Peran Probiotik Terhadap Alergi
Peran Probiotik Terhadap Alergi
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Probiotik
2.1.1. Definisi
Istilah probiotik pertama kali diperkenalkan oleh Lilley dan Stillwell pada
tahun 1965 yang mendefinisikan probiotik sebagai mikroba yang menstimulasi
pertumbuhan mikroba lainnya. Menurut The Joint Food and Agriculture
Organization (FAO) and World Health Organization (WHO) tahun 2002 probiotik
adalah mikroorganisme hidup yang jika diberikan kepada inang manusia dalam
jumlah adekuat dapat memberikan manfaat kesehatan kepada inangnya. 1,5 The Joint
FAO and WHO pada tahun 2006 membuat beberapa kriteria agar suatu
mikroorganisme dapat diterima sebagai suatu probiotik antara lain:2
Penentuan genus dan spesies mikroorganisme.
Tes in-vitro untuk menentukan potensi probiotik, seperti resistensi terhadap
asam lambung, kemampuan antimikrobial probiotik untuk menghadapi bakteri
patogen, atau kemampuan probiotik untuk mengurangi adhesi bakteri patogen
ke permukaan sel.
Strain probiotik tersebut terbukti aman dikonsumsi dan tidak terdapat
kontaminasi pada bentuk sediaan pemberiannya.
Telah dilakukan percobaan in-vivo untuk menentukan peran dan manfaatnya
pada inang hewan atau manusia sehat.
2.1.2. Manfaat
Ada kondisi medis tertentu dimana probiotik bukan merupakan pilihan yang tepat.
Probiotik mengandung mikroorganisme hidup sehingga ada peluang terjadi infeksi
patologis, terutama pada penderita yang kritis atau penderita dengan
immunocompromised yang berat. Probiotik strains Lactobacillus dilaporkan
menyebabkan bakteremia pada pasien dengan short-bowel syndrome. Preparat
Lactobacillus dikontraindikasikan pada pasien dengan hipersensitivitas terhadap laktosa
atau susu. S. boulardii dikontraindikasikan pada pasien dengan alergi ragi. Pada
Bifidobacteria, tidak ada kontraindikasi karena sebagian besar spesies ini non patogenik
dan non toksigenik.9
Probiotik telah lama digunakan sebagai produk makanan dan susu, dan tingkat ke
amanannya baik. Sebuah studi meta-analisis skala besar oleh Agency for Healthcare Rese
arch and Quality (AHRQ) (2001) menelaah 677 studi keamanan penggunaan probiotik m
enjelaskan bahwa tidak ada efek samping bermakna seperti infeksi atau gangguan gastroi
ntestinal dibandingkan kelompok kontrol.9
Beberapa efek samping penggunaan probiotik pada anak yang pernah dilaporkan:10,11
Selain itu, diketahui pula bahwa efek samping probiotik sering ditemukan terutama pada
pasien dengan imunodefisiensi.11
2.2. Alergi
2.2.1. Definisi
Istilah alergi yang pertama kali digunakan Von Pirquet pada tahun 1906 diartikan
sebagai “reaksi penjamu yang berubah” bila terjadi kontak dengan bahan yang sama untu
k kedua kali atau lebih. Alergi merupakan suatu reaksi menyimpang dari mekanisme pert
ahanan tubuh terhadap zat/bahan yang secara normal tidak berbahaya bagi tubuh, dan mel
ibatkan sistem kekebalan tubuh terutama antibodi imunoglobulin E (IgE). Menurut kamu
s kedokteran Dorland, alergi merupakan keadaan hipersensitivitas yang diinduksi oleh pa
janan terhadap suatu antigen (alergen) tertentu yang menimbulkan reaksi imunologik ber
bahaya pada pajanan berikutnya. 3
2.2.2. Patogenesa
Patofisiologi :
Pajanan awal terhadap antigen tertentu (alergan) merangsang induksi sel T CD4+ tipe
TH2. Sel CD4+ ini berperan penting dalam patogenesis hipersensitivitas tipe I karena sitokin
yang disekresikannya (khususnya IL-4 dan IL-5) menyebabkan diproduksimya IgE oleh sel
B, yang bertindak sebagai faktor pertumbuhan untuk sel mast, serta merekrut dan
mengaktivasi eosinofil. Antibodi IgE berikatan pada reseptor Fc berafinitas tinggi yang
terdapat pada sel mast dan basofil; begitu sel mast dan basofil “dipersenjatai”, individu yang
bersangkutan diperlengkapi untuk menimbulkan hipersensitivitas tipe I. Pajanan yang ulang
terhadap antigen yang sama mengakibatkanpertautan-silang pada IgE yang terikat sel dan
pemicu suatu kaskade sinyal intrasel sehingga terjadi pelepasan beberapa mediator kuat.
Mediator primer untuk respons awal sedangkan mediator sekunder untuk fase lambat.13
Respons awal, ditandai dengan vasodilatasi, kebocoran vaskular, dan spasme otot
polos, yang biasanya muncul dalam rentang waktu 5-30 menit setelah terpajan oleh suatu
alergan dan menghilang setelah 60 menit. Reaksi fase lambat, yang muncul 2-8 jam
kemudian dan berlangsung selama beberapa hari. Reaksi fase lambat ini ditandai dengan
infiltrasi eosinofil serta sel peradangan akut dan kronis lainnya yang lebih hebat pada
jaringan dan juga ditandai dengan penghancuran jaringan dalam bentuk kerusakan sel epitel
mukosa.13
Mediator Primer
Histamin, yang merupakan mediator primer terpenting, menyebabkan meningkatnya
permeabilitas vaskular, vasodilatasi, bronkokontriksi, dan meningkatnya sekresi mukus.
Mediator lain yang segera dilepaskan meliputi adenosin (menyebabkan bronkokonstriksi
dan menghambat agregasi trombosit) serta faktor kemotaksis untuk neutrofil dan
eosinofil. Mediator lain ditemukan dalam matriks granula dan meliputi heparin serta
protease netral (misalnya, triptase). Protease menghasilkan kinin dan memecah
komponen komplemen untuk menghasilkan faktor kemotaksis dan inflamasi tambahan
(misalnya, C3a). 13
Mediator Sekunder
Leukotrien C4 dan D4 merupakan agen
vasoaktif dan spasmogenik yang dikenal paling
poten; pada dasra molar, agenini beberapa ribu
kali lebih aktif daripada histamin dalam
meningkatkan permeabilitas vaskular dan alam
menyebabkan kontraksi otot polos bronkus.
Leukotrien B4 sangat kemotaktik untuk neutrofil,
eosinofil, dan monosit.
Prostaglandin D2 adalah mediator yang
paling banyak dihasilkan oleh jalur
siklooksigenasi dalam sel mast. Mediator ini menyebabkan bronkospasme hebat serta
meningkatkan sekresi mukus.
Faktor pengaktivasi trombosit merupakan mediator sekunder lain, mengakibatkan
agregasi trombosit, pelepasan histamin dan bronkospasme. Mediator ini juga bersifat
kemotaltik untuk neutrofil dan eosinofil.
Sitokin yang diproduksi oleh sel mast (TNF, IL-1, IL-4, IL-5 dan IL-6) dan
kemokin berperan penting pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui kemampuannya
merekrut dan mengaktivasi berbagai macam sel radang. TNF merupakan mediator yang
sangat poten dalam adhesi, emigrasi, dan aktivasi leukosit. IL-4 juga merupakan faktor
pertumbuhan sel mast dan diperlukan untuk mengendalikan sintesis IgE oleh sel B.13
Manifestasi Klinis :
Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal.
Pemberian antigen protein atau obat (misalnya, bias lebah atau penisilin) secara sistemik
(parental) menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan,
pada pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan
bengkak), dan eritems kulit, diikuti oleh kesulitan bernafas berat yang disebabkan oleh
bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan hipersekresi mukus. Edema laring dapat
memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi saluran pernafasan bagian atas.
Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat terserang, dan mengakibatkan vomitus,
kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera, dapat terjadi vasodilatasi sistemik (syok
anafilaktik), dan penderita dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan kematian dalam
beberapa menit. 13
Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu
sesuai jalur pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus
gastrointestinal (ingesti, menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan
bronkokonstriksi).13
Hipersensitivitas tipe II diperantarai oleh antibodi yang diarahkan untuk melawan antigen
target pada permukaan sel atau komponen jaringan lainnya. Respon hipersensitivitas
disebabkan oleh pengikatan antibodi yang diikuti salah satu dari tiga mekanisme bergantung
antibodi, yaitu:13
2.
Jejas akibat kompleks imun dapat bersifat sistemik jika kompleks tersebut terbentuk
dalam sirkulasi mengendap dalam berbagai organ, atau terlokalisasi pada organ tertentu
(misalnya, ginjal, sendi, atau kulit) jika kompleks tersebut terbentuk dan mengendap pada
tempat khusus. Tanpa memperhatikan pola distribusi, mekanisme terjadinya jejas jarungan
adalah sama; namun, urutan kejadian dan kondisi yang menyebabkan terbentuknya kompleks
imun berbeda.13
Patofisiologi:
Kira-kira 5 menit setelah protein asing
(misalnya, serum antitetanus kuda) diinjeksikan, antibodi
spesifik akan dihasilkan; antibodi ini bereaksi dengan
antigen yang masih ada dalam sirkulasi untuk membentuk
kompleks antigen-antibodi (tahap pertama). Pada tahap
kedua, kompleks antigen-antibodi yang terbentuk dalam
sirkulasi mengendap dalam berbagai jaringan. Dua faktor
penting yang menentukan apakah pembentukan kompleks
imun menyebabkan penyakit dan pengendapan jaringan:12
Ukuran kompleks imun. Kompleks yang sangat besar yang terbentuk pada keadaan
jumlah antibodi yang berlebihan segera disingkirkan dari sirkulasi oleh sel fagosit
mononuklear sehingga relatif tidak membahayakan. Kompleks paling patogen yang
terbentuk selama antigen berlebih dan berukuran kecil atau sedang, disingkirkan secara
lebih lambat oleh sel fagosit sehingga lebih lama berada dalam sirkulasi.
Status sistem fagosit mononuklear. Karena normalnya menyaring keluar kompleks imun,
makrofag yang berlebih atau disfungsional menyebabkan bertahannya kompleks imun
dalam sisrkulasi dan meningkatkan kemungkinan pengendapan jaringan.
Faktor lain yang mempengaruhi pengendapan kompleks imun yaitu muatan kompleks
(anionic vs kationik), valensi antigen, aviditas antibodi, afinitas antigen terhadap berbagai
jaringan, arsitektur tiga dimensi kompleks tersebut, dan hemodinamika pembuluh darah yang
ada tempat pengendapan kompleks imun yang disukai adalah ginjal, sendi, kulit, jantung,
permukaan serosa, dan pembulah darah kecil. Lokasinya pada ginjal dapat dijelaskan
sebagian melalui fungsi filtrasi glomerulus, yaitu terperangkapnya kompleks dalam sirkulasi
pada glomerulus. Belum ada penjelasan yang sama memuaskan untuk lokalisasi kompleks
imun pada tempat predileksi lainnya. 13
Untuk kompleks yang meninggalkan sirkulasi dan mengendap di dalam atau di luar
dinding pembuluh darah, harus terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Hal ini
mungkin terjadi pada saat kompleks imun berkaitan dengan sel radang melalui reseptor Fc
dan C3b dan memicu pelepasan mediator vasoaktif dan/ atau sitokin yang meningkatkan
permeabilitas. Saat kompleks tersebut mengendap dalam jaringan, terjadi tahap ketiga, yaitu
reaksi radang. Selama tahap ini (kira-kira 10 hari setelah pemberian antigen), muncul
gambaran klinis, seperti demam, utikaria, artralgia, pembesaran kelenjar getah bening, dan
proteinuria.13
Jelasnya hanya antibodi pengikat komplemen (yaitu IgG dan IgM) yang dapat
menginduksi lesi semacam itu. Karena IgA dapat pula mengaktivasi komplemen melalui
jalur alternatif, kompleks yang mengandung IgA dapat pula menginduksi jejas jaringan.
Peran penting komplemen dalam patogenesis jejas jaringan didukung oleh adanya
pengamatan bahwa pengurangan kadar komplemen serum secara eksperimental akan sangat
menurunkan keparahan lesi, demikian pula yang terjadi pada neutrofil. Selama fase aktif
penyakit, konsumsi komplemen menurunkan kadar serum.13
Pada reaksi hipersensitivitas tipe I, II dan III yang berperan adalah antibodi (imunitas
humoral), sedangkan pada tipe IV yang berperan adalah limfosit T atau dikenal sebagai
imunitas seluler. Imunitas selular merupakan mekanisme utama respons terhadap berbagai
macam mikroba, termasuk patogen intrasel seperti Mycobacterium tuberculosis dan virus,
serta agen ekstrasel seperti protozoa, fungi, dan parasit. Namun, proses ini juga dapat
mengakibatkan kematian sel dan jejas jaringan, baik akibat pembersihan infeksi yang normal
ataupun sebagai respons terhadap antigen sendiri (pada penyakit autoimun). Hipersensitivitas
tipe IV diperantarai oleh sel T tersensitisasi secara khusus bukan antibodi dan dibagi lebih
lanjut menjadi dua tipe dasar: (1) hipersensitivitas tipe lambat, diinisiasi oleh sel T CD4+,
dan (2) sitotoksisitas sel langsung, diperantarai olehsel T CD8+. Pada hipersensitivitas tipe
lambat, sel T CD4+ tipe TH1 menyekresi sitokin sehingga menyebabkan adanya perekrutan
sel lain, terutama makrofag, yang merupakan sel efektor utama. Pada sitotoksisitas seluler,
sel T CD8+ sitoksik menjalankan fungsi efektor.13
Contoh klasik DTH adalah reaksi tuberkulin. Delapan hingga 12 jam setelah injeksi
tuberkulin intrakutan, muncul suatu area eritema dan indurasi setempat, dan mencapai
puncaknya (biasanya berdiameter 1 hingga 2 cm) dalam waktu 24 hingga 72 jam (sehingga
digunakan kata sifat delayed [lambat/ tertunda]) dan setelah itu akan mereda secara
perlahan.secara histologis , reaksi DTH ditandai dengan penumpukan sel helper-T CD4+
perivaskular (“seperti manset”) dan makrofag dalam jumlah yang lebih sedikit. Sekresi lokal
sitokin oleh sel radang mononuklear ini disertai dengan peningkatan permeabilitas
mikrovaskular, sehingga menimbulkan edema dermis dan pengendapan fibrin; penyebab
utama indurasi jaringan dalam respons ini adalah deposisi fibrin. Respons tuberkulin
digunakan untuk menyaring individu dalam populasi yang pernah terpejan tuberkulosis
sehingga mempunyai sel T memori dalam sirkulasi. Lebih khusus lagi, imunosupresi atau
menghilangnya sel T CD4+ (misalnya, akibat HIV) dapat menimbulkan respons tuberkulin
yang negatif, bahkan bila terdapat suatu infeksi yang berat.13
4. Alergi obat
Alergi obat adalah suatu reaksi simpang obat yang diperantarai oleh
mekanisme imunologi. Mekanisme yang mendasari alergi obat dapat berupa reaksi
hipersensitivitas tipe 1, 2, 3 atau 4. Alergi obat memerlukan paparan sebelumnya
dengan obat yang sama atau terjadi akibat reaksi silang. 14
5. Rhinitis Alergi
Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi oleh alergen yang sama serta
dilepaskan suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen
spesifik tersebut. Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and it’s Impact on Asthma),
2001, rhinitis alergi adalah kelainan pada gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan
tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantai oleh Ig E. Pasien
datang dengan keluhan keluarnya ingus encer dari hidung (rinorea), bersin, hidung
tersumbat dan rasa gatal pada hidung. Bersin merupakan gejala khas, biasanya terjadi
berulang, terutama pada pagi hari. Bersin lebih dari lima kali sudah dianggap
patologik dan perlu dicurigai adanya rhinitis alergi dan ini menandakan reaksi alergi
fase cepat. Gejala lain berupa mata gatal dan banyak air mata. 14
6. Urtikaria dan Angoedema
Urtikaria adalah erupsi kulit menyeluruh, menonjol, berbats tegas, umumnya
berbentuk bulat, gatal, eritematus dan berwarna putih di bagian tengah bila ditekan.
Angioedema adalah pembengkakan asimetris, non pitting, dan umunya tidak gatal.
Penyebab urtikaria terbanyak adalah degranulasi sel mast dengan akibat munculnya
urtika dan kemerahan karena lepasnya prefromed mediator, histmani, juga newly
formed mediator. Pada anak, hal ini terutama terjadi akibat papran terhadap alergen.
Sumber utama alergen yang mencetuskan urtikaria dengan perantaraan IgE adalah
makanan dan obat. 17
2.2.4. Diagnosis
1. Anamnesis
Pada anamnesis umumnya ditanyakan hal-hal seperti berikut :
a. Kapan gejala timbul dan apakah mulainya mendadak atau berangsur. Umur
permulaan timbulnya gejala dapat menuntun kita untuk membedakan apakah kondisi
tersebut diperantarai IgE atau tidak.
b. Karakter, lama, frekuensi dan beratnya gejala. Urtikaria akut lebih mungkin
disebabkan oleh alergen dibanding urtikaria yang kronik.
c. Saat timbulnya gejala. Apakah keluhan paling hebat di waktu pagi, siang, malam
atau tidak menentu. Alergi dapat intermitten setiap tahun atau berhubungan dengan
musim.
d. Pekerjaan dan hobi. Keluhan pasien dapat saja timbul saat berada di rumah, di
sekolah, atau di tempat kerja. Sekitar 5% kasus asma berhubungan dengan tempat
kerja.
e. Pada pasien asma atau alergi saluran napas lain ditanyakan juga tentang dahak:
jumlahnya (banyak, sedang, sedikit), warnanya (putih, kuning, hijau) kekentalan
(encer, kental)
f. Pengaruh terhadap kualitas hidup
g. Riwayat alergi dalam keluarga. 17
2. Pemeriksaan Fisis
a. Kulit
Seluruh kulit harus diperhatikan apakah ada perdangan kronik seperti ekskoriasi,
bekas garukan terutama lipatan-lipatan kulit daerah fleksor. Lihat pula apakah
terdapat lesi urtikaria, angioedema, dermatitis, dan likenifikasi.
b. Mata
Diperiksa terhadap hiperemis konjungtiva, edema, sekret mata yang berlebihan.
c. Telinga
Lakukan pemeriksaan membran timpani untuk mencari otitis media
d. Hidung
Allergic salute: Pasien dengan menggunakan telapak tangan menggosok ujung
hidungnya ke arah atas untuk menghilangkan rasa gatal dan melonggarkan
sumbatan; allergic crease, garis melintang akibat lipatan kulit ujung hidung;
kemudian allergic facies, terdiri dari pernapasan mulut, allergic shiners, dan kelainan
gigi-geligi. Bagian dalam diperiksa dengan menggunakan spekulum hidung dengan
bantuan senter untuk menilai warna mukosa, jumlah dan bentuk sekret, edema, polip
hidung, dan abnormalitas anatomi seperti deviasi septum.
e. Mulut dan orofaring
Pemeriksaan ditujukan untuk menilai eritema, edema, hipertrofi tonsil, post nasal
drip. Pada rinitis alergi, sering terlihat mukosa orofaring kemerahan, edema, atau
keduanya.
f. Dada
Diperiksa secara inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi baik terhadap organ paru
maupun jantung. Pada waktu serangan asma kelainan dapat berupa hiperinflasi,
penggunaan otot bantu pernapasan dan mengi. 17
3. Pemeriksaan penunjang
2.2.1. Pemeriksaan in vitro
Hitung eosinofil total
Pemeriksaan hitung eosinofil total perlu dilakukan untuk menunjang diagnosis
dan mengevaluasi pengobatan penyakit alergi. Eosinofilia apabila dijumpai
jumlah eosinofil darah lebih dari 450 eosinofil/µL. Hitung eosinofil total dengan
kamar hitung lebih akurat dibandingkan persentase hitung jenis eosinofil sediaan
apus darah tepi dikalikan hitung leukosit total. Eosinofilia sedang (15%-40%)
didapatkan pada penyakit alergi, infeksi parasit, pajanan obat, keganasan, dan
defisiensi imun, sedangkan eosinofilia yang berlebihan (50%-90%) ditemukan
pada migrasi larva. Dibandingkan IgE, eosinofilia menunjukkan korelasi yang
lebih kuat dengan sinusitis berat maupun sinusitis kronis. Jumlah eosinofil darah
dapat berkurang akibat infeksi dan pemberian kortikosteroid secara sistemik.15
Hitung eosinofil dalam sekret
Peningkatan jumlah eosinofil dalam apusan sekret hidung merupakan
indikator yang lebih sensitif dibandingkan eosinofilia darah tepi, dan dapat
membedakan rinitis alergi dari rinitis akibat penyebab lain. Meskipun demikian
tidak dapat menentukan alergen penyebab yang spesifik. Esinofilia nasal pada
anak apabila ditemukan eosinofil lebih dari 4% dalam apusan sekret hidung,
sedangkan pada remaja dan dewasa bila lebih dari 10%. Eosinofilia sekret hidung
juga dapat memperkirakan respons terapi dengan kortikosteroid hidung topikal.
Hitung eosinofil juga dapat dilakukan pada sekret bronkus dan konjungtiva. 15
Kadar serum IgE total
Peningkatan kadar IgE serum sering didapatkan pada penyakit alergi
sehingga seringkali dilakukan untuk menunjang diagnosis penyakit alergi. 1,2
Pasien dengan dermatitis atopi memiliki kadar IgE tertinggi dan pasien asma
memiliki kadar IgE yang lebih tinggi dibandingkan rinitis alergi.1 Meskipun rerata
kadar IgE total pasien alergi di populasi lebih tinggi dibandingkan pasien non-
alergi, namun adanya tumpang tindih kadar IgE pada populasi alergi dan non-
alergi menyebabkan nilai diagnostik IgE total rendah.1,5 Kadar IgE total
didapatkan normal pada 50% pasien alergi, dan sebaliknya meningkat pada
penyakit non-alergi (infeksi virus/jamur, imunodefisiensi, keganasan). 15
Kadar IgE spesifik
Pemeriksaan kadar IgE spesifik untuk suatu alergen tertentu dapat
dilakukan secara in vivo dengan uji kulit atau secara in vitro dengan metode
RAST (Radio Allergosorbent Test), ELISA (Enzyme-linked Immunosorbent
Assay), atau RAST enzim.2,5 Kelebihan metode RAST dibanding uji kulit adalah
keamanan dan hasilnya tidak dipengaruhi oleh obat maupun kelainan kulit. Hasil
RAST berkorelasi cukup baik dengan uji kulit dan uji provokasi, namun
sensitivitas RAST lebih rendah.15
2.2.2. Pemeriksaan in vivo
Uji kulit
Sel mast dengan IgE spesifik untuk alergen tertentu berlekatan dengan
reseptor yang berafinitas tinggi pada kulit pasien dengan alergi. Kontak sejumlah
kecil alergen pada kulit pasien yang alergi dengan alergen akan menimbulkan
hubungan silang antara alergen dengan sel mast permukaan kulit, yang akhirnya
mencetuskan aktivasi sel mast dan melepaskan berbagai preformed dan newly
generated mediator. Histamin merupakan mediator utama dalam timbulnya reaksi
wheal, gatal, dan kemerahan pada kulit (hasil uji kulit positif). Reaksi kemerahan
kulit ini terjadi segera, mencapai puncak dalam waktu 20 menit dan mereda
setelah 20-30 menit. Beberapa pasien menunjukkan edema yang lebih lugas
dengan batas yang tidak terlalu jelas dan dasar kemerahan selama 6-12 jam dan
berakhir setelah 24 jam (fase lambat). Terdapat 3 cara untuk melakukan uji kulit,
yaitu: 18
Uji kulit intradermal: 0,01-0,02 ml ekstrak alergen disuntikkan ke dalam
lapisan dermis sehingga timbul gelembung berdiameter 3 mm. Dimulai
dengan konsentrasi terendah yang menimbulkan reaksi, lalu ditingkatkan
berangsur dengan konsentrasi 10 kali lipat hingga berindurasi 5-15 mm.
Teknik uji kulit intradermal lebih sensitif dibanding skin prick test (SPT),
namun tidak direkomendasikan untuk alergen makanan karena dapat
mencetuskan reaksi anafilaksis.
Uji gores (scratch test): sudah banyak ditinggalkan karena kurang akurat.
Uji tusuk (skin prick test/SPT): Uji tusuk dapat dilakukan pada alergen hirup,
alergen di tempat kerja, dan alergen makanan. Lokasi terbaik adalah daerah
volar lengan bawah dengan jarak minimal 2 cm dari lipat siku dan
pergelangan tangan. Setetes ekstrak alergen dalam gliserin diletakkan pada
permukaan kulit. Lapisan superfisial kulit ditusuk dan dicungkit ke atas
dengan jarum khusus untuk uji tusuk.6 Hasil positif bila wheal yang terbentuk
>2 mm. Preparat antihistamin, efedrin/epinefrin, kortikosteroid dan β-agonis
dapat mengurangi reaktivitas kulit, sehingga harus dihentikan sebelum uji
kulit. Uji kulit paling baik dilakukan setelah pasien berusia tiga tahun.
Sensitivitas SPT terhadap alergen makanan lebih rendah dibanding alergen
hirup. Dibanding uji intradermal, SPT memiliki sensitivitas yang lebih rendah
namun spesifisitasnya lebih tinggi dan memiliki korelasi yang lebih baik
dengan gejala yang timbul.18
Uji provokasi
Uji provokasi dilakukan untuk melihat hubungan antara paparan alergen
dengan gejala pada berbagai organ (kulit, konjungtiva, saluran cerna, paru), maka
dapat dilakukan uji provokasi.
Uji provokasi bronkial, ekstrak alergen dengan konsentrasi yang makin
tinggi dihirup melalui nebulizer untuk melihat obstruksi jalan napas.
Atkins1 dalam penelitian menunjukkan bahwa uji provokasi bronkial
berkorelasi baik dengan uji kulit maupun uji alergi in vitro.18
Uji provokasi makanan, dilakukan berdasarkan riwayat makanan yang
dicurigai serta hasil uji kulit ataupun RAST terhadap makanan tersebut.
Pelaksanaannya dapat dilakukan secara terbuka, single-blind, double-
blind, atau double-blind placebo-controlled. Jika uji kulit negatif dan
riwayat reaksi terhadap makanan meragukan maka uji provokasi makanan
terbuka dapat dilakukan setelah melakukan diet eliminasi selama tiga
minggu. Pada uji provokasi susu sapi dilakukan dengan memberikan susu
sapi mulai dari 1 tetes/15 menit hingga 30 ml/15 menit, dan bila telah
mencapai 200 ml tidak terjadi reaksi alergi, maka pasien dapat
mengkonsumsi susu sapi.18
Uji provokasi sekum (colonoscopic allergen provocation l COLAP),
dilakukan melalui kolonoskopi dengan menyuntikkan ekstrak alergen ke
dalam mukosa sekum. Hasil positif berupa pembentukan wheal dan
kemerahan pada mukosa. Derajat alergi ditentukan secara semikuantitatif,
yaitu 0=tidak ada reaksi, 1=meragukan, 2=reaksi sedang (diameter <1
cm), 3=reaksi berat (1-2 cm), dan 4=reaksi maksimal (>2 cm). Hasil
COLAP sesuai dengan riwayat alergi, namun tidak sesuai dengan hasil
SPT dan RAST. Kejadian kemungkinan karena IgE spesifik mukosa usus
tidak beredar secara sistemik, atau reaksi hipersensitivitas pada usus bukan
(bukan hanya) merupakan mekanisme yang IgE-tergantung. 18
Uji tempel (patch test), pada umumnya digunakan pada kasus dermatitis
kontak. Alergen yang dicurigai diletakkan pada kulit dan hasil positif
berupa reaksi eksatema dalam 48-72 jam. Selain pada dermatitis kontak,
uji tempel juga dilakukan untuk mendiagnosis alergi makanan pada anak
dengan dermatitis atopi dan esofagitis eosinofilik. Dijumpai 67% anak
dengan uji provokasi susu sapi yang positif menunjukkan hasil SPT
(reaksi alergi tipe cepat) yang positif, sedangkan uji tempel menunjukkan
hasil yang negatif. Sebaliknya, uji tempel positif pada 89% anak dengan
reaksi alergi tipe lambat (25-44 jam). Dikatakan bahwa kombinasi uji
tusuk dan uji tempel memiliki nilai prediksi positif tertinggi dan dapat
menggantikan uji provokasi makanan. 18
2.2.3. Penatalaksanaan
a. Menghindari alergen spesifik (menghidari makanan penyebab, hentikan pemakaian
obat, dan alergen lainnya). Untuk urtikaria kronik pasien menghindari penyebab
yang dapat menimbulkan urtikaria, seperti: Kondisi yang terlalu panas, stres,
alkohol, dan agen fisik; Penggunaan antibiotik penisilin, aspirin, NSAID, dan ACE
inhibitor ; agen lain yang diperkirakan dapat menyebabkan urtikaria. 12,17
b. Memelihara dan meningkatkan kebugaran jasmani
c. Terapi topikal dapat dengan dekongestan hidung topikal melalui semprot hidung.
Obat yang biasa digunakan adalah oxymetazolin atau xylometazolin, namun hanya
bila hidung sangat tersumbat dan dipakai beberapa hari (<2 minggu) untuk
menghindari rhinitis medikamentosa.
d. Urtikaria akut, atasi keadaan akut terutama pada angioedema karena dapat terjadi
obstruksi saluran napas. Bila disertai obstruksi saluran napas, diindikasikan
pemberian epinefrin subkutan yang dilanjutkan dengan pemberian kortikosteroid.
Prednison 1mg/kgBB/hari selama 5 hari.
d. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala sumbatan hidung akibat respons fase
lambat tidak dapat diatasi dengan obat lain. Obat yang sering dipakai adalah
kortikosteroid topikal: beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason,
mometason furoat dan triamsinolon.
e. Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida yang bermanfaat untuk
mengatasi rinorea karena aktivitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel
efektor.
f. Terapi oral sistemik 17
1). Antihistamin
• Anti histamin generasi 1: difenhidramin, klorfeniramin, siproheptadin.
• Anti histamin generasi 2: loratadin, cetirizine
Untuk urtikaria :
Antihistamin H1 generasi 1, missal klorfeniramin maleat dengan dosis
0,25mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis atau antihistamin H 1 generasi 2 yang
kurang sedative dibandingkan yang generasi 1. Contoh: setirizin dengan dosis
0,25mg/kgBB/hari (usia <2tahun: 2 kali perhari; >2 tahun: 1 kali perhari)
Penambahan antihistamin H2, misalnya simetidin 5mg/kgBB/kali, 3 kali sehari
dapat membatu efektivitas antihistamin 1.
Adrenalin 0,01 ml/kg (1:1000) dengan dosis maksimum 0,3ml intramuscular
diberikan bila urtikaria disertai angioedema, atau bila urtikaria/angioedema
luas atau meluas dengan cepat atau terdapat distress pernafasan.
Kortikosteroid jangka pendek ditambahkan bila urtikaria disertai angioedema,
atau bila urtikaria diduga berlangsung akibat reaksi alergi fase lambat.
Leukotriene pathway modifier
Antipruritus topikal: cooling antipruritic lotion, seperti krim menthol 1% atau
2% selama 1 minggu terus menerus.
2). Preparat simpatomimetik golongan agonis alfa dapat dipakai sebagai
dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi antihistamin.
Dekongestan oral: pseudoefedrin, fenilpropanolamin, fenilefrin.
g. Terapi lainnya dapat berupa operasi terutama bila terdapat kelainan anatomi, selain
itu dapat juga dengan imunoterapi. 12, 17
Berbagai bukti telah menunjukkan bahwa paparan eksternal pada masa pre-nat
al dan awal post-natal mempengaruhi ekspresi genetik dan kerentanan terhadap penya
kit. Mikroflora pertama kali diperkenalkan ke saluran pencernaan anak dari ibu pada s
aat persalinan per vaginam dan pengaruh luar seperti penggunaan antibiotik selama k
ehamilan. Pentingnya pengenalan probiotik terhadap sistem imun anak, diketahui dari
kerentanan bayi yang lahir melalui operasi caesar terhadap penyakit imunologi, seper
ti celiac disease dan asma, yang diduga dipengaruhi oleh kelainan respons dan fungsi
sel T helper. Hubungan antara probiotik dan sistem imun diduga melalui kemampuan
probiotik melekat pada permukaan sel epitel intestinal dan kemampuannya melakuka
n stabilisasi mikroflora usus, probiotik berperan penting dalam regulasi imunitas intes
tinal dan sistemik. Adhesi probiotik, terutama bakteri asam laktat, pada dinding epitel
intestinal mempercepat pengenalan bakteri ini kepada plak Peyeri yang kemudian me
ngaktifkan proliferasi sel dendritik. Keberadaan bakteri asam laktat juga diketahui me
nstimulasi sekresi IL-10 dan IL-12 oleh sel dendritik yang kemudian merangsang pol
arisasi Th-1 dan mencegah penyakit yang dimediasi Th- 2. Beberapa probiotik juga di
ketahui dapat langsung mempengaruhi aktivitas sel B dan meningkatkan sistem imun
humoral berupa IgA yang berperan meningkatkan imunitas mukosa saluran cerna. Per
an probiotik terhadap perkembangan sistem imun menguatkan teori ’hipotesis higienit
as’. Hipotesis higienitas menjelaskan bahwa berkurangnya paparan saluran cerna terh
adap antigen mikrobiologi pada masa awal kehidupan dapat menyebabkan kelainan i
Hubungan erat antara mikroflora usus dan perkembangan sistem imun, khusus
nya dalam menjaga keseimbangan respons Th-1 dan Th-2 menjadi dasar pemikiran pe
mberian suplemen probiotik untuk mencegah atau mengatasi penyakit alergi dan atopi
Tulisan ini menunjukkan beberapa bukti terbaru efektivitas dan peran probiotik dala
m mengurangi gejala atau mencegah penyakit atopi, terutama pada anak-anak. 20
Peran probiotik dalam mencegah penyakit alergi kulit telah didukung oleh beb
erapa penelitian. Analisis feses anak dan hubungannya dengan penyakit atopi menunj
ukkan bahwa rendahnya jumlah Bifidobacterium (probiotik) dan tingginya jumlah En
terobacteriaceae dan Clostridium pada tinja berhubungan dengan kejadian dermatitis
pada anak. Sebuah meta-analisis terhadap Randomized Clinical Trials (RCTs) yang di
publikasi pada tahun 2012 untuk menilai manfaat suplementasi probiotik pada ibu ha
mil atau anak-anak dalam mencegah penyakit atopi kulit menunjukkan penurunan insi
dens dermatitis atopi dan dermatitis atopi terkait IgE sekitar 20% pada anak yang pad
a masa awal kehidupan atau masa pre- natal atau keduanya mendapat suplementasi pr
obiotik. Meta-analisis ini menjelaskan bahwa berkurangnya kemampuan probiotik unt
uk menurunkan insidens penyakit atopi kulit pada anak-anak diduga berhubungan den
gan peningkatan prevalensi penyakit atopi kulit pada anak di mana pada masa awal ke
hidupan anak terjadi penurunan paparan mikroflora normal kemampuan koloni mikro
flora untuk mempengaruhi sistem imun. Studi lebih lanjut pada 130 bayi dari ibu ham
il yang mendapat suplementasi probiotik Bifidobacterium mendapatkan insidens derm
atitis atopi signifikan lebih sedikit pada observasi bulan ke-10 dan ke-18 postpartum d
ibandingkan 36 bayi dari ibu hamil yang tidak mendapat suplementasi probiotik (kont
rol). Penurunan insidens ini mungkin disebabkan oleh ingesti bifidobacterium yang m
ensekresi sejumlah enzim yang dapat mempengaruhi jalur metabolisme. Selain itu, pe
nelitian Yap juga menunjukkan pada tinja anak dermatitis atopi didapatkan kadar bifi
dobacterium rendah bermakna dibandingkan pada anak tanpa dermatitis atopi.21
Penelitian terkait peran probiotik sebagai terapi penyakit atopi kulit menunjuk
kan hasil yang beragam. Beberapa penelitian menunjukkan manfaat nyata probiotik d
alam menurunkan gejala, sedangkan penelitian lain menunjukkan tidak terdapat manf
aat yang bermakna. Pemberian kombinasi probiotik Bifidobacterium bifidum, Lactob
acillus acidophilus, Lactobacillus casei, dan Lactobacillus salivarius selama 8 mingg
u pada anak yang menderita dermatitis atopi menghasilkan penurunan gejala dermatiti
s berdasarkan SCORing Atopic Dermatitis (SCORAD) index, penurunan kadar IgE se
rum, interleukin (IL)-5, IL-6, dan interferon γ secara bermakna dibandingkan kelomp
ok plasebo.3 Literature review yang menilai efektivitas beberapa probiotik seperti Lac
tobacillus sp. dan Bifidobacterium sp. mendukung pemberian probiotik sebagai terapi
adjuvan untuk mengatasi dermatitis atopi, sebagian besar literatur yang ditelaah menu
njukkan manfaat bermakna probiotik pada penyakit dermatitis atopi, terutama dalam
perbaikan paramater inflamasi, meski tidak ada bukti efektivitas probiotik dalam men
urunkan beratnya gejala.21, 22
adalah 5 x 109 cfu (colony forming unit), terendah 108 cfu dan tertinggi 1010 cfu. Ko
Probiotik telah banyak diteliti dan diketahui berperan mengurangi gejala riniti
s alergi. Dua penelitian acak dan tersamar ganda menjelaskan manfaat Lactobacillus
sp. dalam mengurangi gejala rinitis alergi secara bermakna baik pada dewasa maupun
anak- anak. Pada studi acak dan tersamar ganda, pemberian probiotik Lactobacillus p
aracasei bersama levocetirizine pada anak-anak tidak memberikan perubahan bermak
na pada mediator inflamasi, namun menurunkan gejala secara bermakna berdasarkan
Physical examinations and Pediatric Rhinoconjunctivitis Quality of Life Questionnair
es (PRQLQs) dibandingkan levocetirizine saja. Studi meta- analisis menyimpulkan ba
hwa probiotik bermanfaat memperbaiki kualitas hidup pasien rinitis alergi, meski mas
ih diperlukan penelitian dengan kualitas lebih baik untuk menentukan rekomendasi te
rkait penggunaan probiotik sebagai terapi rinitis alergi.Terapi probiotik untuk penyaki
t asma belum menunjukkan hasil signifikan. Meta- analisis atas 12 penelitian acak da
n tersamar ganda belum menunjukkan manfaat signifikan terapi probiotik pada penya
kit asma, meski diketahui bahwa probiotik memperpanjang masa bebas serangan asm
a.25
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Vandenplas Y, Huys G DG. Probiotics: An update. J Pediatr (Rio J). 2015;1(91):6-21.
2. Singh, Kamlesh et al. Probiotics: A review. Asian Pacific Journal of Tropical Biomedicin
e. 2014: S287-S290.
3. Donald Y.M. Leung. Allergic Disorders. In: Robert M. Kliegman, Richard E. Behrman,
Hal B. Jenson, Stanton. BF, editors. Nelson Textbook of Pediatrics. 18 th ed.
Philadelphia: Elseiver; 2011. p. p2184-94.
4. Berlian K. Probiotik dan Peranannya pada Penyakit Alergi Anak. IAI. 2017;44(6).
5. C.R. Soccol et al. The Potential of Probiotics, Food Technol. Biotechnol. 2012: 48(4)
413–434.
6. Hill C, Guarner F, Reid G, Gibson GR, Merenstein DJ, Pot B, et al. STATEMENTS The
International Scientific Association for Probiotics and Prebiotics consensus statement on
the scope and appropriate use of the term probiotic. 2015;11
7. Rahayu, E. S. 2015. Probiotic for Digestive Health. Food Review-Referensi industri dan
teknologi pangan Indonesia.
8. Kechagia M, et al. Health Benefits of Probiotics: A Review. International Scholarly
ResearchNotices. 2016;2016:1-7
9. Doron, Shira. Snydman. David R. “Risk and Safety of Probiotics”. Clinical Infectious Dis
ease. 2016 Oxford University.
10. Hempel S, Newberry S, Ruelaz A, Wang Z, Miles JN, Suttorp MJ, et al. Safety of
probiotics used to reduce risk and prevent or treat disease. Evidence report/ technology
assessment. 2011(200):1-645.
11. Ohishi A, Takahashi S, Ito Y, Ohishi Y, Tsukamoto K, Nanba Y, et al. Bifidobacterium
septicemia associated with postoperative probiotic therapy in a neonate with
omphalocele. J Pediatr. 2010;156(4):679-81. 31. Dai M, Lu J, Wang Y, Liu Z, Yuan Z. In
vitro develop
12. Azhar Tanjung EY, Iris Rengganis, Samsuridjal Djauzi , Heru Sundaru, Dina Mahdi,
Nanang Sukmana. Alergi Imunologi Klinik : Prosedur Diagnostik Penyakit Alergi, Alergi
makanan, Alergi obat, RA. Aru W. Sudoyo BS, Idrus Alwi, Marcellis Simadibrata, Siti
Setiati, editor. Jakarta: Interna Publishing; 2013. p377-92 p.
13. Baratawidjaya KG. Reaksi Hipersensitivitas. Dalam : Imunologi Dasar. Edisi ke-8.
Jakarta : Balai penerbit FKUI. 2016;157-189
14. Nafsiah Mboi. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Primer. Jakarta: Menteri Kesehatan RI; 2014.
15. Muhaimin Rifa’i PMS. Diktat Alergi dan Hipersensitif. Malang: Universitas Brawijaya;
2014. p1-48 p.
16. Eddy Surjanto JP. Mekanisme Seluler dalam Patogenesis Asma dan Rinitis. Departemen
Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS/ SMF Paru
17. EM. Dadi Suyoko SPS, Sumadino, Ketut Dewi Kumara. Alergi obat, Alergi susu sapi,
Urtikaria dan Angioedema. Antonius H. Pudjadi BH, Setyo Handryastuti, Nikmah
Salamia Idris, editor: IDAI 2014. p1-9 p.
18. Ni Putu Sudewi NK, EM Dadi Suyoko, Zakiudin Munasir, Arwin AP Akib. Berbagai
Teknik Pemeriksaan untuk Menegakkan Diagnosis Penyakit Alergi. Sari Pediatri.
2009;Vol.11(3):p1-5.
19. Vael C, Desager K. The importance of the development of the intestinal microbiota in
infancy. Curr Opin Pediatr. 2012;21(6):794-800.
20. Matamoros S, Gras-Leguen C, Le Vacon F, Potel G, de La Cochetiere MF. Development
of intestinal microbiota in infants and its impact on health. Trends Microbiol.
2013;21(4):167-73.
21. Pelucchi C, Chatenoud L, Turati F, Galeone C, Moja L, Bach JF, et al. Probiotics
supplementation during pregnancy or infancy for the prevention of atopic dermatitis: A
meta-analysis. Epidemiology 2012;23(3):402-14.
22. Enomoto T, Sowa M, Nishimori K, Shimazu S, Yoshida A, Yamada K, et al. Effects of
bifidobacterial supp
23. Meneghin F, Fabiano V, Mameli C, Zuccotti GV. Probiotics and atopic dermatitis in
children. Pharmaceuticals. 2012;5(7):727-44.
24. Perrin Y, Nutten S, Audran R, Berger B, Bibiloni R, Wassenberg J, et al. Comparison of
two oral probiotic preparations in a randomized crossover trial highlights a potentially
beneficial effect of Lactobacillus paracasei NCC2461 in patients with allergic rhinitis.
Clin.Translational Allerg. 2014;4(1):1.
25. Zajac AE, Adams AS, Turner JH. A systematic review and meta-analysis of probiotics
for the treatment of allergic rhinitis. International Forum of Allergy & Rhinology
2015;5(6):524-32.
26. Zhang GQ, Hu HJ, Liu CY, Zhang Q, Shakya S, Li ZY. Probiotics for prevention of
atopy and food hypersensitivity in early childhood: A PRISMA-compliant systematic
review and meta-analysis of randomized controlled trials. Medicine 2016;95(8):2562.
27. Berni Canani R, Nocerino R, Terrin G, Coruzzo A, Cosenza L, Leone L, et al. Effect of
Lactobacillus GG on tolerance acquisition in infants with cow’s milk allergy: A
randomized trial. J Allerg Clin Immunol. 2012;129(2):580-2, 2 e1-5.