Disusun Oleh:
Anggota Kelompok SGD 5
Tutor:
dr. Shinta Wulandhari, S.ked
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR MATARAM
2022
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Skenario
1.2. LBM 3
Sulit Buang Air Kecil
Pasien laki-laki usia 60 tahun datang ke poli bedah urologi dengan
keluhan sulit buang air kecil (BAK) sejak 2 minggu yang lalu dan memberat
3 hari terakhir. Pasien mengatakan pancaran kencing lemah dan terputus,
terasa tidak lampias, dan frekuensi menjadi lebih sering bahkan di malam
hari pasien sering terbangun untuk BAK. Perut bagian bawah juga terasa
penuh. Pasien memiliki riwayat demam 2 minggu yang lalu, namun demam
dirasakan pasien hanya sehari saja. Tanda-tanda vital pasien didapatkan
tekanan darah 120/70mmHg, suhu 36,6°C, nadi 80x/menit, respirasi
20x/menit. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kandung kemih teraba penuh
dan dilakukan pemasangan kateter, air kencing dapat keluar dan tidak ada
darah. Dokter kemudian melakukan rectal toucher dan mengusulkan
pemeriksaan penunjang pada pasien.
Deskripsi masalah
Pada diskusi yang dilakukan kelompok SGD 5, dari kasus yang ada
diskenario LBM 2 yang berjudul “Sulit Buang Air Kecil” kami membahas
mulai dari keluhan keluhan yang dirasakan pasien yang berusia 60 tahun
yang ada di scenario kali ini, dan untuk diskusi yang kami lakukan lebih
mengarah kepada pembahasan pembahasan dari keluhan utama yang
dialami, serta hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pada
pasien di scenario. yang nantinya itu menjadi landasan bagi kami bisa
menegakkan diagnosis kerja pada pasien sehingga pasien bisa mendapatkan
penatalaksanaan yang sesuai dengan penyakit yang dideritanya.
BAB II
PEMBAHASAN
Adapun identifikasi masalah yang kami dapatkan pada diskusi kali ini
yaitu :
1. Apa kemungkinan penyakit yang dialami?
Skenario Sesi II
Hasil RT didapatkan tonus sphincter ani kuat, mukosa rektum licin,
tidak ada massa, ampulla recti intak, prostat teraba membesar, batas atas
teraba, konsistensi kenyal, permukaan licin, nodul tidak ada, nyeri tekan
tidak ada, tidak ada darah dan feses pada handscoen.
1. Pembahasan DD?
Definisi
InfeksiPyelonephritis merupakan infeksi bakteri pada ginjal, tumulus dan
jaringan interstinal
dari salah satu atau kedua ginjal (Brunner & Suddarth, 2002).
Infeksi saluran kencing bagian atas (pyelonephritis) adalah infeksi perenchym
ginjal.
Keluhan-keluhan yang menyebabkan penderita datang berkonsultasi adalah
demam dan nyeri
pinggang, simptom-simptom infeksi saluran kencing bagian bawah.
Contoh; urin khas
menunjukkan bakteriuria yang bermakna, pyuria dan kadang-kadang
silinder leucocyt.
Infeksi saluran urogenital di tampat-tampat lain (misalnya epididymis,
prostat, daerah
perinephric) sering berkaitan dengan bakteri yang jumlahnya kurang
dari 1000/ml dan
mempunyai menifestasi klinis yang berbeda (Woodley dan Whenlan, 1992)
Pyelonephritis merupakan infeksi bakteri pada ginjal, tumulus dan jaringan
interstinal
dari salah satu atau kedua ginjal (Brunner & Suddarth, 2002).
Infeksi saluran kencing bagian atas (pyelonephritis) adalah infeksi perenchym
ginjal.
Keluhan-keluhan yang menyebabkan penderita datang berkonsultasi adalah
demam dan nyeri
pinggang, simptom-simptom infeksi saluran kencing bagian bawah.
Contoh; urin khas
menunjukkan bakteriuria yang bermakna, pyuria dan kadang-kadang
silinder leucocyt.
Infeksi saluran urogenital di tampat-tampat lain (misalnya epididymis,
prostat, daerah
perinephric) sering berkaitan dengan bakteri yang jumlahnya kurang
dari 1000/ml dan
mempunyai menifestasi klinis yang berbeda (Woodley dan Whenlan, 1992)
Benign prostatic hyperplasia (BPH) adalah pembesaran kelenjar
prostat karena adanya hiperplasia sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat.
BPH merupakan penyakit yang sangat sering mengakibatkan masalah pada
pria dan mengganggu kualitas hidup pria yang menyebabkan keluhan
lower urinary tract symtoms (LUTS).
Etiologi
Etiologi BPH sampai saat ini belum diketahui secara pasti, namun
banyak faktor yang diduga berperan dalam proliferasi/ pertumbuhan
kelenjar prostat. BPH tumbuh pada pria yang berusia tua dan memiliki
testis yang masih menghasilkan testosteron. Beberapa hipotesis
menyebutkan timbulnya hiperplasia prostat karena adanya ketidak
seimbangan antara estrogen-testosteron, interaksi antara sel stroma dan
epitel prostat dan berkurangnya kematian sel (apoptosis).
Testosteron diproduksi oleh sel leydig di testis dan diubah oleh enzim
5α-reductase menjadi dihidrotestosteron (DHT) meransang proliferasi sel
epitel dan stroma prostat. Kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda
dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH aktivitas
enzim 5α-reductase lebih banyak pada BPH yang menyebabkan sel-sel
prostat pada BPH lebih sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih
banyak terjadi.
Manifestasi klinis
Tingkat keparahan gejala pembesaran prostat jinak bisa berbeda pada
tiap penderita, tetapi umumnya akan memburuk seiring waktu. Gejala
utama benign prostatic hyperplasia adalah gangguan saat buang air kecil,
yang bisa berupa:
B. Kanker Prostat
Definisi
Kanker prostat adalah kanker pada pria yang berkembang di dalam
kelenjar prostat, dan umumnya ditandai dengan gangguan buang air kecil.
Sebagian besar penderita kanker prostat berusia di atas 65 tahun. Kanker
ini tidak bersifat agresif dan berkembang secara perlahan.
Etiologi
Penyebab kanker prostat adalah mutasi atau perubahan genetik pada
sel-sel di kelenjar prostat. Namun, penyebab mutasi itu sendiri belum
diketahui secara pasti. Selain itu, ada beberapa faktor yang dapat
meningkatkan risiko terjadinya kanker prostat, antara lain:
1. Pertambahan usia
2. Menderita obesitas
3. Pola makan kurang serat, misalnya kurang asupan antioksidan
seperti likopen
4. Paparan bahan kimia
5. Menderita penyakit menular seksual
6. Memiliki keluarga yang menderita kanker prostat
Manifestasi Klinis
Pada stadium awal, kanker prostat umumnya tak bergejala. Namun,
pada tingkatan tertentu muncul sejumlah tanda. Gejala kanker prostat
adalah sebagai berikut:
1. Sering buang air kecil, terutama pada malam hari
Berdasarkan keluhan pasien yang ada pada scenario yaitu keluhan sulit
buang air kecil (BAK) sejak 2 minggu yang lalu dan memberat 3 hari
terakhir. Pasien mengatakan pancaran kencing lemah dan terputus, terasa
tidak lampias, dan frekuensi menjadi lebih sering bahkan di malam hari
pasien sering terbangun untuk BAK. Perut bagian bawah juga terasa
penuh. Pasien memiliki riwayat demam 2 minggu yang lalu, namun
demam dirasakan pasien hanya sehari saja. Tanda-tanda vital pasien
didapatkan tekanan darah 120/70mmHg, suhu 36,6°C, nadi 80x/menit,
respirasi 20x/menit. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kandung kemih
teraba penuh dan dilakukan pemasangan kateter, air kencing dapat keluar
dan tidak ada darah. Dokter kemudian melakukan rectal toucher dan
mengusulkan pemeriksaan penunjang pada pasien. Yang mana pada
pemeriksaan rektal toucher didapatkan tonus sphincter ani kuat, mukosa
rektum licin, tidak ada massa, ampulla recti intak, prostat teraba
membesar, batas atas teraba, konsistensi kenyal, permukaan licin, nodul
tidak ada, nyeri tekan tidak ada, tidak ada darah dan feses pada handscoen.
Yang mana dari keluhan keluhan serta hasil pemeriksaan pada pasien
kelompok kami mengambil diagnosis kerja yaitu Benign prostatic
hyperplasia (BPH). Yang mana hal ini memang kami indikasikan karena
gejala gejala yang dialami pasien yang khas pada lower urinary tract
symtoms (LUTS), yang mana memang pada pasien terlihat ada keluhan
gejala iritatif seperti frekuensi miksi yang meningkat, nocturia, dan buang
airkecil yang tidak tempias. Memang pada kanker prostat juga memiliki
keluhan yang serupa. Akan tetapi pada pemeriksaan RT nya yang mana ini
memperkuat diagnosis kami karena jika pada kanker prostat seharusnya
konsentrasinya keras, asimetris, dan berbenjol benjol. Dan jika pada
prostatitis pada pemeriksaan RTnya akan didapati nyeri, hangat, dan
konsentrasi nya keras. Sehingga kelompok kami menyepakati untuk
mengambil diagnosis kerja pada pasien itu adalah Benign prostatic
hyperplasia (BPH).
3. Patofisiologi DX?
4. Epidemiologi
Secara histologi prevalensi BPH tergantung pada usia, dengan
perkembangan awal pada usia 40 tahun. Pada usia 60 tahun prevalensinya
lebih dari 50% dan usia 85 tahun menjadi 90%.
Di Indonesia, angka kejadian penyakit BPH belum pernah diteliti
secara pasti, tetapi sebagai gambaran prevalensi di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo (RSCM) sejak tahun 1994-2013 ditemukan 3.804 kasus
dengan rata-rata penderita berusia 61-77 tahun. Data yang didapat dari
Rumah Sakit Hasan Sadikin pada tahun 2012-2016 ditemukan 718 kasus
dimana rata-rata umur penderita berusia 67,9 tahun.
5. Faktor Resiko
a. Faktor Usia
Prevalensi BPH meningkat dengan bertambahnya usia. Beberapa
studi observasi dari Eropa, Amerika Serikat dan Asia telah
menunjukkan usia yang lebih tua menjadi faktor risiko timbulnya BPH
dan perkembangan klinis. Data dari Krimpen and Baltimore
Longitudinal Study of Aging menunjukkan volume prostat meningkat
seiring bertambahnya usia dimana tingkat pertumbuhan prostat sebesar
2-2,5% per tahun pada pria yang lebih tua.
b. Faktor Genetik
Sebuah penelitian analisis kasus-kontrol yang dilakukan pada laki-
laki yang berusia kurang dari 64 tahun yang menjalani operasi untuk
BPH, didapatkan hasil bahwa 50% dari laki-laki yang berusia <60
tahun yang menjalani operasi BPH mewarisi penyakit ini.
c. Faktor Obesitas
Berdasarkan The Baltimore Longitudial Study of Aging
peningkatan indeks massa tubuh (IMT) berhubungan dengan
peningkatan 0,41 ml volume prostat dan memiliki peningkatan risiko
pembesaran prostat 3,5 kali lipat dibandingkan dengan non-obesitas.
d. Faktor Diabetes
Penelitian studi cross-sectional dari Swedia bahwa dokter yang
mendiagnosis diabetes secara signifikan terkait dengan peningkatan
ukuran prostat yang konsisten dengan BPH. Para peneliti ini
mengamati bahwa pasien dengan LUTS mendapati pria dengan
diabetes memiliki kelenjar prostat yang lebih besar daripada pria non-
diabetes. Berdasarkan The Baltimore Longitudial Study of Aging pria
dengan peningkatan glukosa puasa 3 kali lipat lebih mungkin
mengalami BPH dibandingkan dengan pria dengan glukosa normal.
Peningkatan insulin serum dan peningkatan glukosa darah plasma
puasa telah dikaitkan dengan peningkatan ukuran prostat dan risiko
pembesaran prostat.
e. Faktor Aktivitas
Fisik Peningkatan aktivitas fisik telah dikaitkan dengan penurunan
risiko BPH dalam beberapa penelitian besar menunjukkan bahwa
olahraga merupakan faktor pendukung. Dalam Physicians Health
Study, latihan dikaitkan dengan penurunan risiko BPH. Penelitian yang
dilakukan Lacey di Cina (studi kasus-kontrol) peningkatan aktivitas
pekerjaan seperti pengeluaran energi dikaitkan dengan penurunan
risiko BPH.
f. Faktor Diet
Ada beberapa penelitian mengatakan bahwa makronutrien dan
mikronutrien dapat mempengaruhi risiko BPH dan LUTS. Penelitian
analyses of a single study population di Italia (study kasus-kontrol)
bahwa roti, telur unggas dan pati dapat meningkatkan risiko terjadinya
BPH sedangkan kacang hijau, kacang-kacangan, buah dan sayuran
dapat menurunkan risiko terjadinya BPH.
g. Faktor Inflamasi
Peradangan berperan dalam perkembangan BPH yang dibuktikan
dengan hubungan antara BPH dan peradangan dari histologis pada
spesimen yang diperoleh oleh biopsi prostat yang menunjukkan sitokin
inflamasi pada jaringan BPH. Penyebab yang mendasari peradangan
prostat masih belum jelas meskipun ada beberapa hipotesis
mengatakan kerusakan jaringan karena adanya infeksi, respon
autoimun. Infeksi seperti gonorrhea, chlamydia dan trichomonosis.
h. Kebiasaan Merokok
Kebiasaan merokok pada orang dewasa merupakan sebuah
kebiasaan yang diciptakan sendiri, sehingga mempunyai pengaruh bagi
tubuh diri sendiri. Rokok mengandung nikotin. Nikotin adalah zat atau
bahan senyawa pirolidone yang terdapat dalam nikotiana tabacum atau
sintesisnya yang bersifat adiktif yang dapat mengakibatkan
ketergantungan. Nikotin dan konitin (produk pemecah nikotin) pada
rokok mengakibatkan aktifitas enzim perusak androgen sehingga
menyebabkan penurunan kadar testosteron. Kebiasaan merokok ≥ 12
batang/hari mempunyai risiko 10 kali untuk menderita benign prostatic
hyperplasia.
i. Kebiasaan Minum Alkohol
Konsumsi alkohol akan menghilangkan kandungan zink dan
vitamin B6 yang penting untuk prostat yang sehat. Zink sangat penting
kelenjar prostat. Prostat menggunakan zink 10 kali lipat dibandingkan
dengan organ yang lain. Zink membantu mengurangi kandungan
prolaktin di dalam darah. Prolaktin meningkatkan penukaran hormon
testosterone menjadi dehidrotestosteron.
Anamnesis
1. Riwayat penyakit
Dilakukan anamnesis atau wawancara untuk mendapatkan data
tentang riwayat penyakit yang dideritanya, meliputi: 1 Sejak kapan
keluhan itu sudah mengganggu, Riwayat penyakit lain dan
penyakit pada saluran urogenitalia (pernah mengalami cedera,
infeksi, kencing berdarah (hematuria), kencing batu atau
pembedahan pada saluran kemih), Riwayat kesehatan secara umum
dan keadaan seksual.
2. Skor keluhan
Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran
kemih bawah digunakan sistem scoring yaitu Internatonal Prostate
System Score (IPSS) yang telah dikembangkan American
urological Association (AUA) dan distandarisasi oleh World
Health Organization (WHO). Skor ini berguna untuk menilai dan
memantau keadaan pasien BPH. IPSS terdiri atas 7 pertanyaan
yang masing-masing memiliki nilai 0-5 dengan total maksimun 35.
Berat- ringannya keluhan pasien BPH dapat digolongkan
berdasarkan skor yang diperoleh, yaitu : skor 0-7: ringan , skor 8-
19: sedang dan skor 20-35: berat. IPSS sudah ada dalam Bahasa
Indonesia dimana sebelumnya sudah dilakukan validasi dan
reabilitas sangat baik, dan terbukti memiliki kualitas sama dengan
versi yang asli.
3. Visual Prostatic Symtom Score (VPSS)
Metode lain menilai secara subyektif gangguan saluran kemih
bawah dengan visual prostatic symtom score (VPSS). VPSS
memiliki keuntungan dibandingkan IPSS antara lain lebih mudah
digunakan pada lansia yang mengalami gangguan penglihatan yang
sulit membaca tulisan IPSS. Penelitian Afriansyah, dkk
menunjukkan bahwa VPSS berkorelasi secara signifikan dengan
IPSS dan dapat dilakukan tanpa bantuan oleh populasi dengan
edukasi rendah.
Pemeriksaan fisik
c. Pembedahan
Pembedahan merupakan suatu tindakan tatalaksana BPH yang
bersifat invasif. Oleh sebab itu, indikasi yang jelas perlu ditemukan
sebelum seorang klinisi memutuskan untuk melakukan pembedahan.
Indikasi-indikasi tersebut, meliputi retensi urin akut, infeksi saluran
kemih berulang, hematuria makroskopik, sistolitiasis, penurunan
fungsi ginjal, gagal berkemih setelah melepaskan kateter, perubahan
patologis pada vesica urinaria, keluhan telah memberat, tidak adanya
perbaikan setelah terapi konservatif dan medikamentosa, serta pasien
menolak terapi selain bedah. Adapun berikut merupakan beberapa
pilihan terapi pembedahan yang dapat dilakukan.
A. Transurethral Resection of the Prostate (TURP)
TURP merupakan suatu pembedahan invasif minimal yang
kerap digunakan pada pasien BPH dengan volume prostat 30-80
cc. Meski demikian, TURP dapat digunakan pada kondisi prostat
apapun tergantung pada pengalaman dan ketersediaan peralatan
seorang ahli bedah urologi. Pada umumnya, TURP memiliki
efektivitas dalam perbaikan gejala BPH yang mencapai 90%
sehingga metode ini merupakan salah satu baku emas tatalaksana
invasif BPH.
Pognosis
Untuk Benign prostatic hyperplasia (BPH) ini sendiri selama dilakukan
penanganan dengan cepat dan sesuai dengan prosedur pengobatan yang
baik dan benar maka prognosisnya adalah dubia ad bonam.
9. KIE
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Skenario LBM 3 yang bejudul “Sulit Buang Air Kecil” ini merupakan
skenario yang menstimulasi kelompok kami dalam mendiskusikan
permasalahan yang ada, kami membahas mulai dari penyebab penyebab
keluhan keluhan yang keluhan keluhan yang dirasakan pasien serta hasil
pemeriksaan fisik pada pasien di skenario, yang mengarahkan kelompok
kami untuk menentukan diagnosis kerja pada pasien yaitu Benign prostatic
hyperplasia (BPH). Hiperplasia prostat jinak atau BPH merupakan sebuah
diagnosis histologik yang merujuk kepada proliferasi jaringan epitel dan
otot halus di dalam zona transisi prostatika. Diagnosis yang kerap diderita
oleh populasi pria lanjut usia ini dapat memberikan penurunan kualitas
hidup yang signifikan. Oleh sebab itu, penting untuk mengetahui pilihan
terapi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup.
Berdasarkan penelusuran literatur termutakhir, setidaknya terdapat tiga
tipe kelompok tatalaksana, yaitu terapi konservatif (watchful waiting),
medikamentosa, dan pembedahan. Terapi-terapi yang bertujuan untuk
memperbaiki kualitas hidup pasien tersebut dipilih sesuai dengan derajat
keluhan, keadaan pasien, dan ketersediaan fasilitas lokal. Pemilihan terapi
dilakukan dengan memulai dari pilihan yang paling tidak invasif terlebih
dahulu. Di sisi lain, meski sulit dicegah, beberapa tindakan preventif,
seperti pemilihan obat-obatan yang tidak menimbulkan BPH lebih awal,
gaya hidup sehat dengan tidak merokok, berolahraga, menjaga berat
badan, dan mengatur pola diet seimbang, dapat dilakukan guna mencegah
dan menunda kemunculan BPH pada populasi laki-laki lanjut usia.
DAFTAR PUSTAKA