Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN TUTORIAL LBM 3

“SULIT BUANG AIR KECIL”


BLOK UROGENITAL II

Disusun Oleh:
Anggota Kelompok SGD 5

Zuhri Abdul Gani (018.06.0040)

Tutor:
dr. Shinta Wulandhari, S.ked

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR MATARAM
2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Skenario
1.2. LBM 3
Sulit Buang Air Kecil
Pasien laki-laki usia 60 tahun datang ke poli bedah urologi dengan
keluhan sulit buang air kecil (BAK) sejak 2 minggu yang lalu dan memberat
3 hari terakhir. Pasien mengatakan pancaran kencing lemah dan terputus,
terasa tidak lampias, dan frekuensi menjadi lebih sering bahkan di malam
hari pasien sering terbangun untuk BAK. Perut bagian bawah juga terasa
penuh. Pasien memiliki riwayat demam 2 minggu yang lalu, namun demam
dirasakan pasien hanya sehari saja. Tanda-tanda vital pasien didapatkan
tekanan darah 120/70mmHg, suhu 36,6°C, nadi 80x/menit, respirasi
20x/menit. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kandung kemih teraba penuh
dan dilakukan pemasangan kateter, air kencing dapat keluar dan tidak ada
darah. Dokter kemudian melakukan rectal toucher dan mengusulkan
pemeriksaan penunjang pada pasien.

Deskripsi masalah

Pada diskusi yang dilakukan kelompok SGD 5, dari kasus yang ada
diskenario LBM 2 yang berjudul “Sulit Buang Air Kecil” kami membahas
mulai dari keluhan keluhan yang dirasakan pasien yang berusia 60 tahun
yang ada di scenario kali ini, dan untuk diskusi yang kami lakukan lebih
mengarah kepada pembahasan pembahasan dari keluhan utama yang
dialami, serta hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pada
pasien di scenario. yang nantinya itu menjadi landasan bagi kami bisa
menegakkan diagnosis kerja pada pasien sehingga pasien bisa mendapatkan
penatalaksanaan yang sesuai dengan penyakit yang dideritanya.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Identifikasi Masalah

Adapun identifikasi masalah yang kami dapatkan pada diskusi kali ini
yaitu :
1. Apa kemungkinan penyakit yang dialami?

2.2 Klarifikasi Masalah


1. Apa kemungkinan penyakit yang dialami?

Berpatokan pada keluhan keluhan yang dialami, serta hasil


pemeriksaan fisik dan penunjang pada pasien di scenario kelompok kami
memutuskan beberapa diagnosis banding pada pasien yaitu :
a. BPH
b. Kanker Prostat
c. Prostatitis

2.3 Learning Issue


1. Pembahasan DD?
2. Kemungkinan penyakit yang dialami pasien di skenario?
3. Patofisiologi DX?
4. Epidemiologi?
5. Faktor resiko?
6. Pemeriksaan penunjang?
7. Penatalaksanaan farmako dan non farmako?
8. Komplikasi dan prognosis ?
9. KIE

Skenario Sesi II
Hasil RT didapatkan tonus sphincter ani kuat, mukosa rektum licin,
tidak ada massa, ampulla recti intak, prostat teraba membesar, batas atas
teraba, konsistensi kenyal, permukaan licin, nodul tidak ada, nyeri tekan
tidak ada, tidak ada darah dan feses pada handscoen.

2.4 Pembahasan Learning Issue

1. Pembahasan DD?

A. Benign prostatic hyperplasia (BPH)

Definisi
InfeksiPyelonephritis merupakan infeksi bakteri pada ginjal, tumulus dan
jaringan interstinal
dari salah satu atau kedua ginjal (Brunner & Suddarth, 2002).
Infeksi saluran kencing bagian atas (pyelonephritis) adalah infeksi perenchym
ginjal.
Keluhan-keluhan yang menyebabkan penderita datang berkonsultasi adalah
demam dan nyeri
pinggang, simptom-simptom infeksi saluran kencing bagian bawah.
Contoh; urin khas
menunjukkan bakteriuria yang bermakna, pyuria dan kadang-kadang
silinder leucocyt.
Infeksi saluran urogenital di tampat-tampat lain (misalnya epididymis,
prostat, daerah
perinephric) sering berkaitan dengan bakteri yang jumlahnya kurang
dari 1000/ml dan
mempunyai menifestasi klinis yang berbeda (Woodley dan Whenlan, 1992)
Pyelonephritis merupakan infeksi bakteri pada ginjal, tumulus dan jaringan
interstinal
dari salah satu atau kedua ginjal (Brunner & Suddarth, 2002).
Infeksi saluran kencing bagian atas (pyelonephritis) adalah infeksi perenchym
ginjal.
Keluhan-keluhan yang menyebabkan penderita datang berkonsultasi adalah
demam dan nyeri
pinggang, simptom-simptom infeksi saluran kencing bagian bawah.
Contoh; urin khas
menunjukkan bakteriuria yang bermakna, pyuria dan kadang-kadang
silinder leucocyt.
Infeksi saluran urogenital di tampat-tampat lain (misalnya epididymis,
prostat, daerah
perinephric) sering berkaitan dengan bakteri yang jumlahnya kurang
dari 1000/ml dan
mempunyai menifestasi klinis yang berbeda (Woodley dan Whenlan, 1992)
Benign prostatic hyperplasia (BPH) adalah pembesaran kelenjar
prostat karena adanya hiperplasia sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat.
BPH merupakan penyakit yang sangat sering mengakibatkan masalah pada
pria dan mengganggu kualitas hidup pria yang menyebabkan keluhan
lower urinary tract symtoms (LUTS).
Etiologi
Etiologi BPH sampai saat ini belum diketahui secara pasti, namun
banyak faktor yang diduga berperan dalam proliferasi/ pertumbuhan
kelenjar prostat. BPH tumbuh pada pria yang berusia tua dan memiliki
testis yang masih menghasilkan testosteron. Beberapa hipotesis
menyebutkan timbulnya hiperplasia prostat karena adanya ketidak
seimbangan antara estrogen-testosteron, interaksi antara sel stroma dan
epitel prostat dan berkurangnya kematian sel (apoptosis).
Testosteron diproduksi oleh sel leydig di testis dan diubah oleh enzim
5α-reductase menjadi dihidrotestosteron (DHT) meransang proliferasi sel
epitel dan stroma prostat. Kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda
dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH aktivitas
enzim 5α-reductase lebih banyak pada BPH yang menyebabkan sel-sel
prostat pada BPH lebih sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih
banyak terjadi.
Manifestasi klinis
Tingkat keparahan gejala pembesaran prostat jinak bisa berbeda pada
tiap penderita, tetapi umumnya akan memburuk seiring waktu. Gejala
utama benign prostatic hyperplasia adalah gangguan saat buang air kecil,
yang bisa berupa:

1. Urine sulit keluar di awal buang air kecil


2. Perlu mengejan saat buang air kecil
3. Aliran urine lemah atau tersendat-sendat
4. Urine menetes di akhir buang air kecil
5. Buang air kecil terasa tidak tuntas
6. Buang air kecil di malam hari menjadi lebih sering
7. Beser atau inkontinensia urine

Pada kasus tertentu, BPH bahkan bisa menyebabkan retensi urine atau


tidak mampu mengeluarkan urine sama sekali. Namun, perlu diingat, tidak
semua pembesaran kelenjar prostat menimbulkan keluhan buang air
kecil, baik buang air kecil terus atau tidak bisa buang air kecil sama sekali.

B. Kanker Prostat
Definisi
Kanker prostat adalah kanker pada pria yang berkembang di dalam
kelenjar prostat, dan umumnya ditandai dengan gangguan buang air kecil.
Sebagian besar penderita kanker prostat berusia di atas 65 tahun. Kanker
ini tidak bersifat agresif dan berkembang secara perlahan.
Etiologi
Penyebab kanker prostat adalah mutasi atau perubahan genetik pada
sel-sel di kelenjar prostat. Namun, penyebab mutasi itu sendiri belum
diketahui secara pasti. Selain itu, ada beberapa faktor yang dapat
meningkatkan risiko terjadinya kanker prostat, antara lain:

1. Pertambahan usia
2. Menderita obesitas
3. Pola makan kurang serat, misalnya kurang asupan antioksidan
seperti likopen
4. Paparan bahan kimia
5. Menderita penyakit menular seksual
6. Memiliki keluarga yang menderita kanker prostat

Manifestasi Klinis
Pada stadium awal, kanker prostat umumnya tak bergejala. Namun,
pada tingkatan tertentu muncul sejumlah tanda. Gejala kanker prostat
adalah sebagai berikut:
1. Sering buang air kecil, terutama pada malam hari

2. Sulit untuk menahan buang air kecil


3. Ada darah di air seni
4. Nyeri saat buang air kecil atau saat ejakulasi
5. Gangguan ereksi
6. Buang air kecil tidak tuntas atau masih tersisa
7. Setelah buang air kecil, urine keluar lagi (bocor)
8. Pada stadium lanjut, kanker prostat sangat sering menjalar (terjadi
metastasis) ke tulang sehingga menimbulkan rasa nyeri hebat di tulang
belakang, tulang panggul, atau di pangkal paha.

2. Kemungkinan penyakit yang dialami pasien berdasarkan gejala


yang ada?

Berdasarkan keluhan pasien yang ada pada scenario yaitu keluhan sulit
buang air kecil (BAK) sejak 2 minggu yang lalu dan memberat 3 hari
terakhir. Pasien mengatakan pancaran kencing lemah dan terputus, terasa
tidak lampias, dan frekuensi menjadi lebih sering bahkan di malam hari
pasien sering terbangun untuk BAK. Perut bagian bawah juga terasa
penuh. Pasien memiliki riwayat demam 2 minggu yang lalu, namun
demam dirasakan pasien hanya sehari saja. Tanda-tanda vital pasien
didapatkan tekanan darah 120/70mmHg, suhu 36,6°C, nadi 80x/menit,
respirasi 20x/menit. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kandung kemih
teraba penuh dan dilakukan pemasangan kateter, air kencing dapat keluar
dan tidak ada darah. Dokter kemudian melakukan rectal toucher dan
mengusulkan pemeriksaan penunjang pada pasien. Yang mana pada
pemeriksaan rektal toucher didapatkan tonus sphincter ani kuat, mukosa
rektum licin, tidak ada massa, ampulla recti intak, prostat teraba
membesar, batas atas teraba, konsistensi kenyal, permukaan licin, nodul
tidak ada, nyeri tekan tidak ada, tidak ada darah dan feses pada handscoen.
Yang mana dari keluhan keluhan serta hasil pemeriksaan pada pasien
kelompok kami mengambil diagnosis kerja yaitu Benign prostatic
hyperplasia (BPH). Yang mana hal ini memang kami indikasikan karena
gejala gejala yang dialami pasien yang khas pada lower urinary tract
symtoms (LUTS), yang mana memang pada pasien terlihat ada keluhan
gejala iritatif seperti frekuensi miksi yang meningkat, nocturia, dan buang
airkecil yang tidak tempias. Memang pada kanker prostat juga memiliki
keluhan yang serupa. Akan tetapi pada pemeriksaan RT nya yang mana ini
memperkuat diagnosis kami karena jika pada kanker prostat seharusnya
konsentrasinya keras, asimetris, dan berbenjol benjol. Dan jika pada
prostatitis pada pemeriksaan RTnya akan didapati nyeri, hangat, dan
konsentrasi nya keras. Sehingga kelompok kami menyepakati untuk
mengambil diagnosis kerja pada pasien itu adalah Benign prostatic
hyperplasia (BPH).

3. Patofisiologi DX?

Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen urethra


prostatika dan menghambat aliran urin yang menyebabkan peningkatan
tekanan intravesikal. Untuk mengeluarkan urin, kandung kemih harus
berkontraksi lebih kuat untuk melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus
menerus dapat menyebabkan perubahan pada anatomik kandung kemih
berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi. Perubahan struktur pada
kandung kemih menyebabkan pasien merasakan keluhan pada lower
urinary tract symptom (LUTS). Tekanan intravesikal yang tinggi
diteruskan ke seluruh bagian kandung kemih. Tekanan pada kedua muara
ureter dapat menimbulkan aliran balik urin dari kandung kemih ke ureter
atau terjadi refluks vesiko-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan
mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis bahkan bisa sampai ke gagal
ginjal. Obstruksi yang diakibatkan oleh BPH tidak hanya disebabkan oleh
adanya massa prostat yang menyumbat urethra posterior, tetapi juga dapat
disebabkan oleh tonus otot polos yang ada pada stroma prostat, kapsul
prostat dan otot polos pada leher kandung kemih.

4. Epidemiologi
Secara histologi prevalensi BPH tergantung pada usia, dengan
perkembangan awal pada usia 40 tahun. Pada usia 60 tahun prevalensinya
lebih dari 50% dan usia 85 tahun menjadi 90%.
Di Indonesia, angka kejadian penyakit BPH belum pernah diteliti
secara pasti, tetapi sebagai gambaran prevalensi di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo (RSCM) sejak tahun 1994-2013 ditemukan 3.804 kasus
dengan rata-rata penderita berusia 61-77 tahun. Data yang didapat dari
Rumah Sakit Hasan Sadikin pada tahun 2012-2016 ditemukan 718 kasus
dimana rata-rata umur penderita berusia 67,9 tahun.

5. Faktor Resiko

Terdapat beberapa faktor yang diperkirakan meningkatkan risiko


terjadinya BPH, antara lain:

a. Faktor Usia
Prevalensi BPH meningkat dengan bertambahnya usia. Beberapa
studi observasi dari Eropa, Amerika Serikat dan Asia telah
menunjukkan usia yang lebih tua menjadi faktor risiko timbulnya BPH
dan perkembangan klinis. Data dari Krimpen and Baltimore
Longitudinal Study of Aging menunjukkan volume prostat meningkat
seiring bertambahnya usia dimana tingkat pertumbuhan prostat sebesar
2-2,5% per tahun pada pria yang lebih tua.
b. Faktor Genetik
Sebuah penelitian analisis kasus-kontrol yang dilakukan pada laki-
laki yang berusia kurang dari 64 tahun yang menjalani operasi untuk
BPH, didapatkan hasil bahwa 50% dari laki-laki yang berusia <60
tahun yang menjalani operasi BPH mewarisi penyakit ini.
c. Faktor Obesitas
Berdasarkan The Baltimore Longitudial Study of Aging
peningkatan indeks massa tubuh (IMT) berhubungan dengan
peningkatan 0,41 ml volume prostat dan memiliki peningkatan risiko
pembesaran prostat 3,5 kali lipat dibandingkan dengan non-obesitas.
d. Faktor Diabetes
Penelitian studi cross-sectional dari Swedia bahwa dokter yang
mendiagnosis diabetes secara signifikan terkait dengan peningkatan
ukuran prostat yang konsisten dengan BPH. Para peneliti ini
mengamati bahwa pasien dengan LUTS mendapati pria dengan
diabetes memiliki kelenjar prostat yang lebih besar daripada pria non-
diabetes. Berdasarkan The Baltimore Longitudial Study of Aging pria
dengan peningkatan glukosa puasa 3 kali lipat lebih mungkin
mengalami BPH dibandingkan dengan pria dengan glukosa normal.
Peningkatan insulin serum dan peningkatan glukosa darah plasma
puasa telah dikaitkan dengan peningkatan ukuran prostat dan risiko
pembesaran prostat.
e. Faktor Aktivitas
Fisik Peningkatan aktivitas fisik telah dikaitkan dengan penurunan
risiko BPH dalam beberapa penelitian besar menunjukkan bahwa
olahraga merupakan faktor pendukung. Dalam Physicians Health
Study, latihan dikaitkan dengan penurunan risiko BPH. Penelitian yang
dilakukan Lacey di Cina (studi kasus-kontrol) peningkatan aktivitas
pekerjaan seperti pengeluaran energi dikaitkan dengan penurunan
risiko BPH.
f. Faktor Diet
Ada beberapa penelitian mengatakan bahwa makronutrien dan
mikronutrien dapat mempengaruhi risiko BPH dan LUTS. Penelitian
analyses of a single study population di Italia (study kasus-kontrol)
bahwa roti, telur unggas dan pati dapat meningkatkan risiko terjadinya
BPH sedangkan kacang hijau, kacang-kacangan, buah dan sayuran
dapat menurunkan risiko terjadinya BPH.
g. Faktor Inflamasi
Peradangan berperan dalam perkembangan BPH yang dibuktikan
dengan hubungan antara BPH dan peradangan dari histologis pada
spesimen yang diperoleh oleh biopsi prostat yang menunjukkan sitokin
inflamasi pada jaringan BPH. Penyebab yang mendasari peradangan
prostat masih belum jelas meskipun ada beberapa hipotesis
mengatakan kerusakan jaringan karena adanya infeksi, respon
autoimun. Infeksi seperti gonorrhea, chlamydia dan trichomonosis.
h. Kebiasaan Merokok
Kebiasaan merokok pada orang dewasa merupakan sebuah
kebiasaan yang diciptakan sendiri, sehingga mempunyai pengaruh bagi
tubuh diri sendiri. Rokok mengandung nikotin. Nikotin adalah zat atau
bahan senyawa pirolidone yang terdapat dalam nikotiana tabacum atau
sintesisnya yang bersifat adiktif yang dapat mengakibatkan
ketergantungan. Nikotin dan konitin (produk pemecah nikotin) pada
rokok mengakibatkan aktifitas enzim perusak androgen sehingga
menyebabkan penurunan kadar testosteron. Kebiasaan merokok ≥ 12
batang/hari mempunyai risiko 10 kali untuk menderita benign prostatic
hyperplasia.
i. Kebiasaan Minum Alkohol
Konsumsi alkohol akan menghilangkan kandungan zink dan
vitamin B6 yang penting untuk prostat yang sehat. Zink sangat penting
kelenjar prostat. Prostat menggunakan zink 10 kali lipat dibandingkan
dengan organ yang lain. Zink membantu mengurangi kandungan
prolaktin di dalam darah. Prolaktin meningkatkan penukaran hormon
testosterone menjadi dehidrotestosteron.

6. Pemeriksaan Penunjang dan Pemeriksaan Fisik

Anamnesis
1. Riwayat penyakit
Dilakukan anamnesis atau wawancara untuk mendapatkan data
tentang riwayat penyakit yang dideritanya, meliputi: 1 Sejak kapan
keluhan itu sudah mengganggu, Riwayat penyakit lain dan
penyakit pada saluran urogenitalia (pernah mengalami cedera,
infeksi, kencing berdarah (hematuria), kencing batu atau
pembedahan pada saluran kemih), Riwayat kesehatan secara umum
dan keadaan seksual.
2. Skor keluhan
Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran
kemih bawah digunakan sistem scoring yaitu Internatonal Prostate
System Score (IPSS) yang telah dikembangkan American
urological Association (AUA) dan distandarisasi oleh World
Health Organization (WHO). Skor ini berguna untuk menilai dan
memantau keadaan pasien BPH. IPSS terdiri atas 7 pertanyaan
yang masing-masing memiliki nilai 0-5 dengan total maksimun 35.
Berat- ringannya keluhan pasien BPH dapat digolongkan
berdasarkan skor yang diperoleh, yaitu : skor 0-7: ringan , skor 8-
19: sedang dan skor 20-35: berat. IPSS sudah ada dalam Bahasa
Indonesia dimana sebelumnya sudah dilakukan validasi dan
reabilitas sangat baik, dan terbukti memiliki kualitas sama dengan
versi yang asli.
3. Visual Prostatic Symtom Score (VPSS)
Metode lain menilai secara subyektif gangguan saluran kemih
bawah dengan visual prostatic symtom score (VPSS). VPSS
memiliki keuntungan dibandingkan IPSS antara lain lebih mudah
digunakan pada lansia yang mengalami gangguan penglihatan yang
sulit membaca tulisan IPSS. Penelitian Afriansyah, dkk
menunjukkan bahwa VPSS berkorelasi secara signifikan dengan
IPSS dan dapat dilakukan tanpa bantuan oleh populasi dengan
edukasi rendah.

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan antara lain :


1. Ginjal
Pemeriksaan fisik ginjal pada BPH untuk mengevaluasi adanya
tanda obstruksi atau tanda infeksi.
2. Kandung kemih
Pemeriksaan kandung kemih dilakukan dengan palpasi dan perkusi
untuk menilai isi kandung kemih, ada tidaknya tanda infeksi.
3. Genitalia eksterna
Penilaian adanya meatal stenosis, fimosis, tumor penis serta
urethral discharge.
4. Colok dubur
Colok dubur atau digital rectal examination (DRE) adalah salah
satu pemeriksaan yang penting pada pasien BPH. Pemeriksaan ini
dilakukan untuk memperkirakan adanya pembesaran prostat,
konsistensi prostat dan adanya nodul yang merupakan salah satu tanda
dari keganasan prostat. Pada pemeriksaan colok dubur dilakukan untuk
menilai tonus sfringter ani dan reflex bulbokanervous yang dapat
menunjukkan adanya kelainan pada lengkung reflex di daerah sakral.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain :
1. Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis dapat menentukan adanya leukosituria dan
hematuria. Bila dicurigai adanya infeksi saluran kemih perlu dilakukan
pemeriksaan kultur urine.
2. Pemeriksaan fungsi ginjal
Obstruksi infravesika akibat BPH dapat menyebabkan gangguan
pada saluran kemih bagian atas. Gagal ginjal akibat BPH terjadi
sebanyak 0,3-30% dengan rata-rata 13,6%. Pemeriksaan faal ginjal
berguna sebagai petunjuk perlu tidaknya melakukan pemeriksaan
pencitraan pada saluran kemih bagian atas.
3. Pemeriksaan prostate specific antigen (PSA)
PSA digunakan untuk pengukuran pertumbuhan prostat dan deteksi
keganasan dini bersama dengan parameter diagnostik lainnya (USG,
skor gejala prostat internasional) untuk memastikan diagnosis penyakit
prostat. PSA dapat meningkat karena pertumbuhan jaringan prostat,
peradangan prostat, infeksi saluran kemih, trauma pada area perineum
dan ejakulasi pria. Perkembangan kelenjar prostat dapat diprediksikan
berdasarkan kadar PSA. Semakin tinggi kadar PSA, maka semakin
cepat laju pertumbuhan prostat.
4. Uroflowmetry (pancaran urin)
Uroflowmetry adalah pemeriksaan pancaran urin selama proses
berkemih. Pemeriksaan non-invasif ini ditujukan untuk mendeteksi
gejala obstruksi saluran kemih bagian bawah. Dari pemeriksaan ini
dapat diperoleh informasi mengenai volume berkemih, laju pancaran
maksimun (Qmax), laju pancaran rata-rata (Qave), waktu yang
dibutuhkan untuk mencapai laju pancaran maksimum dan lama
pancaran. Hasil uroflowmetry tidak spesifik menunjukkan penyebab
terjadinya kelainan pancaran urin. Pancaran urin yang dapat
disebabkan karena obstruksi saluran kemih atau kelemahan otot
detrusor.
5. Post voiding residual urine (PVR)
PVR adalah jumlah sisa urin setelah miksi. Jumlah residu pada pria
normal rata-rata 12 mL. Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cara
USG, bladder scan atau dengan kateter uretra. Pengukuran dengan
kateter lebih akurat dibandingkan USG, tetapi tidak nyaman bagi
pasien karena dapat menimbulkan cedera urethra dan infeksi saluran
kemih.

7. Penatalaksanaan farmako dan non farmako?

Tujuan terapi pada pasien BPH untuk memperbaiki kualitas hidup


pasien. Terapi yang dilakukan pada pasien tergantung pada derajat
keluhan, keadaan pasien dan ketersediaan fasilitas setempat. Terapi pada
BPH adalah konservatif (watchful waiting), medikamentosa dan
pembedahan.
a. Konservatif
Pada manajemen konservatif, pasien tidak mendapatkan terapi
apapun dari dokter. Meski demikian, perkembangan penyakit prostat
yang dialami pasien tetap akan diawasi oleh dokter. Pengawasan ini
biasanya dilaksanakan dalam bentuk kontrol berkala setiap 3-6 bulan
sekali untuk melihat perubahan pada keluhan, skor IPSS,
uroflowmetry, dan volume residu urin. Manajemen konservatif hanya
direkomendasikan bagi pasien dengan keluhan ringan yang tidak
mengganggu aktivitas sehari-hari alias memiliki skor IPSS.
Selain melakukan pengawasan berkala, pasien juga diberikan
edukasi mengenai faktor risiko dan Tindakan pencegahan untuk
menghambat perkembangan penyakit BPH sang pasien. Edukasi ini
meliputi anjuran untuk mengurangi asupan minum, kopi, atau alkohol
setelah makan malam, konsumsi cokelat serta bahan makanan yang
menyebabkan iritasi vesica urinaria, penggunaan obat-obatan golongan
fenilpropanolamin pada influenza, serta kebiasaan menahan urinasi
dalam waktu lama. Selain itu, bila pasien memiliki riwayat konstipasi,
dokter juga perlu menatalaksana keluhan tersebut.
b. Medikamentosa
Terapi medikamentosa atau farmakologis digunakan pada pasien
BPH yang memiliki gejala mengganggu atau skor IPSS > 7. Algoritma
pemilihan tipe obat menurut gejala yang ditemukan dapat dilihat pada
bagan berikut.1,4 Adapun beberapa golongan obat yang kerap
digunakan sebagai terapi medikamentosa BPH meliputi :
A. α1-blocker
Obat golongan α1-blocker bekerja dengan cara menghambat
kontraksi lapisan otot polos dinding prostat. Hal ini dapat
mengurangi tahanan leher vesica urinaria dan uretra sehingga
mampu mengurangi keluhan iritatif (storage), ditandai dengan
peningkatan frekuensi urinasi, dan obstruktif (voiding), ditandai
dengan kencing mengejan, sekaligus. Beberapa obat meliputi
terazosin, doksazosin, alfazosin, dan tamsulosin yang dinimum
sekali sehari dengan dosis yang perlu dititrasi. Sekitar 30-45%
pasien yang diberikan obat ini memiliki penurunan skor IPSS.
Bahkan, pada sekitar 15-30% pasien, skor tersebut turun 4 hingga 6
poin.
Setiap α1-blocker memiliki efek samping yang berbeda-beda.
Meski demkian, efek samping tersebut biasanya termanifestasi
pada sistem kardiovaskular dan neurologi sehingga muncul gejala
hipotensi, asthenia, vertigo, dan intraoperative floppy iris
syndrome (IFIS). IFIS umumnya disebabkan oleh tamsulosin dapat
menyebabkan berkurangnya kemampuan dilasi pupil, miosis
progresif, gas dalam iris, dan prolaps iris pada operasi katarak.
Meski demikian, obat golongan ini sangat direkomendasikan pada
kasus BPH dengan gejala sedang menuju berat.
B. Penghambat
5α-reduktase Obat golongan penghambat 5α-reduktase bekerja
dengan cara menginduksi apoptosis pada sel-sel penyusun jaringan
epitel prostat melalui inhibisi isoenzim 5α-reduktase, enzim yang
dapat mengkonversi testosteron menjadi dihidrotestosteron (DHT).
Oleh sebab itu, obat-obat golongan ini mampu mengecilkan
volume prostat. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa dampak
pengecilan ini mampu mencapai 30% ukuran pembesarannya. Ada
dua jenis obat golongan penghambat 5α-reduktase, yaitu finasteride
dan dutasteride. Keduanya baru akan menghasilkan efek setelah
lewat 6 bulan.
Indikasi penggunaan dutasteride adalah jika volume prostat >
30 cc, sementara indikasi finasteride bila volume > 40 cc.
Dutasteride digunakan dengan dosis 0,5 mg, sementara finasteride
dengan dosis lebih tinggi yaitu 5 mg. Penggunaannya sangat
direkomendasikan oleh AUA dan IAUI untuk kasus BPH yang
lebih berat, meski tidak didukung oleh literatur selengkap α1-
blocker.
Beberapa efek samping yang dapat diakibatkan penggunaan
penghambat 5α-reduktase meliputi disfungsi ereksi, penurunan
libidio, ginekomastia, dan muncul bercak-bercak kemerahan di
kulit. Selain itu, penghambat 5α-reduktase dapat menurunkan
kadar PSA sampai setengah dari nilai awalnya sehingga dapat
menimbulkan negatif palsu dalam deteksi kanker prostat. Meski
demikian, efek samping tersebut tidak begitu besar dan minimal.
C. Antagonis reseptor muskarinik
Cara kerja obat-obatan antagonis reseptor muskarinik adalah
dengan menginhibisi stimulasi reseptor muskarinik. Hal ini
menyebabkan berkurangnya kontraksi jaringan otot polos pada
vesica urinaria. Oleh sebab itu, antagonis reseptor muskarinik,
seperti fesoterodine fumarate, propiverine HCl, tolterodine l-
tartrate, dan solifenacin succinate, kerap digunakan jika α1-blocker
tidak berhasil mengurangi gejala iritatif BPH.
Antagonis reseptor muskarinik diduga sangat bermanfaat dalam
penurunan gejala iritatif BPH pada pasein dengan volume prostat
yang belum begitu besar. Di sisi lain, penggunaan antagonis
muskarinik dapat menimbulkan kekeringan mulut, konstipasi,
pusing, nasofaringitis, dan kesulitan berkemih. Efek samping yang
cukup banyak dan masih minimnya literatur mengenai efektivitas
antagonis reseptor muskarinik, membuat IAUI tidak begitu
merekomendasikan penggunaannya kecuali pada gejala iritatif
yang tidak dapat disembuhkan α1- blocker.
D. Penghambat fosfodiesterase-5
Penghambat fosfodiesterase-5, atau penghambat PDE-5,
merupakan golongan obat dengan kemampuan meningkatkan
konsentrasi dan aktivitas cyclic guanosine monophosphate (cGMP)
intraselular. Oleh sebab itu, obat ini mampu mengurangi tonus otot
polos pada dinding m. detrusor, prostat, dan uretra. Meski tersedia
dalam bentuk sildenafil, vardenafil, dan tadalafil, IAUI hanya
merekomendasikan penggunaan tadalafil.
Dosis yang direkomendasikan oleh IAUI adalah tadalafil 5 mg
perhari. Obat golongan ini dapat menurunkan skor IPSS hingga
sebesar 37% dari nilai semula.4 Alasan pemilihan tadalafil
ketimbang 2 jenis obat lainnya adalah karena tadalafil tidak
menyebabkan gangguan visual dan flushing akibat cross-reaction
berlebihan dengan PDE-6. Meski demikian, tadalafil dapat
menyebabkan nyeri punggung pada beberapa penggunanya.
Salah satu efek lain yang dimiliki oleh seluruh golongan
penghambat PDE-5 adalah kemampuannya mengobati disfungsi
ereksi. Sebuah studi Cochrane menyebutkan bahwa penggunaan
penghambat PDE-5 sama efektifnya dengan penggunaan α1-
blocker pada BPH sedang hingga berat. Konsensus IAUI juga
merekomendasikan penggunaan penghambat PDE-5 sebagai
alternatif α1-blocker yang sederajat.
E. Terapi kombinasi
Kombinasi α1-blocker dan penghambat 5α-reduktase dapat
menghasilkan efek sinergis yang mampu mengkombinasikan
keuntungan dari kedua golongan obat tersebut. Salah satu
keuntungannya adalah dengan mempercepat efek klinis obat karena
obat golongan penghambat 5αreduktase membutuhkan waktu
berbulan-bulan sebelum perubahan klinis terlihat. Selain itu, efek
sinergis hasil kombinasi kedua golongan obat yang ditemukan pada
terapi kombinasi juga lebih efektif dalam mengurangi
kemungkinan retensi urin dan progresi ke arah kanker yang
membutuhkan terapi bedah. Meski demikian, kombinasi ini turut
memperbesar risiko terjadinya efek samping. Oleh sebab itu,
pengobatan ini hanya dikhususkan bagi pasien dengan keluhan
sedang-berat dan risiko progresi tinggi. Selain itu, obat ini hanya
digunakan pada rencana jangka panjang atau lebih dari 1 tahun.
Kombinasi α1-blocker dan antagonis reseptor muskarinik dapat
melakukan inhibisi reseptor jaringan otot polos saluran perkemihan
bagian bawah dalam jumlah yang lebih besar dari monoterapi salah
satu penyusunnya. Hal ini dapat terjadi karena kombinasi ini
mampu memblok baik reseptor α1 maupun reseptor muskarinik
M2 dan M3. Dengan demikian, pasien yang memiliki keluhan
iritatif dan overaktivitas detrusor mampu mengalami penurunan
keluhan secara signifikan. Pengobatan dengan kombinasi obat ini
dapat mengurangi frekuensi urinasi, gejala nokturia, urgensi,
inkontinensia, dan skor IPSS. Dalam menatalaksana pasien dengan
pengobatan ini, dibutuhkan pemeriksaan residu urin secara berkala
untuk mengamati proses penyembuhan dengan baik.
F. Fitofarmaka
Fitofarmaka merupakan ekstrak dari tumbuh-tumbuhan herbal
tertentu yang dipercaya memiliki khasiat terapetik. Meski
demikian, hanya sedikit literatur yang berhasil membahas dan
membuktikan efektivitas zat aktif yang tergantung dalam
fitofarmaka sebagai agen terapi medikamentosa BPH. Oleh sebab
itu, baik IAUI maupun AUA tidak merekomendasikan penggunaan
fitofarmaka sebagai agen terapi BPH. Meski demikian,
penggunaannya dapat dipakai sesuai dengan permintaan pasien
atau kebijaksanaan dokter selama fitofarmaka yang digunakan
tidak memiliki interaksi buruk dengan obatobatan konvensional
lain. Beberapa fitofarmaka yang kerap digunakan dalam
tatalaksana BPH meliputi Pygeum africanum, Hypoxis rooperi,
Serenoa repens, dan lain-lain.

c. Pembedahan
Pembedahan merupakan suatu tindakan tatalaksana BPH yang
bersifat invasif. Oleh sebab itu, indikasi yang jelas perlu ditemukan
sebelum seorang klinisi memutuskan untuk melakukan pembedahan.
Indikasi-indikasi tersebut, meliputi retensi urin akut, infeksi saluran
kemih berulang, hematuria makroskopik, sistolitiasis, penurunan
fungsi ginjal, gagal berkemih setelah melepaskan kateter, perubahan
patologis pada vesica urinaria, keluhan telah memberat, tidak adanya
perbaikan setelah terapi konservatif dan medikamentosa, serta pasien
menolak terapi selain bedah. Adapun berikut merupakan beberapa
pilihan terapi pembedahan yang dapat dilakukan.
A. Transurethral Resection of the Prostate (TURP)
TURP merupakan suatu pembedahan invasif minimal yang
kerap digunakan pada pasien BPH dengan volume prostat 30-80
cc. Meski demikian, TURP dapat digunakan pada kondisi prostat
apapun tergantung pada pengalaman dan ketersediaan peralatan
seorang ahli bedah urologi. Pada umumnya, TURP memiliki
efektivitas dalam perbaikan gejala BPH yang mencapai 90%
sehingga metode ini merupakan salah satu baku emas tatalaksana
invasif BPH.

Prosedur TURP merupakan prosedur yang sangat


direkomendasikan oleh IAUI. Akan tetapi, tingkat keberhasilan
TURP dapat menurun bila terjadi retensi bekuan darah, retensi urin
akut, maupun infeksi saluran kemih. Selain itu, terdapat pula angka
mortalitas 30 hari pertama pascaoperasi sebesar 0,1% serta
kemungkinan terjadinya komplikasi yang meliputi ejakulasi
retrograd, disfungsi ereksi, dan stenosis leher vesica urinaria.
B. Laser Prostatektomi
Laser prostatektomi merupakan penembakan sinar berenergi
untuk menghancurkan jaringan hiperplastik prostat. Jenis-jenis
laser yang kerap digunakan meliputi laser Nd:YAG,
Holmium:YAG, KTP:YAG, Green Light Laser, Thulium:YAG,
dan Diode. Penggunaan laser dalam tatalaksana invasif
direkomendasikan bila pasien sedang dalam terapi antikoagulan
yang tidak dapat dihentikan karena risiko mengidap emboli yang
tinggi. Pada prosedur ini, prostat akan mengalami koagulasi ketika
temperatur telah mencapai 600C hingga 650C. Pada temperatur
1000C, prostat akan mengalami vaporisasi dan ukurannya
mengecil.
C. Transurethral Insicion of the Prostate (TUIP)
Termoterapi merupakan tindakan memanaskan jaringan prostat
menggunakan transurethral microwave, transurethral needle
ablation, atau high intensity focused ultrasound hingga suhu 450C
untuk menimbulkan nekrosis dan koagulasi jaringan tersebut.
Dampak dari termoterapi adalah penggunaan kateter yang
berkepanjangan meski tanpa perlu melakukan perawatan inap di
rumah sakit. Dari ketiga metode pemberian panas, metode
transurethral needle ablation memiliki angka rekurensi BPH
terrendah dengan kisaran 20-50% pada 20 bulan pertama
pascatindakan.
D. Termoterapi Kelenjar Prostat
Stent merupakan alat medis yang dapat dipasang di dalam
lumen saluran antara leher vesica urinaria dan area proksimal dari
colliculus seminalis. Dengan memasang alat bantu ini, dapat
membuka jalur aliran urin di lumen uretra pars prostatika sehingga
urinasi dapat berjalan lancar kembali. Stent dapat dipasang secara
temporer hingga kondisi kembali normal atau secara permanen.
Beberapa efek samping dari pemasangan stent adalah obstruksi,
disuria, dan nyeri perineal.
E. Pemasangan Stent
Intraluminal Stent merupakan alat medis yang dapat dipasang
di dalam lumen saluran antara leher vesica urinaria dan area
proksimal dari colliculus seminalis. Dengan memasang alat bantu
ini, dapat membuka jalur aliran urin di lumen uretra pars prostatika
sehingga urinasi dapat berjalan lancar kembali. Stent dapat
dipasang secara temporer hingga kondisi kembali normal atau
secara permanen. Beberapa efek samping dari pemasangan stent
adalah obstruksi, disuria, dan nyeri perineal.
F. Operasi Terbuka
Terdapat dua jenis pembedahan terbuka, yaitu metode Freyer
melalui transvesikal dan metode Millin secara retropubik.
Pembedahan dengan operasi terbuka baru dianjurkan ketika
volume prostat telah mencapai angka melebihi 80 cc. Hal ini
disebabkan oleh fakta bahwa operasi terbuka merupakan cara
operasi yang sangat invasif dengan angka morbiditas tinggi.
Perdarahan dapat menjadi penyulit dini di tengah operasi dan
meningkatkan risiko mortalitas atau komplikasi pascatindakan.
Beberapa komplikasi yang kerap terjadi meliputi striktur uretra
pada 6% kasus dan inkontinensia urin pada 10% kasus.
G. Kateterisasi
Kateterisasi merupakan tindakan pemasangan kateter dengan
tujuan memudahkan rilis urin. Kateterasi kerap digunakan untuk
menangani retensi urin kronik pada pasien yang tidak dapat
menerima operasi. Kateterisasi dapat bersifat intermiten, atau clean
intermittent catheterization (CIC), maupun menetap. CIC biasanya
dikerjakan sebelum pemasangan kateter menetap dan dilakukan
dalam lingkungan steril secara periodik.
Bila kateterisasi ingin dihentikan, perlu dilakukan evaluasi
selama 3-7 hari bersamaan dengan pemberian obat-obatan α1-
blocker. Evaluasi ini bertujuan untuk melihat pancaran dan sisa
urin ketika pasien berkemih tanpa pemberian kateter. Di sisi lain,
bila kateterisasi melalui uretra tidak dapat dilakukan, prosedur
alternatif yang dapat dipilih adalah sistostomi. Sistosomi
merupakan prosedur pemasangan kateter khusus secara
supravesika melalui dinding abdomen.

8. Komplikasi dan prognosis ?


Komplikasi
Melansir dari Mayo Clinic, berikut sejumlah komplikasi yang bisa
disebabkan oleh BPH, yaitu:

A. Retensi urine. Retensi urine ditandai dengan ketidakmampuan


seseorang untuk buang air kecil. Pengidap BPH yang mengalami
retensi urine mungkin perlu dibantu dengan kateter yang dimasukkan
ke dalam kandung kemih untuk mengeringkan urine. 

B. Infeksi saluran kemih. BPH juga bisa membuat pengidapnya tidak


mampu mengosongkan kandung kemih sepenuhnya. Kondisi ini
meningkatkan risiko infeksi saluran kemih.
C. Batu kandung kemih. Batu kandung kemih juga dapat terbentuk
apabila pengidap BPH tidak mampu mengosongkan kandung kemih
sepenuhnya. Jika ukurannya semakin besar, batu bisa menyebabkan
infeksi, mengiritasi kandung kemih, dan menyumbat aliran urine.
D. Kerusakan kandung kemih. Kandung kemih yang tidak dikosongkan
sepenuhnya lama kelamaan dapat meregang dan melemah. Akibatnya,
dinding otot kandung kemih tidak lagi berkontraksi dengan baik.
E. Kerusakan ginjal. Tekanan pada kandung kemih akibat retensi urine
terus-menerus dapat merusak ginjal atau menyebarkan infeksi kandung
kemih sampai ke bagian ginjal.

Pognosis
Untuk Benign prostatic hyperplasia (BPH) ini sendiri selama dilakukan
penanganan dengan cepat dan sesuai dengan prosedur pengobatan yang
baik dan benar maka prognosisnya adalah dubia ad bonam.

9. KIE

Informasikan pada pasien dan keluarga pasien tentang penyakit yang


diderita pasien. Supaya pasien beserta keluarga lebih mengetahui tentang
penyakit yang dideritanya terutama untuk pengedukasian tentang
mengonsumsi obat sesuai dengan yang dianjurkan oleh dokter. Serta
pengedukasian tentang efek samping obat obatan dan penatalaksanaan
yang diberikan. Serta diedukasikan kepada keluarga pasien dan pasien
tentang factor factor resiko yang dapat menyebabkan BPH ini sendiri, dan
bagaimana manifestasi klinisnya supaya nanti pada saat pasien terkena
kekambuhan lagi, bisa cepat ditangani.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Skenario LBM 3 yang bejudul “Sulit Buang Air Kecil” ini merupakan
skenario yang menstimulasi kelompok kami dalam mendiskusikan
permasalahan yang ada, kami membahas mulai dari penyebab penyebab
keluhan keluhan yang keluhan keluhan yang dirasakan pasien serta hasil
pemeriksaan fisik pada pasien di skenario, yang mengarahkan kelompok
kami untuk menentukan diagnosis kerja pada pasien yaitu Benign prostatic
hyperplasia (BPH). Hiperplasia prostat jinak atau BPH merupakan sebuah
diagnosis histologik yang merujuk kepada proliferasi jaringan epitel dan
otot halus di dalam zona transisi prostatika. Diagnosis yang kerap diderita
oleh populasi pria lanjut usia ini dapat memberikan penurunan kualitas
hidup yang signifikan. Oleh sebab itu, penting untuk mengetahui pilihan
terapi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup.
Berdasarkan penelusuran literatur termutakhir, setidaknya terdapat tiga
tipe kelompok tatalaksana, yaitu terapi konservatif (watchful waiting),
medikamentosa, dan pembedahan. Terapi-terapi yang bertujuan untuk
memperbaiki kualitas hidup pasien tersebut dipilih sesuai dengan derajat
keluhan, keadaan pasien, dan ketersediaan fasilitas lokal. Pemilihan terapi
dilakukan dengan memulai dari pilihan yang paling tidak invasif terlebih
dahulu. Di sisi lain, meski sulit dicegah, beberapa tindakan preventif,
seperti pemilihan obat-obatan yang tidak menimbulkan BPH lebih awal,
gaya hidup sehat dengan tidak merokok, berolahraga, menjaga berat
badan, dan mengatur pola diet seimbang, dapat dilakukan guna mencegah
dan menunda kemunculan BPH pada populasi laki-laki lanjut usia.

DAFTAR PUSTAKA

McVary K, Roehrborn C. Management of benign prostatic hyperplasia


[Internet]. American Urological Associaton. 2014 [cited 2020 Aug 28]. Available
from: https://www.auanet.org/benign-prostatic-hyperplasia.
Egan KB. The Epidemiology of Benign Prostatic Hyperplasia Associated
with Lower Urinary Tract Symptoms: Prevalence and Incident Rates. Urol Clin
North Am. 2016 Aug;43(3):289–97.
Scher H, Eastham J. Benign and malignant diseases of the prostate. In:
Harrison’s principles of internal medicine. 20th ed. New York: McGraw Hill
Education; 2018. p. 623–32.
Mochtar C, Umbas R, Soebadi D, Rasyid N, Noegroho B, Poernomo BB, et
al. Panduan penatalaksanaan klinis pembesaran prostat jinak (benign prostatyic
hyperplasia/BPH). 2nd ed. Jakarta: Ikatan Ahli Urologi Indonesia; 2015. 12–25 p.
Stelzner S. Intraoperative management of iris prolapse [Internet]. American
academy of ophthalmology. 2019 [cited 2020 Aug 30]. Available from:
http://eyewiki.aao.org/Intraoperative _Management_of_Iris_Prolapse.
Lue T. Male sexual dysfunction. In: Smith & Tanagho’s general urology.
18th ed. New York: McGraw Hill Education; 2013. p. 600, 610.
Pattanaik S, Mavuduru R, Panda A, Matthew J, Agarwal M, Hwang E, et al.
Phosphodiesterase penghambats for lower urinary tract symptims consistent with
benign prostatic hyperplasia. Urol Clin North Am. 2018 Nov 16;(11).
National Cancer Institute. TURP [Internet]. National Cancer Institute. 2011
[cited 2020 Sep 1]. Available from: https://www.cancer.gov/publications/
dictionaries/cancer-terms.
Kristal AR, Arnold KB, Schenk JM, Neuhouser ML, Goodman P, Penson
DF, et al. Dietary Patterns, Supplement Use, and the Risk of Symptomatic Benign
Prostatic Hyperplasia: Results from the Prostate Cancer Prevention Trial. Am J
Epidemiol. 2008 Apr 15;167(8):925–34.
Roehrborn C. Benign prostatic hyperplasia: etiology, pathophysiology,
epidemiology, and natural history. In: Campbell-Walsh urology. 11th ed.
Philadelphia: Elsevier; 2016. p. 2440–4.

Anda mungkin juga menyukai