Anda di halaman 1dari 12

GANGGUAN SISTEM HEMATOLOGI

Nama : Shafira Utami

Stambuk : P211 19 096

Kelas : Gizi B

Dosen Pengampu: St. Ika Fitrasyah S.Gz, M.Si,.

Tugas : Resume

PROGRAM STUDI GIZI

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS TADULAKO

2020
A. Gangguan Sel Darah Merah
Sel darah merah atau eritrosit adalah cakram bikonkaf tidak berinti yang kira kira
berdiameter 8 µm, tebal bagian tepi µm, dan ketebalannya berukuran dibagian tengah
mejadi hanya 1 mm atau kurang (Gbr 17_1), karena lunak dan lentur maka selama
melewati mikrosirkulasi sel sel ini mengalami perubahan konfigurasi.
1. Anemia
Adalah berkurangnya hinggah dibawahnya nilai normal jumlah SDM, kuantitas
hemoglobin, dan volume packed red blood cells (hematokrit) per 100 ml darah.
Dengan demikian , anemia bukan suatu diagnosis melainkan suatu cerminan
perubahan patofisiologi yang mendasarkan yang di uraikan melalui anamnesis
yang seksama, pemeriksaan fisik, dan konfirmasi laboratorium. Anemia dapat
menimbulkan manifestasi klinis yang luas, bertanggung jawab pada:
1. Kecepatan timbulnya anemia
2. Usia individu
3. Mekanisme kompensasi
4. Tingkat Aktivitasnya
5. Keadaan penyakit yang mendasarinya
6. Beratnya Anemia.
2. Klasifikasi Anemia

Anemia dapata di klasifikasikan menurut (1) faktor faktor morfologik SDM dan
indeks indeksnya atau (2) etelogi. Pada klasifikasinya morfologik anemia, mikro-
menunjukakkan ukuran SDM dan kromik untuk menunjukan warnanya. Sudah di
kenal tiga kategori besar.

Pertama anemia hormokromik normositik, SDM memiliki ukuran dan bentuk


normal serta mengandung jumlah hemoglobin normal ( mean corpuscular volume
MCV dan mean corpuscular hemoglobin concentration MCHC normal atau
normal rendah). Penyeybab penyebab anemia jenis ini adalah kehilangan darah
akut, hemolysis, penyakit kronis yang meliputi indekai gangguan endokrin,
gangguan ginjal, kegagalan sumsum tulang, dan penyakit penyakit infiltrative
memastikan pada sumsum tulang.
Kategori kedua adalah anemia normal kromik makrositik, yang memiliki SDM
lebih besar dari normal tetapi normokromik karena konsetrasi hemoglobin normal
(MCV meningkat : MCHC normal) (Gbr , 17-2).

Kategori ketiga adalah anemia hipokromik mikrositik. Mikrositik berasal dari sel
kecil , dan hipokromik berarti pewarna yang berkurang. Karena warna berasal
dari hemoglobin, sel sel ini mengandungn hemoglobin dalam jumlah yang kurang
dari normal (penurunan MCV; penururnan MCHC). Anemia dapat juga
diklasifikasikan menurut etiologi. Penyebab utama yang difikirkan adalah (1)
peningkatan hilangnya SDM dan (2) penurunan atau kelainan pembentukan sel.

3. Anemia Defesiensi Besi

Secara marfologis, keadaan ini diklasifikasikan sebagai anemia mikrositik


hipokromik dengan penurunan kuantitatif sintesis hemoglobin. Defesiensi besi
menurunkan kuantitatif sintesis hemoglobin. Defesiensi besi merupakan penyebab
utama anemia di dunia dan terutama sering di jumpai pada perempuan usia subur,
disebabkan oleh kehilangan darah sewaktu menstruasi dan peningkatan kebutuhan
besi selama kehamilan penyebab penyebab lainnya defesiensi besi adalah (1)
asupan besi yang tidak cukup , missal, pada bayi bayi yang hanya diberi diet susu
saja selama 12-24 bulan dan pada individu individu lainnya tertentu yang
vegetarian ketat; (2) gangguan absorpsi setelah gasterktomi; dan (3) kehilangan
darah menetap, seperti pada perdarahan saluran cerna lambat akibat polipi,
neoplasma, gastristis, varises esophagus, igesti aspirin, dan hemoroid.

4. Anemia Defesiensi Besi

Secara morfologis, keadaan ini diklasifikasikan sebagai anemia mikrositik


hemoglobin dengan penurunan kuantitatif sintesis hemoglobin.

5. Anemia Megaloblastik

Anemia megaloblastik (SDM besar) diklasifikasikan secara morfologis anemia


magrositik normokromik. Anemia megaloblastik sering disebabkan oleh
defesiensi vitamin B12 dan asam folat yang mengakibatkan gangguan sintesis
DNA, disertai kegagalan malurasi dan pembelahan inti (Guyton, 2001).

6. Anemia sel sabit

adalah anemia akibat kelainan genetik, yaitu ketika bentuk sel darah merah tidak
normal, sehingga mengganggu fungsinya untuk membawa darah yang kaya
oksigen ke seluruh tubuh. Pada keadaan normal, bentuk sel darah merah adalah
bundar dan lentur sehingga dapat dengan mudah bergerak dalam pembuluh darah.
Pada anemia sel sabit, sel darah merah berbentuk seperti sabit yang kaku dan
mudah menempel pada pembuluh darah kecil. Akibatnya, aliran darah yang
mengandung hemoglobin pembawa oksigen menjadi terganggu dan
mengakibatkan timbulnya rasa nyeri dan kerusakan jaringan.  sel sabit disebabkan
mutasi gen yang diturunkan dari kedua orangtua (harus keduanya) atau disebut
resesif autosomal. Pada anak yang mewarisi mutasi gen hanya dari salah satu
orangtua saja, akan menjadi pembawa penyakit anemia sel sabit dan tidak
menunjukkan gejala apa pun. Mutasi gen yang terjadi pada pengidap anemia
menimbulkan berbagai gangguan pada tubuh. Hal tersebut terjadi karena produksi
sel darah merah berbentuk tidak normal.

Berikut ini gejala umum dari anemia sel sabit, yaitu:

 Timbul sejak usia 4 bulan dan umumnya terlihat pada usia 6 bulan.
 Gejala umum yang dialami pengidap di antaranya pusing, pucat, jantung
berdebar, terasa mau pingsan, lemas, serta mudah lelah.
 Pada anak-anak, gejala dapat ditandai dengan pembesaran organ limpa.
 Munculnya rasa nyeri akibat krisis sel sabit, sebagai gejala lain. Rasa nyeri
timbul karena sel darah merah yang berbentuk sabit menempel pada pembuluh
darah dan menghambat aliran darah, saat melalui pembuluh darah kecil di
dada, perut, sendi, maupun tulang.
 Rentan terserang penyakit infeksi mulai dari yang ringan hingga yang berat,
akibat dari kerusakan organ limpa yang bertugas melawan infeksi.
 Pertumbuhan anak-anak yang mengidap anemia sel sabit dapat terhambat,
karena tubuh kekurangan sel darah merah sehat yang membawa nutrisi dan
oksigen.
 Terjadinya kerusakan retina dan menyebabkan gangguan penglihatan. Hal ini
dikarenakan aliran darah terhambat di dalam mata.

Diagnosis anemia sel sabit dilakukan dengan pemeriksaan analisis Hb untuk


melihat keberadaan haemoglobin S atau hemoglobin cacat yang menyebabkan
anemia sel sabit. Untuk menentukan seberapa berat anemia, jumlah dari Hb yang
normal juga akan diperiksa, sehingga dapat mengarahkan ke pemeriksaan
selanjutnya untuk melihat kemungkinan komplikasi. Sementara pengambilan sampel
air ketuban untuk mencari keberadaan gen sel sabit, bisa dilakukan untuk
mendiagnosis anemia sel sabit pada janin sejak dalam kandungan.

Berikut ini pengobatan yang dapat dilakukan untuk menangani gejala anemia sel sabit,
antara lain:

 Transplantasi sumsum tulang. Metode ini merupakan satu-satunya penanganan


yang dapat mengobati penyakit ini hingga tuntas.
 Penanganan krisis sel sabit dengan menghindari faktor pemicunya. Beberapa upaya
untuk mencegah pemicunya adalah dengan minum banyak cairan untuk
menghindari dehidrasi, mengenakan pakaian yang cukup hangat agar tidak
kedinginan, menghindari perubahan suhu secara tiba-tiba, tidak berolahraga berat,
hindari merokok dan alkohol, serta usahakan tetap tenang dan tidak stres. Dokter
akan memberikan obat jika krisis sel sabit berlanjut.
 Rasa nyeri ditangani dengan cara mengompres bagian yang sakit dengan handuk
hangat, mengalihkan pikiran dari rasa sakit, minum banyak cairan untuk melancarkan
aliran darah yang tersumbat, serta mengonsumsi obat pereda nyeri seperti
paracetamol yang dijual bebas di apotek.
 Mengatasi anemia, hal tersebut dilakukan dengan merangsang produksi sel darah
merah dengan konsumsi suplemen asam folat. Sementara, jika gejala anemia sudah
berat, maka jumlah sel darah merah harus ditingkatkan dengan tranfusi darah.
7. Polisitemia
Polisitemia adalah suatu keadaan yang ditandai oleh peningkatan abnormal sel darah,
terutama sel darah merah, disertai peningkatan konsentrasi hemoglobin perifer. Keadaan
ini harus dibedakan dengan polisitemia relatif, di mana terjadi peningkatan hemoglobin
yang tidak disertai peningkatan jumlah sel darah merah, misalnya karena dehidrasi dan
luka bakar. Berdasarkan penyebabnya, polisitemia dapat dibagi menjadi polisitemia vera
(primer) dan polisitemia sekunder. Polisitemia vera adalah gangguan sel punca yang
ditandai dengan kelainan sumsum tulang panhiperplastik, maligna, dan neoplastik. Pada
polisitemia vera, akan didapatkan peningkatan massa sel darah merah akibat produksi
yang tidak terkontrol. Peningkatan ini juga diikuti dengan peningkatan produksi sel darah
putih (myeloid) dan platelet (megakariotik) akibat klon abnormal sel punca
hematopoietik.

Polisitemia sekunder adalah peningkatan jumlah sel darah merah akibat suatu
penyakit dasar. Polisitemia sekunder lebih cocok disebut sebagai eritrositosis atau
eritrositemia sekunder. Sedangkan istilah polisitemia biasanya mengarah pada
polisitemia vera. Jenis ini biasanya dipicu oleh keadaan hipoksemia kronis, seperti
pada emfisema dan penyakit jantung bawaan sianotik, yang menyebabkan
peningkatan produksi eritropoietin di ginjal. Pengidap polisitemia vera biasanya
tidak sadar bahwa dia memiliki penyakit ini karena penyakit ini dapat muncul dan
diam selama bertahun-tahun tanpa menimbulkan gejala. Pada beberapa pengidap,
gejala-gejala seperti berikut dapat muncul:

 Nyeri kepala.
 Pusing.
 Lemah, letih, dan lesu.
 Pandangan kabur.
 Produksi keringat berlebih.
 Gatal pada kulit terutama setelah mandi.
 Nyeri dan bengkak pada satu sendi, yang paling sering pada jempol kaki.
 Sesak napas.
 Sensasi baal, kesemutan, rasa terbakar, atau kelemahan pada tangan
maupun kaki.
 Demam.
 Perut kembung, begah dan terasa penuh akibat pembesaran limpa.
 Perdarahan minor, seperti munculnya memar pada kulit.
 Penurunan berat badan signifikan yang tidak direncanakan.

Diagnosis Polisitemia Vera

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan


penunjang. Melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik, dokter akan mencari gejala
dari penyakit pada pengidap, kemudian dokter melakukan pemeriksaan penunjang
untuk membantu dalam penegakkan diagnosis. Pemeriksaan penunjang yang
dapat dilakukan antara lain adalah:

 Pemeriksaan laboratorium darah.


 Melalui pemeriksaan laboratorium darah, dokter dapat melihat beberapa
hal yang dapat membantu diagnosis, seperti:
o Peningkatan sel darah merah yang berlebihan.
o Peningkatan persentase dari sel darah merah.
o Peningkatan Hb yang berlebihan.
o Rendahnya kadar hormon eritropoetin.
o Aspirasi dan Biopsi sumsum tulang.
o Pemeriksaan gen.

B. Gangguan Sel Darah putih dan Sel Plasma


Pertahanan tubuh melawan infeksi adalah peran utama leukosit atau sel darah putih
(SDP). Batas normal jumlah sel darah putih berkisar dari 4000 sampai 10.000/mm3.
Lima jenis sel darah putih yang sudah diidentifikasi dalam darah perifer adalah
1) Neutrofit (50% sampai 75% SDP total)
2) Euosional (1% sampai 2%
3) Basofil (0,5% sampai 1% )
4) Monosit (6%)
5) Limfosit (25% sampai 33%).

Gangguan sel darah putih, leukositosis menunjukan peningkatan leukosit yang umumnya
melebihi 10.000/mm3. Granulositosis menunjukan peningkatan granulosit. Leukosit
meningkatkan sebagai respons fisiologis untuk melindungi tubuh dari serangan
mikroorganisme. Karena permintaan yang meningkatkan ini, bentuk neutrophil imatur,
yaitu yang dinamakan neutrophil batang , yang memasuki sirkulasi meningkat, proses ini
dinamakan pergeseran ke kiri.

1. Neutrofilia adalah jenis sel darah putih yang disebut juga leukosit
polimorfonuklear. Terdapat dua jenis gangguan yang terjadi jika
neutrofil mengalami kelainan, yaitu neutropenia dan neutrofilia.
Granulosit dilepaskan dari kelompok marginal sehingga jumlah
granulosit yang dapat di tarik ke dalam alat penentuan sampah
bertambah. Eosinofilia terjadi pada gangguan kulit seperti mikosis
fungoides dan eksema keadaan elergi seperti asma dan reaksi obat
dan infestasi parasite . Eosinofilia juga ditemukan pada keganasan
dan gangguan mieloproliferalif , seperti pada basofelia.

Monositosis ditemukan pada fase penyembuhan infeksi dan pada


penyanyian granuloma kronik seperti tuberkulososi dan
sarkoidosis. Limfositosis menunjukan jumlah limposit atipik yang
lebih besar pada mononucleosis, campak, parolitis, beberapa reaksi
elergi. Selain Limfositosis , pasien ini sering menunjukan
pembesaran hati, lien, dan kelenjar getah bening, yang semuanya
merupakan tempat pembentukan limposit.

2. Leukemia menunjukan jumlah leukosit yang menurun, dan


neutrophia menunjukan penurunan jumlah absolut neutrophil.
Karena peran neutrophil pada pertahanan penjamu, maka jumlah
neutrophil absolut yang kurang dari 1000/mm3 merupakan
predisposisi tertkena infeksi jumlah di bawah 500/mm3 merupakan
predisposisi terhadap infeksi yang mengancam kehidupan yang
sangat berbahaya.

Agranulosisitosis adalah keadaan yang sangat serius yang di tandai dengan jumlah
leukosit yang sangat rendah dan tidak adanya neutrophil. Obat obat yang sering dikaitkan
adalah agen agen kemoterapi mielosupresif (Menentukan sumsum tulang) yang
digunakan pada pengobatan keganasan hematologi dan keganasan lainnya.

C. Gangguan Koagulasi
1. Kelainan Vaskular
Berbagai kelainan dapat terjadi pada tiap tingkat mekanisme hermostatik .
Pasien dengan kelainan pada system vascular biasanya datang dengan pendarahan
kulit, dan sering mengenai membran mukosa. Pendarahan dapat diklasifikasikan
menjadi purpura elergi dengan purapura nonalergi. Pada kedua keadaan ini,
fungus trombosit dan faktor koagulasi adalah normal.
Terdapat banyak bentuk purpura nonalergi, yaitu pada menyakit penyakit
ini tidak terdapat elergi sejatih tetapi terjadi berbagai bentuk vaskulasi. Jaringan
penyokong pembuluh darah yang mengalami perburukan, dan tidak efektif, yang
terjadi seiring proses penuaan, mengakibatkan purpura senilis. Bentuk purpura
vascular yang dominan autosomal,telangiectasia hemoragik herediter (Penyakit
Oslerweber Rendu), terhadap pada epistakis dan perdarahan saluran cerna yang
interminet dan hebat.
Purpura elergik atau purpura anafilaktoid diduga diakibatkan oleh
kerusakan imunologik pada pembuluh darah, di tandai dengan perdarahan petekie
pada bagian tubuh yang tergantung dan juga mengenai bokong.

2. Trombositosis dan Trombositopenia, trombosit yang melekat pada kolagen


yang terpanjang pada pembuluh yang cederah, mengerut dan melepaskan ADP
serta faktor 3 trombosit, penting untuk mengawali system pembekuan. Kelainan
jumlah untuk fungsi trombosit (atau keduannya) dapat menggangu koagulasi
darah. Trombosit yang terlalu banyak atau terlalu sedikit mengganggu koagulasi
darah. Keadaan yang di tandai dengan trombosit berlebihan dinamakan
trombositosis atau trombositemia. Trombositosis primer timbul dalam bentuk
trombositemia primer yang terjadi proliferasi abnormal megakariosit, dengan
jumlah trombosit melebihi 1 juta. Trombosisitosis primer juga ditemukan dengan
gangguan mieloproliferalif lain, seperti polisitemia vera atau leukemia
granulogistik kronis, yang terjadi proliferasi abnormal megakariosit, bersama
dengan jenis sel sel lain, di dalam sumsum tulang belakang. Fatofisiologinya
masih belum jelas tetapi diyakini berkaitan dengan kelainan kualitatif intrinsik
fungsi trombosit, serta akibat peningkatan massa trombosit.
Trombositosis sekunder terjadi sebagai akibat adanya penyebab penyeba
lain, baik secara sementaras setelah stress atau olahraga dengan pelepasan
trombosit dari sumber cadangan ( dari lien), atau dapat menyertai keadaan
meningkatnya permintaan sumsum tulang seperti pada perdarahan, anemia
hemolitik, atau anemia defesiensi besi.Trombosit juga dapat dihancurkan oleh
produksi antibody yang diinduksi oleh obat, seperti yang ditemuantibodi yang
diinduksi oleh obat, seperti yangditemukan pada quinidine dan emas. Anti bodi
anti bodi ini ditemukan pada penyakit penyakit seperti lupus eritematosus
leukemia limfositik kronis, limfoma tertentu, dan pura pura trombositopenik
indiopatik (ITP). Fungsi trombosit dapat berupa (trombositopati) melalui berbagai
cara, yang mengakibatkan semakin lamanya perdarahan. Pengaruh aspirin dosis
tunggal dapat berlangsung selama 7 hingga 10 hari.
Protein Plasma, seperti yangditemukan pada makroglobulinemia dan
mielomia multiple menyelubungi trombosit, mengganggu adhesa trombosit,
retraksi bekuan, dan polimerisasi fibrin. Pada semua keadaan ini, dengan
memperbaiki gangguan yang mendasarinya akan memperbaiki fungsi trombosit
abnormal tersebut.
Hemofilia merupakan gangguan koagulasi herediter atau didapat yang
paling sering dijumpai, bermanifestasi sebagai episode perdarahan intermiten.
Intervensi dini pada saat timbul gejala gejala atau tanda tanda perdarahan paling
awal, serta pergantian faktor praoperatif pada persiapan untuk prosedur
pembedahan, penting dilakukan pada pasien pasien ini. Pengobatan ditunjukan
untuk meningkatkan faktor atau aktivitas yang berkurang ke tingkat normal dan
dengan demikian mencegah komplikasi. Sebagian besar pasien sekarang dipantau
di pusat pusat pengobatan hemophilia yang ditunjukan pada kebutuhan global
para pasien, dan pasien pasien tersebut memperoleh manfaat konsultasi dari tim
perawatan kesehatan konpherehensif. Kemajuan dalam perawatan preventif,
terapi fisik, dan mengajari ke biasaan kesehatan yang baik serta pemberian sendiri
konsentrat faktor faktor yang dilakukan dirumah sangat memajukan kualitas
hidup pada populasi pasien pasien ini. Penghambat antibody yang ditunjukan
untuk faktor koagulasi spesifik terjadi pada 5% sampai 10% pasien dengan
defesiensi faktor VIII dan lebih jarang pada faktor IX.
Penyakit von Willebrand adalah gangguan koagulasi herediter yang
paling sering terjadi. Dikenal berbagai subtype, tetapi yang paling sering adalah
tipe I. Kecuali tipe II dan III yang autosomal resesif, semua tipe diturunkan secara
dominan autosomal, sama sama terjadi pada laki laki dan perempuan. Bergantung
pada subtype dan beratnya penyakit, spectrum perdarahan dapat jarang terjadi,
perdarahan mukokutaneus (kulit dan membrane mukosa) ringan sampai sedang
perdarahan akibat trauma atau perbedaan atau perdarahan saluran yang
mengancam jiwa. Sering terjadi perdarahan saluran cerna, epistaksis, dan
menorangi.
3. Defisiensi faktor plasma didapat (Koagulasi Intravaskular Diseminata/DIC)
Defesiensi faktor plasma didapat berkaitan dengan penularan produksi faktor
faktor koagulasi, seperi yang ditemukan pada penyakit hati atau defesiensi
vitamin K, atau peningkatan konsumsi yang menyertai koagulasi intravascular
diseminati (DIC) atau fibrinolysis. Karena hati merupakan tempat umum sintesis
faktor faktor II,V,VII,IX,X, gangguan hati berat (yaitu,sirosis) akan mengubah
respons hemostatik. Hipertensi porta pada penyakit hati mengakibatkan
splenomegaly konggestif disertai trombositopenia, serta varises esophagus.
Keadaan keadaan ini, bersama dengan gangguan koagulasi, dapat menyebabkan
perdarahan massif.PT,PTT, dan masa perdarahan memanjang.
 Koagulasi Intravaskular Diseminata
Koagulasi intravascular diseminata (DIC) adalah suatu sindrom kompleks
yang terdiri atas banyak segi, yang system homeostatic dan fisiologik
normalnya mempertahankan darah tetap cair berubah menjadi suatu
system patologik yang menyebabkan terbentuknya trombi fibrin difus,
yang menyumbat mikrovaskular tubuh.
 DIC bukan merupakan penyakit , tetapi akibat proses penyakit yang
mendasarinya. Perubahan pada segala komponen system vascular , yaitu
dinding pembuluh darah, protein plasma, dan trombosit dapat
menyebabkan suatu gangguan konsumtif . Masuknya zat atau aktivitas
prokoagula kedalam sirkulasi darah mengawali sindrom tersebut dan dapat
terjadi pada segala kondisi yang tromboplasin jaringannya dengan
inisialisasi jalur pembekuan ekstrinsik. Maka salah satu penyebab
tersering DIC adalah solusio plasenta (solusi plasenta, plasenta lepas
secara dini). Keadaan ini menyebabkan retensi produk produk konsepsi
(plasenta, janin)nyang menyebabkan nekrosis dan kerusakan jaringan
lebih lanjut. Penanganan ditunjukan pada perbaikan mekanisme yang
mendasarinya, yang mungkin memerlukan penggunaan antibiotic, agen
agen kemoterapeutik, dukungan kardiovaskular, serta pada keadaan
retensioplasenta, ini uterus dikeluarkan. Bila terjadi pendarahan yang
hebat , peran heparin, yang merupakan suatu antikoagulan antitrombin
yang kuat, masih sangat kontroversial. Heparin menentralkan aktivitas
thrombin , dan dengan demikian menghambat penggunaan faktor faktor
pembekuan dan pengendapan fibrin. Heparin dosis rendah telah berhasil
digunakan bersama dengan agen kemoterapeutik pada penghambatan
leukemia promielositik , untuk mencegah DIC akibat perlepasan
tromboplastin oleh granula leukosit. Dapat terjadi juga dengan keadaan
hiperkoagulasi yang disertai dengan peningkatan insiden thrombosis.

Anda mungkin juga menyukai