PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan
oleh Clostridium tetani, yang merupakan obligat anaerob, gram positif batang yang motil dan
mudah bentuk endospora, ditandai dengan spasme otot yang periodic dan berat (Richard,
2003). Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastic yang disebabkan
tetanospasmin. Tetanospasmin merupakan neurotoksin yang diproduksi oleh clostridium
tetani. Spora Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka pada kulit oleh
karena terpotong, tertusuk ataupun luka bakar serta pada infeksi tali pusat (tetanus
neonatorum) (Kiking, 2004). Tetanus ibu dan bayi baru lahir di dunia merupakan penyebab
penting dari kematian ibu dan bayi, sekitar 180.000 kehidupan di seluruh dunia setiap tahun,
hamper secara eksklusif di Negara-negara berkembang. Meskipun sudah dicegah dengan
maternal immunization, dengan vaksin, dan aseptis obstetric, tetanus ibu dan bayi tetap
sebagai masalah kesehatan masyarakat di 48 negara, terutama di Asia dan Afrika
(Anariyusmi, 2010).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah berkomitmen untuk menghilangkan tetanus
neonatorum pada tahun 1995. Tiga tahun setelah itu (1998), infeksi itu menewaskan lebih
dari 400.000 bayi per tahun, bahkan meskipun vaksin telah tersedia. WHO memperkirakan
bahwa pada 2008, 59.000 bayi meninggal dari NT, pengurangan 92% dari situasi di akhir
1980-an (pada tahun 1988, WHO mencatat bahwa 787.000 bayi meninggal karena tetanus
neonatorum / NT atau sekitar 6,7 NT kematian per 1000 kelahiran hidup). Pada tahun yang
sama, 46 negara masih belum dihilangkan MNT di semua distrik. Meskipun kemajuan terus
dilakukan pada Desember 2010, 39 negara belum mencapai status eliminasi MNT (Richard,
2003).
Menurut The World Health Report 2008, angka kematian bayi di Indonesia mencapai
20/1000 kelahiran hidup (SDKI 2007/2008). Berarti setiap jam terdapat 10 bayi baru lahir
meninggal, setiap hari ada 246 bayi meninggal dan setiap tahun ada 89.770 bayi baru lahir
yang meninggal. Kematian bayi lahir sebesar 79% terjadi setiap minggu pertama kelahiran
terutama pada saat persalinan. Sebanyak 54% terjadi pada tingkatan keluarga yang sebagian
besar disebabkan tidak memperoleh layanan rujukan dan kurangnya pengetahuan keluarga
akan kegawatdaruratan pada bayi.
Tetanus atau Lockjaw merupakan penyakit akut yang menyerang susunan saraf pusat
yang disebabkan oleh racun tetanospasmin yang dihasilkan oleh Clostridium Tetani. Penyakit
ini timbul jika kuman tetanus masuk ke dalam tubuh melalui luka, gigitan serangga, infeksi
gigi, infeksi telinga, bekas suntikan dan pemotongan tali pusat. Dalam tubuh kuman ini akan
berkembang biak dan menghasilkan eksotoksin antara lain tetanospasmin yang secara umum
menyebabkan kekakuan, spasme dari otot bergaris. Adapun masalah ditemukan di Kelurahan
Sendang Mulyo KecamatanTembalang Kota Semarang, yaitu masih terdapat ibu yang
memandikan dan membersihkan tali pusat bayi hanya 1 kali dalam sehari. Ada juga ibu yang
1
menjemur pakaian bayi di batu-batu atau di bambu. Pakaian bayi yang kurang bersih
beresiko infeksi bila bersentuhan langsung dengan tali pusat bayi, padahal teknik perawatan
tali pusat dalam Asuhan Persalinan Normal (APN) tidak lagi menggunakan kasa steril
melainkan hanya diikat dengan tali atau benang saja, sehingga kebersihan pakaian bayi pun
perlu diperhatikan.
Salah satu upaya atau cara untuk mengatasi masalah dan mengurangi angka kematian
bayi karena infeksi tali pusat dan tetanus neonatorum seperti yang disampaikan Menteri
Kesehatan RI, pemerintah menggunakan strategi yang pada dasarnya menekankan pada
penyediaan pelayanan maternal dan neonatal berkualitas yang Cost – Efective yang tertuang
dalam tiga pesan kunci, yaitu :
1. Setiap kehamilan diberikan Toksoid Tetanus yang sangat bermanfaat untuk mencegah
tetanus neonatorum.
2. Hendaknya sterilitas harus diperhatikan benar pada waktu pemotongan tali pusat
demikian pula perawatan tali pusat selanjutnya.
3. Penyuluhan mengenai perawatan tali pusat yang benar pada masyarakat.
Untuk menjamin keberhasilan pelaksanaan ketiga pesan kunci tersebut dan
pencapaiannya, target yang telah ditetapkan untuk Angka Kematian Bayi pada tahun 2010
adalah 16/1000 kelahiran hidup (DepKes RI,2009).
1.4 Manfaat
Mahasiswa dapat memahami tentang konsep tetanus dan asuhan keperawatan pada klien
dengan tetanus
BAB II
PEMBAHASAN
1
2.1. Definisi
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan
oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodic dan berat.(Gilroy, )
Tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan oleh kuman Clostridium tetani,
dimanifestasikan dengan kejang otot secara paroksimal dan diikuti kekakuan otot seluruh badan.
Kekakuan tonus otot ini tampak pada otot maseter dan otot-otot rangka.
(HendarwantocitSoeparman, 1987)
Tetanus merupakan sebuah penyakit yang berpotensi menjadi fatal yang disebabkan
oleh eksotoksin yang dikeluarkan oleh Clostridium tetani.Penyakit ini berkarakteristik hipertoni
akut, nyeri saat kontraksi otot dan spasme otot menyeluruh. Kekakuan otot tersebut biasanya
mengenai leher dan rahang kemuadian menyeluruh.(Atkinson, 2011)
Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang disebabkan
tetanospasmin. Tetanospamin merupakan neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium tetani.
(Harrison, 1994)
Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa tetanus adalah sebuah
penyakit infeksi yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan oleh C. tetani dan
menimbulkan manifestasi berupa kekakuan otot yang mengenai leher dan rahang, kejang otot
menyeluruh serta nyeri otot.
2.2. Etiologi
Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif; Cloastridium tetani Bakteri ini
berspora, dijumpai pada tinja binatang terutama kuda, juga bisa pada manusia dan juga pada
tanah yang terkontaminasi dengan tinja binatang tersebut. Sporainibisa tahan beberapa bulan
bahkan beberapa tahun, jika ia menginfeksi luka seseorang atau bersamaan dengan benda daging
atau bakteri lain, ia akan memasuk itu tubuh penderita tersebut, lalu mengeluarkan toksin yang
bernama tetanospasmin. (Adam dkk, 1997)
Pada negara belum berkembang, tetanus sering dijumpai pada neonatus, bakteri
masuk melalui tali pusat sewaktu persalinan yang tidak baik, tetanus ini dikenal dengan nama
tetanus neonatorum. (Lubis, 1989)
1
(efeknya mengurangi aktivitas kendali SSP) pathogenesis bersimbiosis dengan mikroorganisme
piogenik.
Basil ini banyak ditemukan pada kotoran kuda, usus kuda dan tanah yang dipupuk
dengan kotoran kuda.Penyakit tetanus banyak terdapat pada luka dalam, luka tusuk, luka dengan
jaringan mati (corpus alienum) karena merupakan kondisi yang baik untuk proliferasi kuman
anaerob. Luka dengan infeksi piogenik dimana bakteri piogenik mengonsumsi eksogen pada luka
sehingga suasana menjadi anaerob yang penting untuk tumbuhnya basil tetani. (Batticaca, 2008).
2.3. Patofisiologi
Penyakit tetanus terjadi karena adanya luka pada tubuh seperti luka tertusuk paku,
pecahan kaca, atau kaleng, luka tembak, luka bakar, luka yang kototr dan pada bayi dapat
melalui tali pusat. Organisme multipel membentuk 2 toksin yaitu tetanuspasmin yang merupakan
toksin kuat dan atau neurotropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot, dan
mempngaruhi sistem saraf pusat. Eksotoksin yang dihasilkan akan mencapai pada sistem saraf
pusat dengan melewati akson neuron atau sistem vaskuler. Kuman ini menjadi terikat pada satu
saraf atau jaringan saraf dan tidak dapat lagi dinetralkan oleh antitoksin spesifik. Namun toksin
yang bebas dalam peredaran darah sangat mudah dinetralkan oleh aritititoksin. Hipotesa cara
absorbsi dan bekerjanya toksin adalah pertama toksin diabsorbsi pada ujung saraf motorik dan
melalui aksis silindrik dibawah ke korno anterior susunan saraf pusat. Kedua, toksin diabsorbsi
oleh susunan limfatik, masuk ke dalam sirkulasi darah arteri kemudian masuk ke dalam susunan
saraf pusat. Toksin bereaksi pada myoneural junction yang menghasilkan otot-otot menjadi
kejang dan mudah sekali terangsang. Masa inkubasi 2 hari sampai 2 bulan dan rata-rata 10 hari.
Masa inkubasi 5-14 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau lebih lama 3 atau beberapa
minggu).Ada tiga bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni
Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5 -7 hari.
Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekwensinya
Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.
Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang dari leher.
Kemudian timbul kesukaran membuka mulut ( trismus, lockjaw ) karena spasme Otot
masetter.
1
Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk ( opistotonus , nuchal rigidity )
Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik keatas, sudut
mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat .
Gambaran Umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus, tungkai dengan
Eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap baik.
Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan sianosis, retensi urin,
bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis ( pada anak ).
Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada daerah tempat
dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal inilah merupakan tanda dari tetanus
lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa
progressif dan biasanya menghilang secarabertahap. Lokal tetanus ini bisa berlanjut menjadi
generalized tetanus, tetapi dalambentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Bisajuga
lokal tetanus ini dijumpai sebagai prodromal dari klasik tetanus atau dijumpai secara terpisah.
Hal ini
Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi berkisar 1–2
hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di India ), lu ka pada daerah muka
dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam rongga hidung.
Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan komplikasi yang tidak
dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-diam. Trismus merupakan
gejala utama yang sering dijumpai ( 50 %), yang disebabkan oleh kekakuan otot-otot masseter,
bersamaan dengan kekakuan otot leher yang menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan
menelan. Gejala lain berupa Risus Sardonicus (Sardonic grin) yakni spasme otot-otot muka,
opistotonus (kekakuan otot punggung), kejang dinding perut. Spasme dari laring dan otot-otot
pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianose asfiksia. Bisa terjadi disuria dan
retensi urine,kompressi frak tur dan pendarahan didalam otot. Kenaikan temperatur biasanya
hanya sedikit, tetapi begitupun bisa mencapai 40 C. Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi,
tekanan darah tidak stabil dan dijumpai takhikardia, penderita biasanya meninggal. Diagnosa
ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis.
1
Biasanya disebabkan infeksi C. tetani, yang masuk melalui tali pusat sewaktu proses
pertolongan persalinan. Spora yang masuk disebabkan oleh proses pertolongan persalinan yang
tidak steril, baik oleh penggunaan alat yang telah terkontaminasi spora C.tetani, maupun
penggunaan obat-obatan Wltuk tali pusat yang telah terkontaminasi. Kebiasaan menggunakan
alat pertolongan persalinan dan obat tradisional yang tidak steril,merupakan faktor yang utama
dalam terjadinya neonatal tetanus. Menurut penelitian E.Hamid.dkk, Bagian Ilmu Kesehatan
Anak RS Dr.Pringadi Medan, pada tahun 1981. ada 42 kasus dan tahun 1982 ada 40 kasus
tetanus. Biasanya ditolong melalui tenaga persalianan tradisional ( TBA =Traditional Birth
Attedence ) 56 kasus ( 68,29 % ), tenaga bidan 20 kasus ( 24,39 % ) ,dan selebihnya melalui
dokter 6 kasus ( 7, 32 %) ).
2.5. Klasifikasi
Derajat penyakit Tetanus Surabaya (PDT Ilmu Kesehatan Anak edisi III, 2008)
b. kekakuan unum
c.Takipnea, takikardia
1
d. Hipertensi berat datau hipotensi berat
2.6. Komplikasi
Pada keadaan berat timbul komplikasi seperti:
- Respirasi: henti napas pada saat kejang-kejang terutama akibat rangsangan pada waktu
memasukkan pipa lambung, aspirasi sekret pada saat atau setelah kejang, yang dapat
menimbulkan aspirasi pneumoni, atelektase, atau abses baru.
- Cardioivaskuler:hipertensi, takhikardi dan aritmia oleh karena rangsangan syampatis
yang lama.
- Tulang/otot:fraktur atau kompresi tulang belakang, robekan otot perut dan quardriceps
femoris.
- Tulang/otot:fraktur atau kompresi tulang belakang, robekan otot perut dan quardriceps
femoris. Pernah juga dilaporkan terjadi myostis ossifican.
- Metabolisme : hiperpireksi.
Diagnosis tetanus berdasarkan atas pemeriksaan klinis, pemeriksaan darah dan cairan
cerebrospinal normal, basil tetanus ditemukan hanya pada sekitar 30% kultur anaerob dari luka
yang dicurigai.
1
1). Pemeriksaan fisik : adanya luka dan ketegangan otot yang khas terutama pada rahang
2). Pemeriksaan darah leukosit 8.000-12.000 m/L, peninggian tekanan otak, deteksi kuman sulit
2.8. Penatalaksanaan
A. Penatalaksanaan medis:
1. Dalam waktu 72 jam setelaah luka tusukan, pasien tidak memeiliki riwayat imunisasi
tetanus pertama-tama membutuhkan tetanus immune globulin (TIG) atau antitiksin
tetanus untuk mendapatkan pelindungan sementara.
2. Imunisasi aktif dengna toksoid tetanus diutuhkan, jika pasien belum menerima imunisasi
dalam waktu 10 tahun maka memerlukan injeksi booster toksoid tetanus.
3. Debridement memastikan sumber toksin telah dibuang
4. Pemeliharaan jalan nafas
5. Relaksan otot misalnya diazepam untuk mengurangi rigiditas dan spasme otot.
6. Antibiotik dosis tinggi seperti penisilin IV atau lainnya
B. Penatalaksanaan keperawatan:
1. Bersihkan tempat luka dengan hydrogen peroksida 3% dan periksa riwayat imunisasi
pasien. Catat penyebab cedera. Jika disebabkan oleh gigitan anjing, laporkan kasus pada
bagian kesehatan public.
2. Sebelum pemberian antibiotik dan TIG, antitoksi atau toksoid, dapatkan riwayat akut
mengernai alergi terhadap imunisasi atau penisilin. Jika memiiki riwayat alergi, sediakan
selalu epinefrin 1:1.000 dan peralatan resusitasi.
1
9. Nutrisi yang diberikan harus adekuat. Pemberian secara nasogastric atau parenteral
menjadi pilihan
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Kasus
1
TN A usia 13 tahun pelajar dari smp 15 surabaya dilarikan ke rumah sakit soewandi dengan
Keluhan kesulitan bernapas . pasien terlihat keadaan kejang dan ototnya kaku dan mengeluh
nyeri. Kesulitan untuk berbicara dan menelan. Pasien kesulitan untuk makan. Pasien tidak bisa
beraktifitas dan hanya bisa terbaring karena spasme
Dalam pemeriksaan ditemukan pasien terlihat sesak dengan RR 33x/menit. Suhu badan 36.7 oC,
BB: 45 KG, TB: 150 cm, TD: 120/80 mmHg, HR: 80x/menit, Skala nyeri 7/10.
2 hari yang lalu telapak kaki tn A tertusuk paku berkarat saat bermain bola di lapangan tanpa alas
kaki dan dibiarkan saja. Pasien tidak pernah mengalami penyakit kronis. Keluarga pasien juga
mengatakan pasien tidak mempunyai epilepsi. Pasien tidak pernah mendapat Vaksin DPT.
Pemeriksaan diagnostik menunjukkan: culture anaerob ditemukan C tetani, leukosit 9500 m/L
Pasien mendapatkan tetanus immune globulin TIG, penisilin IV, toksoid tetanus dan Pz 500 cc.
3.2 Pengkajian
1. Identitas
a. Nama: TN A
b. Umur: 13 tahun
c. Jenis kelamin: Pria
d. Diagnosa medis: tetanus
e. Keluhan Utama: Sesak napas
2. Riwayat kesehatan sekarang: 2 hari yang lalu tertusuk paku karat mengeluh sesak kejang
dan kaku.
3. Riwayat kesehatan masa lalu: tidak memiliki penyakit Kronis, Tidak pernah epilepsi,
tidak pernah mendapatkan Vaksin DPT
4. Pemeriksaan fisik
TTV: RR 33x/menit, Suhu badan 36.7oC, HR: 80x/menit, TD: 120/80 mmHg
B1: terlihat sesak, RR 33x/menit.
B2: HR: 80x/menit, TD: 120/80 mmHg
B3: Pasien mengeluh nyeri dengan skala 7/10 saat ototnya kaku
B4: Normal
B5: kesulitan menelan, kesultan makan
B6: kejang, ada spasme, ada luka bekas tusukan di telapak kaki kiri, ROM terbatas
3.3 WOC
Luka tusuk
1
Port de entry kuman
Bakteri bereplikasi
Menghasilkan neurotoxin
tetanospasmin Melalui sistem vaskuler
Keterbatasan pergerakan
rongga dada 1
MK:
Ventilasi
pola nafas
terganggu
tidak
Takipnea
efektif Sulit menelan
Rentang Rangsangan
Trismus Kaku otot
gerak Mediator
menelan
menurun nyeri
Intake nutrisi
tidak adekuat MK. Hambatan
mobilitas fisik
1
↓
Gagguan upper motor
neuron
↓
Spasme ototekstremitas
↓
Nosireseptor
↓
Mediator nyeri
1
3.5 Diagnosa dan Intervensi
Kriteria hasil: RR:16-20x/menit, tidak ada sesak, tidak ada sianosis, tidak ada spasme otot pernapasan
No Intervensi Rasional
1 Naikkan posisi kepala 15-30o dan Memaksimalkan inspirasi dan
pastikan posisi pasien nyaman mengurangi beban upaya untuk
bernapas
2 Berikan Oksigen masker atau non Memberikan Oksigen yang
rebreathing dibutuhkan.Non rebreathing bila
pasien sangat kesulitan untuk
bernapas
3 Kolaborasi medikasi anti Menghilangkan spasme otot
spasmodik pernapasan
4 Monitor RR, adanya sianosis, Memperhatikan tanda tanda adanya
peningkatan HR, pergerakan distress respiratory
dinding dada
Kriteria hasil: tidak ada cedera, pasien dan keluarga secara verbal paham cara menghindarkan
cedera
No Intervensi Rasional
1 Hindarkan barang barangPasien saat kejang sulit mengontrol
berbahaya di sekitar klien (Razor, gerakan, sehingga menjauhkan benda
gunting, benda tajam, gelas) benda berbahaya adalah upaya agar
benda benda tersebuttidak mengenai
pasien
2 Berikan pengaman di sekitar tempat Mencegah jatuh
tidur
3 Berikan tong spatel pada saat Menghindarkan lidah tergigit
kejang
4 Observasi tanda tanda kejang Upaya deteksi dini untuk
menghindarkan cedera
5 Lakukan restrain pada ekstremitas Mencegah ekstremitas menghantam
1
bila diperlukan area sekitar
6 Ajarkan keluarga cara melakukan Meningkatkn kemandirian keluarga
perlindungan pada pasien dalam upaya menghindari cedera pada
pasien
Kriteria hasil: skala nyeri berkurang, pasien mengatakan nyeri berkurang. RR 16-20x/menit,
TD=120/80 mmHg
No Intervensi Rasional
1 Kolaborasi pemberian Menghilangkan spasme pada otot
antispasmodik dan medikasi tetanus
2 Kolaborasi analgesik Mengurangi nyeri
3 Lakukan kompress hangat Kompress hangat akan melebarkan
pembuluh darah dan membuat
rileks otot
4 Tingkatkan kenyamanan pasien Membuat pasien rileks
(menggunakan aroma terapi,
musik)
No Intervensi Rasinal
1 Pertimbangkan pemberian Menghindarkan aspirasi dan
makan parenteral memasukkan nutrisi tanpa melalui
mulut
2 Bila kekakuan berkurang dan Meringankan beban rahang untung
bisa mengunyah dan menelan mengunyah
berikan diet lunak
3 Pantau status nutrisi (bilirubin, Memantau tingkat kebutuhan dan
antropometri) kecukupan nutrisi klien
4 Berikan jenis makanan yang Meningkatkan nafsu makan pasien
disuki pasien
5. Hambatan Mobilitas fisik berhubungan penurunan rentang gerak dan kekakuan otot
Tujuan dalam 3x 24 jam peningkatan mobilitas fisik
1
Kriteria hasil: ROM bebas, tidak ada spasme otot
No Intervensi Rasional
1 Kolaborasi pemberian antispasmodik Menghilangkan penyebab
dan pengobatan tetanus kekakuan rom
2 lakuakan rom pada pasien sesuai Mencegah kekakuan lebih lanjut
kemampuan pasien
3 Motivasi klien untuk bergerak Meningkatkan aktifitas klien
4 Pantau rentang gerak pasien dan Menetukan tingkat
tingkat keparahan perkembangan mobilitas klien
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan
oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat. Tetanus biasanya
akut dan menimbulkan paralitik spastic yang disebabkan tetanospasmin yang merupakan
neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium tetani. Ciri utama dari tetanus adalah kekakuan
otot (spasme), tanpa disertai gangguan kesadaran. Seorang penderita yang terkena tetanus tidak
imun terhadap serangan berikutnya, artinya dia mempunyai kesempatan yang sama untuk terkena
tetanus bila terjadi luka sama seperti orang lainnya yang tidak pernah di imunisasi. Pencegahan
terhadap tetanus dapat dilakukan dengan pemberian imunisasi aktif, berupa DPT atau DT, yang
diberikan sejak anak berusia 2 bulan.
4.2 Saran
1. Menerapkan pola hidup bersih dan sehat.
2. Masyarakat sebaiknya selalu mengikuti program imunisasi yang telah diselenggarakan
pemerintah karena itu semua demi kepentingan masyarakat itu sendiri.
3. Pemerintah dan petugas kesehatan sebaiknya melakukan sosialisasi atau penyuluhan
tentang pentingnya imunisasi kepada masyarakat, sehingga masyarakat dapat tahu betapa
pentingnya imunisasi bagi kesehatan anak-anak mereka.
Daftar Pustaka
Adams. R.D,et al : Tetanus in :Principles of New'ology,McGraw-Hill,ed 1997, 1205-1207.
1
Atkinson W, Wolfe S, et al. Epidemiology and prevention of vaccine-preventable diseases.
Centers for Disease Control and Prevention [homepage on the Internet]. c2010. Available
from: http://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/downloads/tetanus.pdf.
Chouinard, G., 2004. Issues in the Clinical Use of Benzodiazepines: Potency, Withdrawal, and
Rebound, J Clin Psychiatry 2004;[supl 5]:7-12
DOENGES, M.E., MOORHOUSE, M.F. & MURR, A.C., 2005. NURSING DIAGNOSIS
MANUAL:Planning, Individualizing,and Documenting Client Care. Philadelphia: F.A. DAVIS
COMPANY.
Richard F. Edlich, dkk. Management and Prevention of Tetanus. Jurnal (Online). 2003 :
Diambil dari : http://www.plasticosfoundation.org/articles/tetanus-article.pdf
Harrison: Tetanus in :Principles of lnternal Medicine, volume 2, ed. 13 th, McGrawHill. Inc,New
York, 1994, .577-579.
Johnston. 2011. Tetanus, diphtheria and pertussis: ancient diseases in modern times. Professional
Nursing Today.Vol. 15. No. 2
1
Ismoedijanto, Nassiruddin, M., Prajitno, B.W., 2004. Diazepam in Severe Tetanus
Treatment. Case Report. Southeast Asian J Trop Med Public Health, Vol.35 No.1: p. 175-180.
SKFT, 2008. Pedoman Diagnosa dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak edisi III, RSUD Dr. Soetomo
: Surabaya, hal 118-122, 152-154)
Winsnes, M., Jeppson, R., Sjorberg, B., 1981. Diazepam absorption to infusion sets and plastic
syringes, Acta Anaesthasiol Scand 25: 93-96
Wolters Kluwer Health. (2011). Nursing: Memahami Berbagai Macam Penyakit. Alih bahasa
oleh Paramita Jakarta: PT Indeks.