Anda di halaman 1dari 26

PAPER NAMA : VINNY STEVANY

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 150100031


FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS USU

PAPER

SICKLE CELL RETINOPATHY

Disusun oleh :

VINNY STEVANY
150100031

Supervisor :
dr. Hj. Aryani A. Amra, M.Ked(Oph), Sp.M(K)

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas kasih,
berkat, dan penyertaanNya penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang
berjudul “Sickle Cell Retinopathy”. Penulisan makalah ini adalah salah satu syarat
untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi
Dokter di Departemen Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. Hj.
Aryani A. Amra, M.Ked(Oph), Sp.M(K) selaku pembimbing yang telah
memberikan arahan dalam penyelesaian makalah ini. Dengan demikian
diharapkan makalah ini dapat memberikan kontribusi positif dalam sistem
pelayanan kesehatan secara optimal.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
untuk perbaikan dalam penulisan makalah selanjutnya.

Medan, 24 Juni2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................i


DAFTAR ISI .....................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................3
2.1 Retina............................................................................................................3
2.1.1 Anatomi dan Histologi Retina..............................................................3
2.1.2 Fisiologi Retina....................................................................................3
2.2 Sickle Cell Retinopathy.................................................................................8
2.2.1 Definisi.................................................................................................8
2.2.2 Epidemiologi........................................................................................8
2.2.3 Etiologi.................................................................................................8
2.2.4 Klasifikasi............................................................................................9
2.2.5 Patofisiologi.........................................................................................13
2.2.6 Gejala Klinis.........................................................................................14
2.2.7 Diagnosis..............................................................................................15
2.2.8 Penatalaksanaan...................................................................................16
BAB III KESIMPULAN...................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................20

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Anatomi Mata...................................................................................3


Gambar 2.2 Anatomi Retina................................................................................4
Gambar 2.3 Gambaran Histologi Koroid dan Retina............................................5
Gambar 2.4 Perdarahan Akut Non-Proliferative Sickle Cell Retinopathy............10
Gambar 2.5 Non-Proliferative Sickle Cell Retinopathy.......................................10
Gambar 2.6 Iridescent Spot...................................................................................11
Gambar 2.7 Neovaskuarisasi Sea Fan...................................................................12
Gambar 2.8 Proliferasi Fibrotik Intravitreal..........................................................12
Gambar 2.9 Traksi Intravitreal .............................................................................12
Gambar 2.10Patofisiologi Sickle Cell Retinopathy...............................................13
Gambar 2.11 Perbandingan Retina Normal dengan Retinopati............................14

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Anemia merupakan suatu bentuk kelainan pada darah yang paling sering
terjadi pada masyarakat. Sebenarnya, anemia ini tidak termasuk kelainan yang
berbahaya. Akan tetapi, bila tidak ditangani dengan tepat dapat memicu terjadinya
penyakit yang lebih parah. Anemia yang berasal dari kata dalam bahasa Yunani
anhaimia yang secara harfiah berarti tanpa darah ini memiliki beberapa
macamjenis yang dapat dibedakan berdasarkan penyebabnya. Secara garis besar,
anemiadapat dibedakan menjadi 4 kelompok, yaitu: 1) anemia yang disebabkan
oleh cacat atau masalah yang ada pada faktor konstitusional dari sel darah merah;
2) anemia yang disebabkan oleh defisiensi atau kekurangan bahan-bahan yang
berasal dari luar tubuh; 3) anemia karena kehilangan sel darah merah yang baik
dan sehat; dan 4) anemia yang disebabkan karena adanya reaksi autoimun dari
tubuh.1
Bersadarkan klasifikasi anemia di atas, anemia sel sabit termasuk dalam
jenisanemia yang pertama, yaitu anemia yang disebabkan oleh cacat pada factor
konstitusional pada sel darah merah, dalam hal ini adalah cacat pada hemoglobin,
yang disebut dengan istilah hemoglobinopathy. Berdasarkan kasus yang
telahdijumpai, Sickle Cell Disease (Penyakit Sel Sabit) dan thalassemia
merupakanhemoglobinopati yang paling sering dijumpai.1,2
Retinopati adalah kelainan pada retina yang tidak disebabkan radang.
Retinopati juga adalah suatu degenerasi atau kelainan pada retina, dengan dasar
penutupan pembuluh darah yang menyebabkan gangguan nutrisi pada retina.
Salah satu penyebab retinopati adalah retinopati anemia. Dimana pada retinopati
dapat dilihat perubahan perdarahan dalam dan superficial, termasuk papil edema.
Gejala yang terjadi disebabkan anoksia berat yang terjadi pada anemia. Terkadang
tidak jarang ditemukan bercak eksudat kapas (cotton wool patches). Patofisiologi
dari retinopati anemia hingga kini belum ditemukan secara pasti.Tetapi, beberapa
penelitian mengungkapkan bahwa hal ini berhubungan dengan retinal hypoxia,

1
venous stasis, angiospasm, dan peningkatan permeabilitas kapiler. Biasanya
retinopati anemia biasa tejradi pada pasien dengan anemia berat, atau penderita
trombositopenia.Retinopati anemia biasanya juga menjadi manifestasi klinik
sekunder dari penyakit sistemik, seperti kanker, infeksi, atau penyakit autoimun.3
Sickle Cell Disease adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh mutasi pada
satu titik pada posisi keenam dalam rantai β-hemoglobin yang menggantikan asam
amino valin dengan asam glutamat sehingga menghasilkan sickle cell
haemoglobin atau sel hemoglobin sabit.Sickle Cell Disease sendiri merupakan
suatu istilah yang digunakan untuk setiap kondisi dimana produksi HbS (Sickle
Hemoglobin) menyebabkan konsekuensi patofisiologis.4
Di Amerika, Sickle Cell Disease mempengaruhi hampir 100.000 individu
dengan frekuensi hingga 0,003% pada kelahiran Afrika-Amerika. Di Brasil,
frekuensinya mencapai 0,06% tergantung pada wilayahnya, sedangkan di Afrika,
frekuensinya adalah yang tertinggi di dunia, bervariasi dari 5% hingga 40%.5
Sickle Cell Retinopathy adalah komplikasi yang paling sering ditemukan dari
Sickle Cell Disease. Sickle Cell Retinopathy pula dapat mempengaruhi hingga
42% dari individu yang menderita Sickle Cell Disease selama dekade kedua
kehidupan.Hal ini dipicu oleh vasooklusi yang terjadi pada mikrovaskular okular
sehingga meningkatkan kemugkinan terjadinya gangguan penglihatan yang sangat
tergantung pada lokalisasi dan jaringan yang terkena.6
Sickle Cell Retinopathy dapat digolongkan ke dalam dua golongan yaitu Non-
Proliferative Sickle Cell Retinopathy dan Proliferative Sickle Cell Retinopathy
(PSCR). Komplikasi Proliferative Sickle Cell Retinopathy merupakan penyebab
utama terjadinya kehilangan penglihatan pada 10-20% kasus Sickle Cell Disease.
Prevalensi Proliferative Sickle Cell Retinopathy tertinggi pada pasien Sickle Cell
Anemia terjadi antara 25 dan 39 tahun pada pria dan wanita. Namun, pada pasien
Sickle Cell Disease terjadi lebih awal: antara 15 dan 24 tahun pada pria dan 20
hingga 39 tahun pada wanita.5,6

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Retina
2.1.1 Anatomi dan Histologi Retina

Gambar 2.1 Anatomi Mata.7


Retina adalah lembaran jaringan saraf berlapis yang tipis dan semi
transparan yang melapisi bagian dalam dua pertiga posterior dinding bola mata.
Retina membentang ke anterior hampir sejauh corpus ciliare dan berakhir pada
ora serrata tepi yang tidak rata.8

3
Gambar 2.2 Anatomi Retina.
Pada orang dewasa, ora serrata berada sekitar 6.5mm di belakang garis
Schwalbe pada sisi temporal dan 5.7mm pada sisi nasal. Permukaan luar retina
sensoris bertumpuk dengan lapisan epitel berpigmen retina sehingga juga
berhubungan dengan membrane Bruch, koroid, dan sklera. Di sebagian besar
tempat,retina dan epitel pigmen retina mudah terpisah hingga terbentuk suatu
ruang subretina, seperti yang terjadi pada ablasi retina. Namun pada diskus
optikus dan ora serrata, retina dan epitel pigmen retina saling melekat kuat
sehingga perluasan cairan subretina pada ablasi retina dapat dibatasi. Hal ini
berlawanan dengan ruang subkoroid yang dapat berbentuk antara koroid dan
sklera, yang meluas ke taji sklera. Lapisan-lapisan epitel pada permukaan dalam
corpus ciliare dan permukaan posterior iris merupakan perluasan retina dan epitel
pigmen retina ke anterior.9

4
Gambar 2.3 Gambaran Histologi Koroid dan Retina.10
Lapisan-lapisan retina, mulai dari sisi dalamnya adalah sebagai berikut :
(1) membran limitans interna; (2) lapisan serat saraf, yang mengandung akson-
akson sel ganglion yang berjalan menuju nervus optikus; (3) lapisan sel ganglion;
(4) lapisan pleksiform dalam, yang mengandung sambungan sel ganglion dengan
sel amakrin dan sel bipolar; (5) lapisan inti dalam badan – badan sel bipolar,
amakrin dan horizontal; (6) lapisan pleksiform luar, yang mengandung
fotoreseptor; (7) lapisan inti luar sel fotoreseptor; (8) membran limitans eksterna;
(9) lapisan fotoreseptor segmen dalam dan luar batang dan kerucut; dan (10) epitel
pigmen retina. Lapisan dalam membrane Bruch sebenarnya merupakan membrane
basalis epitel pigmen retina.9
Retina mempunyai tebal 0.1mm pada ora serrata dan 0.56mm pada kutub
posterior. Di tengah-tengah retina posterior terdapat makula berdiameter 5.5-
6mm, yang secara klinis dinyatakan sebagai daerah yang dibatasi oleh cabang-
cabang pembuluh darah retina temporal. Daerah ini ditetapkan oleh ahli anatomi
sebagai area sentralis, yang secara histologis merupakan bagian retina yang
ketebalan lapisan sel ganglionnya lebih dari satu lapis. Makula lutea secara

5
anatomis didefinisikan sebagai daerah berdiameter 3 mm yang mengandung
pigmen luteal kuning-xantofil. Fovea yang berdiameter 1.5 mm ini merupakan
zona avaskukar retina pada angiografi fluoresens. Secara histologis, fovea
ditandai sebagai daerah yang mengalami penipisan lapisan inti luar tanpa disertai
lapisan parenkim lain.11
Hal ini terjadi karena akson sel fotoreseptor berjalan miring (lapisan serabut
Henle) dan lapisan – lapisan retina yang lebih dekat dengan permukaan dalam
retina lepas secara sentrifugal. Di tengah makula, 4 mm lateral dari diskus
optikus, terdapat foveola yang berdiameter 0.25mm, yang secara klinis tampak
jelas dengan oftalmoskop sebagai cekungan yang menimbulkan pantulan khusus.
Foveola merupakan bagian retina yang paling tipis (0.25mm) dan hanya
mengandung fotoreseptor kerucut.9
Retina menerima darah dari dua sumber; koriokapilaris yang berada tepat di
luar membrane Bruch, yang mendarahi sepertiga luar retina, termasuk lapisan
pleksiform luar dan lapisan inti luar, fotoreseptor, dan lapisan epitel pigmen
retina; serta cabang-cabang dari arteria centralis retinae, yang mendarahi dua
pertiga dalam retina. Pembuluh darah retina mempunyai lapisan endotel yang
tidak berlubang, yang membentuk sawar darah retina. Lapisan endotel pembuluh
koroid berlubang-lubang. Sawar darah retina sebelah luar terletak setinggi lapisan
epitel pigmen retina.9

2.1.2 Fisiologi Retina


Retina adalah jaringan mata yang paling kompleks. Mata berfungsi sebagai
suatu alat optik, suatu reseptor yang kompleks, dan suatu transducer yang efektif.
Sel-sel batang dan kerucut di lapisan fotoreseptor mengubah rangsangan cahaya
menjadi suatu impuls saraf yang dihantarkan oleh jaras-jaras penglihatan ke
korteks penglihatan oksipital.
Fotoreseptor tersusun sedemikian rupa sehingga kerapatan sel kerucut
meningkat di pusat macula (fovea), semakin berkurang ke perifer, dan kerapatan
sel batang lebih tinggi di perifer. Di foveala terdapat hubungan hamper 1:1 antara
fotoreseptor kerucut, sel ganglionnya, dan serat-serat saraf yang keluar, sedangkan

6
di retina perifer, sejumlah fotoreseptor dihubungkan ke sel ganglion yang sama.
Fovea berperan pada resolusi spasial (ketajaman penglihatan) dan penglihatan
warna yang baik, keduanya memerlukan pencahayaan ruang yang terang
(penglihatan fotopik) dan paing baik di foveola; sementara retina sisanya terutama
digunakan untuk penglihatan gerak, kontras, dan penglihatan malam (skotopik).
Fotoreseptor kerucut dan batang terletak di lapisan terluar retina sensorik
yang avaskular dan merupakan tempat berlangsungnya reaksi kimia yang
mengawali proses penglihatan. Setiap sel fotoreseptor kerucut mengandung
rhodopsin, suatu pigmen penglihatan yang fotosensitif dan terbenam di dalam
diskus bermembran ganda pada fotoreseptor segmen luar. Pigmen ini tersusun
atas dua komponen, sebuah protein opsin dan sebuah kromofor. Opsin dalam
rhodopsin adalah scotopsin, yang terbentuk dari tujuh heliks transmembran.
Opsin tersebut mengelilingi kromofornya, retinal, yang merupakan turunan dari
vitamin A. Saat rhodopsin menyerap foton cahaya, 11-cis-retinal akan mengalami
isomerisasi menjadi all-trans-retinal dan akhirnya menjadi all-trans-retinol.
Perubahan bentuk itu akan mencetuskan terjadinya kaskade penghantar kedua
(secondary messenger cascade). Puncak absorpsi cahaya oleh rhodopsin terjadi
pada panjang gelombang sekitar 500nm, yang merupakan daerah biru-hijau pada
spektrum cahaya. Penelitian-penelitian sensitivitas spektrum fotopigmen kerucut
memperlihatkan puncak absorbsi panjang gelombang, berturut-turut untuk sel
kerucut sensitif – biru, -hijau, dan –merah, pada 430,540, dan 575 nm.
Fotopigmen sel kerucut terdiri atas 11-cis-retinal yang terikat pada protein opsin
selain scotopsin.
Penglihatan skotopik seluruhnya diperantarai oleh fotoreseptor batang.
Dengan bentuk penglihatan adaptasi gelap ini, terlihat beragam corak abu-abu,
tetapi warna-warnya tidak dapat dibedakan. Sewaktu retina telah beradaptasi
penuh terhadap cahaya, sensitivitas spectrum retina bergesar dari puncak dominasi
rhodopsin 500 nm ke sekitar 560 nm, dan muncul sensai warna. Suatu objek akan
berwarna apabila objek tersebut secara selektif memantulkan atau menyalurkan
sinar dengan panjang gelombang tertentu dalam kisaran spektrum cahaya tampak
(400-700nm). Penglihatan siang hari (fotopik) terutama diperantarai oleh

7
fotoreseptor kerucut, senjakala (mesopik) oleh kombinasi sel kerucut dan batang,
dan malam (skotopik) oleh fotoreseptor batang.
Fotoreseptor dipelihara oleh epitel pigmen retina, yang berperan penting
dalam proses penglihatan. Epitel ini bertanggung jawab untuk fagositosis segmen
luar fotoreseptor, transportasi vitamin, mengurangi hamburan sinar, serta
membentuk sawar selektif antara koroid dan retina. Membran basalis sel-sel epitel
pigmen retina membentuk lapisan dalam membrane Bruch, yang juga tersusun
atas matriks ekstraseluler khusus dan membran basalis kriokapilaris sebagai
lapisan luarnya. Sel-sel epitel pigmen retina mempunyai kemampuan terbatas
dalam melakukan regenerasi.12

2.2 Sickle Cell Retinopathy


2.2.1 Definisi
Sickle Cell Retinopathy adalah komplikasi yang paling sering ditemukan dari
Sickle Cell Disease.Faktor esensial dari ini adalah pembentukan haemoglobin
abnormal yang menyebabkan sel darah merah mengubah bentuk menjadi bentuk
sabit. Sel darah yang berbentuk sabit ini tidak dapat melewati pembuluh darah
kecil dengan mudah sehingga ada kecenderungan untuk terjadi trombosis dan
perdarahan.6

2.2.2 Epidemiologi
Hemoglobinopati Sickle Cell paling umum ditemukan pada populasi Afrika
Amerika. Sickle Cell Trait (Hb AS) mempengaruhi 8% orang Afrika Amerika;
0,4% memiliki Sickle Cell Disease (Hb SS) dan 0,2% memiliki Sickle Cell
Disease tipe Hb SC. Sickle Cell Diseasetipe Thalassemia (S Thal), yaitu penyakit
yang terjadi akibat kerusakan polipeptida α dan β jarang terjadi, namun sering
menyebabkan retinopati.13

2.2.3 Etiologi
Penyebab dari retinopati anemia adalah Anoksia akan mengakibatkan infark
retina sehingga tidak jarang ditemukan pula suatu bercak eksudat kapas. Makin
berat anemia akan terjadi kelainan retina yang berat.14 Sickle Cell Retinopathy

8
adalah komplikasi yang paling sering ditemukan dari Sickle Cell Disease. Sickle
Cell Retinopathy pula dapat mempengaruhi hingga 42% dari individu yang
menderita Sickle Cell Disease selama dekade kedua kehidupan. Hal ini dipicu
oleh vasooklusi yang terjadi pada mikrovaskular okular sehingga meningkatkan
kemugkinan terjadinya gangguan penglihatan yang sangat tergantung pada
lokalisasi dan jaringan yang terkena.6

2.2.4 Klasifikasi
Pada Sickle Cell Disease, stasis dan oklusi pada pembuluh darah kecil dalam
mata oleh Sickle erythrocyte (eritrosit berbentuk sabit) dapat menyebabkan lesi
okular. Sickle Cell Retinopathy dapat diklasifikasi kepada dua golongan, yaitu6:
a) Non-Proliferative Sickle Cell Retinopathy
Perubahan retina yang ditemukan pada Sickle Cell Retinopathy disebabkan
oleh oklusi pada arteriol dan kapiler. Hal ini mirip dengan infark putih atau
hemoragik yang terjadi pada sistem saraf pusat. Pada daerah perifer akan
terjadi, anastomosis dan remodeling sementara di daerah infark akan terjadi
resorpsi.
Kelainan pada retina yang ditemukan pada Non-Proliferative Sickle Cell
Retinopathytermasuk13:
 Perdarahan Salmon patch
 Refractile (iridescent) deposits atau spots
 Lesi Black “sunburst”
Penelitian secara klinis dan histologi menunjukkan bahwa perdarahan Salmon
patch mewakili area perdarahan intraretinal yang terjadi setelah oklusi arteriole
retina perifer. Refractile spots adalah perdarahan lama yang telah diresorbsi
dengan deposisi hemosiderin di dalam retina, tepat di bawah Inner Limiting
Membrane. Lesi Black “sunburst” adalah area lokal di epitel pigmen retina
yang mengalami hipertrofi dan hiperplasia serta merupakan area di mana
terjadinya migrasi pigmen ke dalam retina. Lesi ini sering memiliki
penampilan berspekulasi dan biasanya ditemukan pada lokasi perivaskular di
perifer.13

9
Oklusi kapiler dan arteriole parafoveal adalah salah satu penyebab
terjadinya penurunan ketajaman penglihatan pada Sickle Cell Retinopathy.
Pada pasien dengan hemoglobinopati Sickle Cell dapat terjadi oklusi spontan di
retina sentral. Oklusi vaskular yang tidak dapat dihindari merupakan penyebab
terjadinya infark pada Sickle Cell Retinopathy.13
Gambar-gambar berikut menunjukkan perubahan di retina yang ditemukan
pada Non-Proliferative Sickle Cell Retinopathy:13

Gambar 2.4 Perdarahan Akut pada Non-Proliferative Sickle Cell Retinopathy.13


Pendarahan berwarna oranye-merah yang terjadi pada retina dan pra-retina
sehingga mengaburkan vaskularisasi retina.

Gambar 2.5 Non-Proliferative Sickle Cell Retinopathy.13


Dua minggu kemudian, perdarahan semakin kecil, memiliki bagian sentral
yang berwarna putih keabu-abuan, dan dikelilingi oleh lingkaran halo kuning.12

10
Gambar 2.6 Iridescent spot.12
b) Proliferative Sickle Cell Retinopathy
Didasarkan pada adanya proliferasi vaskular (yaitu neoangionesis yang
dapat diikuti oleh Viterous Hemorrhage (Perdarahan Viterous).Berdasarkan
klasifikasi Goldberg dan Penman, tingkat keparahan retinopati pada pasien
Sickle Cell Disease dapat diklasifikasikan ke dalam lima stadium. Empat
decade yang lalu, Goldberg mengklasifikasikan Proliferative Sickle Cell
Retinopathy ke dalam lima tahap, yaitu6:
 Oklusi arteri perifer;
 Anastomosis arteriovenous perifer yang mewakili kapiler yang sudah ada
sebelumnya (hairpin loop);
 Proliferasi neovaskular dan fibrosa (sea fan) yang terjadi di pembatasan
posterior yang tidak berperfusi. Tampilan white sea fan yang terjadi
selanjutnya adalah karena auto-infark dari neovaskular;
 Viterous Hemorrhage (Perdarahan Viterous);
 Tractional Retinal Deattachment.

11
Gambar 2.7 Neovaskuarisasi sea fan.13

Gambar 2.8. Proliferasi Fibrotik Intravitreal.15

Gambar 2.9. Traksi intravitreal.15

12
2.2.5 Patofisiologi

Gambar 2.10 Patofisiologi Sickle Cell Retinopathy.13


Patofisiologi dari retinopati anemia hingga kini belum sepenuhnya ditemukan
dengan pasti.Namun, beberapa asumsi menyatakan bahwa retinopati anemia
berhubungan dengan terjadinya hipoksia pada retina, statis vena, angiospasme,
dan peningkatan permeabilitas kapiler.
Syaraf optic terletak dibelakang bola mata, memiliki persimpangan (chiasma
opticum) ditengah kepala sebelum akhirnya masuk ke otak daerah belakang.
Panjang syaraf optic berkisar antara 37-42 mm dan melintasi bagian bawah otak
yang disebut dengan hipofisis. Ujung serabut syaraf optic melingkupi bagian
dalam bola mata yang disebut dengan retina.
Oksigenasi retina diberikan oleh anyaman pembuluh darah yang melingkupi
bola mata dan dalam porsi kecil difusi dari cairan bola mata.Hipoksia retina bisa
disebabkan oleh peningkatan tekanan bola mata (glaucoma) sehingga menekan
anyaman pembuluh darah, gangguan pembuluh darah baik blockade maupun
gangguan darah (anemia). Gejala hipoksia akibat glaucoma dapat dirasakan secara
mendadak (buta mendadak) ataupun pelan-pelan berupa penyempitan lapang
pandang.16

13
Gambar 2.11 Perbandingan Retina Normal dengan Retinopati.17

2.2.6 Gejala Klinis


Proses patologi Sickle Cell Disease dapat mempengaruhi hampir setiap
pembuluh darah di mata dan dalam tahap lanjut, memiliki potensi untuk
menyebabkan kebutaan. Manifestasi okular Sickle Cell Diseasemelibatkan
kerusakan dari segmen anterior dan posterior mata.18
a) Segmen Anterior
 Konjungtiva
 Pembuluh darah berwarna merah gelap dan berbentuk koma, khususnya
pada konjungtiva bulbi inferior.
 Iris
 Atrofi dan neovaskularisasi iris fokal.
 Angle Sickled erythrocyte (Eritrosit berbentuk sabit) di ruang anterior
dapat meningkatkan tekanan intraokular mata.18
 Hifema19
b) Segmen Posterior
 Retina
1. Angiod streaks
2. Koleksi fokal dari perdarahan superfisial atau pretinal yang awalnya
berwarna merah terang tetapt terdegradasi membentuk perdarahan
salmon-patch. Residual haemosiderin dapat menghasilkan refractile

14
bodies (iridescent spots) dan migrasi Retinal Pigmented Epithelium
sekunder dapat meninggalkan pigmen intraretinal.18,19
 Pembuluh darah
1. Venous tortuosity
2. Oklusi arteri retina sentral dan cabangnya
3. Microhemorrhages peripheral ischaemia
4. Vascular loops
5. Pembesaran zona foveal yang avaskular
6. Penipisan dan iskemia macula19
7. Proliferative Retinopathy18
 Choroid
Vaso-oklusi yang dapat menghasilkan Retinal Pigmented Epithelium
sekunder dan kerusukan retina.19
2.2.7 Diagnosis
Konfirmasi Sickle Cell Disease dengan elektroforetik atau spektroskopi tetap
merupakan langkah pertama dalam mendiagnosis Sickle Cell Retinopathy.
Langkah selanjutnya yang dapat dilakukan adalah mengevaluasi faktor risiko
sistemik dan genetik Sickle Cell Retinopathypada pasien dengan Sickle Cell
Disease.19
Pemeriksaan Optalmologik dari pasien Sickle Cell Disease harus melibatkan
sejumlah pemeriksaan dasar. Dengan demikian, skrining rutin kelainan okular
untuk deteksi dini dan intervensi retinopati harus mencakup pengujian ketajaman
visual (untuk mengukur kejelasan atau ketajaman penglihatan pada jarak 6 meter),
fully dilated funduscopy, serta penggunaan biomicroscopy slit-lamp (untuk
mengamati kelainan okular di bagian anterior mata dan ablasio retina).6,19
Pada kasus dengan hasil funduskopi yang abnormal seperti pada kasus
pasien dengan retinopati iskemik, yang paling sering dilakukan adalah
Fluorescein Angiography atau Optical Coherence Tomography Angiography.
Setelah melakukan pemeriksaan diagnostik, klasifikasi Goldberg dan Penman
dapat digunakan untuk menilai tingkat keparahan retinopati.Fluorescein

15
Angiography lebih sensitif dalam diagnosis retinopati bila dibandingkan dengan
optalmoskopi tidak langsung.19
Ultrawide-field Fluorescein Angiography memungkinkan seseorang untuk
memvisualisasikan remodeling pada pembuluh darah perifer, menghitung indeks
iskemik perifer, atau bukti oklusi mikrovaskuler retina.19
Spectral domain-Optical Coherence Tomography sangat penting dalam
mendiagnosis retina daripada penyakit saraf optik (misalnya glaukoma), dan dapat
digunakan untuk mengkonfirmasi elektroretinografi multifokal. Optical
Coherence Tomography Angiography adalah versi perbaikan dari Optical
Coherence Tomography (yaitu, Optical Coherence Tomography + angiografi). Ini
adalah gold standard dalam mengidentifikasi iskemia retina pada pasien dengan
Sickle Cell Disease. Ini merupakan sistem pencitraan non-invasif yang relatif baru
untuk memantau patologi okular dan mendeteksi penyakit dini. Optical
Coherence Tomography Angiography mampu menunjukkan dan membandingkan
informasi struktural dan aliran darah.19

2.2.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan untuk retinopati adalah koreksi anemia.Apabila kehilangan


penglihatan terjadi, dapat di laser atau dengan injeksi intraviteal kortikosteroid
atau anti-vascular endothelial growth factor (VEGF).20,22
Pada Sickle Cell Retinopathy, perdarahan vitreous yang terjadi akibat
Proliferative Sickle Retinopathy adalah penyebab utama terjadinya penurunan
ketajaman penglihatan. Oleh karena itu, strategi penatalaksanaan didasarkan pada
penutupan Sea Fan. Pasien yang didiagnosa dengan stadium I dan II tidak
ditatalaksana karena penatalaksanaan pada retina yang iskemik tidah mencegah
terjadinya Sea Fan, dan kebanyakan kasus tidak berkembang menjadi Sea Fan
atau komplikasinya. Penatalaksaanaan masih kontroversi karena kebanyakan
kasus Sea Fan akan pulih secara spontan, terutama pada golongan pasien SS yang
lebih tua, dimana insidensi terjadi kebutaan adalah sangat kecil. Oleh karena itu,
pendekatan yang direkomendasikan adalah untuk mengobati Sea Fan pada semua

16
pasien SC dan SS di bawah usia 40 tahun dengan teknik sectoral. Pasien dengan
perdarahan vitreous dan gangguan ketajaman visual baru-baru ini biasanya
dievaluasi selama enam bulan untuk memungkinkan pembersihan spontan.
Photocoagulation atau cryotherapy dapat dilakukan apabila visibilitas
memungkinkan.21,23
a) Photocoagulation
Photocoagulation dianggap aman dan efektif dalam pengobatan Proliferative
Sickle Retinopathy, karena mempertahankan kualitas hidup dan mempertahankan
penglihatan dengan mencegah komplikasi yang mengancam penglihatan.
Pendekatan teraputik yang dilakukan untuk Proliferative Sickle Retinopathy
termasuk diathermy, cryopexy dan photocoagulation. Peripheral scatter
photocoagulation dilakukan dengan menerapkan light burns berintensitas rendah
pada bagian perifer retina yang mengalami iskemia. Hal ini dapat menyebabkan
regresi neovaskular yang kemudian dapat menurunkan resiko terjadinya
perdarahan vitreous. Teknik ini terutamadigunakan untuk mengobati Proliferative
Diabetic Retinopathy. Oleh karena photocoagulation terhadap retina iskemik pada
Proliferative Diabetic Retinopathymenghasilkan regresi barupembuluh darah di

17
BAB III

KESIMPULAN

Retinopati merupakan kelainan pada retina yang tidak disebabkan radang.


Cotton wool patches, merupakan gambaran eksudat pada retina akibat
penymbatan arteri prepapil sehingga terjadi daerah nonperfusi didalam retina.
Warna retina biasanya jingga dan kadang-kadang pucat pada anemia dan iskemia
dan merah pada hyperemia. Pembuluh darah didalam retina merupakan cabang
arteri oftalmikus arteri retina sentral masuk retina melalui papil saraf optik yang
memberikan nutrisi pada retina dalam. Lapisan luar retina atau sel kerucut dan
batang mendapat nutrisi dari koroid.
Gejala yang terjadi disebabkan anoksia berat yang terjadi pada anemia.
Terkadang tidak jarang ditemukan bercak eksudat kapas (cotton wool patches).
Patofisiologi dari retinopati anemia hingga kini belum ditemukan secara
pasti.Tetapi, beberapa penelitian mengungkapkan bahwa hal ini berhubungan
dengan retinal hypoxia, venous stasis, angiospasm, dan peningkatan permeabilitas
kapiler. Biasanya retinopati anemia biasa tejradi pada pasien dengan anemia berat,
atau penderita trombositopenia. Retinopati anemia biasanya juga menjadi
manifestasi klinik sekunder dari penyakit sistemik, seperti kanker, infeksi, atau
penyakit autoimun.
Sickle Cell Retinopathy adalah komplikasi yang paling sering ditemukan dari
Sickle Cell Disease yaitu suatu penyakit yang disebabkan oleh mutasi pada satu
titik pada posisi keenam dalam rantai β-hemoglobin yang menggantikan asam
amino valin dengan asam glutamat sehingga menghasilkan sickle cell
haemoglobin atau sel hemoglobin sabit. Sel darah yang berbentuk sabit ini tidak
dapat melewati pembuluh darah kecil dengan mudah sehingga ada kecenderungan
untuk terjadi thrombosis dan perdarahan.
Sickle Cell Retinopathy dapat diklasifikasi kepada dua golongan, yaitu Non-
Proliferative Sickle Cell Retinopathydan Proliferative Sickle Cell Retinopathy.
Kedua tipe Sickle Cell Retinopathy ini dapat dibedakan berdasarkan hasil
gambaran yang ditemukan pada retina. Misalnya pada Non-Proliferative Sickle

18
Cell Retinopathy dapat ditemukan gambaran perdarahan Salmon patch, Refractile
(iridescent) deposits atau spots dan Lesi Black “sunburst”. Sementara pada
Proliferative Sickle Cell Retinopathy dapat ditemukan Oklusi arteri perifer,
Anastomosis arteriovenous perifer (hairpin loop), Proliferasi neovaskular dan
fibrosa (sea fan), Viterrous Hemorrhage dan Tractional Retinal Deattachment.
Retinopati dan berbagai stadiumnya didiagnosis berdasarkan pemeriksaan
stereoskopik fundus dengan dilatasi pupil.Oftalmoskopi dan foto funduskopi
merupakan gold standard bagi penyakit ini.Angiografi Fluoresens (FA)
digunakan untuk menentukan jika pengobatan laser diindikasikan. FA diberikan
dengan cara menyuntikkan zat fluorresens secara intravena dan kemudian  zat
tersebut melalui pembuluh darah akan sampai di fundus.
Penatalaksanaan untuk retinopati adalah koreksi anemia.Apabila kehilangan
penglihatan terjadi, dapat di laser atau dengan injeksi intraviteal kortikosteroid
atau anti-vascular endothelial growth factor (VEGF). Berdasarkan hasil
diagnosis, pasien akan dikelompokan menurut klasifikasi Goldberg dan Penman,
yang kemudian akan menentukan penatalaksanaan yang sesuai dengan presentasi
kasus pasien. Antara pilihan terapi yang dapat dilakukan adalah Photocoagulation
dan Vitreoretinal Surgery.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Amissah-Arthur KN, Mensah E. The past, present and future management of


sickle cell retinopathy within an African context. Eye (Lond).
2018;32(8):1304-1314.
2. Herrick JB. Peculiar elongated and sickle-shaped red blood corpuscles in a
case of severe anemia. JAMA. 2014;312:1063–1063.
3. Serjeant GR, Vichinsky E. Variability of homozygous sickle cell disease: the
role of alpha and beta globin chain variation and other factors. Blood Cells
Mol Dis. 2017.
4. National Heart, Lung, and Blood Institute. Evidence-based management of
sickle cell disease: expert panel. 2014; 1–161
5. Melo M.B.. An eye on sickle cell retinopathy. Rev Bras Hematol Hemoter.
2017 August 30;10:335-346. Available from :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4318455/
6. Meena F., Khan B.A., Uzair B., Meena A.. Sickle cell retinopathy :
improving care with a multidisciplinary approach. J Multidiscip Healthc.
2017 August 30;10:335-346. Available from :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5587171/
7. Paulsen F & Waschke J, 2010; Sobotta Atlas Anatomi Manusia, Jilid 3, Edisi
23, EGC, Jakarta
8. Jason J S Barton, University of British Columbia, May 2008. Prenuclear
Disorders: Brainstem. Available from :
http://www.neuroophthalmology.ca/textbook/disorders-of-eye-movements/v-
prenuclear-disorders-brainstem/ii-internuclear-ophthalmoplegia-ino.
9. Virgo J, Plant G. Internuclear ophthalmoplegia. Practical Neurology.
2016;17(2):2.
10. Eroschenko VP. 2010. Atlas Histologi diFiore dengan Korelasi Fungsional
Edisi 11. Jakarta: EGC. Hlm: 515.
11. Hildebrand, G. D., Fielder, A. R., 2011. Anatomy and Physiology of the
Retina. Springer-Verlag Berlin Heidelberg. P49-56.

20
12. Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS. Fundamentals and Principles of
Ophtalmology Singapore: American Academy of Ophtalmology; 2012.Pg 83
13. Cantor L.B., Rapuano C.J., Ciffoi G.A..Retina and Viterous. American
Academy of Opthalmology. Italy. 2014.
14. Lang G. Ophtalmology  a Short Textbook : Vascular Disorder. New York
:Thieme; 2000. p. 299-301, 314-18.
15. Okun E.. Development of Sickle Cell Retinopathy. Kluwer
AcademicPublishers. December;26(1):574-581.
16. Myint KT, Sahoo S, Thein AW, Moe S, Ni H. Laser therapy for retinopathy
in sickle cell disease. Cochrane Database Syst Rev. 2015;109:363–29.
17. Kanski J. Retinal Vascular Disease. In :Clinical Ophthalmology.
London:Butterworth-Heinemann;2003. p.439-54,468-70.
18. Sivaprasad S, Prevost AT, Vasconcelos JC, Riddell A, Murphy C, Kelly J, et
al. Clinical efficacy of intravitreal aflibercept versus panretinal
photocoagulation for best corrected visual acuity in patients with proliferative
diabetic retinopathy at 52 weeks (CLARITY): a multicentre, single-blinded,
randomised, controlled, phase 2b, non-inferiority
trial. Lancet. 2017;389:2193–203.
19. Mitropoulos PG, Chatziralli IP, Parikakis EA, Peponis VG, Amariotakis GA,
Moschos MM. Intravitreal ranibizumab for stage IV proliferative sickle cell
retinopathy: a first case report. Case Rep Ophthalmol Med. 2014;2014:6
20. Joussen A.M. Retinal Vascular Diseease. New York: Springer; 2007. p. 3-5,
66-70, 129-132, ,228-31, 309, 291-331
21. Li J, Paulus YM. Advances in Retinal Laser Therapy. Int J Ophthalmic Res.
2018;4(1):259-264.
22. Beaulieu WT, Bressler NM, Melia M, Owsley C, Mein CE, Gross JG, Jampol
LM, Glassman AR; Diabetic Retinopathy Clinical Research Network.
Panretinal Photocoagulation Versus Ranibizumab for Proliferative Diabetic
Retinopathy: Patient-Centered Outcomes From a Randomized Clinical
Trial. Am J Ophthalmol 2016; 170: 206–213.

21
23. Yang JH, Yu SY, Kim TG, Kim ES, Kwak HW. Morphologic changes in the
retina after selective retina therapy. Graefes Arch Clin Exp
Ophthalmol 2016; 254(6): 1099–109. 
24. Brinkmann R, Koinzer S, Schlott K, Ptaszynski L, Bever M, Baade A, Luft S,
Miura Y, Roider J, Birngruber R. Real-time temperature determination during
retinal photocoagulation on patients. J Biomed Opt 2012; 17(6): 061219.
25. Ajlan RS, Desai AA, Mainster MA. Endoscopic vitreoretinal surgery:
principles, applications and new directions. Int J Retina Vitreous. 2019;5:15.
Published 2019 Jun 18.

22

Anda mungkin juga menyukai