Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

PENDIDIKAN SEBAGAI KAPITAL BUDAYA


Mata Kuliah: Sosiologi Pendidikan
Dosen Pengampu: Ramadani Lubis, M.Si

Disusun Oleh Kelompok 11:


Sem.VII/ MPI 1
Novita Mourizka (0307171024)
Miftahul Marhamah Harahap (0307182052)
Puput Safitri (0307181040)

PRODI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb
Dengan puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat-Nya kita dilimpahkan
taufik dan hidayah, dan atas segala kemudahan yang telah diberikan kepada kami, sehingga
makalah ini dapat diselesaikan.
Makalah ini dibuat sehingga pembaca dapat mengetahui penjelasan tentang “Pendidikan
Sebagai Kapital Budaya”, Kami menyadari makalah ini masih banyak kesalahan, kekurangan
dan jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dalam usaha penyempurnaan, dan upaya-upaya pemahaman yang lebih luas.
Dengan segala kekurangan dan kelebihan, semoga makalah ini bermanfaat untuk kita
semua dan semoga kita semua selalu diridhoi oleh Allah SWT.
Wassalamu’alaikum wr.wb
Medan, Januari 2021

Kelompok 11

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah......................................................................................................1
C. Tujuan........................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Kapital Budaya.........................................................................................2
B. Biografi Tokoh Dari Kapital Budaya.........................................................................5
C. Pendidikan Sebagai Kapital Budaya..........................................................................7

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan..................................................................................................................9

B. Saran............................................................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................10

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan salah satu bidang yang menarik dari berbagai bidang lainnya.
Karena pendidikan merupakan topic ataupun bahasan yang tidak akan pernah habis ditelan masa.
Yang selalu berkembang dan berubah seiring dengan berjalannya waktu. Sehingga pendidikan
semakin lama terus dan terus dipelajari, tidak terkecuali pada fungsi pendidikan sebagai kapital.
Pendidikan sebagai capital memiliki cakupan yang luas di dalam pembahasannya salah
satunya adalah tentang pendidikan sebagai capital budaya. Perlu kita ketahui baik konsepnya
maupun pengertiannya. Dalam memahami akan pentingnya pendidikan didalam kehidupan kita
dan merupakan investasi jangka pendek maupun jangka panjang dalam kehidupan.
Dalam bidang ekonomi, pendidikan merupakan sektor yang bersifat memakan anggaran
tanpa jelas manfaatnya. Pandangan yang demikian akan membawa masyarakat pada keraguan
bahkan ketidakpercayaan terhadap pembangunan disegala sektor. Namun, pada era ini cara
pandang yang seperti itu sudah mulai tergusur seiring dengan penemuan pemikiran dan bukti
ilmiah akan peran dan fungsi pendidikan dalam memposisikan budaya sebagai modal sekaligus
syarat bagi kemajuan pembangunan dalam berbagai sektor.
Salah satu tokoh yang meneruka dalam studi tentang capital budaya yakni Pierre
Bourdieu, melalui beberapa pandangannya. Oleh sebab itu, pandangan Bourdieu tentang capital
budaya dapat dirangkai dalam pembahasan makalah ini.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Kapital Budaya?
2. Bagaimana Biografi Tokoh Dari Kapital Budaya?
3. Bagaimana Pendidikan Sebagai Kapital Budaya?

C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Kapital Budaya.
2. Untuk Mengetahui Biografi Tokoh Dari Kapital Budaya.

1
3. Untuk Mengetahui Bagaimana Pendidikan Sebagai Kapital Budaya.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kapital Budaya


Secara etimologis, kapital berasal dari kata “capital” yang akar katanya dari kata latin,
caput berarti “kepala”. Adapun artinya dipahami adalah dana, persediaan barang, sejumlah
uang dan bungan uang pinjaman. Kapital didalam kamus ilmiah adalah utama atau inti
(seperti kata capital city yang berarti kota yang utama). Kapital dalam pengertian ekonomi
sering diidentikkan dengan modal. Akan tetapi “capital” tidak diterjemahkan sebagai modal
seperti lazimnya diartikan banyak orang. Alasan tersebut dikemukakan oleh Lawang
(2003:3) dalam bukunya Kapital Sosial: dalam Perspektif Sosiologi Suatu Pengantar. Budaya
merupakan keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk
memahami lingkungan serta pengalaman yang menjadi pedoman tingkah lakunya. Selain itu
kebudayaan juga dapat dipandang sebagai cara untuk mengatasi masalah yang dihadapi
misalnya dalam masalah kebutuhan biologis, setiap masyarakat memiliki cara sendiri yang
dianggap paling sesuai untuk mengatasinya.Kebudayaan dipengaruhi oleh kontak dengan
kebudayaan lain yang dipercepat oleh perkembangan komunikasi dan transport. Kebudayaan
ini memiliki nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat, apakah layak, pantas, baik atau
seharusnya.1
Dalam suatu pendapat ahli, Bourdieu mendefinisikan bahwa kapital budaya merupakan
selera yang yang bernilai budaya dan pola konsumsi. Maka dari itu, kapital budaya
mencakup rentangan luas properti seperti seni, pendidikan dan bentuk-bentuk bahasa. Disisi
lain Bourdieu menurut Ritzer dan Goodman (2004 : 525) menjelaskan batasan kapital budaya
sebagai berbagai pengetahuan yang sah. Definisi seperti itu sama dengan pemahaman yang
dimiliki oleh Jeckins (2004 : 125). Sedangkan penjelasan detail batasan Bourdieu tentang
kapital budaya ditulis oleh Lee (2006 : 58), kapital budaya didefinisikan sebagai kepemilikan
kompetensi kultural tertentu, atau seperangkat pengetahuan kultural yang menyediakan
bentuk konsumsi kultural yang dibedakan secara khusus dan klasifikasi rumit dari barang-
barang kultural dan simbolis.
1
Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2011), hal.58

2
Dari beberapa definisi para ahli diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa kapital
budaya merupakan kepemilikan kompetensi atau pengetahuan kultural yang menuntun selera
bernilai budaya dan pola-pola konsumsi tertentu, yang dilembagakan dalam bentuk
kualifikasi pendidikan. Berdasarkan batasan seperti ini, maka reproduksi sosial, yaitu
pemeliharaan pengetahuan dan pengalaman dari satu generasi ke generasi berikutnya,
dipertahankan melalui sistem pendidikan.
Sistem pendidikan yang dimaksud diatas adalah suatu pengkelasan terlembaga yang
dirinya sendiri merupakan sebuah sistemklasifikasi uang terobjektifikasi yang memproduksi
hierarki dunia sosial dalam bentuk yang tertransformasi. Mentransformasi klasifikasi sosial
menjadi klasifikasi akademis dengan segala tampilan netralitasnya, dan memapankan hierarki
yang tidak dialami sebagai hierarki yang semata-mata teknis dan karenanya bersifat memihak
dan berat sebelah, namun sebagai hierarki mutlak yang tertanam dalam alam, sehingga nilai
sosial lalu diidentifikasi dengan nilai ‘personal’, martabat sekolah dengan martabat
manusiawi. ‘Budaya’ yang diasumsikan terjamin oleh kualifikasi pendidikan itu merupakan
salah satu komponen dasar dalam kebanyakan definisi mengenai manusia unggul, sehingga
tiadanya hal dasar ini dipersepsi sebagai rintangan hakiki, yang menghukumnya untuk
bungkam dalam setiap situasi resmi, ketika ia harus ‘muncul di publik’, mempresentasikan
dirinya di hadapan yang lain dengan tubuh, sikap, dan bahasanya.
Menurut Lawang (2004 : 16-18), Bourdieu menjelaskan kapital budaya dalam tiga
dimensi yaitu dimensi manusia yang wujudnya adalah badan, objek dalam bentuk apa saja
yang pernah dihasilkan oleh manusia, dan institusional, khususnya menunjuk pada
pendidikan. Dimensi manusia dari kapital budaya adalah embodied state, yaitu keadaan yang
membadan, atau keadaan yang terwujud dalam badan manusia, atau yang menyatu
seluruhnya dengan manusia sebagai satu kesatuan. Sementara dimensi objek dari kapital
budaya dikenal sebagai objectified state, yaitu suatu keadaan yang sudah dibendakan atau
dijadikan objek oleh manusia. Adapun dimensi institusional dari kapital budaya merupakan
suatu keadaan dimana benda-benda itu sudah menunjukkan entitas yang sama sekali terpisah
dan mandiri, yang diperlihatkan dengan sistem pendidikan. Dengan demikian, kapital budaya
menunjuk pada keadaan yang berwujud potensial, bagi seseorang yang dapat diuangkan atau
dipertukarkan dengan kapital-kapital lainnya.
Untuk memantapkan pemahaman, perlu kiranya dijelaskan dengan mengaitkan konsep

3
kapital budaya dengan beberapa konsep lain dari Bourdieu seperti ranah (field) dan habitus.
Ranah adalah jaringan anatar posisi objektif. Posisi berbagai agen (individu atau kolektif)
dalam ranah berkait dengan jumlah kapital yang dipunyai, terutama kapital ekonomi dan
budaya. Kapital ekonomi berupa harta kekayaan material, sedangkan kapital budaya berupa
modal pengetahuan dan kompetensi yang dibutuhkan untuk membuat pembedaan atau
penaksiran nilai, terutama berasal dari pendidikan. Semakin tinggi pendidikan seseorang dan
semakin elite institusi pendidikan yang diikuti, maka semakin besar simpanan kapital budaya
orang tersebut. Berdasarkan perbedaan kapital ini, maka seseorang dapat dimasukkan
kedalam salah satu dari empat kelompok social :
1. Tinggi baik pada kapital ekonomi maupun kapital budaya.
2. Tinggi dalam kapital ekonomi, rendah dalam kapital budaya.
3. Rendah dalam kapital ekonomi, tinggi dalam kapital budaya.
4. Rendah baik pada kapital ekonomi maupun kapital budaya.
Adapun habitus merupakan “struktur mental atau kognitif” yang digunakan aktor untuk
mengarungi kehidupan social. Ia sebagai suatu system disposisi, sebuah system yang
mengatur kapasitas individu untuk bertindak. Bourdieu menulis (1984: 170) ”habitus adalah
keniscayaan yang diinternalisasikan dan dialihkan kedalam disposisi yang melahirkan praktik
bermakna dan persepsi yang memberikan makna; habitus adalah disposisi umum dan dapat
digerakkan yang mengandung aplikasi universal dan sistematis di luar batas hal-hal yang
telah dipelajari secara langsung terhadap keniscayaan yang inheren dalam kondisi-kondisi
belajar.
Habitus tidak sekedar merujuk pada pengetahuan, atau kompetensi atau rasa gaya, tetapi
juga dijelmakan secara harfiah. Artinya, hal ini ditanamkan dalam diri individu,dalam ukuran
tubuh, bentuk, postur, cara berjalan, cara duduk, ekspresi wajah, rasa bebas terhadap tubuh
sendiri, cara makan, minum, keluasan ruang social dan waktu yang dirasakan seseorang
sebagai haknya; bahkan naik turun tekanan suara, akses dan kompleksitas pola pidato
merupakan habitus individu ( Lury,1998).2
Bagi Bourdieu, selera dibentuk habitus yang berlangsung lama; bukan dibentuk oleh
opini dangkal dan retorika. Habitus membentuk preferensi agen terhadap makanan, pakaian,
prabotan rumah, music, drama, sastra, lukisan, film, fotografi, dan prefrensi etis lainnya. Jadi,

2
Nasution, S, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara,1995), hal.45

4
habitus ada dalam pikiran aktor, sedangkan ranah ada di luar pikiran mereka. Hubungan
antara keduanya bersifat pengaruh timbal balik yang dialektik. Seperti yang dikatakan
Bourdieu (1984: 94) habitus yang mantap hanya terbentuk, berfungsi dan sah dalam sebuah
ranah, dalam hubungannya dalam suatu rana, habitus itu senditi adalah “ranah dari kekuatan
yang ada”, sebuah situasi dinamis dimana kekuatan hanya terjelma dalam hubungan dengan
kecenderungan tertentu. Inilah yang menyebabkan habitus yang sama mendapat makna dan
nilai yang berlawanan dalam ranah yang berbeda, dalam konfigurasi yang berbeda atau
dalam sector yang berlawanan dari ranah yang sama.
Bourdieu mengemukakan bahwa selera membantu seorang individu untuk memahami
posisinya di antara orang lain. Dengan demikian, seorang individu dapat menemukan dirinya
dalam persamaan atau perbedaan dengan orang lain dalam selera. Adapun seorang
profesional tumbuh dan kembang dalam pendidikan yang memberikan kemampuan abstraksi
dan sikap mental edukatif. Selain itu, sebagai seorang profesional, karena kondisi
pekerjaannya dan kapital budaya yang dimiliki, dia memiliki kapital ekonomi yang relatif
baik. Kondisi objektif ini juga dikenal sebagai ranah, mempengaruhi hasrat mereka yang
cenderung pada pemenuhan kebutuhan yang bersifat abstrak seperti kualitas dan citra dari
apa yang mereka konsumsi. Kondisi objektif ini dibatinkan melalui habitus sebagai hasrat
yang diekspresikan dalam selera.
B. Biografi Tokoh Capital Budaya
Pierre Bourdie merupakan seorang sosiolog Prancis yang lahir pada tahun 1930 di
Denguin, Pyrenia Atlantik (Prancis). Ia berasal dari keluarga sederhana, ayahnya adalah
pegawai kantor pos. Bourdieu muda berhasil menempuh pendidikan dengan mulai belajar di
lyceedi Pau, kemudiaan lycee Louis-le Grand Paris, ke Fakultas Sastra di Paris, Ecole
Normale Superieure pada tahun 1951, ia mendapat Agregasi Filsafat. Namun ia menolak
menulis tesis, hal tersebut karena ia keberatan dengan kualitas di bawah rata-rata
pendidikannya dan karena struktur otoriter sekolah, ia jijik dengan kuatnya orientasi
komunis. Perlu diketahui pula bahwa kampus tersebut merupakan tempat pemikir-pemikir
besar seperti Sartre, Levinas, dan Foucault yang pernah melewatkan masa studi mereka.
Pada tahun 1955 Bourdieu diangkat menjadi pengajar lycee di Maulins, satu sekolah di
tingkat provinsi, kemudian ia dipanggil mengikuti wajib militer pada tahun 1956 dan
menghabiskan waktu dua tahun di Aljazair dengan angkatan bersenjata Prancis. Ia menulis

5
buku tentang pengalaman-pengalamannya dan tetap berada di Aljazair dua tahun setelah
masa wajib kemiliterannya usai. Ia kembali ke Prancis pada tahun 1960 dan bekerja selama
satu tahun sebagai asisten di Universitas Paris. Ia mengikuti kuliah antropolog Levi-Strauss
di College de France dan bekerja sebagai asisten sosiolog Raymond Aron. Tahun 1962
Bourdieu menikah dan kemudian dikaruniai tiga orang anak laki-laki. Kemudian ia pindah
dan mengajar di fakultas Sastra di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS).
Pada tahun-tahun berikutnya Bourdieu menjadi tokoh utama dalam lingkungan
intelektual Paris, Prancis, dan pada akhirnya di dunia. Karyanya mempengaruhi sejumlah
bidang berbeda, termasuk pendidikan, antropologi dan sosiologi. Pada tahun 1968 Center de
Sosiologie Europeene didirikan, dan Bourdieu menjadi direktur sampai ia wafat. Ia pun
menjadi direktur pada majalah Actes de la Recherche en Sciences Sociales(ARSS) yang
didirikan pada tahun 1975. Kemudian pada tahun 1981, ketika Raymond Aron meninggal
dunia, Bourdieu dipercayakan untuk menduduki jabatan Prestisius jurusan sosiologi College
de France, pada periode ini pula didaulat menjadi pakar sosiologi. Tahun 1993, pusat
penelitiannya menerima medali emas dari CNRS (Pusat Riset Ilmiah Nasional). Perre
Bourdieu meninggal pada tanggal 23 Januari 2002.
Aspek menarik dari karya Bourdieu adalah bagaimana gagasan-gagasannya terbangun
dalam dialog yang terus berlanjut, kadang-kadang eksplisit dan kadang-kadang impisit,
dengan gagasan-gagasan lainnya. Gagasan-gagasannya cukup dipengaruhi oleh dua pemikir
terkemuka dimas ia belajar yaitu Jean Paul Sarte dan Claudi Levi-Strauss. Dari
eksistensialisme Sartre, Bourdieu belajar tentang pemahaman yang begitu kuat bahkan aktor
sebagi pencipta dunia sosial mereka. Namum dia merasa bahwa Sartre melangkah terlalu
jauh dalam menempatkan kekuasaan pada aktor dan dalam prosesnya mengabaikan
hambatan-hambatan struktural. Lewat perspektif struktur ini, dia kemudian berpaling ke
karya strukturalis Levi-Strauss. Dia tertarik pada orientasinya, sebaliknya pada saat itu ia
menggambarkan dirinya sebagai “strukturalis lugu”. Namun beberapa penelitian awalnya
membawanya pada kesimpulan bahwa strukturslisme membatasi, kendati dengan arah
berbeda sebagaimana eksistensialisme.3
Pierre Bourdieu mempunyai latar belakang pendidikan filsafat yang cukup kuat. Gagasan
dasarnya dikembangkan, diulangi, dan dirumuskan kembali dalam setiap buku-bukunya.

3
Scott, John, Teori Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012),hal.51

6
Gagasan itu terelaboasi dalam beberapa konsep utama, yaitu habitus, ranah perjuangan,
kekuasaan simbolik dan modal budaya. Gagasan-gagasan pemikiran sosial yang “diwarnai
pemberontakan” ini patut diperhitungkan karena upayanya menjembatani antara teori dan
tindakan. Pada awalnya Bourdieu percaya bahwa ilmu itu bebas nilai, tetapi akhirnya ia
mendobrak kebuntuan bebas nilai itu untuk terlibat dalam ranah politik. Menurutnya
sosiologi harus mampu menganalisis mekanisme dominasi agar bisa menjadi instrument
pembebasan bagi mereka yang didominasi.
Bourdieu mendefinisikan salah satu tujuan dasarnya sebagai reaksi atas eksis
strukturalisme “saya berniat untuk mengembalikan aktor di dunia nyata yang telah sirna di
tangan Levi-Strauss dan para strukturalis lain yang memandang aktor sebagai epifenomena
struktur”. Dengan kata lain, Bourdieu ingin mengintegrasikan eksistensialisme Sartre dengan
strukturalisme Levi-Strauss. Dalam hal fakta sosial, Bourdieu juga cukup dipengaruhi oleh
Durkheim. Ia menempatkan Saussure, Levi-Straus, Durkheim dan Marxis dalam kelompok
objektivis, sekaligus mengkritik mereka, karena baginya tokoh-tokoh tersebut mengabaikan
proses konstruksi sosial yang digunakan aktor untuk memersepsi, memikirkan dan
mengonstruksi struktur-struktur ini dan selanjutnya mulai bertindak atas dasar tersebut.
Selain itu, Marx dan Althuser juga cukup mempengaruhi Bourdieu dalam perspektif
ideologi, namun ia kemudian melakukan berbagai modifikasi, sekaligus kritik terhadapnya.
Dalam perspektif ideologi, Bourdieu menghindari penggunaan kata tersebut, dan
mengusulkan konsep Doxa, yang pengertiannya menyerupai ideologi. Doxa adalah sejenis
tatanan sosial dalam diri individu yang stabil dan terikat pada tradisi serta terdapat kekuasaan
yang sepenuhnya ternaturalisasi dan tidak dipertanyakan. Dalam praktek
kongkritnya, doxatampil lewat pengetahuan-pengtahuan yang begitu saja diterima sesuai
dengan habitus dan field tanpa dipikir atau ditimbang lebih dahulu.4
C. Pendidikan Sebagai Kapital Budaya
Sistem pendidikan mengembangkan pola kelakuan tertentu sesuai dengan apa yang di
harapkan oleh masyarakat dari murid-murid. Kehidupan di sekolah serta norma- norma yang
berlaku di situ dapat di sebut kebudayaan sekolah. Timbulnya sub kebudayaan sekolah juga
terjadi oleh sebab sebagian yang cukup besar dari waktu murid terpisah dari kehidupan orang

4
Mundzir, S.. Sosiologi Pendidikan, (Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri
Malang,2013),hal.68

7
dewasa. Dalam situasi serupa ini dapat berkembangpola kelakuan yang khas bagi anak muda
yang tampak dari pakaian, bahasa, kebiasaan kegiatan-kegiatan serta upacara-upacara.

Kapital budaya merupakan kepemilikan kompetensi atau pengetahuan cultural yang


menuntun selera bernilai budaya dan polapola konsumsi tertentu, yang dilembagakan dalam
bentuk kualifikasi pendidikan (Damsar, 2009). Dalam pandangan sosiologi, capital budaya
merupakan reproduksi sosial, yakni pemeliharaan pengetahuan dan pengalaman dari satu
generasi berikutnya, melalui sistem pendidikan.
Pendidikan memberikan seseorang modal pengetahuan dan kompetensi yang dibutuhkan
untuk membuat perbedaan dan penafsiran nilai. Pendidikan membentuk kompetensi dan
pengetahuan cultural seseorang. Kompetensi serta pengetahuan cultural tersebut memberikan
seseorang prefensi dalam berpikir, bersikap, bertindak dan berperilaku dalam bahasa. Nilai-
nilai, asumsi-asumsi dan model-model tentang keberhasilan dan kegagalan, cantik dan jelek,
indah dan buruk, sehat dan sakit, sopan dan asalan.5

5
Iryasman, Artikel Pendidikan Sebagai Kapital, (Sumatera Barat: LPMP, 2013), hal.77

8
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kapital budaya merupakan kepemilikan kompetensi atau pengetahuan cultural yang
menuntun selera bernilai budaya dan pola-pola konsumsi tertentu, yang dilembagakan dalam
bentuk kualifikasi pendidikan. Pendidikan membentuk kompetensi dan pengetahuan cultural
seseorang. Pandangan ini dikemukakan oleh tokoh Pierre Bourdieu

B. Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan para pembaca dapat mengetahui dan memahami
bagaimana pendidikan sebagai Kapital budaya. Dalam makalah ini, penulis tidak luput dari
kesalahan karena faktor-faktor yang terbatas. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun
sangat penulis harapkan demi makalah yang lebih baik.

9
DAFTAR PUSTAKA

Damsar. 2011. Pengantar Sosiologi Pendidik.. Jakarta: Kencana.


Iryasman. 2013. Artikel Pendidikan Sebagai Kapital, Sumatera Barat: LPMP.
Mundzir, S. 2013. Sosiologi Pendidikan. Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri
Malang.
Nasution, S. 1995. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Scott, John. 2012. Teori Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

10

Anda mungkin juga menyukai