Anda di halaman 1dari 46

Referensi Artikel

Manajemen pada
Traumatic Spine
Injury
Hilya Syifa Hanina – G992003071

Pembimbing:
dr. Andy Nugroho, Sp.An, M.Kes
DAFTAR ISI

01 PENDAHULUAN
TINJAUAN
PENUTUP
DAFTAR
03
02 PUSTAKA PUSTAKA
04
PENDAHULUAN
• Cedera tulang belakang, dengan atau tanpa defisit neurologis, harus
selalu dipertimbangkan pada pasien dengan cedera multipel.

• Cedera saraf tulang belakang traumatis akut (acute traumatic spinal


cord injuries/SCI) dapat menimbulkan beban emosional dan finansial
pada pasien, keluarga, dan masyarakat.

• Diperkirakan insiden tahunan dari SCI sekitar 10-80 kasus per satu
juta di seluruh dunia, dengan dominasi laki-laki (hingga 80%) dan usia
rata-rata 28 tahun.
TRAUMATIC SPINE
INJURY
• Traumatic spine injury, acute spinal cord injury (SCI), merupakan
peristiwa traumatis yang mengakibatkan gangguan fungsi sensorik,
motorik, atau otonom normal dan pada akhirnya memengaruhi
keadaan fisik, psikologis, dan sosial pasien.

Fase Primer Fase Sekunder


Farktur/dislokasi Gangguan
perdarahan homoestasis
mikro, kerusakan saraf, apoptosis,
akson/membran kerusakan
seluler jaringan
ETIOLOGI
(1) Kecelakaan kendaraan bermotor (40,4%);
(2) Jatuh (27,9%), yang paling sering terjadi pada usia 45 tahun atau
lebih, wanita tua dengan osteoporosis memiliki kecenderungan
untuk patah tulang belakang karena jatuh dengan SCI;
(3) Kekerasan interpersonal (terutama luka tembak) (15,0%);
(4) Olahraga (8,0%), di mana menyelam adalah penyebab tersering.
Penyebab lain: gangguan vaskuler, tumor, infeksi, spondilosis, cedera iatrogenik seperti
setelah injeksi spinal, fraktur vertebra sekudender dari osteoporosis, dan gangguan
perkembangan .
Cervical spine • Dapat terjadi akibat salah satu/kombinasi dari mekanisme
cedera, seperti axial loading, fleksi, ekstensi, rotasi, tekukan
fractures
Jenis lateral, dan distraksi.

Ceder Thoracic spine


fractures
• Anterior wedge compression injuries, burst injuries, Chance
fractures, dan fracture-dislocations.

a Thoracolumbal junction • Dsebabkan oleh imobilitas vertebra torakal dibandingkan


dengan vertebra lumbal. Paling sering diakibatkan oleh
fractures
Spina kombinasi hiperfleksi akut dan rotasi.

l Lumbar fractures • Hanya cauda equina yang terlibat, kemungkinan terjadi defisit
neurologis komplit jauh lebih rendah

• Sering mengakibatkan defisit neurologis lengkap karena


Penetrating injuries melibatkan jalur misil (paling sering peluru atau pisau).

Blunt carotid & • Trauma tumpul pada leher dapat menyebabkan cedera arteri
vertebral artery injuries karotis dan vertebralis.
JENIS CEDERA
SPINAL
Pada cedera sumsum tulang belakang, keparahan defisit
neurologis dapat dikategorikan menjadi:
1. Paraplegia inkomplit atau komplit (cedera toraks)
2. Quadripregia atau tetraplegia (cedera servikal)
KLASIFIKASI
KEPARAHAN
Skala kerusakan gangguan medula spinalis berdasarkan American Spinal Injury
Association (ASIA) dibagi menjadi lima grade, yaitu:
1. Grade A: Komplit. Tidak ada fungsi motorik dan sensorik sampai S4-S5.
2. Grade B: Inkomplit. Fungsi sensorik masih baik, tetapi motorik terganggu
sampai segmen sakral S4-S5.
3. Grade C: Inkomplit. Fungsi motorik terganggu dibawah level, tapi otot-otot
motorik utama masih punya kekuatan < 3.
4. Grade D: Inkomplit. Fungsi motorik terganggu dibawah level, otot-otot
motorik utama punya kekuatan > 3.
5. Grade E: Normal. Fungsi motorik dan sensorik normal.
MANIFESTASI
KLINIS
• Edema/pembengkakan pada daerah cedera
• Deformitas atau perubahan bentuk
• Echimosis karena ekstravasasi darah dalam jaringan subkutan.
• Teraba hangat pada daerah cedera karena terjadi peningkatan
metabolisme
• Nyeri
• Kehilangan fungsi motorik maupun sensorik atau kelemahan dan
kelumpuhan ekstremitas
MANIFESTASI
KLINIS
• Apa dan seberapa banyak
fungsi yang hilang di
lengan dan tungkai
tergantung pada lokasi
cedera tulang belakang.
TATALAKSANA –
Evaluasi Klinis
Primary survey dan secondary survey.
(A) Airway maintenance with restriction of cervical spine motion;
(B) Breathing and ventilation;
(C) Circulation with hemorrhage control;
(D)Disability;
(E) Exposure/Environmental control
TATALAKSANA –
Evaluasi
Airway Klinis
maintenance with restriction of cervical spine motion

• Menilai jalan napas untuk memastikan • Penilaian dan pengelolaan jalan napas pasien
patensi. harus berhati-hati untuk mencegah
• Jika dapat berkomunikasi secara verbal  pergerakan tulang belakang leher yang
jalan napas tidak dalam bahaya. berlebihan.
• Untuk pasien trauma spinal  manuver • Tulang belakang harus dilindungi dari
jaw-thurst cukup sebagai intervensi awal. mobilitas yang berlebihan untuk mencegah
• Pasien tidak sadar  OPA dapat dilakukan. perkembangan dari defisit dengan cervical
collar.
TATALAKSANA –
Evaluasi
Breathing Klinis
and ventilation Circulation with hemorrhage control

• Look-listen-feel. • Volume darah, curah jantung, dan perdarahan


• Inspeksi visual dan palpasi dapat adalah masalah peredaran darah utama yang
mendeteksi cedera pada dinding dada yang perlu diperhatikan.
mungkin mengganggu ventilasi. • Identifikasi sumber perdarahan, apakah
• Auskultasi untuk memastikan aliran gas di eksternal atau internal. Perdarahan
paru-paru. eksternal/luar diidentifikasi dan dikendalikan
• Perkusi dada juga dapat mengidentifikasi selama primary survey.
kelainan.
TATALAKSANA –
Evaluasi
Disability (assessmentKlinis
of neurologic status) Exposure/Environmental control

• Evaluasi neurologis yang cepat menentukan • Setelah menyelesaikan penilaian, tutupi


tingkat kesadaran pasien serta ukuran dan pasien dengan selimut hangat atau alat
reaksi pupil; mengidentifikasi adanya penghangat eksternal untuk mencegah pasien
tanda-tanda lateralisasi; dan menentukan mengalami hipotermia di area penerima
tingkat cedera tulang belakang. trauma. Hangatkan cairan intravena sebelum
diinfuskan, dan pertahankan agar lingkungan
tetap hangat.
TATALAKSANA –
Evaluasi
Secondary survey Klinis
dilakukan setelah primary survey selesai, yaitu ketika
resusitasi telah dilakukan dan kondisi airway, breathing, dan circulation
dipastikan telah membaik.
• Anamnesis.
• Pemeriksaan head to toe, juga dilakukan pemeriksaan neurologi lengkap bila
belum dilakukan dalam primary survey.
• Pemeriksaan penunjang lain foto rontgen dan laboratorium.
TATALAKSANA – Manajemen Umum
Trauma Spinal (ATLS 2018)
Manajemen umum dari trauma spine dan spinal cord termasuk
pembatasan gerakan tulang belakang, cairan intravena, obat-obatan, dan
transfer/transpor pasien.
Manajemen Umum Trauma Spinal (ATLS
2018)
1. Pembatasan Gerakan Tulang Belakang

Cegah pergerakan tulang belakang pasien dengan dugaan cedera tulang belakang di
atas dan di bawah lokasi cedera yang dicurigai sampai fraktur disingkirkan.
 Baringkan pasien terlentang tanpa memutar atau menekuk kolumna vertebra pada
permukaan yang kokoh dengan cervical collar yang kaku dan berukuran tepat.
Pertahankan pembatasan gerakan tulang belakang sampai cedera
disingkirkan.
Semirigid collar tidak dapat memastikan pembatasan gerakan lengkap dari tulang
belakang leher. Tambahan dengan guling dan tali pengikat pada papan punggung
panjang (spine board) lebih efektif.
Manajemen Umum Trauma Spinal (ATLS
2018)
1. Pembatasan Gerakan Tulang Belakang
Manuver logroll dilakukan untuk
mengevaluasi tulang belakang
pasien dan menghilangkan spine
board sambil membatasi gerakan
tulang belakang
Manajemen Umum Trauma Spinal (ATLS
2018)
2. Cairan Intravena

• Jika perdarahan aktif tidak terdeteksi atau dicurigai, hipotensi persisten harus
meningkatkan kecurigaan syok neurogenik.
• Pasien dengan syok hipovolemik biasanya mengalami takikardia, sedangkan
pasien dengan syok neurogenik biasanya mengalami bradikardia.
• Jika tekanan darah pasien tidak membaik setelah pemberian cairan, dan tidak
ada situs pendarahan tersembunyi yang ditemukan, penggunaan vasopresor
dapat diindikasikan.
• Fenilefrin hidroklorida, dopamin, atau norepinefrin direkomendasikan.
Manajemen Umum Trauma Spinal (ATLS
2018)
3. Medikasi

• Berdasarkan rekomendasi level 1 baru pada tahun 2013 oleh AANS / CNS,
methylprednisolone tidak boleh diberikan dalam pengobatan SCI akut
karena efek samping berbahaya terkait termasuk infeksi, sepsis, perdarahan
gastrointestinal, penyembuhan luka yang buruk, efek samping kejiwaan, dan
bahkan kematian.

• Pada pedoman ATLS 2018 tertulis tidak terdapat bukti yang cukup untuk
mendukung penggunaan steroid pada cedera sumsum tulang belakang
Manajemen Umum Trauma Spinal (ATLS
2018)
4. Transfer/Pemindahan

• Pasien dengan patah tulang belakang atau defisit neurologis harus


dipindahkan ke fasilitas yang mampu memberikan perawatan definitif.

• Stabilkan pasien dan gunakan bidai, spine board, dan/atau cervical collar
semirigid yang diperlukan.
• Cedera tulang belakang leher di atas C6 dapat menyebabkan hilangnya
sebagian atau seluruh fungsi pernapasan. Jika terdapat kekhawatiran tentang
kecukupan ventilasi, lakukan intubasi pada pasien sebelum dipindahkan
TATALAKSANA – Terapi Definitif
Terdapat dua tujuan dalam perawatan bedah SCI akut, yang pertama
adalah dekompresi struktur saraf dan yang kedua adalah stabilisasi
tulang belakang.
● Pasien dengan SCI komplit memiliki kemungkinan pemulihan
kurang dari 5%.
● Jika kelumpuhan total berlanjut pada 72 jam setelah cedera,
kemungkinan pemulihannya adalah nol.
● Pada awal 1900-an, angka kematian 1 tahun setelah cedera pada

PROGNO pasien dengan lesi komplit mendekati 100%.


● Jika beberapa fungsi sensorik masih berfungsi, kemungkinan
pasien dapat berjalan lebih besar dari 50%.
SIS ● Kira-kira 10-20% pasien cedera tulang belakang tidak dapat
bertahan hingga dirawat di rumah sakit, sedangkan sekitar 3%
pasien meninggal selama rawat inap
Traumatic spine injury merupakan peristiwa traumatis yang
dapat mengakibatkan gangguan fungsi sensorik, motorik, atau
otonom normal dan pada akhirnya memengaruhi keadaan
fisik, psikologis, dan sosial pasien. Trauma spinal

PENUTUP membutuhkan penanganan dan stabilisasi yang cepat,


terutama pada tempat terjadinya cedera dan instalasi gawat
darurat, yaitu meliputi primary dan secondary survey serta
imobilisasi. Penanganan segera dan stabilisasi yang cepat ini
bertujuan untuk mencegah komplikasi yang dapat terjadi.
Spinal
Cord
Syndrome
SPINAL CORD
SYNDROMES
Spinal cord syndromes terbagi menjadi dua:
• Complete spinal cord syndrome/complete transection
• Incomplete spinal cord syndromes.

Incomplete spinal cord syndromes disebabkan oleh lesi pada traktus spinalis
ascending atau descending yang diakibatkan oleh trauma, kompresi spinalis,
atau oklusi arteri spinalis.
SPINAL CORD
SYNDROMES
Complete Transection
• Hilangnya fungsi sensorik dan motorik bilateral komplit di bawah lesi SCI
setelah destruksi akut atau kronik, kompresi, atau iskemia medula spinalis.

• Awalnya mungkin muncul sebagai syok spinal: paralisis arefleksia flaksid di


bawah tingkat cedera dengan ciri otonom (hipotensi, bradikardia).
• Setelah beberapa hari hingga beberapa minggu, syok spinal hilang dan
manifestasi klinis SCI komplit mungkin tetap ada: paresis spastik,
hiperrefleksia, dan hilangnya fungsi sensorik.

• Penyebab dari SCI komplit dapat berupa trauma, tumor spinal, multipel
sklerosis, myelitis, atau patologi ekstradural
SPINAL CORD
SYNDROMES
Central Cord
• Tipe paling sering dari incomplete
cord syndrome, yaitu cedera pada
Syndrome
regio sentral medula spinalis
(traktus kortikospinalis sentral dan
serabut decussating traktus
spinotalamikus lateral).
SPINAL CORD
SYNDROMES
Anterior Cord
• Cedera terjadi pada 2/3 anterios dari
sumsum tulang belakang, yaitu pada
Syndrome
traktus kortikospinalis dan traktus
spinotalamikus.
• Cedera pada jalur motorik dan
sensorik di bagian anterior.
SPINAL CORD
SYNDROMES
Brown-Séquard
• Sindrom Brown-Séquard terjadi
akibat hemiseksi sumsum tulang
Syndrome
belakang, biasanya karena trauma
tembus.
• Hilangnya fungsi motorik ipsilateral
(traktur kortikospinalis), sensasi
propiosepsi, vibrasi, dan sentuhan
halus (kolomna dorsal), hilangnya
sensasi nyeri dan suhu kontralateral
mulai satu hingga dua tingkat di
bawah lesi (traktus spinotalamikus),
SPINAL CORD
SYNDROMES
Posterior
• Cedera sumsum Cordtulang belakang posterior yang mempengaruhi kolumna posterior
(sentuhan halus, getaran, tekanan, dan propriosepsi).
Syndrome
• Tipe ini jarang terjadi.
• Tipe cedera ini ditandai dengan hilangnya sensasi propiosepsi, vibrasi/getaran, dan
sentuhan halus di bawah level dari lesi .
EXTRICATION
Teknik rapid extrication dirancang untuk menggerakkan pasien dalam
rangkaian gerakan terkoordinasi dari posisi duduk ke posisi terlentang di atas
long backboard dengan tetap menjaga stabilisasi dan penyangga kepala/leher,
batang tubuh, dan panggul.

Ada dua strategi pemindahan dasar: secara lateral melalui pintu keluar atau
secara vertikal setelah atap dilepas.
EXTRICATION
Langkah-langkah pelepasan vertikal adalah sebagai berikut:
1. Pasien dipakaikan collar, dan satu penyelamat memegang kepala/leher
dengan aman;
2. Sebuah long backboard ditempatkan dengan hati-hati di antara kursi dan
pasien;
3. Dua sampai tiga penyelamat menggeser pasien ke papan secara
bersamaan, hati-hati untuk menopang kaki juga;
4. Tali papan panjang dan blok kepala diterapkan; dan
5. Pasien diposisikan dan diamankan sepenuhnya ke tandu pemindah
EXTRICATION
Teknik rapid extrication membutuhkan minimal tiga penyelamat yang terlatih
dalam prosedur ini (New York Departement of Health, 2018).
1. Anjurkan pasien untuk tidak menggerakkan kepala dan menahan.
2. Stabilisasi inline manual (Penyelamat 1)
3. Nilai denyut nadi, fungsi motorik dan sensorik di semua ekstremitas.
4. Penyelamat 2 menerapkan cervical collar dengan ukuran yang sesuai.
5. Posisikan peralatan dan bersiap untuk memindahkan pasien.
Penyelamat 3 menempatkan papan belakang panjang di dekat pintu
kendaraan dan kemudian pindah ke kursi di sebelah pasien. Penyelamat, 2
berdiri di samping pasien, menopang dada dan punggung pasien saat
penyelamat 3 membebaskan kaki pasien.
EXTRICATION
6. Memutar pasien. Atas arahan penyelamat 1, semua penyelamat mulai
memutar pasien dalam beberapa gerakan pendek dan terkoordinasi hingga
punggung pasien berada di ambang pintu yang terbuka dan kakinya berada
di kursi yang berlawanan.

Jika penyelamat 1 tidak dapat mempertahankan stabilisasi sebaris selama


langkah ini (misalnya tiang “B” kendaraan menghalangi), penyelamat atau
pengamat lain yang tersedia harus mengambil alih stabilisasi sebaris manual
dari luar kendaraan sementara penyelamat 1 keluar dari kendaraan untuk
melanjutkan stabilisasi sebaris manual.
EXTRICATION
7. Pindahkan pasien ke long backboard. Ujung papan belakang panjang
ditempatkan di kursi di samping pantat pasien sementara penyelamat atau
pengamat lain menopang ujung papan belakang panjang lainnya. Atas
petunjuk penyelamat yang mempertahankan stabilisasi sebaris, pasien
diturunkan ke papan panjang dalam satu gerakan. Penolong kemudian
menggeser pasien, ke posisinya di papan panjang dalam gerakan
terkoordinasi cepat.

8. Amankan pasien ke backboard.


EXTRICATION dengan
Kendrick Extrication Device
(KED)
• Alat yang digunakan dalam pelepasan
kendaraan untuk mengeluarkan korban
tabrakan lalu lintas dari kendaraan
bermotor.
• Biasanya digunakan bersama dengan
cervical collar, K.E.D. adalah brace semi-
kaku yang menahan kepala, leher, dan
batang tubuh dalam posisi netral secara
anatomis.
HELME
T
REMOV
AL
LONG SPINEBOARD dan SCOOP
STRECTHER
Long
Pasien yangSpineboard
sesuai untuk diimobilisasi dengan backboard
mungkin termasuk mereka yang memiliki:
1. Trauma tumpul dan tingkat kesadaran yang berubah;
2. Nyeri tulang belakang;
3. Keluhan neurologis (misalnya mati rasa atau kelemahan
motorik)
4. Deformitas anatomi tulang belakang;
5. Mekanisme cedera berenergi tinggi dan:
• Keracunan obat atau alkohol;
• Ketidakmampuan untuk berkomunikasi; dan/atau\
• Cedera yang mengganggu.
LONG SPINEBOARD dan SCOOP
STRECTHER
Scoop Strecther
Scoop stretcher memiliki struktur yang dapat
dibelah secara vertikal menjadi dua bagian,
dengan bentuk 'bilah' ke arah tengah yang dapat
disatukan di bawah pasien.
LONG SPINEBOARD dan SCOOP
STRECTHER
Scoop Strecther
• Menururt ATLS, Scoop stretcher merupakan
alternatif dari menggunakan teknik logrolling
yang dimodifikasi untuk pemindahan pasien.
• Penggunaan yang tepat dari perangkat ini dapat
memberikan pemindahan pasien yang cepat dan
aman dari long spine board ke brankar pasien
yang kokoh.
• Scoop stretcher bukanlah perangkat yang
membuat pasien terimobilisasi. Selain itu, scoop
stretcher tidak digunakan untuk mengangkut
pasien.
KOMPLIKASI – Spinal
Shock
• Fenomena fisiologis dan anatomi dari lesi transeksi medula spinalis yang
mengakibatkan menurun atau hilangnya hampir semua reflek spinal dibawah
tingkat lesi dengan pemulihan refleks secara berangsur (dalam hitungan
jam-hari).
• Syok spinal biasanya disebabkan oleh trauma dan atau sebab lain yang
mendadak, yang kemudian diikuti dengan perbaikan dalam beberapa jam
• Fase syok spinal:
KOMPLIKASI – Spinal
Shock
Fase syok spinal:
Fase 1: arefleksia / hiporefleksia (hari ke 0-1).Ditandai dengan hilangnya atau
melemahnya semua refleks dibawah tingkat lesi.
Fase 2: munculnya refleks inisial (hari ke 1-3). Beberapa refleks kembali, refleks yang
kembali paling awal adalah refleks bulbocavernosus.
Fase 3: hiperrefleks awal (hari ke 4 – bulan ke 1). Ditandai dengan munculnya
hiperrefleksia.
Fase 4: spastisitas / hiperrefleks (bulan ke 1-12). Ditandai dengan
spastisitas/hiperrefleks
KOMPLIKASI –
Neurogenic Shock
• Penatalaksanaan awal syok neurogenik difokuskan pada stabilisasi
hemodinamik.
• Pengobatan lini pertama untuk hipotensi adalah resusitasi cairan
intravena.
• Jika hipotensi berlanjut meskipun euvolemia, vasopresor dan inotropik
adalah lini kedua (Fenilefrin, norepinefrin, dopamin)
• Pengobatan untuk bradikardia adalah atropin dan glikopirolat untuk
melawan tonus vagal.

• Direkomendasikan untuk menjaga tekanan arteri rata-rata (MAP) pada 85-


90 mmHg selama 7 hari pertama untuk meningkatkan perfusi medula
spinalis
KOMPLIKAS
Perbedaan spinal shock dan neurogenic shock
I
Terima
Kasih

Anda mungkin juga menyukai