Dia di puja hanya saat ada di pentas sebuah acara, dengan sosok yang seakan bukan dia.
Namun sekejap itu pula terlupa ketika acara bubar dan penonton pulang ke rumahnya.
Entah kenapa???.
Yang lebih suka umpatan-umpatan kasar daripada kosakata yang tersirat maknanya.
Tapi sekarang, apa itu profesionalitas?. Group kerja yang tak digunakan peruntukannya.
Begitupun dia yang melampiaskan kosakatanya di sana yang dikenal dengan istilah “spam”.
Di pamerkan buku puisi yang dia baru beli dan khatam membacanya, namun siapa yang
mempedulikannya?
Dia resensi tentang karya sastrawan kesukaannya, tapi sapa juga yang mengenalnya?
Dia ungkapkan kritik pekerjaan dengan bahasa puitisnya, tapi siapa yang mau memahaminya?.
Dia mau ngapain saja, palingan hanya emoticon jempol bukan tanda suka tapi lebih sekedar
tanda kasihan padanya.
Terlupa dan tak pernah menjadi apa-apa yang dia pun juga mungkin tak masalah seperti itu
adanya.
Mungkin hanya segelintir yang mengenalnya, tapi tidak bisa dia banggakan pada banyak manusia
yang tak peduli puitisnya kata.
Atau seperti saya yang mengamatinya dalam diam sebagai penyair tanpa kata.
Memang sebagai seniman harus sadar dimana panggungnya, ketika di bawah panggung juga
haruslah sadar bukan siapa-siapa.
Haruskan mencari panggung disetiap kita berada?. Rasanya kan tidak juga.
Dirobohkan budaya manusia yang lebih gila pada usaha dalam dunia nyata.
Yang tak sempat sejenak melamun dan bermimpi tentang semesta yang sebenarnya
Tidak…. Seni tak akan pernah padam dari jiwanya walau dihargai atau tidak!.
By : Rimbasadewo
31012021