Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA

I GEDE INDRA PRATAMA


NIM. 2014901213

FAKULTAS KESEHATAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS
INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN BALI
2020/2021
LAPORAN PENDAHULUAN
WAHAM

A. Kasus (masalah utama)


Masalah utama dalam laporan pendahuluan ini adalah waham. Waham adalah suatu
keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian realitas yang salah, keyakinan yang tidak
konsisten dengan tingkat intelektual dan latar belakang budaya, ketidakmampuan
merespon stimulus internal dan eksternal melalui proses interaksi/infprmasi secara akurat
(Yosep & Sutini, 2016).
Waham adalah suatu keyakinan yang salah yang dipertahankan secara kuat/terus
menerus, tetapi tidak sesuai dengan kenyataan (Keliat & Akemat, 2014).

B. Proses Terjadinya Masalah


1. Faktor predisposisi dan presipitasi :
Faktor predisposisi dan presipitasi menerut Nisa (2012) adalah :
a. Faktor predisposisi pada pasien waham, diantaranya :
1) Teori biologis, teori ini terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh
terhadap waham:
a) Faktor-faktor adalah mereka yang memiliki anggota keluarga dengan kelainan
yang sama (orang tua, saudara kandung, sanak saudara lain).
b) Secara relatif ada penelitian baru yang menyatakan bahwa kelainan skizofrenia
mungkin pada kenyataannya merupakan suatu kecacatan sejak lahir terjadi
pada bagian hipotalamus otak. Pengamatan memperlihatkan suatu kekacauan
dari sel-sel pramidal di dalam otak dari orang-orang yang menderita
skizofrenia.
2) Teori biokimia menyatakan adanya peningkatan dari dopamin neurotransmiter
yang dipertukarkan menghasilkan gejala-gejala peningkatan aktivitas yang
berlebihan dari pemecahan asosiasi-asosiasi yang umumnya di Teori Psikososial.
3) Teori sistem keluarga Bawen dalam Towsend (1998 : 147) menggambarkan
perkembangan skizofrenia sebagai suatu perkembangan disfungsi keluarga.
Konflik diantara suami istri mempengaruhi anak. Penanaman hal ini dalam anak
akan menghasilkan keluarga yang selalu berfokus pada ansielas dan suatu kondisi
yang lebih stabil mengakibatkan timbulnya suatu hubungan yang saling
mempengaruhi yang berkembang antara orang tua dan anak-anak. Anak harus
meninggalkan ketergantungan diri kepada orang tua dan anak dan masuk ke
dalam masa dewasa, dan dimana dimasa ini anak tidak akan mamapu memenuhi
tugas perkembangan dewasanya.
4) Teori interpersonal menyatakan bahwa orang yang mengalami psikosis akan
menghasilkan hubungan orang tua anak yang penuh akan kecemasan. Anak
menerima pesan-pesan yang membingungkan dan penuh konflik dari orang tua
dan tidak mampu membentuk rasa percaya terhadap orang lain.
5) Teori psikodinamik menegaskan bahwa psikosis adalah hasil dari suatu ego yang
lemah. Perkembangan yang dihambat dan suatu hubungan saling mempengaruhi
antara orang tua, anak. Karena ego menjadi lebih lemah penggunaan mekanisme
pertahanan ego pada waktu kecemasan yang ekstrim menjadi suatu yang
maladaptif dan perilakunya sering kali merupakan penampilan dan segmen di
dalam kepribadian.
b. Faktor presipitasi pada pasien waham yaitu :
1) Biologis
Stressor biologis yang berhubungan dengan neurobiologis yang maladaptif
termasuk gangguan dalam putaran umpan balik otak yang mengatur perubahan isi
informasi dan abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi rangsangan.
Pada pasien dengan waham, pemeriksa MRI menunjukkan bahwa derajat lobus
temporal tidak simetris. Akan tetapi perbedaan ini sangat kecil, sehingga
terjadinya waham kemungkinan melibatkan komponen degeneratif dari neuron.
Waham somatic terjadi kemungkinan karena disebabkan adanya gangguan
sensori pada system saraf atau kesalahan penafsiran dari input sensori karena
terjadi sedikit perubahan pada saraf kortikal akibat penuaan.
2) Stres Lingkungan
Secara biologis menetapkan ambang toleransi terhadap stres yang
berinterasksi dengan sterssor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan
prilaku.
3) Pemicu Gejala
Pemicu yang biasanya terdapat pada respon neurobiologis yang maladaptif
berhubungan dengan kesehatan lingkungan, sikap dan prilaku individu seperti,
gizi buruk, kurang tidur, infeksi, keletihan, rasa bermusuhan atau lingkungan
yang penuh kritik, masalah perumahan, kelainan terhadap penampilan, stres
gangguan dalam berhubungan interpersonal, kesepian, tekanan, pekerjaan,
kemiskinan, keputusasaan dan sebagainya
2. Tanda dan gejala
Menurut Keliat & Akemat (2014) tanda dan gejala waham berdasarkan jenis
waham meliputi :
a. Waham kebesaran : Individu meyakini bahwa ia memiliki kebesaran atau
kekuasaan khusus dan diucapkan berulang kali, tetapi tidaksesuai kenyataan. Misal
“Saya ini pejabat di departemen kesehatan lho!” atau “Saya punya tambang emas”.
b. Waham curiga : Individu meyakini bahwa ada seseorang atau kelompok yang
berusaha merugikan/mencederai dirinya dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak
sesuai kenyataan . Contoh, “Saya tahu seluruh saudara saya ingin menghancurkan
hidup saya karena mereka iri dengan kesusksesan saya.”
c. Waham agama : Individu memiliki keyakinan terhadap suau agama secara
berlebihan dan diucapkan berulangkali, tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
Cantoh, “Kalau saya mau masuk surga, saya harus menggunakan pakaian putih
setiap hari”.
d. Waham somatic : Individu meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya terganggu
atau terserang penyakit dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan.
Contoh, “Saya sakit kanker”. (kenyataannya pada pemeriksaan laboratorium tidak
ditemukan tanda-tandakanker, tetapi pasien terus mengatakan bahwa ia sakit
kanker).
e. Waham nihilistic : Individu meyakini bahwa dirinya sudah tidak ada di
dunia/meninggal dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan.
Misalnya, “in ikan alam kubur ya, semua yang ada di sini adalah roh-roh”.
3. Proses terjadinya
Menurut Yosep & Sutini (2016) proses ternyadinya waham ada 6 (enam) fase,
berikut adalah proses terjadinya atau fase seseorang mengalami waham :
1. Fase of human need
Waham diawali dengan terbatasnya kebutuhan-kebutuhan klien baik secara
fisik maupun psikis. Secara fisik klien dengan waham dapat terjadi pada orang-
orang dengan status sosial dan ekonomi sangat terbatas. Biasanya klien sangat
miskin dan menderita. Keinginan ia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
mendorongnya untuk melakukan kompensasi yang salah. Ada juga klien yang
secara sosial dan ekonomi terpenuhi tetapi kesenjangan antara realiti dengan self
ideal sangat tinggi.
2. Fase lack of self esteem
Tidak adanya pengakuan dari lingkungan dan tingginya kesenjangan antara
self ideal dengan self reality (keyataan dengan harapan) serta dorongn kebutuhan
yang tidak terpenuhi sedangkan standar lingkungan sudah melampaui
kemampuannya.
3. Fase control internal external
Klien mencoba berpikir rasional bahwa apa yang ia yakini atau apa-apa yang
ia katakan adalah kebohongan, menutupi kekurangan dan tidak sesuai dengan
keyataan, tetapi menghadapi keyataan bagi klien adalah suatu yang sangat berat,
karena kebutuhannya untuk diakui, kebutuhan untuk dianggap penting dan diterima
lingkungan menjadi prioritas dalam hidupnya, karena kebutuhan tersebut belum
terpenuhi sejak kecil secara optimal. Lingkungan sekitar klien mencoba
memberikan koreksi bahwa sesuatu yang dikatakan klien itu tidak benar, tetapi hal
ini tidak dilakukan secara adekuat karena besarnya toleransi dan keinginan
menjaga perasaan. Lingkungan hanya menjadi pendengar pasif tetapi tidak mau
konfrontatif berkepanjangan dengan alasan pengakuan klien tidak merugikan orang
lain.
4. Fase envinment support
Adanya beberapa orang yang mempercayai klien dalam lingkungannya
menyebabkan klien merasa didukung, lama kelamaan klien menganggap sesuatu
yang dikatakan tersebut sebagai suatu kebenaran karena seringnya diulang-ulang.
Dari sinilah mulai terjadinya kerusakan kontrol diri dan tidak berfungsinya norma
(super ego) yang ditandai dengan tidak ada lagi perasaan dosa saat berbohong.
5. Fase comforting
Klien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta
menganggap bahwa semua orang sama yaitu akan mempercayai dan
mendukungnya. Keyakinan sering disertai halusinasi pada saat klien menyendiri
dari lingkungannya. Selanjutnya klien sering menyendiri dan menghindari interaksi
sosial (isolasi sosial).

6. Fase improving
Apabila tidak adanya konfrontasi dan upaya-upaya koreksi, setiap waktu
keyakinan yang salah pada klien akan meningkat. Tema waham yang muncul
sering berkaitan dengan traumatik masa lalu atau kebutuhan-kebutuhan yang tidak
terpenuhi (rantai yang hilang). Waham bersifat menetap dan sulit untuk dikoreksi.
Isi waham dapat menimbulkan ancaman diri dan orang lain.

C. Pohon Masalah dan Data yang Perlu Dikaji


1. Pohon masalah

Risiko tinggi prilaku


kekerasan Efek

Waham
Core Problem

Harga diri rendah


Causa

2. Data yang perlu dikaji


a. Identitas Klien Informan
Perawat yang merawat klien melakukan perkenalan dan kontrak dengan klien
tentang: Nama klien, panggilan klien, Nama perawat, tujuan, waktu pertemuan,
topik pembicaraan.
b. Alasan Masuk
Tanyakan pada keluarga atau klien hal yang menyebabkan klien dan keluarga
datang ke Rumah Sakit, yang telah dilakukan keluarga untuk mengatasi masalah
dan perkembangan yang dicapai.

c. Riwayat Kesehatan Sekarang


Tanyakan pada klien atau keluarga, apakah klien pernah mengalami gangguan
jiwa pada masa lalu, pernah melakukan, mengalami, penganiayaan fisik, seksual,
penolakan dari lingkungan, kekerasan dalam keluarga dan tindakan kriminal.
d. Aspek Fisik
Mengukur dan mengobservasi tanda-tanda vital: TD, nadi, suhu, pernafasan.
Ukur tinggi badan dan berat badan, kalau perlu kaji fungsi organ kalau ada keluhan
e. Aspek Psikososial
Membuat genogram yang memuat paling sedikit tiga generasi yang dapat
menggambarkan hubungan klien dan keluarga, masalah yang terkait dengan
komunikasi, pengambilan keputusan dan pola asuh.
f. Konsep Diri.
1) Citra tubuh
Biasanya pasien dengan waham miliki perasaan negatif terhadap diri sendiri.
2) Identitas diri
Pada pasien dengan waham kebesaran misalnya mengaku seorang polisi padahal
kenyataan nya tidak benar.
3) Peran Klien
Berperan sebagai kepala keluarga dalam keluarganya.
4) Ideal diri
Klien berharap agar bisa cepat keluar dari RSJ karena ia bosan sudah lama di
RSJ.
5) Harga diri
Adanya gangguan konsep diri : harga diri rendah karena perasaan negatif
terhadap diri sendiri, hilangnya rasa percaya diri dan merasa gagal mencapai
tujuan
g. Hubungan Sosial
Pasien dengan waham biasanya memiliki hubungan sosial yang tidak haramonis.
h. Spiritual
Nilai dan Keyakinan : Biasanya pada pasien dengan waham agama meyakini
agamanya secara berlebihan.
Kegiatan Ibadah : Biasanya pada pasien dengan waham agama melakukan ibadah
secara berlebihan.

i. Status Mental.
j. Penampilan
Pada pasien waham biasanya penampilan nya sesuai dengan waham yang ia
rasakan. Misalnya pada waham agama berpakaian seperti seorang ustadz.
k. Pembicaraan
Pada pasien waham biasanya pembicaraan nya selalu mengarah ke wahamnya,
bicara cepat, jelas tapi berpindah-pindah, isi pembicaraan tidak sesuai dengan
kenyataan.
l. Aktivitas Motorik
Pada waham kebesaran bisa saja terjadi perubahan aktivitas yang berlebihan.
m. Alam Perasaan
Pada waham curiga biasanya takut karena merasa orang-orang akan melukai
dan mengancam membunuhnya. Pada waham nihilistik merasa sedih karena
meyakini kalau dirinya sudah meninggal.
n. Interaksi Selama Wawancara
Pada pasien waham biasanya di temukan :
1) Defensif : selalu berusaha mempertahankan pendapat dan kebenaran dirinya.
2) Curiga : menunjukkan sikap / perasaan tidak percaya pada orang lain.
o. Isi Pikir
Pada pasien dengan waham kebesaran biasanya : klien mempunyai keyakinan
yang berlebihan terhadap kemampuannya yang disampaikan secara berulang yang
tidak sesuai dengan kenyataan.
p. Proses Pikir
Pada pasien waham biasanya pikiran yang tidak realistis, flight of ideas,
pengulangan kata-kata.
q. Tingkat Kesadaran
Biasanya masih cukup baik

D. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang keperawata yang muncul pada klien dngan waham adalah :
1. Waham
2. Risiko tinggi perilaku kekerasan
3. Harga diri rendah

E. Rencana tindakan keperawatan


Adapun rencana keperawatan yang diberikan pada klien dengan waham dalam
bentuk strategi pelaksanaan yaitu sebagai berikut:
SP 1 P SP 1 K
(Pasien) (Keluarga)
1. Membantu orientasi realita 1. Mendiskusikan masalah yang
2. Mendiskusikan kebutuhan yang tidak dirasakan keluarga dalam
terpenuhi merawat klien
3. Membantu pasien memenuhi 2. Menjelaskan pengertian, tanda
kebutuhannya dan gejala waham, dan jenis
4. Menganjurkan pasien memasukkan waham yang dialami pasien
dalam jadwal kegiatan harian beserta proses terjadinya
3. Menjelaskan cara-cara
merawat pasien waham
SP 2 P SP 2 K
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian 1. Melatih keluarga
pasien mempraktikkan cara merawat
2. Berdiskusi tentang kemampuan yang pasien waham
dimiliki 2. Melatih keluarga melakukan
3. Melatih kemampuan yang dimiliki cara merawat langsung pada
pasien waham
SP 3 P SP 3 K
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian 1. Membantu keluarga membuat
pasien jadwal aktivitas di rumah
2. Memberikan pendidikan kesehatan termasuk minum obat
tentang penggunaan obat scara teratur (perencanaan pulang)
3. Menganjurkan pasien memasukkan 2. Menjelaskan tindak lanjut
dalam jadwal kegiatan harian pasien setelah pulang
Sumber : Keliat & Akemat (2014)

Terapi aktivitas kelompok (TAK)


Menurut Keliat & Akemat (2014) terapi aktivitas kelompok yang dapat diberikan
untuk klien dengan waham meliputi hal-hal berikut :
1. TAK orientasi realitas :
Sesi 1 : Pengenalan orang
Sesi 2 : Pengenalan tempat
Sesi 3 : Pengenalan waktu
2. TAK sosialisasi :
Sesi 1 : Kemampuan memperkenalkan diri
Sesi 2 : Kemampuan berkenalan
Sesi 3 : Kemampuan berbicara
Sesi 4 : Kemampuan berbicara topik tertentu
Sesi 5 : Kemampuan berbicara masalah pribadi
Sesi 6 : Kemampuan bekerjasama
Sesi 7 : Evaluasi kemampuan sosial

F. Diagnosa medis
1. Pengertian
Melinda Heraman (2008 dalam Yosep & Sutini 20160 mendefinisikan skizofrenia
sebagai penyakit neurologis yang memengaruhi persepsi klien, cara pikir, bahasa,
emosi, dan perilaku sosialnya.
Skizofrenia adalah suatu penyakit otak persisten dan serius yang mengakibatkan
perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam memproses informasi,
hubungan interpersonal, serta memecahkan masalah (Lasgita, 2016).
Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang ditandai dengan gangguan utama
dalam pikiran, emosi, dan perilaku, pikiran yang terganggu, dimana berbagai
pemikiran tidak saling berhubungan secara logis, persepsi dan perhatian yang keliru
afek yang datar atau tidak sesuai, dan berbagai gangguan aktifitas motorik yang
bizzare (perilaku aneh), pasien skizofrenia menarik diri orang lain dan kenyataan,
sering kali masuk kedalam kehidupan fantasi yang penuh delusi dan halusinasi
(Nurcholis, 2013).
2. Etiologi
Etiologi skizofrenia menrut Fatmawati (2016) adalah :
a. Faktor Biologis
1) Komplikasi kelahiran
Bayi laki-laki yang memiliki komplikasi saat dilahirkan sering mengalami
skizofrenia, hipoksia perinatal akan meningkatkan kerentanan seseorang
terhadap skizofrenia.
2) Infeksi
Perubahanan atomi pada susunan syaraf pusat akibat infeki virus pernah
dilaporkan pada orang dengan skizofrena. Penelitian mengatakan bahwa
terpapar infeksi virus pada trisemester kedua kehamilan akan meningkatkan
kemungkinan seseorang mengalami skizofrenia.
3) Hipotesis dopamine
Dopamine merupakan neurotransmitter pertama yang berkontribusi
terhadap gejala skizofrenia. Hampir semua obat antipsikotik baik tipikal
maupun antipikal menyekat reseptor dopamine D2, dengan terhalangnya
transmisi sinyal di sistem dopamine ergik maka gejala psikotik diredakan.
4) Hipotesis Serotonin
Gaddum, Wooley, dan Show tahun 1954 mengobservasi efek lysergic acid
diethlamide (LSD) yaitu suatu zat yang bersifat campuran agonis/antagonis
reseptor 5-HT. Ternyata zat tersebut menyebabkan keadaan psikosis berat pada
orang normal.
5) Struktur Otak
Daerah otak yang mendapatkan banyak perhatian adalah system limbik
dan ganglia basalis. Otak pada penderita skizofrenia terlihat sedikit berbeda
dengan orang normal, ventrikel terlihat melebar, penurunan massa abu-abu dan
beberapa area terjadi peningkatan maupun penurunan aktifitas metabolic.
Pemeriksaan mikroskopis dan jaringan otak ditemukan sedikit perubahan
dalam distribusi sel otak yang timbul pada masa prenatal karena tidak
ditemukannya sel gila, biasa timbul pada trauma otak setelah lahir.
b. Faktor Genetik
Para ilmuwan sudah lama mengetahui bahwa skizofrenia diturunkan, 1%
populasi umum tetapi 10% pada masyarakat yang mempunyai hubungan derajat
pertama seperti orang tua, kakak laki-laki ataupun perempuan dengan skizofrenia.
Masyarakat yang mempunyai hubungan derajat kedua seperti paman, bibi,
kakek/nenek, dan sepupu dikatakan lebih sering disbandingkan populasi umum.
Kembar identik 40% sampai 65% berpeluang menderita skizofrenia, sedangkan
kembar dizigotik sebanyak 12%. Anak dan kedua orang tua yang skizofrenia
berpeluang 40%, satu orang tua 12%.
3. Klasifikasi
Klasifikasi skizofrenia menurut DSM-IV-TR 2000 (dalam Lasgita, 2016) adalah :
a. Skizofrenia Paranoid
Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah waham yang mencolok atau halusinasi
auditorik dalam konteks terdapatnya fungsi kognitif dan afektif yang relatif masih
terjaga. Waham biasanya adalah waham kejar atau waham kebesaran, atau
keduanya, tetapi waham dengan tema lain (misalnya waham kecemburuan,
keagamaan, atau somalisas) mungkin juga muncul. Ciri-ciri lainnya meliputi
ansietas, kemarahan, menjaga jarak dan suka berargumentasi, dan agresif.
b. Skizofrenia Disorganized
Ciri utama skizofrenia tipe disorganized adalah pembicaraan kacau, tingkah
laku kacau dan afek yang datar atau inappropriate. Pembicaraan yang kacau dapat
disertai kekonyolan dan tertawa yang tidak erat kaitannya dengan isi pembicaraan.
Disorganisasi tingkah laku dapat membawa pada gangguan yang serius pada
berbagai aktivitas hidup sehari-hari.
c. Skizofrenia katatonik
Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah gangguan pada psikomotor yang dapat
meliputi ketidak bergerakan motorik (waxy flexibility). Aktivitas motor yang
berlebihan, negativism yang ekstrim, sama sekali tidak mau bicara dan
berkomunikasi (mutism), gerakan-gerakan yang tidak terkendali, mengulang
ucapan orang lain (echolalia) atau mengikuti tingkah laku orang lain (echopraxia).
d. Skizofrenia Undifferentiated
Tipe Undifferentiated merupakan tipe skizofrenia yang menampilkan
perubahan pola simptom-simptom yang cepat menyangkut semua indikator
skizofrenia. Misalnya, indikasi yang sangat ruwet, kebingungan (confusion), emosi
yang tidak dapat dipegang karena berubah-ubah, adanya delusi, referensi yang
berubah-ubah atau salah, adanya ketergugahan yang sangat besar, autisme seperti
mimpi, depresi, dan sewaktu-waktu juga ada fase yang menunjukkan ketakutan.
e. Skizofrenia Residual
Tipe ini merupakan kategori yang dianggap telah terlepas dari skizofrenia
tetapi masih memperlihatkan gejala-gejala residual atau sisa, seperti keyakinan-
keyakinan negatif, atau mungkin masih memiliki ide-ide tidak wajar yang tidak
sepenuhnya delusional. Gejala-gejala residual itu dapat meliputi menarik diri
secara sosial, pikiran-pikiran ganjil, inaktivitas, dan afek datar.
4. Penatalaksanaan
Tujuan utama dari terapi skizofrenia adalah mengembalikan fungsi normal pasien
dan mencegah kekambuhan penyakitnya. Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk
masing-masing subtype skizofrenia. Pengobatan hanya dibedakan berdasarkan gejala
apa yang menonjol pada pasien. Terapi yang bisa dilakukan pada penderita skizofrenia
meliputi terapi farmakologi dan non farmakologi.
a. Terapi Farmakologi
Ada tiga fase pengobatan dan pemulihan skizofrenia (Ikawati, 2011, dalam
Shadrina, 2018):
1) Terapi fase akut
Pada fase ini pasien menunjukkan gejala psikotik yang intensif. Biasanya
pada fase ini ditandai dengan munculnya gejala positif dan negatif. Pengobatan
pada fase ini bertujuan untuk mengendalikan gejala psikotik sehingga tidak
membahayakan terhadap diri sendiri maupun orang lain. Terapi utamanya
adalah dengan menggunakan obat dan biasanya dibutuhkan rawat inap.
Pemilihan antipsikotik yang benar dan dosis yang tepat dapat mengurangi gejala
psikotik dalam waktu enam minggu.
2) Terapi fase stabilisasi
Pada fase ini pasien masih mengalami gejala psikotik dengan intensitas
yang lebih ringan. Pada fase ini pasien masih memiliki kemungkinan yang besar
untuk kambuh sehingga butuhkan pengobatan yang rutin untuk menuju ke tahap
pemulihan yang lebih stabil.
3) Terapi fase pemeliharaan
Pada fase ini dilakukan terapi jangka panjang dengan harapan dapat
mempertahankan kesembuhan, mengontrol gejala, mengurangi risiko
kekambuhan, mengurangi durasi rawat inap, dan mengajarkan keterampilan
untuk hidup mandiri. Terapinya meliputi obat-obatan, terapi suportif,
pendidikan keluarga dan konseling, serta rehabilitasi pekerjaan dan sosial.
Secara umum, terapi penderita skizofrenia dibagi menjadi tiga tahap yakni terapi
akut, terapi stabilisasi dan terapi pemeliharaan. Terapi akut dilakukan pada tujuh
hari pertama dengan tujuan mengurangi agitasi, agresi, ansietas, dan lain-lain.
Benzodiazepin biasanya digunakan dalam terapi akut. Penggunaan
benzodiazepin akan mengurangi dosis penggunaan obat antipsikotik. Terapi
stabilisasi dimulai pada minggu kedua atau ketiga. Terapi stabilisasi bertujuan
untuk meningkatkan sosialisasi serta perbaikan kebiasaaan dan perasaan.
Pengobatan pada tahap ini dilakukan dengan obat-obat antipsikotik. Terapi
pemeliharaan bertujuan untuk mencegah kekambuhan. Dosis pada terapi
pemeliharaan dapat diberikan setengah dosis akut. Klozapin merupakan
antipsikotik yang hanya digunakan apabila pasien mengalami resistensi terhadap
antipsikotik yang lain (Dipiro, 2008, dalam Shadrina, 2018).
Antipsikotik dapat dibedakan menjadi 2, yaitu :
1) Antipsikotik tipikal (FGA)
Antipsikotik tipikal merupakan antipsikotik generasi lama yang
mempunyai aksi untuk mengeblok reseptor dopamin D2. Antipsikotik jenis
ini lebih efektif untuk mengatasi gejala positif yang muncul. Efek samping
ekstrapiramidal banyak ditemukan pada penggunaan antipsikotik tipikal
sehingga muncul antipsikotik atipikal yang lebih aman. Contoh obat-obatan
yang termasuk dalam antipsikotik tipikal diantaranya adalah klorpromazin,
tiorizadin, flufenazin, haloperidol, loxapin, dan perfenazin (Ikawati, 2011,
dalam Shadrina, 2018).
2) Antipsikotik atipikal (SGA)
Antipsikotik atipikal adalah generasi baru yang banyak muncul pada
tahun 1990an. Aksi obat ini yaitu menghambat reseptor 5-HT2 dan
memiliki efek blockade pada reseptor dopamine yang rendah. Antipsikotik
atipikal merupakan pilihan pertama dalam terapi skizofrenia karena efek
sampingnya yang cenderung lebih kecil jika dibandingkan dengan
antipsikotik tipikal. Antipsikotik atipikal menunjukkan penurunan dari
munculnya efek samping karena penggunaan obat Universitas Sumatera
Utara dan masih efektif diberikan untuk pasien yang telah resisten terhadap
pengobatan. Antipsikotik ini efektif untuk mengatasi gejala baik positif
negatif. Contoh obat yang termasuk antipsikotik atipikal adalah clozapin,
risperidon, olanzapin, ziprasidon, dan quetiapin (Ikawati, 2011, dalam
Shadrina, 2018)
b. Terapi Non Farmakologi
Terapi non farmakologi pada penderita skizofrenia meliputi pendekatan
psikososial dan ECT (Electro Convulsive Therapy). Peningkatan kualitas hidup dan
kesembuhan pasien skizofrenia akan lebih baik jika diberikan juga terapi non
farmakologi disamping terapi obat. Kombinasi kedua terapi ini akan mampu
memberikan manfaat yang banyak bagi pasien. Pendekatan psikososial bertujuan
untuk memberikan dukungan emosional kepada pasien sehingga pasien mampu
meningkatkan fungsi sosial dan pekerjaannya dengan lebih baik. Ada beberapa jenis
pendekatan psikososial yang biasa dilakukan pada pasien skizofrenia, diantaranya
yaitu Program for Assertive Community Treatment (PACT), intervensi keluarga,
terapi perilaku kognitif (cognitive behavioural therapy), dan pelatihan keterampilan
sosial (Ikawati, 2011, dalam Shadrina, 2018).
Selain pendekatan psikososial, ada juga terapi non farmakologi menggunakan
ECT (Electro Convulsive Therapy). Penggunaan ECT yang dikombinasi dengan
obat-obatan antipsikotik bisa dijadikan pilihan terapi bagi pasien yang
menginginkan perbaikan umum dan pengurangan gejala dengan cara yang cepat
(Tharyan, 2005, dalam Shadrina, 2018).
DAFTAR PUSTAKA

Keliat, Budi Anna & Akemat. (2014). Model praktik keperawatan professional jiwa. Jakarta :
EGC

Yosep, I & Titin Sutini. (2016). Buku ajar keperawatan jiwa. Bandung : Refika Aditama

Nisa, E. Z. (2012). Pengaruh Pelaksanaan Komunikasi Terapeutik pada Pasien Waham


Terhadap Kemampuan Menilai Realita di Rumah Sakit Jiwa Provsu Medan.

Lasgita, R. D. I. (2016). Gambaran karakteristik pasien yang mengalami skizofrenia di RSJ


H. Mustajab Purbalingga tahun 2015 (doctoral dissertation, Universitas
Muhammadiyah Purwokerto).

Nur Shadrina, N. A., & Mutmainah, N. (2018). Kajian Penggunaan Antipsikotik Pada Pasien
Skizofrenia di Instalasi Rawat Inap RS “X” Provinsi Jawa Tengah tahun 2016
(Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah Surakarta).

Fatmawati, I. N. A. (2016). Faktor-faktor penyebab skizofrenia (studi kasus di rumah sakit


jiwa daerah Surakarta) (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah
Surakarta).

Nurcholis, M. M. (2013). Kebermaknaan hidup istri yang mempunyai suami skizofrenia


(Doctoral dissertation, UIN Sunan Ampel Surabaya).

Anda mungkin juga menyukai