalah hadits, bukan berita tentang hadits
Ushul Fikih tentang artikulasi ijtihad (al-Muzhaffar, Muhammad Ridhâ, 1421:
dan aplikasinya dalam menjawab 53-54, Ali MD, Ahmad, 2012: 229-230).

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3


130 Ahmad Ali MD

Ijma’ oleh Syiah dipandang sebagai qath‘i maka dapat dijadikan hujah;
salah satu dari dalil-dalil hukum syar’i, sementara jika prosedurnya tidak pasti
namun hanya dari segi bentuk dan maka ia bukan dalil hukum. (al-Hakîm,
penamaan semata (min nâhiyyah syakliyyah Muhammad Taqî, 1427: 342-343). Namun
wa- ismiyyah faqath), karena mereka tidak pada dasarnya ulama Syiah menjadikan
menjadikannya sebagai dalil yang mandiri qiyas sebagai hujah hukum dengan istilah
(dalîlan mustaqillan) selain al-Kitâb dan al- yang berbeda, yaitu merupakan bagian
Sunnah, akan tetapi dijadikan sebagai dalil dari al-zhawâhir dan dibatasi pada jenis
apabila menyingkapkan (menyampaikan) qiyas yang disebutkan ‘illatnya (manshûsh
Sunnah, yakni mengungkapkan perkataan al-‘illah) dan qiyâs al-aulawiyyah. Oleh
al-ma‘shûm. Konsekuensinya bagi mereka, sebagian ulama Syiah, seperti al-Hullî,
kedua jenis qiyas yang dapat digunakan
kehujahan dan kema’suman (al-hujjiyyah
sebagai hujah hukum itu dipandang
wa-al-‘ishmah) itu bukanlah bagi ijmâ‘,
sebagai bentuk perkecualian dari
namun kehujahan itu hakikatnya adalah
pengertian qiyas definitif (istisnâ’an min
perkataan orang ma‘shûm yang dijelaskan
al-qiyâs), yakni perkecualian dari qiyâs
oleh ijmâ‘ (al-Muzhaffar, Muhammad
al-bâthil (tidak sah). Dengan demikian, al-
Ridhâ, 1421: Juz III, 82, Majma‘ Fiqh zhawâir/qiyâs semacam ini bukanlah dalil
Ahl al-Bayt, Lajnat Ta’lîf al-Qawâ‘id al- mandiri, tetapi bagian dari dalil al-‘aql,
Fiqhiyyah wa al-Ushûliyyah, t.t.: 367). sebab al-‘aql menetapkan adanya sesuatu
Adapun akal (al-‘aql) oleh Syiah ketika ada ‘illahnya. (al-Muzhaffar,
kelompok Ushûliyyûn dijadikan sebagai Muhammad Ridhâ, 1421: Juz III, 160).
dalil atau sumber hukum syar‘i, jika Artikulasi dan aplikasi sumber
tidak terdapat dalil dari Alquran, hukum yang berbeda di antara kedua
Sunnah dan Ijma’, yang merupakan mazhab di atas, tampaknya terkait dengan
hukum yang berdiri sendiri. Sebagai faktor akidah masing-masing. Dalam
contohnya adalah hukum tentang mazhab Syiah sendiri terdapat perbedaan
wajibnya menolak mudarat, mustahil mengenai al-‘aql (akal) sebagai sumber
menganggap kuat suatu pendapat hukum dalam perkara syar’i (dalil).
tanpa dalil yang menguatkannya, dan Jika mazhab Syiah Imamiyah aliran
buruknya menjatuhkan siksa tanpa ada Ushûliyyûn menempatkan akal sebagai
penjelasan (al-Subhânî, Ja‘far, dkk., 1415: dalil keempat setelah Alquran, Sunnah,
5-13). Sumber hukum yang keempat dan Ijma’, maka Syiah Ikhbâriyyûn
mencakup al-mashâlih al-mursalah, sadd menolak akal sebagai dalil hukum dan
al-dzarâ’i‘ wa-fathihâ, dan istishhâb (al- mencukupkan dengan riwayat dari para
Hakîm, Muhammad Taqî, 1427: 365-460). imam dalam empat kitab hadits mereka.
Meski demikian, dalam Syiah, metode- Empat kitab hadits (al-Kutub al-Arba‘ah)
metode ijtihad tersebut bukan dipandang ini dijadikan pegangan (sumber) pokok
sebagai dalil yang mandiri, tetapi oleh mazhab Syiah--meskipun terdapat
beragam penilaian terhadapnya: 1) al-
merupakan dalil akal. Demikian juga
Kâfî karya Hujjat al-Islâm Abû Ja‘far
qiyas tidak dimaknai dalam pengertian
Muhammad ibn Ya‘qûb al-Kulainî (w.
qiyas definitif sebagai hujah hukum (al-
328/329 H.), memuat 15.339 riwayat; 2)
Muzhaffar, 1421: Juz III, 160). Kehujahan
Man Lâ Yahdhuruhu al-Faqîh karya Abû
qiyas juga diragukan Taqiyy al-Hakîm
Ja‘far Muhammad ibn ‘Alî ibn Mûsâ ibn
(ulama Syiah kontemporer), sehingga Bâbawaih al-Qarnî al-Qummî (Syaikh
tidak ditetapkan sebagai hujah hukum, al-Shaduq, 320-381 H.), memuat 5.963
karena qiyas berbeda menurut perbedaan hadis; 3) Tahdzîb al-Ahkâm (memuat 13.590
jalan dan prosedurnya. Jika prosedurnya riwayat) dan 4) al-Istibshâr fî Mâ Ikhtalafa

HARMONI September - Desember 2014


Mengharmoniskan Hubungan Syiah dan Sunni: Perspektif Ushul Fikih 131

min al-Akhbâr, keduanya karya Abû Ja‘far ‘âmm) (al-Taskhîrî, Muhammad ‘Alî, 2001:
Muhammad ibn Hasan al-Thûs (Syaikh al- -57).
Thâ’ifah, 385-460). Kitab al-Istibshâr hanya
dikhususkan pada riwayat-riwayat yang Signifikansi ijtihad itu tampak
kontradiktif, dan dipertemukan oleh al- dari suatu fakta yang menunjukkan
Thûsî. Empat kitab ini telah dihimpun bahwa sungguhpun syariat Islam telah
dalam ‘Alî Akbar al-Ghifârî, ed., al-Kutub jelas, namun tidak ada syariat Islam
al-Arba‘ah (Qum: Anshâriyyân, 2005), yang tunggal, demikian juga tidak ada
dan ditetapkan sebagai sumber awal, metode ushul fikih yang tunggal, sebab
meski sebelumnya telah ada kitab hadis terdapat perbedaan yang besar dalam
yang lain. Kitab Wasâ’il al-Syî‘ah karya sistem penggalian hukum di antara
Muhammad ibn al-Hasan ibn al-Hurr al- berbagai mazhab, khususnya Sunni dan
‘Âmilî (w. 1104/1693) adalah kitab hadis Syiah. Penerapan dan kodifikasi hukum
periode belakangan yang paling populer Islam, sebagai hasil interpretasi ulama,
(Lalani, Arzina R. 2004: 16, dan Ma‘ârif, begitu komplek. Dalam sejarah, terjadi
Majîd, 2012: 454-500). perdebatan seputar syariat Islam, dan
penyelidikan terhadap perdebatan itu
Dari uraian mengenai sumber/dalil memberikan pemahaman yang lebih baik
hukum terutama: Alquran, Sunnah, Ijma’, mengenai keragaman hukum ini. Menurut
tampak jelas adanya pengaruh yang kuat Laporte, perbedaan utama dalam metode-
dari konsep akidah Syiah mengenai metode ushul fikih Syiah dan Sunni
imâmah terhadap konsep kaidah acapkali adalah perbedaan istilah dan
ushûliyyah dan metode ijtihad. Sedangkan bukan perbedaan pelaksanaannya di
untuk dalil al-‘aql, tidak tampak jelas lapangan. Pencermatan berbagai kitab
adanya pengaruh konsep imâmah kecuali perspektif Abu Hanifah, Malik atau
pada sekte Syiah Ikhbâriyyûn, yang Syafi’i, menunjukkan bahwa Istihsân
menolak dalil akal, karena menganggap dimaksudkan sebagai sumber/dalil
cukup dengan riwayat dari para imam hukum yang mandiri dari qiyas. Ulama
mereka, sehingga setelah masa para Sunni menggunakan metode interpretasi
imam itu berlalu, mereka pun melarang terhadap sumber-sumber hukum, seperti
ijtihad dan melarang untuk merujuk istihsân dan ishtishlâh, karena dipandang
ilmu ushul fikih dan membukukannya. lebih kreatif dan subjektif sebab ada
Sebagai akibat penolakan terhadap ijtihad keterbatasan sumber-sumber haditsnya;
itu, pemahaman Ikhbâriyyûn terhadap sementara ulama Syiah menggunakan
Sunnah Nabi dan tradisi para imam ijtihad dengan mudah, karena banyak
menjadi cenderung tekstual. Sedangkan koleksi haditsnya. (Laporte, Laurence
pemahaman mereka terhadap Alquran Deschamps-, 2010: 9-10).
tergantung kepada penafsiran para
imam. Syaikh Muhammad ‘Alî al-Taskhîrî Perbedaan artikulasi ijtihad antara
menyebutkan sejumlah ulama Syiah yang Sunni dan Syiah lebih lanjut terletak pada
menolak ijtihad antara lain, al-Murtadhâ, masalah tipe Ijtihâd bi-al-ra‘y. Keabsahan
al-Thûsî, dan al-Hullî, tetapi dalam Ijtihâd bi-al-ra‘y diterima oleh Sunni,
pandangan al-Shadr (w. 676 H.), Syiah akan tetapi ditolak oleh Syiah. Bagi Syiah
Imamiyah merupakan mazhab yang penolakan terhadap Ijtihâd bi al-ra‘y
menerapkan ijtihad, meskipun dalam didasarkan pada argumen utama yang
pengertian ijtihad yang tidak mencakup menegaskan bahwa prinsip-prinsip dan
qiyas. Ringkasnya, ulama Syiah Imamiyah petunjuk umum telah diberikan dalam
yang menggunakan ijtihad menerapkan Alquran dan al-Sunnah dan dipandang
aktivitas ijtihad dalam makna yang cukup untuk menjawab pelbagai
umum (‘amaliyyat al-ijtihâd bi-ma‘nâhâ al- problematika hukum. Menurut Syiah,

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3


132 Ahmad Ali MD

ijtihad yang dilakukan oleh mujtahid- dalam masalah ijtihad yang tampak
mujtahid tidaklah benar seluruhnya. Oleh terjadi perbedaan di antara keduanya.
karena itu tidak ada kepastian dalam
ijtihad mereka, karena pada dasarnya Argumentasi yang dapat
digunakan untuk menunjukkan
yang benar hanyalah satu, sementara
pentingnya harmonisasi hubungan
yang lain tidaklah benar (prinsip takhthî’).
Syiah dan Sunni melalui reartikulasi
Padahal tidak diketahui mana yang benar
dan reaktualisasi konsep ijtihad, karena
di antara ijtihad mereka itu. Dengan
ia mempunyai peran yang sangat
demikian, prinsip tashwîb (pembenaran signifikan bagi masyarakat, baik Syiah
terhadap berbagai ijtihad yang dilakukan) maupun Sunni. Signifikansi ijtihad dalam
berada dalam kerangka teori ijtihad mazhab Syiah, sebagaimana dijelaskan
yang didefinisikan sebagai pelaksanaan oleh Hamid Mavani, tampak secara jelas
qiyas dan ra‘yu. Dalam konteks inilah dalam hubungannya dengan otoritas dan
mayoritas Sunni berpegang pada prinsip peran imam yang secara tidak langsung
tashwîb, sementara Syiah dan sebagian dilakukan oleh para juris (fukaha), yang
ulama Sunni berpegang pada prinsip dipandang sebagai suatu keharusan
takhthî’. (Namazi, Mohammad, 2009: 71- untuk menghindarkan perpecahan.
78). Pelbagai persoalan yang muncul ditangani
oleh para juris melalui ijtihad sehingga
hasil ijtihad itu menjadi petunjuk bagi
Reaktualisasi Ijtihad masyarakat luas. Berdasarkan uraian di
atas, Abû Mujtabâ, sebagaimana dikutip
Perbedaan artikulasi dan aplikasi al-Mûsawî, menyatakan bahwa terdapat
ijtihad antara Syiah dan Sunni di atas titik temu tentang urgensi ijtihad,
menjadi penting untuk dipertemukan terutama pada era modern ini, bahkan
dalam kerangka taqrîb al-shiqqah. Dalam merupakan suatu kewajiban, karena
upaya untuk mendekatkan Syiah dan dengannya hukum syar’i dapat dipahami
Sunni, harmonisasi hubungan di antara dan kewajiban mukallaf dapat dijelaskan
keduanya mutlak dilakukan. Dalam dengan rinci. (al-Mûsawî, Syaraf al-Dîn,
kerangka inilah, harmonisasi tersebut 2008: 18-19, dan http://www.al-islam.org).
dapat dilakukan melalui reartikulasi dan Sungguhpun demikian, institusi ijtihad
reaktualisasi ijtihad. Black’s Law Dictionary ternyata belum dimaksimalkan untuk
menyebutkan: harmony, harmonize menjawab persoalan seperti kesetaraan
berarti agreement or accord; conformity. jender, hak-hak minoritas, kebebasan
Harmonization berarti penyerasian, hal agama dan keyakinan, pluralisme
membuat terpadu, tawâfuq, talâzum. beragama, legalitas bunga bank, etika
Bentuk verbnya harmonize berarti biomedis dan etika lingkungan. (Mavani,
menyesuaikan, menserasikan, lâ’ama, Hamid, 2009: 335).
wafaqa. Dalam Kamus Inggris Indonesia
Arab, harmony diartikan sebagai Dalam konteks inilah, reartikulasi
keserasian, keselarasan nada, talâ’ama, dan reaktualisasi ijtihad tampak dalam
tawâfuq al-anghâm. Harmony of interest, pendekatan yang digunakan Âyatullâh
keserasian kepentingan insijâm al- Shâni‘î (1316/1937). Karakteristik
mashâlih. Harmony of opinion, keserasian pendekatannya, yang terkait dengan
pendapat (insijâm al-ârâ’). (Garner, Bryan Âyatullâh Shâdiqî, sebagaimana
A. Ed., 2004: 734, Ali, Attabik, 2003: dijelaskan oleh Mavani dengan mengutip
581). Jadi, harmonisasi berarti upaya pandangan Muhammad I. Jannati dan
menyerasikan atau memadukan dalam Fadhlullâh, adalah memposisikan
konteks ini hubungan Syiah dan Sunni Alquran sebagai sumber tekstual yang
utama dan mendasar (the primary and

HARMONI September - Desember 2014


Mengharmoniskan Hubungan Syiah dan Sunni: Perspektif Ushul Fikih 133

the foundational textual source) dalam subordinasi perempuan terhadap laki-


merumuskan pendapat hukum yang laki. Keadilan jender menghendaki
baru, dengan memerankan akal untuk agar perempuan dapat menggunakan
menemukan rasionalitas dan hikmah (the kemampuannya dalam berbagai bidang,
rationale and the wisdom; ‘illah) di balik tanpa ada diskriminasi jender dalam
perintah wahyu dan menempatkannya membuat pilihan atau dihalang-halangi
pada konteks masa dan ruang yang dan diberi sanksi (Jamail A. Kamlian,
dihubungkan dengan keputusan tertentu 2006: 56). Ketidakadilan jender bukan
yang akan diundang-undangkan. pula sekedar menafikan sesuatu yang
Menurut mereka, ada kecenderungan mengekang atau menindas perempuan,
mengabaikan ruh atau spirit (ethos) tetapi juga merendahkan dan tidak
Alquran, yaitu kesetaraan, dan etika memanusiakan kaum Muslimin yang
keadilan, serta penghargaan pada terlibat dalam sistem ketidakadilan jender
martabat manusia (human dignity) sebagai (Omid Safi, ed. 2003, 10-11).
khalifatullah. Kritik ini terkait dengan isu-
isu seperti murtad, status non-Muslim, Revitalisasi dan reaktualisasi
keadilan jender (gender justice) yang ijtihad dalam perumusan hukum dari
berlawanan dengan etos Qur’ani namun sumber tekstual itu dilakukan dengan
telah diberikan hukum yang utamanya memperhatikan tiga prinsip umum
didasarkan pada basis hadits, ijma’, dan menurut Shâni‘î, sebagaimana dijelaskan
metode Usul Fikih. Hamid Mavani, yaitu mengedepankan
kemudahan (QS. Al-Baqarah [2]: 185),
Terhadap masalah-masalah terse- perlu penyesuaian agar sejalan dengan
but, seorang ahli hukum dituntut keadilan, dan ada alternatif moderat
menguasai sumber-sumber jurisprudensi dalam pelaksanaan hukum agar tidak
Islam, ayat-ayat Quran dan hadis-hadis terlalu ekstrim. (Hamid Mavani, 2009:
hukum secara rinci. Menurut Shâni‘î, 340-341). Revitalisasi dan reaktualisasi
hukum Islam harus serasi (harmonious) ijtihad dapat diimplementasikan ke
dan sejalan (compatible) dengan konteks dalam beberapa bidang, seperti warisan.
dan kondisi kekinian. Terdapat kritik Dalam bidang warisan diwujudkan dalam
terhadap ijma’ tentang hak-hak wanita, bentuk pemberian bagian waris ahli waris
status non-Muslim, hukum waris dan perempuan setara dengan bagian warisan
kesaksian. (Hamid Mavani, 2009: 340). ahli waris laki-laki melalui reinterpretasi
Kritik ini mengarah pada revitalisasi makna adil, juga bagian ahli waris non
dan reaktualisasi ijtihad terhadap Muslim melalui wasiyat wajibah. Hal ini
interpretasi ajaran Islam yang bias sejalan dengan perkembangan realitas
patriarkis, umumnya berupa mitos- sosial dan hak asasi manusia (HAM).
mistos yang berdampak ketidakadilan Dalam fikih klasik/konvensional baik fikih
jender, seperti mitos laki-laki penguasa Syiah maupun fikih Sunni, ditetapkan
perempuan. Penafsiran yang bias pembagian yang tidak berimbang bagi
partiarki ini ditentang oleh feminisme ahli waris perempuan, dan ahli waris non
Islam (islamic feminism), dengan Muslim tidak mendapatkan hak waris.
melakukan reinterpretasi terhadap Dengan kerangka pikir reaktualisasi
sumber-sumber Islam tradisional dan ijtihad di atas diperoleh hasil ijtihad yang
ijtihad untuk menggali interpretasi sama di antara Syiah dan Sunni atau
yang pro perempuan, bebas patriarki/ pandangan yang sama, yaitu paradigma
berkeadilan jender (Altamirano, Eréndira tashwîb dalam masalah tersebut.
Cervantes-, 2010: 19). Keadilan jender
berarti akhir dari ketidaksetaraan antara Contoh lain adalah bidang
laki-laki dan perempuan yang berakibat perkawinan yang diskriminatif.
Menurut Syiah, perempuan dalam
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3
134 Ahmad Ali MD

mazhab ini tidak boleh nikah mut‘ah Penutup


dengan kelompok di luar mereka
yang menampakkan permusuhan, Berdasarkan analisis di atas
seperti al-Nawâshib dan Khawârij (al- diperoleh kesimpulan bahwa upaya
Hullî, Ibn al-Muthahhir, 1421: 522). mengharmonisasikan hubungan Syiah
Melalui reaktualisasi ijtihad, diperoleh dan Sunni yang dilakukan melalui
pemahaman bahwa sungguhpun terdapat pendekatan Ushul Fikih adalah dengan
perbedaan pandangan keagamaan di mengedepankan reaktualisasi ijtihad.
antara Syiah dan Sunni/al-Nawâshib itu, Disadari bahwa Syiah dan Sunni
di antara mereka dapat melangsungkan menempatkan kedudukan ijtihad
nikah mut‘ah/nikah temporer dengan sebagai institusi yang penting dalam
memenuhi kriteria-kriteria spesifik, tetapi merumuskan ketentuan hukum,
bukan karena perbedaan mazhab/aliran meskipun terdapat perbedaan artikulasi
tersebut. Justru hal ini lebih dibolehkan dalam tataran teoritis atau praksisnya.
dalam rangka untuk persatuan umat Untuk itu, aplikasi ijtihad sebagai media
Islam. Demikian pula perkawinan biasa untuk harmonisasi hubungan Syiah dan
di antara kedua mazhab ini menjadi Sunni harus ditempatkan dalam kerangka
tidak sah, sebagai akibat takfîr di antara paradigma tashwîb dan bukan paradigma
mereka. Pemahaman inilah yang harus takhthî’.
dihindarkan. Hal ini karena perbedaan
di antara kedua kelompok itu pada Oleh karena itu, dalam rangka
dasarnya harus dibingkai dalam kerangka untuk mencapai harmonisasi antara Syiah
paradigma tashwîb. Selain itu, perbedaan dan Sunni, masing-masing penganut
di antara keduanya hanya dalam bidang mazhab ini harus mengedepankan
furû’ (cabang) bukan ushûl (pokok). paradigma tashwîb daripada paradigma
Kerangka berpikir ini harus menjadi takhthî’, sebagai salah satu bentuk sikap
perhatian masing-masing pengikut toleran (tasâmuh) dan saling menghormati
kedua mazhab besar ini agar hubungan perbedaan di antara keduanya. Dengan
di antara keduanya dapat harmonis, cara ini, sikap takfîr atau vonis sesat-
karena tidak mengedepankan fanatisme menyesatkan, yang dapat berujung
buta (ta‘ashshub) dan truth claim pada tindakan anarkis, dapat dihindarkan.
hasil ijtihadnya sendiri.

Daftar Pustaka

Abû al-Khair, Hasan ‘Abd al-Hafîzh ‘Abd al-Rahmân. al-Mausû‘ah al-Mufashshalah fî


al-Firaq wa-al-Adyân wa-al-Milal wa-al-Madzâhib wa-al-Harakât al-Qadîmah wa-al-
Mu‘âshirah. Kairo: Dâr Ibn al-Jawzî, 2011.
Ali, Attabik. Kamus Inggris Indonesia Arab, Edisi Lengkap. Yogyakarta: Multi Karya
Grafika Pondok Pesantren Krapyak, 2003.
Ali MD, Ahmad. ”Hadis Sebagai Hujjah Hukum dalam Perspektif Syiah”. Refleksi: Jurnal
Ilmu-ilmu Ushuluddin. Fakultas Filsafat dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Vol. XIII, No. 3 (2012), 228-242.
Altamirano, Eréndira Cervantes-. ”Recovering the Progressive Spirit of Islam: Ijtihad and
Its Transformative Possibilities in Islamic Feminism”, Axis Mundi (2010-2011),
http://www.arts.ualberta.ca/axismundi/2010/ Progressive%20Spirit% 20of%20
Islam.pdf (diakses 5 April 2012).
HARMONI September - Desember 2014
Mengharmoniskan Hubungan Syiah dan Sunni: Perspektif Ushul Fikih 135

al-‘Âmilî, al-Faqîh al-Muhaddits al-Syaikh Muhammad ibn al-Hasan al-Hurr. Tafshîl


Wasâ’il al-Syî‘ah ilâ Tahshîl Masâ’il al-Syarî‘ah. Editor Mu’assasat Âlî al-Bait ‘alaihim
li-Ihyâ’ al-Turâts. Qum: Mu’assasat Âli al-Bait ‘alaihim li-Ihyâ’ al-Turâts, 1414.
al-‘Âmilî, al-Sayyid Ja‘far Murtadhâ. Al-Shahîh min Sîrat al-Nabî al-A‘zham. Beirut: Dâr
al-Hadîts li-al-Thibâ‘ah wa-al-Nasyr, 2007.
al-Amîn, al-Imâm al-Sayyîd Muhsin. A‘yân al-Syî‘ah. Editor al-Sayyid Hasan al-Amîn.
Beirut: Dâr al-Ta‘âruf li-al-Mathbû‘ât, 1998.
al-Asy‘arî, al-Imâm Abû al-Hasan ‘Alî ibn Ismâ‘îl. Maqâlât al-Islâmiyyîn wa-Ikhtilâf al-
Mushallîn. Editor Muhammad Muhy al-Dîn ‘Abd al-Hamîd. Kairo: Maktabat al-
Nahdhah al-Mishriyyah, 1950.
al-Bazm, ‘Abd al-Fattâh. ”al-Ikhtilâf Rahmah lâ Khilâf”. Risâlat al-Taqrîb: Majallat al-
Majma‘ al-‘Âlamî li-al-Taqrîb bain al-Madzâhib al-Islâmiyyah, al-Majma‘ al-‘Âlamî li-
al-Taqrîb bain al-Madzâhib al-Islâmiyyah, No. 88, 2011.
Calder, Norman. ”Doubt and Prerogative: The Emergence of an Imâmî Syî‘î Theory of
Ijtihâd”. Studia Islamica, No. 70 (1989), 57-78, Maisonneuve & Larose, http://www.
jstor.org/stable/1595678 (diakses 5 April 2012).
al-Dasûqî, Muhammad. ”al-Tahaddiyyât al-Kubrâ al-latî Tuwâjihu al-Taqrîb”. Risâlat al-
Taqrîb, No. 88, 2011.
Garner, Bryan A. Ed. Black’s Law Dictionary. Eighth edition. Santa Paul: Thomson, West,
2004.
al-Ghathâ’, Muhammad al-Husain al-Kâsyif. Ashl al-Syî‘ah wa-Ushûluhâ. Edisi Keempat.
Beirut: Mu’assasat al-A ‘lamî li-al-Mathbû‘ât, 1993.
al-Hakîm, Muhammad Taqî. al-Ushûl al-‘Âmmah li-al-Fiqh al-Muqâran: Madkhal ilâ Dirâsat
al-Fiqh al-Muqâran, Cet. ke-2. T.tp.: Markaz al-Tibâ‘ah wa-al-Nasyr li al-Majma‘
al-‘Alami li-Ahl al-Bait ‘Alaihim al-Salâm, 1427.
Halm, Heinzm. Shi‘ism. Second edition. Ttranslated from German as Die Schia by Janet
Watson. United Kingdom: Edinburgh University Press Ltd, 2004.
Hashem, O. Syiah Ditolak Syiah Dicari. Cet. ke-5. Yogyakarta: Rausyan Fikr Institute, 2011.
al-Hillî, Jamâl al-Dîn Abî Manshûr al-Hasan ibn Yûsuf ibn al-Muthahhir al-Ma‘rûf bi-
al-‘Allâmah. Tahrîr al-Ahkâm al-Syar‘iyyah ‘alâ Madzhab al-Imâmiyyah: Mausû‘ah
Fiqhiyyah Kâmilah Masykhûnah bi-al-Takhrîj au-al-Tafrî‘. Tahqîq al-Syaykh Ibrâhîm
al-Bahâdirî. Qum: Mu’assasat al-Imâm al-Shâdiq a.s., 1421.
Hourani, A. Arabic Thought in the Liberal Age, 1798-1939. Oxford: Oxford University Press,
1970.
http://www.gatra.com/nasional-cp/1-nasional/6511-perbedaan-sunni-dan-syiah
(diakses 7 Maret 2012).
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/11/05/20/llhvhk-mau-
tahu-perbedaan-sunni-dan-syiah (diakses 17 Maret 2012).
http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/11/05/20/llhs6p-beda-dengan-
di-luar-negeri-di-indonesia-sunni-dan-syiah-bersatu (diakses 17 Maret 2012).
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/12/01/03/lx7q99-pbnu-
di-sampang-bukan-konflik-sunnisyiah-tapi-keluarga, (diakses 25 Juni 2012).
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3
136 Ahmad Ali MD

http://www.monitorindonesia.com/nasional/21-nasional/987-pembakaran-pesantren-
syiah-di-madura-karena-konflik-keluarga-.html, (diakses 25 Juni 2012).
http://nasional.inilah.com/read/detail/1814679/inilah-penyebab-konflik-syiah-sunni-di-
sampang (diakses 25 Juni 2012).
al-Kasrawî, Ahmad. Al-Tasyayyu‘ wa-al-Syî‘ah. T.t.p.: Dâr al-Ridhâ, 2010.
Lajnat Ta’lîf al-Qawâ‘id al-Fiqhiyyah wa-al-Ushûliyyah al-Tâbi‘ah li-Majma‘ Fiqh Ahl al-
Bait ‘Alaihim al-Salâm, Qawâ‘id Ushûl al-Fiqh ‘alâ Madzhab al-Imâmiyyah. Teheran:
al-Jumhûriyyat al-Islâmiyyah al-Îrâniyyah, t.t.
Lalani, Arzina R. Early Syi‘i Thought: the Teachings of Imâm Muhammad al-Bâqir. New York:
I.B. Tauris, 2004.
Laporte, Laurence Deschamps-. ”Deriving Laws: A Comparison between Ijtihad among
Syi‘a Muslims and Istihsân and Istishlâh among Sunni Muslims in Contemporary
Islamic Thought”, Valley Humanities Review (Spring 2010), 1-10, http://www.lvc.
edu/vhr/2010/articles/deschampslaporte.pdf (diakses 5 April 2012).
Ma‘ârif, Mâjid. Sejarah Hadits, judul asli Tarikh-e Umumi_ye Hadits alihbahasa Abdillah
Mushtafa. Jakarta: Nur Huda, 2012.
Mavani, Hamid. ”Paradigm Shift in Twelver Syi‘i Legal Theory (ushul al-fiqh): Ayatullah
Yusef Saanei.” The Muslim World (Vol. 99 April 2009), 335-355.
Moosa, Mafti. Extremist Shi’ites: The Gulat Sects. Syracus: Syracus University Press, 2003.
Mughniyyah, Muhammad Jawwâd. al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Khamsah: al-Ja‘farî-al-
Hanafî-al-Mâlikî-al-Syâfi‘î-al-Hanbalî. Kairo: Maktabat al-Syurûq al-Duwaliyyah,
2008.
Munhanif, Ali. Ed. Mutiara Terpendam: Perempuan dalam Literatur Islam Klasik. Bandung:
Mizan, 2002.
al-Mûsawî, ‘Abd al-Husain Syaraf al-Dîn. Al-Fushul al-Muhimmah fî Ta’lîf al-Ummah. Cet.
ke-4. Najaf: Mathba‘ah al-Nu‘mân, 1967.
-------------. Al-Murâja‘ât: Rasâ‘il Mutabâdalah bain al-‘Alamain: al-Syaikh Salîm al-Bishrî Syaikh
al-Jâmi ‘ al-Azhar-al-Sayyid Syaraf al-Dîn al- ‘Âmilî, ed. al-Majma‘ al-‘Âlamî li-Ahl
al-Bait. Qum: Markaz al-Thibâ‘ah wa-al-Nashr li- al-Majma‘ al-‘Âlamî li-Ahl al-
Bait, 1426.
-------------. Al-Nashsh wa-al-Ijtihâd. T.t.p.: Dâr al-Qâri’, 2008.
al-Muzhaffar, Muhammad Ridhâ. Ushûl al-Fiqh. Qum: Mu’assasat Mathbû‘ât Ismâ‘îliyân,
1421.
Namazi, Mohammad. ”Ijtihâd: Takhthî’ah or Tashwîb”, Message of Thaqalayn, Vol. 10, No.
2 (Summer 2009), 71-86, http://messageofthaqalayn.com/38-Ijtihad.pdf (diakses 5
April 2012).
Richard, Yann. Shi’ite Islam: Polity, Ideology, and Creed. Oxford: Basil Blackwell Ltd., 1995.
al-Rîsyahrî, Muhammad. Ahl al-Bait fî al-Kitâb wa-al-Sunnah. Beirut: Dâr al-Hadîts, 2001.
Safi, Omid. Ed. Progressive Muslims: On Justice, Gender, and Pluralism. Oxford: Oneworld,
2003.

HARMONI September - Desember 2014


Mengharmoniskan Hubungan Syiah dan Sunni: Perspektif Ushul Fikih 137

Shihab, M. Quraish. Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?: Kajian atas Konsep


Ajaran dan Pemikiran. Jakarta: Lentera Hati, 2007.
al-Subhânî, Ja‘far. al-Rasâ’il al-Arba‘: Qawâ‘id Ushûliyyah wa-Fiqhiyyah Taqrîran li-Buhûts
al-Faqîh al-Muhaqqiq al-Syaikh Ja‘far al-Subhânî. Qum: Mu’assasat al-Imâm al-
Shâdiq, 1415.
al-Suyûfî, Ahmad. ”al-Wahdah al-Islâmiyyah Dharûrah hatmiyyah wa-Wâjib Syar‘î”.
Risâlat al-Taqrîb: Majallat al-Majma‘ al-‘Âlamî li-al-Taqrîb bain al-Madzâhib al-
Islâmiyyah, al-Majma‘ al-‘Âlamî li-al-Taqrîb bayn al-Madzâhib al-Islâmiyyah, No.
86, 2011.
al-Taskhîrî, al-Syaikh Muhammad ‘Alî. Haul al-Syî‘ah wa-al-Marji‘iyyah. Tehran: Majma‘
al-‘Âlamî li-Ahl al-Bait ‘alaihim al-Salâm, 2001.
al-Thûsî, Syaikh al-Thâ’ifah Abî Ja‘far Muhammad ibn al-Hasan. Tahdzîb al-Ahkâm fî Syarh
al-Muqni‘ah li-al-Syaikh al-Mufîd Ridhwânullâh ‘alaih. Editor Sayyidunâ al-Hujjah
al-Sayyid Hasan al-Mûsawî al-Kharasân. Tehran: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah.
-------------. Al-Ibtishâr fî Mâ Ikhtalafa min al-Akhbâr. Tehran: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, 1390.
Yusdani. Peranan Kepentingan Umum dalam Reaktualisasi Hukum Islam: Kajian Konsep
Hukum Islam Najm al-Dîn al-Thûfî. Yogyakarta: UII Press, 2000.

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

Anda mungkin juga menyukai