BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
ISI
j. Kelebihan kafein
k. Merokok
3.
Osteoporosis anak
Osteoporosis pada anak disebut juvenile idiopathic osteoporosis.
C.
ETIOLOGI
a)
Osteoporosis postmenopausal terjadi karena kekurangan estrogen (hormon
utama pada wanita), yang membantu mengatur pengangkutan kalsium ke dalam
tulang pada wanita. Biasanya gejala timbul pada wanita yang berusia di antara 5175 tahun, tetapi bisa mulai muncul lebih cepat ataupun lebih lambat. Tidak semua
wanita memiliki risiko yang sama untuk menderita osteoporosis postmenopausal,
wanita kulit putih dan daerah timur lebih mudah menderita penyakit ini daripada
wanita kulit hitam.
b)
Osteoporosis senilis terjadi karena kekurangan kalsium yang berhubungan
dengan usia dan ketidakseimbangan di antara kecepatan hancurnya tulang dan
pembentukan tulang yang baru. Senilis berarti bahwa keadaan ini hanya terjadi
pada usia lanjut. Penyakit ini biasanya terjadi pada usia di atas 70 tahun dan 2 kali
lebih sering menyerang wanita. Wanita seringkali menderita osteoporosis senilis
danpostmenopausal.
Kurang dari 5% penderita osteoporosis juga mengalami osteoporosis sekunder,
yang disebabkan oleh keadaan medis lainnya atau oleh obat-obatan.Penyakit ini
bisa disebabkan oleh gagal ginjal kronis dan kelainan hormonal (terutama tiroid,
paratiroid dan adrenal) dan obat-obatan (misalnya kortikosteroid, barbiturat, antikejang dan hormon tiroid yang berlebihan). Pemakaian alkohol yang berlebihan dan
merokok bisa memperburuk keadaan ini.
c)
Osteoporosis juvenil idiopatik merupakan jenis osteoporosis yang
penyebabnya tidak diketahui. Hal ini terjadi pada anak-anak dan dewasa muda
yang memiliki kadar dan fungsi hormon yang normal, kadar vitamin yang normal
dan tidak memiliki penyebab yang jelas dari rapuhnya tulang.
D. FAKTOR RESIKO
Menurut WHO, Faktor resiko yang memudahkan Osteoporosis:
a)
Asupan zat gizi yang tidak seimbang khususnya kurang kalsium dan vitamin D
b)
Proses penuaan
c)
Faktor keturunan
Menurut artikel kesehatan, factor resiko osteoporosis,yaitu:
a) Wanita. Resiko osteoporosis pada wanita lebih tinggi daripada pria karena,
umumnya massa tulangnya lebih kecil dan proses menopause pada Wanita.
b) Usia. Resiko osteoporosis meningkat 1-2 kali setiap bertambah usia 10 tahun
c) Kebiasaan merokok dan konsumsi minuman beralkohol
d) Ras Asia dan Kaukasia beresiko tinggi untuk mengalami osteoporosis daripada
ras Afrika.
e) Genetik. Riwayat osteoporosis atau patah tulang di usia lebih dari;50 tahun pada
keluarga juga merupakan faktor resiko osteoporosis.
f) Penyakit kronis seperti diabetes, penyakit hati, ginjal,dapat meningkatkan resiko
osteoporosis.
g) Asupan kalsium dan vitamin D yang kurang adalah faktor resiko penting dalam
osteoporosis
h) Penggunaan obat-obatan seperti steroid, obat anti kejang (Phenobarbital dan;
Phenytoin), antasida yang mengandung aluminium, metotreksat, siklosporin A
merupakan faktor resiko osteoporosis karena menyebabkan pengeluaran kalsium
dari tulang dalam jumlah banyak.
E.
MENIFESTASI KLINIS
Adapun gejala-gejala dari osteoporosis (WHO),yaitu:
a)
Sakit punggung (semakin parah jika telah terjadi patah tulang)
b)
Nyeri tulang (atau biasa orang awam kenal dengan sensasi ngilu)
c)
Fraktur
Fraktur umumnya terjadi ketika penyakit ini sudah dalam tahap lanjut, di mana
penipisan tulang yang parah dan kerusakan sudah terjadi.
a) Tinggi berkurang (akibat pembungkukan tulang), Postur bungkuk (kifosis)
b) Sakit leher (semakin parah jika terjadi patah tulang belakang)
Gejala-gejala osteoporosis menurut para tim medis lain,yaitu:
a) Nyeri tulang akut.. Nyeri terutama terasa pada tulang belakang, nyeri dapat
dengan atau tanpa fraktur yang nyata dan nyeri timbul mendadak.
b) Nyeri berkurang pada saat beristirahat di tempat tidur
c) Nyeri ringan pada saat bangun tidur dan akan bertambah bila melakukan
aktivitas
d) Deformitas tulang. Dapat terjadi fraktur traumatic pada vertebra dan
menyebabkan kifosis angular yang menyebabkan medulla spinalis tertekan
sehingga dapat terjadi paraparesis.
e) Gambaran klinis sebelum patah tulang, klien (terutama wanita tua) biasanya
datang dengan nyeri tulang belakang, bungkuk dan sudah menopause sedangkan
gambaran klinis setelah terjadi patah tulang, klien biasanya datang dengan keluhan
punggung terasa sangat nyeri (nyeri punggung akut), sakit pada pangkal paha, atau
bengkak pada pergelangan tangan setelah jatuh.
f) Kecenderungan penurunan tinggi badan
g) Postur tubuh kelihatan memendek.
F.
PATOFISIOLIGI
Osteoforosis terjadi karena adanya interaksi yang menahun antara factor genetic
dan factor lingkungan.
Factor genetic meliputi:
- usia jenis kelamin, ras keluarga, bentuk tubuh, tidak pernah melahirkan.
Factor lingkungan meliputi:
- merokok, Alcohol, Kopi, Defisiensi vitamin dan gizi, Gaya hidup, Mobilitas,
anoreksia nervosa dan pemakaian obat-obatan.
Kedua factor diatas akan menyebabkan melemahnya daya serap sel terhadap
kalsium dari darah ke tulang, peningkatan pengeluaran kalsium bersama urin, tidak
tercapainya masa tulang yang maksimal dengan resobsi tulang menjadi lebih cepat
yang selanjutnya menimbulkan penyerapan tulang lebih banyak dari pada
pembentukan tulang baru sehingga terjadi penurunan massa tulang total yang
disebut osteoporosis.
Di samping penuaan dan menopause, penipisan tulang diakibatkan oleh pemberian
steroid sehingga mengakibatkan penurunan pembentukan tulang (bone formation)
dan peningkatan resorpsi tulang (bone resorption). Steroid menghambat sintesis
kolagen tulang oleh osteoblast yang telah ada, dan mencegah transformasi sel-sel
prekursor menjadi osteoblast yang dapat berfungsi dengan baik. Di samping itu,
steroid juga sangat mereduksi sintesis protein. Gambaran histomorfometrik
menunjukkan penurunan tingkat aposisi mineral, dan penipisan dinding tulang,
yang diduga karena umur osteoblast yang semakin pendek. Efek steroid terhadap
osteoblast juga melalui gangguan atas respons osteoblast terhadap hormon
paratiroid, prostaglandin, sitokin, faktor pertumbuhan, dan 1,25-dihydrozy vitamin
D. Sintesis dan aktivitas faktor-faktor parakrin lokal mungkin juga terganggu.
Dibandingkan proses penuaan, penipisan tulang dalam osteoporosis akibat steroid
lebih luas, karena permukaan-permukaan yang mengalami resorpsi dan hambatan
formasi tulang juga lebih luas.
Berbeda dengan efek steroid atas pembentukan tulang, penelitian mengenai
gangguan resorpsi tulang masih terbatas. Diduga, pengaruh steroid terhadap
resorpsi tulang berlangsung melalui hormon paratiroid. Penelitian pada hewan
percobaan menunjukkan bahwa setelah pengangkatan kelenjar paratiroid, respons
osteoklastik terhadap steroid sepenuhnya hilang, sehingga disimpulkan bahwa
resorpsi tulang terutama dikendalikan oleh hormon paratiroid. Namun, kebanyakan
penelitian pada manusia tidak menemukan peningkatan kadar hormon paratiroid
setelah pemberian terapi steroid. Penelitian lain menemukan peningkatan fragmenfragmen hormon paratiroid, tetapi kadar hormon yang utuh tidak terpengaruh.
Efek steroid terhadap absorpsi kalsium dalam usus tidak sama di setiap segmensegmen usus tidak sama. Absorpsi di duodenum lebih kecil, tetapi absorpsi di kolon
meningkat. Di samping penurunan absorpsi kalsium, steroid dapat meningkatkan
ekskresi kalsium dalam urine. Pada pasien dengan pemberian steroid jangka
panjang, hiperkalsiuria kemungkinan besar akibat mobilisasi kalsium di tulangtulang dan penurunan reabsorpsi kalsium di tubuli renal. Steroid mungkin
mengganggu metabolisme vitamin D, walaupun dugaan ini belum didasari bukti
kuat. Kadar 1,25 dihydroxyvitamin D dalam serum menurun akibat pemberian
steroid, tetapi perubahan dari 25-hydroxyvitamin D menjadi 1,25 dihydroxyvitamin
D tidak mengalami perubahan.
Steroid eksogen akan menghambat sekresi gonadotropin dari hipofisis, sehingga
fungsi gonad terganggu. Akibatnya, produksi estrogen dan testosteron menurun.
Steroid menghambat sekresi LH, dan menurunkan produksi estrogen yang
difasilitasi oleh FSH. Efek steroid yang lain adalah menurunkan sekresi hormon seks
adrenal. Defisiensi estrogen dan pemakaian steroid saling memperkuat efek
terhadap laju penipisan tulang. Ketika bone thinning terjadi, bagian trabekular lebih
dulu terpengaruh dibandingkan bagian kortikal. Dengan demikian fraktur lebih
sering terjadi di tulang-tulang pipih.
Hiperkalsiuria dan bone thinning terjaadi dalam 6 bulan sampai 12 bulan seterlah
pemakaian steroid eksogen. Setelah itu, laju penipisan tulang melambat hingga 2
sampai 3 kali dibandingkan keadaan normal. Risiko osteoporosis akibat steroid juga
meningkat ketika dosis yang diberikan lebih tinggi. Belum jelas, apakah risiko timbul
akibat pemberian dosis steroid yang lebih tinggi (prednison > 7,5 mg/d) dalam
jangka waktu pendek (< 6 bulan), atau dosis yang rendah (prednison < 7,5 mg/d)
tetapi dalam waktu lebih lama (> 6 bulan). Yang jelas, risiko osteoporosis meningkat
dengan dosis kumulatif steroid lebih tinggi. Secara umum, dosis yang rendah lebih
aman dibandingkan dosis tinggi, namun tidak jelas berapa dosis yang benar-benar
aman. Laju penipisan tulang bisa meningkat hanya dengan pemberian 5-10 mg
prednison setiap hari dan juga dengan steroid melalui inhalasi. Pemberian steroid
dalam dosis berapapun perlu disertai dengan penilaian risiko osteoporosis dan
pemantauan secara terus-menerus untuk mencegah fraktur.
Secara skematis, patofisiologi osteoporosis akibat pemberian steroid dapat
digambarkan sebagai 2 proses utama. Proses yang pertama adalah penurunan
pembentukan tulang dan kenaikan resorpsi tulang. Terapi steroid secara kronik
menurunkan umur osteoblast dan meningkatkan apoptosis. Pemberian steroid juga
meningkatkan maturasi dan kegiatan osteoclast dan mengakibatkan antiapoptotik
secara langsung. Dengan menurunkan absorpsi kalsium dari usus dan
meningkatkan ekskresi kalsium urine, steroid mengakibatkan resoprsi tulang dan
hiperparatiroidisme sekunder. Steroid menghambat produksi hormon steroid seksual
dan sekresi dari adrenal, ovarium dan testis yang juga mengakibatkan resorpsi
tulang.
G. KOMPLIKASI
Osteoporosis mengakibatkan tulang secara progresif menjadi panas, rapuh dan
mudah patah. Osteoporosis sering mengakibatkan fraktur. Bisa terjadi fraktur
kompresi vertebra torakalis dan lumbalis, fraktur daerah kolum femoris dan daerah
trokhanter, dan fraktur colles pada pergelangan tangan.
H. PENATALAKSAAN
a) Diet kaya kalsium dan vitamin D yang mencukupi sepanjang hidup, dengan
peningkatan asupan kalsium pada permulaan umur pertengahan dapat melindungi
terhadap demineralisasi tulang
b) Pada menopause dapat diberikan terapi pengganti hormone dengan estrogen
dan progesterone untuk memperlambat kehilangan tulang dan mencegah
terjadinya patah tulang yang diakibatkan.
c) Medical treatment, oabt-obatan dapat diresepkan untuk menangani osteoporosis
termasuk kalsitonin, natrium fluoride, dan natrium etridonat
d) Pemasangan penyangga tulang belakang (spinal brace) untuk mengurangi nyeri
punggung.
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium (misalnya : kalsium serum, fosfat serum, fosfatase alkali,
eksresi kalsium urine,eksresi hidroksi prolin urine, LED).Pemeriksaan ini untuk
menilai kecepatan bone turnover.Penilaian bone turnover rate dilakukan dengan
membandingkan aktivitas formasi tulang dengan aktivitas resorpsi tulang. Apabila
aktivitas pembentukan/formasi tulang lebih kecil dibandingkan dengan aktivitas
resorpsi tulang maka pasien ini memiliki risiko tinggi terhadap osteoporosis.
Evaluasi biokimia ini dilakukan melalui pemeriksaan darah dan urine pagi hari.
1) Petanda untuk menilai aktivitas pembentukan tulang (bone formation)
a. Osteocalcin yaitu protein yang dihasilkan oleh osteoblas dyang berfungsi
membantu proses mineralisasi tulang.
b. Alkali fosfatase tulang yaitu enzim yang dihasilkan osteoblas yang berfungsi
sebagai katalisator proses mineralisasi tulang.
2) Petanda untuk menilai aktivitas resorpsi tulang (bone resorption)
a. Deoxypyridinolin/ -Crosslink yaitu protein penguat mekanik tulang yang
dilepaskan ke dalam peredaran darah dan dikeluarkan melalui urin jika terjadi
proses resorpsi/ penyerapan tulang.
b. CTx (C-Telopeptide) yaitu hasil pemecahan protein kolagen tipe 1 yang spesifik
untuk tulang. Selain itu, pemeriksaan kadar CTx dan deoxypyridinolin dapat
digunakan untuk menilai/pemantauan keberhasilan terapi (sebelum pemeriksaan
densitas mineral tulang berikutnya).
3) Radiologi
Pemeriksaan radiologi vertebra torakalis dan lumbalis AP dan lateral dilakukan
untuk mencari adanya fraktur. Nilai diagnostik pemeriksaan radiologi biasa untuk
mendeteksi osteoporosis secara dini kurang memuaskan karena pemeriksaan ini
baru dapat mendeteksi osteoporosis setelah terjadi penurunan densitas massa
tulang lebih dari 30%..
4) Pemeriksaan bone densitometri (DEXA)
Pemeriksaan densitometri tulang dilakukan menggunakan alat DEXA. Biasanya
digunakan untuk mengukur densitas massa tulang pada daerah lumbal, femur
proksimal, lengan bawah distal dan seluruh tubuh. Secara rutin, untuk diagnosis
osteoporosis cukup diperiksa densitometri pada vertebra lumbal dan pangkal paha
(femur proksimal). Bila terdapat keterbatasan biaya, dapat dipertimbangkan
pemeriksaan hanya pada 1 daerah, yaitu pada daerah lumbal untuk wanita yang
berumur kurang dari 60 tahun, atau daerah pangkal paha (femur proksimal) pada
wanita yang berumur lebih dari 60 tahun dan pada pria.
5) Alat pemeriksaan Densitometri
Mendiagnosis osteoporosis, digunakan T-score. T score yang kurang dari 1 SD
dibawah nilai rata-rata BMD normal memiliki risiko fraktur dua kali lipat. Untuk
osteoporosis sekunder, nilai Z-score < [-] 2 sangat penting dalam penegakkan
diagnosis.
dipertanyakan.
2. Pengkajian psikososial. Perlu mengkaji konsep diri pasien terutama citra diri
khususnya pada klien dengan kifosis berat. Klien mungkin membatasi interaksi
social karena perubahan yang tampak atau keterbatasan fisik, misalnya tidak
mampu duduk dikursi dan lain-lain. Perubahan seksual dapat terjadi karena harga
diri rendah atau tidak nyaman selama posisi interkoitus. Osteoporosis menyebabkan
fraktur berulang sehingga perawat perlu mengkaji perasaan cemas dan takut pada
pasien.
3. Pola aktivitas sehari-hari. Pola aktivitas dan latihan biasanya berhubungan
dengan olahraga, pengisian waktu luang dan rekreasi, berpakaian, mandi, makan
dan toilet. Beberapa perubahan yang terjadi sehubungan dengan dengan
menurunnya gerak dan persendian adalah agility, stamina menurun, koordinasi
menurun, dan dexterity (kemampuan memanipulasi ketrampilan motorik halus)
menurun.
Adapun data subyektif dan obyektif yang bisa didapatkan dari klien dengan
osteoporosis adalah :
Data subyektif :
1. Klien mengeluh nyeri tulang belakang
2. Klien mengeluh kemampuan gerak cepat menurun
3. Klien mengatakan membatasi pergaulannya karena perubahan yang tampak dan
keterbatasan gerak
4. Klien mengatakan stamina badannya terasa menurun
5. Klien mengeluh bengkak pada pergelangan tangannya setelah jatuh
6. Klien mengatakan kurang mengerti tentang proses penyakitnya
7. Klien mengatakan buang air besar susah dan keras
Data obyektif ;
1. tulang belakang bungkuk
2. terdapat penurunan tinggi badan
3. klien tampak menggunakan penyangga tulang belakang (spinal brace)
4. terdapat fraktur traumatic pada vertebra dan menyebabkan kifosis angular.
5. klien tampak gelisah
6. klien tampak meringis
b)
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik menggunakan metode 6 B(Breathing, blood, brain,
bladder, bowel dan bone) untuk mengkaji apakah di temukan ketidaksimetrisan
rongga dada, apakah pasien pusing, berkeringat dingin dan gelisah. Apakah juga
ditemukan nyeri punggung yang disertai pembatasan gerak dan apakah ada
penurunan tinggi badan, perubahan gaya berjalan, serta adakah deformitas tulang
c)
Pemeriksaan diagnostic
1. Radiology
2. CT scan
3. Pemeriksaan laboratorium
B.
DIAGNOSA
1.
Nyeri akut yang berhubungan dengan dampak sekunder dari fraktur vertebra
ditandai dengan klien mengeluh nyeri tulang belakang, mengeluh bengkak pada
pergelangan tangan, terdapat fraktur traumatic pada vertebra, klien tampak
meringis.
2.
Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan disfungsi sekunder
akibat perubahan skeletal (kifosis) , nyeri sekunder, atau fraktur baru ditandai
dengan klien mengeluh kemampuan gerak cepat menurun, klien mengatakan
badan terasa lemas, stamina menurun, dan terdapat penurunan tinggi badan.
3.
Risiko cedera yang berhubungan dengan dampak sekunder perubahan
skeletal dan ketidakseimbangan tubuh ditandai dengan klien mengeluh kemampuan
gerak cepat menurun, tulang belakang terlihat bungkuk.
4.
Kurang perawatan diri yang berhubungan dengan keletihan atau gangguan
gerak ditandai dengan klien mengeluh nyeri pada tulang belakang, kemampuan
gerak cepat menurun, klien mengatakan badan terasa lemas dan stamina menurun
serta terdapat fraktur traumatic pada vertebra dan menyebabkan kifosis angular.
5.
Gangguan citra diri yang berhubungan dengan perubahan dan
ketergantungan fisik serta psikologis yang disebabkan oleh penyakit atau terapi
ditandai dengan klien mengatakan membatasi pergaulan dan tampak
menggunakan penyangga tulang belakang (spinal brace).
6.
Gangguan eleminasi alvi yang berhubungan dengan kompresi saraf
pencernaan ileus paralitik ditandai dengan klien mengatakan buang air besar susah
dan keras.
7.
Kurang pengetahuan mengenai proses osteoporosis dan program terapi yang
berhubungan dengan kurang informasi, salah persepsi ditandai dengan klien
mengatakan kurang ,mengerti tentang penyakitnya, klien tampak gelisah.
D. EVALUASI
Hasil yang diharapkan meliputi :
1. Nyeri berkurang
2. Terpenuhinya kebutuhan mobilitas fisik
3. Tidak terjadi cedera
4. Status psikologis yang seimbang
5. Menunjukkan pengosongan usus yang normal
6. Terpeneuhinya kebutuhan pengetahuan dan informasi
2.1.2 OSTEOARTHRITIS
A. DEFINISIO
steoarthritis adalah suatu penyakit sendi degeneratif yang terutama terjadi pada
orang yang berusia lanjut dan ditandai oleh degenerasi kartilago artikularis,
perubahan pada membran sinovia serta hipertrofi tulang pada tepinya. Rasa nyeri
dan kaku, khususnya setelah melakukan aktivitas yang lama akan menyertai
perubahan degeneratif tersebut.
Osteoartritis merupakan penyakit degeneratif kronis dari sendi-sendi. Pada penyakit
ini terjadi penurunan fungsi tulang rawan terutama yang menopang sebagian dari
berat badan dan seringkali pada persendian yang sering digunakan.
Osteoarthritis merupakan gangguan yang umum pada usia lanjut, sering dianggap
sebagai konsekuensi dari perubahan-perubahan dalam tulang dengan lanjutnya
usia. Penyakit ini biasa terjadi pada umur 50 tahun ke atas dan pada orang
kegemukan (obesitas), tetapi bisa juga disebabkan oleh kecelakaan persendian .
Pada usia lanjut tampak dua hal yang khas, yaitu rasa sakit pada persendian dan
terasa kaku jika digerakkan.
B. INSIDENS, ETIOLOGI DAN PATOLOGI
Osteoarthritis merupakan bentuk penyakit sendi yang paling sering ditemukan.
Diperkirakan dari orang berusia >35 tahun, menunjukkan bukti radiografik yang
memperlihatkan penyakit osteoarthritis dengan prevalensi yang terus meningkat
sampai 80 tahun. Meskipun mayoritas pasien, khususnya yang berusia muda,
menderita penyakit ringan dan relatif asimptomatik, osteoarthritis merupakan salah
satu dari beberapa penyebab utama yang menimbulkan disabilitas orang yang
berusia > 65 tahun.
Osteoarthritis mungkin bukan satu penyakit melainkan beberapa penyakit yang
semuanya memperlihatkan gambaran klinis dan patologis yang serupa. Akan tetapi
terdapat dua perubahan morfologis utama, yaitu kerusakan fokal tulang rawan
sendi yang progresif dan pembentukan tulang baru pada dasar lesi tulang rawan
dan tepi sendi yang dikenal sebagai osteofit. Penelitian menunjukkan bahwa
perubahan metabolisme tulang rawan sendi sudah timbul sejak awal proses
patologis osteoarthritis. Perubahan metabolisme tulang tersebut berupa
peningkatan aktivitas enzim-enzim yang merusak makromolekul matriks tulang
rawan sendi yaitu kolagen dan proteoglikan. Perusakan ini membuat kadar
proteoglikan dan kolagen berkurang sehingga kadar air tulang rawan sendi juga
berkurang.
Hal tersebut diatas membuat tulang rawan sendi rentan terhadap beban biasa.
Permukaan tulang rawan sendi menjadi tidak homogen, terpecah-pecah dan timbul
robekan-robekan. Dalam hal inilah, diduga pembentukan tulang baru yaitu osteofit
adalah merupakan mekanisme pertahanan tubuh untuk memperbesar permukaan
tulang dibagian inferior tulang rawan sendi yang telah rusak tersebut. Dengan
menambah luas permukaan tulang dibawahnya diharapkan distribusi beban yang
ditanggung persendian tersebut dapat merata.
Beberapa faktor turut terlibat dalam timbulnya osteoarthritis ini. Penambahan usia
semata tidak menyebabkan osteoarthritis, sekalipun perubahan selular atau matriks
pada kartilago yang terjadi bersamaan dengan penuaan kemungkinan menjadi
predisposisi bagi lanjut usia untuk mengalami osteoarthritis. Faktor-faktor lain yang
diperkirakan menjadi predisposisi adalah obesitas, trauma, kelainan endokrin
(misalnya diabetes mellitus) dan kelainan primer persendian (misalnya arthritis
inflamatorik).
Osteoartritis ( yang juga disebut penyakit degeneratif sendi, hipertrofi artritis,
artritis senescent, dan osteoartrosis ) adalah gangguan yang berkembang secara
lambat, tidak simetris, dan noninflamasi yang terjadi pada sendi-sendi yang
menahan berat tubuh. Osteoartritis ditandai oleh degerasi kartilago sendi dan oleh
pembentukan tulang baru pada bagian pinggir sendi. Kerusakan pada sendi-sendi
akibat penuaan diperkirakan memainkan suatu peran penting dalam perkembangan
osteoartritis. Perubahan degeratif menyebabkan kartilago yang secara normal
halus, putih, tembus cahaya menjadi buram dan kuning, dengan permukaan yang
kasar dan area malacia (pelunakan). Ketika lapisan kartilago menjadi lebih tipis,
permukaan tulang tumbuh semakin dekat satu sama lain. Inflamasi sekunder dari
membran sinovial mungkin mengikuti. Pada saat permukaan sendi menipiskan
kartilago, tulang subkondrial meningkat kepadatannya dan menjadi sklerosis.
Ada beberapa faktor resiko dari Osteoarthritis, diantaranya
1. Umur.OA jarang dijumpai pada usia dibawah 40 tahun dan sering ditemui pada
orang denganusia lebih dari 60 tahun.
2. Jenis kelaminPada usia <45 tahun, frekuensi OA pada wanita dan laki laki
dengan perbandingansama, tetapi pada usia >50 tahun, frekuensi OA banyak
terdapat pada wanita daripadalaki laki.
3. Suku bangsaOA lebih sering dijumpai pada orang amerika asli (Indian) dari pada
orang kulit putih.
4. Genetik Faktor herediter berperan dalam timbulnya OA.
5. Kegemukan dan Penyakit metabolik Berat badan yang berlebih nyata berkaitan
dengan meningkatnya resiko untuk timbulnyaOA. Ada hubungannya antara penyakit
OA dengan kelainan metabolik. Pasien pasienOA ternyata mempunyai resiko
penyakit jantung coroner dan hipertensi yang lebih tinggidibandingkan dengan
orang orang tanpa OA.
6. Cedera sendi , Pekerjaan dan Olah ragaPekerjaan berat maupun dengan
pemakaian satu sendi yang terus menerus berkaitandengan peningkatan resiko OA.
Demikian juga cedera sendi dan Olah raga yang seringmenimbulkan cedera sendi
berkaitan dengan resiko OA.
C. TANDA DAN GEJALA
Gejala klinis osteoartritis bervariasi, bergantung pada sendi yang terkena, lama dan
intensitas penyakitnya, serta respons penderita terhadap penyakit yang
dideritanya. Pada umumnya pasien osteoartritis mengatakan bahwa keluhankeluhannya sudah berlangsung lama, tetapi berkembang secara perlahan-lahan.
Secara klinis, osteoartritis dapat dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu :
1. Subklinis
Pada tingkatan ini belum ada keluhan atau tanda klinis lainnya. Kelainan baru
terbatas pada tingkat seluler dan biokimiawi sendi.
2. Manifest
Pada tingkat ini biasanya penderita datang ke dokter. Kerusakan rawan sendi
bertambah luas disertai reaksi peradangan.
3. Dekompensasi
Rawan sendi telah rusak sama sekali, mungkin terjadi deformitas dan kontraktur.
Pada tahap ini biasanya diperlukan tindakan bedah.
Keluhan-keluhan umum yang sering dirasakan penderita osteoartritis adalah
sebagai berikut :
1. Nyeri Sendi
Merupakan keluhan utama yang sering kali membawa pasien datang ke
dokter.Nyeri biasanya bertambah dengan gerakan dan sedikit berkurang dengan
istirahat.Beberapa gerakan tertentu menimbulkan rasa sakit yang berlebih
dibanding gerakan lain. Pada osteoartritis terdapat hambatan sendi yang biasanya
bertambah berat dengan pelan-pelan sejalan dengan bertambahnya rasa nyeri. Asal
nyeri dapat dibedakan, yaitu :
a. Peradangan
Nyeri yang berasal dari peradangan biasanya bertambah pada pagi hari atau
setelah istirahat beberapa saat dan berkurang setelah bergerak. Hal ini karena
sinovitis sekunder, penurunan pH jaringan, pengumpulan cairan dalam ruang sendi
yang menimbulkan pembengkakan dan peregangan simpai sendi. Semua ini
menimbulkan rasa nyeri.
b. Mekanik
Nyeri akan lebih dirasakan setelah melakukan aktivitas lama dan akan berkurang
pada waktu istirahat. Mungkin ada hubungannya dengan keadaan penyakit yang
telah lanjut dimana rawan sendi telah rusak berat. Nyeri biasanya terlokalisasi
hanya pada sendi yang terkena, tetapi dapat juga menjalar
2. Kaku Sendi
Merupakan keluhan pada hampir semua penyakit sendi dan osteoartritis yang tidak
begitu berat. Pada beberapa pasien, nyeri dan kaku sendi dapat timbul setelah
istirahat beberapa saat misalnya sehabis duduk lama atau bangun tidur.
Berlawanan dengan penyakit inflamasi sendi seperti artritis rheumatoid, dimana
pada artritis rheumatoid kekakuan sendi pada pagi hari berlangsung lebih dari 1
jam,maka pada osteoartritis kekakuan sendi jarang melebihi 30 menit.
3. Pembengkakan Sendi
Merupakan reaksi peradangan karena pengumpulan cairan dalam ruang sendi.
Biasanya teraba panas tanpa adanya kemerahan. Pada sendi yang terkena akan
terlihat deformitas yang disebabkan terbentuknya osteofit. Tanda-tanda adanya
reaksi peradangan pada sendi (nyeri tekan, gangguan gerak, rasa hangat yang
merata, dan warna kemerahan) mungkin dijumpai pada osteoartritis karena adanya
sinovitis.
4. Perubahan Gaya Jalan
Salah satu gejala yang menyusahkan pada pasien osteoartritis adalah adanya
perubahan gaya jalan. Hampir pada semua pasien osteoartritis, pergelangan kaki,
tumit, lutut atau panggulnya berkembang menjadi pincang. Gangguan berjalan dan
gangguan fungsi sendi yang lain merupakan ancaman besar untuk kemandirian
pasien lanjut usia.
5. Gangguan Fungsi
Timbul karena ketidakserasian antara tulang pembentuk sendi. Adanya kontraktur,
kemungkinan adanya osteofit, nyeri dan bengkak merupakan penyebab yang
menimbulkan gangguan fungsi. Pada osteoartritis tidak terdapat gejala-gejala
sistemik seperti kelelahan, penurunan berat badan atau demam.
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium berguna untuk menyingkirkan penyakit sendi lain, karena
tidak ada satupun yang spesifik untuk osteoartritis. Pemeriksaan hematologis
umumnya normal, jumlah leukosit dan laju endap darah normal, kecuali jika disertai
infeksi lain. Cairan sendi dapat diambil dari sendi manapun yang bengkak dan
tindakan ini dapat mengurangi rasa nyeri penderita. Pada osreoartritis, cairan sendi
akan meningkat jumlahnya, berwarna kuning transparan, kental, terdapat gumpalan
musin, jumlah leukosit kurang dari 2000/mm3 dengan proporsi sel normal (25%
PMN). Mungkin ditemukan kristal kalsium pirofosfat dan hidroksi-apatit sebagai
penyebab reaksi peradangan. Dapat juga ditemukan serpihan tulang rawan pada
tingkat lanjut penyakit.
2. Radiologis
Pemeriksaan radiologis membantu diagnosis osteoartritis, tetapi adanya kelainan
radiologis tidak terlalu berarti bahwa ini sebagai penyebab satu-satunya keluhan
penderita. Kriteria radiologis osteoartritis adalah sebagai berikut :
a. Osteofit pada tepi sendi atau tempat melekatnya ligamen
b. Adanya periartikuler ossicle terutama pada DIP dan PIP
c. Penyempitan celah sendi disertai sklerosis jaringan tulang subkondrial
d. Adanya kista dengan dinding yang sklerotik pada daerah subkondrial
e. Perubahan bentuk tulang, misal pada caput femur.
Kriteria diagnosis radiologis, yaitu :
a. Meragukan : bila ditemukan 1 dari 5 kriteria diatas
b. Osteoartritis ringan : bila ditemukan 2 dari 5 kriteria diatas
c. Osteoartritis moderate : bila ditemukan 3 dari 5 kriteria diatas
d. Osteoartritis berat : bila ditemukan 4 dari 5 kriteria diatas.
E. DIAGNOSIS
Diagnosis osteoartritis ditegakkan berdasarkan anannesis, pemeriksaan jasmani,
radiologis, dan bila perlu dengan pemeriksaan laboratorium tertentu. Diagnosis
bandingnya terutama dengan penyakit sendi yang sering ditemui dalam praktek
sehari-hari, yaitu artritis gout dan artritis rheumatoid.
F. PENATALAKSANAAN OSTEOARTHRITIS
Stadium awal osteoarthritis paling baik bila ditangani dengan tindakan konservatif,
termasuk pengobatan dengan obat-obat anti inflamasi non steroid (NSAID) seperti
preparat piroxicam 10mg 2x1 hari, preparat naproxen 250-500 mg 2x1 hari,tetapi
harus mewaspadai efek yang timbul di lambung dan reaksi alergi.Dapat juga
dengan latihan-latihan fisioterapi atau tanpa pengobatan sama sekali. Intervensi
pembedahan merupakan tindakan yang terlambat setelah terjadi perkembangan
penyakit yang berarti.
Penggunaan injeksi sodium hyaluronate yang berfungsi sama seperti cairan sinovial
pada rongga sendi dapat juga digunakan. Dosis yang dipakai adalah 1 X 2
ml/minggu selama 5 minggu berturut-turut.
Indikasi bedah dilakukan bila nyeri dan pengurangan fungsi masih ada setelah
pemberian obat-obat anti inlamasi non steroid, suntikan steroid ke dalam sendi dan
penggunaan bidai kecil. Osteoarthritis lanjut pada persendian perifer sering
memerlukan pembedahan untuk meringankan rasa nyeri dan memperbaiki fungsi
sendi, misalnya tindakan menyatukan sendi atau arthroplasti reseksi untuk
menyumbat rongga sendi, osteotomi untuk menghasilkan kembali keseimbangan
berbagai gaya mekanis, atau artroplasti penggantian sendi secara total untuk
membentuk kembali permukaan artikulasi sendi.
Selain dari pengobatan medis seperti diatas, dapat juga disertai dengan
penatalaksanaan lain seperti sebagai berikut :
1. Meyakinkan penderita bahwa penyakitnya tidak progresif karena biasanya
penderita takut sekali menjadi lumpuh atau cacat. Rencana pengobatan selanjutnya
dijelaskan dan disesuaikan dengan keadaan umum penderita, sendi-sendi yang
terkena, keluhan dan sikap hidup sehari-hari.
2. Istirahat atau proteksi terhadap sendi yang terkena
3. Koreksi semua faktor-faktor yang menimbulkan stress berlebihan pada rawan
sendi. Tindakan ini bukan saja akan mengurangi beban pada rawan sendi, tetapi
juga memperlambat proses degenerasi sehingga akan lebih memberi kesempatan
proses regenerasi berlangsung.
4. Diet, selain untuk mengurangi berat badan, tidak ada bukti bahwa diet berperan
langsung terhadap pengobatan osteoartritis. Dengan menghilangkan kegemukan
penderita osteoartritis sendi penyokong berat badan maka akan mengurangi
keluhan.
Tanda: Malaise. Keterbatasan rentang gerak ; atrofi otot, kulit : kontraktur atau
kelainan pada sendi dan otot.
2. Kardiovaskuler
Gejala : Jantung cepat, tekanan darah menurun
3. Integritas Ego
Gejala: Faktor-faktor stress akut atau kronis : Misalnya finansial, pekerjaan,
ketidakmampuan, factor-faktor hubungan
Keputusasaan dan ketidak berdayaan
Ancaman pada konsep diri, citra tubuh, identitas pribadi misalnya ketergantungan
pada orang lain.
4. Makanan Atau Cairan
Gejala: Ketidakmampuan untuk menghasilkan/ mengkonsumsi makanan/ cairan
adekuat : mual.
Anoreksia
Kesulitan untuk mengunyah
Tanda: Penurunan berat badan
Kekeringan pada membran mukosa
5. Higiene
Gejala: berbagai kesulitan untuk melaksanakan aktivitas pribadi, ketergantungan
pada orang lain.
6. Neurosensori
Gejala: kebas/kesemutan pada tangan dan kaki, hilangnya sensasi pada jari tangan
Tanda: Pembengkakan sendi
7. Nyeri / Kenyamanan
Gejala: fase akut dari nyeri
Terasa nyeri kronis dan kekakuan
8. Keamanan
Gejala: Kesulitan dalam menangani tugas/pemeliharaan rumah tangga
Kekeringan pada mata dan membran mukosa
9. Interaksi Sosial
Gejala: kerusakan interaksi dan keluarga / orang lsin : perubahan peran: isolasi
B. DIAGNOSIS KEPERAWATAN DAN INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa 1: Nyeri b/d penurunan fungsi tulang
Kriteria hasil: nyeri hilang atau tekontrol
Intervensi :
1. Mandiri
a. kaji keluhan nyeri, catat lokasi dan intensitas (skala 0 10). Catat faktor-faktor
yang mempercepat dan tanda-tanda rasa sakit non verbal
R/:Membantu dalam menentukan kebutuhan managemen nyeri dan keefektifan
program.
b. berikan matras atau kasur keras, bantal kecil. Tinggikan linen tempat tidur sesuai
kebutuhan
R/:Matras yang lembut/empuk, bantal yang besar akan mencegah pemeliharaan
kesejajaran tubuh yang tepat, menempatkan setres pada sendi yang sakit.
Peninggian linen tempat tidur menurunkan tekanan pada sendi yang terinflamasi /
nyeri
c. biarkan pasien mengambil posisi yang nyaman pada waktu tidur atau duduk di
kursi. Tingkatkan istirahat di tempat tidur sesuai indikasi
R/:Pada penyakit berat, tirah baring mungkin diperlukan untuk membatasi nyeri
atau cedera sendi.
d. dorong untuk sering mengubah posisi. Bantu pasien untuk bergerak di tempat
tidur, sokong sendi yang sakit di atas dan di bawah, hindari gerakan yang
menyentak
R/:Mencegah terjadinya kelelahan umum dan kekakuan sendi. Menstabilkan sendi,
mengurangi gerakan/rasa sakit pada sendi
e. anjurkan pasien untuk mandi air hangat atau mandi pancuran pada waktu
bangun. Sediakan waslap hangat untuk mengompres sendi-sendi yang sakit
gout.
3. Evaluasi kadar asam urat dalam urine selama 24 jam setelah terapi
nonfarmakologi diberikan yaitu diet rendah purin dijalankan.
4. Penanggulangan untuk artritis gout kronis.
Adapun pengobatan artritis gout dibagi atas:
1. Serangan akut
Cara yang efektif dan sederhana mengatasi serangan artritis gout yang akut adalah
penggunaan obat-obat anti inflamasi non-steroid. Kesembuhan akan terlihat dalam
waktu 24 jam dan gejalanya menghilang setelah 3 hari. Preparat colchicine IV
dengan takaran 1 sampai 2 mg yang diencerkan dengan larutan NaCl 0,9% dan
disuntikkan selama waktu 20 menit merupakan preparat yang sangat efektif untuk
meredakan gejala yang akut. Preparat colchicine oral dengan takaran 0,5 mg 2 X
sehari hingga 4 X sehari selama 2 sampai 3 hari mungkin diperlukan untuk
kesembuhan total. Namun karena efek sampingnya yaitu timbulnya gejala toksisitas
gastrointestinal, pengobatan ini sudah mulai ditinggalkan.
Tindakan efektif lainnya yaitu dengan cara pungsi cairan sinovia dan penyuntikan
deposteroid dengan dosis 40 mg (triamsinolon). Tindakan ini efektif terutama pada
pasien yang tidak mendapat pengobatan per oral atau tidak dapat mentolerir
pemakaian NSAID ataupun colchicine.
Preparat urikosurik dan alopurinol harus dihindari selama serangan akut. Insidensi
terjadinya artritis gout akut yang rekuren dapat diturunkan dengan pemberian
colchicine 2 X 0,5 mg/hari dalam jangka waktu lama.
2. Tindakan untuk menurunkan kadar asam urat serum
Tindakan untuk menurunkan kadar asam urat serum dapat diberikan preparat
urikosurik yang salah satunya adalah probenesid dengan dosis 500 mg tiap 12 jam
dan dapat ditingkatkan hingga mencapai 3 gram/hari untuk kadar sama urat serum
sampai 6 mg/dl.. Alternatif lain dapat diberikan sulfinpirazon yang relatif bekerja
singkat dan harus diberikan tiap 6 jam dengan dosis terbagi yang berkisar dari 300
1000 mg/hari.
Allopurinol merupakan preparat urikosurik yang sangat efektif bekerja dengan
menyekat lintasan metabolik yang memproduksi asam urat, khususnya dengan
menghambat kerja enzim xantin oksidase. Dosis sebesar 2 X 100 mg/hari dapat
ditingkatkan hingga mencapai dosis 600 mg/hari untuk mendapatkan efek yang
diinginkan. Pada penyakit gout dengan tofus yang berat, preparat alopurinol dapat
digunakan bersama-sama preparat urikosurik lainnya.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN ARTHRITIS GOUT
A. PENGKAJIAN
1. Tanyakan keluhan nyeri yang terjadi, biasanya pada ibu jari kaki atau pada sendisendi lain. Bagaimana gejala awalnya dan bagaimana klien menanggulanginya,
adakah riwayat gout dalam keluarga. Obat-obatan yang diperoleh
2. Tentukan apakah ada nyeri saat digerakkan, bengkak, dan kemerahan, demam
subfebris, periksa adanya nodul diatas sendi.
3. Kaji adanya kecemasan dan ketakutan dalam melakukan aktivitas dan masalahmasalah yang terkait dengan psikososialnya.
4. Pemeriksaan diagnostik :
a. Asam urat meningkat
b. Sel darah putih dan sedimentasi eritrosit meningkat (selama fase akut)
c. Pada aspirasi sendi ditemukan aam urat
d. Pemeriksaan urin
e. Rontgen.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri berhubungan dengan proses penyakit
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri persendian
3. Kurang pengetahuan tentang pengobatan dan perawatan dirumah.
E.
INTERVENSI KEPERAWATAN
(Sesuai DK )
D. EVALUASI
1. Tidak terjadi komplikasi
2. Nyeri terkontrol
3. Tidak terjadi efek samping akibat obat-obatan yang digunakan
4. Memahami jadwal pengobatan dan perawatan di rumah.
2.2. FRAKTUR
A. Definisi
Banyak sekali batasan yang dikemukakan oleh para ahli tentang fraktur. Fraktur
menurut Smeltzer (2002) adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan
sesuai jenis dan lainnya. Menurut Sjamsuhidayat (2005), fraktur adalah terputusnya
kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh
rudapaksa. Sementara Doenges (2000) memberikan batasan, fraktur adalah
pemisahan atau patahnya tulang. Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan
biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik (Price, 1995). Sedangkan fraktur
menurut Reeves (2001), adalah setiap retak atau patah tulang yang utuh.
Berdasarkan batasan diatas dapat disimpulkan bahwa, fraktur adalah terputusnya
kontuinuitas tulang, retak atau patahnya tulang yang utuh, yang biasanya
disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik yang ditentukan jenis dan luasnya
trauma.
B. Etiologi
Fraktur disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir
mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem (Smeltzer, 2002). Umumnya fraktur
disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang.
Pada orang tua, biasanya perempuan lebih sering mengalami fraktur yang
berhubungan dengan meningkatnya insiden osteoporosis yang terkait dengan
perubahan hormon pada menepause (Reeves, 2001).
C. Klasifikasi
Fraktur tertutup
Fraktur yang tidak menyebabkan robeknya kulit atau kulit tidak ditembus oleh
fragmen tulang.
Fraktur terbuka
Fraktur dengan luka pada kulit atau membran mukosa sampai ke patahan tulang.
Derajat I : luka tembus seukuran jarum (tusukan fragmen-fragmen tulang).
Derajat II : luka lebih besar, terdapat kerusakan kulit.
Derajat III : luka lebih besar dari derajat II, bisa sampai mengenai tendon dan
otot-otot saraf tepi.
Menurut sudut patah
Fraktur transversal
Merupakan fraktur yang garis patahnya tegak lurus terhadap sumbu panjang
tulang.
Fraktur oblik
Merupakan fraktur yang garis patahnya membentuk sudut terhadap tulang.
Fraktur spiral
Merupakan meluas yang mengelilingi tulang.
Menurut jumlah garis patah
Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang
yang sama.
Menurut lokasi terjadi yang umum pada lansia
Fraktur Kompresi Vertebra
Suatu gejala osteoporosis yang sering dijumpai adalah penyakit punggung, akibat
fraktur kompresi vertebra. Nyeri akut pada bagian tengah sampai bagian bawah
vertebra torasikaselama aktivitas harian rutin mungkin merupakan gejala
g paling awal terjadi. Fraktur kompresi ini dapat terjadi setelah trauma minimal,
seperti melepaskan kancing pada bagian punggung, membuka jendela, atau bahkan
merapikan tempat tidur.
Fokur dari perawatan untuk fraktur kompresi akut adalah mengurangi gejala
sesegera mungkin dengan tirah baring pada posisi apa pun yang mampu
memberikan kenyamanan maksimum. Relaksan otot, seperti panas dan analgesik
dapat digunakan jika ada indikasi. Penggunaan relaksan otot jangka pendek dalam
jumlah sedikit dapat mengurangi spasme otot yang sering menyertai fraktur-fraktur
ini.
Segera setelah rasa nyeri berkurang, klien perlu mencoba untuk bangun dari
tempat tidur secara perlahan-lahan dan dengan bantuan. Latihan yang dilakukan
dengan pengawasan untuk memperbaiki deformitas postural dan meningkatkan
tonus otot sangat bermanfaat bagi klien. Berenang, walaupun bukan merupakan
latihan menahan berat, dapat mempertahankan fleksibilitas dan mungkin
merupakan cara yang paling efektif bagi klien dengan penyakit yang telah
terbentuk. Klien harus diajarkan tentang cara mencegah ketegangan punggung
dengan menghindari gerakan berputar atau pergerakan yang kuat atau
membungkuk secara mendadak. Tindakan untuk menjaga keamanan yang
berhubungan dengan cara mengangkat dan membawa barang-barang perlu
dijelaskan.
Fraktur Panggul
Klien lansia biasanya mengalami cedera ini karena jatuh. Walaupun hanya 3% dari
semua fraktur adalah fraktur panggul, tipe cedera ini diperhitungkan menimbulkan
5 sampai 20% kematian di antara lansia akibat fraktur. Fraktur panggul adalah hal
yang tidak menyenangkan karena fraktur tersebut dapat juga menyebabkan cedera
intraabdomen yang serius, seperti laserasi kolon, paralisis ileum, perdarahan
intrapelvis, dan ruptur uretra serta kandung kemih.
Fraktur Pinggul
Walaupun fraktur tulang belakang yang mengarah pada deformitas dan fraktur
panggul menyebabkan disfungsi tubuh, tetapi fraktur pinggullah yang sangat berat
memengaruhi kualitas hidup dan menantang kemampuan bertahan hidup pada
lansia. Holbrook melaporkan bahwa 1 dari 20 pasien yang berusia lebih dari 65
tahun yang baru saja dirawat di rumah sakit mengalami penyembuhan dari fraktur
panggul. Bahkan di tangan ahli yang terbaik, 40% dari klien yang mengalami fraktur
panggul tidak dapat bertahan hidup 2 tahun setelah cedera ini. Pada pasien yang
berasal dari panti jompo, 70% tidak bertahan hidup 1 tahun, hanya sepertiga dari
pasien yang dapat bertahan hidup setelah mengalami fraktur panggul dapat
kembali ke gaya hidup dan tingkat kemandirian yang dapat dibandingkan dengan
gaya hidup dan kemandirian yang dinikmatinya sebelum mengalami cedera
tersebut.
Antara 75 dan 80% dari semua fraktur tulang panggul memengaruhi wanita, dan
hampir 50% terjadi pada seseorang yang berusia 80 tahun atau lebih. Manifestasi
klinis dari fraktur tulang pinggul adalah rotasi eksternal, pemendekan ekstremitas
yang terkena, dan nyeri berat serta nyeri tekan di lokasi fraktur. Perubahan letak
akibat fraktur pada bagian leher tulang femur dapat menyebabkan gangguan
serius pada suplai darah ke kaput femur, yang dapat mengakibatkan nekrosis
avaskular.
Perbaikan dengan pembedahan lebih disukai dalam menangani fraktur tulang
pinggul. Penanganan melalui pembedahan memungkinkan klien untuk bangun dari
tempat tidur lebih cepat dan mencegah komplikasi yang lebih besar yang
dihubungkan dengan imobilitas. Pada awalnya, ekstremitas yang terpengaruh untuk
sementara mungkin diimobilisasikan dengan menggunakan traksi Buck atau Russel
sampai kondisi fisik klien stabil dan pembedahan dapat dijadwalkan. Banyak yang
percaya bahwa lansia berada pada kondisi yang paling sehat segera setelah
kecelakaan sehingga operasi harus dilaksanakan secepat mungkin.
D. Manfestasi Klinis
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan
ekstermitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna (Smeltzer, 2002).
Gejala umum fraktur menurut Reeves (2001) adalah rasa sakit, pembengkakan, dan
kelainan bentuk.
Manifestasi klinis fraktur, terdiri dari:
1. Nyeri terus-menerus dan bertambah berat sampai tulang diimobilisasi. Spasme
otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk
meminimalkan gerakan antarfragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian yang tak dapat digunakan dan cenderung
bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap rigid seperti
normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan
deformitas (terlihat maupun teraba) ekstermitas yang bisa diketahui dengan
membandingkan ekstermitas normal. Ekstermitas tak dapat berfungsi dengan baik
karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya
otot.
3. Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang
lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih
berat.
4. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat
trauma dan pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi setelah
beberapa jam atau hari setelah cedera.
E. Penalaksanaan
Prinsip Penanganan Fraktur
Prinsip penangan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan pengembalian fungsi
serta kekuatan normal dengan rehabilitas (Smeltzer, 2002). Reduksi fraktur berarti
mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Metode
untukmencapai reduksi fraktur adalah dengan reduksi tertutup, traksi, dan reduksi
terbuka. Metode yang dipilih untuk mereduksi fraktur bergantung pada sifat
frakturnya.
Reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke posisinya
(ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual.
Selanjutnya, traksi dapat dilakukan untuk mendapatkan efek reduksi dan
imobilisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi.
Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan pendekatan bedah,
fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat,
paku atau batangan logam dapat digunakan untuk mempertahankan fragmen
tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang solid terjadi.
Tahapan selanjutnya setelah fraktur direduksi adalah mengimobilisasi dan
mempertahankan fragmen tulang dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai
terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi interna atau eksterna.
Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin, dan
teknik gips. Sedangkan implant logam digunakan untuk fiksasi interna.
Mempertahankan dan mengembalikan fragmen tulang, dapat dilakukan
denganmempertankan reduksi dan imobilisasi. Pantau status neurovaskular, latihan
isometrik, dan memotivasi klien untuk berpartisipasi dalam memperbaiki
kemandirian fungsi dan harga diri.
Penatalaksanaan Fraktur Terbuka
Patah tulang terbuka memerlukan pertolongan segera. Penundaan waktu dalam
memberikan pertolongan akan mengakibatkan komplikasi infeksi karena adanya
pemaparan dari lingkungan luar. Waktu yang optimal untuk melaksanakan tindakan
sebelum 6-7 jam sejak kecelakaan, disebut golden period.
Pada luka derajat I biasanya tidak mengalami kerusakan kulit, sehingga penutupan
kulit dapat ditutup secara primer. Namun pada derajat II, luka lebih besar dan bila
dipaksakan menutup luka secara primer akan terjadi tegangan kulit. Hal ini akan
mengganggu sirkulasi bagian distal. Sebaiknya luka dibiarkan terbuka dan luka
ditutup setelah 5-6 hari (delayed primary suture). Untuk fiksasi tulang pada derajat
II dan III paling baik menggunakan fiksasi eksterna. Pemakaian gips masih dapat
diterima, bila peralatan tidak ada. Namun, kelemahan pemakaian gips adalah
perawatan yang lebih sulit.
Salah satu tindakan untuk fraktur terbuka yaitu dilakukan debridemen. Debridemen
bertujuan untuk membuat keadaan umum membuat keadaan luka yang kotor
menjadi bersih, sehingga secara teoritis fraktur tersebut dapat dianggap fraktur
tertutup. Namun secara praktis, hal tersebut tidak pernah tercapai. Tindakan
debridemen dilakukan dalam anestesi umum dan selalu harus disertai dengan
pencucian luka dengan air yang steril atau NaCl yang mengalir. Pencucian ini
memegang peranan penting untuk membersihkan kotoran-kotoran yang menempel
pada tulang.
Pada fraktur terbuka tidak boleh dipasang torniket, hal ini penting untuk
menentukan batas jaringan yang vital dan nekrotik. Tindakan pembedahan berupa
eksisi pinggir luka, kulit, subkutis, fasia, dan pada otot-otot nekrosis yang kotor.
Fragmen tulang yang kecil dan tidak memengaruhi stabilitas tulang dibuang.
Fragmen yang cukup besar tetap dipertahankan.
F. Proses Penyembuhan Tulang
Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur
merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan
membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh
aktivitas sel-sel tulang.
Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu:
1) Stadium Satu-Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-sel
darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat
tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium iniberlangsung 24 48 jam dan
perdarahan berhenti sama sekali.
2) Stadium Dua-Proliferasi Seluler
Pada stadium ini terjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago yang
berasal dari periosteum,`endosteum, dan bone marrow yang telah mengalami
trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk kedalam lapisan yang
lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis.
Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yang menggabungkan kedua
fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur
sampai selesai, tergantung frakturnya.
3) Stadium Tiga-Pembentukan Kallus
Selsel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik, bila
diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga
kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai
berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal
dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada
permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur (anyaman
tulang) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada
4 minggu setelah fraktur menyatu.
4) Stadium Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi
lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast menerobos
melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi
celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah
proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk
membawa beban yang normal.
5) Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa
bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan
pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih tebal diletakkan
pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang,
rongga sum-sum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip dengan
normalnya.
G. Komplikasi
1) KomplikasiAwal
a) KerusakanArteri
Pecahnya arteri karena trauma bias ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT
menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada
ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan
posisipada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b) Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena
terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini
disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh
darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan pembebatan yang terlalu
kuat.
c) Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada
kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone
marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam
darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi,
tachypnea, demam.
d) Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya
terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain
dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e) AvaskulerNekrosis
AvaskulerNekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ketulang rusak atau terganggu
yang bias menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkmans
Ischemia.
f) Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitaskapiler yang bias menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya
terjadi pada fraktur.
2) Komplikasi Dalam Waktu Lama
a. Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu
yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan
suplai darah ketulang.
b. Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai
dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi
palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
c. Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat
kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan
pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
H. Pengkajian
1. Aktifitas atau istirahat
Tanda : Keterbatasan gerak atau kehilangan fungsi motorik pada bagian yang
terkena (dapat segera atau sekunder, akibat pembengkakan atau nyeri).
Adanya kesulitan dalam istirahat-tidur akibat dari nyeri.
2. Sirkulasi
sesuai.
6. Bantu dalam mobilisasi dengan kursi roda, kruk, tongkat, sesegera mungkin.
Instruksikan keamanan dalam alat mobilitas.
7. Pantau TD dalam melakukan aktivitas. Perhatikan adanya keluhan pusing.
8. Ubah posisi secara priodik serta dorong untuk latihan batuk dan napas dalam.
9. Auskultasi bising usus. Pantau kebiasaan eliminasi atau defekasi rutin.
10. Dorong peningkatan intake cairan 2000-3000 ml/hari, termasuk pemberian jus.
11. Tinkatkan jumlah diet serat. Batasi makanan pembentuk gas.
Kolaborasi
12. Konsul dengan ahli terapi fisik, okupasi, rehabilitasi.
13. Gunakan pelunak feses, enema, dan laksatif sesuai indikasi.
rasional :
1. Klien mungkin dibatasi oleh persepsi tentang keterbatasan fisik aktual,
memerlukan informasi atau intervensi untuk meningkatkan kemajuan kesehatan.
2. Memberikan kesempatan untuk mengeluarkan energi, memfokuskan kembali
perhatian, meningkatkan rasa kontrol harga diri, dan membantu menurunkan isolasi
sosial.
3. Meningkatkan aliran darah ke otot dan tulang untuk meningkatkan tonus otot,
mempertahankan gerak sendi, mencegah kontraktur atau atrofi, dan reabsobsi
kalsium karena tidak digunakan.
4. Kontraksi otot isometrik tanpa menekuk sendi atau menggerakkan tungkai dan
membantu mempertahankan kekuatan dan massa otot. Catatan: kontraindikasi
pada perdarahan akut atau edema.
5. Mempertahankan posisi fungsional ekstermitas tangan atau kaki, dan mencegah
komplikasi.
6. Mobilisasi dini menurunkan komplikasi tirah baring (mis. plebitis) dan
meningkatkan penyembuhan dan normalisasi fungsi organ.
7. Hipotensi postural adalah masalah umum yang menyertai tirah baring lama dan
memerlukan intervensi khusus (mis. kemiringan meja dengan peninggian secara
bertahap sampai posisi tegak).
8. Mencegah komplikasi pernapasan atau kulit, misal dekubitus, pneumonia,
ateletaksis.
9. Tirah baring, penggunaan analgesik, dan perubahan diet dapat memperlambat
peristaltik usus sehingga menyebabkan konstipasi.
10. Mempertahankan hidrasi tubuh, menurunkan risiko infeksi urenearius,
pembentukan batu, dan konstipasi.
11. Makanan kasar (serat) mencegah konstipasi. Makanan pembentuk gas dapat
menyebabkan distensi abdominal, khususnya pada adnya penurunan motilitas usus.
12. Berguna dalam membuat jadwal aktivitas klien. Klien dapat memerlukan
bantuan jangka panjang dengan gerakan, kekuatan, dan aktivitas yang
mengandalkan berat badan, juga penggunaan alat, seperti walker, kruk.
13. Meningkatkan evakuasi isi usus.
Diagnosa Keperawatan: Kurang perawatan diri berhubungan dengan hilangnya
kemampuan menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari.
Tindakan Keperawatan
Mandiri
1. Dorong klien mengekspresikan perasaan dan mendiskusikan cedera dan masalah
yang berhubungan dengan cara aktif. Dengarkan secara aktif
2. Motivasi penggunaan mekanisme penyelesaian masalah secara adaptif.
3. Libatkan orang yang berarti dan layanan dukungan bila diperlukan.
4. Modifikasi lingkungan rumah bila diperlukan.
5. Dorong klien berpartisipasi dalam pengembangan program terapi.
6. Jelaskan berbagai program terapi.
7. Dorong partisipasi aktivitas sehari-hari dalam batasan terapeutik.
8. Ajarkan penggunaan modalitas terapi dan bantuan mobilisasi secara aman.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Osteoporosis (tulang rapuh) pada masa kini merupakan masalah kesehatan publik
yang besar. Senile osteoporosis terjadi pada lelaki dan wanita di atas umur 70
tahun dengan perbandingan wanita : lelaki = 2 : 1. Perlu diperhatikan faktor risiko
dari osteoporosis berupa genetik, pola hidup, medikal, dan iatrogenik. Osteoporosis
dapat dicegah bila dimulai waktu childhood dan youngster atau adolescence,
waktu tulang mencapai maturitas pada akhir dekade ke-3 mencapai maksimum
peak bone mass. Pencegahan terjadi osteoporosis terutama pada golongan risiko
tinggi pada usia lebih muda, seperti pada wanita dengan menopause dini atau
pascabedah ovariektomi, pengobatan/pencegahan osteoporosis harus dilakukan
secara dini pula. Pemberian tambahan kalsium serta susu sangat dianjurkan di sini.
Lanjut usia dengan Osteoporosis, pengobatan terbaik adalah untuk tetap aktif
secara jasmani (muscle pumping action), serta mencegah terjadi cedera akibat
jatuh.
Rematik atau rhematoid arthritis adalah penyebab paling umum nyeri sendi kronis.
Rheumatoid arthritis disebabkan oleh kerusakan sistem autoimun sehingga tubuh
menghasilkan zat yang menyebabkan peradangan, terutama pada sendi. Bagian
tubuh favorit yang diserang adalah sendi jari tangan dan kaki dan tulang belakang.
Serangan rematik membuat peradangan dan pembengkakan selaput sendi dan
secara bertahap menghancurkan kapsul sendi, dan kemudian tendon. Konsekuensi
pada akhirnya adalah deformasi tulang dan pembatasan gerakan.
Osteoartritis adalah penyakit sendi degeneratif (umumnya menyerang mereka yang
berusia di atas 45 tahun). Pada osteoarthritis, sendi mengalami nyeri namun tidak
diawali dengan peradangan. Rasa nyeri biasanya terasa bila mengangkat beban
dan pada awal gerakan dari posisi istirahat. Penyebabnya karena penuaan dan
penggunaan terus-menerus. Risiko terutama pada pinggul, lutut, tangan, kaki, dan
tulang belakang.
Gout adalah hasil kadar asam urat yang tinggi dalam darah. Rasa sakit sendi
disertai bengkak, kemerahan, dan hangat. Terdapat empat tahap dari perjalanan
klinis penyakit gout yang tidak diobati yaitu : hiperurisemia asimtomatik, arthritis
gout akut, serangan gout akut adalah tahap interkritical, gout kronik dimana
timbunan urat terus bertambah dalam beberapa tahun jika pengobatan tidak
dimulai.
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan
sesuai jenis dan luasnya (Smeltzer S.C & Bare B.G, 2001) atau setiap retak atau
patah pada tulang yang utuh (Reeves C.J, Roux G & Lockhart R, 2001).
Tanda dan gejala kemudian setelah bagian yang retak di imobilisasi, perawat perlu
mnilai pain ( rasa sakit ), paloor ( kepucatan/perubahan warna), paralisis
(kelumpuhan / ketidakmampuan untuk bergerak ), parasthesia ( kesemutan ), dan
pulselessnes ( tidak ada denyut ).
Fraktur, terutama yang berhubungan dengan osteoporosis, dianggap sebagai
penyebab utama morbiditas dan disabilitas pada usia tua. Diantaranya adalah :
Fraktur Kompresi Vertebra, Fraktur Panggul, Fraktur Pinggul.
3.2 Saran
Penulis memberi saran kepada :
1. Para mahasiswa STIKes Santo Borromeus sebagai calon perawat agar mengetahui
dan memahami konsep penyakit tulang dan patah tulang pada lansia sehingga
mampu merawat para lansia yang mengalami penyakit tulang dan patah tulang
sehingga para lansia dapat meningkatkan kesehatan khususnya pada sistem
muskuloskeletal.
2. Para pembaca agar mengetahui penyakit tulang dan patah tulang pada lansia
sehingga dapat merawat lansia yang mengalami penyakit tulang dan patah tulang
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA