Anda di halaman 1dari 27

Referensi Artikel

MANAJEMEN PADA TRAUMATIC SPINE INJURY

DISUSUN OLEH:

Hilya Syifa Hanina

G992003071

PEMBIMBING :

dr. Andy Nugroho, Sp.An., M.Kes.

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER BAGIAN


ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
UNIVERSITAS SEBELAS MARET RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR.
MOEWARDI
2020

1
LEMBAR PENGESAHAN

Referensi artikel yang berjudul : Manajemen pada Traumatic Spine Injury


Hilya Syifa Hanina, NIM: G992003071
Periode: 4 Januari – 17 Januari 2021

Telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing dari Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
RSUD Dr. Moewardi - Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret yang bertanda tangan
dibawah ini:

Surakarta, 11 Januari 2021

Staff pembimbing

dr. Andy Nugroho, Sp.An., M.Kes.

ii
DAFTAR ISI

JUDUL........................................................................................................................................i

LEMBAR PENGESAHAN.......................................................................................................ii

DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1

A. Latar Belakang................................................................................................................1

B. Tujuan.............................................................................................................................1

C. Metode............................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN............................................................................................................2

A. Definisi Traumatic Spine Injury.....................................................................................2

B. Etiologi...........................................................................................................................2

C. Jenis Cedera Spinal.........................................................................................................2

D. Manifestasi Klinis...........................................................................................................7

E. Klasifikasi........................................................................................................................8

F. Tatalaksana......................................................................................................................8

G. Komplikasi....................................................................................................................19

H. Prognosis......................................................................................................................22

BAB III PENUTUP..................................................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................24

A.

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Cedera tulang belakang, dengan atau tanpa defisit neurologis, harus selalu
dipertimbangkan pada pasien dengan cedera multipel. Sekitar 5% pasien cedera otak
memiliki cedera tulang belakang, sedangkan 25% pasien cedera tulang belakang
memiliki setidaknya cedera otak ringan. Sekitar 55% cedera tulang belakang terjadi di
daerah serviks, 15% di daerah toraks, 15% di torakolumbal junction, dan 15% di daerah
lumbosakral (American College of Surgeons, 2018).
Cedera saraf tulang belakang traumatis akut (acute traumatic spinal cord
injuries/SCI) dapat menimbulkan beban emosional dan finansial pada pasien, keluarga,
dan masyarakat. Diperkirakan insiden tahunan dari SCI sekitar 10-80 kasus per satu juta
di seluruh dunia, dengan dominasi laki-laki (hingga 80%) dan usia rata-rata 28 tahun.
Di Amerika Seretikat, terdapat 11.000 kasus baru per tahunnya dengan lebih dari dua
per tiga pasiennya dibawah 30 tahun. Cedera ini lebih banyak menyebabkan tetraplegia
(51,7%) dibandingkan paraplegia (45,9%). Kecelakaan kendaraan bermotor
menyumbangkan hampir setengah dari cedera di negara maju, diikuti oleh terjatuh,
cedera karena kekerasan, dan kecelakaan olahraga (Grant et al., 2015; Fehlings et al.,
2017).

B. Tujuan
Traumatic spine injury memiliki angka kejadian yang cukup tinggi di dunia. Dimana
cedera ini sangat mempengaruhi kualitas hidup, status fungsional, dan kehidupan sosial
pasien. Peran dokter umum, terutama pada instalasi gawat darurat, sangat penting dalam
penanganan cedera untuk mencegah komplikasi. Penulisan artikel ini bertujuan untuk
menambah pengetahuan kami pada bagian trauma pada umumnya dan manajemen
traumatic spine injury pada khususnya.

C. Metode
Metode penulisan artikel ini adalah penelusuran pustaka dari tahun 2010-2020
terkait dengan manajemen pada traumatic spine injury.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Traumatic Spine Injury


Traumatic spine injury, atau dapat juga disebut acute spinal cord injury (SCI),
merupakan peristiwa traumatis yang mengakibatkan gangguan fungsi sensorik, motorik,
atau otonom normal dan pada akhirnya memengaruhi keadaan fisik, psikologis, dan
sosial pasien. SCI akut terdiri dari fase primer dan fase sekunder. Dampak traumatis awal
pada sumsum tulang belakang, berupa fraktur atau dislokasi, menyebabkan perdarahan
mikro pada white dan grey matter, kerusakan aksonal, dan kerusakan membran seluler.
Setelah cedera primer, serangkaian peristiwa patofisiologis mengakibatkan gangguan
homeostasis saraf, apoptosis, dan kerusakan jaringan. Hal ini termasuk edema dan
pelepasan faktor koagulasi dan amina vasoaktif, ketidakseimbangan ionik dan
pembentukan radikal bebas, dan peningkatan pelepasan neurotransmitter eksitatorik
glutamat (Fehlings et al., 2017).

B. Etiologi
Penyebab paling umum dari cedera tulang belakang (SCI) adalah: (1) kecelakaan
kendaraan bermotor (40,4%); (2) jatuh (27,9%), yang paling sering terjadi pada usia 45
tahun atau lebih, wanita tua dengan osteoporosis memiliki kecenderungan untuk patah
tulang belakang karena jatuh dengan SCI; (3) kekerasan interpersonal (terutama luka
tembak) (15,0%), di antara pasien yang mengalami serangan, cedera tulang belakang
akibat cedera tembus cenderung lebih buruk daripada cedera tumpul; (4) dan olahraga
(8,0%), di mana menyelam adalah penyebab tersering (Shin et al., 2018).
Beberapa penyebab lain dari SCI adalah gangguan vaskuler, tumor, infeksi,
spondilosis, cedera iatrogenik seperti setelah injeksi spinal, fraktur vertebra sekudender
dari osteoporosis, dan gangguan perkembangan (Shin et al., 2018).

C. Jenis Cedera Spinal


1. Fraktur Vertebra
Cedera tulang belakang yang menjadi perhatian khusus dokter dalam pengaturan
trauma termasuk fraktur vertebra servikal, fraktur vertebra torakal, fraktur
torakolumbal junction, fraktur vertebra lumbal, luka tembus, dan potensi terkait
2
cedera tumpul pembuluh darah karotis dan vertebra.
a. Fraktur vertebra servikal (cervical spine fractures)
Fraktur vertebra servikal dapat terjadi akibat salah satu atau kombinasi dari
mekanisme cedera, seperti axial loading, fleksi, ekstensi, rotasi, tekukan lateral,
dan distraksi. Jenis spesifik dari fraktur vertebra servikal yang perlu diperhatikan
adalah dislokasi atlanto oksipital, fraktur atlas (C1), subluksasi rotari C1, dan
fraktur axis (C2).
b. Fraktur vertebra torakal (thoracic spine fracture)
Fraktur tulang belakang toraks dapat diklasifikasikan menjadi empat
kategori besar: anterior wedge compression injuries, burst injuries, Chance
fractures, dan fracture-dislocations.
c. Fraktur torackolumbar junction (thoracolumbar junction fracture: TII through LI)
Fraktur pada tingkat torakolumbal junction disebabkan oleh imobilitas
vertebra torakal dibandingkan dengan vertebra lumbal. Ffraktur ini paling sering
diakibatkan oleh kombinasi hiperfleksi akut dan rotasi.
d. Fraktur vertebra lumbal (lumbar fracture)
Tanda-tanda radiografi yang terkait dengan fraktur lumbal mirip dengan
fraktur toraks dan torakolumbal. Namun, karena hanya cauda equina yang
terlibat, kemungkinan terjadi defisit neurologis lengkap jauh lebih rendah pada
cedera ini.
e. Luka tembus (penetrating injuries)
Luka tembus sering mengakibatkan defisit neurologis lengkap karena
melibatkan jalur misil (paling sering peluru atau pisau). Defisit ini juga dapat
terjadi akibat transfer energi yang terkait dengan misil kecepatan tinggi
(contohnya peluru) yang lewat di dekat sumsum tulang belakang. Luka tembus
tulang belakang biasanya stabil, kecuali misil menghancurkan sebagian besar
tulang belakang.
f. Cedera tumpul pembuluh darah karotis dan vertebra (blunt carotid and vertebral
artery injuries)
Trauma tumpul pada leher dapat menyebabkan cedera arteri karotis dan
vertebralis; Pengenalan dini dan pengobatan cedera ini dapat mengurangi risiko
pasien terkena stroke. Indikasi spesifik tulang belakang dalam skrining untuk
cedera ini termasuk fraktur C1-C3, fraktur vertebra servikal dengan subluksasi,
dan fraktur yang melibatkan foramen transversarium.
3
Pada cedera sumsum tulang belakang, keparahan defisit neurologis dapat
dikategorikan menjadi Paraplegia inkomplit atau komplit (cedera toraks);
Quadripregia atau tetraplegia (cedera servikal)
2. Spinal Cord Syndromes
Pola karakteristik cedera neurologis ditemui pada pasien dengan SCI, seperti
central cord syndrome, anterior cord syndrome, dan Brown-Séquard syndrome.
Sangat membantu untuk mengenali pola-pola ini, karena prognosisnya berbeda dari
SCI lengkap dan tidak lengkap (American College of Surgeons, 2018). Spinal cord
syndromes terbagi menjadi dua, yaitu complete spinal cord syndrome/complete
transection dan incomplete spinal cord syndromes. Incomplete spinal cord
syndromes disebabkan oleh lesi pada traktus spinalis ascending atau descending yang
diakibatkan oleh trauma, kompresi spinalis, atau oklusi arteri spinalis. Central cord
syndrome, anterior cord syndrome, posterior cord syndrome, dan Brown-Séquard
syndrome adalah jenis yang paling umum dari sindrom korda spinalis inkomplit.
a. Complete transection
Complete transection atau complete spinal cord injuries merupakan
hilangnya fungsi sensorik dan motorik bilateral komplit di bawah lesi SCI setelah
destruksi akut atau kronik, kompresi, atau iskemia medula spinalis. Awalnya
mungkin muncul sebagai syok spinal, yang merupakan kehilangan fisiologis akut
atau depresi fungsi sumsum tulang belakang. Kondisi ini muncul sebagai paralisis
arefleksia flaksid di bawah tingkat cedera dengan ciri otonom (hipotensi,
bradikardia). Setelah beberapa hari hingga beberapa minggu, syok spinal hilang
dan manifestasi klinis SCI komplit mungkin tetap ada. Kondisi ini muncul
sebagai paresis spastik, hiperrefleksia, dan hilangnya fungsi sensorik. Penyebab
dari SCI komplit dapat berupa trauma, tumor spinal, multipel sklerosis, myelitis,
atau patologi ekstradural (Shin et al., 2018).
b. Central cord syndrome
Central cord syndrome merupakan tipe paling sering dari incomplete cord
syndrome, yaitu cedera pada regio sentral medula spinalis (traktus kortikospinalis
sentral dan serabut decussating traktus spinotalamikus lateral). Beberapa
penyebabnya adalah cedera hiperekstensi, syringomyelia, dan kompresi sumsum
tulang belakang. Kondisi ini itandai dengan hilangnya kekuatan motorik yang
lebih besar secara tidak proporsional di ekstremitas atas daripada di ekstremitas
bawah, dengan berbagai tingkat kehilangan sensorik. Sindrom ini biasanya terjadi
4
setelah cedera hiperekstensi pada pasien dengan stenosis kanal servikal yang
sudah ada sebelumnya. Mekanismenya biasanya jatuh ke depan yang
mengakibatkan benturan pada wajah. Central cord syndrome dapat terjadi dengan
atau tanpa patah tulang belakang leher atau dislokasi (Purves et al., 2001;
American College of Surgeons, 2018).

Gambar 1. Central cord syndrome


c. Anterior cord syndrome
Pada anterior cord syndrome, cedera terjadi pada 2/3 anterios dari sumsum
tulang belakang, yaitu pada traktus kortikospinalis dan traktus spinotalamikus.
Anterior cord syndrome terjadi akibat cedera pada jalur motorik dan sensorik di
bagian anterior. Ditandai dengan paraplegia dan hilangnya sensasi nyeri dan suhu
bilateral. Namun, fungsi sensasi dari koluma dorsal masih utuh/dipertahankan
(yaitu, posisi, getaran, dan rasa tekanan yang dalam). Sindrom ini memiliki
prognosis paling buruk di antara incomplete spinal cord syndromes dan paling
sering terjadiakibat iskemia pada sumsum tulang belakang (Purves et al., 2001;
American College of Surgeons, 2018).

5
Gambar 2. Anterior cord syndrome

d. Brown-Séquard syndrome (Hemisection)


Sindrom Brown-Séquard terjadi akibat hemiseksi sumsum tulang belakang,
biasanya karena trauma tembus. Sindrom ini terdiri dari kehilangan fungsi
motorik ipsilateral (traktur kortikospinalis) dan hilangnya sensasi propiosepsi,
vibrasi, dan sentuhan halus (kolomna dorsal), terkait dengan hilangnya sensasi
nyeri dan suhu kontralateral mulai satu hingga dua tingkat di bawah lesi (traktus
spinotalamikus) (Purves et al., 2001; American College of Surgeons, 2018).

Gambar 3. Brown-Sequard syndrome


6
e. Posterior cord syndrome
Pada posterior cord syndrome, cedera sumsum tulang belakang posterior
yang mempengaruhi kolumna posterior (sentuhan halus, getaran, tekanan, dan
propriosepsi). Tipe ini jarang terjadi, beberapa etiologinya adalah oklusi pada
arteri spinalis posterior dan multipel sklerosis. Tipe cedera ini ditandai dengan
hilangnya sensasi propiosepsi, vibrasi/getaran, dan sentuhan halus di bawah level
dari lesi (Purves et al., 2001).

D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis cedera tulang belakang antara lain adalah adanya
edema/pembengkakan pada daerah cedera, deformitas atau perubahan bentuk, echimosis
karena ekstravasasi darah dalam jaringan subkutan. Pada perabaan, teraba hangat pada
daerah cedera karena terjadi peningkatan metabolisme, penderita juga dapat merasakan
nyeri. Dan pada pemeriksaan fisik, penderita dapat mengalami kehilangan fungsi motorik
maupun sensorik atau kelemahan dan kelumpuhan ekstremitas (Mahardika, 2016).

Gambar 4. Efek cedera spinal

7
Efek cedera tulang belakang yang spesifik tertera pada Gambar 1. Apa dan
seberapa banyak fungsi yang hilang di lengan dan tungkai tergantung pada lokasi cedera
tulang belakang. Misalnya, jika sumsum tulang belakang terluka di leher, orang tersebut
mungkin kehilangan gerakan dan sensasi di kedua lengan dan tungkai, sedangkan cedera
yang lebih bawah dari sumsum tulang belakang dapat menyebabkan disfungsi pada
tungkai saja. Seseorang dapat kehilangan kendali atas kemampuan untuk buang air kecil
atau buang air besar dan kehilangan fungsi seksual terlepas dari lokasi cedera tulang
belakang (Wilberger & Mao, 2019).

E. Klasifikasi
Skala kerusakan gangguan medula spinalis berdasarkan American Spinal Injury
Association (ASIA) dibagi menjadi lima grade, yaitu:
 Grade A: Komplit. Tidak ada fungsi motorik dan sensorik sampai S4-S5.
 Grade B: Inkomplit. Fungsi sensorik masih baik, tetapi motorik terganggu sampai
segmen sakral S4-S5.
 Grade C: Inkomplit. Fungsi motorik terganggu dibawah level, tapi otot-otot motorik
utama masih punya kekuatan < 3.
 Grade D: Inkomplit. Fungsi motorik terganggu dibawah level, otot-otot motorik
utama punya kekuatan > 3.
 Grade E: Normal. Fungsi motorik dan sensorik normal.

F. Tatalaksana
1. Evaluasi Klinis
Manajemen awal pasien trauma tulang belakang tidak berbeda dengan trauma
lainnya, dimana prinsip penanganan pasien trauma berdasarkan prinsip ATLS, yaitu
mencakup primary survey dan secondary survey.
Primary survey mencakup ABCDE dari perawatan trauma dan mengidentifikasi
kondisi yang mengancam jiwa, yaitu (A) Airway maintenance with restriction of cervical
spine motion; (B) Breathing and ventilation; (C) Circulation with hemorrhage control;
(D) Disability; (E) Exposure/Environmental control (American College of Surgeons,
2018).
 Airway maintenance with restriction of cervical spine motion
Evaluasi awal pasien trauma adalah menilai jalan napas untuk memastikan

8
patensi. Penilaian cepat untuk tanda-tanda obstruksi jalan napas ini termasuk
pemeriksaan benda asing; mengidentifikasi fraktur dan cedera lain; dan pengisapan /
suction untuk membersihkan akumulasi darah atau sekresi. Lakukan langkah-
langkah untuk membangun jalan napas yang paten sambil membatasi gerakan tulang
belakang leher.
Jika pasien dapat berkomunikasi secara verbal, jalan napas kemungkinan besar
tidak dalam bahaya. Selain itu, pasien dengan cedera kepala parah yang memiliki
GCS kurang dari 8 biasanya memerlukan penempatan saluran napas definitif.
Manuver jaw-thrust atau chin-lift sering kali sudah cukup sebagai intervensi awal.
Jika pasien tidak sadar dan tidak memiliki refleks muntah, pemasangan saluran
napas orofaring dapat membantu untuk sementara. Lakukan pemberian jalan napas
definitif jika ada keraguan tentang kemampuan pasien untuk menjaga integritas jalan
napas.

Gambar 5. Manuver jaw-thrust.


Penilaian dan pengelolaan jalan napas pasien harus berhati-hati untuk
mencegah pergerakan tulang belakang leher yang berlebihan. Jika terjadi trauma,
selalu curigai adanya cedera tulang belakang. Pemeriksaan neurologis saja tidak
dapat menyingkirkan diagnosis cedera tulang belakang leher. Tulang belakang harus
dilindungi dari mobilitas yang berlebihan untuk mencegah perkembangan dari defisit
dengan cervical collar.
 Breathing and ventilation
Patensi jalan napas saja tidak menjamin adanya ventilasi yang memadai.
Pertukaran gas yang memadai diperlukan untuk memaksimalkan oksigenasi dan

9
eliminasi karbon dioksida. Ventilasi membutuhkan fungsi paru-paru, dinding dada,
dan diafragma yang memadai; oleh karena itu, dokter harus segera memeriksa dan
mengevaluasi setiap komponen.
Untuk menilai distensi vena jugularis, posisi trakea, dan ekskursi dinding dada
secara adekuat, perhatikan leher dan dada pasien. Lakukan auskultasi untuk
memastikan aliran gas di paru-paru. Inspeksi visual dan palpasi dapat mendeteksi
cedera pada dinding dada yang mungkin mengganggu ventilasi. Perkusi dada juga
dapat mengidentifikasi kelainan.
 Circulation with hemorrhage control
Gangguan sirkulasi pada pasien trauma dapat diakibatkan oleh berbagai
cedera. Volume darah, curah jantung, dan perdarahan adalah masalah peredaran
darah utama yang perlu diperhatikan. Perdarahan adalah penyebab utama kematian
yang dapat dicegah setelah cedera. Oleh karena itu, mengidentifikasi dan mengontrol
perdarahan dengan cepat, serta memulai resusitasi merupakan langkah penting dalam
menilai dan menangani pasien tersebut. Penilaian yang cepat dan akurat dari status
hemodinamik pasien cedera sangat penting. Elemen pengamatan klinis yang
menghasilkan informasi penting dalam hitungan detik adalah tingkat kesadaran,
perfusi kulit, dan denyut nadi.
Identifikasi sumber perdarahan, apakah eksternal atau internal. Perdarahan
eksternal/luar diidentifikasi dan dikendalikan selama primary survey. Kehilangan
darah eksternal dikelola dengan tekanan manual langsung pada luka.
 Disability (assessment of neurologic status)
Evaluasi neurologis yang cepat menentukan tingkat kesadaran pasien serta
ukuran dan reaksi pupil; mengidentifikasi adanya tanda-tanda lateralisasi; dan
menentukan tingkat cedera tulang belakang.
 Exposure/Environmental control
Selama primary survey, buka pakaian pasien sepenuhnya, biasanya dengan
memotong pakaiannya untuk memudahkan pemeriksaan dan penilaian secara
menyeluruh. Setelah menyelesaikan penilaian, tutupi pasien dengan selimut hangat
atau alat penghangat eksternal untuk mencegah pasien mengalami hipotermia di area
penerima trauma. Hangatkan cairan intravena sebelum diinfuskan, dan pertahankan
agar lingkungan tetap hangat.

10
Secondary survey dilakukan setelah primary survey selesai, yaitu ketika resusitasi
telah dilakukan dan kondisi airway, breathing, dan circulation dipastikan telah membaik.
Secondary survey mencakup anamnesis dan pemeriksaan head to toe, juga dilakukan
pemeriksaan neurologi lengkap bila belum dilakukan dalam primary survey, dan
pemeriksaan penunjang lain foto rontgen dan laboratorium (Mahardika, 2016).
Prinsip penanganan pada kecurigaan adanya trauma tulang belakang adalah
imobilisasi tulang belakang sampai pasien teresusitasi dan kondisi mengancam nyawa
lainnya sudah tertangani. Imobilisasi dihentikan sampai terbukti tidak terdapat trauma
secara klinis dan radiologis (Pimentel & Diegelmann, 2010).

2. Manajemen Umum Trauma Spinal (ATLS)


Manajemen umum dari trauma spine dan spinal cord termasuk pembatasan gerakan
tulang belakang, cairan intravena, obat-obatan, dan transfer/transpor pasien, jika
diperlukan.
a. Pembatasan Gerakan Tulang Belakang
Batasi pergerakan tulang belakang pasien sebelum memindahkannya ke UGD.
Cegah pergerakan tulang belakang pasien dengan dugaan cedera tulang belakang di
atas dan di bawah lokasi cedera yang dicurigai sampai fraktur disingkirkan. Hal ini
dilakukan dengan membaringkan pasien terlentang tanpa memutar atau menekuk
kolumna tulang belakang (spinal column) pada permukaan yang kokoh dengan
cervical collar yang kaku dan berukuran tepat. Pertahankan pembatasan gerakan
tulang belakang sampai cedera disingkirkan. Cervical collar mungkin tidak cocok
untuk pasien obesitas, jadi gunakan guling untuk menopang leher. Padding tambahan
seringkali diperlukan (American College of Surgeons, 2018).
Semirigid collar tidak dapat memastikan pembatasan gerakan lengkap dari
tulang belakang leher. Tambahan dengan guling dan tali pengikat pada papan
punggung panjang (spine board) lebih efektif. Namun, penggunaan spine board
yang panjang disarankan untuk pemindahan dan pergerakan pasien yang cepat
(American College of Surgeons, 2018).
Manuver logroll dilakukan untuk mengevaluasi tulang belakang pasien dan
menghilangkan spine board sambil membatasi gerakan tulang belakang. Ketua tim
menentukan kapan prosedur ini harus dilakukan saat resusitasi dan manajemen
pasien tersebut. Satu orang ditugaskan untuk membatasi gerak kepala dan leher.
Orang lain yang diposisikan di sisi yang sama dari tubuh pasien secara manual
11
mencegah rotasi segmental, fleksi, ekstensi, tekukan lateral, atau dada atau perut
yang merosot saat memindahkan pasien. Orang lain bertanggung jawab untuk
menggerakkan kaki pasien, dan orang keempat mengangkat spine board dan
memeriksa punggung (American College of Surgeons, 2018).

Gambar 6. Manuver logroll


 Extrication
Teknik rapid extrication dirancang untuk menggerakkan pasien dalam
rangkaian gerakan terkoordinasi dari posisi duduk ke posisi terlentang di atas long
backboard dengan tetap menjaga stabilisasi dan penyangga kepala/leher, batang
tubuh, dan panggul. Indikasinya ada tempat kejadian yang tidak aman, kondisi
pasien yang tidak stabil yang membutuhkan pergerakan dan transportasi segera, dan
ada pasien menghalangi untuk mengakses pasien lain yang lebih serius cederanya
(New York Departement of Health, 2018).
Ada dua strategi pemindahan dasar: secara lateral melalui pintu keluar atau
secara vertikal setelah atap dilepas. Ekstrikasi lateral umumnya dipahami dengan
baik oleh sebagian besar penyelamat. Pasien diputar dan dipindahkan ke papan
tulang belakang yang panjang. Metode vertikal berguna dalam banyak situasi karena
atap dilepas dan pasien dapat dikeluarkan dengan cepat, namun sebagian besar

12
penyedia tidak terbiasa dengan metode ini. Pada dasarnya, langkah-langkah
pelepasan vertikal adalah sebagai berikut:
1) Pasien dipakaikan collar, dan satu penyelamat memegang kepala/leher dengan
aman;
2) Sebuah long backboard ditempatkan dengan hati-hati di antara kursi dan pasien;
3) Dua sampai tiga penyelamat menggeser pasien ke papan secara bersamaan, hati-
hati untuk menopang kaki juga;
4) Tali papan panjang dan blok kepala diterapkan; dan
5) Pasien diposisikan dan diamankan sepenuhnya ke tandu pemindah (Michael W
Dailey, 2010).
Teknik rapid extrication membutuhkan minimal tiga penyelamat yang terlatih
dalam prosedur ini (New York Departement of Health, 2018).
 Anjurkan pasien untuk tidak menggerakkan kepala dan menahan. Pastikan Anda
menjelaskan prosedur secara lengkap kepada pasien sehingga mereka
memahami apa yang akan terjadi.
 Stabilisasi inline manual. Penyelamat 1 memposisikan diri di belakang pasien,
membawa kepala pasien ke posisi netral, dan mempertahankan stabilisasi inline
tulang belakang leher.
 Nilai denyut nadi, fungsi motorik dan sensorik di semua ekstremitas.
 Penyelamat 2 menerapkan cervical collar dengan ukuran yang sesuai.
 Posisikan peralatan dan bersiaplah untuk memindahkan pasien. Penyelamat 3
menempatkan papan belakang panjang di dekat pintu kendaraan dan kemudian
pindah ke kursi di sebelah pasien. Penyelamat 2, berdiri di samping pasien,
menopang dada dan punggung pasien saat penyelamat 3 membebaskan kaki
pasien.
 Memutar pasien. Atas arahan penyelamat 1, yang mempertahankan stabilisasi
sebaris, semua penyelamat mulai memutar pasien dalam beberapa gerakan
pendek dan terkoordinasi hingga punggung pasien berada di ambang pintu yang
terbuka dan kakinya berada di kursi yang berlawanan. Jika penyelamat 1 tidak
dapat mempertahankan stabilisasi sebaris selama langkah ini (misalnya tiang
“B” kendaraan menghalangi), penyelamat atau pengamat lain yang tersedia
harus mengambil alih stabilisasi sebaris manual dari luar kendaraan sementara
penyelamat 1 keluar dari kendaraan untuk melanjutkan stabilisasi sebaris
manual.
13
 Pindahkan pasien ke papan belakang panjang. Ujung papan belakang panjang
ditempatkan di kursi di samping pantat pasien sementara penyelamat atau
pengamat lain menopang ujung papan belakang panjang lainnya. Atas petunjuk
penyelamat yang mempertahankan stabilisasi sebaris, pasien diturunkan ke
papan panjang dalam satu gerakan. Penolong kemudian menggeser pasien, ke
posisinya di papan panjang dalam gerakan terkoordinasi cepat.
 Amankan pasien ke papan belakang.

Selain memakai long backboard, perangkan extrikasi insitu juga dapat


digunakan. Kendrick Extrication Device (K.E.D.) adalah alat yang digunakan dalam
pelepasan kendaraan untuk mengeluarkan korban tabrakan lalu lintas dari kendaraan
bermotor. Biasanya digunakan bersama dengan cervical collar, K.E.D. adalah
bracesemi-kaku yang menahan kepala, leher, dan batang tubuh dalam posisi netral
secara anatomis.

Gambar 7. Kendrick Extrication Device (KED)

 Helmet Removal
Seorang pasien yang memakai helm yang membutuhkan penanganan jalan
napas harus memegang kepala dan lehernya dalam posisi netral saat helm dilepas.
Prosedur ini membutuhkan dua orang: Satu orang membatasi gerakan tulang
belakang leher dari bawah sementara orang kedua melebarkan sisi helm dan
melepasnya dari atas. Kemudian, dokter membangun kembali pembatasan gerakan
14
tulang belakang leher dari atas dan mengamankan kepala dan leher pasien selama
pengelolaan jalan napas.

Gambar 8. Pelepasan helm pada pasien curita trauma spinal.

 Long spine board / long back board


National Association of EMS Physicians and the American College of
Surgeons Committee on Trauma percaya bahwa:
Long spine board biasanya digunakan untuk mencoba memberikan
imobilisasi tulang belakang pada pasien traum. Namun, manfaat dari Long spine
board yang panjang sebagian besar belum terbukti. Long spine board dapat
menyebabkan nyeri, agitasi pasien, dan gangguan pernapasan. Lebih lanjut, papan
belakang dapat menurunkan perfusi jaringan pada titik-titik tekanan, yang
mengarah pada perkembangan ulkus. Penggunaan papan belakang untuk
imobilisasi tulang belakang selama pengangkutan harus bijaksana, sehingga
potensi keuntungan lebih besar daripada risikonya.
Pasien yang sesuai untuk diimobilisasi dengan papan belakang mungkin
termasuk mereka yang memiliki:
 Trauma tumpul dan tingkat kesadaran yang berubah;
 Nyeri tulang belakang;
 Keluhan neurologis (misalnya mati rasa atau kelemahan motorik)
15
 Deformitas anatomi tulang belakang;
 Mekanisme cedera berenergi tinggi dan:
o Keracunan obat atau alkohol;
o Ketidakmampuan untuk berkomunikasi; dan/atau
o Cedera yang mengganggu.
Pasien yang tidak memerlukan imobilisasi di papan belakang termasuk
mereka yang memiliki semua hal berikut:
 Tingkat kesadaran normal (GCS 15);
 Tidak ada nyeri tulang belakang atau kelainan anatomi;
 Tidak ada temuan atau keluhan neurologis;
 Tidak ada cedera yang mengganggu;
 Tidak ada keracunan.

 Scoop stretcher
Scoop stretcher adalah perangkat yang digunakan khusus untuk
memindahkan orang yang terluka. Perangkat ini ideal untuk membawa korban
dengan kemungkinan cedera tulang belakang. Scoop stretcher memiliki struktur
yang dapat dibelah secara vertikal menjadi dua bagian, dengan bentuk 'bilah' ke
arah tengah yang dapat disatukan di bawah pasien. Kedua bagian ditempatkan
secara terpisah di kedua sisi pasien, dan kemudian disatukan sampai klip
pengaman di bagian atas dan bawah keduanya terpasang.
Scoop stretcher mengurangi kemungkinan pergerakan yang tidak diinginkan
dari area cedera selama pemindahan pasien trauma, karena mereka menjaga
pasien dalam posisi terlentang selama pemindahan ke tandu, kasur atau papan
tulang belakang yang panjang (long spine board).
Scoop stretcher merupakan alternatif dari menggunakan teknik logrolling
yang dimodifikasi untuk pemindahan pasien. Penggunaan yang tepat dari
perangkat ini dapat memberikan pemindahan pasien yang cepat dan aman dari
long spine board ke brankar pasien yang kokoh dan empuk. Misalnya, perangkat
ini dapat digunakan untuk memindahkan pasien dari satu perangkat transportasi
ke perangkat lain atau ke tempat yang ditentukan (misalnya, meja x-ray).
Pasien harus tetap diimobilisasi dengan aman sampai cedera tulang
belakang disingkirkan. Setelah pasien dipindahkan dari spine board ke brankar

16
pasien dan scoop stretcher dilepas, pasien harus kembali diimobilisasi dengan
aman di brankar. Scoop stretcher bukanlah perangkat yang membuat pasien
terimobilisasi. Selain itu, scoop stretcher tidak digunakan untuk mengangkut
pasien, pasien juga tidak boleh dipindahkan ke brankar dengan hanya mengambil
ujung kaki dan kepala dari scoop stretcher. Karena tanpa dukungan kuat di
bawahnya dapat melorot di tengah dan mengakibatkan hilangnya kesejajaran
netral tulang belakang (American College of Surgeons, 2018).

Gambar 9. Scoop stretcher


b. Caiaran Intravena
Jika perdarahan aktif tidak terdeteksi atau dicurigai, hipotensi persisten harus
meningkatkan kecurigaan syok neurogenik. Pasien dengan syok hipovolemik
biasanya mengalami takikardia, sedangkan pasien dengan syok neurogenik biasanya
mengalami bradikardia. Jika tekanan darah pasien tidak membaik setelah pemberian
cairan, dan tidak ada situs pendarahan tersembunyi yang ditemukan, penggunaan
vasopresor dapat diindikasikan. Fenilefrin hidroklorida, dopamin, atau norepinefrin
direkomendasikan. Pemberian cairan yang berlebihan dapat menyebabkan edema
paru pada pasien dengan syok neurogenik. Jika status cairan pasien tidak pasti,
perkiraan status volume melalui ultrasonografi atau pemantauan invasif dapat
membantu. Kateter urin dapat dipasang untuk memantau keluaran urin dan
mencegah distensi kandung kemih (American College of Surgeons, 2018).
c. Medikasi

17
Studi praklinis awal menunjukkan bahwa glukokortikoid dapat memiliki efek
menguntungkan yang sangat besar pada cedera sumsum tulang belakang; Secara
khusus, MPSS (Methylprednisolone Sodium Succinate) dapat mencegah hilangnya
protein neurofilamen sumsum tulang belakang, memfasilitasi rangsangan saraf dan
konduksi impuls, meningkatkan aliran darah, meningkatkan aktivitas Na+K+-
ATPase, dan menjaga struktur spinal cord dengan mengurangi peroksidasi lipid dan
mencegah kerusakan jaringan akibat iskemia (Fehlings et al., 2017).
Berdasarkan rekomendasi level 1 baru pada tahun 2013 oleh AANS / CNS,
methylprednisolone tidak boleh diberikan dalam pengobatan SCI akut karena efek
samping berbahaya terkait termasuk infeksi, sepsis, perdarahan gastrointestinal,
penyembuhan luka yang buruk, efek samping kejiwaan, dan bahkan kematian.
Pedoman tersebut merekomendasikan bahwa methylprednisolone tidak digunakan
untuk pengobatan SCI akut dalam 24-48 pertama beberapa jam setelah cedera.
Standar sebelumnya direvisi karena kurangnya bukti medis yang mendukung
manfaat steroid dan bukti bahwa steroid dosis tinggi dikaitkan dengan efek samping
yang berbahaya.
Pada pedoman ATLS 2018 tertulis tidak terdapat bukti yang cukup untuk
mendukung penggunaan steroid pada cedera sumsum tulang belakang (American
College of Surgeons, 2018).
d. Transfer/Pemindahan
Jika perlu, pasien dengan patah tulang belakang atau defisit neurologis harus
dipindahkan ke fasilitas yang mampu memberikan perawatan definitif. Prosedur
teraman adalah memindahkan pasien setelah berkonsultasi dengan ketua tim trauma
penerima dan/atau spesialis tulang belakang. Stabilkan pasien dan gunakan bidai,
spine board, dan/atau cervical collar semirigid yang diperlukan. Ingat, cedera tulang
belakang leher di atas C6 dapat menyebabkan hilangnya sebagian atau seluruh
fungsi pernapasan. Jika terdapat kekhawatiran tentang kecukupan ventilasi, lakukan
intubasi pada pasien sebelum dipindahkan (American College of Surgeons, 2018).

3. Terapi Definitif
Tujuan dari penaganan trauma tulang belakang adalah melindungi kolumna
vertebra dari kerusakan lebih lanjut, dekompresi apabila terdapat defisit neurologis
yang prograsif, optimalisasi kondisi pasien untuk pengembalian fungsi neurologi,
mempertahankan atau mengembalikan alignment kolumna vertebra, meminimalkan
18
kehilangan fungsi pergerakan kolumna vertebra, stabilisasi kolumna vertebra, dan
memfasilitasi rehabilitasi (Mahardika, 2016).
Terdapat dua tujuan dalam perawatan bedah SCI akut, yang pertama adalah
dekompresi struktur saraf dan yang kedua adalah stabilisasi tulang belakang. Peran
dan waktu perawatan bedah pada pasien dengan cedera sumsum tulang belakang
akut masih diperdebatkan. NASCIS II mengungkapkan bahwa hasil yang diperoleh
pada pasien yang menjalani operasi pada fase akut (<25 jam) lebih baik
dibandingkan pada pasien yang tidak menjalani operasi. Intervensi bedah dini
direkomendasikan oleh banyak spesialis (Akdemir et al., 2014).

G. Komplikasi
1. Spinal shock
Syok spinal adalah kehehilangan atau depresi fisiologis akut fungsi sumsum
tulang belakang (hilangnya semua fungsi sensorimotor di bawah tingkat cedera)
yang berlangsung beberapa jam hingga berminggu-minggu setelah cedera tulang
belakang. Syok spinal didefinisikan sebagai fenomena fisiologis dan anatomi dari
lesi transeksi medula spinalis yang mengakibatkan menurun atau hilangnya hampir
semua reflek spinal dibawah tingkat lesi dengan pemulihan refleks secara berangsur
(dalam hitungan jam-hari). Dengan komplikasi hipotensi sebagai akibat dari
hilangnya tonus simpatis, tergantung letak lesi (Hamidi, 2016; Singhal & Aggarwal,
2016).
Syok spinal biasanya disebabkan oleh trauma dan atau sebab lain yang
mendadak, yang kemudian diikuti dengan perbaikan dalam beberapa jam. Penurunan
reflek di bawah tingkat lesi transeksi disebabkan karena hilangnya pengaruh
fasilitasi secara mendadak pada jaras supraspinal descendens, fenomena ini
mengakibatkan gangguan transmisi pada sinaps sehingga proses konduksi
interneuronal terganggu atau bahkan menghilang (Hamidi, 2016).
Secara ideal, yang biasanya terjadi pada trauma medula spinalis komplet,
terdapat empat fase syok spinal yang dibagi berdasarkan gejala klinis dan
patofisiologinya (Hamidi, 2016).

19
Gambar 10. Fase syok spinal
Fase-fase tersebut dijabarkan sebgai berikut :
a. Fase 1: arefleksia / hiporefleksia (hari ke 0-1).Ditandai dengan hilangnya atau
melemahnya semua refleks dibawah tingkat lesi. Terjadi jejas pada medulla
spinalis yang mempengaruhi neuron yang berfungsi sebagi lengkung refleks
sehingga input neural dari otak menjadi hiperpolarisasi dan tidak responsif.
b. Fase 2: munculnya refleks inisial (hari ke 1-3). Beberapa refleks kembali,
refleks yang kembali paling awal adalah refleks bulbocavernosus. Hal ini terjadi
karena terjadi hipersensitivita sotot refleks karena terjadi denervasi. Muncul
neurotransmitter yang lebih banyak dan menyebabkan lebih mudah distimulasi.
c. Fase 3: hiperrefleks awal (hari ke 4 – bulan ke 1). Ditandai dengan munculnya
hiperrefleksia. Fase 3 dan fase 4 memiliki mekanisme dasar yang sama, yaitu
neuron dibawah lesi berusaha membangun kembali sinaps-sinapsnya, maka dari
itu muncul hiperrefleks.
d. Fase 4: spastisitas / hiperrefleks (bulan ke 1-12). Ditandai dengan
spastisitas/hiperrefleks. Regenesasi sinaps dibawah lesi ini berlangsung dalam
jangka waktu minggu sampai ber bulan bulan. Pembentukan kembali sinaps
dapat berasal dari interneuron maupun dari afferen segmental.
Tatalaksana syok spinal secara umum sama seperti penanganan syok pada
umumnya, dengan mengikuti tatalaksana penyebab dari spinal syok yang sebagai
besar terjadi karena trauma medula spinalis.

2. Neurogenic shock
Syok neurogenik adalah konsekuensi yang gawat dari cedera tulang belakang
(SCI), juga dikenal sebagai syok vasogenik. Cedera pada sumsum tulang belakang
menyebabkan hilangnya tonus simpatis secara tiba-tiba, yang menyebabkan
ketidakstabilan otonom yang dimanifestasikan sebagai hipotensi, bradiaritmia, dan
disregulasi suhu. Cedera sumsum tulang belakang tidak sama dengan syok spinal,
yang merupakan penurunan fungsi sensorik dan motorik yang dapat diperbaiki
setelah cedera tulang belakang. Syok neurogenik dikaitkan dengan cedera tulang
belakang servikal dan torakal bagian atas. Syok neurogenik harus dibedakan dari
syok hipovolemik, yang ini sering dikaitkan dengan takikardia (Dave & Cho, 2020).
Syok neurogenik adalah keadaan klinis yang termanifestasikan dari cedera
medulla spinalis primer dan sekunder. Perubahan hemodinamik terlihat pada cedera
20
pada sumsum tulang belakang di atas level T6. Traktus simpatis desendens paling
sering terganggu akibat fraktur atau dislokasi vertebra yang terkait di tulang
belakang servikal atau toraks atas. Cedera medula spinalis primer terjadi dalam
beberapa menit setelah serangan awal. Cedera primer adalah kerusakan langsung
pada akson dan membran saraf di nukleus intermediolateral, grey mater lateral, dan
anterior root yang menyebabkan gangguan tonus simpatis. Cedera sumsum tulang
belakang sekunder terjadi beberapa jam hingga beberapa hari setelah gangguan awal.
Cedera sekunder adalah akibat kerusakan vaskular, pergeseran elektrolit, dan edema
yang menyebabkan nekrosis hemoragik sentral progresif pada grey mater di lokasi
cedera. Pada tingkat sel, terdapat eksitotoksisitas dari akumulasi NMDA,
homeostasis elektrolit yang tidak tepat, cedera mitokondria, dan cedera reperfusi
yang semuanya menyebabkan apoptosis terkontrol dan tidak terkontrol. Syok
neurogenik adalah kombinasi dari cedera primer dan sekunder yang menyebabkan
hilangnya tonus simpatis dan dengan demikian respons parasimpatis yang tidak
dilawan didorong oleh saraf vagus. Akibatnya, pasien menderita ketidakstabilan
tekanan darah, detak jantung, dan pengaturan suhu (Dave & Cho, 2020).
Penatalaksanaan awal syok neurogenik difokuskan pada stabilisasi
hemodinamik. Hipotensi harus ditangani terlebih dahulu untuk mencegah cedera
sekunder. Pengobatan lini pertama untuk hipotensi adalah resusitasi cairan intravena.
Jika hipotensi berlanjut meskipun euvolemia, vasopresor dan inotropik adalah lini
kedua. Fenilefrin umumnya digunakan karena merupakan agonis alfa-1 murni yang
menyebabkan vasokonstriksi perifer untuk melawan hilangnya tonus simpatis.
Namun, kurangnya aktivitas beta menyebabkan refleks bradikardia yang menambah
tonus vagal yang sudah tidak ada lawannya. Norepinefrin memiliki aktivitas alfa dan
beta yang membantu hipotensi dan bradikardia sehingga menjadi agen pilihan.
Epinefrin telah dikutip untuk kasus hipotensi yang sulit disembuhkan dan jarang
diperlukan. Direkomendasikan untuk menjaga tekanan arteri rata-rata (MAP) pada
85-90 mmHg selama 7 hari pertama untuk meningkatkan perfusi medula spinalis.
Perhatian harus digunakan saat menggunakan vasopresor karena mungkin ada cedera
yang terjadi bersamaan yang diperburuk dengan vasokonstriksi (Dave & Cho, 2020).
Pengobatan untuk bradikardia adalah atropin dan glikopirolat untuk melawan
tonus vagal. Isoproterenol dianggap sebagai efek kronotropik murni.
Methylxanthines seperti teofilin dan aminofilin telah dikutip untuk kasus bradikardia
refrakter (Dave & Cho, 2020).
21
Gambar 11. Perbedaan spinal shock dan neurogenic shock.

H. Prognosis
Pemulihan lebih mungkin terjadi jika kelumpuhan bersifat parsial dan jika gerakan
atau sensasi mulai kembali selama minggu pertama setelah cedera. Jika fungsinya tidak
kembali dalam 6 bulan, kemungkinan kelumpuhan akan permanen. Namun, beberapa
penelitian menunjukkan bahwa pemulihan dimungkinkan hingga satu tahun setelah
cedera (Wilberger & Mao, 2019).
Pasien dengan SCI komplit memiliki kemungkinan pemulihan kurang dari 5%. Jika
kelumpuhan total berlanjut pada 72 jam setelah cedera, kemungkinan pemulihannya
adalah nol. Pada awal 1900-an, angka kematian 1 tahun setelah cedera pada pasien
dengan lesi komplit mendekati 100%. Prognosisnya jauh lebih baik untuk cord syndrome
yang tidak lengkap. Jika beberapa fungsi sensorik masih berfungsi, kemungkinan pasien
dapat berjalan lebih besar dari 50%. Kira-kira 10-20% pasien cedera tulang belakang
tidak dapat bertahan hingga dirawat di rumah sakit, sedangkan sekitar 3% pasien
meninggal selama rawat inap (Shin et al., 2018).

22
BAB III
PENUTUP

Traumatic spine injury merupakan peristiwa traumatis yang dapat mengakibatkan


gangguan fungsi sensorik, motorik, atau otonom normal dan pada akhirnya memengaruhi
keadaan fisik, psikologis, dan sosial pasien. Trauma spinal membutuhkan penanganan
dan stabilisasi yang cepat, terutama pada tempat terjadinya cedera dan instalasi gawat
darurat, yaitu meliputi primary dan secondary survey serta imobilisasi. Penanganan
segera dan stabilisasi yang cepat ini bertujuan untuk mencegah komplikasi yang dapat
terjadi.

23
DAFTAR PUSTAKA

Akdemir, H. U., Katı, C., Duran, L. & Kuruoğlu, E. (2014) ‘Management of spinal trauma in
emergency department’, Journal of Experimental and Clinical Medicine. Journal of
Experimental and Clinical Medicine, 30(4), pp. 285–289. doi:
10.5835/jecm.omu.30.04.001.
American College of Surgeons (2018) Student Course Manual ATLS ® Advanced Trauma
Life Support ®.
Dave, S. & Cho, J. J. (2020) ‘Neurogenic Shock’. StatPearls Publishing. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459361/ (Accessed: 12 January 2021).
Fehlings, M. G., Tetreault, L. A., Wilson, J. R., Kwon, B. K., Burns, A. S., Martin, A. R.,
Hawryluk, G., et al. (2017) ‘A Clinical Practice Guideline for the Management of
Acute Spinal Cord Injury: Introduction, Rationale, and Scope’, Global Spine Journal.
SAGE Publications Ltd, pp. 84S-94S. doi: 10.1177/2192568217703387.
Grant, R. A., Quon, J. L. & Abbed, K. M. (2015) ‘Management of Acute Traumatic Spinal
Cord Injury’, Current Treatment Options in Neurology. Current Science Inc. doi:
10.1007/s11940-014-0334-1.
Hamidi, B. L. (2016) Syok Spinal.
Mahardika, I. G. (2016) Trauma Vertebra. Available at:
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/fbb8c27e328fa0c9ef0b676ee2
8a1661.pdf (Accessed: 10 January 2021).
Michael W Dailey (2010) Extrication Fundamentals - JEMS. Available at:
https://www.jems.com/operations/rescue-vehicle-extrication/extrication-fundamentals/
(Accessed: 12 January 2021).
New York Departement of Health (2018) RAPID EXTRICATION.
Pimentel, L. & Diegelmann, L. (2010) ‘Evaluation and Management of Acute Cervical Spine
Trauma’, Emergency Medicine Clinics of North America. W.B. Saunders, 28(4), pp.
719–738. doi: 10.1016/j.emc.2010.07.003.
Purves, D., Augustine, G. & Fitzpatrick, D. (2001) Neuroscience. Sinauer Associates.
Shin, L. C., Mesfin, F. B. & Dawodu, S. T. (2018) Spinal Cord Injuries: Practice Essentials,
Background, Anatomy. Available at: https://emedicine.medscape.com/article/793582-
overview#showall (Accessed: 6 January 2021).
Singhal, V. & Aggarwal, R. (2016) ‘Spinal Shock’, in Complications in Neuroanesthesia.
Elsevier Inc., pp. 89–94. doi: 10.1016/B978-0-12-804075-1.00011-0.
Wilberger, J. E. & Mao, G. (2019) Injuries of the Spinal Cord and Vertebrae - Injuries and
Poisoning - MSD Manual Consumer Version. Available at:
https://www.msdmanuals.com/home/injuries-and-poisoning/spinal-injuries/injuries-
of-the-spinal-cord-and-vertebrae (Accessed: 10 January 2021).

24

Anda mungkin juga menyukai