BLOK UROGENITAL
SKENARIO I
KELOMPOK XVII
PENDAHULUAN
SKENARIO 1
2
BAB II
3
11. Bagaimana tatalaksana dari keluhan pasien?
12. Apakah diagnosis dan diagnosis banding dari pasien?
4
daerah panggul, terutama otot bulbocavernosus. Otot ini seharusnya
berkontraksi untuk mendorong urin keluar dari kantong kemih. Jalur keluar
urin pada pria tidak lurus ke bawah, melainkan berbentuk seperti huruf S.
Maka itu, gravitasi saja tidak cukup untuk menuntaskan urin. Otot
bulbocavernosus dibutuhkan untuk mengosongkan kantong kemih. Jika
otot tersebut melemah jadi sulit mengendalikan kontraksinya. Akibatnya,
urin bisa menetes karena perlahan-lahan turun sendiri tanpa didorong otot.
Menurut sejumlah penelitian, keluhan ini sering dialami laki-laki
yang berusia di atas 50 tahun. Akan tetapi, siapa saja bisa mengalami ini
terlepas dari usianya. Ada beberapa pemicu kencing tidak lancar yang
mungkin tidak Anda sadari. Berikut adalah beberapa di antaranya.
Gangguan saluran kencing bawah (LUTS)
Pembesaran prostat jinak
Prostatitis (peradangan dan infeksi prostat)
Kelebihan berat badan atau kurang olahraga
Gangguan atau kerusakan saraf
Sering mengangkat beban berat atau batuk-batuk
5
5. Apa hubungan keluhan yang dialami pasien dengan riwayatnya yang sering
berhubungan seksual dengan PSK?
Berhubungan seksual merupakan faktor risiko dan penyebab
seseorang terkena infeksi menular seksual. Dimana orang yang telah
berhubungan seksual memiliki risiko yang lebih tinggi terkena IMS
dibanding orang yang belum berhubunga seksual. Dimana mikroorganisme
ini ditularkan melalui cairan semen dari laki-laki ke perempuan, atau dari
cairan vagina dari perempuan ke laki-laki, dan perempuan lebih rentan
terkena IMS dibanding laki-laki2. Dan ketika seseorang berhubungan
seksual yang berganti-ganti pasangan, akan meningkatkan risiko terkena
IMS sebanyak 4-6 kali.
6
Merah berkabut coklat :Darah.
d. Urine yang segar / baru biasanya berbau seperti urea atau amonia
Dalam keadaan pathologis urine dapat berbau :
Manis : Biasanya disebabkan oleh adanya Acetone, misalnya pada
koma diabetic.
Busuk : Biasanya disebabkan oleh adanya infeksi, misalnya pada
cystitis.
e. Dalam keadaan normal, urine yang baru berwana jernih.
Kekeruhan dapat terjadi oleh karena :
Phosphate : Biasanya berwarna putih, dan akan hilang bila di tetesi
asam.
Urat Amorph : Biasanya berwarna kuning coklat dan didapatkan
pada urine yang asam, dan bila dipanaskan akan menghilang.
Nanah / Pus : Biasanya berwarna putih keruh seperti susu, tetapi
bila di saring akan kembali jernih. Bila kekeruhan di sebabkan
oleh kuman, maka bila di saring urine akan tetep keruh.
f. Sementara itu kandungan pada urin normal biasanya memiliki
komposisi:
Air, Urea dan amonia
Garam mineral, terutama Nacl
Pigmen empedu yang menghasilkan warna kuning di urin
Zat zat yang kelebihan di darah, seperti : vitamin, obat obatan dan
hormon.
7
sampai ke lumen sebagai bentuk sistem imun tubuh untuk melawan infeksi
saluran kemih.
8. Apa hubungan keluhan kencing tidak lancar dengan keluhan keluar nanah?
Pada beberapa kasus peradangan pada urethra, didapatkan
jaringan fiborisis akibat reaksi dari trauma, infeksi ataupun peradangan
itu sendiri pada lumen urethra. Jaringan fibrosis tersebut dapat
menyebabkan penyempitan lumen urethra sehingga dapat menyebabkan
kesulitan keluarnya urine. Jika peradangan dibiarkan tanpa penanganan
yang tepat tetapi infeksi terus berlaunjut, maka dapat menimbulkan abses
pada jaringan fibrosis dan lumen urethra tersebut sehingga menyebabkan
fistel yang berisi nanah. Saat pengeluaran urin, bisa disertai oleh nanah
tersebut.
9. Apa saja pemeriksaan untuk mengetahui fungsi ginjal? Dan apa saja
tujugan dari masing-masing pemeriksaan?
a. Kultur urin untuk mengetahui kadar kreatinin, asam urat, bilirubin,
hormon.
b. Sediaan langsung, pemeriksaan langsung dari duh tubuh.
c. Kultur, dengan media stuart dan trans grow, spesifitas.
d. Antigen detection test and nucleic acid test
e. Pemfis ginjal meliputi palpasi dan ketok ginjal.
10. Apa saja komplikasi yang dapat timbul dari keluhan pasien?
Genorrhea
Komplikasi lokal pada pria bisa berupa tisonitis (radang kelenjar
Tyson), parauretritis, littritis (radang kelenjar Littre), dan cowperitis
(radang kelenjar Cowper). Selain itu, infeksi dapat pula menjalar ke atas
(asendens), sehingga terjadi prostatitis, vesikulitis, funkulitis, epididimitis,
yang dapat menimbulkan infertilitas. Infeksi pada uretra pars posterior,
8
dapat mengenai trigonum kadung kemih menimbulkan trigonitis, yang
member gejala poliuria, disuria terminal, dan hematuria.
BPH
a. Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi
b. Infeksi saluran kemih
c. Involusi kontraksi kandung kemih
d. Refluk kandung kemih
e. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus
berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung
urin yang akan mengakibatkan tekanan intravesika meningkat.
f. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi
g. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat
terbentuk batu endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah
keluhan iritasi. Batu tersebut dapat pula menibulkan sistitis, dan bila
terjadi refluks dapat mengakibatkan pielonefritis.
h. Hernia atau hemoroid lama-kelamaan dapat terjadi dikarenakan pada
waktu miksi pasien harus mengedan.
11. Bagaimana tatalaksana dari keluhan pasien?
Untuk tatalaksana dapat mengkonsumsi beberapa medikamentosa
dengan berbagai pilihan:
9
Doksisiklin tidak diberikan pada anak dibawah 12 tahun
IM= Intramuskular
10
genorrhea, striktura uretra, dan benign prostate hyperplasia (BPH).
5. Mengetahui faktor risiko dari diagnosis dan diagnosis banding, terutama
genorrhea, striktura uretra, dan benign prostate hyperplasia (BPH).
6. Mengetahui gejala dari diagnosis dan diagnosis banding, terutama
genorrhea, striktura uretra, dan benign prostate hyperplasia (BPH).
7. Mengetahui komplikasi dari diagnosis dan diagnosis banding, terutama
genorrhea, striktura uretra, dan benign prostate hyperplasia (BPH).
8. Mengetahui prognosis dari diagnosis dan diagnosis banding, terutama
genorrhea, striktura uretra, dan benign prostate hyperplasia (BPH).
9. Mengetahui klasifikasi, etiologi, dan patomekanisme kencing tidak lancar.
10. Mengetahui pencegahan dari diagnosis dan diagnosis banding.
11. Mengetahui edukasi mengenai diagnosis dan diagnosis banding.
12. Mengetahui tatalaksana mengenai diagnosis dan diagnosis banding.
13. Mengetahui etiologi dan patomekanisme kencing tidak lancar.
11
2. SISTEM UROGENITALIA
Sistem urinaria atau disebut juga dengan sistem ekskretori adalah
sistem organ yang memproduksi, menyimpan dan mengalirkan urin.
Pada manusia normal, organ ini terdiri dari ginjal beserta sistem
pelvikalises, ureter, buli-buli dan uretra. Sistem organ genitalia atau
reproduksi pria terdiri atas testis, epididimis, vas deferens, vesikula
seminalis, kelenjar prostat dan penis. Pada umumnya organ
urogenitalia terletak di rongga retroperitoneal dan terlindungi oleh
organ lain yang berada disekitarnya, kecuali testis, epididimis, vas
deferens, penis dan uretra.
12
HISTOLOGI
1. SISTEM REPRODUKSI PRIA
a. Skrotum
- Testis terletask di luar tubuh di dalam skrotum yang suhunya 2 sampai
3 derajat lebih rendah daripada suhu tubuh
- Suhu yang lebih rendah di skrotum disebabkan oleh penguapan keringat
dan pleksus pampiniformis
- Mekanisme arus balik pertukaran panas di vena mendinginkan darah
artero sewaktu darah masuk ke testis
b. Testis
- Jaringan ikat tebal tunika albugenia mengelilingi setiap testis dan
membentuk mediastinum testis.
- Septum jaringan ikat yang tipis dari mediastinum testis menjadi lobules-
lobulus testis
- Lobules testis mengandung tubuli seminiferi contorti dan dilapisi oleh
epitel germinal
- Epitel germinal mengandung sel spermatogenik dan sel sertoli
- Di antara tubuli seminiferi terdapat sel interstisial (leydig) penghasil-
testosteron
c. Duktus ekskretorius
- Sperma yang dilepaskan berjalan melalui tubulus rectus dan rete testis
ke ductuli efferents
- Ductuli efferentes muncul dari mediastinum dan menyelurkan sperma
ke kaput duktus epididymis
- Epitel ductuli efferentes tidak rata karena adanya sel bersilia dan tidak
bersilia di lumen
- Silia di ductuli efferentes mendorong sperma dan cairan dari tubuli
seminiferi ke duktus epididymis
- Sel tidak bersilia mengabsorbsi sebagian besar cairan testis sewaktu
cairan melewati duktus epididymis
13
- Duktus epididymis berlanjut sebagai duktus (vas) deferens yang
menyalurkan sperma k uretra penis
- Otot polos disekitar ductuli efferentes, duktus epididymis, dan duktus
deferens berkontraksi untuk mendorong sperma
- Epitel bertingkat semu dengan epitheliocytus (principal cell) dan
epitheliocytus basalis melapisi ductuli efferentes dan epididymis
- Stereosilia melapisi permukaan sel di duktus epididymis dan duktus
deferens
- Stereosilis mengabsorbsi cairan testis dan epitheliocytus stereociliatus
memfagosit sitoplasma residual
- Epitheliocytus stereociliatus di duktus epididymis juga menghasilkan
glikoprotein yang menghambat kapasitasi sperma
14
- Ditandai oleh stroma fibromyoelasticum dan concretio prostatika di
dalam kelenjar
- Menghasilkan cairan encer dengan banyak zat kimiawi, termasuk
antigen spesifik-prostat
c. Kelenjar bulbouretra
- Kelenjar kecil yang terletak di radix penis dan otot rangka diafragma
urogenital
- Duktus ekskretorius masuk ke bagian proksimal uretra penis
- Menghasilkan secret mirip-mukus yang berfungsi sebagai pelumas
uretra penis
d. Penis
- Terdiri dari jaringan erektik atau rongga vaskuler yang dilapisi oleh
endotel
- Corpora cavernosa yang erektil terletal di sisi dorsal dan corpus
spongiosum di sisi ventral
- Tunika albugenia mengelilingi corpus yang erektil
- Arteri dorsalis dan arteri profunda mendarahi corpus yang erektil
3. SISTEM URINARIUS
a. Ginjal
- System terdiri dari dua ginjal, dua ereter, satu kandung kemih, dan satu
uretra
- Hilus mengandung arteri renalis, vena renalis, dan pelvis renalis yang
dikelilingi oleh sinus renalis
- Bagian luar ginjal yang lebih gelap adalah korteks; bagian dalam yang
lebih terang adalah medulla
- Medulla mengandung banyak pyramid, yang menghadap korteks di taut
kortikomedular
15
- Apeks setiap pyramid yang bulat meluas kea rah pelvis renalis berupa
papilla renalis
- Korteks yang meluas di masing-masing sisi pyramid ginjal membentuk
kolumna renalis
- Setiap papilla dikelilingi oleh kaliks minor yang menyatu menjadi
kaliks mayor
- Keliks mayor menyatu untuk membentuk pelvis renalis bentuk corong
yang menyempit menjadi ureter yang berotot
- Urine di bentuk sebagai hasil filtrasi darah, dan absorbs dari dan
ekskresi ke dalam filtrat
- Hamper semua filtrate direabsorbsi ke dalam sirkulasi sistemik dan
sekitar 1% filtart dikeluarkan berupa urine
- Menghasilkan renin yang mengatr tekanan filtrasi dan eritropoietin
untuk pembentukan eritrosit
b. Korpuskulum ginjal
- Darah disaring di kapiler glomerulus korpuskulum untuk membentuk
ultrafiltrat
- Terdiri dari kapiler yaitu glomerulus dan kapsul bowman berlapis-dua
- Stratum viscerale kapsul mengandung podosit yang mengelilingi
kapiler glomerulus yang berfenestra
- Podosit memperlihatkan cytotrabbeculae dan cytopodium yang
membentuk diaphragm rimae di sekitar kapiler
- Stratum perietale diilapisi oleh epitel selapis gepeng pada kapsul
glomerulus
- Diantara stratum viscerale dan parietale terdapat spatium capsulare
(urinarium) yang menahan filtrate glomerulus
- Di polus vascularis, arteriol aferen dan eferen masuk dan keluar dari
korpuskulum ginjal
- Di polus urinarius yang berlawanan, ultrafiltrat masuk ke tubulus
kontortus proksimal
16
c. Tubulus ginjal
- Filtart glomerulus meninggalkan korpuskulum ginjal dan masuk ke
tubulus ginjal yang terbentang hingga duktus koligens
- Tubulus awal adalah tubulus kontortus proksimal yang bermula di polus
urinarius korpuskulum ginjal
- Ansa henle terdiri dari tubulus-tubulus desendens yang tebal, lengkung
yang tipis, dan asendens yang tebal
- Tubulus kontortus distal naik ke dalam korteks ginjal dan menyatu
dengan tubulus koligens
- Nefron jukstamedularis memiliki ansa henle yang sangat panjang
- Tubulus koigens bukan merupakan bagian nefron, tetapi menyatu
dengan duktuss koligens yang lebih besar untuk membentuk duktus
papilaris
- Jauh di dalam medulla, duktus papilaris dilapisi oleh epitel silindris dan
keluar di area kribosa
- Radius medullaris di korteks adalah duktus koligens, pembuluh darah,
dan bagian lurus nefron
17
- Lebih panjang daripad tubulus kontortus distal dan lebih sering
dijumpai di korteks dekat korpuskulum ginjal
b. Ansa henle
- Dinefron jukstamedularis menghasilkan urine hipertonik karena
countercurrent multiplier system
- Osmolaritas interstisial yainggi menarik air dari filtart
- Kapiler vasa rekta menyerap air dari intterstisium dan
mengembalikannya ke sirkulasi sistemik
c. Tubulus kontortus distal
- Lebih pendek daripada tubulus kontortus proksimal, jarrang ditemukan
di korteks, dan tidak memiliki limbus microvillosus
- Membrane basolateral memperlihatkan lipatan ke dalam dan
mengandung banyak mitokondria
- Dibawah pengaruh aldosterone, ion natrium diabsorpsi secara aktif dari
filtrate
- Kapiler peritubuler mengembalikan ion ke sirkulasi sistemik unutk
mempertahankan keseimbangan yang vital
d. Apparatus jukstaglomerular
- Terletak di dekan korpuskulum ginjal dan tubulus kontortus distal
- Terdiri dari sel jukstaglomerular di arteriol aferen dan macula densa di
tubulus kontortus distal
- Fungsi utama adalah mempertahankan tekanan darah yang sesuai untuk
fiiltrasi darah di korpuskulum ginjal
- Berespons terhadap perubahan konsentrasi natrium klorida di filtart
glomerulus
- Penurunan tekanan darah dan kandungan ion menyebabkan pelepasan
enzim renin oleh sel jukstaglomerular
- Renin yang dibebaskan akhirnya mengubah protein plasma menjadi
angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat
18
- Angiotensin II merangsang pelepasan aldosterone, yang bekerja di
tubulus kontortus distal
- Tubulus kontortus distal mengabsorpsi NaCl dengan air, meningkatkan
volume dan tekanan darah
FISIOLOGI
Ginjal (Ren)
Fungsi ginjal adalah memegang peranan penting dalam pengeluaran zat-zat toksis atau
racun, mempertahankan suasana keseimbangan cairan, mempertahankan
keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan tubuh, dan mengeluarkan sisa-sisa
metabolisme akhir dari protein ureum, kreatinin dan amoniak.
Proses pembentukan urin:
a. Proses filtrasi, di glomerulus
Terjadi penyerapan darah yang tersaring adalah bagian cairan darah kecuali
protein. Cairan yang tersaring ditampung oleh simpai bowmen yang terdiri
dari glukosa, air, sodium, klorida, sulfat, bikarbonat, dll, diteruskan ke
tubulus ginjal. Cairan yang disaring disebut filtrat glomerulus.
b. Proses reabsorbsi
Pada proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar dari glukosa,
sodium, klorida fosfat dan beberapa ion bikarbonat. Prosesnya terjadi secara
pasif (obligator reabsorbsi) di tubulus proximal. Sedangkan pada tubulus
distal terjadi kembali penyerapan sodium dan ion bikarbonat bila diperlukan
tubuh. Penyerapan terjadi secara aktif (reabsorbsi fakultatif) dan sisanya
dialirkan pada papilla renalis.
c. Proses augmentasi
Sisa dari penyerapan kembali yang terjadi di tubulus distal dialirkan ke
papilla renalis selanjutnya diteruskan ke luar.
19
Mikturisi
Mikturisi ialah proses pengosongan kandung kemih setelah terisi dengan urin.
Mikturisi melibatkan 2 tahap utama, yaitu:
Kandung kemih terisi secara progesif hingga tegangan pada dindingnya
meningkat melampaui nilai ambang batas, keadaan ini akan mencetuskan
tahap ke-2.
Adanya refleks saraf (disebut refleks mikturisi) yang akan mengosongkan
kandung kemih. Pusat saraf miksi berada pada otak dan spinal cord (tulang
belakang). Sebagian besar pengosongan diluar kendali tetapi pengontrolan
dapat dipelajari “latih”. Sistem saraf simpatis : impuls menghambat vesika
urinaria dan gerak spinchter interna, sehingga otot detrusor relax dan
spinchter interna konstriksi. Sistem saraf parasimpatis : impuls
menyebabkan otot detrusor berkontriksi, sebaliknya spinchter relaksasi
terjadi mikturisi
Reflex berkemih
Saat volume urine mencapai volume ±300 ml, vesical urinaria akan tergang
dan mengirimkan impuls afferent menuju otak, sehingga pada saat ini,
orang tersebut sadar ingin berkemih.
Impuls afferent dibawa serabut afferent melalui nervi splanichi pelvici
menuju medulla spinalis sampai sacral II-IV. Sebagian serabut afferent
berjalan bersama saraf simpatis masuk ke medulla spinalis segmen lumbal
I dan II
Impuls afferent berjalan melaui medulla spinalis segmen I-IV yang akan
meningkatkan kontraksi muculus detrusor vesicae dan merelaksasi
musculus spinchter vesical. Impuls efferent lainnya yang dikirim nervus
pudendus akan merelaksasi musculus spinchter urethra
20
a. Genorrhea
1) Pemeriksaan Fisik:
Dilihat apakah keluar discharge dari OUE
2) Pemeriksaan Penunjang:
a) Mikroskopis
Pemeriksaan mikroskopis yang digunakan adalah
dengan pengecatan gram. Pengambilan sampel dari swab
endoservik pada wanita. Hasil positif akan tampak
diplokokus gram negatif. Pengecatan positif pada wanita
memiliki sensitivitas sebesar 30% - 50% dan spesifitas
sebesar 90-99 %.
b) Kultur
Untuk identifikasi dilakukan pembiakan dengan
menggunakan media selektif yang diperkaya yaitu Media
Thayer Martin yang mengandung vankomisin, dan nistatin
yang dapat menekan pertumbuhan bakteri Gram positif,
Gram negatif dan jamur, dimana tampak koloni berwarna
putih keabuan, mengkilat dan cembung. Kultur diinkubasi
pada suhu 35C – 37C dan atmosfer yang mengandung CO2
5%. Pemeriksaan kultur dengan bahan dari duh uretra pria,
sensitivitasnya lebih tinggi 94% - 98% daripada duh
endoserviks 85 % - 95%, sedangkan spesifisitasnya sama
yaitu 99%.
c) Pemeriksaan definitif
Tes oksidase
Pada tes oksidase koloni genus Neisseria menghasilkan
indofenol oksidase sehingga memberikan hasil tes
oksidase positif. Tes oksidase dilakukan dengan cara
meneteskan reagen 1% tetrametil parafenilen diamin
monohidrokhlorid pada koloni. Jika hasil tes positif
21
maka akan berubah menjadi merah jambu dan makin
lama semakin menghitam. Sebaliknya hasil negatif
menunjukkan warna koloni tidak berubah atau tetap
berwarna coklat. Dalam tes ini, reagen tersebut
membunuh mikroorganisme tetapi tidak merubah
morfologi dan sifat pewarnaan.
Tes fermentasi
Tes fermentasi digunakan untuk mengidentifikasi
bakteri yang mampu memfermentasikan karbohidrat.
Pada tes fermentasi terjadi perubahan warna pada media
glukosa yang berubah menjadi warna kuning, artinya
bakteri ini membentuk asam dari fermentasi glukosa.
Media glukosa juga terbentuk gelembung pada tabung
Durham yang diletakkan terbalik didalam tabung media,
artinya hasil fermentasi berupa gas.
b. Striktur Uretra
1) Pemeriksaan Fisik
Inspeksi:
meatus eksternus yang sempit, pembengkakan serta fistel di
daerah penis, skrotum, perineum, suprapubik
Palpasi:
teraba jaringan parut sepanjang perjalanan uretra anterior pada
ventral penis; muara fistel mengeluarkan nanah bila dipijat
2) Pemeriksaan Penunjang
a) Laboratorium:
o Urine dan kultur urine untuk melihat adanya infeksi.
o Ureum dan kreatinin untuk menilai fungsi/faal ginjal.
b) Radiologi:
Diagnosis pasti dapat dibuat dengan uretrografi, yaitu
retrograde uretrografi (RUG) dan voiding cysto uetrografi
22
(VCUG). Cara melakukan pemeriksaan ini adalah dengan
memasukkan bahan/zat kontras ke dalam urethra menggunakan
adaptor khusus yang terdapat pada lapisan ujung penis. Film
dibuat pada saat kontras dimasukkan dan setelah berkemih.
Dengan pemeriksaan ini diharapkan disamping dapat dibuat
diagnosis striktur urethra juga dapat ditentukan panjang
striktur, ini penting untuk perencanaan terapi/operasi.
c) Uretroskopi:
Pemeriksaan dengan endoskopi untuk melihat secara langsung
adanya striktur.
d) Uroflometri:
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menentukan jumlah urine
yang dipancarkan per detik normal flow maksimum laki-laki
adalah 15 ml/detik, dan wanita 25 ml/detik.
c. Hiperplasia Prostat Benigna (BPH)
1) Pemeriksaan Fisik
Dilakukan pemeriksaan colok dubur/rectal toucher dan
kemudian meraba prostat pasien yang berada pada bagian ventral
rectum. Kemudian melakukan pengukuran terhadap kelenjar
prostat tersebut seberapa besar prostat serta seberapa sulit untuk
meraba pole atas prostat pasien. Selain itu juga dinilai bagaimana
konsistensi dari prostat pasien serta permukaan prostat pasien dan
juga dinilai mobilitas dari prostat pasien.
2) Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan Laboratorium
Dilakukan pemeriksaan urinalisis untuk menyingkirkan
infeksi dan hematuria. Serum kreatinin diperiksa untuk
evaluasi fungsi ginjal. Insufisiensi renal didapatkan dari 10%
penderita dengan prostatism dan dibutuhkan pemeriksaan
saluran kemih bagian atas. Pasien dengan insufisiensi renal
23
memiliki resiko lebih tinggi untuk mengalami komplikasi
pasca operasi.
Pemeriksaan PSA serum biasanya dilakukan pada awal terapi
namun hal ini masih kontroversi.PSA adalah glikoprotein
yang diproduksi terutama di sel epitel yang tersusun pada
duktus kelenjar prostat. PSA terutama terdapat pada jaringan
prostat, dan juga terdapat dalam jumlah kecil pada serum.
Adanya kerusakan pada struktur jaringan prostat, seperti
penyakit pada prostat, inflamasi, atau trauma, menyebabkan
PSA lebih banyak memasuki sistem sirkulasi. Peningkatan
kadar PSA serum menjadi penanda penting dari berbagai
penyakit prostat, termasuk diantaranya BPH, prostatitis, dan
kanker prostat.
Nilai normal dari PSA adalah di bawah 4 ng/ml. Dikatakan
tingkat inflamasi pada prostat berkorelasi positif dengan nilai
PSA.
Kultur urin dilakukan untuk mengidentifikasi adanya infeksi
saluran kemih.Dalam keadaan normal, urin bersifat steril.
Saluran kemih terdiri dari ginjal, sistem pengaliran (kaliks,
pyelum, dan ureter), dan kandung kemih (penyimpanan urin).
Pada wanita, urin keluar dari kandung kemih melalui uretra
yang bermuara dekat dengan vagina. Pada pria, urin keluar
dari kandung kemih ke uretra melewati jaringan prostat
(Shoskes dkk, 2011).
b) Pencitraan/Radiologi
Pencitraan saluran kemih bagian atas (IVP dan USG)
dianjurkan apabila didapatkan kelainan penyerta dan atau
terdapat komplikasi misalnya hematuria, ISK, insufisiensi
renal dan riwayat batu ginjal.
c) Pemeriksaan Lainnya
24
Sistoskopi tidak direkomendasikan untuk dianostik tetapi
digunakan untuk terapi invasif. Pemeriksaan tambahan
berupa cystometrogram dan profil urodinamik dilakukan
pada pasien yang dicurigai memiliki kelainan neurologis.
Pemeriksaan flow rate dan residu post miksi merupakan
pemeriksaan tambahan.
25
terhadap kerja DHT sebagai mediator pertumbuhan kelenjar prostat.
26
hiperplasi akibat dari peningkatan jumlah sel. Secara mikroskopik
tampak pola pertumbuhan yang berbentuk noduler yang terdiri dari
jaringan stromal dan ephitelial, stroma terdiri dari jaringan kolagen
dan otot polos
Penampilan komponen-komponen BPH secara histologis yang
beragam menjelaskan potensial respon terhadap pengobatan. Terapi
dengan α-bloker memberikan respons yang baik pada pasien BPH
dengan komponen dominan otot polos, sementara bila komponen yang
dominan adalah ephitel, memberikan respons yang baik terhadap 5-α
reduktase inhibitor. Penderita BPH dengan komponen dominan
kolagen kurang respon terhadap medikamentosa.
Pembesaran nodul pada zona transitional menekan zona luar
pada prostat yang mengakibatkan terbentuknya surgical capsule.
Kapsul ini memisahkan zona transisional dengan zona perifer, dan
juga merupakan batas dilakukannya prostatektomi terbuka.
Keluhan dari BPH diakibatkan oleh adanya obstruksi dan
sekunder akibat dari respon kandung kemih. Komponen obstruksi
dapat dibagi menjadi obstruksi mekanik dan dinamik. Pada hiperplasi
prostat, obstruksi mekanik terjadi akibat penekanan terhadap lumen
uretra atau leher buli, yang mengakibatkan resistensi bladder outlet.
Sebelum pembagian zona klasifikasi dari prostat, ahli urologi
membagi menjadi 3 lobus yaitu 2 lobus lateral dan 1 lobus medial.
Ukuran prostat pada pemeriksaan rectal toucher (RT) memiliki
korelasi yang kurang terhadap timbulnya gejala, karena pada RT lobus
medial kurang atau tidak teraba.
Komponen obstruksi dinamik menjelaskan berbagai jenis
keluhan penderita. Stroma prostat terdiri dari otot polos dan kolagen,
yang dipersyarafi oleh saraf adrenergik. Tonus uretra pars prostatika
diatur secara autonom, sehingga penggunaan α-blocker menurunkan
tonus ini dan menimbulkan disobstruksi.
27
Keluhan pada saat berkemih pada pasien BPH akibat dari
respons sekunder kandung kemih. Obstruksi pada kandung kemih
mengakibatkan hipertrofi dan hyperplasia dari otot detrusor disertai
penimbunan kolagen, pada inspeksi tampak penebalan otot detrusor
berbetuk sebagai trabekulasi, apabila berkelanjutan mengakibatkan
terjadinya hernia mukosa diantara otot detrusor yang mengakibatkan
terbentuknya divertikel.
28
Pria, dari beberapa kasus khusus yang berisiko tinggi terkena striktur
uretra, yaitu:
Memiliki satu atau lebih penyakit seksual
Menggunakan kateter (tabung kecil fleksibel yang dimasukkan
ke dalam tubuh untuk mengalirkan urin dari kandung kemih
Memiliki uretritis (radang dan iritasi pada uretra)
Memiliki prostat yang besar
c. Hiperplasia Prostat Benigna (BPH)
Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya BPH adalah:
1) Kadar Hormon
Kadar hormon testosteron yang tinggi berhubungan dengan
peningkatan risiko BPH. Testosteron akan diubah menjadi
androgen yang lebih poten yaitu dihydrotestosteron (DHT) oleh
enzim 5α-reductase, yang memegang peran penting dalam proses
pertumbuhan sel-sel prostat.
2) Usia
Pada usia tua terjadi kelemahan umum termasuk kelemahan pada
otot detrusor dan penurunan fungsi persarafan. Perubahan karena
pengaruh usia tua menurunkan kemampuan buli-buli dalam
mempertahankan aliran urin pada proses adaptasi oleh adanya
obstruksi karena pembesaran prostat, sehingga menimbulkan
gejala.
3) Ras
Orang dari ras kulit hitam memiliki risiko 2 kali lebih besar untuk
terjadi BPH dibanding ras lain.
4) Riwayat keluarga
Riwayat keluarga pada penderita BPH dapat meningkatkan risiko
terjadinya kondisi yang sama pada anggota keluarga yang lain.
Semakin banyak anggota keluarga yang mengidap penyakit ini,
semakin besar risiko anggota keluarga yang lain untuk dapat
29
terkena BPH.
5) Obesitas
6) Pola diet
7) Aktivitas seksual
8) Kebiasaan merokok
9) Kebiasaaan minum-minuman beralkohol
10) Olahraga
11) Penyakit diabetes mellitus
30
o Rasa sakit
b. Striktura uretra
Striktur uretra terjadi karena menyempitnya uretra karena
scarring/luka yang dapat menimbulkan obstruksi pada saluran bawah
kemih. Konsekuensi dari obstruksi ini dapat menimbulkan gejala yaitu
ganguan miksi, yang jika berkelanjutan dapat menyebabkan kerusakan
saluran kemih atau bahkan malfungsi ginjal. Gejala utamanya adalah
obstruksi dan iritasi miksi dengan meningkatnya waktu berkemih dan
merasa tidak komplit saat pengosongan vesica urinaria, dikombinasi
dengan meningkatnya frekuensi miksi dan urgensi. Jika pasien
sebelumnya pernah menggunakan kateter jangka lama karena
treatment penyakit lain, dapat menjadi gejala yang memungkinlan
terjadinya striktur. Gejala yang ditimbulkan dapat menyerupai
epididimitis atau prostatitis. Beberapa pasien tidak timbul gejala
sampai terjadi retensi urin, sejak awal pembentukan striktur, vesica
urinaria akan mengkompensasi tekanan infravesical yang tinggi
dengan cara hipertrofi detrusor. Hal ini menimbulakn peningkatan
tekanan intravesical selama miksi dan dapat dilihat pada USG adanya
penebalan dinding VU. Selanjutnya, dekompensasi ini dapat
menyebabkan retensi urin yang nantinya dapat menimbulkan gejala
tekanan tinggi reflux atau malfungsi ginjal.
c. Hiperplasia Prostat Benigna (BPH)
Gejala-gejala BPH dapat dibagi menjadi dua yaitu :
31
genorrhea, striktura uretra, dan benign prostate hyperplasia (BPH).
a. Genorrhea
Komplikasi terjadi bila pengobatan tidak segera dilakukan atau
pengobatan sebelumnya tidak adekuat. Infeksi dapat menjalar ke uretra
bagian belakang secara ascendent. Pada pria dapat memberi gambaran
klinis antara lain: tisonitis, parauretritis, litritis, cowperitis, prostatitis,
vesikulitis, funikulitis dan epididimitis, sistitis.Sedangkan pada
wanita, komplikasi yang dapat terjadi antara lain: salpingitis, penyakit
radang panggul (PRP), parauretritis dan bartolinitis.
b. Striktur Uretra
• Stasis urine (Retensio urine)
• Infeksi saluran kemih
• Terbentuknya divertikel uretra/buli-buli
• Abses periuretra
• Batu uretra
• Fistel uretro-kutan
• Karsinoma uretra
c. Hiperplasia Prostat Beningna (BPH)
Kerusaakan traktus urinarius bagian atas akibat obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang
menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan
menimbulkan hernia dan hemoroid. Urin yang berada di vesico
urinaria akan membentuk batu endapan yang menimbulkan iritasi dan
hematuria. Lalu, dalam vesika urinaria menjadikan media
pertumbuhan mikroorganisme yang dapat menyebabkan sistitis dan
bila terjadi refluks menyebabkan pyelonephritis. Selain itu dapat
menimbulkan adanya inkontinensia urin, stenosis leher kandung
kemih, striktur urethra, ejakulasi retrograde, disfungsi ereksi, dan
retensi urin.
32
8. Mengetahui prognosis dari diagnosis dan diagnosis banding, terutama
genorrhea, striktura uretra, dan benign prostate hyperplasia (BPH).
a. Gonore
Prognosis pada penderita dengan gonore bervariasi berdasarkan
cepatnya penyakit diketahui dan diterapi. Sebagian besar infeksi
gonore memberikan respons yang cepat terhadap pengobatan dengan
antibiotik. Jika pengobatan cepat diberikan dan tepat, penderita dapat
sembuh sempurna.
b. Striktur uretra
Striktura uretra kerap kali kambuh sehingga pasien harus sering
menjalani pemeriksaan yang teratur oleh dokter. Kontrol berkala
dilakukan dengan melakukan evaluasi pancaran kencing. Observasi
dilakukan selama 1 tahun. Apabila tidak menunjukkan tanda-tanda
kekambuhan, maka penyakit ini dinyatakan sembuh. Untuk mencegah
kekambuhan perlu dilakukan:
Dilatasi berkala dengan busi
CIC (clean intermitten catheterization), yaitu pasien dianjurkan
untuk melakukan kateterisasi secara periodik pada waktu tertentu
dengan kateter yang bersih (tidak perlu steril) guna mencegah
timbulnya kekambuhan striktura.
c. Hiperplasia Prostat Benigna (BPH)
Prognosis untuk BPH berubah-ubah dan tidak dapat diprediksi
pada tiap individu walaupun gejalanya cenderung meningkat. Menurut
penelitian, kanker prostat merupakan kanker pembunuh nomer 2 pada
pria setelah kanker paru-paru. BPH yang telah diterapi juga
menunjukkan berbagai efek samping yang cukup merugikan bagi
penderita.
33
a. Peningkatan frekuensi miksi
Adalah kebutuhan untuk buang air kecil lebih sering dari
biasanya. Diuretik adalah obat yang akan meningkatkan frekuensi
urin. Penyebab peningkatan frekuensi urin yang paling sering pada
wanita dan anak-anak adalah Infeksi Saluran Kencing (ISK),
sedangkan pada laki-laki lanjut usia adalah pembesaran kelenjar
prostat.
b. Peningkatan urgensi miksi
Adalah keinginan untuk buang air kecil yang tiba-tiba dan
mendesak. Hal ini sering dikaitkan dengan inkontinensia urin, poliuria,
nokturia, dan interstitial cystitis. Keluhan meningkat seiring
pertambahan usia.
c. Nyeri saat miksi
Dalam kedokteran, khususnya urologi, disuria mengacu pada
rasa sakit saat buang air kecil. Sulit buang air kecil terkadang
digambarkan sebagai disuria. Hal ini adalah salah satu contoh dari
gejala iritatif kandung kemih (kadang kala disebut juga gejala saluran
kencing bawah), yang meliputi nokturia dan peningkatan frekuensi
kencing.
d. Nokturia
Adalah keluhan yang megharuskan seseorang sering bangun di
malam hari untuk kencing. Penyebabnya bermacam-macam dan sulit
dibedakan pada banyak pasien.
Gejala Obstruktif
a. Pancaran lemah
b. Terputus-putus
c. Menetes di akhir miksi
d. Retensi urin
Adalah ketidakmampuan untuk mengosongkan vesica urinaria
secara keseluruhan. Onsetnya dapat mendadak atau bertahap. Pada
34
onset mendadak gejala yang muncul diantaranya kehilangan kontrol
vesica urinaria, nyeri perut bawah ringan, dan lemahnya pancaran urin.
Apabila diderita dalam jangka waktu yang lama menyebabkan resiko
Infeksi Saluran Kencing (ISK).
Penyebab keluhan ini adalah penyumbatan uretra, yang dapat
disebabkan oleh Benign Prostatic Hyperplasia (BPH), striktur uretra,
batu ginjal, sistokel, konstipasi, atau tumor. Selain itu retensi urin juga
dapat disebabkan karena masalah saraf dari diabetes, trauma, masalah
tulang belakang, stroke, atau keracunan logam berat.
Beberapa obat-obatan dan kelemahan otot vesica urinaria juga
dapat menyebabkan retensi urin.
e. Inkontinensia urin
Ditandai dengan pelepasan urin yang tidak disengaja dari vesica
urinaria yang terisi penuh, seringkali tanpa adanya dorongan untuk
buang air kecil.
Kondisi ini terjadi pada orang-orang yang mengalami
penyumbatan pada vesica urinaria (BPH, kanker prostat, atau
penyempitan uretra), karena efek samping dari beberapa obat, atau
ketika otot vesica urinaria terlalu lemah untuk mengosongkan secara
normal.
35
obat.
7) Komplikasi IMS dapat membahayakan pasien.
Menjelaskan pilihan perilaku seksual yang aman
♦Cara ABCD
A = Abstinence (tidak melakukan hubungan seksual untuk sementara
waktu)
B = Be faithful (setia pada pasangan)
C = Condom (gunakan kondom bila tidak mau melaksanakan A dan
B, termasuk menggunakan kondom sebelum IMS yang dideritanya
sembuh)
D = no Drugs Tidak menggunakan obat psikotropik atau zat adiktif
lainnya
♦ Ada juga cara lain yaitu dengan mengganti hubungan seksual
penetratif berisiko tinggi (hubungan seksual anal maupun vaginal yang
tidak terlindung) dengan hubungan seksual non-penetratif berisiko
rendah).
b. Hiperplasia Postat Beningna (BPH)
Risiko pembesaran prostat jinak (BPH) dapat dicegah melalui
konsumsi makanan yang kaya akan serat dan protein, serta rendah
lemak. Berikut ini contoh-contoh makanan dengan kadar serat tinggi:
Kacang hijau
Beras merah
Gandum
Brokoli
Kubis
Lobak
Bayam
Apel
Berikut ini contoh-contoh makanan dengan kadar protein tinggi:
Ikan
36
Telur
Kacang kedelai
Susu rendah lemak
Dada ayam
Keju
37
seperti misalnya para wanita dan pria penjaja seks, remaja,
pengemudi truk jarak jauh, anggota militer termasuk anggota
kepolisian, serta para narapidana
Penatalaksanaan kasus IMS secara paripurna
Deteksi dini terhadap infeki yang bersifat simtomatik maupun
asimtomatik
b. Striktur Urethra
Elemen penting dalam pencegahan adalah menangani infeksi
uretral dengan tepat. Pemakaian kateter uretral untuk drainase dalam
waktu lama harus dihindari dan perawatan menyeluruh harus
dilakukan pada setiap jenis alat uretral, termasuk kateterisasi.
c. Hiperplasia Prostat Benigna (BPH)
Edukasi mengenai hal-hal yang dapat memperburuk keluhan:
Jangan mengkonsumsi kopi atau alkohol
Kurangi makanan dan minuman yang mengiritasi buli-buli
(kopi, coklat)
Kurangi makanan pedas atau asin
Jangan menahan kencing terlalu lama
38
2) Pemberian farmakologi dengan antibiotik: Tiamfenikol, 3,5 gr per
oral (p.o) dosis tunggal, atau ofloksasin 400 mg (p.o) dosis
tunggal, atau Kanamisin 2 gram Intra Muskular (I.M) dosis
tunggal, atau spektinomisin 2 gram I.M dosis tunggal. Catatan:
tiamfenikol, ofloksasin dan siprofloksasin merupakan
kontraindikasi pada kehamilan dan tidak dianjurkan pada anak
dan dewasa muda.
Dari data tersebut dapat menjadi pertimbangan untuk
melakukan penelitian sensitivitas antibiotik siprofloksasin sebagai
salah satu pilihan obat alternatif yang dapat digunakan untuk
pengobatan penyakit gonore.
b. Striktur Urethra
Striktur uretra tidak dapat dihilangkan dengan jenis obat-obatan
apapun. Pasien yang datang dengan retensi urin, secepatnya dilakukan
sistostomi suprapubik untuk mengeluarkan urin, jika dijumpai abses
periuretra dilakukan insisi dan pemberian antibiotika. Pengobatan
striktur uretra banyak pilihan dan bervariasi tergantung panjang dan
lokasi dari striktur, serta derajat penyempitan lumen uretra.
Tindakan khusus yang dilakukan terhadap striktur uretra adalah:
1) Bougie (Dilatasi)
Sebelum melakukan dilatasi, periksalah kadar hemoglobin
pasien dan periksa adanya glukosa dan protein dalam urin.
Tersedia beberapa jenis bougie. Bougie bengkok merupakan
satu batang logam yang ditekuk sesuai dengan kelengkungan
uretra pria; bougie lurus, yang juga terbuat dari logam,
mempunyai ujung yang tumpul dan umumnya hanya sedikit
melengkung; bougie filiformis mempunyai diameter yang lebih
kecil dan terbuat dari bahan yang lebih lunak.
2) Uretrotomi interna
Tindakan ini dilakukan dengan menggunakan alat endoskopi
39
yang memotong jaringan sikatriks uretra dengan pisau Otis atau
dengan pisau Sachse, laser atau elektrokoter.
Otis uretrotomi dikerjakan pada striktur uretra anterior
terutama bagian distal dari pendulans uretra dan fossa navicularis,
otis uretrotomi juga dilakukan pada wanita dengan striktur uretra.
3) Uretrotomi eksterna
Tindakan operasi terbuka berupa pemotongan jaringan
fibrosis kemudian dilakukan anastomosis end-to-end di antara
jaringan uretra yang masih sehat, cara ini tidak dapat dilakukan
bila daerah strikur lebih dari 1 cm.
c. Hiperplasia Prostat Benigna (BPH)
1) Modalitas terapi BPH adalah :
a) Observasi yaitu pengawasan berkala pada klien setiap 3-6
bulan kemudian setiap tahun tergantung keadaan klien.
b) Medikamentosa : terapi ini diindikasikan pada BPH dengan
Keluhan ringan, sedang, sedang dan berat tanpa disertai
penyulit. Obat yang digunakan berasal dari phitoterapi
(misalnya : Hipoxis rosperi, serenoa repens, dll), gelombang
alfa blocker dan golongan supresor androgen.
c) Indikasi pembedahan pada BPH adalah :
o Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah
retensi urin akut (100 ml).
o Klien dengan residual urin yaitu urine masih tersisa di
kandung kemih setelah klien buang air kecil > 100 Ml.
o Klien dengan penyulit yaitu klien dengan gangguan
system perkemihan seperti retensi urine atau oliguria.
o Terapi medikamentosa tidak berhasil. 5) Flowmetri
menunjukkan pola obstruktif.
2) Pembedahan dapat dilakukan dengan:
a) TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat).
40
o Jaringan abnormal diangkat melalui rektroskop yang
dimasukan melalui uretra.
o Tidak dibutuhkan balutan setelah operasi.
o Dibutuhkan kateter foley setelah operasi.
b) Prostatektomi Suprapubis
o Penyayatan perut bagian bawah dibuat melalui leher
kandung kemih.
o Diperlukan perban luka, drainase, kateter foley, dan
kateter suprapubis setelah operasi.
c) Prostatektomi Neuropubis
o Penyayatan dibuat pada perut bagian bawah.
o Tidak ada penyayatan pada kandung kemih.
o Diperlukan balutan luka, kateter foley, dan drainase.
d) Prostatektomi Perineal
o Penyayatan dilakukan diantara skrotum dan anus.
o Digunakan jika diperlukan prostatektomi radikal.
o Vasektomi biasanya dikakukan sebagai pencegahan
epididimistis.
o Persiapan buang hajat diperlukan sebelum operasi
(pembersihan perut, enema, diet rendah sisa dan
antibiotik).
o Setelah operasi balutan perineal dan pengeringan luka
(drainase) diletakan pada tempatnya kemudian
dibutuhkan rendam duduk.
41
ejakulasi dini kedalam kandung kemih.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari kegiatan diskusi tutorial skenario 2 blok 10 ini mahasiswa mampu
42
menjelaskan tentang fisiologi, anatomi, serta histologi dari traktus urogenital.
Mahasiswa juga mampu menjelaskan mengenai kencing tidak lancar, baik itu
etiologi, patomekanisme, maupun klasifikasinya. Mahasiswa juga mampu
menjelaskan mengenai diagnosis dan diagnosis banding dari skenario, yaitu
gonorrhea, striktura urethra, serta benign prostate hyperplasia (BPH), masing-
masing mulai dari etiologi, patofisiologi, faktor risiko, tatalaksana, komplikasi,
prognosis, serta kaitannya dengan kencing tidak lancar.
B. Saran
Kegiatan tutorial skenario 1 blok 14 ini telah berjalan dengan baik. Pada
saat pertemuan pertama dalam membahas jump 1 sampai dengan jump 5 kami
telah cukup aktif mencurahkan pendapat dan prior knowledge yang telah kami
miliki sebelumnya. Namun, masih ada beberapa pertanyaan yang belum
terjawab di pertemuan pertama dan masih ada beberapa anggota yang belum
mencurahkan pendapatnya. Hal ini diharapkan tidak terjadi lagi dalam kegiatan
tutorial selanjutnya. Pertemuan kedua pada skenario 2 juga berjalan dengan
baik. Masing-masing anggota kelompok telah mencari dan mengumpulkan
informasi secara mandiri untuk pertemuan kedua ini, sehingga semua
pertanyaan yang belum terjawab di pertemuan pertama serta learning object
dapat terjawab.
Kegiatan tutorial kedepannya sebaiknya masing-masing anggota
kelompok telah mempersiapkan materi atau prior knowledge yang
berhubungan dengan topik pada skenario, sehingga semua anggota kelompok
dapat berperan aktif dalam kegiatan tutorial ini dan tidak ada anggota yang
hanya diam memperhatikan. Dari kegiatan tutorial diharapkan mahasiswa dapat
berpikir kritis dalam menghadapi suatu masalah, berpendapat dalam suatu
forum diskusi, dan menemukan pemecahan permasalahan melalui sumber-
sumber yang telah teruji kebenarannya.
43
44
DAFTAR PUSTAKA
Achmad IA. (1995). Striktur Uretrhra. Dalam: Reksoprodjo S. Kumpulan Kuliah Ilmu
Bedah. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Basuki B Punomo, (2000), Dasar-Dasar Urologi, Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya, Malang
CDC. 2014. Gonorrhea – CDC Fact Sheet. https://www.cdc.gov/std/gonorrhea/stdfact-
gonorrhea.htm diakses pada 16 Maret 2018
Cooperberg MR, Presti JC, Shinohara K, Carroll PR. (2013) Neoplasma in Prostate
Gland. in McAninch JW, Lue TF (eds). Smith and Tanagho’s General
Urology. 18th ed. New York: Lange Medical Book/McGraw-Hill.
Deters, Levi A. 2011. Benign Prostatic Hypertrophy. Retrieved from:
https://emedicine.medscape.com/article/437359-overview. [Diakses pada 19
Maret 2018].
Eroschenko, V.P. (2014). Atlas Histologi di Fiore dengan Korelasi Fungsional Edisi
11. Jakarta: EGC
Guyton & Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta:EGC.
Ikatan Ahli Urologi Indonesia(IAUI). 2015. Panduan Penatalaksanaan Klinis:
Pembesaran Prostat Jinak (Benign Prostatic Hyperplasia/BPH). Jakarta: Ikatan
Ahli Urologi Indonesia.
Jawas, FA., Murtiastutik,D. (2008). Penderita Gonore di Divisi Penyakit Menular
Seksual Unit Rawat Jalan Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSU Dr. Soetomo
Surabaya Tahun 2002–2006.
http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/BIKKK_vol%2020%20no%203_des%
202008_Acc_4.pdf. Diakses 17 Maret 2018
Keluarga Besar Asisten Anatomi 2013. (2016). Rangkuman Anatomi Umum Lengkap
(RAUL) Semester 4. Surakarta: Laboratorium Anatomi dan Embriologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Pedoman Nasional Penanganan
Infeksi Menular Seksual. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
45
Purnomo BB., Seto S. 2003. Striktur Urethra dalam: Dasar-Dasar Urologi Edisi Kedua.
Malang: Penerbit fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.
Rakhmawati, PI. 2016. Benign Prostatic Hyperplasia
http://repository.ump.ac.id/1352/3/PUSPITA%20INDAH%20RAKHMAWATI
%20BAB%20II.pdf. Diakses 17 Maret 2018
Sjaiful F. (1990). Standarisasi Diagnostik dan Penatalaksanaan Uretritis Gonore
Akuta Komplikasi. Jakarta: Balai penerbit FK UI
Tritschler S., Roosen A., Fullhase C., Stief CG, Rubben H. 2013. Urethral Stricture :
Etiology, Investigation and Treatments. Doi : 10.3238/arztebl.2013.0220
Yudhanto, BP. 2012. Striktur Urethra.
https://fkuwks2012c.files.wordpress.com/2015/11/striktur-urethra.ppt. Diakses
17 Maret 2018
http://erepo.unud.ac.id/16603/3/0992162048-3-BAB_II.pdf
http://erepo.unud.ac.id/16970/3/0914028204-3-BAB%20II.pdf
46