Anda di halaman 1dari 15

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan limpahan
rahmat dan karunia-Nya Penulis dapat menyelesaikan “Laporan Penugasan Blok XIX: Upaya
Promotif dan Preventif Terhadap Penyakit Kekurangan Vitamin A” ini dengan tepat waktu.
Tidak lupa Penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam
proses penyelesaian tugas terutama dosen pengampu kelompok Penulis, dr. Isna K. Nintyastuti,
M. Sc., Sp. M. dan dr. Siti Farida ITSW, Sp. M(K), sekaligus sebagai dosen pengajar di Fakultas
Kedokteran Universitas Mataram.
Semoga dengan adanya tugas ini, Pembaca dapat memperoleh edukasi terhadap tema
yang diangkat dalam laporan ini. Demikian “Laporan Penugasan Blok XIX: Upaya Promotif dan
Preventif Terhadap Penyakit Kekurangan Vitamin A” ini, Penulis mohon maaf apabila terdapat
kekurangan dalam tugas. Penulis mengharapkan adanya evaluasi terhadap tugas ini untuk
perbaikan terhadap tugas di kemudian hari.

Mataram, 26 Agustus 2019

Penulis
(Kelompok 4)

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar..................................................................................................................... i
Daftar Isi.............................................................................................................................. ii
A. Latar Belakang................................................................................................................ 1
B. Definisi Kekurangan Vitamin A (KVA)......................................................................... 1
C. Epidemiologi KVA......................................................................................................... 2
D. Gangguan Akibat KVA.................................................................................................. 3
E. Program Pencegahan dan Cakupan Keberhasilan Program............................................ 8
F. Kesimpulan...................................................................................................................... 9
G. Saran............................................................................................................................... 10
Daftar Pustaka...................................................................................................................... 11
Lampiran.............................................................................................................................. 13

ii
A. Latar Belakang

Kekurangan Vitamin A (KVA) termasuk salah satu defisiensi mikronutrien yang


paling banyak di dunia. KVA sering terjadi pada anak-anak, terutama di negara
berkembang. Secara global, diperkirakan sekitar 30% anak-anak usia dibawah lima tahun
mengalami kekurangan vitamin A, dan sekitar 2% dari semua kematian akibat KVA
terjadi pada kelompok umur tersebut[14].
KVA pada anak biasanya terjadi pada anak yang menderita Kurang Energi Protein
(KEP) atau gizi buruk sebagai akibat asupan zat gizi sangat kurang, termasuk zat gizi
mikro (dalam hal ini vitamin A). Daya tahan tubuh anak yang menderita KVA menurun
sehingga mudah terserang infeksi seperti infeksi saluran pernafasan akut, campak, cacar
air, diare dan infeksi lainnya. Kurangnya konsumsi makanan (< 80 % AKG) yang
berkepanjangan akan menyebabkan anak menderita KVA. Selain itu, gangguan
penyerapan pada usus juga dapat menyebabkan KVA walaupun hal ini sangat jarang
terjadi[3].

Oleh karena itu, tindakan pencegahan KVA penting dilakukan. Saat ini,
suplementasi vitamin A dosis tinggi merupakan intervensi yang paling banyak digunakan
untuk mengatasi KVA. Tercatat lebih dari 80 negara di seluruh dunia menerapkan
program suplementasi vitamin A kepada anak usia 6-59 bulan. Melalui program
suplementasi vitamin A dosis tinggi, angka kesakitan dan kematian akibat campak, diare
dan penyakit lainnya dapat berkurang. Selain itu, terdapat juga program fortifikasi
vitamin A yaitu penambahan serbuk mikronutrien vitamin A ke dalam makanan[14].

Meskipun telah banyak kebijakan maupun intervensi KVA yang sudah disusun,
[4]
cakupan keberhasilan program tersebut belum mencapai 100% .Salah satu
kemungkinan penyebab dari hal ini adalah kurangnya kesadaran dan pengetahuan
masyarakat tentang gizi yang baik.Untuk mengatasi hal tersebut, kegiatan promosi
kesehatan perlu digencarkan.

B. Definisi Kekurangan Vitamin A

1
Kadar vitamin A dalam tubuh orang dewasa dikatakan mengalami defisiensi
apabila konsentrasi/kadar retinol serum atau plasma <0,70 μmol/l (20μg/dl), ada juga
yang mengatakan <1,05 μmol/l. Sementara itu, pada anak usia prasekolah (0-4 tahun),
vitamin A dikatakan defisiensi apabila konsentrasi retinol serum <0,70 μmol/l, dan
dikatakan cukup jika konsentrasi retinol serum
≥0,70 μmol/l [13].

C. Epidemiologi Kekurangan Vitamin A


Kekurangan Vitamin A (KVA) merupakan bentuk malnutrisi mikronutrien yang
paling sering terjadi pada 21,1% anak-anak usia prasekolah dan 5,6% wanita hamil di
dunia. Data terbaru yang didapatkan menunjukkan bahwa kejadian KVA menyebabkan
[13]
kematian pada 800.000 wanita dan anak-anak di dunia . Selain itu, data lain juga
menyatakan bahwa KVA paling banyak terjadi pada anak-anak berusia <5 tahun dengan
angka prevalensi mencapai 30%. Pada usia tersebut, angka kematian atau mortalitas
akibat kejadian KVA ini diperkirakan mencapai 2% [14].
Anak-anak yang mengalami KVA paling banyak berada di daerah Asia Selatan.
Penemuan kejadian KVA di Asia Selatan meningkat dari 58% pada tahun 2003 menjadi
71% pada tahun 2005 [7]. Berdasarkan guideline dari WHO terkait dengan kejadian KVA,
negara Burma, Kamboja, Indonesia dan Laos masih memiliki angka prevalensi KVA
yang tinggi yakni sebesar 20%. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian KVA
membutuhkan lebih banyak perhatian, khususnya di Indonesia sendiri. Berikut
merupakan prevalensi kejadian KVA di Asia Selatan [1].
Gambar 1. Estimasi Prevalensi Kejadian KVA (%) pada Anak-Anak Usia
Prasekolah[1]

2
Berdasarkan hasil dari Pemantauan Status Gizi (PSG) tahun 2017, kejadian gizi
buruk di Indonesia terutama pada balita usia 0-59 bulan sebesar 3,9% dan persentase
balita dengan gizi kurang adalah sebesar 13,8%. Dimana provinsi dengan persentase gizi
buruk dan gizi kurang pada balita 0-59 bulan tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur
yakni sebesar 7,3% dan 22,2%. Selanjutnya untuk provinsi Nusa Tenggara Barat
persentase balita usia 0-59 bulan dengan gizi buruk adalah 5,9% dan balita dengan gizi
[4]
kurang adalah 20,5% . Kejadian gizi buruk dan kurang ini dapat mempengaruhi
prevalensi dari KVA. Dimana kejadian KVA ini biasanya terjadi pada anak yang
menderita Kurang Energi Protein (KEP) atau gizi buruk sebagai akibat asupan zat gizi
sangat kurang, termasuk zat gizi mikro (dalam hal ini vitamin A). Daya tahan tubuh anak
yang menderita KVA menurun sehingga mudah terserang infeksi seperti infeksi saluran
pernafasan akut, campak, cacar air, diare dan infeksi lainnya. Kurangnya konsumsi
makanan (< 80 % AKG) yang berkepanjangan akan menyebabkan anak menderita KVA.
Selain itu, gangguan penyerapan pada usus juga dapat menyebabkan KVA walaupun hal
ini sangat jarang terjadi[3].

Kejadian KVA yang mengakibatkan kebutaan, khususnya pada anak-anak telah


dinyatakan sebagai salah satu masalah kesehatan gizi utama di Indonesia. Prevalensi
kejadian KVA di Indonesia yang masih mencapai angka 22% tentunya membutuhkan
perhatian bagi pemerintah, tenaga kesehatan serta masyarakat Indonesia sendiri [1].

D. Gangguan Akibat Kekurangan Vitamin A

3
1. Xeroftalmia
Xeroftalmia merupakan gangguan yang terjadi akibat kekurangan vitamin A pada
mata, termasuk terjadinya kelainan anatomi bola mata dan gangguan fungsi sel retina
yang selanjutnya dapat menyebabkan kebutaan. Xeroftalmia berasal dari bahasa Latin
yang berarti mata kering, dimana hal ini menunjukkan terjadinya kekeringan pada
konjungtiva dan kornea pada mata. Bentuk dari xeroftalmia sendiri dapat berupa xerosis
konjungtiva dan kornea, bercak Bitot, keratomalasia, niktalopia dan retinopati[6].
Penyebab dari xeroftalmia dibagi menjadi dua yaitu primer dan sekunder.
Penyebab primer xeroftalmia adalah kurangnyaasupan gizi vitamin A dalam diet,
sedangkan penyebab sekunder xeroftalmia biasanya berhubungan dengan adanya
[8]
gangguan absorpsi saluran cerna . Xeroftalmia dapat diklasifikasikan menurut
klasifikasi WHO sebagai berikut[8]:
XN : Buta senja/niktalopia
X 1-A : Xerosis kojungtiva
X 1-B : Bercak Bitot dengan xerosis konjungtiva
X2 : Xerosis kornea
X 3-A : Cornealulceration/keratomalacia<1/3 permukaan
X 3-B : Cornealulceration/keratomalacia ≥1/3 permukaan
XS : Xerophtalmiccornealscar
XF : Fundus xeroftalmia
Klasifikasi lain yang digunakan di Indonesia adalah klasifikasi TenDoeschate,
yaitu[8]:
Xo : Niktalopia
X1 : Niktalopia dengan xeroxis konjungtiva dan bercak Bitot
X2 : Xerosis kornea
X3 : Keratomalasia
X4 : Stafiloma, ftisisbulbi
Dimana kelainan pada:
- X0-X2 masih reversibel
- X3-X4ireversibel

4
Hubungan antara kejadian KVA dengan xeroftalmia adalah vitamin A memiliki
dua peranan penting dalam mata manusia yakni sebagai prekursor dari fotopigmen retina
dan menjaga integritas dalam diferensiasi dan proliferasi epitel konjungtiva serta kornea.
Apabila seorang individu kekurangan vitamin A, maka sistem rodopsin yang lebih
sensitif terhadap defisiensi vitamin A dibandingkan dengan sistem Iodopsin akan
mengalami penurunan fungsi sel batang awal. Hal ini menyebabkan gangguan fungsi
penglihatan pada cahaya yang redup dan menimbulkan buta senja atau niktalopia. Selain
buta senja, KVA juga akan menyebabkan gangguan dalam diferensiasi dan proliferasi
dari epitel konjungtiva serta kornea. Dimana selanjutnya dapat menyebabkan xerosis
[6]
konjungtiva, keratomalasia serta jaringan parut pada kornea . Berikut merupakan
gambaran dari kejadian KVA yang berdampak pada mata:
Gambar 2. Manifestasi Klinis/Tanda dari Xeroftalmia (A) Bercak Bitot (B)
Keratomalasia[14]

2. Anemia
Anemia dapat terjadi sebagai komplikasi dari kejadian KVA, dimana hal ini
disebabkan oleh adanya peranan vitamin A dalam transpor, absorpsi, penyimpanan serta
release besi kedalam sum-sum tulang yang juga berpengaruh terhadap eritropoeisis.
[11]
Sehingga, hal ini dapat meningkatkan resiko terjadinya anemia defisiensi besi .

5
Anak-anak dan wanita yang mengalami xeroftalmia ringan biasanya juga mengalami
anemia.
Gejala yang dapat dirasakan apabila seseorang mengalami anemia defisiensi besi
antara lain[10]:
1. Penampilan yang tampak pucat, dimana biasanya hal ini diakibatkan oleh
kadar Hb yang menurun hingga 7-8 gr/dL.
2. Pada anemia berat dapat menimbulkan gangguan fungsi kognitif dan motorik.
3. Mudah mengantuk.
4. Iritabilitas.
5. Pada pemeriksaan, ditemukan konjungtiva, telapak tangan dan kuku yang
anemis.
Menurut WHO, anemia defisiensi besi ini dapat ditegakkan bila memenuhi
setidaknya tiga kriteria dari empat kriteria berikut [10]:
1. Kadar Hb < normal untuk usia pasien.
2. Kadar Fe serum <50 mcg/dL (nilai normal 80-180 mcg/dL).
3. Saturasi transferin<15% (nilai normal 20-50%)
4. MCHC <15% (nilai normal 32-25%)
3. Infeksi

Kekurangan vitamin A dapat menyebabkan gangguan kekebalan humoral serta selular.


Efek antioksidan dari karotenoid ini secara tidak langsung meningkatkan fungsi kekebalan
tubuh dengan menurunkan konsentrasi partikel bebas beserta produknya yang bersifat
imunosupresif. Vitamin A mencegah oksidasi leukosit sehingga dapat menurunkan kadar
prostaglandin yang bersifat imunosupresif [9].

Vitamin A juga dapat bersifat sebagai ajuvan, dalam artian yaitu suatu zat yang dapat
meningkatkan respons imun terhadap suatu imunogen.dengan merusak membran lisosom sel
yang terinfeksi. Lisosom ini dapat mempunyai peran dalam memulai terjadinya pembelahan
sel. Kerusakan lisosom ini akan merangsang sistim imun. Vitamin A berperan pula dalam
proses epitelisasi, dengan peningkatan proses ini maka akan terjadi perbaikan fungsi
pertahanan fisik non spesifik terhadap antigen yang masuk ke dalam tubuh[9].

Kekuranganvitamin A merupakan faktor risiko untuk beberapa contoh infeksiberikut:

6
3.1. Campak
Penyakit campak atau yang dikenal juga sebagai morbili atau measles merupakan
penyakit yang sangat mudah menular yang disebabkan oleh virus dan ditularkan melalui
batuk dan bersin. Sampai saat ini, penyakit campak masih merupakan masalah di Indonesia
dan belum ada pengobatan yang spesifik untuk penyakit tersebut. Gejala penyakit campak
adalah demam tinggi, bercak kemerahan pada kulit disertai dengan batuk dan/atau pilek
dan/atau mata merah (konjungtivitis)[5]. Penyakit ini dapat berakhir fatal bila bila terjadi
komplikasi berat seperti ensefalitis dan pneumonia terutama pada pasien malnutrisi dengan
kekebalan tubuh yang rendah[9].
Umumnya pada pasien malnutrisi selain menderita kekurangan protein dan karbohidrat
juga didapatkan defisiensi berbagai mikronutriendiantaranya adalah defisiensi vitamin A.
Banyak penelitian yang telah membuktikan bahwa vitamin A dapat menghambat replikasi
virus vaksin campak dengan peningkatan respons imun. Pemberian suplemen vitamin A
dosis tinggi dilaporkan dapat mengurangi angka kematian lebih dari 50% pasien campak
sedang maupun berat. Maka pada pasien campak sangat dianjurkan untuk memberikan
suplementasi vitamin A dosis tinggi yaitu sampai 400.000 IU pada saat terjadi ruam dalam 2
hari berturut-turut dan pada anak di bawah usia 1 tahun dapat diberikan dosis sampai
100.000 IU[9].
3.2. Diare
Diare merupakan masalah utama yang terjadi akibat gangguan motilitas gastrointestinal.
Diare dapat terjadi ketika air dan elektrolit yang berlebihan akan diangkut ke lumen (diare
sekretorik) atau dapat terjadi ketika air ditahan di dalam lumen oleh bahan yang aktif (diare
osmotik). Diare dapat berisiko kematian karena berpotensi dehidrasi (kekurangan cairan,
kekurangan elektrolit, dan malnutrisi). Kejadian diare pada balita sangat erat hubungannya
dengan asupan zat gizi mikro. Zat gizi mikro yang berperan sebagai pertahanan tubuh balita
yaitu vitamin dan mineral, contohnya adalah vitamin A, Zinc, dan Polyunsaturated Fatty
Acid (PUFA)[12].
Vitamin A berfungsi untuk pemeliharaan sel epitel terutama sel-sel goblet untuk
mengeluarkan mukus atau lendir. Pengeluaran mukus atau lendir bertujuan untuk
melindungi sel epitel dari mikroorganisme dan partikel berbahaya [12]. Hasil penelitian
menjelaskan bahwa balita diare dengan pemberian suplementasi viamin A lebih cepat

7
sembuh daripada balita yang tidak mendapatkan suplementasi vitamin A. Hal ini disebabkan
oleh vitamin A dapat mempercepat perbaikan jaringan epitel intestinal yang rusak akibat
diare. Vitamin A merangsang proliferasi dan diferensiasi epitel sehingga dapat mengurangi
risiko terjadinya diare[12].
3.3. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
ISPA merupakan padanan dari Acute Respiratory Infection. Istilah ISPA mengandung
tiga unsur yaitu infeksi, saluran pernafasan dan akut. Adapun yang dimaksud dengan infeksi
adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang
biak sehingga manimbulkan gejala penyakit. Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA)
mencakup infeksi akut sepanjang saluran pernafasan mulai dari hidung sampai alveoli serta
adneksanya, seperti ruang telinga tengah, sinus paranasalis dan rongga pleura, sedangkan
infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai 14 hari[15].

Salah satu faktor resiko ISPA adalah kekurangan vitamin A. Banyak penelitian yang
menunjukkan bahwa anak-anak yang kekurangan vitamin A mengalami risiko lebih tinggi
terkena penyakit infeksi saluran pernafasan daripada yang tidak kekurangan vitamin A[15].

E. Program Pencegahan dan Cakupan Keberhasilan Program

Vitamin A adalah salah satu mikronutrien yang sangat diperlukan tubuh yang
berfungsi dalam pertumbuhan dan daya tahan tubuh terhadap penyakit [4]. Prevalensi
kekurangan vitamin A merupakan kekurangan mikronutrien tersering di dunia, kasus
terbanyak terjadi pada anak-anak yang berada di negara berkembang[14]. Kebutaan pada
anak dapat disebabkan oleh karena kekurangan vitamin A. Selain itu, kekurangan vitamin
A dapat meningkatkan risiko kesakitan dan kematian[4].

Vitamin A yang dikonsumsi dari makanan sehari-hari masih cukup rendah. Oleh
karena itu, diperlukan tambahan asupan gizi yaitu berupa kapsul vitamin A. Kapsul
vitamin A dapat diberikan kepada bayi, anak balita, dan ibu nifas. Bayi berusia 6–11
bulan diberikan kapsul vitamin A yang berwarna biru dan mengandung retinol
(palmitat/asetat) 100.000 IU, sedangkan anak balita usia 12-59 bulan dan ibu nifas
diberikan kapsul vitamin A yang berwarna merah dan mengandung retinol

8
(palmitat/asetat) 200.000 IU. Kapsul vitamin A berupa kapsul lunak dengan bagian
ujungnya dapat digunting, tidak transparan (opaque), dan mudah untuk dikonsumsi[4].

Pemberian kapsul vitamin A untuk bayi dan anak balita dilakukan bersamaan
yaitu pada bulan Februari dan Agustus. Pada bayi 6-11 bulan, frekuensi pemberian
vitamin A sebanyak 1 kali sedangkan pada anak balita 12-59 bulan dilakukan sebanyak 2
kali. Pada ibu nifas, pemberian kapsul vitamin A dilakukan sebanyak 2 kali, yaitu satu
kapsul segera setelah persalinan dan satu kapsul lagi yang diberikan pada 24 jam setelah
pemberian kapsul pertama[4].

Selain pemberian kapsul vitamin A, terdapat juga beberapa upaya pencegahan


terhadap kekurangan vitamin A yaitu diversifikasi atau keragaman makanan yang
dikonsumsi, fortifikasi vitamin A, dan pemberian ASI eksklusif [1][2]. Diversifikasi atau
keragaman makanan yang dikonsumsi, contohnya meningkatkan konsumsi makanan
hewani atau buah-buahan dan sayuran yang kaya akan vitamin A. Diversifikasi kadang
sangat sulit untuk diterapkan kepada bayi dan anak kecil, sehingga pemberian fortifikasi
vitamin A lebih dipilih karena mudah untuk diterapkan. Fortifikasi vitamin A berupa
serbuk mikronutrien yang dapat mencegah defisiensi danmempromosikan pertumbuhan
dan perkembangan yang memadai[1]. Pemberian ASI eksklusif juga tidak kalah penting
yaitu sebagai upaya promotif untuk mencegah defisiensi vitamin A pada bayi, sehingga
pemberian ASI eksklusif selama empat sampai enam bulan pertama kehidupan ada
baiknya tetap dilanjutkan[2].

Cakupan pemberian vitamin A pada balita di Indonesia tahun 2018 yaitu sebesar
86,18%. Provinsi dengan persentase tertinggi untuk cakupan pemberian vitamin A adalah
DI Yogyakarta (99,86%), sedangkan provinsi dengan persentase terendah adalah
Kalimantan Tengah (69,55%). Sebanyak tiga provinsi belum mengumpulkan datanya,
yaitu Provinsi Papua, Papua Barat, dan Nusa Tenggara Barat[4].

F. Kesimpulan

Defisiensi vitamin A merupakan persoalan gizi yang paling serius danpaling


sering ditemukan. Defisiensi vitamin A merupakan penyebab kebutaanyang paling sering

9
ditemukan pada anak-anak. Lebih kurang 150 juta anak lainnyamenghadapi resiko
kematian yang tinggi dalam usia anak-anak karena penyakitinfeksi yang disebabkan oleh
defisiensi vitamin AAda banyak faktor yang berkontribusi terhadap defiiensi vitamin
A.Penyebab paling penting dari defisiensi vitamin A pada anak adalah rendahnyaasupan
makanan yang mengandung vitamin A (termasuk pemberian ASI yangtidak memadai)
dan infeksi yang berulang, khususnya campak, diare, dan infeksipernafasan. Beberapa
kelompok lebih rentan untuk menderita defisiensi vitamin Adibanding yang lainnya.
Kelompok ini terdiri dari bayi dengan berat badan lahirrendah (BBLR), bayi prematur,
anak dengan infeksi berulang serta yangmenderita malnutrisi.

Penatalaksanaan defisiensi vitamin A terdiri dari suplementasi vitamin A,


ASIeksklusif (pada bayi 0-6 bulan), dan pemberian asupan kaya vitamin A,
Untukpencegahan defisiensi vitamin A ini, juga ada suplementasi vitamin A
profilaksisyang dosisnya disesuaikan dengan umur penderita seperti yang telah
ditetapkan.

G. Saran

1. Perlunya pemahaman mengenai gejala klinis, penegakan diagnosis, dan terapinya agar
penatalaksanaan bisa dilakukan secara tepat.
2. Perlunya sosialisasi mengenai bahaya defisiensi vitamin A dan tatalaksananya pada anak di
masyarakat.

10
DAFTAR PUSTAKA

1. Chaparro, C., Oot, L., dan Sethurama, K. (2014). OverviewoftheNutritionSituation in


Seven Countries in Southest Asia. Washington,
DC:FoodandNutritionTechnicalAssistance III Project (FANTA)
2. Chirs T. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I edisi IV. Jakarta: Media Aesculapius. 2014.
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2003). Deteksi dan Tatalaksana Kasus
Xeroftalmia, Pedoman bagi Tenaga Kesehatan. Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan
Kesehatan Masyarakat.
4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2018). Profil Kesehatan Indonesia 2018.
Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2018). Status Campak dan Rubella Saat Ini
di Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
6. Feroze, K. B., Kaufman, E. J. Xerophthalmia. (2019). StatPearls [Internet]. Treasure
Island (FL): StatPearlsPublishing. Availableat:
https://ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK431094
7. Harding, K. L., Aguayo, V. M., dan Webb, P. (2017). HiddenHunger in South Asia: A
ReviewofRecentTrendsandPersistenChallenges. PublicHealthNutrition. pp 1-11
8. Ilyas, H. S., Yulianti, S. R. (2018). Ilmu Penyakit Mata Edisi Kelima. Jakarta:Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
9. Munasir, Z. (2016). Pengaruh Suplementasi Vitamin A terhadap Campak. Sari Pediatri,
2(2), 72-6.
10. Prihantono, D., Prawitasari, T dalam Kapita Selekta Kedokteran Edisi Keempat. (2014).
Defisiensi Besi. Jakarta:MediaAesculapius.
11. Prihantono, D., Prawitasari, T dalam Kapita Selekta Kedokteran Edisi Keempat. (2014).
Defisiensi Vitamin A. Jakarta:MediaAesculapius.
12. Restuti, A.N.S., & Fitri, Y.A. (2019). Hubungan antara Tingkat Asupan Vitamin A, Zinc
dan PolyunsaturatedFattyAcid (PUFA) dengan Kejadian Diare Balita. Indonesian
Journalof Human Nutrition, 6(1), 32-40.

11
13. Rice, A. L., Jr. K. P. W., dan Black, R. E. (2013). Vitamin A Deficiency.
ComparativeQuantificationofHealthRisk.
14. Wirth, J., Petry, N., Tanumihardjo, S., Rogers, L., McLean, E., Greig, A. dan Rohner, F.,
(2017) Vitamin A Supplementation Programs and Country Level Evidence of Vitamin A
Deficiency. Nutrients, 9(3), 190.
15. Yunita, R., Anggraini, M., & Wiyono, S. (2014). Hubungan Antara Asupan Protein,
Zink, Vitamin A dan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Non Pneumonia
pada Balita di RW 06 Kelurahan Cempaka Putih Kecamatan Ciputat Timur Tangerang
Selatan. Nutrire Diaita, 6(2), 99-113.

12
LAMPIRAN

Konsep Poster

13

Anda mungkin juga menyukai