Anda di halaman 1dari 2

Kesepian Sang Penyair

Tersibak kerisauan yang tak ada pelampiasannya.

Seorang tokoh yang seharusnya dipuja.

Karyanya tentang tata kata bahasa, tentang seni sastra.

Prestasinya yang seharusnya melambungkan namanya.

Ternyata tak seorang pun orang disekelilingnya menganggapnya luar biasa.

Dia di puja hanya saat ada di pentas sebuah acara, dengan sosok yang seakan bukan dia.

Namun sekejap itu pula terlupa ketika acara bubar dan penonton pulang ke rumahnya.

Tak ada karyanya yang melekat sepanjang masa.

Entah kenapa???.

Mungkin juga tergerus masifnya sosial media.

Yang lebih suka umpatan-umpatan kasar daripada kosakata yang tersirat maknanya.

Hanya tersisa group WhatsApp yang seharusnya digunakan untuk pekerjaannya.

Tapi sekarang, apa itu profesionalitas?. Group kerja yang tak digunakan peruntukannya.

Berdagang, curhat, berghibah, dan menyindir sinis yang niat kerja.

Begitupun dia yang melampiaskan kosakatanya di sana yang dikenal dengan istilah “spam”.

Apapun tujuannya ya tetap sama-sama dianggap sampah.

Dia tulis berbait-bait kenangannya, tak ada juga yang menanggapinya.

Di pamerkan buku puisi yang dia baru beli dan khatam membacanya, namun siapa yang
mempedulikannya?

Dia resensi tentang karya sastrawan kesukaannya, tapi sapa juga yang mengenalnya?

Dia ungkapkan kritik pekerjaan dengan bahasa puitisnya, tapi siapa yang mau memahaminya?.

Dia mau ngapain saja, palingan hanya emoticon jempol bukan tanda suka tapi lebih sekedar
tanda kasihan padanya.

Sang penyair yang kehilangan medianya


Sang penyair yang tak ditakdirkan tenar namanya

Sang penyair yang karyanya mudah terlupa

Apakah akan hidup karyanya setelah dia tiada?.

Entahlah, siapa yang bisa meramalkannya.

Terlupa dan tak pernah menjadi apa-apa yang dia pun juga mungkin tak masalah seperti itu
adanya.

Mungkin hanya segelintir yang mengenalnya, tapi tidak bisa dia banggakan pada banyak manusia
yang tak peduli puitisnya kata.

Atau seperti saya yang mengamatinya dalam diam sebagai penyair tanpa kata.

Memang sebagai seniman harus sadar dimana panggungnya, ketika di bawah panggung juga
haruslah sadar bukan siapa-siapa.

Haruskan mencari panggung disetiap kita berada?. Rasanya kan tidak juga.

Atau mungkin panggungnya sudah tidak ada?.

Dirobohkan budaya manusia yang lebih gila pada usaha dalam dunia nyata.

Yang tak sempat sekedar merenungi makna dirinya

Manusia-manusia yang mengejar dunia

Yang tak sempat sejenak melamun dan bermimpi tentang semesta yang sebenarnya

Begitulah nasib sang penyair sepi

Hanya bisa menuliskan karyanya di group WhatsApp yang dia punya

Tak ada nilainya, tapi dia juga tak mengharap apa-apa.

Sampai kapan?. Sampai inspirasi hilang dari benaknya?.

Tidak…. Seni tak akan pernah padam dari jiwanya walau dihargai atau tidak!.

By : Rimbasadewo
31012021

Anda mungkin juga menyukai