FAKULTAS KESEHATAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS
INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN BALI
2020/2021
LAPORAN PENDAHULUAN
WAHAM
6. Fase improving
Apabila tidak adanya konfrontasi dan upaya-upaya koreksi, setiap waktu
keyakinan yang salah pada klien akan meningkat. Tema waham yang muncul
sering berkaitan dengan traumatik masa lalu atau kebutuhan-kebutuhan yang tidak
terpenuhi (rantai yang hilang). Waham bersifat menetap dan sulit untuk dikoreksi.
Isi waham dapat menimbulkan ancaman diri dan orang lain.
Waham
Core Problem
i. Status Mental.
j. Penampilan
Pada pasien waham biasanya penampilan nya sesuai dengan waham yang ia
rasakan. Misalnya pada waham agama berpakaian seperti seorang ustadz.
k. Pembicaraan
Pada pasien waham biasanya pembicaraan nya selalu mengarah ke wahamnya,
bicara cepat, jelas tapi berpindah-pindah, isi pembicaraan tidak sesuai dengan
kenyataan.
l. Aktivitas Motorik
Pada waham kebesaran bisa saja terjadi perubahan aktivitas yang berlebihan.
m. Alam Perasaan
Pada waham curiga biasanya takut karena merasa orang-orang akan melukai
dan mengancam membunuhnya. Pada waham nihilistik merasa sedih karena
meyakini kalau dirinya sudah meninggal.
n. Interaksi Selama Wawancara
Pada pasien waham biasanya di temukan :
1) Defensif : selalu berusaha mempertahankan pendapat dan kebenaran dirinya.
2) Curiga : menunjukkan sikap / perasaan tidak percaya pada orang lain.
o. Isi Pikir
Pada pasien dengan waham kebesaran biasanya : klien mempunyai keyakinan
yang berlebihan terhadap kemampuannya yang disampaikan secara berulang yang
tidak sesuai dengan kenyataan.
p. Proses Pikir
Pada pasien waham biasanya pikiran yang tidak realistis, flight of ideas,
pengulangan kata-kata.
q. Tingkat Kesadaran
Biasanya masih cukup baik
D. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang keperawata yang muncul pada klien dngan waham adalah :
1. Waham
2. Risiko tinggi perilaku kekerasan
3. Harga diri rendah
F. Diagnosa medis
1. Pengertian
Melinda Heraman (2008 dalam Yosep & Sutini 20160 mendefinisikan skizofrenia
sebagai penyakit neurologis yang memengaruhi persepsi klien, cara pikir, bahasa,
emosi, dan perilaku sosialnya.
Skizofrenia adalah suatu penyakit otak persisten dan serius yang mengakibatkan
perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam memproses informasi,
hubungan interpersonal, serta memecahkan masalah (Lasgita, 2016).
Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang ditandai dengan gangguan utama
dalam pikiran, emosi, dan perilaku, pikiran yang terganggu, dimana berbagai
pemikiran tidak saling berhubungan secara logis, persepsi dan perhatian yang keliru
afek yang datar atau tidak sesuai, dan berbagai gangguan aktifitas motorik yang
bizzare (perilaku aneh), pasien skizofrenia menarik diri orang lain dan kenyataan,
sering kali masuk kedalam kehidupan fantasi yang penuh delusi dan halusinasi
(Nurcholis, 2013).
2. Etiologi
Etiologi skizofrenia menrut Fatmawati (2016) adalah :
a. Faktor Biologis
1) Komplikasi kelahiran
Bayi laki-laki yang memiliki komplikasi saat dilahirkan sering mengalami
skizofrenia, hipoksia perinatal akan meningkatkan kerentanan seseorang
terhadap skizofrenia.
2) Infeksi
Perubahanan atomi pada susunan syaraf pusat akibat infeki virus pernah
dilaporkan pada orang dengan skizofrena. Penelitian mengatakan bahwa
terpapar infeksi virus pada trisemester kedua kehamilan akan meningkatkan
kemungkinan seseorang mengalami skizofrenia.
3) Hipotesis dopamine
Dopamine merupakan neurotransmitter pertama yang berkontribusi
terhadap gejala skizofrenia. Hampir semua obat antipsikotik baik tipikal
maupun antipikal menyekat reseptor dopamine D2, dengan terhalangnya
transmisi sinyal di sistem dopamine ergik maka gejala psikotik diredakan.
4) Hipotesis Serotonin
Gaddum, Wooley, dan Show tahun 1954 mengobservasi efek lysergic acid
diethlamide (LSD) yaitu suatu zat yang bersifat campuran agonis/antagonis
reseptor 5-HT. Ternyata zat tersebut menyebabkan keadaan psikosis berat pada
orang normal.
5) Struktur Otak
Daerah otak yang mendapatkan banyak perhatian adalah system limbik
dan ganglia basalis. Otak pada penderita skizofrenia terlihat sedikit berbeda
dengan orang normal, ventrikel terlihat melebar, penurunan massa abu-abu dan
beberapa area terjadi peningkatan maupun penurunan aktifitas metabolic.
Pemeriksaan mikroskopis dan jaringan otak ditemukan sedikit perubahan
dalam distribusi sel otak yang timbul pada masa prenatal karena tidak
ditemukannya sel gila, biasa timbul pada trauma otak setelah lahir.
b. Faktor Genetik
Para ilmuwan sudah lama mengetahui bahwa skizofrenia diturunkan, 1%
populasi umum tetapi 10% pada masyarakat yang mempunyai hubungan derajat
pertama seperti orang tua, kakak laki-laki ataupun perempuan dengan skizofrenia.
Masyarakat yang mempunyai hubungan derajat kedua seperti paman, bibi,
kakek/nenek, dan sepupu dikatakan lebih sering disbandingkan populasi umum.
Kembar identik 40% sampai 65% berpeluang menderita skizofrenia, sedangkan
kembar dizigotik sebanyak 12%. Anak dan kedua orang tua yang skizofrenia
berpeluang 40%, satu orang tua 12%.
3. Klasifikasi
Klasifikasi skizofrenia menurut DSM-IV-TR 2000 (dalam Lasgita, 2016) adalah :
a. Skizofrenia Paranoid
Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah waham yang mencolok atau halusinasi
auditorik dalam konteks terdapatnya fungsi kognitif dan afektif yang relatif masih
terjaga. Waham biasanya adalah waham kejar atau waham kebesaran, atau
keduanya, tetapi waham dengan tema lain (misalnya waham kecemburuan,
keagamaan, atau somalisas) mungkin juga muncul. Ciri-ciri lainnya meliputi
ansietas, kemarahan, menjaga jarak dan suka berargumentasi, dan agresif.
b. Skizofrenia Disorganized
Ciri utama skizofrenia tipe disorganized adalah pembicaraan kacau, tingkah
laku kacau dan afek yang datar atau inappropriate. Pembicaraan yang kacau dapat
disertai kekonyolan dan tertawa yang tidak erat kaitannya dengan isi pembicaraan.
Disorganisasi tingkah laku dapat membawa pada gangguan yang serius pada
berbagai aktivitas hidup sehari-hari.
c. Skizofrenia katatonik
Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah gangguan pada psikomotor yang dapat
meliputi ketidak bergerakan motorik (waxy flexibility). Aktivitas motor yang
berlebihan, negativism yang ekstrim, sama sekali tidak mau bicara dan
berkomunikasi (mutism), gerakan-gerakan yang tidak terkendali, mengulang
ucapan orang lain (echolalia) atau mengikuti tingkah laku orang lain (echopraxia).
d. Skizofrenia Undifferentiated
Tipe Undifferentiated merupakan tipe skizofrenia yang menampilkan
perubahan pola simptom-simptom yang cepat menyangkut semua indikator
skizofrenia. Misalnya, indikasi yang sangat ruwet, kebingungan (confusion), emosi
yang tidak dapat dipegang karena berubah-ubah, adanya delusi, referensi yang
berubah-ubah atau salah, adanya ketergugahan yang sangat besar, autisme seperti
mimpi, depresi, dan sewaktu-waktu juga ada fase yang menunjukkan ketakutan.
e. Skizofrenia Residual
Tipe ini merupakan kategori yang dianggap telah terlepas dari skizofrenia
tetapi masih memperlihatkan gejala-gejala residual atau sisa, seperti keyakinan-
keyakinan negatif, atau mungkin masih memiliki ide-ide tidak wajar yang tidak
sepenuhnya delusional. Gejala-gejala residual itu dapat meliputi menarik diri
secara sosial, pikiran-pikiran ganjil, inaktivitas, dan afek datar.
4. Penatalaksanaan
Tujuan utama dari terapi skizofrenia adalah mengembalikan fungsi normal pasien
dan mencegah kekambuhan penyakitnya. Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk
masing-masing subtype skizofrenia. Pengobatan hanya dibedakan berdasarkan gejala
apa yang menonjol pada pasien. Terapi yang bisa dilakukan pada penderita skizofrenia
meliputi terapi farmakologi dan non farmakologi.
a. Terapi Farmakologi
Ada tiga fase pengobatan dan pemulihan skizofrenia (Ikawati, 2011, dalam
Shadrina, 2018):
1) Terapi fase akut
Pada fase ini pasien menunjukkan gejala psikotik yang intensif. Biasanya
pada fase ini ditandai dengan munculnya gejala positif dan negatif. Pengobatan
pada fase ini bertujuan untuk mengendalikan gejala psikotik sehingga tidak
membahayakan terhadap diri sendiri maupun orang lain. Terapi utamanya
adalah dengan menggunakan obat dan biasanya dibutuhkan rawat inap.
Pemilihan antipsikotik yang benar dan dosis yang tepat dapat mengurangi gejala
psikotik dalam waktu enam minggu.
2) Terapi fase stabilisasi
Pada fase ini pasien masih mengalami gejala psikotik dengan intensitas
yang lebih ringan. Pada fase ini pasien masih memiliki kemungkinan yang besar
untuk kambuh sehingga butuhkan pengobatan yang rutin untuk menuju ke tahap
pemulihan yang lebih stabil.
3) Terapi fase pemeliharaan
Pada fase ini dilakukan terapi jangka panjang dengan harapan dapat
mempertahankan kesembuhan, mengontrol gejala, mengurangi risiko
kekambuhan, mengurangi durasi rawat inap, dan mengajarkan keterampilan
untuk hidup mandiri. Terapinya meliputi obat-obatan, terapi suportif,
pendidikan keluarga dan konseling, serta rehabilitasi pekerjaan dan sosial.
Secara umum, terapi penderita skizofrenia dibagi menjadi tiga tahap yakni terapi
akut, terapi stabilisasi dan terapi pemeliharaan. Terapi akut dilakukan pada tujuh
hari pertama dengan tujuan mengurangi agitasi, agresi, ansietas, dan lain-lain.
Benzodiazepin biasanya digunakan dalam terapi akut. Penggunaan
benzodiazepin akan mengurangi dosis penggunaan obat antipsikotik. Terapi
stabilisasi dimulai pada minggu kedua atau ketiga. Terapi stabilisasi bertujuan
untuk meningkatkan sosialisasi serta perbaikan kebiasaaan dan perasaan.
Pengobatan pada tahap ini dilakukan dengan obat-obat antipsikotik. Terapi
pemeliharaan bertujuan untuk mencegah kekambuhan. Dosis pada terapi
pemeliharaan dapat diberikan setengah dosis akut. Klozapin merupakan
antipsikotik yang hanya digunakan apabila pasien mengalami resistensi terhadap
antipsikotik yang lain (Dipiro, 2008, dalam Shadrina, 2018).
Antipsikotik dapat dibedakan menjadi 2, yaitu :
1) Antipsikotik tipikal (FGA)
Antipsikotik tipikal merupakan antipsikotik generasi lama yang
mempunyai aksi untuk mengeblok reseptor dopamin D2. Antipsikotik jenis
ini lebih efektif untuk mengatasi gejala positif yang muncul. Efek samping
ekstrapiramidal banyak ditemukan pada penggunaan antipsikotik tipikal
sehingga muncul antipsikotik atipikal yang lebih aman. Contoh obat-obatan
yang termasuk dalam antipsikotik tipikal diantaranya adalah klorpromazin,
tiorizadin, flufenazin, haloperidol, loxapin, dan perfenazin (Ikawati, 2011,
dalam Shadrina, 2018).
2) Antipsikotik atipikal (SGA)
Antipsikotik atipikal adalah generasi baru yang banyak muncul pada
tahun 1990an. Aksi obat ini yaitu menghambat reseptor 5-HT2 dan
memiliki efek blockade pada reseptor dopamine yang rendah. Antipsikotik
atipikal merupakan pilihan pertama dalam terapi skizofrenia karena efek
sampingnya yang cenderung lebih kecil jika dibandingkan dengan
antipsikotik tipikal. Antipsikotik atipikal menunjukkan penurunan dari
munculnya efek samping karena penggunaan obat Universitas Sumatera
Utara dan masih efektif diberikan untuk pasien yang telah resisten terhadap
pengobatan. Antipsikotik ini efektif untuk mengatasi gejala baik positif
negatif. Contoh obat yang termasuk antipsikotik atipikal adalah clozapin,
risperidon, olanzapin, ziprasidon, dan quetiapin (Ikawati, 2011, dalam
Shadrina, 2018)
b. Terapi Non Farmakologi
Terapi non farmakologi pada penderita skizofrenia meliputi pendekatan
psikososial dan ECT (Electro Convulsive Therapy). Peningkatan kualitas hidup dan
kesembuhan pasien skizofrenia akan lebih baik jika diberikan juga terapi non
farmakologi disamping terapi obat. Kombinasi kedua terapi ini akan mampu
memberikan manfaat yang banyak bagi pasien. Pendekatan psikososial bertujuan
untuk memberikan dukungan emosional kepada pasien sehingga pasien mampu
meningkatkan fungsi sosial dan pekerjaannya dengan lebih baik. Ada beberapa jenis
pendekatan psikososial yang biasa dilakukan pada pasien skizofrenia, diantaranya
yaitu Program for Assertive Community Treatment (PACT), intervensi keluarga,
terapi perilaku kognitif (cognitive behavioural therapy), dan pelatihan keterampilan
sosial (Ikawati, 2011, dalam Shadrina, 2018).
Selain pendekatan psikososial, ada juga terapi non farmakologi menggunakan
ECT (Electro Convulsive Therapy). Penggunaan ECT yang dikombinasi dengan
obat-obatan antipsikotik bisa dijadikan pilihan terapi bagi pasien yang
menginginkan perbaikan umum dan pengurangan gejala dengan cara yang cepat
(Tharyan, 2005, dalam Shadrina, 2018).
DAFTAR PUSTAKA
Keliat, Budi Anna & Akemat. (2014). Model praktik keperawatan professional jiwa. Jakarta :
EGC
Yosep, I & Titin Sutini. (2016). Buku ajar keperawatan jiwa. Bandung : Refika Aditama
Nur Shadrina, N. A., & Mutmainah, N. (2018). Kajian Penggunaan Antipsikotik Pada Pasien
Skizofrenia di Instalasi Rawat Inap RS “X” Provinsi Jawa Tengah tahun 2016
(Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah Surakarta).