Anda di halaman 1dari 17

TEMA:

Fiqih

JUDUL:

FIQIH ANTI KORUPSI SEBAGAI IMPLEMENTASI SYARI’AH ISLAM DALAM


UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA

Disusun Oleh:

Andik Kurniawan Santoso (0231740000061)

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI

INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER

Kampus ITS Sukolilo-Surabaya

2017-2018
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah salah satu negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Namun, di
sisi lain Indonesia adalah salah satu negara demokrasi yang mengadopsi sistem kapitalisme dan
sekulerisme dalam pelaksanaan roda pemerintahan. Hal ini berdampak pada pemisahan konsep
syariah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga agama hanya dianggap sebagai
salah satu nilai kultural yang diwariskan secara turun temurun. Adanya pemisahan konsep
syariah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menyebabkan adanya pandangan bahwa
kehidupan materialisme pada sebagian orang menjadi tujuan utama. Oleh karena itu, muncul
berbagai pelanggaran norma sebagai dampak dari keinginan yang berlebihan untuk saling
berlomba dalam mencapai tujuan materialistik.

Salah satu bentuk pelanggaran norma dalam masyarakat yang marak saat ini adalah korupsi.
Kasus korupsi sebagai bentuk penipuan dan pengkhianatan terhadap hak publik dari hari ke hari
terus menunjukan peningkatan seakan tak pernah ada hentinya. Kasus korupsi terus bermunculan
dalam berbagai elemen masyarakat, sekalipun berbagai jenis hukuman dijatuhkan kepada pelaku
korupsi. Hal ini kemudian menimbulkan pandangan bahwa hukuman terhadap pelaku korupsi
sangat lemah dan tidak memberikan efek jera kepada masyarakat. Sistem dan aturan hukum
perundang-undangan mengenai korupsi selalu mengalami revisi dan perbaikan yang dinilai
progresif, namun para pelaku kejahatan korupsi selalu memiliki celah untuk melakukan aksi
pengkhanatannya.

Indonesia adalah salah satu negara dengan kasus korupsi tertinggi di dunia. Korupsi telah
masuk ke dalam berbagai elemen masyarakat, baik pejabat publik, lembaga legislatif dan bahkan
lembaga agama dan peradilan sekalipun. Korupsi agaknya telah menjadi persoalan yang amat
kronis. Ibarat penyakit, korupsi dikatakan telah menyebar luas ke seantero negeri dengan jumlah
yang dari tahun ke tahun cenderung semakin meningkat.
Korupsi merupakan salah satu kejahatan publik dan pengkhianatan terhadap hak-hak orang
lain. Saat ini, korpsi tidak lagi bersifat individual, tetapi telah teroganisir dengan rapi dan
berubah menjadi kejahatan sistemik. Hal ini berakibat pada sulitnya upaya pemberantasan
korupsi. Kejahatan korupsi seakan membentuk suatu jaringan kompleks, sehingga ketika satu
rantai terputus muncul rantai lain yang lebih kokoh. Korupsi di alam demokrasi saat ini telah
merasuk ke setiap instansi pemerintah (eksekutif), parlemen/wakil rakyat (legislatif), peradilan
(yudikatif), dan juga swasta. Ketua MK (mahkamah konstitusi) Mahfud MD pernah
menyebutkan pusat-pusat korupsi di Indonesia terdapat di empat sektor lembaga pemerintah,
yaitu: pajak, bea cukai, pertamina dan pertanahan ( Laporan Transparency international-
Indonesia/ TII).

Berdasarkan fakta-fakta yang ada bahwa hukum yang berlaku dalam pemerintahan
demokrasi tidak memiliki kekuatan untuk memberantas korupsi sehingga perlu adanya solusi
alternatif yang lebih progresif dan representatif serta tepat sasaran untuk memberantas kejahatan
publik ini. Syariat islam sebagai sumber hukum paling lengkap dan sempurna sudah seharusnya
diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Saatnya al-Quran tidak lagi
diletakkan sebagai kesadaran normatif yang hanya bergerak pada wilayah cultural, namun harus
mampu menyelinap dalam perbaikan pada ruang-ruang structural, dimana al-Quran
sesungguhnya bisa menjadi landasan teoritik yang bisa dipakai untuk melakukan pembebasan
kemanusiaan, bahkan untuk masalah seperti korupsi. Penulis ingin mengkaji lebih jauh mengenai
wawasan al-Qur’an terhadap kejahatan korupsi dan bagaimana al-Qur’an menyikapi mereka
yang telah melakukan kejahatan korupsi.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka dirumusan permasalahan dari makalah ini sebagai
berikut:

1. Bagaimana perspektif syari’ah Islam mengenai korupsi ?

2. Apa penyebab maraknya praktek korupsi serta dampaknya terhadap kemajuan suatu
Negara?
3. Apakah sistem sanksi yang dilakukan saat ini telah berhasil memberantas korupsi di
Indonesia?

4. Bagaimana fiqih antikorupsi dalam sistem syariah islam memberantas korupsi di


Indonesia?

1.3 Tujuan penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui perspekttif hukum islam tentang korupsi.

2. Untuk mengetahui faktor penyebab korupsi dan dampaknya terhadap kemajuan suatu
Negara.

3. Untuk menggambarkan sistem sanksi yang dilakukan saat ini apakah telah berhasil
memberantas korupsi.

4. Untuk Mendeskripsikan sistem syariah islam sebagai solusi yang efektif yang dapat
dilakukan untuk memberantas korupsi di Indonesia.

5. Untuk membangun fiqih antikorupsi dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

1.4 Manfaat

Manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah:

1. Penulisan ini diharapkan memberi konstribusi ilmiah bagi khasanah keilmuan dalam

Upaya memberantas korupsi.

2. Sebagai bahan masukan yang dapat dijadikan sebagai salah satu sumbangsih pemikiran
dalam membuat sistem sanksi dalam pemberantasan korupsi.

3. Sebagai referensi untuk penulisan berikutnya dan keperluan lain yang terkait.
BAB II

GAGASAN

2.1 Kondisi Terkini Pendukung Gagasan

Maraknya kejahatan korupsi dan fakta bahwa hukum sekuler yang tak berdaya melawan
kejahatan ini menyisakan suatu tanda tanya besar dalam kalangan masyarakat yang
menginginkan kehidupan yang “bersih” megenai solusi alternatif untuk memberantas kejahatan
korupsi. Islam sebagai agama yang sempurna memiliki aturan yang jelas untuk semua aspek
kehidupan, termasuk hukum yang mengatur mengenai kehidupan bermasyarakat. Syariat islam
sebagai mana yang disampaikan dalam Al Quran telah mengatu mengenai larangan untuk
mengambil hak milik orang lain dengan jalan bathil dan juga melrang untuk melakukan
penghianatan terhadap amanah. Banyak ayat dalam al-Quran yang memberi argumen bahwa
dalam setiap harta yang dimiliki manusia, senantiasa ada hak yang tersurat dan hak itu jelas
bukan miliknya (Qs. Al-Maarij, 70: 24-25). Dengan ungkapan yang berbeda, Allah ingin
memberi ketegasan, bahwa sesungguhnya seorang manusia harus menafkah atas harta yang
dikuasai (Qs. Al-Hadid, 57: 7). Ayat ini secara jelas mengisyaratkan kepada kita untuk tidak
mengambil harta milik orang lain, baik dengan jalan mencuri atau menyalahgunakan hak dan
kewenangannya yang berakibat pada kerugian untuk orang lain. Lalu, jika korupsi dilakukan,
bukankah itu merupakan pengingkaran akbar atas amanah kebendaan yang tengah dititipkan
pada manusia. Namun, fakta yang adan saat ini, syarat islam hanya menjadi kesadaran kultural
dan tidak punya daya paksa structural sehingga sang koruptor menjadi tak bergeming.
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Korupsi dalam Perspektif Islam

Islam adalah agama sempurna yang memiliki perspektif yang jelas untuk semua aspek
hukum dalam kehidupan manusia, termasuk persoalan korupsi. Tindak pidana korupsi sejatinya
adalah salah satu tindak pidana yang cukup tua usianya. Hal ini dapat ditelusuri melalui sejarah
klasik Islam yaitu pada masa Rasulullah sebelum turunnya surat Ali Imran ayat 161. Saat itu,
kaum muslimin kehilangan sehelai kain wol berwarna merah pasca perang. Kain wol yang
sebagai harta rampasan perang itu pun diduga telah diambil sendiri oleh Rasulullah Saw. Untuk
menghindari keresahan kalangan muslim saat itu, Allah pun menurunkan surat Ali Imran ayat
161, “Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa
yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang
membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang
apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.” (QS. Ali
‘Imran (3) : 161)

Tindak pidana korupsi sangat identik dengan penyalahgunaan jabatan yang didefinisikan
sebagai perbuatan khianat dalam perspektif Islam. Karena jabatan yang telah disandang oleh
seseorang adalah sebuah kepercayaan dari rakyat yang telah terlanjur menaruh harapan padanya.
Atau jabatan yang langsung dibebankan atas nama negara yang tentunya bertujuan untuk
menjalankan berbagai program yang bermuara kepada kesejahteraan rakyat. Terlebih lagi jika
amanat itu menyentuh pada ranah hukum seperti pegawai pada bidang kepolisian, kejaksaan,
kehakiman dan lain-lain yang berbasis kepada keadilan yang diinginkan oleh semua pihak.
Amanat yang telah diemban itulah yang tentunya wajib untuk dilaksanakan sebaik-baiknya.
Allah swt berfirman dalam beberapa ayat mengenai keajiban menjalankan amanat, yaitu “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan
(juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu
mengetahui.” (QS. al-Anfal (8) : 27). Amanat tentunya adalah sebuah kepercayaan yang wajib
untuk dipelihara dan disampaikan kepada yang berhak menerimanya. Allah swt berfirman
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.” (QS. an-Nisa (4) :
58).

Ayat-ayat tersebut menunjukkan adanya kewajiban menyampaikan amanat dan


memelihara amanat yang telah dibebankan kepada orang yang dipercayanya sehingga apabila
kewajiban yang tidak ditunaikan, tentunya terdapat keharaman dan hukuman yang
mengiringinya. Hal inilah yang menjadi landasan keharaman dari perbuatan korupsi yang
semakin merajalela saat ini.

Islam mengistilahkan korupsi dalam beberapa etimologi sesuai jenis atau bentuk korupsi
yang dilakukan, diantaranya adalah risywah, al-Ghasbu, al-ghurur, al-khiyanah dan al-ghulul.
Risywah menurut bahasa adalah sesuatu yang dapat menghantarkan tujuan dengan segala cara
agar tujuan tersebut dapat tercapai. Dr. Yusuf Qaradhawi mendefinisikan risywah yaitu sesuatu
yang diberikan kepada seseorang yang memiliki kekuasaan atau jabatan (apa saja) untuk
menyukseskan perkaranya dengan mengalahkan lawan-lawannya sesuai dengan apa-apa yang
diinginkan atau untuk memberikan peluang kepadanya (seperti tender) atau menyingkirkan
lawan-lawannya. Dari definisi yang diungkapkan di atas, bahwa risywah adalah bagian dari
tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan suap menyuap kepada seseorang yang memiliki
kekuasaan atau wewenang agar tujuannya dapat tercapai atau memudahkan kepada tujuan dari
orang yang menyuapnya tersebut. Salah satu bagian dari bentuk korupsi inilah yang telah
merusak moral dan struktur keadilan dalam setiap lini kehidupan masyarakat sebab dengan suap
menyuap, keadilan dalam proses hukum tidak dapat tercapai atau dapat memengaruhi keputusan
seorang hakim dengan nominal uang yang dapat menggetarkan iman seorang penegak hukum.
Bahkan, suap menyuap yang dikenal oleh masyarakat sebagai tindakan “menyogok” sudah biasa
dilakukan, misalnya dalam kasus pengendara sepeda motor yang kerapkali terkena tilang dari
petugas kepolisian lalu lintas. Maka dengan beberapa lembar uang, perkara pun telah selesai. Hal
inilah yang mengindikasikan bahwa risywah telah merasuk dalam berbagai struktur masyarakat.
Kedua, al-ghulul yaitu perbuatan menggelapkan kas negara atau baitul mal atau dalam
literatur sejarah Islam menyebutnya dengan mencuri harta rampasan perang atau
menyembunyikan sebagiannya untuk dimiliki sebelum menyampaikannya ke tempat pembagian.
Oleh karena itu, perbuatan yang termasuk kepada kategori al-ghulul ialah mencuri ghanimah
(harta rampasan perang), menggelapkan kas negara dan menggelapkan zakat.

Ketiga, al-maksu adalah perbuatan memungut cukai yakni mengambil apa yang bukan
haknya dan memberikan kepada yang bukan haknya pula. Perbuatan ini diidentikan kepada
pungutan liar yang biasanya terjadi ketika seseorang akan mengurus sesuatu yang kemudian
dibebankan sejumlah bayaran oleh pelaku pemungut cukai dengan tanpa kerelaan dari orang
yang dipungutnya tersebut. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa apabila pungutan
tersebut tidak dipenuhi oleh korbannya, maka urusan orang tersebut akan dipersulit oleh pelaku
pemungut cukai. Inilahyang kemudian disebut dengan al- maksu.

3.2 Penyebab Maraknya Praktek Korupsi Serta Dampaknya pada Kemajuan Suatu Bangsa

Korupsi adalah bentuk penyakit masyarakat yang merupakan produk dari lemahnya
sistem pemerintahan saat ini. Korupsi tidak muncul secara spontan, tetapi lebih banyak
diakibatkan oleh sistem yang salah dalam perekrutan atau pemilihan figur pimpinan atau
pengemban amanah untuk jabatan tertentu. Diantara faktor-faktor yang menyebabkan maraknya
praktek korupsi adalah karena lemahya iman dan penghayatan para pejabat Negara terhadap
ajaran-ajaran agama, serta ketidak mengertian mereka tentang hukum korupsi ( Rasyid, 2003:
317). Banyak pakar sudah melakukan analisis mengenai hal ini. Berdasarkan hasil analisis
terhadap pendapat para pakar peneliti korupsi seperti Singh (1974), Merican (1971) dan Ainan
(1982), Erika Evida (2003) menyatakan bahwa sebab-sebab terjadinya korupsi adalah Gaji yang
rendah, kurang sempurnanya peraturan perundang-undangan, administrasi yang lamban dan
sebagainya; Warisan pemerintahan colonial dan sikap mental pegawai yang ingin cepat kaya
dengan cara yang tidak halal, tidak ada kesadaran bernegaraserta tidak ada pengetahuan pada
bidang pekerjaan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah ( Revida, 2003 : 3).

Faktor lain yang menyebabkan terjadinya korupsi diantaranya faktor politik, dan
ekonomi. Kekuasaan politik merupakan aspek paling dominan bagi tumbuh suburnya perbuatan
korupsi. Negara bisa berubah dari institusi yang melayani masyarakat menjadi institusi yang
dilayani. kekuasaan bisa menjadi sumber kolusi, korupsi, nepotisme yang menguntungkan orang-
orang yang memiliki kedekatan atau sengaja mendekat dengan kekuasaan. Dari aspek ekonomi,
ketika kebutuhan semakin tinggi, sementara uang yang dimiliki tidak mencukupi kebutuhan
tersebut, korupsi akan semakin mudah tumbuh dan berkembang. Bukan hal yang mengagetkan
jika ternyata korupsi bukan hanya dilakukan oleh para pejabat pemerintahan atau para
pengusaha, namun juga dilakukan oleh tukang parkir sepeda motor, jasa retriribusi, dan lain
sebagainya. Selain itu lemahnya penerapan hukum terhadap kasus korupsi membuat kasus-kasus
korupsi berkembang seperti jamur dimusim hujan. Pemberian hukuman yang ringan bagi
koruptor atau bahkan pembebasan mereka justru membuat pejabat semakin berani melakukan
kejahatan ini ( Baidawi, 2009 : 144-145).

Berdasarkan kajian dan pengalaman yang ada, setidaknya ada 8 penyebab terjadinya
korupsi di Indonesia yaitu, sistem penyelenggaraan Negara yang keliru, kompensasi PNS yang
rendah, pejabat yang serakah, law enforence tidak berjalan, hukuman yang ringan terhadap
koruptor, pengawasan yang tidak efektif, tidak ada keteladanan pemimpin, dan budaya
masyarakat yang kondusif KKN. Praktek korupsi terjadi karena adanya motif pelaku. Beberapa
motif di bawah ini biasanya mendasari para pelakunya, antara lain : keinginan untuk menumpuk
harta sebanyak-banyaknya ( materialisme, keinginan untuk memenuhi seluruh kebutuhanyya,
takut terhadap kemiskinan, dan ingin cepat kaya dalam waktu cepat ( Abdur rafi’: 2004: 12-15).

Akar permasalahan korupsi sebenarnya ada dua yakni orangnya dan sistemnya, dimana
keduanya harus ada secara bersamaan. Hanya orang yang amanah yang bisa menghindarkan diri
dari tindak pidana korupsi dan berani menindak orang yang korupsi. Namun demikian, orang
yang amanah saja tidak cukup jika mereka berada di sistem yang rusak. Sudah banyak contoh
dimana orang-orang yang baik yang kemudian menjadi berakhlak tidak baik karena dipaksa oleh
sistem yang buruk ( media umat edisi 91, 2012: 4).

Secara moral korupsi akan mendidik masyarakat untuk bermoral munafik, memperluas
budaya menjilat, memasyarakatkan penipuan, penyuapan dan sebagainya. Sangat menyedihkan
ketika korupsi bukan lagi terjadi dikalangan elit, melainkan sudah merambah ke tingkatyang
lebih rendah bahkan sampai ke pedesaan. Alih-alih menjadikan masyarakat yang mandiri, kuat,
berkepribadian, siap mengahadapi tantangan global, dan lain-lain, korupsi justru akan
menghancurkan masyarakat sehingga menjadi masyarakat yang lumpuh dan tentu tidak akan
mampu bersaing di tingkat global.

Mc Mullan (1961) menyatakan bahwa akibat korupsi adalah ketidak efisienan,


ketidakadilan, rakyat tidak mempercayai pemerintah, memboroskan sumber-sumber negara,
tidak mendorong perusahaan untuk berusaha terutama perusahaan asing, ketidakstabilan politik,
pembatasan dalam kebijaksanaan pemerintah dan tidak represif. Secara umum akibat korupsi
adalah merugikan negara dan merusak sendi-sendi kebersamaan serta memperlambat tercapainya
tujuan nasional seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dan
tentunya akan sangat berdampak terhadap kemajuan bangsa Indonesia ( Revida, 2003 : 3).

3.3 Menyorot Lemahnya Sistem Sanksi Terhadap Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Sanksi tindak pidana korupsi tercantum dalam pasal 28 UU No. 3 tahun 1971:
“Barangsiapa melakukan tindak pidana korupsi yang dimaksud pasal 1 ayat 1 dan ayat 2 UU ini
dihukum dengan hukuman penjara seumur hidup atau penjara selama-lamanya 20 tahun dan/atau
denda setinggi-tingginya tiga puluh juta rupiah.” Pada harian “Berita Buana” yang terbit pada
hari Jum’at tanggal 26 Juli 1991, sdr. Daniel Marshall menulis “ Keampuhan Undang-undang
pemberantasan korupsi” yang sebagian dari tulisan tersebut antara lain: “ kesulitan menjerat
tersangkan pelaku tindak pidana korupsi karena gagalnya jaksa memberikan alat bukti yang
meyakinkan hakim, sering mengundang pendapat agar sistem pembuktian dalam perkara korupsi
menggunakan system pembuktian terbalik. Sering terjadi menurut opini umum, tersangka benar-
benar melakukan perbuatan korupsi yang didakwakan karena melihat keadaan perekonomiannya
yang jauh diatas penghasilan resminya. Namun, hal ini dapat menjadi sangat lemah mengingat
tali temali korupsi sering begitu ruwet disamping pintarnya terdakwa menghilangkan jejak
sehingga jaksa tidak berhasil meyakinkan hakim akan tuduhannya.

Berdasarkan fakta “ putusan pengadilan negeri/ putusan pengadilan tinggi” dapat


diketahui bahwa terdakwa dibebaskan antaralain disebabkan: surat dakwaan yang salah, tidak
terbukti, penafsiran penuntut umum yang berbeda dengan penafsiran pengadilan negeri / tinggi
mengenai suatu unsur. Harus diakui bahwa pengungkapan tindak pidana korupsi memang ruwet
maka penanganannya memerlukan konsentrasi dan kecermatan disamping pemahaman yang
benar-benar terhadap UU No. 3 tahun 1971 tentang dakwaan ( Marpaung, 1992: 162).

Kasus tersebut diatas hanya sebagian kecil membuktikan bahwa sistem sanksi dalam
konsep memang baik tapi dari pelaksanaannya sangat jauh dari harapan. Korupsi makin
merajalela karena undang-undang dan lembaga hukum telah gagal melaksanakan tugasnya.
Termasuk di dalamnyalemahnya sistem peradilan, karena tidak ada kemauan untuk memperkuat
sistem itu. Bila kita bicara undang-undang anti korupsi, kita tidak hanyabicara soal hukum
pidana dan hukum pembuktian. Ada banyakundang-undang lain yang berkaitan erat dengan
undang-undang anti korupsi. Berbeda dengan tindakan pidana lainya, tindak pidana
korupsibiasanya tidak memiliki korban yang jelas-jelas melapor. Karena itu bukti-bukti tindak
pidana korupsi sangat sulit diperoleh. Walau demikian bukti-bukti dapat dicari dengan
melakukan uji integritas yang dilakukan oleh petugas khusus. Kemudian pihak-pihak yang
diduga telah mclakukan korupsi didorong untuk memberikan bukti. Sebelum hukum pidana barn
diaktifkan sebaiknya dipastikan bahwa hukum itu mudah dimengerti dan tidak menimbulkan
perdebatan teknis antar pengacara yang dapat mengagalkan maksud pembuatan undang-undang.
Undang-undang itu tidak mengharuskan penuntut umum membuktikan suatu fakta yang dalam
kenyataan tidak diperlukan. ( Jeremy popy, 2008: 57-58).

Lemahnya sistem sanksi terhadap koruptor juga dipengaruhi oleh praktek korupsi banyak
dilakukan oleh para politisi, juga para pejabat Negara untuk mendapatkan dana guna membiayai
proses-proses politik mereka dalam meraih jabatan politik. Memang masih ada pejabat public
yang dalam meraih jabatannya tidak banyak mengeluarkan dana, tapi itu hanya satu dua saja.
Kebanyakan harus dengan dana besar. Bila itu dilakukan oleh para pemimpin, bagaimana praktik
korupsi ini bisa diberantas?

Ada kemungkinan sebagian besar orang yang berusaha memberantaskorupsi sudah patah
semangat, tidak percaya pada praktek demokrasi dan kembali mendambakan pemerintahan yang
otoriter. Di pihak lain semangat internasional mungkin juga sudah mulai luntur, karena kasus
korupsi adalah masalah yang sangat kompleks dan membutuhkan waktu lama untuk
menyelesaikannya ( media umat edisi 91, 2012: 9).

Sebagai upaya dalam memberantas korupsi hingga ke akarnya di Indonesia, maka


integrasi sistem syariah Islam merupakan salah satu solusi yang bisa di adopsi.
3.4 Integrasi Sistem Syariah Islam Sebagai Solusi Alternatif Pemberantasan Korupsi di
Indonesia

Korupsi merupakan penyakit sosial yang menggerogoti sendi-sendi bangsa dan merusak
tatanan hidup bernegara. Korupsi adalah perbuatan untuk mencari keuntungan pribadi atau
golongan dengan merugikan keuangan Negara. Di dalam kaidah ushul fiqih disebutkan bahwa
tiada suatu peristiwa pun di dalam islam, melainkan disitu ada hukum Allah. Oleh karena itu
bentuk-bentuk korupsi apabila ditinjau dari sisi syariat islam dapat diklasifikasikan dengan nama
sebagai berikut: suap menyuap (ar-risywah), pungutan-pungutan liar secara paksa ( al-ghasbu),
penipuan (al-ghurur), penyelewengan ( al-khiyanah), dan penggelapan uang Negara ( al-ghulul) (
Abdur rafi’, 2006: 1-2).

Dengan mengetahui nama-nama yang telah termaktub dalam sistematika syariat islam
tersebut, maka akan berguna sebagai acuan seorang muslim agar menjauhi sagala bentuk praktik
korupsi yang kotor dan keji. Banyak kaum muslimin yang menganggap dosa korupsi ini sebagai
dosa kecil, buktinya korupsi dinegara kita menduduki peringkat sepuluh besar di dunia menurut
Transparancy International Indonesia, padahal mayoritas penduduk Indonesia beragama islam
dan ternyata koruptor-koruptornya juga yang beragama islam.

Harapan bebas dari korupsi hanya bisa terjadi jika pemberantasan korupsi dilakukan
menggunakan sistem lain, sebab sistem yang ada justru menjadi faktor muncul dan langgengnya
korupsi. Sistem yang bisa diharapkan itu tidak lain adalah syariah islam. Hal itu mengingat :
pertama dasar akidah islam melahirkan kesadaran senantiasa diawasi oleh Allah, kedua sistem
politik islam termasuk dalam hal pemilihan pejabat dan kepala daerah tidak mahal, ketiga,
politisi, dan proses politik, kekuasaan dan pemerintahan tidak tergantung oleh parpol, keempat
struktur dalam sistem islam semuanya berada dalam satu kepemimpinan khalifah, kelima,
praktek korupsi andai terjadi bisa diberantas dengan sistem hukum syariah, bahkan dicegah agar
tak terjadi, sebab Allah SWT telah menjelaskan didalam QS. Ali-Imran : 161. “ Barang siapa
yang berbuat curang, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa hasil kecurangannya. “.
Nabi SAW bersabda: siapa dari kalian kami pekerjakan atas suatu pekerjaan lalu ia
menyembunyikannya sebatang jarum atau lebih maka itu adalah ghulul yang ia bawa pada hari
kiamat ( HR. Muslim dan Abu Dawud) ( Al-islam edisi 626, 2012 : 3).
Penerapan sistem syariah telah dibuktikan pada masa pemerintahan khalifah Umar bin
Khattab ra dan disetujui para sahabat sehingga menjadi ijmak sahabat. Harta pejabat dan pegawai
dicatat. Jika ada kelebihan yang tak wajar, maka yang bersangkutan wajib membuktikan
hartanya diperoleh secara legal. Jumlah yang tidak bisa dibuktikan, bisa disita seluruhnya atau
sebagian dan dimasukkan ke kas baitul mal. Islam memandang bahwa kepribadian (syakshyiah)
para pejabat Negara yang melayani kepentingan masyarakat, mengelola keuangan Negara,
menjaga harta kekayaan milik kaum muslimin dan menjalankan sistem hukum islam ditengah-
tengah masyarakat harus qualified. Orang yang benar-benar muslim tidak akan melakukan
korupsi sebab ia amat paham bahwa Allah senantiasa mengawasi dirinya dan menuntut
pertanggung jawaban atas tindakan yang dilakukannya. Jadi jika seorang pejabat tidak lagi
mempunyai sifat takwa, tidak takut terhadap pengawasan Allah SWT, maka dapat dipastikan ia
memiliki sifat zalim dan menindas rakyat ( Abu fuad, 2003: 140).

Berdasarkan fakta historis, maka untuk memberantas korupsi diperlukan seorang


pemimpin yang amanah dan tegas. Seorang pemimpin yang harus menjadi figur pejabat paling
bersih di negeri ini, dimana jika dia bebas dari korupsi maka pasti akan bisa bersikap tegas
terhadap bawahan dan pemimpin lain untuk tidak melakukan korupsi. Ismail menjelaskan, harus
ada dua dua pembenahan sekaligus bagi negeri ini jika ingin lepas dari korupsi,yaki pemilihan
pemimpin yang amanah dan penerapan system yang baik. Rakyat butuh keteladanan seorang
pemimpin. Namun, pemimpin yang baik pun tidak akan bisa terbebas dari korupsi jika sistemnya
memang memicu dan memacu korupsi. Oleh karena itu, harus ada ada perubahan system. Sistem
yang baik adalah sistem yang datang dari Yang Maha baik, Allah SWT, yakni sistem syariah
islam. Sistem ini dibangun berdasarkan keimanan, dimana suasana iman melekat dalam setiap
orang sehingga ini menjadi kontrol yang melekat untuk tidak mengkhianati amanat rakyat.
Sistem ini memiliki perangkat hukum yang tegas bagaimana menghukum para koruptor dan
menciptakan suasana keimanan ditengah-tengah aparat Negara sehingga mereka takut berbuat
maksiat. ( media umat edisi 91, 2012: 7 dan 4). Maka Allah bertanya: Apakah hukum jahiliah
yang mereka kehendaki? Siapakah yang lebih baik hukumnya dibandingkan dengan Allah bagi
orang-orang yang yakin?”. ( Q.S Al-maidah : 50). Oleh karena itu membangun fiqih antikorupsi
merupakan salah satu implementasi solusi sistem syariah islam yang dapat diterapkan di
Indonesia saat ini.
3.5 Rekomendasi dan Rekonstruksi Membangun Fiqih Anti Korupsi sebagai Upaya
Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Berbagai upaya untuk memberantas korupsi telah dilakukan oleh beberapa organisasi
Islam di Indonesia seperti Nahdatul ulama dan Muhammadiyah dengan mengadakan diskusi dan
menerbitkan buku-buku yang berisi tentang tawaran untuk pemberantasan korupsi di Indonesia.
Fiqih antikorupsi menjadi salah satu gagasan yang penting dikemukakan sebagai bagian dari cara
ulama islam memandang korupsi. Meskipun islam tidak mengenal istilah korupsi, namun korupsi
memiliki sejumlah persamaan dengan jenis-jenis kejahatan yan dikenal dalam islam. Istilah-
istilah seperti ghulul, risywah, dan lain sebagainya sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya
merupakan beberapa istilah untuk menyebut kejahatan yang ada kesamaannya dengan korupsi
( Baidowi, 2009: 11).

Dengan melihat adanya kemiripan unsur antara “ghulul”, “risywah”, dan lain-lain dengan
korupsi ini kiranya bisa menjadi contoh mengenai pemberian sanksi pada pelaku korupsi.
Sanksi-sanksi ini khususnya untuk hukuman di dunia yang bisa dijatuhkan kepada pelaku
korupsi mulai yang paling ringan, hingga yang berat bisa berupa teguran peringatan, masuk
daftar orang tercela, pemecatan, hukum cambuk, membayar denda, kurungan, pengasingan,
potong tangan, penyaliban, dan hukum mati.

Dilihat dari jenis-jenis korupsi yang dilakukan, maka hukumannya bisa dikategorikan ke
dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok jarimah hudud. Bentuk korupsi yang termasuk dalam
kelompok ini adalah pencurian dan perampokan. Dalam kasus pencurian, al-qur’an menentukan
hukum potong tangan untuk pencuri yang telah memenuhi syarat dihukum dengan hukuman
tersebut. Sebagian cendekiawan menafsirkan hukuman potong tangan sebagai hukuman
administrative, seperti dicopot dari jabatannya. Sebagian yang lain memahami hukum potong
tangan sebagai hukuman tertinggi yang bisa dijatuhkan kepada pelaku pencurian . Dengan kata
lain, hukuman yang bisa dijatuhkan kepada pencuri bisa lebih rendah dari hukuman potong
tangan tersebut. Semisal penjara atau diasingkan. Sementara itu, dalam kasus perampokan
hukuman yang bisa diberlakukan adalah hukuman mati, salib, hukum potong tangan berselang
seling atau dibuang ( penjara seumur hidup) sesuai dengan kadar perampokan yang dilakukan.
Tentu saja hukuman ini bisa dimodifikasi dalam konteks budaya lokal Indonesia..
Kedua, korupsi jarimah ta’zir, dimana jenis hukuman belum ditetapkan sebagaimana
dalam kategori jarimah hudud. Hukuman untuk pelaku jarimah ta’zir ini menjadi wewenang
penuh pemerintah untuk menetapkannya. Beberapa jenis hukuman yang bisa dijatuhkan adlah
hukuman mati, cambuk, penjara, hukuman buang, dicela, dikucilkan, dipecat dari jabatan,
pencabutan hak tertentu seperti hal menjadi pegawai negeri hak memilih, hak dipilih dan lain-
lain. Ketiga, korupsi jarimah mukhalafah, yaitu hukuman yang diberikan kepada pegawai atau
sesorang yang melakukan kekurangdisiplinan atau pelanggaran terhadap peraturan-peraturan
pemerintah seperti menyimpan rahasia jabatan, menyimpan surat rahasia, larangan menerima
hadiah saat menjabat, dan lain-lain.

Fiqih antikorupsi ini merupakan upaya para ulama islam untuk memandang dan
memberantas korupsi di Indonesia. Ismail Yusanto (2011) mengemukakan ada empat cara sistem
syariah islam dalam memberantas korupsi : pertama, sistem penggajian yang layak,kedua,
larangan menerima suap dan hadiah, tentang suap, Rasulullah SAW bersabda, “ Laknat Allah
terhadap penyuap dan penerima suap” (HR.Abu dawud). Ketiga, penghitungan kekayaan, dan
keempat, hukuman setimpal.

Berdasarkan pemaparan diatas maka peran fiqih antikorupsi sangat relevan dengan hal
tersebut di lingkungan Indonesia. Walaupun sesungguhnya dalam UU Antikorupsi juga ada
sanksi seperti pada fiqih antikorupsi ini. Akan tetapi yang menjadi nilai plus dalam fiqih
antikorupsi adalah ketika akan diterapkan ada nilai takwa. Sistem islam menanamkan iman
kepada seluruh warga Negara, terutama para pejabat Negara. Dengan iman, setiap pegawai
merasa wajib untuk taat kepada aturan allah swt. Masing- masing sadar akan konsekuensi dari
ketaatan atau pelanggaran yang dilakukannya, karena tidak ada satu pun perbuatan didunia yang
lepas dari hisab ( perhitungan) Allah SWT.

Dengan iman akan tercipta mekanisme pengendalian diri yang handal. Dengan iman pula,
para birokrat, juga semua rakyat akan berusaha mencari rezki secara halal dan memanfaatkannya
hanya di jalan yang di ridhai Allah. Telah jelas dalam firman Allah SWT dalam Q.S Al-
baqarah : 208: “ Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam islam keseluruhan,
dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata
bagimu. “
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Penyebab maraknya praktek korupsi di Indonesia diantaranya: lemahya iman dan


penghayatan para pejabat Negara terhadap ajaran-ajaran agama, serta ketidak mengertian
mereka tentang hukum korupsi. Selain itu , korupsi telah begitu berurat berakar,
sementara sistem pengendalian begitu lemah. Akibatnya korupsi akan mendidik
masyarakat untuk bermoral munafik dan akan menghancurkan masyarakat sehingga
berdampak pada kemajuan suatu Negara.
2. Lemahnya sistem sanksi terhadap koruptor dipengaruhi oleh praktek korupsi banyak
dilakukan oleh para politisi, juga para pejabat Negara untuk mendapatkan dana guna
membiayai proses-proses politik mereka dalam meraih jabatan politik.
3. Harapan bebas dari korupsi hanya bisa diwujudkan jika pemberantasan korupsi dilakukan
dengan menerapkan sistem syariah islam mengingat dasar akidah islam melahirkan
kesadaran senantiasa diawasi oleh Allah sebagai landasan dalam membuat hukum
tersebut.
4. Fiqih antikorupsi ini merupakan upaya para ulama islam untuk memandang dan
memberantas korupsi di Indonesia. Walaupun sesungguhnya dalam UU Antikorupsi juga
ada sanksi seperti pada fiqih antikorupsi ini. Akan tetapi yang menjadi nilai plus dalam
fiqih antikorupsi adalah ketika akan diterapkan ada nilai takwa di dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA

Baidowi, Ahmad. 2009. Pemberantasan Korupsi Dalam Perspektif Islam. UIN Sunan Kalijaga.
Yogyakarta.

Fuad, Abu. 2003. 36 Soal Jawab Tentang Ekonomi, Politik, dan Dakwah Islam.Pustaka Thariqul
Izzah. Jakarta.

Marpaung, Leden. 1992. Tindak Pidana Korupsi Masalah dan Pemecahannya bagian kedua.
Sinar Grafika. Jakarta.

Pope, Jeremy. 2008. Strategi Memberantas Korupsi Edisi Ringkas. Transparancy International
Indonesia. Jakarta.

Rafi’, Abdur. 2006. Terapi Penyakit Korupsi. Penerbit Republika. Jakarta.

Rasyid, Hamdan. 2003. Fiqih Indonesia Himpunan Fatwa-Fatwa Aktual. Almawardi Prima.
Jakarta.

Revida, Erika. 2003. Korupsi di Indonesia. Masalah dan Solusinya. USU Digytal Library.
Medan.

Media Umat Edisi 60. Diterbitkan, 3 - 16 Juni 2011.

Media umat Edisi 91. Diterbitkan 19 oktober-1 November 2012.

Buletin Dakwah Al-Islam Edisi 626. Diterbitkan, 12 Oktober 2012.

Anda mungkin juga menyukai