Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

Saluran pernapasan adalah bagian tubuh manusia yang berfungsi sebagai


tempat lintasan dan tampat pertukaran gas yang diperlukan untuk proses
pernapasan. Saluran pernapasan dibagi menjadi saluran pernapasan atas dan
pernapasan bawah dibatasi oleh laring. Saluran napas bagian atas terdiri dari
hidung, faring dan laring. Dari sudut klinik, rongga mulut sering kali juga diikut
sertakan dalam struktur saluran pernapasan bagian atas.1
Sumbatan pada sistem pernapasan atas dapat disebabkan oleh banyak
penyebab, diantara lain disebabkan oleh trauma, sumbatan dari benda asing,
tumor, infeksi dan gangguan persarafan pada daerah kepala dan leher.2
Sumbatan dapat bersifat sebagian, dapat juga sumbatan total. Pada
sumbatan ringan dapat menyebabkan sesak, sedangkan sumbatan yang lebih
berat namun masih ada sedikit celah dapat menyebabkan sianosis, gelisah
bahkan penurunan kesadaran. Pada sumbatan total bila tidak ditolong dengan
segera dapat menyebabkan kematian.3
Sumbatan saluran napas atas adalah salah satu keadaan suatu keadaan
darurat yang harus segera diatasi untuk mencegah kematian.2 Diperlukan
penanganan yang sesuai dengan indikasi dan penyebab sumbatan saluran nafas
atas, diantaranya dengan menggunakan perasat Heimlich, intubasi endotrakea,
laringoskopi, trakeostomi, atau krikotiroidostomi.2,3
Oleh karena bahaya obstruksi pada saluran nafas atas, yang dapat
menyebabkan kematian, penting dilakukan diagnosis awal dan penatalaksanaan
yang tepat. Makalah ini membahas tentang anatomi saluran napas atas, etiologi
sumbatan saluran napas atas, diagnosis serta penatalaksaan dengan tujuan untuk
meningkatkan pemahaman dan pengetahuan tentang sumbatan saluran napas atas.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Saluran Napas Atas


Sistem respirasi adalah pengangkutan gas ke dan dari sel-sel. Dalam
pengangkutan gas ini melewati alat-alat pernapasan. Alat-alat pernapasan
terdiri dari rongga hidung, faring, laring, dan trakea.dari paru-paru yang akan
terjadi pertukaran gas secara langsung antara udara dan darah. Sebagian besar
saluran pernapasan bronkus, terdapat didalam paru-paru. Laring juga
berfungsi sebagai produksi suara. Alat penghidu (hidung) mengontrol udara
penarikan napas.1
Saluran napas bagian atas terdiri dari hidung, faring dan laring. Dari
sudut klinik, rongga mulut sering kali juga diikut sertakan dalam struktur
saluran pernapasan bagian atas. Bagian yang kedua adalah saluran napas
bagian bawah yang terletak di leher dan batang badan(trakea, bronkus, dan
paru-paru).1

2.1.1 Hidung
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke
bawah: 1) Pangkal hidung (bridge), 2) Batang hidung (dorsum nasi), 3)
Puncak hidung (hip), 4) Ala nasi, 5) kolumela dan 6) Lubang hidung (nares
anterior). Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung (os nasal), 2) prosesus
frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal; sedangkan kerangka
tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di
bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2)
sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai
kartilago ala mayor dan 4) tepi anterior kartilago septum.4

2
Gambar 1. Anatomi Hidung Luar2

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke


belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi
kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares
anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang
menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Bagian dari kavum nasi yang
letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares anterior, disebut
vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunuyai banyak kelenjar
sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.4
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya
paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media,
lebih kecil lagi konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema.
Konka suprema ini biasanya rudimenter.4

Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit


yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus
inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dan
dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium)
duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding
lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus

3
maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang di
antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan
sinus sfenoid.4

Gambar 2. Rongga
4
Hidung

Rongga hidung dipisahkan menjadi rongga hidung kanan dan kiri oleh
pembagi vertikal yang sempit, yang disebut septum. Masing-masing rongga
hidung dibagi menjadi 3 saluran oleh penonjolan turbinasi atau konka dari dinding
lateral. Rongga hidung dilapisi dengan membran mukosa yang sangat banyak
mengandung vaskular yang disebut mukosa hidung. Lendir di sekresi secara terus-
menerus oleh sel-sel goblet yang melapisi permukaan mukosa hidung dan
bergerak ke belakang ke nasofaring oleh gerakan silia. Rongga hidung dimulai
dari Vestibulum, yakni pada bagian anterior ke bagian posterior yang berbatasan
dengan nasofaring. Rongga hidung terbagi atas 2 bagian, yakni secara longitudinal
oleh septum hidung dan secara transversal oleh konka superior, medialis, dan
inferior.4

Vaskularisasi dan Persarafan Hidung


Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a. karotis interna.Bagian
bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, di
antaranya ialah ujung a. palatina mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari
foramen sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di

4
belakang ujung posterior konka media.1,4 Bagian depan hidung mendapat
pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis. Pada bagian depan septum terdapat
anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis
superior dan a. palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area).
Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga
sering menjadi sumber epistaksis (perdarahan hidung), terutama pada anak.4,7

Gambar 3. Vaskularisasi Hidung2

Vena-vena hidung mempunyai nama sama dan berjalan berdampingan


dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.
oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak
memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya
penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.4
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.
etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang berasal dari
n. Oftalmikus. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan
sensoris dari n. maksila melalui ganglion sfenopalatina. Ganglion sfenopalatina,
selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor
atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut saraf sensoris
dari n. maksila (N. V-2), serabut parasimpatis dari n. petrosus superfisialis mayor
dan serabut saraf simpatis dari n. petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina
terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media. Fungsi

5
penghidu berasal dari n. ofaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribrosa dari
permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor
penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.4,5

Gambar 4. Persyarafan Hidung4

Fungsi Rongga Hidung


Hidung berfungsi sebagai saluran untuk mengalirkan udara dari dan menuju
paru-paru. Jalan napas ini berfungsi sebagai penyaring kotoran dan melembabkan
serta menghangatkan udara yang dihirupkan ke dalam paru-paru. Penghangatan
dilakukan oleh jaringan pembuluh darah yang sangat kaya pada ephitel nasal dan
menutupi area yang sangat luas dari rongga hidung. Dan pelembaban dilakukan
oleh concha, yaitu suatu area penonjolan tulang yang dilapisi oleh mukosa. Selain
itu, hidung bertanggung jawab terhadap olfaktori atau penghidu karena terdapat
Epitelium olfactori yang memiliki fungsi dalam penerimaan sensasi bau. Rongga
hidung juga berhubungan dengan pembentukkan suara-suara fenotik dimana ia
berfungsi sebagai ruang resonansi. 6

2.1.2 Faring

6
Faring merupakan saluran yang memiliki panjang kurang lebih 13 cm yang
menghubungkan nasal dan rongga mulut kepada laring. Faring meluas dari dasar
cranium sampai tepi bawah cartilago cricoidea di sebelah anterior dan sampai tepi
bawah vertebra cervicalis VI di sebelah posterior. Dinding faring terutama
dibentuk oleh dua lapis otot-otot faring. Lapisan otot sirkular di sebelah luar
terdiri dari tiga otot konstriktor. Lapisan otot internal yang terutama teratur
longitudinal, terdiri dari muskulus palatopharyngeus, musculus stylopharingeus,
dan musculus salphingopharingeus. Otot-otot ini mengangkat faring dan laring
sewaktu menelan dan berbicara. Faring adalah tempat dari tonsil dan adenoid.
Dimana terdapat jaringan limfe yang melawan infeksi dengan melepas sel darah
putih ( limfosit T dan B). Berdasarkan letaknya faring dibagi menjadi nasofaring,
orofaring dan laringofaring.4,5
Nasofaring disebut juga Epifaring, Rinofaring. merupakan yang terletak
dibelakang rongga hidung,diatas Palatum Molle dan di bawah dasar tengkorak.
Dinding samping ini berhubungan dengan ruang telinga tengah melalui tuba
Eustachius. Bagian tulang rawan dari tuba Eustachius menonjol diatas ostium tuba
yang disebut Torus Tubarius. Tepat di belakang Ostium Tuba. Terdapat cekungan
kecil disebut Resesus Faringeus atau lebih di kenal dengan fosa Rosenmuller;
yang merupakan banyak penulis merupakan lokalisasi permulaan tumbuhnya
tumor ganas nasofaring.4
Orofaring disebut juga mesofaring, dengan batas atasnya palatum mole,
batas bawah adalah tepi atas epiglotis, ke depan adalah rongga mulut, sedangkan
ke belakang adalah vertebra servikalis. struktur yang terdapat di rongga orofaring
adalah dinding posterior faring, tonsil palatina, fosa tonsil serta arkus faring
anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum. Laringofaring
batas laingofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas anterior
adalah laring, batas inferior adalah esofagus serta batas posterior adalah vertebre
servikal.4

7
Gambar 5. Anatomi Faring1

Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang kadang tidak
beraturan. Yang utama berasal dari cabang A. karotis eksterna ( cabang faring
asendens dan cabang fausial ) serta dari cabang A. maksila interna yakni cabang
palatina superior.4 Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari
pleksus faring yang ekstensif. pleksus ini dibentuk oleh cabang faring dari N.
vagus, cabang dari N. glosofaring dan serabut simpatis. cabang faring dari N.
vagus berisi serabut motorik. Dari pleksus faring yang ekstensif ini keluar cabang
cabang untuk otot otot faring kecuali M. stilofaring yang dipersarafi langsung oleh
cabang N. glosofaring ( N.IX ).4,5

2.1.3 Laring
Laring merupakan struktur kompleks yang telah berevolusi yang
menyatukan trakea dan bronkus dengan faring sebagai jalur aerodigestif umum.
Laring memiliki kegunaan penting yaitu (1) ventilasi paru, (2) melindungi paru
selama deglutisi melalui mekanisme sfingteriknya, (3) pembersihan sekresi
melalui batuk yang kuat, dan (4) produksi suara. Secara umum, laring dibagi
menjadi tiga: supraglotis, glotis dan subglotis. Supraglotis terdiri dari epiglotis,

8
plika ariepiglotis, kartilago aritenoid, plika vestibular (pita suara palsu) dan
ventrikel laringeal. Glotis terdiri dari pita suara atau plika vokalis. Daerah
subglotik memanjang dari permukaan bawah pita suara hingga kartilago krikoid.4,5

Gambar 6. Anatomi Laring4

Laring dibentuk oleh kartilago, ligamentum, otot dan membrana mukosa.


Terletak di sebelah ventral faring, berhadapan dengan vertebra cervicalis 3-6.
Berada di sebelah kaudal dari os hyoideum dan lingua, berhubungan langsung
dengan trakea. Di bagian ventral ditutupi oleh kulit dan fasia, di kiri kanan linea
mediana terdapat otot-otot infra hyoideus. Posisi laring dipengaruhi oleh gerakan
kepala, deglutisi, dan fonasi.4
Kartilago laring dibentuk oleh 3 buah kartilago yang tunggal, yaitu
kartilago tireoidea, krikoidea, dan epiglotika, serta 3 buah kartilago yang
berpasangan, yaitu kartilago aritenoidea, kartilago kornikulata, dan kuneiform.
Selain itu, laring juga didukung oleh jaringan elastik. Di sebelah superior pada
kedua sisi laring terdapat membrana kuadrangularis. Membrana ini membagi
dinding antara laring dan sinus piriformis dan dinding superiornya disebut plika
ariepiglotika. Pasangan jaringan elastik lainnya adalah konus elastikus (membrana

9
krikovokalis). Jaringan ini lebih kuat dari pada membrana kuadrangularis dan
bergabung dengan ligamentum vokalis pada masing-masing sisi.4
Otot-otot yang menyusun laring terdiri dari otot-otot ekstrinsik dan otot-
otot intrinsik. Otot-otot ekstrinsik berfungsi menggerakkan laring, sedangkan otot-
otot intrinsik berfungsi membuka rima glotidis sehingga dapat dilalui oleh udara
respirasi. Juga menutup rima glotidis dan vestibulum laringis, mencegah bolus
makanan masuk ke dalam laring (trakea) pada waktu menelan. Selain itu, juga
mengatur ketegangan (tension) plika vokalis ketika berbicara. Kedua fungsi yang
pertama diatur oleh medula oblongata secara otomatis, sedangkan yang terakhir
oleh korteks serebri secara volunter.4
Rongga di dalam laring dibagi menjadi tiga yaitu, vestibulum laring,
dibatasi oleh aditus laringis dan rima vestibuli. Lalu ventrikulus laringis, yang
dibatasi oleh rima vestibuli dan rima glotidis. Di dalamnya berisi kelenjar mukosa
yang membasahi plika vokalis. Yang ketiga adalah kavum laringis yang berada di
sebelah ckudal dari plika vokalis dan melanjutkan diri menjadi kavum trakealis. 4
Laring pada bayi normal terletak lebih tinggi pada leher dibandingkan
orang dewasa. Laring bayi juga lebih lunak, kurang kaku dan lebih dapat ditekan
oleh tekanan jalan nafas. Pada bayi laring terletak setinggi C2 hingga C4,
sedangkan pada orang dewasa hingga C6. Ukuran laring neonatus kira-kira 7 mm
anteroposterior, dan membuka sekitar 4 mm ke arah lateral.4
Laring berfungsi dalam kegiatan Sfingter, fonasi, respirasi dan aktifitas
refleks. Sebagian besar otot-otot laring adalah adduktor, satu-satunya otot
abduktor adalah m. krikoaritenoideus posterior. Fungsi adduktor pada laring
adalah untuk mencegah benda-benda asing masuk ke dalam paru-paru melalui
aditus laringis. Plika vestibularis berfungsi sebagai katup untuk mencegah udara
keluar dari paru-paru, sehingga dapat meningkatkan tekanan intra thorakal yang
dibutuhkan untuk batuk dan bersin. Plika vokalis berperan dalam menghasilkan
suara, dengan mengeluarkan suara secara tiba-tiba dari pulmo, dapat
menggetarkan (vibrasi) plika vokalis yang menghasilkan suara. Volume suara
ditentukan oleh jumlah udara yang menggetarkan plika vokalis, sedangkan

10
kualitas suara ditentukan oleh cavitas oris, lingua, palatum, otot-otot facial, dan
kavitas nasi serta sinus paranasalis.4,5

2.2. Definisi Obstruksi Saluran Napas Atas


Obstruksi saluran napas atas adalah sumbatan pada saluran napas atas
yakni hidung, faring dan laring yang disebabkan oleh adanya radang, benda asing,
trauma, tumor dan kelumpuhan nervus rekuren bilateral sehingga ventilasi pada
saluran pernapasan terganggu.1
Sumbatan saluran napas atas adalah salah satu keadaan suatu keadaan
darurat yang harus segera diatasi untuk mencegah kematian. Sumbatan dapat
bersifat sebagian, dapat juga sumbatan total. Pada sumbatan ringan dapat
menyebabkan sesak, sedangkan sumbatan yang lebih berat namun masih ada
sedikit celah dapat menyebabkan sianosis (berwarna biru pada kulit dan mukosa
membran yang disebabkan kekurangan oksigen dalam darah), gelisah bahkan
penurunan kesadaran. Pada sumbatan total bila tidak ditolong dengan segera dapat
menyebabkan kematian.1,3

2.3 Penyebab dan Gejala Klinis Obstruksi Saluran Napas Atas


Obstruksi saluran napas bagian atas disebabkan oleh kelainan kongenital,
trauma, tumor, infeksi, paralysis satu atau kedua plika vokalis, maupun karena
benda asing.2

Tabel 1. Etiologi sumbatan saluran napas atas2


Jenis Kelainan
Kongenital Atresia koane
Stenosis supraglotis, glottis dan subglotis
Laringomalasia
Sindroma Pierre Robins

Radang Epiglotitis
Sindroma Croup
Angina Ludwig

11
Abses retrofaring
Tonsilitis
Traumatik Patah tulang wajah atau mandibula
Trauma Laring
Menelan bahan kaustik
Paralysis n. laringeus rekurens bilateral
Tumor Papiloma laring
Tumor ganas laring
Lain-lain Benda asing
Oedem angioneurotik

2.3.1. Kelainan Kongenital


a. Atresia koana
Atresia koana adalah tertutupnya satu atau kedua posterior kavum
nasi oleh membran abnormal atau tulang. Hal ini terjadi akibat kegagalan
embriologik dari membran bukonasal untuk membelah sebelum kelahiran. Gejala
yang paling khas pada atresia koana adalah tidak adanya atau tidak adekuatnya
jalan napas hidung. Pada bayi baru lahir yang hanya bisa bernapas melalui hidung,
kondisi ini merupakan keadaan gawat darurat dan perlu pertolongan yang cepat
pada jalan napas atas untuk menyelamatkan hidupnya. Obstruksi koana unilateral
kadang-kadang tidak menimbulkan gejala pada saat lahir tapi kemudian akan
menyebabkan gangguan drainase nasal kronis unilateral pada masa anak-anak
sedangkan atresia koana bilateral menyebabkan keadaan darurat pada saat
kelahiran.

12
Gambar 7. Atresia koana endoskopi

Atresia koana bilateral memerlukan tindakan yang darurat bertujuan untuk


menjamin jalan napas, karena dapat menyebabkan asfiksia berat dan kematian
setelah kelahiran. Kelainan penyerta yaitu adanya meningosil sehingga operasi ini
dilakukan bersama bagian Bedah Saraf. Tindakan yang dilakukan adalah
koanoplasti dan pemasangan stent menggunakan pipa nasogastrik ukuran 12.1,3

b. Stenosis subglotik
Pada daerah subglotik, 2-3 cm dari pita suara, sering terdapat penyempitan.
Kelainan yang dapat menyebabkan stenosis subglotik ialah :
1.Penebalan jaringan submukosa dengan hyperplasia kelenjar mucus dan fibrosis.
2. Kelainan bentuk tulang rawan krikoid dengan lumen yang lebih kecil.
3. Bentuk tulang rawan normal dengan ukuran lebih kecil
4. Pergeseran cincin trakea pertama kearah atas belakang ke dalam lumen krikoid.
Gejala stenosis subglotik ialah stridor, dispneu, retraksi di suprasternal,
epigastrium, interkostal serta subklavikula. Pada stadium yang lebih berat akan
ditemukan sianosis dan apnea sebagai akibat sumbatan jalan, sehingga mungkin
juga terjadi gagal pernafasan (respiratory distress). Terapi tergantung kelainan
yang menyebabkannya. 3

13
Gambar 8 . Stenosis subglotik3
Pada umumnya terapi stenosis subglotik yang disebabkan oleh kelainan
submukosa ialah dilatasi atau dengan laser CO2. Stenosis subglotik yang
disebabkan oleh kelainan bentuk tulang rawan krikoid dilakukan terapi
pembedahan dengan melakukan rekontruksi.1,3

c. Laringomalasia
Pada stadium awal ditemukan epiglotis lemah, sehingga pada waktu
inspirasi epiglotis tertarik ke bawah dan menutup rima glotis. Dengan demikian
bila pasien bernafas, nafasnya berbunyi (stridor). Stridor merupakan gejala awal,
dapat menetap dan mungkin hilang timbul, ini disebabkan lemahnya rangka
laring.1,3

14
Gambar 9. Laringomalasia

Tanda sumbatan jalan nafas dapat dilihat dengan adanya cekungan


(retraksi) di daerah supra sterna, epigastrium, interkostal dan supraklavikular. Bila
sumbatan ini makin hebat, dilakukan intubasi endotrakea.3

d. Pierre Robin Syndrome


Pierre Robin Syndrome (PRS), adalah kondisi bawaan kelainan wajah
pada manusia. Penyebab genetik untuk PRS baru-baru ini diidentifikasi
disebabkan oleh disregulasi dari SOX9 gen dan KCNJ2.8 PRS dicirikan oleh
mandibula yang luar biasa kecil (micrognathia), perpindahan posterior atau
retraksi lidah (glossoptosis), dan obstruksi saluran napas atas akibat lidah jatuh ke
belakang. Tidak lengkap penutupan atap mulut (langit-langit), hadir dalam
mayoritas pasien, dan umumnya berbentuk U.8

Gambar 10. Trias Gejala

Pierre Robin Syndrome8

Tujuan pengobatan pada bayi dengan fokus pada urutan Robin bernafas,
makan, dan mengoptimalkan pertumbuhan dan nutrisi walaupun kecenderungan

15
untuk sesak napas. Jika ada bukti penyumbatan saluran napas (bernapas snorty,
apnea, kesulitan mengambil napas, atau tetes di oksigen), maka bayi harus
ditempatkan pada posisi berbaring atau tiarap, yang membantu membawa dasar
lidah maju. Satu studi dari 60 bayi dengan PRS menemukan bahwa 63% dari bayi
merespon terhadap posisi tiarap.8

2.3.2. Radang
a. Epiglotitis akut
Epiglotitis akut adalah suatu keadaan inflamasi akut yang terjadi pada
daerah supraglotis dari orofaring, meliputi epiglotis, valekula, aritenoid, dan
lipatan ariepiglotika.9 Epiglotitis akut biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri,
bakteri paling sering ditemukan adalah Haemophilus influenza. Epiglotitis akut
paling sering terjadi pada anak-anak berusia 2-4 tahun namun akhir-akhir ini
dilaporkan bahwa prevalensi dan insidennya meningkat pada orang dewasa.10
Onset dari gejala epiglotitis akut biasanya terjadi tiba-tiba dan berkembang secara
cepat. Pada pasien anak-anak, gejala yang sering ditemui adalah sesak napas dan
stridor yang didahului oleh demam, sedangkan pada pasien dewasa gejala yang
terjadi lebih ringan, dan yang paling sering dikeluhkan adalah nyeri tenggorokan
dan nyeri saat menelan.9
Diagnosis dapat dibuat berdasarkan riwayat perjalanan penyakit dan tanda
serta gejala klinis yang ditemui, dan dari foto rontgen lateral leher yang
memperlihatkan edema epiglotis (thumb sign) dan dilatasi dari hipofaring. 11
Penatalaksanaan pada pasien dengan epiglotitis diarahkan kepada mengurangi
obstruksi saluran napas dan menjaganya agar tetap terbuka serta mengeradikasi
agen penyebab. Dapat dilakukan intubasi jika telah terjadi obstruksi, dengan
ekstubasi setelah 48-72 jam, serta pemberian antibiotika yang adekuat.9

b. Abses Retrofaring
Penyakit ini biasanya ditemukan pada anak berusia dibawah lima tahun. Hal
ini terjadi karena usia tersebut ruang retrofiring masih berisi kelenjar limfa dari
hidung, sinus paranasal, nasofaring, faring, tuba eustachius dan telinga tengah.

16
Pada usia diatas enam tahun kelenjar limfa akan mengalami atrofi. Keadaan
yangbisa menyebabkan terjadinya abses retrofaring ialah infeksi saluran nafas atas
yang menyebabkan limfadenitis retrofaring, trauma dinding belakang faring oleh
benda asing dan tuberculosis vertebra servikalis bagian atas. 3
Gejala utama abses retrofiring adalah rasa nyeri dan sukar menelan. Pada
anak kecil rasa nyeri akan menyebabkan anak menangis terus dan tidak mau
makan atau minum, leher kaku dan nyeri. Dapat timbul sesak nafas karena timbul
sumbatan terutama di hipofaring. Bila proses peradangan berlanjut sampai
mengenai laring dapat timbul stridor. Sumbatan oleh abses juga dapat menganggu
resonansi suara sehingga terjadi perubahan suara. Pada dinding belakang faring
tampak benjolan, biasnaya unilateral. Mukasa terlihat bengkak dan hiperemis.3
Diagnosa ditegakan berdasarkan adanya riwayat infeksi saluran nafas bagian
atas atau trauma, gejala dan tanda klink serta pemeriksaan penunjang foto rontgen
jaringan lunak leher lateral. Pada foto rontgen akan tampak pelebaran ruang
retrofaring lebih dari 7 mm pada anak dan dewasa. Terapi abses retrofiring adalah
dengan medika mentosa dan pembedahan. Sebagai terapi medikamentosa
diberikan antibiotic dosis tinggi untuk kuman aerob dan anaerob diberika secara
parenteral. Selain itu dilakukan pungsi dan insisi abses melalui laringoskopi
langsung dalam posisi pasien baring Trendelnburg. Pus yang keluar segera diisap
agar tidak terjadi inspirasi. Tindakan dapat dilakukan dengan anestesi lokal atau
umum.3

c. Tonsilitis
Tonsil atau yang lebih sering dikenal dengan amandel adalah massa yang
terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat dengan kriptus
didalamnya, bagian organ tubuh yang berbentuk bulat lonjong melekat pada
kanan dan kiri tenggorok. Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil faringal (adenoid),
tonsil palatina, dan tonsil faringal yang membentuk lingkaran yang disebut cincin
Waldeyer. Tonsillitis adalah inflamasi pada tonsila palatine yang disebabkan oleh
infeki virus atau bakteri. Saat bakteri dan virus masuk ke dalam tubuh melalui
hidung atau mulut, tonsil berfungsi sebagai filter yang menyelimuti organisme

17
yang berbahaya tersebut dengan sel-sel darah putih. Hal ini akan memicu sistem
kekebalan tubuh untuk membentuk antibody terhadap infeksi yang akan datang.
Tetapi bila tonsil sudah tidak dapat menahan infeksi dari bakteri atau virus
tersebut maka akan timbul tonsillitis. Dalam beberapa kasus ditemukan 3 macam
tonsillitis, yaitu tonsillitis akut, tonsillitis membranosa, dan tonsillitis kronis.1,3

Gambar 11. Tonsilitis 1

a) Tonsilitis Akut
Tonsillitis akut ini lebih disebabkan oleh kuman grup A Streptokokus beta
hemolitikus, pneumokokus, Streptokokus viridian dan Streptokokus piogenes.
Virus terkadang juga menjadi penyebab penyakit ini. Tonsillitis ini seringkali
terjadi mendadak pada anak-anak dengan peningkatan suhu 1-4 derajat celcius.1
b) Tonsilitis Membranosa
Ada beberapa macam penyakit yang termasuk dalam tonsillitis membranosa
beberapa diantaranya yaitu Tonsilitis difteri, Tonsilitis septic, serta Angina Plaut
Vincent.1
- Tonsilitis Difteri
Penyebab penyakit ini adalah Corynebacterium diphteriae yaitu suatu
bakteri gram positis pleomorfik penghuni saluran pernapasan atas yang dapat
menimbulkan abnormalitas toksik yang dapat mematikan bila terinfeksi
bakteriofag.
- Tonsilitis Septik

18
Penyebab dari tonsillitis ini adalah Streptokokus hemolitiku yang terdapat
dala susu sapi sehingga dapat timbul epidemic. Oleh karena itu perlu adanya
pasteurisasi sebelum mengkonsumsi susu sapi tersebut.
- Angina Plaut Vincent
Penyakit ini disebabkan karena kurangnya hygiene mulut, defisiensi vitamin
C serta kuman spirilum dan basil fusi form. Penyakit ini biasanya ditandai dengan
demam sampai 39o celcius, nuyeri kepala, badan lemah, dan terkadang terdapat
gangguan pencernaan. Rasa nyeri di mulut, hipersalivasi, gigi, dan gusi
berdarah.1,3

c) Tonsilitis Kronis
Bakteri penyebab tonsillitis kronis sama halnya dengan tonsillitis akut ,
namun terkadang bakteri berubah menjadi bakteri golongan Gram negatif. Mulut
yang tidk hygiene, pengobatan rdang akut yang tidak adekuat, rangsangan kronik
karena rokok maupun makanan. Adanya keluhan pasien di tenggorokan seperti
ada penghalang, tenggorokan terasa kering, pernapasan berbau. Saat pemeriksaan
ditemukan tonsil membesar dengan permukaan tidak rata, kriptus membesar dan
terisi detritus.1,3

d. Sindroma Croup
Croup atau laringotrakeobronkitis akut (LTBA) merupakan penyakit
peradangan akut di daerah subglotis larings, trakea, dan bronkus. Penyakit ini
merupakan penyebab tersering obstruksi saluran nafas atas pada anak-anak dan
biasanya ditandai dengan suara serak, batuk kering seperti menggonggong, dan
stridor inspirasi. Biasanya menyerang pada bayi dan anak-anak. penyebabnya
dapat bermacam-macam. Penyebab paling sering sering adalah virus. Penyebab
lain adalah bakteri, reaksi alergi, bahan yang mengiritasi seperti cairan lambung.1,8

19
Gambar 12. Sindroma Croup

Gejala klinis awali dengan  suara serak, batuk menggonggong dan stridor
inspiratoir. Bila terjadi  obstruksi stridor akan makin berat tetapi dalam kondisi
yang sudah payah stridor melemah. Dalam waktu 12-48 jam sudah terjadi gejala
obstruksi saluran napas atas. Pada beberapa kasus hanya didapati suara serak dan
batuk menggonggong, tanpa obstruksi napas. Keadaan ini akan membaik dalam
waktu 3 sampai 7 hari. Pada kasus lain terjadi obstruksi napas yang makin berat,
ditandai dengan takipneu, takikardia, sianosis dan pernapasan cuping hidung.
Pada pemeriksaan toraks dapat ditemukan adanya retraksi supraklavikular,
suprasternal, interkostal, epigastrial. Bila anak mengalami hipoksia, anak akan
tampak  gelisah, tetapi jika hipoksia bertambah berat anak tampak diam, lemas, 
kesadaran menurun. Pada kondisi yang berat dapat menjadi gagal napas. Pada
kasus yang berat proses penyembuhan terjadi setelah 7-14 hari. Terapi sindroma
Croup antara lain dengan pemberian oksigen, analgesik/antipiretik, antitusif dan
dekongestan, antibiotik serta glucocorticoid.8

e. Angina Ludwig
Angina Ludwig ialah selulitis di dasar mulut dan leher akut yang invasif,
menyebabkan udem hebat di leher bagian atas yang dapat menyumbat jalan napas.
Kuman penyebab biasanya streptokokus atau stafilokokus. Infeksi biasanya
berasal dari lesi di mulut seperti abses alveolar gigi atau infeksi sekunder pada
karsinoma dasar mulut. Kelainan ini cepat meluas melalui ruang fasia tertutup dan
dapat menyebabkan udem glotis yang dapat mengancam jiwa karena obstruksi
jalan napas. Karena radang dasar mulut ini lidah terdorong ke palatum dan ke
dorsal, ke arah dinding dorsal faring sehingga menutup jalan napas.1
Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis dan dibantu dengan
pemeriksaan biakan dan uji kepekaan kuman dari nanah. Bila dapat dibuat
diagnosis dini maka pemberian antibiotik kadang-kadang memberikan hasil yang
memuaskan. Bila pembengkakan leher dan dasar mulut tidak segera berkurang

20
maka dilakukan dekompresi terhadap ruang fasia yang tertutup di dasar mulut dan
leher, selanjutnya dipasang pipa penyalir.1

2.3.3. Trauma
a. Fraktur tulang mandibula
Fraktur ini paling sering terjadi. Fraktur mandibula ini sangat penting
dihubungkan dengan adanya otot yang bekerja dan berregio atau berisersio pada
mandibula yaitu otot elevator, otot depressor, dan otot protusor. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan adanya riwayat kerusakan rahang bawah dengan gejala
berikut :
- Pembengkakan, ekimosis atau laserasi pada kulit
- Nyeri
- Anastesi pada satu bibir bawah, gusi,
- Maloklusi
- Gangguan morbilitas atau krepitasi
- Malfungsi berupa trismus, rasa nyeri waktu mengunyah
Penanggulangan fraktur madibula tergantung pada lokasi fraktur, luasnya
fraktur, dan keluhan yang diderita. Lokasi fraktur ditentukan oleh pemeriksaan
radiografi.3,12

b. Trauma Laring

Trauma laring merupakan suatu keadaan dimana laring mengalami suatu


kerusakan yang dapat disebabkan oleh trauma tumpul, trauma tajam, dan
penyebab lainnya. Hal ini menyebabkan fungsi laring sebagai proteksi jalan nafas,
pengaturan pernafasan dan penghasil suara terganggu, sehingga dapat
menimbulkan resiko kecacatan bahkan kematian.1,3
Trauma laring dapat disebabkan oleh trauma tumpul, trauma tajam, tembak,
trauma inhalasi, aspirasi benda asing maupun iatrogenik. Insiden trauma laring

21
akibat trauma tumpul semakin menurun karena perkembangan yang maju pada
sistem pengaman kendaraan (automobile safety). Sementara itu angka
kejahatan/kekerasan semakin meningkat sehingga persentase kejadian trauma
tajam/tembus semakin meningkat. Pada trauma tumpul dan tembak kerusakan
jaringan yang terjadi lebih berat dibanding trauma tajam.1,3

c. Menelan bahan kaustik

Larutan asam kuat seperti asam sulfat, nitrat dan hidroklorid atau basa kuat
seperti soda kaustik, potassium kaustik dan amonium bila tertelan dapat
mengakibatkan terbakarnya mukosa saluran cerna. Pada penderita yang tidak
sengaja minum bahan tersebut, kemungkinan besar luka bakar hanya pada mulut
dan faring, karena bahan tersebut tidak ditelan dan hanya sedikit saja masuk ke
dalam lambung. Pada mereka yang mencoba bunuh diri akan terjadi luka bakar
yang luas pada esofagus bagian tengah dan distal karena larutan tersebut berada
agak lama sebelum memasuki kardiak lambung. Diagnostik berdasarkan riwayat
menelan zat kaustik dan adanya luka bakar di sekitar dan dalam mulut.13

2.3.4. Paralisis laring


a. Paralisis n. laringeus superior
Cabang ekstern n. laringeus superior mensarafi m. krikotiroid yang
menegangkan pita suara.cabang internnya mengurus mukosa laring.
Paralisis n. laringeus superior di proksimal percabangannya menjadi cabang
ekstern dan intern menyebabkan penderita tersedak bila minum akibat
anastesi mukosa sebab tidak merasa minuman turun. Terjadi juga perubahan
nada dan resonansi suara bila penderita bicara keras atau menyanyi terlalu
lama karena tegangan pita suara terganggu. Gerakan abduksi dan adduksi
pita suara tidak terganggu.3

b. Paralisis n. laringeus rekurens


N.laringeus rekurens atau n. laringeus inferior melayani
m.abduktor dan m.adduktor pita suara. Paralisis n. laringeus inferior

22
mengakibatkan suara mendesau. Gejala ini dapat menghilang dalam
beberapa minggu bila terjadi kompensasi oleh otot aduktor kontralateral
sehingga pita suara yang sehat bergerak melewati garis tengah sehingga
bertemu dengan pita suara yang lumpuh.3
Paralisis bilateral n. laringeus rekurens menyebabkan sesak nafas
karena celah suara sempit karena kedua pita suara tidak dapat abduksi
pada inspirasi, sehingga menetap pada posisi paramedian. Oleh karena itu,
penderita terpaksa istirahat dan menghindari keadaan yang memerlukan
lebih banyak zat asam seperti kerja, gerakan berlebihan, takut dan demam.3

2.3.5. Tumor
a. Papiloma laring
Tumor ini digolongkan dalam 2 jenis :
1. Papiloma laring juvenile, ditemukan pada anak, biasanya berbentuk multiple
dan mengalami regresi saat dewasa
2. Pada orang dewasa biasanya berbentuk tunggal, tidak akan mengalami
resolusi dan merupakan prekanker.3
Gejala utama adalah suara parau. Kadang-kadang terdapat pula betuk.
Apabila papiloma telah menutup rima glottis maka timbul sesak nafas dengan
stridor. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis, pemeriksaan
laring langsung, biopsy serta pemeriksaan patologi-anatomik.3

23
Gambar 13. Papiloma laring

Terapi papiloma laring antara lain:


- Ekstirpasi papiloma dengan bedah mikro atau juga dengan sinar laser. Karena
sering tumbuh lagi, tindakan ini diulang berkali-kali. Kadang dalam seminggu
tampak papiloma tumbuh lagi.
- Dewasa ini diketahui penyababnya ialah virus, untuk terapinya diberikan
vaksin dari massa tumor, obat anti virus, hormone, kalsium atau ID methionin.
Tidak dianjurkan memberikan radioterapi karena papiloma dapat berubah
menjadi ganas.3

b. Tumor ganas laring


Penyebabnya belum diketahui pasti. dikatakan para ahli bahwa perokok dan
peminum alcohol merupakan kelompok orang-orang dengan resiko tinggi
terhadap karsinoma laring. Serak adalah gejala utama karsinoma laring,
merupakan gejala paling dini tumor pita suara. Hal ini disebabkan karena
gangguan fungsi fonasi laring. Pada tumor ganas laring, pita suara gagal berfungsi
secara baik disebabkan oleh ketidakteraturan pita suara, oklusi atau penyempitan

24
celah glotik, terserangnya otot-otot vokalis, sendi dan ligament krikoaritenoid dan
kadang-kadang menyerang saraf. Kadang-kadang bisa afoni karena nyeri,
sumbatan jalan nafas atau paralisis komplit. Gejala lain berupa nyeri alih ke
telinga ipsilateral, halitosis, batuk, hemoptisis dan penurunan berat badan. Nyeri
tekan laring adalah gejala lanjut yang disebabkan oleh komplikasi supurasi tumor
yang menyerang kartilago tiroid dan perikondrium.3

25
Gambar 14. Tumor ganas laring3

iagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan patologi antomi dari bahan


biopsy laring dan bajah pada KGB leher. Ada 3 cara yang lazim digunakan yakni
pembedahan, radiasi, obat sitostatik atau kombinasi. Jenis pembedahan adalah
laringektomi totalis atau parsial tergantung lokasi dan penjalaran. Pemakaian
sitostatik belum memuaskan, biasanya jadwal pemberian sitostatik tidak sampai
selesai karena keadaan umum memburuk, disamping harga obat yang mahal,
sehingga tidak terjangkau oleh pasien.3

2.3.6. Benda Asing Saluran Nafas Atas

a. Benda asing di hidung

26
Benda asing di hidung sering terjadi pada anak, dan pada anak sering
luput dari perhatian, gejala yang sering ditimbul yaitu hidung tersumbat,
rinore unilateral dengan cairan kental dan berbau, kadang – kadang demam,
nyeri, epitaksisi dan bersin. Hasil pemeriksaan tampak edem dengan
inflamasi mukosa hidung unilateral dan dapat terjadi ulserasi.
Cara mengeluarkan benda asing dari dalam hidung ialah dengan
memakai pengait (haak) yang dimasukkan ke dalam hidung bagian atas,
menyusuri atap kavum nasi sampai menyentuh nasofaring. Setelah itu
pengeit diturunkan sedikit dan ditarik ke depan, dengan cara ini menda
asing ikut terbawa keluar. Dapat pula menggunakan cunam Nortman atau
“wire loop”. Pemberian antibiotic sistemik selama 5 – 7 hari hanya jika
kasus benda asing hidung yang telah menimbulkan infeksi.3

b. Benda asing di orofaring dan hipofaring

Benda asing di orofaring dan hipofaring dapat tersangkut antara lain di


tonsil, dasar lidah, valekula dan sinus piriformis yang akan menimbulkan
rasa nyeri menelan (odinofagia), baik saat makan maupun meludah,
terutama benda asing tajam seperti tulang ikan dan tulang ayam.
Pemeriksaan di dasar lidah, valekula dan sinus piriformis diperlukan kaca
tenggorokan yang besar (no 8 – 10). Benda asing di sinus piriformis
menunjukkan tanda Jakcson (Jackson’s Sign) yaitu terdapat akumulasi
ludah di sinus piriformis tempat benda asing tersangkut.
Bila benda asing menyumbat intoitus esophagus, maka tampak ludah
tergenang di kedua sinus piriformis. Benda asing di tonsil dapat diambil
dengan memakai pinset atau cunam. Biasanya yang tersangkut di tonsil
ialah benda tajam, seperti tulang ikan, jarum, atau kail. Benda asing di dasar
lidah, dapat dilihat dengan kaca tenggorokan yang besar.
Pasien diminta menarik lidah sendiri dan pemeriksaan memegang
kaca tenggorokan dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanan memegang
cunam untuk mengambil benda tersebut. Bila pasien sangat perasa sehingga

27
menyulitkan tindakan, maka sebelumnya dapat disemprotkan obat pelali
(anestetikum), seperti xylocain atau pantocain. Tindakan pada benda asing
di valekula dan sinus piriformis kadang – kadang untuk mengeluarkannya
dilakukan dengan cara laringoskopi langsung.3

c. Benda asing di laring

Benda asing pada laring bisa bersifat total atau subtotal. Jika benda
asing dilaring menutupi secara total merupakan kegawatan dan akan
menimbulkan gejala berupa disfonia sampai afonia, apne dan sianosis.
Pertolongan pertama harus segera dilakukan karena asfiksia dapat terjadi
dalam waktu hanya beberapa menit.
Tehnik yang dilakukan berupa Heimlich (Heimlich manueuver).
Menurut teori Heimlich , benda asing masuk ke dalam laring ialah pada
waktu inspirasi, dengan demikian paru penuh oleh udara, diibaratkan
sebagai botol plastik yang tertutup, dengan menekan botol itu maka
sumbatan akan terlempar keluar.
Sumbatan tidak total dilaring dapat menyebabkan gejala suara parau,
disfonia sampai afonia, batuk yang di sertai sesak, odinofagia, mengi,
sianosis, hemoptisis dan rasa subyektif dari benda asing (pasien akan
menunjuk lehernya sesuai dengan letak benda asing itu tersangkut) dan
dispne dengan derajat bervariasi. Gejala dan tanda ini jelas bila benda asing
masih tersangkut di laring, dapat juga benda asing sudah turun ke trakea,
tetapi masih meninggalkan reaksi laring oleh karena udem. Pada kasus
sumbatan subtotal, tidak menggunakan perasat Heimlich, pasien masih
dapat dibawa ke rumah sakit terdekat untuk di beri pertolongan dengan
menggunakan laringoskop atau bronkoskop, atau jika alat – alat tersebut
tidak tersedia maka dapat di lakukan trakeostomi, dengan pasien tidur
dengan posisi Trendelenburg, kepala lebih rendah dari badan, supaya benda
asing tidak turun ke trakea.3

28
2.4. Diagnosis Obstruksi Saluran Napas Atas
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan hasil pemeriksaan fisik,
serta pemeriksaan penunjang.
Gejala dan tanda sumbatan yang tampak adalah :
a. Serak (disfoni) sampai afoni
b. Sesak napas (dispnea)
c. Stridor (nafas berbunyi) yang terdengar pada waktu inspirasi.
d. Cekungan yang terdapat pada waktu inspirasi di suprasternal, epigastrium,
supraklavikula dan interkostal. Cekungan itu terjadi sebagai upaya dari
otot-otot pernapasan untuk mendapatkan oksigen yang adekuat.
e. Gelisah karena pasien haus udara (air hunger)
f. Warna muka pucat dan terakhir menjadi sianosis karena hipoksia.3

Gejala-gejala yang mengindikasikan adanya obstruksi pada jalan nafas,


dibagi 4 stadium menurut Jackson: 3
Stadium I : Retraksi tampak pada waktu inspirasi di suprasternal, stridor pada
waktu inspirasi dan pasien masih tenang.
Stadium II : Retraksi pada waktu inspirasi di daerah suprasternal makin dalan,
ditambah lagi dengan timbulnya cekungan di daerah epigastrium.
Pasien sudah mulai gelisah. Stridor terdengar saat inspirasi.
Stadium III : Retraksi selain di daerah suprasternal, epigastrium juga terdapat di
Infrakalvikula dan sela-sela iga, pasien sangat gelisah dan dispnea.
Stridor saat inspirasi dan ekspirasi
Stadium IV : Retraksi bertambah jelas, pasien sangat gelisah dan tampak sangat
ketakutan serta sianosis. Jika keadaan ini berlangsung terus, maka
pasien akan kehabisan tenaga, pusat pernafasan paralitik karena
hiperkapnea. Pasien lemah dan tertidur dan akhirnya meninggal
karena asfiksia.

Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengetahui


letak dan penyebab sumbatan, diantaranya adalah :3

29
a. Laringoskop. Dilakukan bila terdapat sumbatan pada laring. Laringoskop
dapat dilakukan secara direk dan indirek.
b. Nasoendoskopi
c. X-ray. Dilakukan pada foto torak yang mencakup saluran nafas bagian
atas. Apabila sumbatan berupa benda logam maka akan tampak gambaran
radiolusen. Pada epiglotitis didapatkan gambaran thumb like.
d. Foto polos sinus paranasal
e. CT-Scan kepala dan leher
f. Biopsi

2.5 Tindakan pada Obstruksi Saluran Napas Atas


Pada prinsipnya penanggulangan pada obstruksi atau obstruksi saluran
napas atas diusahakan supaya jalan napas lancar kembali.
Tindakan konservatif : Pemberian antiinflamasi, antialergi, antibiotika
serta pemberian oksigen intermiten, yang
dilakukan pada obstruksi laring stadium I yang
disebabkan oleh peradangan.
Tindakan operatif/resusitasi : Memasukkan pipa endotrakeal melalui mulut
(intubasi orotrakea) atau melalui hidung (intubasi
nasotrakea), membuat trakeostoma yang
dilakukan pada obstruksi laring stadium II dan III,
atau melakukan krikotirotomi yang dilakukan
pada obstruksi laring stadium IV.1,3

Untuk mengatasi gangguan pernapasan bagian atas ada tiga cara, yaitu :

2.5.1 Intubasi Endotrakea


Intubasi endotrakeal adalah memasukan suatu lubang atau pipa melalui
mulut atau melalui hidung kedalam trakea.
a) Indikasi dan kontraindikasi
Indikasi intubasi endotrakea:
1. Untuk mengatasi sumbatan saluran napas atas

30
2. Membantu ventilasi
3. Memudahkan mengisap sekret dari traktus trakeobronkial
4. Mencegah aspirasi sekret yang ada di rongga mulut atau yang berasal dari
lambung
Kontraindikasi intubasi endotrakea adalah trauma jalan napas atau
obstruksi yang tidak memungkinkan untuk dilakukan intubasi seperti pada
kasus trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra
servikal.3,14

b) Alat untuk intubasi


1. Laringoskopi
2. Pipa endotrakea
3. Pipa orofaring atau nasofaring
4. Plester
5. Forsep intubasi
6. Suction3,14

c) Teknik intubasi endotrakeal

Intubasi endotrakeal merupakan tindakan penyelamat (life saving


procedure) yang dapat dilakukan tanpa atau dengan analgetika topikal dengan
xylocain 10%. Posisi pasien tidur terlentang, leher sedikit fleksi dan kepala
ekstensi. Laringoskop dengan spatel bengkok dipegang dengan tangan kiri,
dimasukan melalui mulut sebelah kanan, sehingga lidah terdorong kekiri. Spatel
diarahkan menelusuri pangkal lidah ke valekula, lalu laringoskop diangkat
keatas, sehingga pita suara dapat terlihat, dengan tangan kanan pipa endotrakea
dimasukan melalui mulut terus melalui celah antara kedua pita suara kedalam
trakea. 1,3
Pipa endotrakea dapat juga dimasukan melalui salah satu lubang hidung
sampai rongga mulut dan dengan cunan magili ujung pipa endotrakea dimasukan
kedalam celah antara kedua pita suara sampai ke trakea. Kemudian balon diisi

31
udara dan pipa endotrakea difiksasi dengan baik. Apabila menggunakan spatel
laringoskop yang lurus maka pasien yang tidur terlentang itu, pundaknya harus
diganjang dengan bantal pasir sehingga kepala mudah diekstensikan maksimal.
Laringoskop dengan spatel yang lurus dipegang dengan tangan kiri dan
dimasukan mengikuti dinding faring posterior dan epiglotis diangkat horizontal
ke atas bersama-sama sehingga laring jelas terlihat. 3
Pipa endotrakea dipegang dengan tangan kanan dan dimasukan melalui
celah pita suara sampai ditrakea. Kemudian balon diisi udara dan pipa
endotrakea di fiksasi dengan plester. Memasukan pipa endotrakea harus hati-hati
karena dapat menyebabkan trauma pita suara, laserasi pita suara timbul
granuloma dan stenosis laring atau trakea. 3

Gambar 15. Teknik Pelaksanaan Intubasi Endotrakea3

2.5.2. Krikotiroidotomi
Krikotiroidotomi merupakan tindakan penyelamat pada pasien dalam
keadaan gawat napas. Dengan cara membelah membran krikotiroid untuk
dipasang kanul. Membran ini terletak dekat kulit, tidak terlalu kaya darah
sehingga lebih mudah dicapai. Tindakan ini harus dikerjakan cepat walaupun
persiapannya darurat.

32
a) Klasifikasi

Krikotiroidotomi dibagi menjadi 2 macam yaitu needle cricothyroidotomy


dan surgical cricothyroidotomy.

1. Needle cricothyroidotomy
Pada needle cricothyroidotomy, sebuah semprit dengan jarum digunakan
untuk melubangi melewati membran krikoid yang berada sepanjang trakea.
Setelah jarum menjangkau trakea, kateter dilepaskan dari jarumnya dan
dimasukkan ke tenggorokan dan dilekatkan pada sebuah kantung berkatup.

2. Surgical cricothyroidotomy
Pada surgical cricothyroidotomy, dokter dan tim medis lainnya
membuat insisi melewati membran krikoid sampai ke trakea dengan tujuan
memasukkan pipa untuk ventilasi pasien. 15

b) Teknik Krikotirodotomi
- Pasien tidur telentang dengan kepala ekstensi pada artikulasi
atlantooksipitalis.
- Puncak tulang rawan tiroid mudah diidentifikasi difiksasi dengan jari tangan
kiri.
- Dengan telunjuk jari tangan kanan tulang rawan tiroid diraba ke bawah
sampai ditemukan kartilago krikoid. Membran krikotiroid terletak di antara
kedua tulang rawan ini. Daerah ini diinfiltrasi dengan anestetikum kemudian
dibuat sayatan horizontal pada kulit.
- Jaringan di bawah sayatan dipisahkan tepat pada garis tengah.
- Setelah tepi bawah kartilago terlihat, tusukkan pisau dengan arah ke bawah.
- Kemudian masukkan kanul bila tersedia. Jika tidak, dapat dipakai pipa
plastik untuk sementara.

33
Gambar 16 . Krikotirotomi yang Dilakukan pada Obstruksi Laring Stadium IV 3

Krikotirodotomi merupakan kontraindikasi pada anak dibawah 12 tahun,


demikian juga pada tumor laring yang sudah meluas ke subglotik dan terdapat
laryngitis. Stenosis subglotik akan timbul bila kanul dibiarkan terlalu lama karena
kanul yang letaknya tinggi akan mengiritasi jaringan-jaringan disekitar subglotis,
sehingga terbentuk jaringan granulasi dan sebaiknya segera diganti dengan
trakeostomi dalam waktu 48 jam.3

3. Trakeostomi
Trakeostomi adalah suatu tindakan dengan membuka dinding depan/anterior
trakea untuk mempertahankan jalan nafas agar udara dapat masuk ke paru-paru
dan memintas jalan nafas bagian atas. Menurut letak stoma, trakeostomi
dibedakan letak yang tinggi dan letak yang rendah dan batas letak ini adalah
cincin trakea ketiga. Sedangkan menurut waktu dilakukan tindakan maka
trakeostomi dibagi dalam 1) trakeostomi darurat (dalam waktu yang segera dan

34
persiapan sarana sangat kurang) 2) trakeostomi berencana (persiapan sarana
cukup) dan dapat dilakukan secara baik.3
a) Indikasi trakeostomi
Indikasi trakeostomi termasuk sumbatan mekanis pada jalan nafas dan
gangguan non obstruksi yang mengubah ventilasi dan pasien dengan crtical ill
yang memerlukan intubasi cukup lama (7-21 hari). Gangguan yang
mengindikasikan perlunya trakeostomi; 1,3
- Untuk mengatasi obstruksi laring yang menghambat jalan nafas.
- Mengurangi ruang rugi (dead air space) disaluran nafas atas seperti daerah
rongga mulut, sekitar lidah dan faring. Dengan adanya stoma maka seluruh
oksigen yang masuk kedalam paru, tidak ada yang tertinggal diruang rugi
itu. Hal ini berguna pada pasien dengan kerusakan paru, yang kapasitas
vitalnya berkurang.
- Mempermudah pengisapan sekret dari bronkus pada pasien yang tidak
dapat mengeluarkan sekret secara fisiologik, misalnya pada pasien dalam
keadaan koma.
- Untuk mengambil benda asing dari subglotik, apabila tidak mempunyai
fasilitas untuk bronkoskopi.
- Penyakit inflamasi yang menyumbat jalan nafas ( misal angina ludwig),
epiglotitis dan lesi vaskuler, neoplastik atau traumatik yang timbul melalui
mekanisme serupa.
- Cedera parah pada wajah dan leher
- Setelah pembedahan wajah dan leher
- Hilangnya refleks laring dan ketidakmampuan untuk menelan
sehinggamengakibatkan resiko tinggi terjadinya aspirasi

Tindakan trakeostomi dilakukan pada pasien dengan sumbatan laring


stadium 2 dan 3. Tindakan ini akan menurunkan jumlah udara residu anatomis
paru hingga 50 % nya. Sebagai hasilnya, pasien hanya memerlukan sedikit
tenaga yang dibutuhkan untuk bernafas dan meningkatkan ventilasi alveolar.
Tetapi hal ini juga sangat tergantung pada ukuran dan jenis pipa trakeostomi. 3

35
b) Teknik Trakeostomi

Penderita tidur telentang dengan kaki lebih rendah 30˚ untuk menurunkan
tekanan vena di daerah leher. Punggung diberi ganjalan sehingga terjadi
ekstensi. Leher harus lurus, tidak boleh laterofleksi atau rotasi. Dilakukan
desinfektan daerah operasi dengan betadin atau alkohol. Anestesi lokal
subkutan, prokain 2% atau silokain dicampur dengan epinefrin atau adrenalin
1/100.000. Anestesi lokal atau infiltrasi ini tetap diberikan meskipun
trakeostomi dilakukan secara anestesi umum.
Selanjutnya dilakukan insisi, insisi vertikal dimulai dari batas bawah
krikoid sampai fossa suprasternum, insisi ini lebih mudah dan alir sekret lebih
mudah. Insisi horizontal dilakukan setinggi pertengahan krikoid dan fossa
sternum, membentang antara kedua tepi depan dan medial
m.sternokleidomastoid, panjang irisan 4-5 cm. Irisan mulai dari kulit, subkutis,
platisma sampai fasia colli superfisial secara tumpul. Bila tampak ismus, maka
ismus disisikan ke atas atau ke bawah. Bila mengalami kesukaran dan tidak
memungkinkan, potong saja.
Bila sudah tampak trakea maka difiksasi dengan kain tajam. Kemudian
suntikkan anestesi lokal kedalam trakea sehingga tidak timbul batuk pada
waktu memasang kanul. Stoma dibuat pada cincin trakea 2-3 bagian depan,
setelah dipastikan trakea yaitu dengan menusukkan jarum suntik dan letakkan
benang kapas tersebut. Kemudian kanul dimasukkan dengan bantuan dilator.
Kanul difksasi dengan pita melingkar leher, jahitan kulit sebaiknya jahitan
longgar agar udara ekspirasi tidak masuk ke jaringan dibawah kulit.

36
Gambar 17. Trakeostomi yang dilakukan pada obstruksi laring
stadium II dan III3

c) Perawatan Pasca Trakeostomi segera setelah trakeostomi dilakukan:

37
- Rontgen dada untuk menilai posisi tuba dan melihat timbul atau tidaknya
komplikasi
- Antibiotik untuk menurunkan risiko timbulnya infeksi
- Mengajari pihak keluarga dan penderita sendiri cara merawat pipa
trakeostomi
Perawatan pasca trakeostomi sangat penting karena sekret dapat menyumbat
dan menimbulkan asfiksia. Oleh karena itu, sekret di trakea dan kanul harus sering
diisap ke luar dan kanul dalam dicuci sekurang-kurangnya dua kali sehari lalu
segera dimasukkan lagi ke dalam kanul luar. Bila kanul harus dipasang dalam
jangka waktu lama, maka kanul harus dibersihkan dua minggu sekali. Kain basah
di bawah kanul harus diganti untuk menghindari timbulnya dermatitis. Gunakan
kompres hangat untuk mengurangi rasa nyeri pada daerah insisi.3

4. Perasat Heimlich (Heimlich Maneuver)


Perasat heimlich adalah suatu cara mengeluarkan benda asing yang
menyumbat laring secara total atau benda asing ukuran besar yang terletak di
hipofaring. Prinsip mekanisme perasat heimlich adalah dengan memberi tekanan
pada paru. Diibaratkan paru sebagai sebuah botol plastik berisi udara yang
tertutup oleh sumbatan. Dengan memencet botol plastik itu sumbatan akan
terlempar keluar. Perasat heimlich ini dapat dilakukan pada orang dewasa dan
juga pada anak. Komplikasi yang dapat terjadi adalah ruptur lambung, ruptur hati
dan fraktur iga.
Teknik perasat heimlich:
- Penolong berdiri di belakang pasien sambil memeluk badannya.
- Tangan kanan dikepalkan dan dengqan bantuan tangan kiri, kedua tangan
diletakkan pada perut bagian atas.
- Kemudian dilakukan penekanan pada rongga perut kearah dalam dan kearah
atas dengan hentakan beberapa kali. Diharapkan dengan hentakan 4-5 kali
benda asing akan terlempar keluar. Pada anak, penekanan cukup dengan
memakai jari telunjuk dan jari tengah kedua tangan.

38
- Pada pasien yang tidak sadar atau terbaring, dapat dilakukan dengan cara
penolong berlutut dengan kedua kaki pada kedua sisi pasien. Kepalan tangan
diletakkan di bawah tangan kiri di daerah epigastrium.
- Dengan hentakan tangan kiri ke bawah dan ke atas beberapa kali udara dalam
paru akan mendorong benda asing keluar.3

Gambar 18. Perasat heimlich3

39
BAB III
PENUTUP

Sumbatan atau obstruksi saluran napas atas merupakan kegawatdaruratan


yang harus segera diatasi untuk mencegah kematian. Obstruksi saluran napas atas
dapat disebabkan oleh radang akut dan radang kronis, benda asing, trauma
akibat kecelakaan, perkelahian, percobaan bunuh diri dengan senjata tajam dan
trauma akibat tindakan medik yang dilakukan dengan gerakan tangan kasar,
tumor pada laring berupa tumor jinak maupun tumor ganas, serta kelumpuhan
nervus rekuren bilateral.
Penanggulangan pada obstruksi saluran napas atas bertujuan agar jalan
napas lancar kembali. Tindakan konservatif berupa pemberian antiinflamasi, anti
alergi, antibiotika serta pemberian oksigen intermiten, yang dilakukan pada
sumbatan laring stadium I yang disebabkan oleh peradangan. Tindakan operatif
atau resusitasi dengan memasukan pipa endotrakeal melalui mulut (intubasi
orotrakea) atau melalui hidung (intubasi nasotrakea) membuat trakeostoma yang
dilakukan pada sumbatan laring stadium II dan III atau melakukan krikotirotomi
yang dilakukan pada sumbatan laring stadium IV. Perasat heimlich digunakan
untuk mengeluarkan benda asing yang menyumbat laring secara total atau benda
asing ukuran besar yang terletak di hipofaring. Penanggulanan sumbatan saluran
napas atas yang tepat dan cepat sangat dibutuhkan untuk mencegah kematian.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Boeis LR, Calcacetra TC, Palparella M M. Boies fundamental of


otolaryngology. Edisi V. Saunders, Philadelphia, 2010.

2. Yataco JC, Mehta AC. Upper airway obstruction. In: Raoof S, George L,
Saleh A, Sung A, editors. Manual of critical care. New York: McGraw
Hill Medical; 2009:388-397.

3. Soepardi EA, Iskandar N. Editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga-


Hidung-Tenggorok. Edisi 7. Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. 2012.
4. Sasaki CT, Kim YH. Anatomy and physiologi of the larynx. In: Ballenger
JJ, Snow JB, editors. Otorhinolaryngologi head and neck surgery.
Ontario: BC Decker Inc; 2003. p.1090-95

5. Sloane E. Anatomi dan fisiologi untuk pemula. Jakarta: Penerbit Buku


Kedokteran EGC; 2004.p.218-47

6. Yilmaz AS, Nacleiro RM. Anatomy and Physiology of the Upper Airway.
Proc Am Thorac Soc. 2011. Vol 8. p 31–39.

7. Richard E, Behrman, Robert M; editor. Ilmu kesehatan anak nelson.


Volume 3. Jakarta ; EGC. 2006. Hal 2196-2212.
8. Rudolph MA, Hoffman JIE, Rudolph CD. Buku ajar pediatri rudolph.
Edisi 20 volume 2. Jakarta: EGC; 2006. Hal 1051-2.
9. Gompf, S. G. Epiglotitis 2011. Tersedia di:

http//emedicide.medscape.com.article/763612 (diakses 25 Maret 2016)

10. Chung, C. H. Case and literature review: Adult acute epiglotitis – Rising

incidence or increasing a wareness. Hongkong J Emerg Med. Tersedia di:

http//www.hkcem.com/html/publications/journal/2001-3/227-231.pdf

(diakses 25 Maret 2016)

41
11. Snow, J. B. Ballenger, J. J. Ballenger’s otorhinolaryngology head and

neck surgery. 16th ed. USA: BC Decker; 2003

12. Jong Wim De.,R.Sjamsuhidrajat. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3.

EGC.2005

13. Ballenger JJ. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Edisi
13. Penerbit Binarupa Aksara. Jakarta. 1994.
14. Mc Person K, Stephen CM. Managing Airway Obstruction. British
Journal of Hospital Medicine, October 2012, Vol 73, No 10.

15. Fagan J. Open Access Atlas Of Otolaryngology, Head & Neck Operative
Surgery. Cricothyroidotomy & Needle Cricothyrotomy. University of
Cape Town. South Africa. 2010: 1-10

42

Anda mungkin juga menyukai