Anda di halaman 1dari 19

KATA PENGANTAR

Assalaamu’alaykum Warohmatullahi Wabarokatuh

Puji syukur Penulis panjatkan pada Allah Subhanahu Wa Ta’ala karena atas berkat dan rahmat-Nya
Penulis dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul “Pajak Penghasilan”. Makalah ini dibuat untuk
memenuhi tugas mata kuliah Perpajakan.

Penulis berterima kasih kepada Bapak, selaku dosen mata kuliah Perpajakan yang telah
memberikan tugas ini kepada kami.

Penulis sangat berharap makalah ini dapat berguna untuk menambah wawasan serta
menambah pengetahuan kita tentang Perpajakan. Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa di
dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Untuk itu
Penulis berharap adanya saran dan kritikan yang membangun demi perbaikan makalah ini untuk
masa yang akan datang.

Demikianlah kata pengantar dari Penulis, semoga makalah ini dapat berguna dan dapat
dipahami bagi siapa pun yang membacanya. Penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-
kata di dalam makalah ini. Sekian dan terima kasih.

Wassalaamu’alaykum Warohmatullahi wabarakatuh

Kolaka, 8 April 2020

Penulis

1
 DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................... 1

DAFTAR ISI............................................................................................................ 2

I PENDAHULUAN................................................................................................. 3

1.1.   Latar Belakang....................................................................................... 3

1.2. Rumusan Masalah...................................................................................   3

1.3. Tujuan..................................................................................................... 3

II PEMBAHASAN.................................................................................................. 4

2.1. Subjek Pajak Penghasilan.............................................................................. 4

2.2. Objek Pajak Penghasilan............................................................................... 7

2.3. Mekanisme Pemajakan dan Perhitungan PPh............................................... 15

III PENUTUP.......................................................................................................... 22

1. Kesimpulan...................................................................................................... 22

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 23

2
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang
Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pajak Penghasilan (PPh) berlaku sejak januari 1984.
Undang-undang ini telah beberapa kali mengalami perubahan dan terakhir kali diubah dengan undang-
undang Nomor 36 Tahun 2008.
Undang-undang Pajak Penghasilan (PPh) mengatur pengenaan Pajak Penghasilan terhadap subjek pajak
berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subjek pajak tersebut
dikenai pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan, dalam unddang-undang PPh disebut wajib
pajak.
Undang-Undang PPh menganut asas Materiil, artinya penentuan mengenai pajak yang terutang tidak
tergantung kepada surat ketetapan pajak. Oleh karena itu dalam makalah ini kelompok kami menjabarkan
tentang hal-hal yang berkaitan dengan pajak penghasilan dimana didalamnya termuat beberapa bahasan
yaitu mengenai  subjek pajak yang dikenakan dalam pajak penghasilan, objek pajak penghasilan serta
mekanisme pemajakan dan pemungutan pajak penghasilan

1.2  Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu:

1.      Apa itu subjek pajak dan wajib pajak?

2.      Siapa saja yang termasuk subjek pajak dalam Pajak Penghasilan?

3.      Apa sajakah yang termasuk dalam objek pajak dalam pajak penghasilan?

4.      Bagaimanakah Mekanisme Pemajakan dan Perhitungan Rumus Umum PPh?

1.3  Tujuan Pembahasan

Penulisan makalah ini bertujuan untuk :

1.      Mengetahui pengertian dari subjek pajak dan wajib pajak

2.      Mengetahui siapa saja yang termasuk dalam subjek pajak dalam pajak penghasilan

3.      Mengetahui apa saja yang termasuk dalam objek pajak PPh

4.      Mengetahui mekanisme pemajakan dan perhitungan PPH

3
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1  Subjek Pajak

Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperolehnya dalam tahun pajak. Yang menjadi subjek pajak adalah:

1.      Orang pribadi;

Orang pribadi sebagai subjek dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun luar negeri
Indonesia.

2.      Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggatikan yang berhak.

Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan yang ditinggalkan oleh orangpribadi Subjek Pajak
dalam negeri dianggap sebagai Subjek Pajak dalam negeri yang berarti  dalam hal ini adalah status
pewaris. Adapun untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakannya, warisan tersebut
menggantikan kewajiban ahli waris yang berhak. Apabila warisan tersebut telah dibagi, maka
kewajiban perpajakannya beralih kepada ahli waris.

3.      Badan.

Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan
usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi, perseroan terbatas, perseroan
komanditer, perseroan lainnya, BUMN/BUMD, badan usaha milik kongsi, koperasi, dana pensiun,
persekutuan, perkumpulan yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik,  atau organisasi
lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha
tetap.

4.      Bentuk usaha tetap.

Yang dimaksud dengan bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang
pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183
(setaus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu (12) bulan, atau badan yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di
Indonesia, yang dapat berupa:

Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri

Subjek pajak dalam negeri dalam peraturan perpajakan yang berlaku di Indonesia terdiri dari:

a.    Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia; atau

         Orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
waktu12 (dua belas) bulan.

4
         orang pribadi yang dalam tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat
tinggal di Indonesia;

b.   Badan, yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan
pemerintah yang memenuhi kriteria:

      Pembentukannya berdasarkan kemampuan perundang-undangan ;

      Pembiayaan bersumber dari Anggaran pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah;

      Penerimaannya dimasukan dalam anggaran Pemerintah pusat atau Pemerintahan Daerah; dan

      Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional Negara.

c.       Subjek Pajak Warisan

Yaitu warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.

Sedangkan yang dimaksud dengan subjek pajak luar negeri adalah:

1.      Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;

2.      Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh
penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk
usaha tetap di indonesia.

Kewajiban pajak subjektif

Kewajiban pajak subjektif mengandung arti bahwa seseorang, sesuatu atau badan sudah
memenuhi syarat untuk dikenakan pajak Penghasilan dilihat dari sudut subjeknya.. Saat mulai dan
berakhirnya kewajiban pajak subjektif ini adalah sebagai berikut:

1.      Untuk wajib pajak orang pribadi dalam negeri

Dimulai pada saat orang pribadi tersebut dilahirkan, berada, atau berniat untuk bertempat tingga di
Indonesia dan berakhir pada saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-
lamanya.

2.      Untuk subjek pajak badan dalam negeri

Dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir
pada saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia.

3.      Untuk subjek pajak luar negeri berupa BUT:

5
Dimulai pada saat orang pribadi atau badan menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (5) UU PPh dan berakhir pada saat tidak lagi menerima
atau memperoleh penghasilan tersebut.

4.      Untuk subjek pajak luar negeri non BUT

Dimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan dari
Indonesia dan berakhir pada saat tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan tersebut.

5.      Untuk warisan yang belum dibagi

Dimulai pada saat timbulnya warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan dan berakhir pada
saat warisan selesai dibagikan.Jangka waktu pengenaan pajak penghasilan ini dinamakan tahun
pajak sesuai dengan ketentuan dalam pasal 1 UU Pajak Penghasilan. Tahun pajak ini pada umumnya
adalah tahun takwim mulai dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember.Jika kewajiban pajak subjektif
bermula atau berakhir di pertengahan akhir pajak, maka pengenaan pajak ini tidak penuh dalam satu
tahun pajak tetapi dalam bagian tahun pajak.

Tidak termasuk subjek pajak

Yang tidak termasuk subjek pajak adalah:

1.      Kantor perwakilan negara asing;

2.      Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, dan konsultan, dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari
negara asing, dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat :

         bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain
di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut.

         negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;

3.      Organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, dengan


syarat:

a.    Indonesia menjadi anggota organisasi terrsebut;

b.   Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain
pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota;

4.      Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri


Keuangandengan syarat:

         bukan warga negara Indonesia.

         tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia.

2.2  OBJEK PAJAK

Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, yang

6
dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan,
dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk :

a.       Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas
seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan
sebagainya;

b.      Hadiah dari undian, pekerjaan, atau kegiatan dan penghargaan;

Yang dimaksud dengan hadiag adalah hadiah dari undian, pekerjaan, dan kegiatan seperti hadiah
undian tabungan, hadiah dari pertandingan olahraga dan lain sebagainya.

c.       Laba usaha

Laba usaha adalah selisih lebih antara penjualan dikurangi dengan harga pokok penjualan dan
beban-beban usaha.

Laba Usaha = Penjualan – Harga Pokok Penjualan + Beban Beban Usaha

d.      Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:

  Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai
pengganti saham atau penyertaan modal;.

     Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta
kepada pemegang saham, sekutu atau anggota;

Maksudnya penjualan harta terjadi antara badan usaha dengan pemegang sahamnya, maka harga
jual yang dipakai sebagai dasar untuk penghitungan keuntungan dari penjualan tersebut adalah
harga pasar.

      Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau


pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apapun;

Jika suatu badan likuidasi, keuntungan dari penjualan harta, yaitu selisih antara harga jual
berdasarkan harga pasar dengan nilai sisa buku harta tersebut, merupakan objek pajak. Sama halnya
dengan selisih lebih antara harga pasar dengan nilai sisa buku dalam hal terjadi penggabungan,
peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha merupakan penghasilan.

         Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang
diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan
atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan
oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau
penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;

         Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda
turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan.

e.       Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran
tambahan pengembalian pajak;Pengembalian pajak yang telah dibebankan sebagai biaya pada saat
menghitung penghasilan kena pajak, merupakan objek pajak.

7
Sebagai contoh, pajak bumi dan bangunan yang sudah dibayar dan dibebankan sebagai biaya, yang
karena suatu sebab dikembalikan, maka jumlah sebesar pengembalian tersebut merupakan
penghasilan.

f.       Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;

Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi dijual di atas nilai nominalnya sedangkan diskonto
terjadi apabila surat obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya. Premium tersebut merupakan
penghasilan bagi yang membeli obligasi.

g.      Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada
pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;

Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang polis asuransi atau
pembagian sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh anggota koperasi.

Dalam praktek sehari-hari sering dijumpai pembagian atau pembayaran dividen secara
terselubung, misalnya dalam hal pemegang saham yang telah menyetor penuh modalnya dan
memberikan pinjaman kepada perseroan dengan imbalan bunga yang melebihi kewajaran. Jika
terjadi hal yang demikian maka selisih lebih antara bunga yang dibayarkan dengan tingkat bunga
yang berlaku di pasar, diperlakukan sebagai dividen. Bagian bunga yang diperlukan sebagai dividen
tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya oleh perseroan yang bersangkutan.

h.      Royalti;

Imbalan atau penggantian berupa royalti terdiri dari tiga kelompok, yaitu imbalan sehubungan
dengan penggunaan:

1)      Hak atas harta tak berwujud, misalnya hak pengarang, paten, merek dagang, formula, atau rahasia
perusahaan;

2)      Hak atas harta berwujud, misalnya hak atas alat-alat industri, komersial, dan ilmu pengetahuan.
Yang dimaksud dengan alat-alat industri, komersial dan ilmu pengetahuan adalah setiap peralatan
yang mempunyai nilai intelektual, misalnya peralatan-peralatan yang digunakan di beberapa industri
khusus seperti anjungan pengeboran minyak (drilling rig), dan sebagainya;

3)      Informasi, yaitu informasi yang belum diungkapkan secara umum, walaupun mungkin belum
dipatenkan, misalnya pengalaman di bidang industri, atau bidang usaha lainnya. Ciri dari informasi
dimaksud adalah bahwa informasi tersebut telah tersedia sehingga pemiliknya tidak perlu lagi
melakukan riset untuk menghasilkan informasi tersebut. Tidak termasuk dalam pengertian informasi
adalah informasi yang diberikan oleh misalnya akuntan publik, ahli hukum, atau ahli teknik sesuai
dengan bidang keahliannya, yang dapat diberikan oleh setiap orang yang mempunyai latar belakang
disiplin ilmu yang sama.

Menurut Undang-Undang PPh, royalti adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan
cara atau perhitungan apa pun, baik dilakukan secara berkala maupun tidak, sebagai imbalan atas:

1.      Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah,
patem, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak
kekayaan intelektual/ industrial atau hak serupa lainnya;

2.      Penggunaan atau hak menggunakan peralatan/ perlengkapan industrial, komersial atau ilmiah;

8
3.      Pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial atau komersial;

4.      Pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak
menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1, penggunaan atau hak menggunakan peralatan/
perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada
angka 3, berupa :

      Penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang
disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;

      Penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk
siaran televisi atau radio yang disiarkan/ dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau
teknologi yang serupa;

      Penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi;

5.      Penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (notion picture films), film atau pita video
untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio;

6.      Pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberikan hak
kekayaan intelektual/ industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di atas.

i.        Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;

Yang dimaksud dengan sewa adalah imbalan yang diterima atau diperoleh dengan nama dan dalam
bentuk apapun sehubungan dengan penggunaan harta gerak atau harta tak gerak, seperti sewa
mobil, sewa alat berat, sewa kantor, sewa rumah dan sewa gudang.

j.        Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;

Penerimaan berupa pembayaran berkala, misalnya “alimentasi” atau tunjangan seumur hidup yang
dibayar secara berulang-ulang dalam waktu tertentu.

k.      Keuntungan berupa pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah;

Pembebasan utang oleh pihak yang berpiutang dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang
semula berutang, sedangkan bagi pihak yang berpiutang dapat dibebankan sebagai biaya.

Namun demikian, dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa pembebasan utang
debitur misalnya Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit
Usaha Rakyat (KUR), kredit untuk perumahan sangat sederhana, serta kredit kecil lainnya sampai
dengan jumlah tertentu dikecualikan sebagai objek pajak.

l.        Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;

Keuntungan karena selisih kurs dapat disebabkan fluktuasi kurs mata yang asing atau adanya
kebijaksanaan Pemerintah di  bidang moneter. Atas keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs
mata uang asing, pengenaan pajaknya dikaitkan dengan sistem pembukuan yang dianut oleh wajib
pajak dengan syarat dilakukan secara taat azas sesuai dengan Standar Akuntansi Keungan.

m.    Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;

Untuk dapat melakukan penilaian kembali aktiva tetap perusahaan untuk tujuan perpajakan, wajib
pajak  tidak lagi menyampaikan pemberitahuan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak melainkan

9
wajib mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah yang membawahi Kantor Pelayanan
Pajak tempat wajib pajak terdaftar, untuk mendapatkan Keputusan Persetujuan Direktur Jenderal
Pajak terlebih dahulu.

Permohonan wajib pajak harus dilampiri dengan:

      Fotokopi surat ujin usaha penilai yang dilegalisir oleh instansi Pemerintah yang berwenang
memberikan surat ijin usaha tersebut;

      Laporan penilaian perusahaan jasa penilai atau ahli penilai profesional yang diakui pemerintah;

      Daftar Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan Untuk Tujuan Perpajakan;

      Laporan Keuangan tahun buku terakhir sebelum penilaian kembali aktiva tetap yang telah diaudit
akuntan publik;

      Surat Keterangan tidak mempunyai tunggakan pajak dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat
wajib pajak terdaftar.

n.      Premi asuransi;

Perhitungan tingkat premi harus didasarkan pada asumsi yang wajar dan praktek asuransi yang
berlaku umum.

Penetapan tarif premi asuransi kerugian harus dilakukan dengan mempertimbangkan sekurang-
kurangnya:

1.      Premi murni yang dihitung berdasarkan profil kerugian (risk and loss profile) jenis asuransi yang
bersangkutan untuk sekurang-kurangnya 5 tahun terakhir;

2.      Biaya akuisisi, biaya administrasi dan biaya umum lainnya.

Penetapan tarif premi asuransi jiwa harus dilakukan dengan mempertimbangkan sekurang-
kurangnya:

1.      Premi murni yang dihitung berdasarkan tingkat bunga, tabel mortalita, atau tabel morbidita yang
dipergunakan;

2.      Biaya akuisisi, biaya administrasi dan biaya umum lainnya;

3.      Prakiraan hasil investasi dari premi.

o.      Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari wajib pajak yang
menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;

Iuran yang dibayar oleh anggota kepada perkumpulan yang dihitung berdasarkan volume kegiatan
usaha atau pekerjaan bebas dari anggota tersebut, misalnya iuran yang besarnya ditentukan
berdasarkan volume ekspor, satuan produksi atau satuan penjualan adalah penghasilan bagi
perkumpulan tersebut.

p.      Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;

Tambahan kekayaan neto pada hakekatnya merupakan akumulasi penghasilan baik yang telah
dikenakan pajak dan yang bukan objek pajak serta yang belum dikenakan pajak. Jika diketahui
adanya tambahan kekayaan neto yang melebihi akumulasi penghasilan yang telah dikenakan pajak
dan yang bukan objek pajak, maka tambahan kekayaan neto yang melebihi akumulasi penghasilan

10
yang telah dikenakan pajak dan yang bukan objek pajak, maka tambahan kekayaan neto tersebut
merupakan penghasilan.

q.      Penghasilan dari usaha yang berbasis syariah;

Kegiatan usaha berbasis syariah memiliki landasan filosofi yang berbeda dengan kegiatan usaha yang
bersifat konvensional.

r.        Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan
umum dan tata cara perpajakan; dan

s.       Surplus Bank Indonesia.

PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN TERTENTU

Sesuai dengan pengertian tentang penghasilan yang luas, yang dianut oleh Undang-Undang
Pajak Penghasilan Indonesia, penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:

a.    Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara,
dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;

b.   Penghasilan berupa hadiah undian;

c.    Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di
bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan
pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;

d.   Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/ atau bangunan, usaha jasa
konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan bangunan; dan

e.    Penghasilan tertentu lainnya yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Dengan mempertimbangkan kemudahan dalam pelaksanaan pengenaan serta agar tidak


menambah beban administrasi baik bagi wajib pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak, maka
pengenaan pajak penghasilan dalam ketentuan ini dapat bersifat final.Atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari transaksi penjualan saham di bursa efek
dipungut pajak penghasilan yang bersifat final.Besarnya pajak penghasilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah 0,1% dari jumlah bruto nilai transaski penjualan.”

TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK

Penghasilan-penghasilan tertentu yang diterima atau diperoleh wajib pajak tidak dikarenakan
pajak penghasilan (yang tidak termasuk sebagai objek pajak) adalah :

1.   Bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat
yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak;

11
2.   Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan
oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau Menteri Keungan; sepanjang tidak ada
hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang
bersangkutan;

a.       Warisan;

Yang dimaksud dengan warisan di sini adalah peninggalan harta dari keluarga yang sedarah satu
garis lurus di atas ahli waris.

b.      Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai
pengganti penyerahan modal;

c.       Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh
dalam bentuk natura (benefit in kind) dan atau kenikmatan dari wajib pajak atau pemerintah;

d.      Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi
kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;

e.       Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai wajib pajak dalam
negeri, koperasi, BUMN, atau BUMD, dari penyerahan modal pada badan usaha yang didirikan dan
bertempat kedudukan di Indonesia yang memenuhi syarat.

f.       Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keungan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;

g.      Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf g,
dalam bidang-bidang tertentu yang diterapkan dengan Keputusan Menteri Keungan;

h.      Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak
terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi termasuk pemegang unit
penyertaan kontrak investasi kolektif;

i.        Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 tahun pertama sejak
pendirian perusahaan atau pemberian ijin usaha (dihapus dalam Undang Undang Pajak Penghasilan
yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 2009).

j.        Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan
pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat
badan pasangan usaha tersebut:

k.      Merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-
sektor usaha yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; dan

l.        Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.

m.    Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keungan;

n.      Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang
pendidikan dan atau bidang penelitiann dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang
membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan
dan/ atau penelitian dan pengembangan , dalam jangka waktu paling lama 4 tahun sejak

12
diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.

o.      Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kepada Wajib
Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.

2.3MEKANISME PEMAJAKAN PPH DAN RUMUS UMUM MENGHITUNG PPH

Pada dasarnya jika subjek pajak dan objek pajak dari pajak penghasilan sudah ditentukan, kita
langsung dapat menghitung besarnya PPh terutang untuk menetukan berapa besarnya sebagian
penghasilan (harta kekayaan rakyat) yang harus diberikan kepada negara oleh rakyat yang menerima
atau memperoleh penghasilan. Tetapi sebelum kita membahas cara menghitung besarnya PPh
terutang, kita terlebih dahulu harus mengetaahui siapa yang diwajibkan untuk menghitung besarnya
PPh terutang, menyetorkannya ke kas negara dan mempertanggunjawabkannya, dan mengenai
kapan rakyat atau wajib pajak harus menghitung sebagian penghasilannya yang harus dibayar ke
negara.

1.      Sistem Pemajakan PPh

Ketentuan mengenai siapa yang diwajibkan menghitung besarnya PPh terutang serta
bagaimana tata cara menyetor dan mempertanggungjawabkan kewajibannya itu disebut ketentuan
mengenai tata cara pemajakan atau mekanisme pemajakan atau prosedur pemajakan atau
administrasi perpajakan PPh.

Pada prinsipnya WP (Tak Payer) itu sendiri harus menghitung dan menetapkan berapa
besarnya PPh terutang lalu segera melunasi/membayar sendiri ke kas negara. Cara ini dinamakan
cara menetapkan dan membayar pajak sendiri (Self Assesment System) (dasar hukumnya adalah
Pasal 12 UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana
telah diubah terakhir dengan UU No. 16 Tahun 2000 yang disingkat UU KUP). Istilah Self Assesment
System adalah istilah hukum. Sedangkan istilah administrasinya adalah Self Taxing System (Sistem
Pemajakan Sendiri).

Pengertian sistem pemajakan sendiri adalah WP yang menerima atau memeperoleh


penghasilan (menanggung beban pajak) itu sendiri yang menghitung dan menetapkan besarnya
pajak yang harus dibayarnya, membayarnya ke kas negara dan melaporkan perhitungan dan
pembayaran pajak tersebut ke aparat pajak, serta mempertanggungjawabkannya.

Self Assesment System atau sistem pemajakan sendiri memiliki kelemahaan, yaitu WP bisa
melakukan penyelundupan pajak, misalnya dengan menyembunyikan penghasilannya atau
melaporkannya dengan tidak benar, dan lain-lain. Untuk melengkapi atau menutupi kelemahan
sistem ini, maka pemajakan PPh juga dilakukan dengan cara:

Sistem Pemotongan (pajak) oleh pihak ketiga (With Holding System). Yang dimaksud dengan pihak
ketiga adalah pihak yang membayarkan atau terutang penghasilan. Pihak ketiga itu disebut
pemotong PPh. Jadi yang menghitung dan menetapkan besarnya PPh terutang adaalah pemotong
PPh, bukan WP sebagai pihak yang menerima penghasilan. Setelah menghitung besarnya PPh
terutang, maka pemotong PPh tersebut memotong dari penghasilan tersebut sebesar PPh yang telah
dihitungnya dan menyetorkannya ke kas negara untuk dan atas nama penerima penghasilan. Lalu

13
pihak ketiga tersebut (Pemotong PPh) melaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat ia terdaftar
dan mempertanggungjawabkannya. Jika pemotong PPh melakukan kesalahan dalam memotong PPh,
maka sanksi administrasi perpajakan akan dikenakan terhadap Pemotong PPh, bukan kepada WP
penerima penghasilan.

Setiap badan pemerintah, penyelenggara kegiatan, Subjek Pajak Badan Dalam Negeri, Sujek
Pajak Warisan yang Belum terbagi, Subjek Pajak BUT, dan perwakilan perusahaan luar negeri lainnya
secara otomatis (ditentukan langsung oleh UU PPh) menjadi pemotong PPh. Sedangkan Subjek Pajak
Orang Pribadi Dalam Negeri baru menjadi Pemotong PPh jika ia ditunjuk melalui keputusan Dirjen
Pajak sebagai Pemotong PPh. Mereka adalah Subjek Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang WNA
(Warga Negara Asing) atau Subjek Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang menyelenggarakan
pembukuan dan/ atau yang berprofesi sebagai tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas (yang
dimaksud dengan tenaga ahli adalah Subjek Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang melakukan
pekerjaan bebas yang meliputi Dokter, Pengacara, Notaris, PPAT selain Camat, Akuntan, Konsultan,
Aktuaris, Penilai, Arsitek). Dan mereka hanya terbatas sebagai Pemotong PPh atas penghasilan sewa.
Pemajakan dengan sistem pemotongan dan pemungutan disebut pemajakan pada sumber/asal
penghasilan, sehingga sulit bagi WP yang menerima atau memperoleh penghasilan menggelapkan
penghasilannya. Karena penghasilan yang diterima atau diperolehnya tersebut dilaporkan ke Kantor
Pajak oleh pihak yang membayarkan.

2.    Pemajakan Secara Periodik dan Saat Terutang Pajak Penghasilan

Penghitungan dan penyetoran/pembayaran PPh ke negara dimulai jika berdasarkan UU PPh


(berdasarkan kesepakatan antar rakyat yang diwakili oleh Parlemen Negara yang diwakili oleh
Eksekutif yang dituangkan dalam UU PPh) telah timbul kewajiban dari rakyat atau Wajib Pajak untuk
membayar PPh ke negara atau telah. timbul hak negara untuk menagih PPh dari Wajib Pajak
tersebut. Ketentuan mengenai kapan timbulonya kewajiban Wajib Pajak untuk membayar sebagian
penghasilannya disebut ketentuan mengenai saat timbulnya utang PPh atau saat terutangnya PPh.
Kita mengenal istilah janji adalah utang, artinya utang timbul karena perjanjian. Demikian pula
halnya dengan perpajakan, utang PPh itu timbul karena perjanjian, yaitu perjanjian antara rakyar itu
sendiri yang diwakili oleh parlemen dan negara yang diwakili oleh eksekutif dimana perjanjian itu
dituangkan dalam bentuk UU yang disebut UU Pajak.

Untuk PPh yang dihitung atau dipajaki pada setiap tahun pajak berakhir disebut Utang PPh
Tahunan atau PPh Tahunan Terutang dan dibedakan atas utang:

a.    PPh Tahunan WP Orang Pribadi (Dalam Negeri), yaitu PPh tahunan yang dikenakan terhadap WP
Orang Pribadi Dalam Negeri pada akhir tahun atas semua penghasilan yang dikenai PPh bersifat
tidak final yang diterima atau diperolehnya selama setahun dari awal tahun sampai akhir tahun.

b.    PPh Tahunan WP Badan (Dalam Negeri), yaitu PPh tahunan yang dikenakan terhadap WP Badan
Dalam Negeri pada akhir tahun atas semua penghasilan yang dikenakan PPh bersifat tidak final yang
siterima atau diperolehnya selama setahun dari awal tahun sampai akhir tahun.

c.    PPh Tahunan BUT (WP orang Pribadi/Badan Luar Negeri BUT), yaitu PPh tahunan yang dikenakan
terhadap WP BUT pada akhir tahun atas semua penghasilan yang dikenakan PPh bersifat tidak final
yang diterima atau diperolehnya selama setahun dari awal tahun sampai akhir tahun.

14
d.   PPh Tahunan WP Warisan yang belum terbagi, yaitu PPh tahunan yang dikenakan terhadap WP
Warisan yang belum etrbagi pada akhir tahun atas semua penghasilan yang dikenai PPh bersifat
tidak final yang diterima atau diperolehnya selama setahun dari awal tahun sampai akhir tahun.

e.    PPh Tahunan Pasal 21. PPh Tahunan Pasal 21 adalah uang muka PPh Tahunan WP Orang Pribadi
dalam negeri yang dikenakan terhadap Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri khusus atas
penghasilan yang dikenakan PPh bersifat tidak final berupa penghasilan dari pekerjaan, jasa, dan
kegiatan yang diterima atau diperolehnya dari awal tahun sampai akhir tahun bersangkutan.
Ketentuan mengenai mekanisme pemajakan PPh Tahunan Pasal 21 diatur di Pasal 21 UU PPh
sehingga disebut PPh Pasal 21.  

3.        Uang Muka PPh

Mengingat Pemajakan setelah tahun pajak berakhir mengandung kelemahan berupa:

a.         Terbukanya peluang bagi WP untuk menggelapkan penghasilan yang diterima atau diperolehnya
pada awal-awal tahun, kemungkinan WP sudah tidak mempunyai uang lagi untuk membayar PPh
pada akhir tahun karena sudah habis dipakai sehingga menyulitkan penerimaan negara.

b.        Mengingat WP untuk membayar utang PPh Tahunan dalam jumlah besar dan lain-lain.

c.         Demi bisa melakukan cek silang untuk kepentingan intensifikasi WP.

d.        Mencegah penyelundupan pajak dan lain-lain.

Maka UU PPh menentuka bahwa pada saat menerima atau memperoleh penghasilan terutama
selama satu tahun berjalan, WP yang menerima atau memperoleh penghasilan tertentu tersebut
diharuskan membayar uang muka PPh dalam jumlah tertentu dari penghasilan tertentu itu melalui
sistem pemotongan atau pemungutan atau pemajakan sendiri. Ketentuan tersebut diatur di BAB V
UU PPh tentang Pelunasan PPh Selama Tahun Berjalan (Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal
24, Pasal 25). Nanti pada akhir tahun pajak, penghasilan itu ditambah dengan penghasilan lain yang
tidak dikenai uang muka PPh dikenai PPh tahunan (dihitung PPh tahunan terutang). Sedangkan uang
muka PPh yang telah dibayar selama tahun berjalan tersebut bisa diperhitungkan sebagai kredit
pajak (pengurang) dari PPh Tahunan Terutang (Bab V UU PPh Tentang Perhitungan Pajak Pada Akhir
Tahun).

4.    Rumus Umum Perhitungan PPh

Cara Menghitung PPh Terutang, baik PPh Tahunan Terutang, PPh Final Terutang, maupun Uang
Muka PPh Terutang bisa disajikan berupa rumus umum perhitungan PPh Terutang sebagai berikut:

Dasar Pengenaan Tarif Pajak x Tarif PPh  = PPh Terutang

                               (Base x Rate                =Tax)             

Dasar pengenaan pajak adalah suatu jumlah yang terhadapnya langsung diterapkan tarif pajak.

Dalam UU PPh, Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dibedakan menjadi dua yaitu

1.      DPP untuk pemajakan PPh bulanan hak pemajakan PPh final maupun pemajakan uang muka PPh
adalah

15
a.       Penghasilan bruto atau jumlah bruto tanpa PPN/PPnBM, atau

b.      Perkiraan penghasilan netto (penghasilan netto yang dikira-kira saja).

2.      DPP untuk pemajakan PPh Tahunan pada akhir tahun pajak/buku adalah Penghasilan Kena Pajak
(PKP). PKP dihitung sebagai berikut:

a.       Bagi WP Orang Pribadi Dalam Negeri yang tidak wajib pembukuan (omset setahun tidak melampaui
600 juta) PKP dihitung dari penghasilan bruto dikalikan norma penghitungan penghasilan neto.
Norma penghitungan penghasilan neto merupakan suatu persentase yang besarnya ditentukan oleh
Dirjen Pajak (Pasal 14 UU PPh).

b.      Bagi WP yang wajib pembukuan (WP Orang Pribadi Dalam Negeri yang omset setahun melebihi 600
juta, Wp Badan Dalam Negeri, WP BUT, dan WP Warisan yang belum terbagi) PKP dihitung dari
penghasilan bruto dikurangi biaya-biaya atau pengeluaran-pengeluaran untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan tersebut (Pasal 6 sd 11, Pasal 9 dan 18 UU PPh) serta
kompensasi kerugian fiskal. Perhitungan ini mirip dengan perhitungan laba netto dalam akuntansi.

c.       Bagi WP yang wajib pembukuan, tetapi karena sifat usahanya sulit menetukan penghasilan neto
(seperti Wp yang bergerak di bidang pelayanan atau penerbangan internasional), PKP dihitung dari
penghasilan bruto dikalikan Norma Penghitungan Khusus. Norma Penghitungan Khusus merupakan
suatu persentase yang besarnya ditentukan oleh Menteri Keuangan yang mendapat wewenang dari
UU PPh (Pasal 15 UU PPh).

jadi dalam menghitung PKP untuk menjadi DPP, kita peratama-tama harus menghitung penghasilan
netonya terlebih dahulu.

Tarif PPh

Tarif PPh dibedakan atas:

1.   Tarif Pasal 17

Tarif Pasal 17 untuk WP Dalam Negeri (orang pribadi/badan/warisan yang belum dibagi) dan WP
BUT sebagaimana diatur di Pasal 17 UU PPh. Disebut tarif Pasal 17 karena ketentuannya diatur di
Pasal 17 UU PPh. Tarif Pasal 17 digunakan untuk menghitug PPh tahunan dan PPh bulanan Pasal 21.

2.   Tarif Fiksi/Khusus

Tarif fiksi/khusus yaitu tarif yang besarnya ditentukan berdasarkan kira-kira saja oleh UU PPh, seperti
tarif PPh Pasal 23 sebesar 15% atau oleh pejabat yang diberi wewenang oleh UU PPh (bisa Presiden,
Menteri Keuangan, Dirjen Pajak), seperti tariif PPh final dan tarif PPh Pasal 22. Tarif Fiksi/Khusus
digunakan untuk pemajakan bulanan, PPh Final, Uang Muka PPh seperti PPh bulanan Pasal 21, PPh
Pasal 22, PPh Pasal 23.

3.   Tarif Pasal 26

Tarif Pasal 26 untuk WP luar negeri selain BUT sebagaimana diatur di Pasal 26 UU PPh. Dinamai tarif
Pasal 26 karena ketentuannya diatur di Pasal 26 tarif PPh. Tarif Pasal 26 digunakan untuk
pemajakan/perhitungan pasal 26.

Besarnya Tarif

16
Tarif Pasal 17 untuk pemajakan PPh Tahunan dan PPh Bulanan Pasal 21 dibedakan atas tarif
Pasal 17 untuk Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan tarif Pasal 17 untuk WP Badan Dalam
Negeri dan WP BUT.

Tarif Pasal 17 ayat 1a untuk WP Orang Pribadi Dalam Negeri sebesar

Untuk Lapisan PKP Tarif

> 0,00 s/d 25.000.000,00 5%

>25.000.000,00 s/d 50.000.000,00 10%

>.000.000,00 s/d 100.000.000,00 15%

>100.000.000,00 s/d 200.000.000,00 25%

>200.000.000,00 35%

Mekanisme perpajakan dan rumus umum menghitung PPh

Mekanisme perhitungan PPh pasal 21

Secara umum rumus menghitung PPh 21 adalah:

Penghasilan Bersih per bulan xxx

Penghasilan bersih disetahunkan xxx (x12 bulan)

PTKP xxx (-)

Penghasilan Kena Pajak xxx

PPh Terutang setahun xxx (x tarif PPh 21)

PPh Terutang per bulan xxx (÷ 12 bulan)

Secara umum, langkah-langkah atau mekanisme dalam penghitungan umum PPh Badan adalah
sebagai berikut:

1.   Menghitung Penghasilan Kena Pajak (PKP)


Yaitu dengan cara menghitung (menentukan) besarnya penghasilan neto fiskal dikurangi dengan
kompensasi kerugian fiskal

2.   Menghitung PPh Terutang


Penghitungan PPh Terutang dilakukan dengan cara mengalikan Penghasilan Kena Pajak (PKP) dengan
tarif pajak yang berlaku (sesuai dengan kriteria Wajib Pajak), dikurangi dengan

17
pengembalian/pengurangan kredit pajak luar negeri yang (PPh Pasal 24) yang telah diperhitungkan
tahun lalu

PPh Terutang = Penghasilan Kena Pajak X Tarif PPh Badan

atau dapat dijelaskan sebagai berikut:

Peredaran Bruto Rp xxxxx

Biaya – biaya Rp xxxxx

-------------------

Penghasilan Neto Rp xxxxx

Kompensasi Kerugian Rp xxxxx

-------------------

Penghasilan Kena
Rp xxxxx
Pajak

Tarif Pajak       xxx %

------------------X

PPh Terutang Rp xxxxx

BAB III

PENUTUP

A.  Kesimpulan

Pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan pada sorang pribadi maupun badan atas
penghasilan yang diperolehnya pada periode tahun pajak, Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pajak
atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan
dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan
oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri.

18
Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis
yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia,
yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan,
dengan nama dan dalam bentuk apa pun.

Jadi jika orang pribadi atau badan telah memenuhi syarat subjektif (telah memenuhi syarat
sebagai subjek pajak) dan telah memenuhi syaraat objektif (telah menerima atau memperoleh
penghasilan), maka orang pribadi atau badan tersebut otomatis menjadi wajib pajak.

19

Anda mungkin juga menyukai