Anda di halaman 1dari 10

Tugas

DAMPAK PENINGKATAN FERITIN PADA PASIEN


THALASEMIA

Disusun oleh:
Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Kesehatan Anak

Periode 30 November – 4 Januari 2021

Mutiara Anggraini 04054822022142

Penguji:
Dr. Moretta Damayanti, Sp. A (K)

BAGIAN/DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


RSUP DR. MOH. HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2020
DAMPAK PENINGKATAN FERITIN PADA THALASEMIA

Thalasemia adalah suatu penyakit keturunan yang diakibatkan oleh kegagalan


pembentukan salah satu dari empat rantai asam amino yang membentuk hemoglobin, sehingga
hemoglobin tidak terbentuk sempurna.

Hemoglobin adalah suatu zat di dalam sel darah merah yang berfungsi mengangkut zat
asam dari paru-paru ke seluruh tubuh, juga memberi warna merah pada eritrosit. Hemoglobin
manusia terdiri dari persenyawaan hem dan globin. Hem terdiri dari zat besi (Fe) dan globin
adalah suatu protein yang terdiri dari rantai polipeptida. Hemoglobin pada manusia normal
terdiri dari 2 rantai alfa (α) dan 2 rantai beta (β) yang meliputi HbA (α2β2 = 97%), sebagian
lagi HbA2 (α2δ2 = 2,5%) sisanya HbF (α2ƴ2 = 0,5%).

Gambar 1. Molekul Hemoglobin

Rantai globin merupakan suatu protein, maka sintesisnya dikendalikan oleh suatu gen.
Dua kelompok gen yang mengatur yaitu kluster gen globin-α terletak pada kromosom 16 dan
kluster gen globin-β terletak pada kromosom 11. Penyakit thalasemia diturunkan melalui gen
yang disebut sebagai gen globin beta. Gen globin beta ini yang mengatur pembentukan salah
satu komponen pembentuk hemoglobin. Gen globin beta hanya sebelah yang mengalami
kelainan maka disebut pembawa sifat thalassemia-beta.

Seorang pembawa sifat thalassemia tampak normal atau sehat, sebab masih mempunyai
1 belah gen dalam keadaan normal dan dapat berfungsi dengan baik dan jarang memerlukan
pengobatan. Kelainan gen globin yang terjadi pada kedua kromosom, dinamakan penderita
thalassemia mayor yang berasal dari kedua orang tua yang masing-masing membawa sifat
thalassemia. Proses pembuahan, anak hanya mendapat sebelah gen globin beta dari ibunya dan
sebelah lagi dari ayahnya. Satu dari orang tua menderita thalasemia trait/bawaan maka
kemungkinan 50% sehat dan 50% thalasemia trait. Kedua orang tua thalasemia trait maka
kemungkinan 25% anak sehat, 25% anak thalasemia mayor dan 50% anak thalasemia trait.

Gambar 2. Penurunan Gen Thalassemia menurut Hukum Mendel.


Patofisiologi

Penderita thalasemia memiliki gejala yang bervariasi tergantung jenis rantai asam
amino yang hilang dan jumlah kehilangannya. Patofisiologi yang mendasari antara jenis
thalassemia hampir sama, dengan ditandai penurunan produksi hemoglobin dan sel darah
merah (RBC), dan adanya kelebihan rantai globin yang tidak efektif menyebabkan bentuk
homotetramers yang tidak stabil sehingga memicu terjadinya heinz body. Alfa homotetramers
pada β-thalassemia lebih tidak stabil daripada β-homotetramers di α-thalassemia dan
sebelumnya akan terbentuk presipitasi pada RBC, menyebabkan kerusakan sel darah merah
dan hemolisis yang berat oleh karena eritropoesis yang tidak efektif serta hemolisis
ekstramedular.1Pada β-thalassemia patofisiologinya berdasarkan karena berkurang atau
hilangnya rantai globin-β yang akan mengakibatkan berlebihnya rantai globin-α. Maka akan
terjadi penurunan produksi hemoglobin dan ketidak seimbangan rantai globin.

Ini akan mengarah pada penurunan dari volume hemoglobin (MCH) dan volume
eritrosit (MCV). Pada thalasemia-β yang berat, eritropoesis yang tidak efektif terjadi di sum-
sum tulang akan meluas ke tulang-tulang normal dan menyebabkan distorsi dari tengkorak
kepala, tulang wajah dan tulang panjang. Tidak efektifnya eritropoesis yang berat pada anemia
kronis dan hipoksia dapat menyebabkan peningkatan absorbsi besi pada saluran pencernaan.
Penderita thalassemia homozigot atau pun thalassemia-β heterozygot akan meninggal pada
usia 5 tahun karena anemia yang berat. Namun transfusi menyebabkan penumpukan besi yang
progressif oleh karena ekskresi yang tidak baik.

Feritin

Feritin merupakan salah satu protein yang penting dalam proses metabolisme besi di
dalam tubuh. Feritin adalah kompleks protein yang berbentuk globular, mempunyai 24 subunit-
subunit protein yang menyusunnya dengan berat molekul 450 kDa, terdapat di semua sel baik
di sel prokayotik maupun di sel eukaryotik. Pada manusia, subunit - subunit pembentuk feritin
ada dua tipe, yaitu Tipe L (light) Polipeptida dan Tipe H (heavy) polipeptida, dimana masing -
masing memiliki berat molekul 19 kD dan 21 kD Tipe L yang disimbolkan dengan FTL
berlokasi di kromosom 19 sementara Tipe H yang disimbolkan dengan FTH1 berlokasi di
kromosom 11.
Feritin mengandung sekitar 23% besi. Setiap satu kompleks feritin bisa menyimpan
kira – kira 3000 - 4500 ion Fe3+ di dalamnya. Feritin bisa ditemukan atau disimpan di liver,
limpa, otot skelet dan sumsum tulang. Dalam keadaan normal, hanya sedikit feritin yang
terdapat dalam plasma manusia. Jumlah feritin dalam plasma menggambarkan jumlah besi
yang tersimpan di dalam tubuh kita. Besi bebas bersifat toxic untuk sel, karena besi bebas
merupakan katalisis pembentukan radikal bebas dari reactive oxygen species (ROS) melalui
reaksi fenton. Untuk itu, sel membentuk suatu mekanisme perlindungan diri yaitu dengan cara
membuat ikatan besi dengan feritin. Jadi feritin merupakan protein utama penyimpan besi di
dalam sel.

Sekitar 25% dari jumlah total zat besi dalam tubuh berada dalam bentuk cadangan zat
besi (depot iron), feritin dan hemosiderin. Feritin banyak terdapat dalam sel, dan jumlah yang
bisa diukur adalah yang terdapat di dalam serum. Kadar feritin dipengaruhi dapat oleh panas,
infeksi akut, inflamasi kronis, hemolisis dan eritropoesis yang tidak efektif (Orkin, 2003;
Permono dan Ugrasena, 2005). Perubahan kadar feritin plasma berhubungan dengan jumlah
total besi dalam tubuh. Kadar feritin berbeda pada setiap usia dan tergantung pada jenis
kelamin. Pada masa anak-anak, kadar feritin akan meningkat 20-30 μg perliter hingga usia
remaja. Peningkatan kadar feritin terjadi pada usia 15-30 tahun pada laki-laki. Pada wanita
dewasa yang telah menstruasi, kadar feritin akan meningkat setelah menopause. Nilai normal
feritin untuk laki-laki 12 – 300 μg/mL dan untuk wanita 12- 150 μg/mL.

Transfusi berulang

Penderita thalassemia pada umumnya menerima transfusi setiap dua sampai empat
minggu sekali. Tujuan transfusi pada pasien thalassemia adalah menjaga kadar Hb agar tetap
stabil untuk meredam reaktivitas berlebih dari sumsum tulang. Anak dengan thalassemia yang
menerima transfusi secara rutin memiliki kadar Hb yang lebih tinggi, memiliki laju
pertumbuhan yang lebih normal, dan kesehatannya lebih baik secara umum.

Transfusi darah memiliki beberapa risiko seperti transfusion-transmitted disease,


alloimunisasi, reaksi febril, dan iron overload yang dapat menyebabkan kematian. Zat besi
merupakan kofaktor esensial untuk aktivitas biologis dan reaksi biokimiawi, termasuk transpor
oksigen melalui sel darah merah. Biasanya bioavailabilitas zat besi terbatas, namun akumulasi
patologis di jaringan akibat transfusi berulang (iron overload) dapat memicu produksi reactive
oxygen species (ROS) dan menimbulkan efek toksik.

a. Hemosiderosis

Hemosiderosis sebagai akibat dari transfusi berulang-ulang karena dalam 1 liter darah
terkandung 750 mikrogram zat besi. Zat besi tersebut akan menambah jumlah zat besi
dalam tubuh. Manusia normal zat besi plasma terikat pada trasnferin, kemampuan
transferin mengikat zat besi sangat terbatas sehingga apabila terjadi kelebihan zat besi maka
seluruh transferin berada dalam keadaan tersaturasi. Besi dalam plasma berada dalam
bentuk tidak terikat atau NTBI (non-transferrin bound plasma iron) yang dapat
menyebabkan pembentukan radikal bebas hidroksil dan mempercepat peroksidasi lipid
membran in-vitro. Kelebihan zat besi terbanyak terakumulasi dalam hati, namun paling
fatal adalah akumulasi di jantung karena menyebabkan hemosiderosis miokardium dan
berakibat gagal jantung yang berperan pada kematian awal penderita. Penimbunan besi di
hati yang berkelebihan berakibat pada gangguan fungsi hati.
b. Hemokromatosis

Hemokromatosis yaitu gangguan fungsi hati sebagai akibat dari penimbunan zat besi
dan saturasi transferin. Hemokromatosis terjadi disertai dengan kadar feritin serum > 1000
μg/L. Ferritin merupakan suatu protein darah yang kenaikannya berhubungan dengan
jumlah besi yang tersimpan dalam tubuh. Kadar feritin yang tinggi dapat meningkat pada
infeksi-infeksi tertentu seperti hepatitis virus dan peradangan lain dalam tubuh. Kenaikan
ferritin tidak spesifik untuk mendiagnosis hemokromatosis. Pemeriksaan lain untuk
mendiagnosa hemokromatosis adalah TIBC dan transferi saturation.

TIBC adalah suatu pengukuran jumlah total besi yang dapat dibawa dalam serum oleh
transferrin. Transferrin saturation adalah suatu jumlah yang dihitung dengan membagi
serum besi oleh TIBC, hasil angka yang mencerminkan besarnya persentase dari transferrin
yang sedang dipakai untuk mengangkut besi. Hasil transferrin saturation pada manusia
sehat antara 20 dan 50 %. Penderita dengan hemokromatosis keturunan, serum besi dan
transferrin saturation hasilnya di atas normal. Tes yang paling akurat untuk mendiagnosis
hemokromatosis adalah dengan biopsi jaringan hati sehingga dapat melihat langsung
seberapa besar kerusakan hati. Gejala klinis yang paling sering dijumpai adalah
hepatomegali, pada stadium lanjut dapat terjadi sirosis yang ditandai dengan splenomegali,
ikterus, asites dan edema. Sirosis dapat mengakibatkan kanker hati. Penderita thalasemia
lebih beresiko terkena hemokromatosis sebagai akibat dari penimbunan zat besi pada hati

c. Hiperpigmentasi

Akibat dari penumpukan besi yang berlebihan pada tubuh, penumpukan besi pada
lapisan basal epidermis serta di sekitar kelenjar keringat dapat menyebabkan
hiperpigmentasi kulit. Kulit tampak berwarna perunggu kecoklatan atau keabu- abuan.

d. Gangguan fungsi hati dan ginjal

Kerusakan sel darah merah pada penderita thalasemia mengakibatkan zat besi akan
tertinggal di dalam tubuh. Manusia normal, zat besi yang tertinggal dalam tubuh digunakan
untuk membentuk sel darah merah yang baru. Penderita thalasemia, zat besi yang
ditinggalkan sel darah merah yang rusak akan menumpuk dalam organ tubuh seperti hati
dan dapat mengganggu fungsi organ tubuh. Zat besi paling banyak terakumulasi di hati
karena fungsi hati sebagai sintesis ferritin (simpanan besi) dan transferin (protein pengikat
besi) juga tempat penyimpanan terbesar cadangan besi dalam bentuk ferritin dan
hemosiderin. Penderita thalasemia mayor harus mendapat suplai darah terus menerus dari
darah transfusi untuk mengatasi anemia sehingga akan menambah penumpukan zat besi di
dalam hati. Penumpukan zat besi ini harus dikeluarkan karena akan sangat membahayakan
dan dapat berujung pada kematian

Penumpukan zat besi juga terdapat di ginjal. Kelebihan zat besi dapat dikurangi dengan
terapi kelasi besi berupa obat yang diberikan secara oral maupun lewat infus. Fungsi ginjal
diantaranya sebagai ekskresi sisa metabolik dan bahan kimia asing juga produk akhir
pemecahan hemoglobin. Obat khelasi besi selain bermanfaat namun juga berbahaya karena
mengandung bahan kimia. Sebagian besar zat besi diekskresikan melalui feses dan < 10 %
lewat urin, dengan cara mengeliminasi atau mengurangi ikatan serum non transferin besi.
Obat khelasi besi ini diabsorbsi dan bersirkulasi selama beberapa jam. Jangka waktu yang
lama maka menambah beban ginjal sebagai ekskresi yang dapat mengakibatkan kerusakan
ginjal. Ginjal juga berfungsi sebagai pengatur produksi sel darah merah, ginjal
menyekresikan eritropoetin yang merangsang pembentukan sel darah merah. 90 % dari
seluruh eritropoetin dibentuk dalam ginjal. Penderita thalasemia mayor pembentukan sel
darah merah lebih cepat sehingga ginjal akan lebih sering menyekresikan eritropoetin untuk
pembentukan sel darah merah baru, lama kelamaan dapat mengakibatkan kerusakan fungsi
ginjal

e. Tiroid

Transfusi rutin dan berulang pada penderita thalasemia akan menyebabkan iron
overload yang dapat berujung pada beberapa komplikasi, termasuk beberapa komplikasi
endokrin seperti disfungsi tiroid. Sampai saat ini transplantasi sumsum tulang masih
dianggap sebagai satu-satunya terapi definitif untuk penderita thalasemia. Walaupun
demikian, transplantasi sumsum tetap memiliki risiko tersendiri. Bentuk disfungsi tiroid
yang banyak terjadi pada penderita thalasemia adalah hipotiroidisme primer yang
diakibatkan oleh abnormalitas kelenjar tiroid, dan akan menyebabkan penurunan produksi
hormon tiroid. Prevalensi hipotiroidisme menunjukkan perbedaan tergantung pada wilayah
tinggal, kualitas dari manajemen penyakit, serta terapi yang diterima penderita.
Dalam keadaan normal, intake iron dari makanan sesungguhnya memegang peranan
penting dalam metabolisme iodin. Apabila intake iron tidak memadai (misalnya pada
anemia defisiensi besi) maka konsentrasi hormon tiroid akan menurun, sebab iron
merupakan salah satu mineral penting untuk metabolisme hormon tiroid. Kekurangan
intake iron dapat menyebabkan penurunan aktivitas enzim heme-dependent thyroid
peroxidase yang berperan sebagai katalisator dari sintesis hormon tiroid. Namun pada
pasien thalasemia yang menerima transfusi berulang, iron overload justru menghambat
metabolisme hormon tiroid akibat produksi ROS (reactive oxygen species) yang bersifat
toksik terhadap kelenjar tiroid.

f. Gangguan fungsi jantung

Penimbunan besi akibat tranfusi darah berulang pada thalasemia dapat mengakibatkan
terjadinya komplikasi pada jantung. Gangguan kontraktilitas otot jantung dan irama
jantung menunjukkan banyaknya besi yang tertimbun di serabut otot. Toksisitas besi
terhadap jantung akan menyebabkan reaksi katalisis dalam sel miokardium dan jaringan
parenkim sehingga membentuk hidroksi radikal bebas yang akan mengakibatkan kerusakan
sel. Kelainan fungsi jantung pada thalassemia‚ mayor terutama berhubungan dengan
gangguan fungsi ventrikel, septum intraventrikular serta diikuti dilatasi atrium kiri dan
ventrikel kanan.

Beratnya kelainan fungsi jantung bergantung dari jumlah timbunan besi per serabut otot
serta jumlah serabut otot yang terkena. Jumlah transfusi yang telah melebihi 100 unit
berhubungan dengan jumlah timbunan besi yang terlihat secara jelas, maupun gejala
gangguan jantung kongesti sepanjang hidupnya. Gangguan dapat berupa kelainan irama
jantung maupun kontraktilitas otot jantung. Pasien thalassemia mayor dapat meninggal
akibat kelainan jantung yang berhubungan dengan gagal jantung biventrikular atau
kematian mendadak karena aritmia jantung. Kematian akibat intractable aritmia dan/atau
kardiomiopati kongestif umumnya terjadi pada umur 18 atau 20 tahun, pasien jarang
bertahan hidup sampai umur 25 tahun.

g. Hipertensi Pulmonal
Semakin sering frekuensi transfusi dan semakin banyak jumlah darah yang diberikan
menyebabkan peningkatan kadar feritin. Feritin dalam jumlah tinggi tanpa disertai terapi
kelasi besi menyebabkan hemosiderosis yang dapat menyebabkan remodelling pembuluh
darah dan otot jantung-paru. Remodelling juga dapat terjadi alami akibat anemia kronis
yang tidak mendapatkan terapi, sebagai usaha kompensasi jantung-paru untuk mengatasi
keadaan tersebut. Remodelling menyebabkan perubahan fungsi jantung-paru, salah satunya
menyebabkan hipertensi pulmonal. Keadaan lain pada penderita talasemia adalah
trombositosis yang diakibatkan oleh hiperkoagulasi vaskular. Keadaan ini menyebabkan
timbulnya trombus dan emboli pembuluh darah, mengganggu aliran darah sehingga timbul
hipertensi pulmonal.

h. Keterlambatan pertumbuhan

Kerusakan organ-organ endokrin pada thalassemia akan menyebabkan defisiensi


beberapa hormon seperti hormon pertumbuhan, hipogonadisme, hipoparatiroidisme, dll.
Gangguan hormonal tersebut akan menyebabkan terhambatnya aktivitas osteoblas dan
meningkatnya aktivitas osteoklas. Hal ini akan berakibat pada gangguan maturitas skeletal
dan akan mengalami perlambatan usia tulang. Selain itu, diketahui bahwa feritin dapat
merusak osteoblas secara langsung.

Selain itu,tingkat kepatuhan konsumsi kelasi besi merupakan salah satu faktor
risiko untuk mengalami perlambatan usia tulang pasien talasemia yang tidak patuh
mengonsumsi kelasi besi, berisiko mengalami perlambatan usia tulang dibandingkan
pasien talasemia yang patuh mengonsumsi kelasi besi

Kadar Hb pretransfusi yang rendah, berisiko mengalami perlambatan usia tulang.


Hal ini dikarenakan setiap sel didalam tubuh membutuhkan oksigen untuk metabolisme
tingkat seluler. Begitu pula dengan osteoblas yang membutuhkan oksigen untuk proses
pembentukan tulang. Bila kadar oksigen turun, maka aktifitas osteoblas juga akan menurun
sehingga akan terjadi gangguan maturitas skeletal sehingga bila dilihat didalam
pemeriksaan usia tulang, akan didapatkan gambaran usia tulang yang terlambat.

Berat badan yang menurun akibat kehilangan nafsu makan pada pasien talasemia,
akan berdampak berkurangnya asupan nutrien seperti seng, vitamin D, vitamin A yang
berperan dalam aktifitas osteoblas dan vitamin C yang berperan dalam pembentukan
kolagen. Kekurangan nutrien tersebut akan berdampak pada gangguan maturitas skeletal.

Anda mungkin juga menyukai