Anda di halaman 1dari 3

“Waktu berjalan sangat cepat kemarin.

Aku menelepon lelaki itu di dalam gerbong kereta untuk menghabiskan lama perjalanan
3 jam sampai stasiun Gambir. Tadi dia sudah menelepon, sekarang giliranku untuk
menelopon untuk bilang bahwa saat ini aku sedang mengingat kebersamaan aku dan
dia kemarin.

Aku tidak bisa menahan senyumku. “Kenapa?”

“Aku menjemputmu dari siang dan pulang sudah dalam keadaan langit gelap. Kita
menghabiskan waktu hampir seharian tanpa merasa bosan.”

Kami berdua tertawa dan menutup telepon setelah saling mengucapkan kata-kata manis,
“sayang” akhir-akhir ini aku selalu memanggilnya begitu, tapi dia tidak pernah
memanggilku “sayang”. “Itu bukan gayaku”, katanya tanpa basa-basi. Perilakunya yang
bak cendekiawan telah mengambil perhatianku walau masih ada sisi sarkasme setiap
kali dia melihat sesuatu yang tidak dia sukai dan sisi jahil yang kadang menggangguku.
Masih ada sisi pahit yang kami bagi dari waktu ke waktu, dan itulah yang paling kusukai
dari hubungan kami. Bagiku, kopi terbaik haruslah manis dan pahit, bukan kopi hitam
pekat yang seluruhnya pahit, bukan pula kopi susu yang didominasi rasa manis. Pas.

Kami menghabiskan delapan jam bersama kemarin, bercengkerama dan aku masih
ingin lebih. Rasanya aneh melihatnya pulang sehabis mengantarku pulang. Seharusnya
dia tidak pulang sendiri. Seharusnya bahkan tidak boleh ada akomodasi untuk dia dapat
pulang.

Aku mematikan ponselku dengan kehati-hatian yang sama seperti kalau aku melipat
selendang sutra terbaikku. Segala hal tentang dia harus dilakukan dengan
kewaspadaan. Keberadaannya telah mengubahku jadi boneka porselen—rapuh, mudah
rusak, terlalu rewel untuk dibawa-bawa. Sebelumnya, aku tidak pernah tahu bahwa
menelopon seseorang bisa menghabiskan demikian besar tenaga. Dengan jujur aku
pernah berkata kepadanya bahwa seharian aku tidak bisa melakukan apapun selain
memikirkan tentang dia. Seluruh akal, pikiran dan anggota tubuhku sepakat bahwa aku
tidak dapat beraktivitas dengan normal jika hati ku terus berdetak cepat hanya dengan
membaca semua ucapan selamat pagi di pagi hari darinya. Susah sekali untuk
bernapas. Susah sekali untuk kabur. Dan aku tak tahu berapa lama lagi bisa bertahan. .
Aku cukup beruntung masih bisa berfungsi normal hari ini.

***

Di pangkuanku tergeletak sebuah kotak makan ringan. Di dalamnya, ada masakan


buatanku dengan bahan dasar yang tidak terlalu istimewa tapi kubuat dengan istimewa.
Siapa sih yang masih memberikan makanan untuk memikat hati seseorang di zaman
sekarang? Di zaman serba digital ini, kebanyakan orang memikat hati orang yang
dicintainya dengan membuat lagu dan video romantis. Sempat aku memikirkan untuk
membuat lagu dan video romantic, namun aku sadar bahwa aku tidak pandai
memainkan alat music, pun aku tidak pandai merangkai kata-kata untuk lirik cinta.
Menghabiskan delapan jam yang seperti sihir bersama orang yang sungguh-sungguh
kucintai, menyadari bahwa hubungan kami tidak akan pernah berhasil. Ini adalah
kombinasi gila-gilaan antara tenggelam dan ingin keluar, antara mati dan berusaha
hidup.

Baginya, mungkin aku adalah si gadis manis, seorang yang antusias membicarakan
berbagai genre film, yang bisa diajak berdiskusi tentang cita dan harapan selama
berjam-jam. Baginya, mungkin aku adalah ramuan unik dari lelucon ngawur dan teori
kuantum rumit. Baginya, mungkin aku adalah seorang teman yang sempurna. Tapi jauh
di dalam hati, aku hanya jatuh cinta.

“Kadang menjadi temanmu itu sulit,” aku berbisik sambil melihat foto kebersamaan kami
berdua yang diambil beberapa bulan yang lalu. Saat itu kami begitu dekat sampai-
sampai aku merasa pening. Cinta benar-benar membutakan dalam jarak tertentu.
Seperti petugas upacara yang berdiri di lapangan dengan matahari pagi. Lebih baik
menutup mata saja dan bergabung dengan kegelapan. Daripada kamu menatapnya
terlalu lama kemudian pingsan.

Pulanglah, kembalilah ke kehidupanmu yang damai, ke kandidat wanita-wanita


impianmu sesuai tipe mu yang cantik. Kalian berdua pasti tampak serasi di foto
perkawinan. Kalian akan bahagia membesarkan anak yang banyak sementara karirmu
melesat naik dan wanita mu menua dengan cantik. Tidak. Jangan pergi. Inilah tempatmu
seharusnya, dalam percakapan manis yang bukan tentang apa-apa, di kursi mobil yang
begitu pas dengan percakapan kita. Dan aku pun menyadari betapa aku terus-menerus
berganti pikiran. Aku ingin berhenti. Aku ingin memutuskan. Tapi seorang ahli filosofi
bodoh terus menyuruhku untuk mengikuti arus, untuk mengalir bersama sungai
kehidupan. Arus apanya? Ini bukan arus. Ini cuma ayunan terprediksi yang bergerak
maju-mundur tanpa ke mana-mana. Seharusnya aku tahu, tapi berpura-pura tidak tahu
karena kopi pahit manis ini terlalu sayang untuk dibuang.

“Mari kita pergi ke Bali bersama.” ujarku padanya setelah aku ketahui bahwa dia belum
pernah ke Bali dan aku kecanduan akan pantai Seminyak.

“Ayo,” katanya sambil terkekeh.

“Hei, serius! Besok?” jawabku cepat, tidak ingin terlihat terlalu terburu-buru ingin dekat
dengannya. Memang sejak awal itu ide yang payah, karena rencana piknik itu tidak
terjadi.

Aku berencana untuk mengantarkan kotak makanan ini segera setelah menyelesaikan
urusan pekerjaan di kantorku. Tapi aku benci melihatnya sebentar. Itu tidak sepadan
dengan sensasi menusuk di dadaku, sakit lambung, dan pandangan kosong yang lama
setelahnya. Aku melihat keluar kaca mobil, berharap kemacetan lalu lintas bisa
menahanku di sini beberapa lama. Tempat tinggalnya hanya berjarak beberapa meter
lagi.

Berdiam di mobil ini seperti jalan-jalan terakhir di sepanjang pantai sebelum dikirim
dalam perang hebat di laut. Kuharap jalan-jalan ini tidak pernah usai. Aku tahu aku pasti
mati di laut yang luas. Aku tidak ingin mati. Terayun lagi, berubah pikiran lagi. Tiba-tiba
aku merasa mual. Ayolah, prajurit, jangan jadi pengecut, tinggalkan pantai ini dan
tunjukkan kemampuanmu. Aku memarahi diriku sendiri.
Ini adalah cara yang panjang, panjang sekali untuk mengucapkan selamat tinggal. Aku
tidak boleh ragu sekarang. Semuanya sudah siap dan tersinkronisasi. Bisa kurasakan.
Dunia ini sedang merangkai adegan perpisahan dan hasilnya akan brilian Ini akan
menjadi klimaksnya. Perpisahan dengan integritas dan berkelas.

Sebelumnya aku sudah menulis surat yang berisi bahwa ternyata aku bukanlah orang
yang dapat berteman dengannya 100%. Tapi aku hanya bisa membawa satu hubungan
romantis dalam hatiku ini. Dan sekali aku menancapkan jangkar hatiku, aku akan
menuju tempat tanpa jalan kembali. Hasilnya tidak akan bagus. Hatiku tidak cukup
lapang untuk menampung kita berdua, apalagi ditambah dengan anag-angan wanita
khayalanmu. Wanita tipe mu. Calon istrimu di masa depan. Pendeknya, apa yang kutulis
adalah: hubungan kita selama ini hanya gurauan gila, ha-ha, lucu banget, dan bisa aku
pergi sekarang?

Dia disana sekarang. Berdiri dan mengetuk jendela mobil. Aku meraih kotak makanan
yang terlalu biasa. Seketika aku memutsukan untuk tidak memberikan potongan surat
yang sudah aku susun berulang kali hingga menjadi surat yang sempurna. Dan
tanganku kini berkeringat. “Aku mau ngasih kamu... ini!”

“Wah, makasih.”

Rencananya aku tidak mau melihatmu besok dan besoknya dan besoknya lagi, dan
seterusnya.

“Mau mampir?”

Aku terperangah tapi akhirnya berhasil membuka suara “Tidak, aku pulang sekarang,
ya?”

Mobilku melaju dan selama perjalanan seperti seorang gadis pada umumnya aku
melihat-lihat akun media sosialnya. Apa gerangan yang sedang dia pikirkan akhir-akhir
ini? Di zaman digital ini seseorang lebih nyaman menyampaikan isi pikirannya di
postingan internet. Setelah melihat postingan terakhirnya aku berasumsi dan membuat
kesimpulan sendiri bahwa dia sedang dekat dengan wanita lain. Melihat kenyataan pahit
yang seperti ini terjadi hatiku jatuh kedalam lubang hisap tiada dasar. Kopi yang ku kira
mempunyai takaran pas kini sudah pahit sepenuhnya. Tidak ada pahit-manis. Yang ada
hanya kopi hitam pekat yang seringkali dipersembahkan untuk makanan leluhur di sudut
hutan tergelap.

Tapi dia akan baik-baik saja, aku yakin. Dia tahu harus berbuat apa. Karena dia
menggunakan logika lebih baik daripada mejadi budak perasaan sepertiku. Jadi aku
harus keluar dari tempat ini sesegera mungkin. Sekarang aku bisa mundur. Aku bisa
bernapas lega. Rasanya seperti aku telah melewati ujiannya. Untuk sekarang.

Sementara mobil ini memasuki jalan raya dengan suara mendecit, aku termangu. Aku
ingin mencari siapa orang yang sudah membuat peribahasa 'mengikuti arus' dan
mengajaknya ke samudera penuh hiu lapar. Dan lihat bagaimana dia akan mengikuti
arus. Aku sungguh ingin tahu.

Anda mungkin juga menyukai