Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH ANATOMI FISIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI

SISTEM PERNAFASAN

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 1 ANESTESI

1. Asnira Widiyaswuri A11701530


2. Ayu Wulandari A11701532
3. Ema Tri Indah Sari A11701537
4. Miftakhul Huda A11701580
5. Nanang Aziz Luthfi A11701588
6. Nur Ani Yulianingsih A11701593
7. Rida Wijayanti A11701612
8. Rizki Tri Mulyawati A11701618

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH
GOMBONG
2020
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Untuk mengetahui tingkat kesehatan seseorang dilihat dari beberapa aspek,


salah satunya adalah dari kinerja alat pernafasan. Pernafasan (respirasi) adalah
peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung oksigen (O₂) kedalam
tubuh serta menghembuskan udara yang banyak mengandung karbon dioksida
(CO₂) sebagai sisa dari oksidasi keluar tubuh. Penghisapan ini disebut inspirasi
dan menghembuskan disebut ekspirasi. Sistem pernafasan tersusun atas saluran
pernafasan dan paru-paru sebagai tempat pertukaran udara pernapasan.
Pernafasan merupakan proses untuk memenuhi kebutuhan oksigen yang
diperlukan dalam mengubahs umber energy menjadi energi, serta membuang
CO₂ sebagai sisa metabolisme. Dalam proses respirasi, paru-paru merupakan
organ dalam system pernafasan yang berfungsi menukar oksigen dalam system
karbon dioksida dari darah dengan bantuan haemoglobin. System pernapasan
dibentuk oleh beberapa struktur. Seluruh struktur tersebut terlibat dalam proses
respirasieksternal yaitu proses pertukaran oksigen (O2) antara atmosfer dan darah
serta pertukaran karbon dioksida (CO2) antara darah dan atmosfer (Ray, 2014).
Oksigenasi merupakan salah satu kebutuhan yang diperlukan dalam proses
kehidupan karena oksigen sanga tberperan dalam proses metabolism tubuh.
Kebutuhan oksigen didalam tubuh harus terpenuhi karena apabila tubuh
mengalami kekurangan oksigen maka akan terjadi kerusakan pada jaringan otak
dan apabila hal tersebut berlangsung dalam waktu yang lama akan menyebabkan
kematian. Proses pemenuhan kebutuhan oksigen pada manusia dapat dilakukan
dengan cara pemberian oksigen melalui saluran pernafasan, pembebasan jalan
nafas dari sumbatan yang menghalangi masuknya oksigen, memulihkan dan
memperbaiki organ pernafasan agar berfungsisecara normal (Ardiyanto, 2011).
Respirasi eksternal adalah proses pertukaran gas antara darah dan atmosfer
sedangkan respirasi internal adalah proses pertukaran gas antara darah sirkulasi
dan sel jaringan. Respirasi internal (pernapasan selular) berlangsung diseluruh
system tubuh. Yang termasuk struktur utama system pernapasan adalah saluran
udara pernapasan, terdiri dari saluran napas atas dan saluran napas bawah, serta
paru (parenkim paru). Yang disebut sebagai saluran napas atas adalah (1) nares,
hidung bagian luar (external nose), (2) hidung bagian dalam (internal nose), (3)
sinus paranasal, (4) faring, (5) laring. Saluran napas bawah adalah (1) trakea, (2)
bronki dan bronkioli. Yang dimaksud dengan parenkim paru adalah organ berupa
kumpulan alveoli yang mengelilingi cabang-cabang pohon bronkus. Paru kanan
terdiri dari tiga bagian, yaitu lobus atas kanan, lobus tengah kanan, dan lobus
bawah kanan. Setiap lobus mempunyai bronkus lobusnya masing-masing. Paru
kiri mempunyai dua lobus, yaitu lobus atas kiri dan lobus bawah kiri dan setiap
lobus juga mempunyai bronkus lobusnya masing-masing seperti paru kanan
(Aaron, 2013).

Sistem pernafasan berperan penting untuk mengatur pertukaran oksigen dan


karbon dioksida antara udara dan darah. Oksigen diperlukan oleh semua seluntuk
menghasilkan sumber energy, adenosinetripospate (ATP), karbon dioksida
dihasilkan oleh sel-sel yang secara metabolism aktif dan membentuk asam, yang
harus dibuang dari tubuh. Untuk melakukan pertukaran gas system
kardiovaskuler bertanggung jawab untuk perfusi darah melalui paru-paru.
Sedangkan system pernafasan melakukan dua terpisah ventilasi dan respirasi
(Majumer, 2015)

Proses oksigenasi dimulai dari pengambilan oksigen di atmosfir, kemudian


oksigen masuk melalui organ pernapasan bagian atas seperti hidung atau mulut,
faring, laring dan selanjutnya masuk ke organ pernapasan bagian bawah seperti
trakhea, bronkusutama, bronkhussekunder, bronkhustersier (segmental), terminal
bronkhiolus dan selanjutnya masuk ke alveoli. Udara dari luar diproses di
hidung, di dalam hidung masih terjadi perjalanan panjang menuju paru-paru
(sampai alveoli). Pada laring terdapat epiglotis yang berguna untuk menutup
laring sewaktu menelan, sehingga makanan tidak masuk ke trakhea, sedangkan
waktu bernapas epiglottis terbuka begitu seterusnya. Jika makanan masuk
kedalam laring maka kita mendapat serangan batuk, untuk mencoba
mengeluarkan makanan tersebut dari laring. Selain itu dibantu oleh adanya silia
(bulu-bulu getar) yaitu untuk menyaring debu-debu, kotoran dan benda asing.
Adanya benda asing/ kotoran tersebut memberikan rangsangan kepada selaput
lender dan silia sehingga terjadi bersin dan batuk. Akibatnya benda asing/
kotoran tersebut bias dikeluarkan melalui hidung dan mulut. Dengan kejadian
tersebut di atas udara yang masuk kedalam alat-alat pernapasan benar-benar
bersih. Tetapi kalau kita bernapas melalui mulut, udara yang masuk kedalam
paru-paru tidak dapat disaring, dilembabkan/ dihangatkan, ini bias
mengakibatkan gangguan terhadap tubuh. Dan sel-sel bersilia dapat rusak apabila
adanya gas beracun dan dalam keadaan dehidrasi (Syaifuddin, 2006).
Seperti diketahui, saluran napas manusia bermula dari mulut dan hidung,
lalu bersatu di daerah leher menjadi trakea (tenggorok) yang akan masuk keparu.
Di dalam paru, satu saluran napas trakea itu akan bercabang dua, satu keparu kiri
dan satu lagi keparu kanan. Setelah itu, masing-masing akan bercabang-cabang
lagi, makin lama tentu makin kecil sampai 23 kali dan berujung di alveoli, tempat
terjadi pertukaran gas, oksigen (O2 ) masuk ke pembuluh darah, dan karbon
dioksida (CO2 ) dikeluarkan (Octavina, 2014).

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana anatomi fisiologi pada system pernafasan manusia?

2. Apa saja penyakit pada system pernafasan manusia dan bagaimana


perjalanan penyakitnya.?
3. Komplikasi anestesi apa yang dapat terjadi pada saluran sistem
pernafasan?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui anatomi system pernafasan

2. Mengetahui patofisiologi yang terjadi pada system pernafasan secara


mendalam

3. mengetahui komplikasi anestesi yang mungkin dapat terjadi pada sistem


pernafasan.

1.4 Manfaat

1.4.1 Bagi Mahasiswa

Makalah ini diharapkan mampu membantu mahasiswa mengulas


kembali dan memahami lebih dalam terkaitan atomifisiologi dan
patofisiologi pada system pernafasan. Sehingga mahasiswa dapat dengan
mudah mengaplikasikan asuhan keperawatan secara cepat dan tepat pada
klien yang mengalami masalah pada system pernafasan

1.4.2 Bagi Pembaca

Memberikan edukasi kepada pembaca mengenai system pernafasan


sampai dengan berbagai penyakit yang bias terjadi pada system
pernafasan manusia.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Sistem Pernapasan

Sistem respirasi adalah sistem yang memiliki fungsi utama untuk melakukan
respirasi dimana respirasi merupakan proses mengumpulkan oksigen dan
mengeluarkan karbondioksida. Fungsi utama sistem respirasi adalah untuk
memastikan bahwa tubuh mengekstrak oksigen dalam jumlah yang cukup untuk
metabolisme sel dan melepaskan karbondioksida (Peate and Nair, 2011)

Gambar 2.1 Organ respirasi tampak depan (Tortora dan Derrickson, 2014)

Sistem respirasi terbagi menjadi sistem pernafasan atas dan sistem pernafasan
bawah. Sistem pernafasan atas terdiri dari hidung, faring dan laring. Sedangkan
sistem pernafasan bawah terdiri dari trakea, bronkus dan paru-paru (Peate and Nair,
2011).

a) Hidung
Hidung Masuknya udara bermula dari hidung. Hidung merupakan organ
pertama dalam sistem respirasi yang terdiri dari bagian eksternal (terlihat) dan
bagian internal. Di hidung bagian eksternal terdapat rangka penunjang berupa
tulang dan hyaline kartilago yang terbungkus oleh otot dan kulit. Struktur
interior dari bagian eksternal hidung memiliki tiga fungsi : (1)
menghangatkan,melembabkan, dan menyaring udara yang masuk; (2)
mendeteksi stimulasi olfaktori (indra pembau); dan (3) modifikasi getaran
suara yang melalui bilik resonansi yang besar dan bergema. Rongga hidung
sebagai bagian internal digambarkan sebagai ruang yang besar pada anterior
tengkorak (inferior pada tulang hidung; superior pada rongga mulut); rongga
hidung dibatasi dengan otot dan membrane mukosa (Tortorra and Derrickson,
2014)
b) Faring
Faring, atau tenggorokan, adalah saluran berbentuk corong dengan panjang 13
cm. Dinding faring disusun oleh otot rangka dan dibatasi oleh membrane
mukosa. Otot rangka yang terelaksasi membuat faring dalam posisi tetap
sedangkan apabila otot rangka kontraksi maka sedang terjadi proses menelan.
Fungsi faring adalah sebagai saluran untuk udara dan makanan, menyediakan
ruang resonansi untuk suara saat berbicara, dan tempat bagi tonsil (berperan
pada reaksi imun terhadap benda asing) (Tortorra and Derrickson, 2014)
c) Laring
Laring tersusun atas 9 bagian jaringan kartilago, 3 bagian tunggal dan 3
bagian berpasangan. 3 bagian yang berpasangan adalah kartilago arytenoid,
cuneiform, dan corniculate. Arytenoid adalah bagian yang paling signifikan
dimana jaringan ini mempengaruhi pergerakan membrane mukosa (lipatan
vokal sebenarnya) untuk menghasilkan suara. 3 bagian lain yang merupakan
bagian tunggal adalah tiroid, epiglotis, dan cricoid. Tiroid dan cricoid
keduanya berfungsi melindungi pita suara. Epiglotis melindungi saluran udara
dan mengalihkan makanan dan minuman agar melewati esofagus (Peate and
Nair, 2011).
d) Trakea
Trakea atau batang tenggorokan merupakan saluran tubuler yang dilewati
udara dari laring menuju paru-paru. Trakea juga dilapisi oleh epitel kolumnar
bersilia sehingga dapat menjebak zat selain udara yang masuk lalu akan
didorong keatas melewati esofagus untuk ditelan atau dikeluarkan lewat
dahak. Trakea dan bronkus juga memiliki reseptor iritan yang menstimulasi
batuk, memaksa partikel besar yang masuk kembali keatas (Peate and Nair,
2011).
e) Bronkus

Gambar 2.2 Struktur bronkus (Martini et al., 2012)


Setelah laring, trakea terbagi menjadi dua cabang utama, bronkus kanan dan
kiri, yang mana cabang-cabang ini memasuki paru kanan dan kiri pula.
Didalam masing-masing paru, bronkus terus bercabang dan semakin sempit,
pendek, dan semakin banyak jumlah cabangnya, seperti percabangan pada
pohon. Cabang terkecil dikenal dengan sebutan bronchiole (Sherwood, 2010).
Pada pasien PPOK sekresi mukus berlebih ke dalam cabang bronkus sehinga
menyebabkan bronkitis kronis.
f) Paru
Paru-paru dibagi menjadi bagian-bagian yang disebut lobus. Terdapat tiga
lobus di paru sebelah kanana dan dua lobus di paru sebelah kiri. Diantara
kedua paru terdapat ruang yang bernama cardiac notch yang merupakan
tempat bagi jantung. Masing-masing paru dibungkus oleh dua membran
pelindung tipis yang disebut parietal dan visceral pleura. Parietal pleura
membatasi dinding toraks sedangkan visceral pleura membatasi paru itu
sendiri. Diantara kedua pleura terdapat lapisan tipis cairan pelumas. Cairan ini
mengurangi gesekan antar kedua pleura sehingga kedua lapisan dapat
bersinggungan satu sama lain saat bernafas. Cairan ini juga membantu
pleuravisceral dan parietal melekat satu sama lain, seperti halnya dua kaca
yang melekat saat basah (Peate and Nair, 2011).

Gambar 2.3Alveoli (Sherwood, 2010)


Cabang-cabang bronkus terus terbagi hingga bagian terkecil yaitu bronchiole.
Bronchiole pada akhirnya akan mengarah pada bronchiole terminal. Di bagian
akhir bronchiole terminal terdapat sekumpulan alveolus, kantung udara kecil
tempat dimana terjadi pertukaran gas (Sherwood, 2010). Dinding alveoli
terdiri dari dua tipe sel epitel alveolar. Sel tipe I merupakan sel epitel
skuamosa biasa yang membentuk sebagian besar dari lapisan dinding alveolar.
Sel alveolar tipe II jumlahnya lebih sedikit dan ditemukan berada diantara sel
alveolar tipe I. sel alveolar tipe I adalah tempat utama pertukaran gas. Sel
alveolar tipe II mengelilingi sel epitel dengan permukaan bebas yang
mengandung mikrofili yang mensekresi cairan alveolar. Cairan alveolar ini
mengandung surfaktan sehingga dapat menjaga permukaan antar sel tetap
lembab dan menurunkan tekanan pada cairan alveolar. Surfaktan merupakan
campuran kompleks fosfolipid dan lipoprotein. Pertukaran oksigen dan
karbondioksida antara ruang udara dan darah terjadi secara difusi melewati
dinding alveolar dan kapiler, dimana keduanya membentuk membran
respiratori (Tortora dan Derrickson, 2014).

2.2 Fisiologi Sistem Pernapasan


a) Pernapaan Paru

Pernapasan paru adalah pertukaran oksigen dan karbondioksida yang terjadi


pada paruparu. Oksigen diambil melalui mulut dan hidung pada waktu bernapas,
masuk melalui trakea sampai ke alveoli berhubungan dengan darah dalam kapiler
pulmonar. Alveoli memisahkan okigen dari darah, oksigen kemudian menembus
membran, diambil oleh sel darah merah dibawa ke jantung dan dari jantung
dipompakan ke seluruh tubuh. Karbondioksida merupakan hasil buangan di dalam
paru yang menembus membran alveoli, dari kapiler darah dikeluarkan melalui pipa
bronkus berakhir sampai pada mulut dan hidung. Pernapasan pulmoner (paru) terdiri
atas empat proses yaitu: 1) Ventilasi pulmoner, gerakan pernapasan yang menukar
udara dalam alveoli dengan udara luar. 2)Arus darah melalui paru-paru, darah
mengandung oksigen masuk ke seluruh tubuh, karbondioksida dari seluruh tubuh
masuk ke paru-paru. 3) Distribusi arus udara dan arus darah sedemikian rupa dengan
jumlah yang tepat, yang bisa dicapai untuk semua bagian. 4) Difusi gas yang
menembus membran alveoli dan kapilerkarbondioksida lebih mudah berdifusi dari
pada oksigen (Pearce, 2007; Silverthon, 2001; Syaifuddin,2006; Kemenkes 2017).

Proses pertukaran oksigen dan karbondioksida terjadi ketika konsentrasinya


dalam darah merangsang pusat pernapasan pada otak, untuk memperbesar kecepatan
dalam pernapasan, sehingga terjadi pengambilan O2 dan pengeluaran CO2 lebih
banyak. Darah merah (hemoglobin) yang banyak mengandunng oksigen dari seluruh
tubuh masuk ke dalam jaringan, mengambil karbondioksida untuk dibawa ke paru-
paru dan di paru-paru terjadi pernapasan eksterna ( Pearce, 2007; Silverthon, 2001;
Syaifuddin,2006; Kemenkes, 2017).

b) Pernapasan sel

Transpor gas paru-paru dan jaringan. Pergerakan gas O2 mengalir dari alveoli
masuk ke dalam jaringan melalui darah, sedangkan CO2 mengalir dari jaringan ke
alveoli. Jumlah kedua gas yang ditranspor ke jaringan dan dari jaringan secara
keseluruhan tidak cukup bila O2 tidak larut dalam darah dan bergabung dengan
protein membawa O2 (hemoglobin). Demikian juga CO2 yang larut masuk ke dalam
serangkaian reaksi kimia reversibel (rangkaian perubahan udara) yang mengubah
menjadi senyawa lain. Adanya hemoglobin menaikkan kapasitas pengangkutan O2
dalam darah sampai 70 kali dan reaksi CO2 menaikkan kadar CO2 dalam darah
mnjadi 17 kali (Pearce, 2007; Silverthon, 2001;Syaifuddin, 2006; Kemenkes, 2017).

Pengangkutan oksigen ke jaringan. Sistem pengangkutan O2 dalam tubuh


terdiri dari paru-paru dan sistem kardiovaskuler. Oksigen masuk ke jaringan
bergantung pada jumlahnya yang masuk ke dalam paru-paru, pertukaran gas yang
cukup pada paru-paru, aliran darah ke jaringan dan kapasitas pengangkutan O2 dalam
darah. Aliran darah bergantung pada derajat konsentrasi dalam jaringan dan curah
jantung. Jumlah O2 dalam darah ditentukan oleh jumlah O2 yang larut, hemoglobin,
dan afinitas (daya tarik) hemoglobin (Pearce, 2007; Silverthon, 2001;Syaifuddin,
2006; Kemenkes, 2017).
Transpor oksigen melalui lima tahap sebagai berikut:

1) Tahap I: oksigen atmosfer masuk ke dalam paru-paru. Pada waktu kita


menarik napas, tekanan parsial oksigen dalam atmosfer 159 mmHg. Dalam alveoli
komposisi udara berbeda dengan komposisi udara atmosfer, tekanan parsial O2 dalam
alveoli 105 mmHg

2) Tahap II: darah mengalir dari jantung, menuju ke paru-paru untuk


mengambil oksigen yang berada dalam alveoli. Dalam darah ini terdapat oksigen
dengan tekanan parsial 40 mmHg. Karena adanya perbedaan tekanan parsial itu
apabila sampai pada pembuluh kapiler yang berhubungan dengan membran alveoli
maka oksigen yang berada dalam alveoli dapat berdifusi masuk ke dalam pembuluh
kapiler. Setelah terjadi proses difusi tekanan parsial oksigen dalam pembuluh menjadi
100 mmHg.

3) Tahap III: oksigen yang telah berada dalam pembuluh darah diedarkan
keseluruh tubuh. Ada dua mekanisme peredaran oksigen yaitu oksigen yang larut
dalam plasma darah yang merupakan bagian terbesar dan sebagian kecil oksigen yang
terikat pada hemoglobin dalam darah. Derajat kejenuhan hemoglobin dengan O2
bergantung pada tekanan parsial CO2 atau pH. Jumlah O2 yang diangkut ke jaringan
bergantung pada jumlah hemoglobin dalam darah

4) Tahap IV: sebelum sampai pada sel yang membutuhkan, oksigen dibawa
melalui cairan interstisial dahulu. Tekanan parsial oksigen dalam cairan interstisial 20
mmHg. Perbedaan tekanan oksigen dalam pembuluh darah arteri (100 mmHg)
dengan tekanan parsial oksigen dalam cairan interstisial (20 mmHg) menyebabkan
terjadinya difusi oksigen yang cepat dari pembuluh kapiler ke dalam cairan
interstisial.

5) Tahap V: tekanan parsial oksigen dalam sel kira-kira antara 0-20 mmHg.
Oksigen dari cairan interstisial berdifusi masuk ke dalam sel. Dalam sel oksigen ini
digunakan untuk reaksi metabolisme yaitu reaksi oksidasi senyawa yang berasal dari
makanan (karbohidrat, lemak, dan protein) menghasilkan H2O, CO2 dan energi
(Pearce, 2007; Kemenkes, 2017).

Reaksi hemoglobin dan oksigen. Dinamika reaksi hemoglobin sangat cocok


untuk mengangkut O2. Hemoglobin adalah protein yang terikat pada rantai
polipeptida, dibentuk porfirin dan satu atom besi ferro. Masing-masing atom besi
dapat mengikat secara reversible (perubahan arah) dengan satu molekul O2. Besi
berada dalam bentuk ferro sehingga reaksinya adalah oksigenasi bukan oksidasi
(Pearce, 2007; Silverthon, 2001; Syaifuddin, 2006; Kemenkes, 2017).

Transpor karbondioksida. Kelarutan CO2 dalam darah kira-kira 20 kali


kelarutan O2 sehingga terdapat lebih banyak CO2 dari pada O2 dalam larutan
sederhana. CO2 berdifusi dalam sel darah merah dengan cepat mengalami hidrasi
menjadi H2CO2 karena adanya anhydrase (berkurangnya sekresi kerigat) karbonat
berdifusi ke dalam plasma. Penurunan kejenuhan hemoglobin terhadap O2 bila darah
melalui kapiler-kapiler jaringan. Sebagian dari CO2 dalam sel darah merah beraksi
dengan gugus amino dari protein, hemoglobin membentuk senyawa karbamino
(senyawa karbondioksida). Besarnya kenaikan kapasitas darah mengangkut CO2
ditunjukkan oleh selisih antara garis kelarutan CO2 dan garis kadar total CO2 di
antara 49 ml CO2 dalam darah arterial 2,6 ml dalah senyawa karbamino dan 43,8 ml
dalam HCO2 (Pearce, 2007; Silverthon, 2001; Syaifuddin, 2006; Kemenkes, 2017) .

Respirasi mencakup dua proses yang berbeda namun tetap berhubungan yaitu
respirasi seluler dan respirasi eksternal. Respirasi seluler mengacu pada proses
metabolism intraseluler yang terjadi di mitokondria. Respirasi eksternal adalah
serangkaian proses yang terjadi saat pertukaran oksigen dan karbondioksida antara
lingkungan eksternal dan sel-sel tubuh (Sherwood, 2014)

Terdapat empat proses utama dalam proses respirasi ini yaitu:

1) Ventilasi pulmonar – bagaimana udara masuk dan keluar dari paru


2) Respirasi eksternal – bagaimana oksigen berdifusi dari paru ke sirkulasi
darah dan karbondioksida berdifusi dari darah ke paru

3) Transport gas – bagaimana oksigen dan karbondioksida dibawa dari paru


ke jaringan tubuh atau sebaliknya

4) Respirasi internal – bagaimana oksigen dikirim ke sel tubuh dan


karbondioksida diambil dari sel tubuh

(Peate and Nair, 2011)

2.3 Patofisiologi Sistem Pernapasan


a) PPOK

PPOK adalah penyakit yang umum, dapat dicegah, dan dapat ditangani, yang
memiliki karakteristik gejala pernapasan yang menetap dan keterbatasan aliran udara,
dikarenakan abnormalitas saluran napas dan/atau alveolus yang biasanya disebabkan
oleh pajanan gas atau partikel berbahaya (GOLD, 2017).

Karakteristik utama PPOK adalah keterbatasan aliran udara sehingga


membutuhkan waktu lebih lama untuk pengosongan paru. Peningkatan tahanan jalan
napas pada saluran napas kecil dan peningkatan compliance paru akibat kerusakan
emfisematus menyebabkan perpanjangan waktu pengosongan paru. Hal tersebut
dapat dinilai dari pengukuran Volume Ekspirasi Paksa detik pertama (FEV1) dan
rasio FEV1 dengan Kapasitas Vital Paksa (FEV1/FVC) (Masna dan Fachri, 2014).

Patofisiologi pada pasien PPOK menurut The Global Initiative for Chronic
Obstructive Pulmonary Disease 2017 sebagai berikut :
1) Keterbatasan aliran udara dan air trapping
2) Ketidaknormalan pertukaran udara
3) Hipersekresi mukus
4) Hipertensi pulmoner
5) Eksaserbasi
6) Gangguan sistemik

b) Asma

Asma adalah suatu keadaan dimana saluran nafas mengalami penyempitan


karena hiperaktivitas pada rangsangan tertentu, yang mengakibatkan peradangan,
penyempitan ini bersifat sementara (Wahid & Suprapto, 2013). Asma merupakan
penyakit jalan napas obstruktif intermitten, bersifat reversibel dimana trakea dan
bronchi berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu serta mengalami
peradangan atau inflamasi (Padila, 2013)

Patofisiologi dari asma yaitu adanya faktor pencetus seperti debu, asap rokok,
bulu binatang, hawa dingin terpapar pada penderita. Bendabenda tersebut setelah
terpapar ternyata tidak dikenali oleh sistem di tubuhpenderita sehingga dianggap
sebagai benda asing (antigen). Anggapan itu kemudian memicu dikeluarkannya
antibody yang berperan sebagai respon reaksi hipersensitif seperti neutropil, basophil,
dan immunoglobulin E. masuknya antigen pada tubuh yang memicu reaksi antigen
akan menimbulkan reaksi antigen-antibodi yang membentuk ikatan seperti key and
lock (gembok dan kunci).

Ikatan antigen dan antibody akan merangsang peningkatan pengeluaran


mediator kimiawi seperti histamine, neutrophil chemotactic show acting, epinefrin,
norepinefrin, dan prostagandin. Peningkatan mediator kimia tersebut akan
merangsang peningkatan permiabilitas kapiler, pembengkakan pada mukosa saluran
pernafasan (terutama bronkus). Pembengkakan yang hampir merata pada semua
bagian pada semua bagian bronkus akan menyebabkan penyempitan bronkus
(bronkokontrikis) dan sesak nafas.

Penyempitan bronkus akan menurunkan jumlah oksigen luar yang masuk saat
inspirasi sehingga menurunkan ogsigen yang dari darah. kondisi ini akan berakibat
pada penurunan oksigen jaringan sehingga penderita pucat dan lemah. Pembengkakan
mukosa bronkus juga akan meningkatkan sekres mucus dan meningkatkan
pergerakan sillia pada mukosa. Penderita jadi sering batuk dengan produksi mucus
yang cukup banyak (Harwina Widya Astuti 2010).

c) Tuberculosis
1) Primer

Menurut (Halim, 2018) Pada seseorang yang belum pernah kemasukan hasil
TB, Tes tuberkulin akan negatif karena sistem imunologi belum terkontaminasi oleh
bakteri TB. Bila seseorang mengalami infeksi oleh basil TB, walaupun sudah
difogositosis oleh magrofag, Basil TB tidak akan mati. Basil TB dapat berkembang
pesat selama 2 minggu dan minggu pertama di alveolus paru, dengan kecepatan 1
basil menjadi 2 bagian selama 20 jaam, sehingga dengan infeksi oleh 1 basil selama 2
minggu basil bertambah menjadi 100.000.

Secara klinis, sifat ini dikenal dengan reaksi tuberkulin (sering juga disebut
dengan tes Mantoux ), tes Mantoux bertujuan untuk memeriksa apakah seseorang itu
pernah terinfeksi basil TB, sistem imunitas seluler belum terangsang untuk melawan
basil TB, dalam keadaan normal, sistem ini sudah 1 minggu terangsang secara efektif
3-8 minggu setelah infeksi primer (Crofton, 2017).

Dalam waktu kurang dari 1 jam setelah berhasil masuk ke dalam alveoli,
sebagian basil TB akan terangkut oleh aliran limfe ke dalam kelenjar-kelenjar limfe
original dan sebagian akan masuk kedalam aliran darah. Kombinasi tuberkel dalam
paru dan limfadenitis regional disebut dengan kompleks primer. Biasanya suatu lesi
primer TB mengalami penyembuhan spontan dengan atau tanpa adanya klasifikasi
(Halim, 2017).
Penyebaran TB primer yang mengikuti suatu pola tertentu yang meliputi
empat tahap yaitu tahap pertama terjadi rata-rata 3-8 minggu setelah masuknya
kuman, memberikan test tuberculin yang positif, disertai demam dan pada fase positif
terbentuk kompleks primer. Tahap kedua Berlangsung pada waktu rata-rata 3 bulan
(1-8 bulan sejak pertama basil TB masuk. Tahap ketiga terjadi rata-rata dalam waktu
3-7 bulan (1-12bulan), pada fase ini terjadi penyebaran infeksi ke pleura. Tahap
keempat terjadi rata-rata dalam waktu 3 tahun ( 1-6 tahun ), terjadi setelah kompleks
primer mereda (Halim, 2017).

2) Sekunder

Dimaksud dengan TB sekunder ialah penyakit TB yang baru timbul setelah


lewat 5 tahun sejak terkena infeksi primer. Dengan demikian TB postprimer secara
internasional diberi nama TB sekunder (Halim, 2017).

d) Kanker Paru

Kanker paru adalah keganasan yang berasal dari luar paru (metastasis tumor
paru) maupun yang berasal dari paru sendiri, dimana kelainan dapat disebabkan oleh
kumpulan perubahan genetika pada sel epitel saluran nafas, yang dapat
mengakibatkan proliferasi sel yang tidak dapat dikendalikan. Kanker paru primer
yaitu tumor ganas yang berasal dari epitel bronkus atau karsinoma bronkus (Purba,
2015).

Kanker paru dimulai oleh aktivitas onkogen dan inaktivasi gen supresor
tumor. Onkogen merupakan gen yang membantu sel-sel tumbuh dan membelah serta
diyakinin sebagai penyebab seseorang untuk terkena kanker (Novitayanti, 2017).
Proto-onkogen berubah menjadi onkogen jika terpapar karsinogen yang spesifik.
Sedangkan inaktivasi gen supresor tumor disebabkan oleh rusaknya kromosom
sehingga dapat menghilangkan keberagaman heterezigot.
Zat karsinogen merupakan zat yang merusak jaringantubuh yang apabila
mengenai sel neuroendrokin menyebabkan pembentukan small cell lung cancer dan
apabila mengenai sel epitel menyebabkan pembentukan non small cell lung cancer.

e) Emfisema

Satuan pertukaran udara di paru disebut dengan alveoli akan mengalami


kerusakan progresif seiring waktu pada emfisema. Pasien harus inspirasi dan
ekspirasi dengan volume udara lebih besar demi memenuhi kebutuhan metabolik
distribusi oksigen (O2), pengeluaran karbon dioksida (CO2) dan menjaga
keseimbangan asam-basa. Pelebaran alveoli menyebabkan pembesaran volume paru
pada rongga toraks sehingga mengurangi kapasitas dinding dada untuk mengembang
pada saat inspirasi dan cenderung kolaps saat ekspirasi sehingga ventilasi menjadi
terbatas. (PDPI, 2019)

f) Bronkhitis

Menurut Sherwood (2014), Bronkitis adalah suatu penyakit peradangan


saluran napas bawah jangka panjang, umumnya dipicu oleh pajanan berulang ke asap
rokok, polutan udara, atau alergen.

Menurut Widagdo (2012), bronkitis ialah inflamasi non spesifik pada bronkus
umumnya (90%) disebabkan oleh virus (adenovirus, influenza, parainfluenza, RSV,
rhinovirus, dan harpes simplex virus) dan 10% oleh bakteri, dengan batuk sebagai
gejala yang paling menonjol.

Menurut Kowalak (2011) Bronchitis terjadi karena Respiratory Syncytial


Virus (RSV),Virus Influenza, Virus Para Influenza, Asap Rokok, Polusi Udara yang
terhirup selama masa inkubasi virus kurang lebih 5 sampai 8 hari. Unsur-unsur iritan
ini menimbulkan inflamasi pada precabangan trakeobronkial, yang menyebabkan
peningkatan produksi sekret dan penyempitan atau penyumbatan jalan napas.
Seiringberlanjutnya proses inflamasi perubahan pada sel-sel yang membentuk
dinding traktus respiratorius akan mengakibatkan resistensi jalan napas yang kecil
dan ketidak seimbangan ventilasi-perfusi yang berat sehingga menimbulkan
penurunan oksigenasi daerah arteri.

Efek tambahan lainnya meliputi inflamasi yang menyebar luas, penyempitan


jalan napas dan penumpukan mucus di dalam jalan napas. Dinding bronkus
mengalami inflamasi dan penebalan akibat edema serta penumpukan sel-sel
inflamasi. Selanjutnya efek bronkospasme otot polos akan mempersempit lumen
bronkus. Pada awalnya hanya bronkus besar yang terlibat inflamasi ini, tetapi
kemudian semua saluran napas turut terkena. Jalan napas menjadi tersumbat dan
terjadi penutupan, khususnya pada saat ekspirasi. Dengan demikian, udara napas akan
terperangkap di bagian distal paru. Pada keadaan ini akan terjadi hipoventilasi yang
menyebabkan ketidakcocokan dan akibatnya timpul hipoksemia.

Hipoksemia dan hiperkapnia terjadi sekunder karena hipoventilasi. Resistensi


vaskuler paru meningkat ketika vasokonstriksi yang terjadi karena inflamasi dan
konpensasi pada daerah-daerah yang mengalami hipoventilasi membuat arteri
pulmonalis menyempit. Inflamasi alveolus menyebabkan sesak napas.

g) Faringitis

Faringitis merupakan suatu penyakit yang menyerang pada bagian faring atau
tenggorokan juga sering dikenal sebagai radang tenggorokan. Penyakit ini disebabkan
karena adanya virus, bakteri, sistem imun pada tubuh yang lemah, atau faktor
penyebab yang lain seperti uap, asap dan zat kimia yang ada di lingkungan sekitar
(Michael, 2011). Proses invasi pada faring yang dilakukan oleh 4 bakteri dan virus
menyebabkan peradangan atau inflamasi (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2015)

Pada infeksi faringitis, bakteri maupun virus dapat secara langsung


menginvasi mukosa faring yang kemudian menyebabkan respon peradangan.
Rhinovirus menyebabkan iritasi mukosa faring akibat sekresi nasal. Perjalanan
penyakitnya ialah terjadi inokulasi dari agen infeksius di faring yang menyebabkan
peradangan. Gejala akan tampak setelah masa inkubasi yang pendek, yaitu 24-72 jam
(Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2015).

h) Sinusitis

Sinusitis merupakan peradangan atau inflamasi pada bagian sinus paranasal


(Berkowitz, 2013).

Pada umumnya sinusitis diawali karena adanya infeksi saluran napas atas
yang disebabkan oleh adanya bakteri. Infeksi tersebut akan menyebabkan inflamasi
mukosa yang menyebabkan aliran keluar mukus dari sinus-sinus menjadi terganggu,
sehingga mukus yang terperangkap dalam rongga sinus menciptakan suatu
lingkungan yang mempermudah pertumbuhan bakteri sehingga terjadi sinusitis
(Berkowitz, 2013).

Menurut (Thaariq, 2012), untuk memahami penyakit sinus, harus mempunyai


sejumlah pengetahuan konsep patofiologi dasar. Patofisologi dari sinusitis terkait 3
faktor sebagai berikut :

1) Adanya obstruksi jalur drainase sinus


Obstruksi jalur drainase sinus dapat mencegah drainase mukus normal.
Ostium bisa tertutup oleh pembengkakan mukosa, ataupun penyebab lokal
lainnya. Ketika sudah muncul obstruksi komplit dari ostium, akan ada
peningkatan transien dalam tekanan intrasinus diikuti oleh pembentukan
tekanan negatif intrasinus.
2) Fungsi silia yang rusak
Fungi silia yang buruk bisa disebabkan berkurangnya sel epitel silia, aliran
udara yang tinggi, virus, bakteri atau siliatoksin dari lingkungan, mediator
inflamasi, berdempetannya 2 permukaan mukosa, luka, dan sindrom
Kartagener. Sindrom Kartagener terkait dengan silia immobile,
menyebabkan retensi dari sekresi sehingga menjadi faktor predisposisi
infeksi sinus
3) Kualitas dan kuantitas mukus yang berubah
Komposisi mukus berubah dapat menyebabkan mukus memproduksi
viskositas lebih, transport ke ostium akan lebih pelan, dan lapisan gel
menjadilebih tebal. Perubahan mukus ini akan mengganggu aktivitas silia
pada sinusitis akut, yang diperparah dengan penutupan ostium.

2.4 Komplikasi Anestesi Yang Terjadi Pada Sistem Pernafasan


a. Intubasi
Kerusakan sering terjadi pada bibir dan gusi akibat intubasi trachea oleh orang
yang tidak berpengalaman. Kerusakan gigi geligi akan terjadi lebih serius jika
disertai kemungkinan inhalasi fragmen yang diikuti oleh abses paru. Jika
dibiarkan tidak terdeteksi, intubasi nasotrachea dapat menyebabkan epistaksis
yang tak menyenangkan dan kadang–kadang sonde dapat membentuk saluran
di bawah mukosa hidung, intubasi hidung sering memfraktura concha
(Woerlee GM, 2013). Kerusakan pada struktur tonsila dan larynx (terutama
pita suara) untungnya sering terjadi, tetapi penanganan mulut posterior
struktur yang kasar menyokong sakit tenggorokan pasca bedah.
b. Pernapasan
Komplikasi pernapasan yang mungkin timbul termasuk hipoksemia yang
tidak terdeteksi, atelektasis, bronkhitis, bronkhopneumonia, pneumonia
lobaris, kongesti pulmonal hipostatik, plurisi, dan superinfeksi (Woerlee
GM, 2013).Yang paling ditakuti oleh para pekerja anestesi adalah obstruksi
saluran pernapasan akut selama atau segera setelah induksi anestesi. Spasme
Larynx dan penahanan napas dapat sulit dibedakan serta dapat timbul sebagai
respon terhadap anestesi yang ringan, terutama jika saluran pernapasan
dirangsang oleh uap anestesi iritan atau materi asing yang mencakup sekresi
dan kandungan asam lambung (Ellis & Campbell, 1986). Intubasi yang gagal
dapat menjadi mimpi buruk, bila mungkin terjadi aspirasi lambung, seperti
pasien obstetri dan kedaruratan yang tak dipersiapkan. Gagal pernapasan
terutama merupakan fenomena pasca bedah, biasanya karena kombinasi
kejadian. Kelamahan otot setelah pemulihan dari relaksan yang tidak adekuat,
depresi sentral dengan opioid dan zat anestesi, hambatan batuk dan ventilasi
alveolus yang tak adekuat sekunder terhadap nyeri luka bergabung untuk
menimbulkan gagal pernapasan restriktif dengan retensi CO2 serta kemudian
narcosis CO2, terutama jika PO2 dipertahankan dengan pemberian oksigen.
Gangguan pernapasan mendadak, terutama yang timbu l kemudian adalah
konvalesensi, biasanya sebagai akibat embolisme pulmonalis sekunder
terhadap lepasnya thrombus dari vena pelvis atau betis. Thrombus vena
profunda di tungkai dapat diduga, bila pasien mengeluh pembengkakan atau
nyeri tekan otot betis (Woerlee GM, 2013) . Embolisme pulmonalis bisa
tampil sebagai hemoptisis atau sebagai kolaps generalisasi yang serupa
dengan infark myocardium mayor, yang kadang–kadang sulit dibedakan.

DAFTAR PUSTAKA

Ferdiana, Elma Fidya. (2019) Upaya Orang Tua Dalam Merawat Anak Dengan


Penyakit Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesma
Polowijen. Diploma (D3) Thesis, University Of Muhammadiyah Malang.
Diakses dari http://eprints.umm.ac.id/51525/3/BAB%20II.pdf Pada Tanggal
11 Agustus 2020.

Jonathan, S., Damayanti, T., & Antariksa, B. (2019). Pathophysiology of


Emphysema. Jurnal Respirologi Indonesia, 39(1), 60-69. Diakses dari
http://jurnalrespirologi.org/index.php/jri/article/view/43/27 Pada Tanggal 11
Agustus 2020.
Qubra, Zaenab. (2017).Studi Penggunaan Metilprednisolon Pada Pasien Penyakit
Paru Obstruktif Kronik (Ppok) Dengan Eksaserbasi Akut (Penelitian
dilakukan di RSU Karsa Husada Batu). Undergraduate (S1) thesis,
University of Muhammadiyah Malang. Diakses
darihttp://eprints.umm.ac.id/42593/3/jiptummpp-gdl-zaenabqubr-48792-3-
babii.pdf Pada Tanggal 10 Agustus 2020.

Rahmawati, Hesti Kusuma. (2015).  Asuhan Keperawatan An. Y Dengan Gangguan


Sistem Pernapasan : Bronkhitis Di Ruang Anggrek 8 Rsud
Surakarta. Diploma thesis, Universitas Muhammadiyah Surakarta. Diakses
dari http://eprints.ums.ac.id/37763/12/NASKAH%20PUBLIKASI.pdf Pada
Tanggal 11 Agustus 2020.

Woerlee GM. Is General anesthesia safe ?. 2013 Mar. Available from


https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/1db95c1dfd03d9f3e2
d8e3303f959389.pdf pada Tanggal 13 Agustus 2020

Sari, Ni Made Rahayu Diah Devita (2019) Gambaran Asuhan Keperawatan Pada


Pasien Asma Dengan Kesiapan Peningkatan Manajemen Kesehatan Di
Wilayah Kerja Upt Kesmas Sukawati I Gianyar Tahun 2019. Diploma thesis,
Politeknik Kesehatan Kemenkes Denpasar Jurusan Keperawatan. Diakses
dari http://repository.poltekkes-denpasar.ac.id/2252/3/BAB%20II.pdf Pada
Tanggal 11 Agustus 2020.

Septidiani, Niken Budi, G2b216041 (2018) Hubungan Asupan Energi, Protein Dan


Antioksidan Dengan Derajat Keparahan Pada Pasien Penyakit Paru
Obstruktif Kronik (Ppok) Rawat Jalan Di Rumah Sakit Paru Dr. Ario
Wirawan Salatiga. Undergraduate Thesis, Muhammadiyah University
Semarang. Diakses dari http://repository.unimus.ac.id/1813/8/BAB
%20II.pdf Pada Tanggal 11 Agustus 2020.
Wahyuningsih, Heni Puji dan Yuni kusmiyati. (2017). Anatomi Fisiologi. Diakses
dari http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-
content/uploads/2017/11/DAFTAR-ISI-DAN-ANATOMI-FISIOLOGI.pdf
Pada Tanggal 11 Agustus 2020.

Yolanda, Ramadhantie Yanuari Putri and Nur, Hidayat and Weni, Kurdanti. (2019).


Proses Asuhan Gizi Terstandar Pada Pasien Kanker Paru Pro Kemoterapi
Disertai Anemia Di Rsud Dr. Moewardi. skripsi thesis, Poltekkes Kemenkes
Yogyakarta. Diakses dari
http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/1032/4/4.%20Chapter2.pdf Pada Tanggal
11 Agustus 2020

Ardiyanto, TonangDwi. 2011. System Respiratory. Diaksespadatanggal 11


Agustus 2020 Pukul 13.50 WIB

Berkowitz, Aaron. 2013. PatofisiologiKlinik. Tangerang Selatan:


BinapuraAksara

Chang, Ester., Daly, Jhon., & Elliott Doug. 2011.


PatofisiologiAplikasipadaPraktikKeperawatan.Dialihbahasakanoleh
Hartono A. Jakarta: BukuKedokteran EGC

Majumer, N. 2015. Physiology of Respiration. IOSR Journal of Sports and


Physical Education, 2 (3), pp. 1-17

Molenar, Ray E, dkk. 2014. Forced Respiratory Volume In One Second


(FEV-1) PadaPenduduk Yang Tinggal di Dataran Tinggi.Jurnal e-
Biomedik (eBM), Volume 2, Nomor 3, November 2014

Anda mungkin juga menyukai