Anda di halaman 1dari 6

Tugas Essay Pandangan imam madzhab terhadap Aqiqah

Oleh : Ahmad Dzulfikar Sayyidin Panatagama ( HKI/SMT VII )

Aqiqah merupakan salah satu bentuk perayaan menyembelih kambing yang biasanya
dilakukan sebagai salah satu bentuk rasa syukur karena ada bayi yang baru saja lahir. Untuk
persyaratan jumlah kambing yang disembelih antara bayi laki-laki  dan bayi perempuan berbeda.
Yakni satu ekor kambing untuk bayi perempuan dan 2 ekor kambing untuk anak laki laki.

Allah SWT menciptakan manusia dengan berbeda-besa suku bangsa dan juga menciptakan
seluruh makhluk di dunia ini untuk beribadah hanya kepadanya (baca tujuan hidup menurut
islam dan hakikat penciptaan manusia). Sebagai umat muslim kita tentunya tahu bahwa setiap bayi
yang lahir adalah anugerah dari Allah SWT dan sebagai rasa syukur dan ganti atas lahirnya putra
atau putri kita adalah dengan melaksanakan aqiqah atau memotong hewan sembelihan. Dengan
demikian orangtua yang memiliki anak hendaknya melaksanakan aqiqah dengan tujuan mensyukuri
anugerah Allah dan menjalankan sunnah nabi Muhammad SAW.  

Kebanyakan berpendapat (Jumhur) jika aqiqah memiliki hukum sunnah dan beberapa lagi


berpendapat bahwa aqiqah hukumnya wajib dengan alasan berhubungan langsung dengan sembelih
adalah hal yang sangat penting. Selama orang tersebut mampu untuk melakukan aqiqah, maka
sudah seharusnya untuk segera melaksanakan aqiqah pada hari ke 7 merupakan jawaban terbaik.

Berdasarkan pendapat yang terkuat bahwa hukum aqiqah adalah sunnah mu’akkad yang
mana merupakan pendapat jumhur ulama yang berlandaskan pada hadits. Ada juga ulama yang
berpendapat dan memberikan penjelasan bahwa aqiqah merupakan penebus. Dimana artinya aqiqah
dapat menjadi pertanda agar terlepasnya bayi dari kekangan jin pada waktu lahir.

Sebagian dari muslim ada yang mewajibkan amalan aqiqah ini dikarenakan menyambut
kehadiran dari anak merupakan hal yang sangat penting terkhusus bagi mereka yang sudah mampu
dari segi finansialnya maka sangat diutamakan sekali untuk segera melaksanakan aqiqah.

Dalam bahasa Arab kata aqiqah berarti memotong namun aqiqah juga seringkali diartikan
sebagai hewan sembelihan. Selain itu beberapa kalangan ulama juga mengartikan aqiqah sebagai
proses mencukur rambut yang baru lahir saat hari ke tujuh, ke empat belas atau hari ke duapuluh
satu setelah lahir. Intinya, berdasarkan istilah, aqiqah adalah penyembelihan hewan yang biasanya
dilakukan setelah bayi baru lahir atau saat ia mencukur rambut untuk pertama kalinya di hari ke
tujuh, empat belas atau keduapuluh satu. Hewan yang disembelih saat aqiqah adalah kambing, jika
bayi laki-laki maka harus diganti dengan dua ekor kambing sementara untuk aqiqah bayi
perempuan hanya satu kambing saja.

Akikah kalimat ini berasal dari kalimat Al’aqqa yang bermakna Syaqqa cleave[mebelah,
memotong, memecah]) dan Alqath’u (cutting[memotong]). Akikah adalah penyembelihan yang
dilakukan untuk menyembelih hewan tersebut karena sebab adanya kelahiran. (hal, 97 Kitab
Subulussalam oleh Syeikh As-Shan’ani).

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum “’Aqiqah/Akikah”. Perbedaan ini disebabkan
banyaknya riwayat hadis yang berbeda-beda dari segi makna kandungan hadis yang ada, maupun
dari segi perawi hadis dilihat dari segi shahih tidaknya derajat dan kedudukan hadis-hadis tersebut.
Perbedaan kandungan (matan) hadis yang satu dengan hadis yang lainnya yang menyebabkan
terjadinya perbedaan dikalangan para ulama, diantaranya sebagai berikut. Rasulullah Saw bersabda:
“Anak (yang dilahirkan itu) tergadai dengan akikahnya” (HR. At-turmudzi beliau berkata hadis ini
“Hasan Shahih”, Alhakim, dan Albaihaqi).

Rasulullah Saw bersabda: “Setiap Anak (yang dilahirkan) tergadai dengan akikahnya,
disembelih untuknya (akikah) pada hari yang ketujuh, dicukur rambutnya dan ditabalkan namanya”
(HR. At-turmudzi beliau berkata hadis ini “Hasan Shahih”, Annasai’, dan Ibnu Majah).

Berkata Saidah ‘Aisyah: “Sembelihan kurban menghapus seluruh sembelihan yang ada
sebelumnya (sebelum disyari’atkannya berkurban)”. Sebelum disyari’atkannya berkurban ada
dikenal sembelihan dikalangan Arab pada masa itu yang disebut dengan: Alhadyu, Akikah,
Al’atirah, Alfar’u, dll (halaman: 2745, Juz: 4, Alfiqhul Islami wa Adillatuhu oleh Wahbah Zuhaili).

Nabi Saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Swt tidak menyukai (mencintai) akikah” (HR.
An-Nasa’, Abu Dawud, Alhakim, Albaihaqi dan Ahmad). Yang dimaksud hadis ini adalah akikah
yang dilakukan oleh budaya Arab Jahiliyah yang melakukan sembelihan akikah tersebut bukan
karena Allah Swt, jadi akikah tidak boleh dilakukan karena ada unsur-unsur syirik dan khurafatnya.

Diriwayatkan oleh Buraidah : “Sesungguhnya setiap manusia (beriman) akan diperlihatkan


akikahnya kelak pada hari kiamat sebagaimana mereka (kelak pada hari kiamat) akan diperlihatkan
kepada mereka tentang kewajibannya shalat lima waktu”. (lihat kitab Tuhfatul Maulud, hal: 48, oleh
Ibnul Qayyim Aljauziyah).

Dari hadis-hadis sebagaimana di atas maka para ulama Ahlussunnah Waljama’ah yang mu’tabar
(Imam Hanafi, Imam Malik, Imam As-Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hanbal) berbeda pendapat
tentang hukum “’Akikah” yaitu sebagaimana berikut,
1. Madzhab Imam Hanafi. Menurut madzhab ini hukum akikah adalah “Mubah [Jika dilakukan
tidak berpahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa]”. Pendapat ini sama dengan pendapat
Ashab Ar-rakyu bahwa hukum berkurban tidak sunnah, karena akikah itu adalah budaya
pada zaman Jahiliyah. Karena Nabi Muhammad Saw pernah ditanya oleh sahabat tentang
akikah, beliau menjawab, sebagaimana sabda beliau, Maka Nabi Saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah Swt tidak menyukai (mencintai) akikah” (HR. An-Nasa’, Abu Dawud,
Alhakim, Albaihaqi dan Ahmad).

Makna hadis ini bukan larangan untuk berakikah, melainkan seolah-olah sebutan itu (akikah)
kurang disukai (karena dianggap kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang Arab pada masa
Jahiliyah sebelum datangnya ajaran Islam). Jadi, makna hadis ini bukan berarti tidak boleh
untuk berakikah, melainkan dan tetap didiperbolehkan bagi yang ingin berakikah. Silahkan
untuk berakikah, bagi yang mau, namun jika tidak mau maka tidak mengapa, tidak
melakukannya, karena Rasulullah juga mengatakan dengan sabdanya “Dan Rasulullah Saw
berkata: “Barang siapa yang melahirkan anak, maka bila ia menyukai untuk menyembelih
(berakikah), maka lakukanlah” (HR. Abu Dawud, An-nasa’i, dan Ahmad)- (lihat hal, 234-235,
Juz: 5, Almughni Wa-As-Syarhul Kabir Ibnu Qudamah)

2. Madzhab Imam Malik. Menurut Madzhab ini hukum akikah adalah “Sunnah saja [berpahala
jika dikerjakan dan tidak berdosa jika ditingaglkan]”

3. Madzhab Imam Syafi’i. menurut madzhab ini hukum akikah adalah “Sunnah saja [berpahala
jika dikerjakan dan tidak berdosa jika ditingaglkan]”.

4. Madzhab Imam Ahmad bin Hanbal. Menurut madzhab ini hukum akikah adalah “Sunnah
saja [berpahala jika dikerjakan dan tidak berdosa jika ditingalkan]”.

5. Menurut pendapat kebanyakan Ahlul’ilmi hukum akikah adalah “Sunnah saja [berpahala
jika dikerjakan dan tidak berdosa jika ditingaglkan]”. Pendapat ini didukung diantaranya
oleh Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Saidah ‘Aisyah, para ahli fikih dari kalangan Tabi’in, dan para
Imam Anshar (Madinah). (lihat halaman: 234-235, Juz: 5, Almughni wa As-Syarhulkabir
oleh Ibnu Qudamah).

Dari hadis-hadis di atas pula ada sebagian kecil pendapat dikalangan ulama diluar pendapat
mayoritas Ahlussunnah yang mu’ktabar tentang hukum akikah sebagai berikut:

1. Dawud Zhahiri, Al-Laits dan Alhasan hukum berakikah adalah “Wajib”.


2. Hasan Basri berkata: “Akikah terhadap anak yang baru lahir hukumnya wajib disembilih
akikahnya pada hari yang ketujuh” (Lihat hal, 49, Tuhfatul Wadud Biahkam Almaulud oleh
Ibnul Qayyim Aljauziyah)

3. Berkata Abu Az-Zinad: “Akikah adalah perintah anjuran kepada umat Islam, maka
hukumnya “Makruh” jika ditinggalkan.”(Lihat hal, 49, Tuhfatul Wadud Biahkam Almaulud
oleh Ibnul Qayyim Aljauziyah)

4. Syeikh Said Sabiq menyebutkan hukum akikah adalah “Sunnah Muakkadah, anjuran yang
dikuatkan”, meskipun sang ayah dalam kondisi susah, karena Rasulullah Saw dan para
sahabatnya melakukan akikah (meskipun kondisi mereka fakir dan miskin). Hukum akikah
sama halnya dengan hukum Udh-hiyah (berkurban), namun akikah tidak boleh patungan
bersama-sama sebagaimana berkurban (lihat Fiqhussunnah, oleh Syeikh Said Sabiq, hal:
279, Juz: 3). Berbeda menurut Ibnul Qayyim Aljauziyah tentang patungan bersama-sama
(Musyarokah) dalam akikah, menurut beliau kalau akikah sebanyak 7 orang dengan
menyembelih satu ekor sapi atau lembu (kerbau) atau unta, maka cara patungan bersama-
sama (Musyarokah) seperti ini diperbolehkan. (lihat Tuhfatulmaulud Ibnu Alqayyim
Aljauziyah).

Hukum akikah sunnah muakkad menurut Said Sabiq ini sama persis dengan sebagian pendapat
yang tidak kuat yang terdapat di dalam kitab Mughni wa Syarhulkabir oleh Ibnu Qudamah.
Keterangan “Sunnah Muakkadah” ini tidak memiliki dalil yang kuat dikalangan mayoritas ulama
Ahlussunnah Waljama’ah.

Pendapat yang lebih benar dan lebih shahih tentang hukum akikah adalah pendapat Madzhab
Imam Syafi’I yaitu hukum akikah adalah “Sunnah” saja, bagi orang yang memiliki kemampuan.
Sebagaimana madzahab ini mengatakan bahwa, “Berkata madzhab Syafi’i: “Disunnahkan
(melakukan akikah) bagi orang yang memiliki tanggung jawab dalam memberikan nafkahnya (yaitu
bagi sang ayah)” (hal, 2745, Juz: 4, Alfiqhul Islami wa-Adillatuhu oleh Wahbah Zuhaili)

Pendapat madzhab Imam Syafi’I ini didukung oleh mayoritas madzhab Ahlussunnah (Imam
Malik, dan Imam Ahmad) bahwa hukum akikah adalah “Sunnah” saja, bukan sunnah muakkadah,
bukan wajib dan bukan pula mubah. Pendapat ini juga yang dikuatkan oleh Ibnu Qudamah (Mughni
wa Syarhulkabir), Wahbah Zuhaili (Alfiqhul Islami wa-Adillatuhu), Imam Shan’ani (Subulussalam)
dan juga menurut pendapat kebanyakan Ahlul’ilmi bahwa hukum akikah adalah “Sunnah”
diantaranya adalah Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Saidah ‘Aisyah, para ahli fikih dari kalangan Tabi’in,
dan para Imam Anshar (Madinah). (lihat halaman: 234-235, Juz: 5, Almughni wa As-Syarhulkabir
oleh Ibnu Qudamah).
Karena kedudukan hukum akikah ada perbedaan mendasar dengan hukum Udh-hiyah
(berkurban). Anjuran berkurban ada nashnya dari Alqur’an ( ْ‫ك َوا ْن َحر‬ َ َ‫ ; ف‬Maka dirikanlah shalat
َ ِّ‫ص ِّل لِ َرب‬
karena Tuhanmu; dan berkorbanlah [QS.Alkautsar/108:2]) dan juga terdapat di dalam hadis,
sedangkan anjuran akikah tidak terdapat didalam Alqur’an, hanya terdapat di dalam hadis saja. Jadi
kedudukan berkurban lebih tinggi daripada kedudukan anjuran berakikah. Lihat tulisan KH.Ovied.R
tentang hukum berkurban.

Adapun anjuran akikah tesebut sebagaimana yang telah diterangkan hukumnya di atas,
disunnahkan bagi orang yang memiliki kemampuan, jika sang ayah atau orang yang menafkahinya
tidak memiliki kemampuan, maka bagi sanganak boleh mengakikahkan dirinya sendiri kapan saja
jika sudah ada memiliki kemampuan, karena Rasulullah Saw mengakikahkan dirinya sendiri dan
beliau berakikah setelah dirinya menjadi rasul, sebagaimana sabda beliau Dari Anas r.a :
“Bahwasannya Nabi Muhammad Saw mengakikahkan dirinya sendiri” (HR. Albaihaqi, At-
Thabrani, Abdurrazzaq, Ibnu Abi Syaibah- hal: 73/Tuhfatul Maudud)

Dari keluarga Anas r.a: “Bahwa Nabi Muhammad Saw mengakikahkan dirinya sendiri setelah
datangnya kenabian- yaitu setelah beliau menjadi rasul” (Halaman: 74, Tuhfatul Maudud)

Menurut imam ahmad bin hanbal, hadist tentang aqiqah ini menyinggung tentang syafaat,
apabila seorang anak telah lahir, beliau di aqiqahi dan ia meninggal maka ia tidak bisa memberi
syafaat (pertolongan) kepada orang tuanya.

Dalam melaksanakan aqiqah ada beberapa ketentuan yang harus sesuai dengan syariat agama islam
karena aqiqah sendiri adalah mengganti diri atau bayi yang baru lahir sebagaimana digadaikan.
Berikut ini adalah ketentuan pelaksanaan aqiqah yang wajib diketahui oleh umat muslim :

 Dilaksanakan di hari ke 7, 14, atau 21

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa aqiqah atau pemotongan hewan untuk
menggantikan bayi yang baru lahir hendaknya dilaksanakan pada hari ke tujuh, ke empat belas dan
hari kedua puluh satu sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini

Dari Abu Buraidah r.a.: Aqiqah itu disembelih pada hari ketujuh, atau keempat belas, atau kedua
puluh satunya. (HR Baihaqi dan Thabrani).

 Jumlah Hewan Aqiqah


Laki-laki dan perempuan memang sama-sama makhluk ciptaan Allah SWT namun terdapat
perbedaan diantara keduanya seperti halnya saat pelaksanaan aqiqah. Ketentuan aqiqah dalam islam
adalah jika yang lahir adalah bayi laki-laki maka jumlah hewan kambing yang disembelih adalah
dua ekor sementara bagi bayi perempuan, orangtuanya hanya perlu menyembelih satu hewan
aqiqah. Hai ini sesuai dengan hadits Nabi Muhammad SAW

Anda mungkin juga menyukai