hampir semua responden berumur 20-35 tahun yang berjumlah 68 responden (91,89%) dan ada 6
responden (8,11 %) yang umurnya >35 tahun, dan tidak didapatkan responden yang berumur <
seseorang. Semakin dewasa usia maka tingkat kemampuan dan kematangan dalam berpikir dan
menerima informasi lebih baik dibandingkan dengan umur yang masih muda atau belum dewasa.
responden paling banyak adalah SMA sebanyak 29 responden (39,19%) dan untuk tingkat
pendidikan tertinggi adalah perguruan tinggi ada 9 responden (12,16%). Faktor yang
mempengaruhi pengetahuan selain umur menurut Soekanto (2002) adalah tingkat pendidikan.
Semakin tinggi pendidikan seseorang akan semakin baik cara pandang terhadap diri dan
lingkungannya. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka makin mudah menerima
Berdasarkan pemaparan hasil penelitian pada bab sebelumnya, dapat diketahui bahwa
dari 74 sampel ibu balita yang memiliki tingkat pengetahuan tinggi ada 44 sampel dengan
persentase sebesar 59,46%, sedangkan yang memiliki tingkat pengetahuan sedang ada 21 sampel
dengan persentase sebesar 28,38%, dan yang memiliki tingkat pengetahuan rendah ada 9 sampel
dengan persentase sebesar 12,16%. Data ini diperjelas pada tabel 4.5.
Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan terjadi setelah orang melakukan penginderaan
terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Untuk
mendapatkan pengetahuan diperlukan proses belajar, dengan belajar akan dapat terjadi
perubahan tingkah laku. Perubahan tingkah laku tersebut bisa mengarah yang lebih baik jika
individu tersebut menganggap bahwa itu bermanfaat, tetapi juga ada kemungkinan mengarah
kepada tingkah laku yang lebih buruk jika individu menganggap objek yang dipelajari tidak
informasi dalam kehidupan seharihari yang merupakan salah satu penyebab terjadinya gangguan
gizi.
Tabel 4.6. yang menunjukkan status gizi anak balita, dapat disimpulkan bahwa hampir dari
seluruh sampel anak balita memiliki status gizi yang baik yakni sebanyak 63 sampel dengan
persentase sebsear 85,14%, sedangkan anak balita dengan status gizi kurang ada 8 sampel
dengan persentase 10,81%, anak balita dengan status gizi lebih 2 sampel dengan persentase
2,70%, dan anak balita dengan status gizi buruk ada 1 sampel dengan persentase 1,35%.
Status gizi dapat diartikan sebagai suatu keadaan tubuh manusia akibat dari konsumsi
suatu makanan dan penggunaan zat-zat gizi dari makanan tersebut yang dibedakan antara status
gizi buruk, kurang, baik dan lebih (Almatsier, 2002). Di Desa Ngemplak masih dijumpai adanya
masalah gizi seperti gizi kurang, gizi lebih, dan gizi buruk. Hal tersebut mungkin disebabkan
oleh faktor langsung yaitu asupan makanan ataupun openyakit infeksi yang mungkin dialami
oleh si balita. Akan tetapi faktor tidak langsung pun juga mungkin dapat mempengaruhi status
gizi dari balita antara lain seperti tingkat pengetahuan yang kurang sehingga berkurangpula
penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, usia penyapihan terlalu dini, pemberian makanan
terlalu dini, besar keluarga yang terlalu banyak yang mengakibatkan berkurangnya asupan
makanan yang dikonsumsi masing-masing anggota keluarga sehingga kandungan gizinya pun
juga tidak mencukupi kebutuhan dari masing-masing individu, BBLR, pelayanan kesehatan yang
kurang memadai atau masyarakat yang kurang bisa memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan
yang ada, pola asuh anak yang salah serta kesehatan lingkungan yang sangat kurang padahal
pada usia ini, balita biasanya sudah mulai main di tanah, lingkungan yang kotor sehingga
Kurang energi protein tidak saja disebabkan oleh ketidakcukupan ketersediaan pangan
atau zat-zat gizi tertentu tetapi juga dipengaruhi kemiskinan, sanitasi lingkungan yang kurang
baik, sosial ekonomi dan ketidaktahuan ibu terhadap gizi (Suhardjo, 1996).
Keadaan gizi buruk biasa disebabkan karena ketidaktahuan ibu mengenai tatacara
pemberian ASI dan MP ASI yang baik kepada anaknya sehingga asupan gizi pada anak kurang.
Kejadian gizi buruk pada anak balita ini dapat dihindari apabila ibu mempunyai cukup
pengetahuan tentang cara memelihara gizi dan mengatur makanan anak (Moehji, 1992).
Hasil pengujian hipotesis dengan analisis korelasi Kendall Tau dengan nilai p = 0,009
(p<0,05), menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan ibu
tentang gizi dengan status gizi anak balita di Desa Ngemplak, Kecamatan Karangpandan,
Kabupaten Karanganyar.
Hal ini menunjukkan bahwa meskipun pengetahuan bukan merupakan faktor langsung
yang mempengaruhi status gizi anak balita, namun pengetahuan gizi ini memiliki peran yang
penting. Karena dengan memiliki pengetahuan yang cukup khususnya tentang kesehatan,
seseorang dapat mengetahui berbagai macam gangguan kesehatan yang mungkin akan timbul
menerapkan informasi dalam kehidupan sehari-hari, hal ini merupakan salah satu penyebab
Namun, kejadian gizi buruk pada anak balita dapat dihindari apabila ibu mempunyai
cukup pengetahuan tentang cara memelihara gizi dan mengatur makanan anak (Moehji, 1992).
Menurut penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil status gizi balita berdasarkan
BB/U dan TB/U yang baik lebih banyak dibandingkan gizi balita yang tidak baik, yaitu 59,6 %
dan 61,7 % dibandingkan 40,4 % dan 38,3 %. Sedangkan tingkat pendidikan orang tua paling
banyak adalah SMA, yaitu sebanyak 29 orang atau 61,7 %. Kemudian untuk tingkat pekerjaan
orang tua paling banyak adalah ibu rumah tangga, yaitu sebanyak 28 orang atau 59,6 %. Hal ini
sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Trimanto (2008) dimana
semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua maka semakin tinggi kepedulian terhadap kesehatan
terutama informasi tentang menjaga status gizi balita. Serta semakin banyak pekerjaan orang tua
sebagai ibu rumah tangga, maka orang tua semakin banyak waktu untuk mengasuh dan merawat
anaknya sehingga pemenuhan gizi anak terpantau dan tercukupi. Selain itu berdasarkan hasil
penelitian yang telah dilakukan didapatakan hasil bahwa umur orang tua terbanyak dalam
rentang umur 20-30 tahun, yaitu sebanyak 27 orang atau sebesar 57,4 %. Hasil tersebut sesuai
dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Munthofiah (2008) yang menyatakan bahwa umur
orang tua mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap status gizi balita, dimana ibu yang lebih
muda (<29 tahun) mempunyai kemungkinan 3 kali lebih besar untuk memiliki balita dengan
status gizi yang baik bila dibandingkan ibu yang tua (p=0,004, OR=0,32). Berdasarkan hasil uji
statistik Chi Square untuk mengetahui adanya hubungan tingkat pengetahuan orang tua dengan
status gizi anak di bawah 5 tahun menunjukkan nilai p< 0,001. Hasil ini sesuai dengan hasil
penelitian dari Kurniawati (2012), didapatkan nilai p=0,001 terdapat hubungan antara tingkat
pengetahuan ibu tentang gizi dengan status gizi balita di Kelurahan Baledono Kecamatan
Purworejo. Selain itu, sesuai juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Yudi (2008), dimana
nilai p adalah 0,026 maka terdapat hubungan antara pengetahuan ibu dengan status gizi anak usia
6-24 bulan di Kecamatan Medan Area. Pengetahuan (knowledge) adalah suatu hal yang berasal
dari pancaindra dan pengalaman yang telah diproses oleh akal budi dan timbul secara sepontan.
Sedangkan untuk sifat dari pengetahuan itu sendiri terdiri dari tiga hal, yaitu spontan, intuitif,
dan subjektif. Selain itu pengetahuan juga bersifat benar karena sesuai dengan realitas yang ada
(Suryana, 2015), menurut Surjaweni (2014) pengetahuan merupakan suatu landasan berfikir
manusia dalam melakukan suatu hal yang berkaitan dengan pencarian jawaban atas pertanyaan
yang ada, seperti berkaitan dengan status gizi anak atau balita. Menurut Yudi (2008) yang
dikutip dari Mundy (1995) perhatian orang tua terhadap gizi balita akan membuat orang tua lebih
mengerti akan pemenuhan gizi yang seimbang untuk balita. Pengetahuan orang tua akan gizi
balita dapat berubah sewaktu-waktu tergantung dengan apa yang mempengaruhi, seperti
pengatahuan yang didapatdari bidan desa, kader posyandu, dokter, maupun halhal informatif
seperti media sosial yang dapat mempengaruhi pengetahuan itu sendiri, khususnya orang tua.
Ernawati (2006) yang dikutip dari Winarto (1994) mengatakan bahwa status gizi mempunyai
peran yang sangat besar dalam menciptakan generasi yang bermutu dimasa yang akan datang.
Status gizi berhubungan dengan kecerdasan anak, pembentukan kecerdasan pada usia dini
tergantung pada asupan gizi yang diterima. Gizi kurang atau buruk pada masa bayi dan anak-
anak terutama pada umur kurang dari 5 tahun dapat menyebabkan terganggunya pertumbuhan
jasmani dan kecerdasan anak. Status gizi yang baik merupakan syarat utama terwujudnya sumber
daya manusia yang berkualitas, khususnya terhadap balita. Balita yang mengalami gangguan
atau kekurangan gizi pada usia dini akan mengganggu tumbuh kembang, menyebabkan kesakitan
dan kematian. Gangguan gizi pada umumnya disebabkan oleh kurangnya asupan gizi, infeksi dan
yang paling penting adalah kurangnya perhatian orang tua (Junaidi, 2012). Kelemahan penelitian
ini dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yaitu pada penelitian ini belum bisa
mengendalikan variabel perancu seperti pendapatan keluarga, pendidikan orang tua, penyakit.
Hal ini disebabkan karena keterbatasan metode penelitian yang digunakan, Penelitian selanjutnya
Yogyakarta, tingkat pengetahuan ibu tentang gizi dalam kategori tinggi sebanyak 57
responden (93,4%) dan Sedangkan tingkat pengetahuan ibu tentang gizi dengan kategori
rendah hanya 4 responden (6,6%). Tingkat Pengetahuan ibu tentang gizi dengan kategori
umur dan paling banyak terdapat responden berusia 21-35 tahun sebanyak 34 respnden
(55,7%). Tingkat pengetahuan ibu tentang gizi dengan kategori tingkat pendidikan paling
(32,8%). Tingkat pengetahuan ibu tentang gizi dengan kategori pekerjaan dan reponden
paling banyak terdapat pada responden yang tidak berkerja sebanyak 44 responden
(72,1%). Tingkat pengetahuan ibu tentang gizi dengan kategori responden yang memiliki
anak dengan jenis kelamin terbanyak yaitu terdapat pada responden yang memiliki anak
dengan jenis kelamin perempuan sebanyak 39 responden (63,9%). Dari hasil kuesioner
yang dikumpulkan dan jawaban yang salah yang dijawab oleh reponden yaitu pada item
masalah menggunakan minyak goreng dimana minyak goreng tidak boleh digunakan
lebih dari 2 kali. Minyak goreng mengandung lemak jenuk maka jika di pakai sekali saja
lemak tidak jenuhnya bisa berkurang dan apalagi digunakan berulang kali. Maka jika
oleh lemak jenuh. Jika sumbatan terjadi di pembuluh darah jantung dapat memicu
serangan jantung namun jika sumbatan terjad di pembuluh darah otak, seseorang bisa
mengalami stroke (Riksani, 2012). Pengetahuan adalah suatu hal yang berasal dari
pancaindra dan pengalaman yang telah diproses oleh akal budi dan timbul secara spontan.
Sedangkan untuk sifat dari pengetahuan itu sendiri terdiri dari tiga hal, yaitu spontan,
intutif dan subjektif. Selain itu pengetahuan juga bersifat benar karena sesua dengan
realitas yang ada (Suryana, 2015). Menurut Surjaweni (2014) pengetahuan merupakan
suatu landasan berfikir manusia dalam melakukan suatu hal yang berkaitan dengan
pencarian jawaban atas pertanyaan yang ada, seperti berkaitan dengan status gizi anak
atau balita. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitan yang dilakukan Oktalinda dan
Triwibowo (2012) tentang hubungan pengetahuan ibu balita tentang gizi dengan status
Mojokerto terdapat 70 orang responden. Hasil penelitian tersebut menjelaskan bahwa ada
hubungan yang bermakan antara pengetahuan ibu dengan status gizi balita dengan p
value 0,001. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang di lakukan Wahyuni
(2016) yang berjudul hubungan tingkat pengetahuan ibu tentang gizi balita dengan status
gizi balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pleret, Bantul, Yogyakrata. Hasil penelitian
tersebut memperlihatkan ada hubungan tingkat pengetahuan ibu tentang gizi balita
dengan status gizi balita di wilayah kerja Puskesmas Pleret Bantul Yogyakarta dengan
tingkat keeratan rendah yang ditunjukan dari nilai p (value) = 0,000 (<0,05) dengan
tingkat keeratan hubungan kedua variabel ditunjukan pada nilai koefisien korelasi =
0,222. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan teori Notoatmodjo (2010) yang
bersikap dan bertindak sesuatu bagi orang tersebut. Serangkaian pengetahuan selama
hasil bahwa sebagaian besar responden yang mempunyai balita dengan status gizi normal
sebanyak 41 responden (64%) dan responden yang mempunyai balita dengan status gizi tidak
normal 20 reponden (36%). Dimana umur responden terbanyak dengan status gizi balitanya
baik yaitu responden dengan berusia 2135 tahun sebanyak 28 responden (45,9%), untuk
tingkat pendidikan responden terbanyak dengan status gizi baik yaitu reponden dengan
responden terbanyak yaitu responden yang tidak berkerja sebanyak 34 responden (55,7%).
Menurut Menurut asumsi peneliti tingginya status gizi yang normal pada balita dipengaruhi
oleh tingginya pengetahuan ibu tentang gizi balita, dimana pengetahuan gizi balita di
dapatkan dari petugas kesehatan. Dengan tingginya pengetahuan ibu tentang gizi dapat
mempengaruhi pemenuhan nutrisi yang tepat dan baik. Hal ini menyebabkan banyak balita
dengan ibu yang berpengetahuan tinggi mempunyai status gizi balita yang normal. Status gizi
dapat diartikan sebagai suatu keadaan tubuh manusia akibat dari konsumsi suatu makanan
dan penggunaan zat-zat dari makanan tersebut yang dibedakan antara status gizi normal dan
tidak normal (Almatsier, 2010). Status gizi yang baik merupakan syarat utama tewujudnya
sumber daya manusia yang berkualitas, khususnya terhadap balita. Balita yang mengalami
gangguan atau kekurangan gizi pada usia dini akan mengganggu tumbuh kembang,
menyebabkan kesakitan dan kematian. Gangguan gizi pada umumnya disebabkan oleh
kurangnya asupan gizi, infeksi dan yang paling penting kurangnya pengetahuan ibu (Junaidi,
2012). Hasil tersebut menunjukan bahwa masih terdapat balita usia 6 24 bulan dengan status
gizi tidak normal. Hasil penelitian tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Devi (2010) yang menyatakan bahwa dari 1200 terdapat 582 (49%) dengan masalah gizi.
Masalah gizi pada balita ini disebabkan oleh berbagai penyebab, salah satu penyebab maslah
gizi pada balita adalah akibat konsumsi makanan yang tidak baik sehingga energi yang
masuk dan keluar tidak seimbang. Tubuh memerlukan ppemilihan makanan yang baik agar
kebutuhan zat gizi terpenuhi dan fungsi tubuh berjalan dengan bail (Almatsier, 2010). 3.
Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Gizi dengan Status Gizi Pada Balita di
Puskesmas Tegalrejo Kota Yogyakarta. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh bahwa
di Puskesmas Tegalrejo Kota Yogyakarta, tingkat pengetahuan ibu tentang gizi dalam
kategori tinggi sebanyak 57 responden (93,4%) , dengan presentasi status gizi normal
sebanyak 41 responden (67,2%), dan presentasi status gizinya yang tidak normal sebanyak 16
responden (26,2%). Sedangkan tingkat pengetahuan ibu tentang gizi dengan kategori rendah
4 responden (6,6%) dengan status gizi yang normal 0 responden dan balita dengan status gizi
yang tidak normal sebanyak 4 responden (6,6%). Dari hasil Penelitian diketahui bahwa
terdapat hubungan bermakna antara tingkat pengetahuan dengan status gizi balita di
Puskesmas Tegalrejo Kota Yogyakarta, dimana nilai p value = 0,009 (p <0,05). Pengetahuan
yang ada pada manusia tergantung pada tingkat pendidikan yang diperoleh baik secara
formal maupun informal, dimana tingkat pengetahuan akan memberikan pengaruh pada cara-
cara seseorang memahami pengetahuan tentang gizi dan kesehatan. Tingkat pengetahuan gizi
seseorang berpengaruh terhadap sikap dan prilaku dalam memilih makanan, yang pada
seseorang maka diharapkan akan lebih baik juga keadaan gizinya (Khomsan, 2007). Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Lastanto (2015), dengan judul
analisa faktor yang berhubungan dengan kejadian gizi kurang pada balita di puskesmas
cebongan. Dari hasil analisa dengan menggunakan uji chi square diperoleh P value 0,029 <
0,05 yang berarti terdapat hubungan bermakna antara pengetahuan dengan kejadian gizi
kurang pada balita dipuskesmas cebongan. Semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang
maka semakin mudah dalam menerima informasi. Dengan pola pikir yang relatif tinggi,
tingkat pengetahuan responden tidak hanya sekedar tahu (know) yaitu mengingat kembali
akan tetapi mampu untuk memahami (comprehention), bahkan sampai pada tingkat aplikasi
(aplication) yaitu kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi
atau kondisi sebenarnya (Notoatmodjo, 2010). Hal ini menyebabkan semakin efektifnya