Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PENDAHULUAN

ILEUS OBSTRUKSI

A. Tinjauan Medis
1. Pengertian
Obstruksi usus dapat didefinisikan sebagai gangguan aliran
normal isi usus sepanjang saluran usus. Obstruksi usus dapat akut
dengan kronik, partial atau total. Obstruksi usus biasanya mengenai
kolon sebagai akibat karsinoma dan perkembangannya lambat.
Sebagian dasar dari obstruksi justru mengenai usus halus. Setiap
tahunnya 1 dari 1000 penduduk dari segala usia didiagnosa ileus
(Davidson, 2006). Di Amerika diperkirakan sekitar 300.000-400.000
menderita ileus setiap tahunnya (Jeekel, 2003). Di Indonesia tercatat
ada 7.059 kasus ileus paralitik dan obstruktif tanpa hernia yang
dirawat inap dan 7.024 pasien rawat jalan pada tahun 2004 menurut
Bank data Departemen Kesehatan Indonesia. Terapi ileus obstruksi
biasnya melibatkan intervensi bedah. Penentuan waktu kritis serta
tergantung atas jenis dan lama proses ileus obstruktif. Obstruksi total
usus halus merupakan keadaan gawat yang memerlukan diagnosis
dini dan tindakan pembedahan darurat bila penderita ingin tetap
hidup. Operasi dilakukan secepat yang layak dilakukan dengan
memperhatikan keadaan keseluruhan pasien (Sabiston, 1995). Untuk
itu penulis tertarik untuk mengakat penyakit ini untuk bahan seminar
kami.
2. Etiologi
Ileus obstruktif sering dijumpai dan merupakan penyebab
terbesar pembedahan pada akut abdomen. Hal ini terjadi ketika
udara dan hasil sekresi tak dapat melewati lumen intestinal karena
adanya sumbatan yang menghalangi. Obstruksi mekanik dari lumen
intestinal biasanya disebabkan oleh tiga mekanisme ; 1) blokade
intralumen (obturasi), 2) intramural atau lesi intrinsik dari dinding
usus, dan 3) kompresi lumen atau konstriksi akibat lesi ekstrinsik dari
intestinal. Berbagai kondisi yang menyebabkan terjadinya obstruksi
intestinal biasanya terjadi melalui satu mekanisme utama. Satu
pertiga dari seluruh pasien yang mengalami ileus obstruktif, ternyata
dijumpai lebih dari satu faktor etiologi yang ditemukan saat dilakukan
operasi. (Thompson, 2005)
3. Patofisologi
Respon Usus Halus Terhadap Obstruksi. Normalnya, sekitar 2 L
asupan cairan dan 8 L sekresi dari gaster, intestinal dan
pankreaticobilier ditansfer ke intestinal setiap harinya. Meskipun
aliran cairan menuju ke intestinal bagian proksimal, sebagian besar
cairan ini akan diabsorbsi di intestinal bagian distal dan kolon. Ileus
obstruktif terjadi akibat akumulasi cairan intestinal di proksimal
daerah obstruksi disebabkan karena adanya gangguan mekanisme
absorbsi normal proksimal daerah obstruksi serta kegagalan isi
lumen untuk mencapai daerah distal dari obstruksi.
Akumulasi cairan intralumen proksimal daerah obstruksi terjadi
dalam beberapa jam dan akibat beberapa faktor. Asupan cairan dan
sekresi lumen yang terus bertambah terkumpul dalam intestinal.
Aliran darah meningkat ke daerah intestinal segera setelah terjadinya
obstruksi, terutama di daerah proksimal lesi, yang akhirnya akan
meningkatkan sekresi intestinal. Hal ini bertujuan untuk menurunkan
kepekaan vasa splanknik pada daerah obstruksi terhadap mediator
vasoaktif. Pengguyuran cairan intravena juga meningkatkan volume
cairan intralumen. Sekresi cairan ke dalam lumen terjadi karena
kerusakan mekanisme absorpsi dan sekresi normal. Ileus obstruktif
menyebabkan dilatasi proksimal usus akibat akumulasi sekresi GI
dan udara yang tertelan. Dilatasi usus ini merangsang aktivitas
sekretori sel, menyebabkan akumulasi lebih cair.
Hal ini menyebabkan peningkatan peristaltik atas dan di bawah
obstruksi, dengan diare dan flatus awal perjalanan penyakit. Distensi
lumen menyebabkan terjadinya kongestif vena, edema intralumen,
dan iskemia.
Gas intestinal juga mengalami akumulasi saat terjadinya ileus
obstruktif. Sebagian kecil dihasilkan melalui netralisasi bikarbonat
atau dari metabolisme bakteri. Gas di Intestinal terdiri atas Nitrogen
(70%), Oksigen (12%), dan Karbon Dioksida (8%), yang
komposisinya mirip dengan udara bebas. Hanya karbon dioksida
yang memiliki cukup tekanan parsial untuk berdifusi dari lumen.
Intestinal, normalnya, berusaha untuk membebaskan obstruksi
mekanik dengan cara meningkatkan peristaltik. Periode yang terjadi
ialah berturut-turut: terjadinya hiperperistaltik, intermittent quiescent
interval, dan pada tingkat akhir terjadi ileus. Bagian distal obstruksi
segera menjadi kurang aktif. Obstruksi mekanik yang
berkepanjangan menyebabkan penurunan dari frekuensi gelombang -
lambat dan kerusakan aktivitas gelombang spike, namun intestinal
masih memberikan respon terhadap rangsangan. Ileus dapat terus
menetap bahkan setelah obstruksi mekanik terbebaskan.
Tekanan intralumen meningkat sekitar 20 cmH 2O, sehingga
menyebabkan aliran cairan dari lumen ke pembuluh darah berkurang
dan sebaliknya aliran dari pembuluh darah ke lumen meningkat.
Perubahan yang serupa juga terjadi pada absorbsi dan sekresi dari
Natrium dan Khlorida. Namun, peningkatan tekanan intralumen tidak
selalu terjadi dan mungkin terdapat mekanisme lain yang
menyebabkan perubahan pada mekanisme sekresi. Peningkatan
sekresi juga dipengarui oleh hormon gastrointestinal, seperti
peningkatan sirkulasi vasoaktif intestinal polipeptida, prostaglandin,
atau endotoksin.
Peningkatan volume intralumen menyebabkan terjadinya distensi
intestinal di bagian proksimal obstruksi, yang bermanifestasi pada
mual dan muntah. Proses obstruksi yang berlanjut, kerusakan
progresif dari proses absorbsi dan sekresi semakin ke proksimal.
Selanjutnya, obstruksi mekanik ini mengarah pada peningkatan
defisit cairan intravaskular yang disebabkan oleh terjadinya muntah,
akumulasi cairan intralumen, edema intramural, dan transudasi cairan
intraperitoneal. Selain itu dapat menyebabkan kompresi limfatik
mukosa, menyebabkan dinding usus lymphedema. Muntah terjadi
jika tingkat obstruksi proksimal.
Hilangnya cairan dan dehidrasi berat dan berkontribusi terhadap
peningkatan morbiditas dan mortalitasPemasangan nasogastric tube
malah memperparah terjadinya defisit cairan melalui external loss.
Hipokalemia, hipokhloremia, alkalosis metabolik merupakan
komplikasi yang sering dari obstruksi letak tinggi. Hipovolemia yang
tak dikoreksi dapat mengakibatkan terjadinya insufisiensi renal, syok,
dan kematian.
Stagnasi isi intestinal dapat memfasilitasi terjadinya proliferasi
bakteri. Bakteri Aerob dan Anaerob berkembang pada daerah
obstruksi. Koloni berlebihan dari bakteri dapat merangsang absorbtif
dan fungsi motorik dari intestinal dan menyebabkan terjadinya
translokasi bakteri.
Ileus Obstruktif
Sumber : https://www.google.com/amp/s/dokumen.tips

4. Manifestasi Klinis
Obstruksi dapat diklasifikasikan parsial atau totalis, sederhana
atau strangulasi. Tidak ada gambaran klinis khas untuk mendeteksi
awal obstruksi strangulasi. Nyeri perut sering digambarkan sebagai
kram perut dan sifatnya intermiten (berkala/ hilang timbul) merupakan
gejala yang paling menonjol pada obstruksi sederhana. Seringkali
presentasi dapat menunjukan lokasi perkiraan dan sifat obstruksi.
Biasanya rasa sakit yang terjadi dalam jangka waktu yang lebih
singkat dan nyeri kolik disertai dengan muntah menandakan obstruksi
ileus bagian proksimal. Sedangkan pada nyeri yang lama (beberapa
hari), bersifat progresif, dan disertai dengan distensi abdomen
merupakan gejala khas pada obstruksi letaknya lebih distal.
Perubahan karakter nyeri dapat menunjukan perkembangan
komplikasi yang lebih serius misalnya nyeri yang menetap pada
abdomen yang menandakan adaya strangulasi atau tanda iskemik.
Gejala utama dari obstruksi ialah nyeri kolik, mual dan muntah
dan obstipasi. Adanya flatus atau feses selama 6-12 jam setelah
gejala merupakan ciri khas dari obstruksi parsial. Nyeri kram
abdomen bisa merupakan gejala penyerta yang berhubungan
dengan hipermotilitas intestinal proksimal daerah obstruksi. Nyerinya
menyebar dan jarang terlokalisir, namun sering dikeluhkan nyeri pada
bagian tengah abdomen. Saat peristaltik menjadi intermiten, nyeri
kolik juga menyertai. Saat nyeri menetap dan terus menerus kita
harus mencurigai telah terjadi strangulasi dan infark (Whang, 2005).
Tanda-tanda obstruksi usus halus juga termasuk distensi
abdomen yang akan sangat terlihat pada obstruksi usus halus bagian
distal ileum, atau distensi bisa tak terjadi bila obstruksi terjadi di
bagian proksimal usus halus, dan peningkatan bising usus. Hasil
laboratorium terlihat penurunan volume intravaskuler, adanya
hemokonsentrasi dan abnormalitas elektrolit. Mungkin didapatkan
leukositosis ringan (Thompson, 2005).
Muntah terjadi setelah terjadi obstruksi lumen intestinal dan
menjadi lebih sering saat telah terjadi akumulasi cairan di lumen
intestinal. Derajat muntah linear dengan tingkat obstruksi, menjadi
tanda yang lebih sering ditemukan pada obstruksi letak tinggi.
Obstruksi letak tinggi juga ditandai dengan bilios vomiting dan letak
rendah muntah lebih bersifat malodorus (Thompson, 2005).
Kegagalan untuk defekasi dan flatus merupakan tanda yang
penting untuk membedakan terjadinya obstruksi komplit atau parsial.
Defekasi masih terjadi pada obstruksi letak tinggi karena perjalan isi
lumen di bawah daerah obstruksi. Diare yang terus menerus dapat
juga menjadi tanda adanya obstruksi partial (Sheedy SP, 2006).
Tanda-tanda pada pemeriksaan fisik dapat saja normal pada
awalnya, namun distensi akan segera terjadi, terutama pada
obstruksi letak rendah. Tanda awal yang muncul ialah penderita
segera mengalami dehidrasi. Massa yang teraba dapat di diagnosis
banding dengan keganasan, abses, ataupun strangulasi. Auskultasi
digunakan untuk membedakan pasien menjadi tiga kategori : loud,
high pitch dengan burst ataupun rushes yang merupakan tanda awal
terjadinya obstruksi mekanik. Saat bising usus tak terdengar dapat
diartikan bahwa obstruksi telah berlangsung lama, ileus paralitik atau
terjadinya infark. Seiring waktu, dehidrasi menjadi lebih berat dan
tanda-tanda strangulasi mulai tampak. Pemeriksaan lipat paha untuk
mengetahui adanya hernia serta rectal toucher untuk mengetahui
adanya darah atau massa di rectum harus selalu dilakukan (Sheedy
SP, 2006).
5. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada pasien yang diduga mengalami
obstruksi intestinal terutama ialah darah lengkap dan elektrolit,
Blood Urea Nitrogen, kreatinin dan serum amylase. Pemeriksaan
elektrolit diperlukan karena pasien mual muntah tujuannya untuk
mengevaluasi elektrolitnya. Berikut adalah tes laboratorium yang
penting dan diperlukan sebagai berikut:
1) Kimia serum : hasilnya biasanya normal atau sedikit
meningkat.
2) BUN (Blood Ure Nitrogen) : Jika BUN meningkat, hal ini
dapat menunjukan penurunan volume cairan tubuh
(dehidrasi).
3) Kreatinin : peningkatan kreatinin mengindikasikan adanya
dehidrasi.
4) CBC (Complete Blood Count): Sel darah putih (WBC)
mungkin meningkat dengan pergeseran ke kiri biasanya
terjadi pada ileus obstruktif sederhana atau strangulasi,
peningkatan hematokrit adalah indikator kondisi cairan dalam
tubuh berkurang (misalnya; dehidasi).
5) World Society of Emergency Surgery memperbaharui
pedomana untuk diagnosis dan manajemen dari ileus
obstruksi adhesive, meliputi hal-hal sebagai berikut: dengan
tidaka adanya strangulasi dan riwayat muntah terus menerus
atau gabungan tanda-tanda pada CT scan, pasien dengan
ileus obstruksi parsial dapat dengan aman dikelola dengan
manajemen non-operativ yaitu penggunaan tabung
dekompresi atau dikenal dengan WSCM (Water Soluble
Contrast Medium) adalaha rekomendasi kedua untuk tujuan
diagnostic dan terapetik pada pasien yang menjalani
manajemen non-operativ. Manajemen non-operative dapat
diperpanjang hingga 72 jam tanpa adanya tanda-tanda
strangulasi atau peritonitis. Pemebdahan dianjurkan setelah
72 jam manajemen nonoperativ tanpa ada perbaikan.
Eksplorasi laparotomi yang sering digunakan untuk pasien
dengan ileus obstruktif strangulasi dan setelah manajemen
konservatif gagal, pendekatan laproskopi terbuka sangat di
anjurkan.
b. Pemeriksaan Foto Rontgen
1) Foto Polos Abdomen
Menilai foto polos untuk pasien dengan ileus obstruksi
setidaknya 2 tampilan yaitu posisi terlentang atau datar dan
tegak. Foto polos merupakan diagnose lebih akurat pada
kasus ileus obstruksi sederhana, namun tingkat kegagalan
diagnostik sebanyak 30% telah dilaporkan.(Thompson, 2007)
Pada foto abdomen dapat membedakan temuan
obstruksi sedehana atau strangulasi, dan beberapa telah
menggunakanya utnuk membedakan antara obstruksi
lengkap atau parsial atau bukan suatu ileus obstruksi. Studi
Lappas et al menemukan 2 temuan lebih prediktif dari ileus
obstruktif letak tinggi dan ileus obstruktif komplit antara lain:
(1) adanya deferensial air-fluid level di usus halus, (2) dilatasi
usus lebih dari 25 mm. Studi ini menemukan bahwa ketika 2
temuan yang hadir, obstruksi kemungkinan besar letak tinggi
atau ileus obstruksi totalis. Ketika temuan kedua ini tidak ada
maka ileus obstruksi letak rendah (parisial) atau tidak ada
obstruksi.
Temuan spesifik untuk obstruksi usus halus ialah dilatasi
usus halus ( diameter > 3 cm ), adanya air-fluid level pada
posisi foto abdomen tegak, dan kurangnya gambaran udara
di kolon. Sensitifitas foto abdomen untuk mendeteksi adanya
obstruksi usus halus mencapai 70-80% namun
spesifisitasnya rendah. Pada foto abdomen dapat ditemukan
beberapa gambaran, antara lain:
a) Distensi usus bagian proksimal obstruksi
b) Kolaps pada usus bagian distal obstruksi
c) Posisi tegak atau dekubitus: Air-fluid levels
d) Posisi supine dapat ditemukan :
(a) distensi usus
(b) step-ladder sign
e) String of pearls sign, gambaran beberapa kantung gas
kecil yang berderet.
f) Coffee-bean sign, gambaran gelung usus yang distensi
dan terisi udara dan gelung usus yang berbentuk U yang
dibedakan dari dinding usus yang oedem.
g) Pseudotumor Sign, gelung usus terisi oleh cairan.
Ileus paralitik dan obstruksi kolon dapat memberikan gambaran
serupa dengan obstruksi usus halus. Temuan negatif palsu dapat
ditemukan pada pemeriksaan radiologis ketika letak obstruksi
berada di proksimal usus halus dan ketika lumen usus dipenuhi
oleh cairan saja dengan tidak ada udara. Dengan demikian
menghalangi tampaknya air-fluid level atau distensi usus. Keadaan
selanjutnya berhubungan dengan obstruksi gelung tertutup.
Meskipun terdapat kekurangan tersebut, foto abdomen tetap
merupakan pemeriksaan yang penting pada pasien dengan
obstruksi usus halus karena kegunaannya yang luas namun
memakan biaya yang sedikit.

Dilatasi usus
Sumber : oktahermoniza.blogspot.com

Herring bone apperance


Sumber : drsudiyatmo.blogspot.com
Step ledder sign.
Sumber : drsudiyatmo.blogspot.com

c. Enteroclysis
Enteroclysis berfungsi untuk mendeteksi adanya obstruksi
dan juga untuk membedakan obstruksi parsial dan total. Cara ini
berguna jika pada foto polos abdomen memperlihatkan
gambaran normal namun dengan klinis menunjukkan adanya
obstruksi atau jika penemuan foto polos abdomen tidak spesifik.
Pada pemeriksaan ini juga dapat membedakan adhesi oleh
karena metastase, tumor rekuren dan kerusakan akibat radiasi.
Enteroclysis memberikan nilai prediksi negative yang tinggi dan
dapat dilakukan dengan dua kontras. Barium merupakan kontras
yang sering digunakan. Barium sangat berguna dan aman untuk
mendiagnosa obstruksi dimana tidak terjadi iskemia usus
maupun perforasi. Namun, penggunaan barium berhubungan
dengan terjadinya peritonitis dan penggunaannya harus dihindari
bila dicurigai terjadi perforasi.
d. Pemeriksaan Laboratorium Tumor Colon
e. Pemeriksaan enzim transaminase sebagai penandaadanya
metastase pada liver.
f. Pemeriksaan marker tumor CEA ( Carcino Embryonic Antigen)
bertujuan untuk monitor pascaterapi. Jika pada pemeriksaan
inisial tidak meningkat maka penggunaa CEA untuk follow up
menjadi kurang penting.
e. Pemeriksaan Imaging Tumor Colon
1) Barium Enema, Dengan adanya endoskopi, barium enema
semakin digunakan. Pada keadaan dimana endoskopi/
kolonoskopi tidak tersedia barium enema dapat digunakan
untuk diagnosis, lokasi, fiksasi dengan jaringan sekitar,
kanker sinkronos, ataupun lesi prakanker, seperti polips,
chronis ulcerative colitis.
2) CT Scan , Terutama ditujukan untuk melihat adanya
metastase pada hepar, KGB para aorta, ataupun infiltrasi
langsung ke organ sekitar.
3) MRI, Digunakan untuk menggantikan CT Scan, terutama jika
terdapat kontra indikasi penggunaan kontras .
4) PET Scan, Digunakan untuk melihat adanya metastase dari
kanker kolon dan tidak untuk mendiagnosis tumor kolon
primer.
5) Foto Thoraks &USG hepar, Digunakan untuk tujan
mengetahui stadium M pada paru dan hepar dan untuk
persiapan operasi.
6) Kolonoskopi, merupakan “standar emas” untuk mendiagnosis
kanker kolon. Digunakan untuk melihat adanya lesi
prakanker, untuk skring, dan melihat gambaran macros tumor
dan biopsy.
6. Penatalaksanaan medis
Pasien dengan obstruksi intestinal biasanya mengalami dehidrasi dan
kekurangan Natrium, Khlorida dan Kalium yang membutuhkan
penggantian cairan intravena dengan cairan salin isotonic seperti
Ringer Laktat. Urin harus di monitor dengan pemasangan Foley
Kateter. Setelah urin adekuat, KCl harus ditambahkan pada cairan
intravena bila diperlukan. Pemeriksaan elektrolit serial, seperti halnya
hematokrit dan leukosit, dilakukan untuk menilai kekurangan cairan.
Antibiotik spektrum luas diberikan untuk profilaksis atas dasar temuan
adanya translokasi baypimenkpteri pada ostruksi intestinal (Evers,
2004).
7. Penyimpangan KDM

Perlekatan usus, hernia, neoplasma, benda asing,batu


empedu, penyakit radang usus, hematoma, striktus

Illius obstruksi

Mekanik fungsional

Akumulasi isi usus


cairan dan gas

Obstruksi usus/mual Usus tidak mampu


(menekan dinding usu) medorong
Distensi dan retensi
cairan
Defisit Nutrisi
Penurunan/peningkatan
peristaktik

Muntah atau refuks Peningkatan sekresi


lambung

Ketidak seimbangan
cairan Kehilangan ion dan
Peningkatan
hydrogendi lambung
tekanan dalam
luman usus

hipovelemi
Penurunan kalium
dan klorida dalam
Edema kongesti lupturi
darah
paforasi diding usus

Gangguan
Nyeri akut rasanyaman (nyeri) Laparatomi

Gangguan pola tidur


B. Tinjauan keperawatan
1. Pengkajian keperawatan
a. Status kesehatan fisik secara umum
Sebelum dilakukan pembedahan, penting dilakukan pemeriksaan
status kesehatan secara umum, meliputi identitas klien, riwayat
penyakit, riwayat kesehatan keluarga, pemeriksaan fisik lengkap.,
antara lain status hemodinamika, status kerdiovaskuler, status
pernapasan, fungsi ginjal dan hepatic, fungsi endokrin, fungsi
imonologi, dan lain-lain.
b. Status nutrisi
Kebutuhan nutrisi ditentukan dengan mengukur tinggi badan dan
berat badan, kadar protein darah dan keseimbangan nitrogen.
Segala bentuk defisiensi nutrisi harus dikoreksi sebelum
pembedahan untuk memberikan protein yang cukup untuk
perbaikan jaringan.
c. Keseimbangan cairan dan elektrolit
Balance cairan perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan input
dan output cairan. Demiikian juga kadar elektrolit serum harus
berada dalam rentang normal. Keseimbangan cairan dan
elektrolit erat dengan fungsi ginjal. Dimana ginjal berfungsi
dengan mengatur mekanisme asam basa dan ekskresi
metabilisme obat-obatan anastesi. Jika fungsi ginjal baik maka
operasi dapat dilakukan denggan baik, namun jika ginjal
mengalami gangguan seperti oliguria/anuria, infusiensi renal akut,
nefritis akut maka operasi harus ditunda menunggu perbaikan
fungsi ginjal.
d. Kebersihan lambung dan kolon
Lambung dan kolon harus dibersihkan terlebih dahulu. Intervensi
keperawatan yang biasanya diberikan diantaranyya adalah
pasien dianjrkan dipuasakan dan dilakukan tindakan
pengosongan lambung dan kolon dengan tindakan enema,
lamanya puasa sekitar 7-8 jam. Tujuannya dari pengosongan
lambung dan kolon adalah untuk menghindari aspirasi (masuknya
cairan lambung ke paru-paru) dan menghindari kontaminasi fese
ke area pembedahan sehingga menghindarkan terjadinya infeksi
pasca pembedahan.
e. Pencukuran daerah operasi
Pencukuran pada daerah operasi ditunjukan untuk menghindari
terjadinya infeksi pada daerah yang dilakukan pembedahan
karena rambut yang tidak dicukur dapat menjadi tempat
bersembunyi kuman dan dapat juga mengganggu/menghambat
proses penyembuhan dna perawatan luka.
f. Personal hygiene
Kebersihan tubuh pasien sangat penting untuk persiapan operasi
karena tubuh yang kotor dapat merupakan sumber kuman dan
dapat mengakibatkan infeksi pada daerah yang dioperasi.
g. Pengosongan kandung kemih
Pengosongan kandung kemih dilakukan dengan melakukan
pemasangan kateter. Selain untuk pengosongan isi bladder
tindakan kateter juga diperlukan untuk observasi balnce cairan.
2. Diagnosa keperawatan
a. Resiko defisit nutrisi
1) Definisi : beresiko mengalami asupan nutrisi tidak cukup
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme.
2) Faktor resiko
a) ketidak mampuan menelan makanan
b) ketidak mampuan mencerna makanan
c) ketidak mampuan mengapsorpsi nutrin
peningkatan kebutuhan metabolisme

d) faktor ekonomi (mis. Financial tidak mencukupi)


e) faktor psikologis (mis. Stress, keengaan untuk makan)
3) Kondisi klinis terkait
a) Stroke
b) Parkinson
c) Mobius syndrome
d) Cerebral palsy
e) Cleft lip
f) Cleft plate
g) Amyotropic lateral sclerosis
h) Kerusakan neuromuskuler
i) Luka bakar
j) Kanker
k) Infeksi
l) AIDS
m) Penyakit crohn’s
n) Enterokolitis
o) Fibrosis kistik
b. Nyeri akut
1) Definisi
Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan
kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset
mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat
yang berlangsung kurang dari 3 bulan.
2) Penyebab :
a) Gejala penyakit
(1) Kurang pengendalian situsional atau lingkungan
(2) Ketidakadektualan sumber daya (misalnya dukungan
Financial, sosial dan pengetahuan).
(3) Kurangnya porasi
(4) Gangguan stimulasi lingkunan
(5) Efek samping terapi (misalnya medikasi, radiasi)
(6) Gangguan adaptasi kehamilan
Gejala dan tanda mayor
Subjektif :
(1) Mengeluh tidak nyaman
Objektif :

(1) Gelisah
Gejala tanda minor
Subjektif :
(1) Mengeluh sulit tidur
(2) Tidak mampu rileks
(3) Mengeluh kedinginan atau kepanasan
(4) Merasa gatal
(5) Mengeluh lelah
Objektif :
Menunjukkan gejala distress
(1) Tampak merintih atau menangis
(2) Pola eliminasi berubah
(3) Postur tubuh berubah
(4) Intabilitas
Kondisi klinis terkait :
(1) Penyakit kronis
(2) Keganasan
(3) Distress psikologis
(4) Kehamilan
c. Nyeri kronik
1) Definisi
Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan
kerusakan jaringan actual atau fungsional, dengan onset
mendadak atau lambat dan berintensitas ringan dari 3 bulan
2) Penyebab
a) Agen fisiologi. Misalnya inflamasi, iskemia, neoplasma.
b) Aden kimiawi. Misalnya, terbakar bahan kimia iritan.
c) Agen pencedera fisik. Misalnya abses, amputasi,
terbakar, terpotong, mengngkat berat prosedur operas,
trauma, latihan fisik berlebihan
3) Gejala dan tanda mayor
Subjektif:
b) Mengeluh nyeri
Objektif:
a) Tampak meringis
b) Bersikap protektif
c) Gelisa
d) Frekuensi nadi meningkat
e) Sulit tidur
4) Gejala dan tanda mayor
Subjektif:
Objektif:
a) Tekanan darah meningkat
b) Pola nafas berubah
c) Nafsu makan berubah
d) Proses berfikir terganggu
e) Menarik diri
f) Berfokus pada diri sendiri
g) Diaphoresis
5) Kondisi klinis terkait
a) Kondisi pembedaan
b) Cedera traumatis
c) Infeksi
d) Sindom koriner akut
e) Glaucoma
d. Hipervolemia
1) Definisi
Peningkatan volume cairan intrafaskular, interstisial, dan
intraseluler.
2) Penyebab
a) Gangguan mekanisme regular
b) Kelebihan asupan
c) Kelebihan asupan nutrisi
d) Gangguan aliran bilik vena
e) Efek agen kontrakologis , misalnya kondisi tostroid,
chlorpramide, tolvutamide, tintastine)
3) Gejala dan tanda mayor
Subjektif:
a) Otorenca
b) Dispenea prosysmal couhtumal dyspnea (RND)
Objektif:
a) Edema anafakar atau edema prifer
b) Berat badan meningkat dalam waktu singkat
c) Jugulas fenous restore (JUP) atau centravenous presture
meningkat
d) Refleks hepatojular positif
4) Gejala dan tanda mayor
Subjektif:
a) Merasa lemah
b) Mengeluh halus

Objektif:

a) Penulisan pena menurun


b) Status menulis berubah
c) Suhu tubuh meningkat
d) Konsentrasi urine meningkat
e) Berat badan turun tiba-tiba
5) Kondisi klinis terkait
a) Penyakit adeson
b) Trauma atau pendarahan
c) Luka bakar
d) Haids
e) Penyakit kronis
f) Muntah
g) Diare
h) Colitis hisoreati
i) Hipoalbuminelemia
e. Ketidakseimbangan cairan
1) Definisi
Berisiko mengalami penurunan, peningkatan, atau
percepatan perpindahan cairan dari intravaskuler, interstisial
atau intraseluler
2) Faktor resiko
a) Prosedur pembedahan mayor
b) Trauma/pendarahan
c) Luka bakar
d) Apheresis
e) Asietas
f) Obstruksi intestinal
g) Peradangan pancreas
h) Penyakit ginjal dan kelenjar
i) Disfungsi intestinal
3) Kondisi klinis terkait
a) Prosedur pembedahan mayor
b) Penyakit ginjal dan kelenjar
c) Pendarahan
d) Luka bakar
f. Gangguan pola tidur
1) Definisi
Gangguan kulitas dan kuntitas waktu tidur akibat faktor
eksternal.
2) Penyebab
a) Hambatan lingkungan (misalnya. Kelembapan lingkungan
sekitar, suhu lingkungan, pencahayaan, kebisingan, bau
tidak sedap, jadwal pemantauan/pemeriksaan/tindakan).
b) Kurangnya control tidur.
c) Kurangnya privasi.
d) Restraint fisik.
e) Keadaan teman tidur
f) Tidak familiar dengan peralatan tidur.
g) Gejala dan tanda mayor
Subjektif
a) Mengeluh sulit tidur.
b) Mengeluh sering terjaga.
c) Mengeluh tidak puas tidur.
d) Mengeluh pola tidur berubah.
e) Mengeluh istirahat tidak cukup.
Objektif
(tidak tersedia).
Gejala dan tanda minor
Subjektif
a) Mengeluh kemampuan beraktifitas menurun.
Objektif
(tidak tersedia).
3) Kondisi klinis terkait
a) Nyeri/ kolik.
b) Hipertiroidisme
c) Kecemasan.
d) Penyakit paru obstruktif kronis.
e) Kehamilan.
f) Periode pasca partum.
g) Kondisi pasca operasi.
3. Intervensi keperawatan Keperawatan
Intervensi asuhan keperawatan merupakan mata rantai antara
penetapan kebutuhan klien dan pelaksanaan tindakan
keperawatan.Rencana asuhan keperawatan adalah petunjuk tertulis
yang menggambarkan secara tepat mengenai rencana tindakan yang
dilakukan terhadap klien sesuai dengan kebutuhannya berdasarkan
diagnosis keperawatan.
Intervensi keperawatan merupakan bentuk penanganan yang
dilakukan oleh perawat berdasarkan pertimbangan pengetahuan
klinis yang bertujuan meningkatkan hasil perawatan klien (Bulechek,
Butcher, dan Dochterman 2008).
a. Gangguan eliminasi urine
1) Manajemen eliminasi urine
a) Definisi
Mengidentifikasi dan mengelola gangguan eliminasi urine
b) Tindakan
Observasi :
- Identifikasi tanda dan gejala retensi atau inkontinensia
urine
- Identifikasi fantor yang menyababkan retensi atau
inkontinensia urine
- Monitor eliminasi urine ( mis. Frekuensi, konsistensi,
aroma, volume, dan warna )
Terapeutik :
- Catat waktu-waktu dan keluaran berkemih
- Batasi asupan cairan, jika perlu
- Ambil sampel urine tengah (midstream) tau kultur
Edukasi :
- Anjurkan tanda dan gejala infeksi saluran kemih
- Anjurkan mengukur asupan cairan dan haluaran urine
- Anjurkan mengambil spesiman urine midstream
- Anjurkan mengenali tanda berkemih dan waktu yang
tepat untuk berkemih
- Anjurkan terapi modalitas penguatan otot-otot punggul/
berkemih
- Anjurkan minum yang cukup, jika tidak ada kontraindikasi
- Anjurkan mengurangi minum menjelang tidur
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian obat supusitoria uretra, jika perlu
2) Manejemen nyeri
a) Definisi
Mengidentifikasi dan mengelolah pengalaman sensorik atau
emosional yang brtkaitan dengan kerusakan jaringan atau
fungsional dengan onset mendadak atau lambat dan
berintensitas ringan hingga berat dan konstan.
b) Tindakan
Observasi :
- Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri
- Identifikasi skla nyeri
- Identifikasi respons nyeri non verbal
- Identifiksi faktor yang memperberat dan memperingan
rasa nyeri
- Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
- Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
- Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
- Motorik keberhasilan hidup terapi komplementer yang
sudah diberikan
- Monitor efek samping penggunaan analgetik

Terapeutik :

- Berikan teknik farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri


( mis. TENS, hiponosis, akupresur, terapi music,
biofeedback, terapi pijat, aromaterapi, teknik imajinasi
terbimbing, kompres hangat,/dingin, terapi bermain)
- kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri ( mis.
Suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan )
- fasilitas istirahat tidur
- pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan
strategi meredahkan nyeri

Edukasi :

- Jelaskan penyebab, priode, dan pemicu nyeri


- Jelaskan strategi meredahkan nyeri
- Anjurkan memonitor nyeri
- Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
- Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa
nyeri

Kolaborasi :

- Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu


3) Manajemen cairan
a) Definisi
Mengidentifikasi dan mengelolah keseimbangan cairan
dan mencegah kompleikasi akibat ketidak seimbangan
cairan.
b) Tindakan

Observasi :

- Monitor status hidrasi (mis. Frekuensi nadi, kekuaran


nadi, akral, pengisapan kapiler, kelembapan mukosa,
turgor kulit,, tekanan darah)
- Monitor berat badan harian
- Monitor berat badan sebelum dan sesudah dialysis
- Monitor hasil pemeriksaan labolatorium (mis. Hematokrit,
Na, K, CI, berat jenis urine, BUN)
- Monitor status hemodinamik (mis. MAP, CVP, PAP,
PCWP jika tersedia)

Terapieutik :

- Catat intake-output dan hitung balans cairan 24 jam


- Berikan asupan cairan, sesuai kebutuhan
- Berikan cairan intravena, jika perlu

Kolaborasi :

- Kolaborasi pemberian diuretic, jika perlu


4) Manejemen nyeri
a) Definisi
Mengidentifikasi dan mengelolah pengalaman sensorik atau
emosional yang brtkaitan dengan kerusakan jaringan atau
fungsional dengan onset mendadak atau lambat dan
berintensitas ringan hingga berat dan konstan.
b) Tindakan

Observasi :

- Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,


intensitas nyeri
- Identifikasi skla nyeri
- Identifikasi respons nyeri non verbal
- Identifiksi faktor yang memperberat dan memperingan
rasa nyeri
- Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
- Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
- Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
- Motorik keberhasilan hidup terapi komplementer yang
sudah diberikan
- Monitor efek samping penggunaan analgetik

Terapeutik :

- Berikan teknik farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri


( mis. TENS, hiponosis, akupresur, terapi music,
biofeedback, terapi pijat, aromaterapi, teknik imajinasi
terbimbing, kompres hangat,/dingin, terapi bermain)
- kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri ( mis.
Suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan )
- fasilitas istirahat tidur
- pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan
strategi meredahkannyeri

Edukasi :

- Jelaskan penyebab, priode, dan pemicu nyeri


- Jelaskan strategi meredahkan nyeri
- Anjurkan memonitor nyeri
- Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
- Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa
nyeri

Kolaborasi :

- Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu


5) Manajemen Hipovolemia
a) Definisi
Mengidentifikasi dan mengelolah penurunan volume
cairan intravaskuler.
b) Tujuan
(1) Kekuatan nadi meningkat.
(2) Membran mukosa lembab meningkat.
(3) Ortopnea menurun.
(4) Dispenea menurun.
(5) Tekanan Darah membaik.
c) Tindakan
(1) Periksa tanda dan gejala hipovolemia (mis. Frekuensi
nadi meningkat, nadi teraba lemah, tekanan darah
menurun, tekanan nadi menyempit, turgor kulit menurun,
hematokrit meningkat, haus, lemah).
(2) Monitor intake dan output cairan.
(3) Berikan asupan cairan oral.
(4) Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral.
(5) Anjurkan menghindari perubahan posisi mendadak.
(6) Kalaborasi pemberian cairan IV isotonis (mis. NaCl,
RL).
(7) Kalaborasi pemberian cairan IV hipotonis (mis.
Glukosa 2,5 %, NaCl 0,4 %)

4. Implementasi Keperawatan
Menurut Kozier[ CITATION koz10 \n \t \l 1057 ] menyatakan bahwa
implementasi merupakan fase dalam proses keperawatan yang
melaksanakan rencana asuhan keperawatan.
Implementasi merupakan pelaksanaan perencanaan keperawatan
oleh perawat dan klien. Hal-hal yang harus dipersiapkan ketika
melakukan implementasi keperawatan adalah intervensi dilakukan
sesuai dengan rencana setelah dilakukan validasi, pergerakan
keterampilan, intelektual, dan tehnikal [ CITATION Bar13 \l 1057 ].
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan evaluasi intervensi keperawatan dan terapi
dengan membandingkan kemajuan klien dengan tujuan dan hasil
yang diinginkan dari asuhan keperawatan [ CITATION Pot10 \l 1057 ]
Evaluasi keperawtan adalah aktivitas yang direncanaan,
berkelanjutan dan terarah ketika klien dan profesional kesehatan
menentukan kemajuan klien menuju pencapaiantujuan atau hasil dan
keefektifan rencana asuhan keperawatan [ CITATION koz10 \l 1057 ]
DAFTAR PUSTAKA

Bararah, T. &. (2013). Asuhan Keperawatan Panduan Lengkap Menjadi


Perawat Profesional. Jakarta.

Christian Sandi, Saryono, Dian Ramawati. (2013). Penelitian Tentang


Perbedaan Kadar Kolesterol Darah Pada Pekerja Kantoran dan
Pekerja Kasar.

Haswati & Sulistyowati, R. (2017). Kebutuhan Dasar Manusia Untuk


Mahasiswa Keperawatan Dan Kebidanan. Jakarta: TIM.

Heather, H. d. (2012). Diagnosis Keperawatan Definisi Dan Klasivikasi 2012-


2014. Jakarta: EGC.

Hendriantika, H. (2012), Penelitian Tentang Studi Komparatif Aktivitas Fisik


dengan Faktor Resiko Terjadinya Penyakit jantung Koroner.

Herdman, T. &. (2010). Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi Edisi


10. Jakarta: EGC.

Kozier, d. (2010). Buku Ajar Fondenmental: Konsep,Proses & Praktik.


Volume 2, Edisi 7. Jakarta: EGC.

Marianna Virtanen, (2012). Long Working Hours and Coronary Heart


Disease: A Systematic Review and Meta-Analysis.

Marianna Virtanen, (2010). Overtime Work and Incident Coronary Heart


Disease:The Whitehall II Prospective Cohort Study.
Mika Kivimäki, (2013). Associations of job strain and lifestyle risk factors with
risk of coronary artery disease: a meta-analysis of individual participant
data.

Tracey C. C. W. Rompas, A. Lucia Panda, Starry H. Rampengan.


(2012), Hubungan Obesitas Umum dan Obesitas Sentral dengan
Penyakit Jantung Koroner

Sallim Annisa Yuliana, (2013), Hubungan Olahraga dengan Kejadian


Penyakit Jantung Koroner.

Anda mungkin juga menyukai