Anda di halaman 1dari 106

1.

Pemeriksaan Asuhan Antenatal


2. Pemeriksaan Rangsang Meningeal
3. Pemeriksaan Nervus Kranialis
4. Pemeriksaan Refleks Fisiologis
5. Pemeriksaan Refleks Patologis
6. Pemeriksaan Sistem Sensorik (Eksteroseptif dan Proprioseptif)
7. Pemeriksaan Sistem Motorik
8. Pemeriksaan Koordinasi
9. Pemeriksaan Neurologis Lainnya: Patrick dan Kontra Patrick
10. Pemeriksaan Fisik Kulit, Mukosa dan Kuku
11. Pemeriksaan Efloresensi Kulit dan Pemeriksaan Jaringan Penunjang
12. Penilaian Aktivitas Kehidupan Sehari-hari/ADL (dengan Berthel Index)
13. Bantuan Hidup Dasar
14. Pemeriksaan Manual Muscle Testing
15. Pengukuran Lingkup Gerak Sendi/ Range of Motion (ROM)
16. Resusitasi Cairan
17. Sirkumsisi
18. Teknik Penjahitan Luka
19. Pemeriksaan Fisik
20. Keterampilan Klinis Inhalasi
21. Pemeriksaan Ginjal dan Saluran Kemih
22. Suntikan Instruktural, Subkutan DN Intramuskular
23. Resusitasi Jantung Paru/RJP (CPR/Cardio Pulmonary Resucitation)
24. Pemeriksaan Fisik Ginekologi Wanita
25. Pemeriksaan jamur dengan KOH
26. Pemeriksaan Genitalia Pria
27. Palpasi Kelenjar Limfe
28. Penentuan Indikasi dan Jenis Transfusi
29. Konseling Anemia Defisiensi Besi
30. Keterampilan Menyuntik Insulin
31. Pemeriksaan Kelenjar Tiroid
32. Kanulasi vena perifer
33. Ketrampilan Elektrokardiografi
34. Pemeriksaan Jantung (Inspeksi, Palpasi, Perkusi, danAuskultasi)
35. Pemeriksaan Jugular Venous Pressure
36. Pemeriksaan Tekanan Darah
37. Pemeriksaan Denyut Nadi
38. Palpasi Arteri Karotis dan Deteksi Bruit
1. Pemeriksaan Asuhan Antenatal
(Pemeriksaan Obstetri Luar)

TUJUAN
1. Mampu menjelaskan tujuan pemeriksaan obstetriluar
2. Mampu melakukan pemeriksaan obstetriluar (leopoldmanuver)
3. Mampu menjelaskan hasil pemeriksaan dan rencana lanjutan asuhan antenatal

PRIOR KNOWLEDGE/SKILL
1. Mengetahui perubahan anatomi dan fisiologi wanita hamil
2. Mengetahui pertumbuhan dan perkembangan janin sesuai dengan usia kehamilan

Teknik Pemeriksaan
1. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang akan dilakukan.
2. Meminta persetujuan pemeriksaan pada pasien
3. Persiapkan alat dan bahan.
a. Meja periksa ginekologi
b. Model Panggul Zoe
c. Selimut/kainpenutup
d. Stetoskopmonoaural/laenecatau Doppler
4. Minta pasien berbaring terlentang di meja periksa dengan meletakkan kedua telapak kaki pada
ranjang sehingga terjadi sedikit fleksi pada sendi paha (coxae) dan lutut (genu), untuk mengurangi
ketegangan dinding perut. Tutup paha & kaki ibu dengan kain yang telah disediakan.
5. Cuci tangan sebelum pemeriksaan.
6. Lakukan Palpasi abdomen, menggunakan maneuver leopold I – IV
a. Leopold I: Menentukan tinggi fundus uteri dan menentukan bagian janin yang terletak di fundus
uteri (dilakukan sejak awal trimester I)
1. Pemeriksa berdiri di sebelah kanan pasien dan menghadap ke kepala pasien
2. Letak kansisi lateral telunjuk kiri pada puncak fundus uteri untuk menentukan tinggi fundus.
Perhatikan agar jari tersebut tidak mendorong uterus kebawah (jika diperlukan, fiksasi uterus
bawah dengan meletakkan ibu jari dan telunjuk tangan kanan dibagian lateral depan kanan
dan kiri, setinggi tepi atas simfisis). Angkat jari telunjuk kiri (dan jari-jari yang memfiksasi
uterus bawah) kemudian atur posisi pemeriksa sehingga menghadap kebagian kepala
3. Letakkan ujung telapak tangan kiri dan kanan pada fundus uteri dan rasakan bagian bayi yang
ada pada bagian tersebut dengan jalan menekan secara lembut dan menggeser telapak tangan
kiri dan kanan secara bergantian.
4. Pada usia kehamilan diatas 24 minggu dapat digunakan “meteran” untuk menentukan usia
kehamilan berdasarkan TFU dalam cm dan taksiran berat badan janin dengan menghitung
TFU x Lingkar perut dalam cm. Caranya letakkan alat pengukur “meteran” diatas
sympisisossis pubis sampai setinggi fundus uteri, kemudian ukur lingkaran perut melalui
umbilicus. Dari hasil perkalian akan didapatkan TBJ dalam gram
b. Leopold II: Menentukan bagian janin pada sisi kiri dan kanan ibu (dilakukan mulai akhir
trimester II)
1. Pemeriksa berdiri di sebelah kanan ibu dan menghadap ke kepala pasien
2. Letakkan telapak tangan kiri pada dinding perut lateral kanan dan telapak tangan kanan pada
dinding perut lateral kiri ibu secara sejajar dan pada ketinggian yang sama.
3. Mulai dari bagian atas, tekan secara bergantian atau bersamaan (simultan) telapak tangan kiri
dan kanan, kemudian geser kearah bawah dan rasakan adanya bagian yang rata dan
memanjang (punggung) atau bagian-bagian kecil (eksteremitas).
c. Leopold III: Menentukan bagian janin yang terletak di bawah uterus (dilakukan akhir trimester
III)
1. Pemeriksa berdiri di sebelah kanan ibu dan menghadap ke kaki pasien
2. Letakkan ujung telapak tangan kiri pada dinding lateral kiri bawah, telapak tangan kanan
pada dinding lateral kanan bawah perut ibu.
3. Tekan secara lembut dan bersamaan/bergantian untuk menentukan bagian terbawah bayi
(bagian keras, bulat dan hamper homogen, adalah kepala sedangkan tonjolan yang lunak dan
kurang simetris, adalah bokong).
d. Leopod IV: Menentukan berapa jauh masuknya janin kepintu atas panggul (dilakukan bila usia
kehamilan > 36 minggu)
1. Pemeriksa berdiri di sebelah kanan ibu dan menghadap ke kaki pasien
2. Letakkan ujung telapak tangan kiri dan kanan pada lateral kiri dan kanan uterus bawah,
ujung-ujung jari tangan kiri dan kanan berada pada tepi atas simfisis.
3. Temukan kedua ibu jari kiri dan kanan, kemudian rapatkan semua jari-jari tangan yang
meraba dinding bawah uterus. Perhatikan sudut yang dibentuk oleh jari-jari kiri dan kanan
(konvergen atau divergen)
4. Setelah itu, pindahkan ibu jari dan telunjuk tangan kiri pada bagian terbawah bayi (bila
presentasi kepala, upayakan memegang bagian kepala di dekat leher dan bila presentasi
bokong, upayakan untuk memegang pinggang bayi).
5. Fiksasikan bagian tersebut kearah pintu atas panggul kemudian letakkan jari-jari tangan
kanan di antara tangan kiri dan simfisis untuk menilai seberapa jauh bagian terbawah telah
memasuki pintu atas panggul.
7. Lakukan auskultasi denyut jantung janin menggunakan fetoskop atau Doppler, didengarkan
frekuensi dan regularitasnya selama 60 detik (jika usia kehamilan > 16 minggu). Tempelkan telinga
kiri pemeriksa dan dengarkan bunyi jantung bayi (pindahkan titik dengar apabila pada titik pertama,
bunyi jantung tersebut kurang jelas, upayakan untuk mendapatkan punctum maksimum). Apabila
dinding perut cukup tebal sehingga sulit untuk mendengarkan bunyi jantung bayi, pindahkan ujung
stetoskop pada dinding perut yang relatif tipis yaitu sekitar 3 sentimeter di bawah pusat (sub-
umbilikus).
8. Beritahukan bahwa prosedur pemeriksaan telah selesai, angkat kain penutup dan rapikan kembali
pakaian ibu.
9. Letakkan semua peralatan yang telah digunakan pada tempat semula dan pemeriksa mencuci tangan.
10. Jelaskan hasil pemeriksaan, Lakukan pemeriksaan tambahan bila diperlukan (laboratorium dan USG)
dan catat dalam rekam medik
11. Jelaskan tentang rencana asuhan antenatal berkaitan dengan hasil temuan tersebut.

Variasi Ketrampilan:
Pemeriksaan Leopold 3 pemeriksa menghadap ke kaki pasien.
Variasi Leopold 3 posisi pemeriksa dapat juga menghadap kearah kepala pasien dengan cara
pemeriksaan sebagai berikut: pemeriksa hanya menggunakan tangan kanan saja dengan menggerak-
gerakkan bagian terendah janin dan menentukan apa yang menjadi bagian terendah janin (menentukan
kepala atau bokong)

Contoh Kasus:
Seorang perempuan, G3P2A0, usia 30 tahun dating kepuskesmas pada tanggal 10 Oktober 2015 untuk
memeriksakan kehamilannya. Dari anamnesis diketahui hari pertama haid terakhir 1 Februari 2015 dan
saat ini tidak ada keluhan, riwayat kehamilan dan persalinan sebelumnya semua normal.

Referensi
1. Kementerian Kesehatan RI dan WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan
Dasar dan Rujukan. Jakarta: KementerianKesehatan RI. 2013.
2. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Penerbit JNPKKR-
POGI-Yayasan Bina PustakaSarwono, 2006.
BAB V. Sistem Saraf

2. Pemeriksaan Rangsang Meningeal

Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan
1. Melakukan penilaian kaku kuduk
2. Melakukan pemeriksaan Lasegue
3. Melakukan pemeriksaan Kernig
4. Melakukan pemeriksaan Brudzinski I(Tanda leher menurut Brudzinski)
5. Melakukan pemeriksaan Brudzinski II(Tanda tungkai kontralateral menurut Brudzinski/ Tanda
tungkai kontralateral resiprokal menurut Brudzinski)

Alat dan Bahan: -

Teknik Pemeriksaan
1. Siapkan alat dan bahan (Setting klinik standar)
2. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang dilakukan.
3. Cuci tangan dahulu.
4. Pemeriksaan kaku kuduk.
a. Pasien dalam posisi berbaring tanpa menggunakan bantal kepala.
b. Pemeriksa berdiri di sebelah kiri(kanan?) pasien.
c. Tangan kiri pemeriksa ditempatkan dibelakang kepala pasien.
d. Tempatkan tangan kanan pemeriksa pada sternum pasien, untuk memfiksasi tubuh pasien.
e. Dengan hati-hati, putar kepala pasien ke kanan dan kiri.
f. Selanjutnya, dengan hati-hati, fleksikan kepala pasien sehingga dagu pasien menyentuh dada.
g. Nilai adakah nyeri atau tahanan pada leher saat pemeriksaan ini dilakukan.
5. Pemeriksaan lasegue  (usul untuk dihapusdari pemeriksaan Tanda Rangsang Meningeal,
dimasukkan ke dalam pemeriksaaan sindroma nyeri)
a. Pasien dalam posisi berbaring tanpa menggunakan bantal kepala dengan kedua tungkai
diekstensikan (lurus).
b. Pemeriksa mengangkat salah satu kaki  tungkai dengan fleksi pada sendi panggul.
c. Nilai adanya tahanan atau rasa nyeri.
d. Lakukan pemeriksaan pada tungkai lainnya dan bandingkan hasilnya.
6. Pemeriksaan kernig
a. Pasien dalam posisi berbaring tanpa menggunakan bantal kepala dengan kedua tungkai
diekstensikan (lurus).
b. Pemeriksa memfleksikan tungkai atas pada sendi panggul dan lutut sehingga membentuk
sudut 90 derajat.
c. Kemudian tungkai bawah diekstensikan.
d. Nilai adanya tahanan maupun rasa nyeri.
e. Lakukan pemeriksaan pada tungkai lainnya dan bandingkan hasilnya.
7. Tanda Brudzinski I(tanda leher menurut Brudzinski)
a. Sebelum melakukan prosedur pemeriksaan kaku kuduk pastikan kedua tungkai dalam posisi
ekstensi.
b. Pada saat melakukan pemeriksaan kaku kuduk nilai adakah fleksi pada kedua tungkai
8. Tanda Brudzinski atau tanda tungkai kontralateral resiprokal. Adapun tahapan pemeriksaannya
adalah sebagai berikut:
a. Pasien dalam posisi berbaring tanpa menggunakan bantal dengan kedua tungkai diekstensikan
b. Tungkai difleksikan pada sendi panggul dan lutut dengan tungkai lainnya dalam keadaan
ekstensi
c. Nilai tungkai lainnya apakah terjadi fleksi
d. Dalam kondisi fleksi, tungkai tersebut diturunkan.
e. Nilai tungkai yang lain, adakah fleksi yang terjadi
9. Tanda tungkai kontralateral menurut Brudzinski. Adapun tahapan pemeriksaannya adalah sebagai
berikut
a. Pasien dalam posisi berbaring tanpa menggunakan bantal kepala dengan kedua tungkai
lurus/ekstensi
b. Tungkai atas difleksikan pada sendi panggul dengan lutut dalam keadaan ekstensi (versi a),
atau tungkai atas difleksikan pada sendi panggul kemudian tungkai bawah diekstensikan (versi
b)
c. Nilai tungkai lainnya, adakah fleksi yang terjadi.
d. Lakukan pemeriksaan pada tungkai lainnya dan bandingkan hasilnya.

Catatan: Untuk menghindari perbedaan pemahaman disarankan istilah Brudzinski I dan II ditinggalkan,
diganti dengan istilah yang lazim diterima secara internasional yaitu:

1. Tanda leher menurut Brudzinski


2. Tanda tungkai kontralateral menurut Brudzinski
3. Tanda tungkai kontralateral resiprokal menurut Brudzinski

Analisis Hasil Pemeriksaan


1. Pemeriksaan kaku kuduk
Saat kepala digerakkan ke kanan dan ke kiri, normalnya tidak ada tahanan maupun rasa nyeri. Tahanan
dan rasa nyeri dapat terjadi pada arthrosis dan mialgia. Tahanan pada leher saat kepala difleksikan
menunjukkan adanya iritasi meningeal. Dalam kondisi adanya iritasi meningeal, pada pasien masih
bisa dilakukan gerakan rotasi, hiperekstensi dan fleksi lateral leher.
2. Pemeriksaan Lasegue (usul untuk dihapuskan pada pemeriksaan tanda rangsang meningeal,
dimasukkan pada pemeriksaan Nyeri)
Pada saat tungkai difleksikan, normalnya tungkai dapat mencapai sudut 70 derajat dari permukaan
horizontal sebelum terdapat tahanan atau rasa sakit. Bila tahanan atau rasa sakit ini timbul sebelum
mencapai sudut tersebut, maka dikatakan lasegue positif. Lasegue positif dapat ditemukan pada
rangsang selaput otak, isialgia dan iritasi pleksus lumbosakral.

Gambar 14. Pemeriksaan Laseque

3. Pemeriksaan Kernig
Pada saat tungkai bawah diekstensikan, normalnya tungkai dapat mencapai sudut 135 derajat dari
tungkai atas sebelum terdapat tahanan atau rasa sakit. Bila tahanan atau rasa sakit ini timbul
sebelum mencapai sudut tersebut, maka dikatakan kernig positif. Lasegue positif dapat ditemukan
pada rangsang selaput otak, isialgia dan iritasi pleksus lumbosakral.
Gambar 15. Pemeriksaan Kernig

4. Tanda leher menurut Brudzinski)


Pemeriksaan ini dikatakan positif bila terdapat fleksi pada salah satu atau kedua tungkai. Perlu diketahui
adanya kelumpuhan pada tungkai sebelum pemeriksaan, karena pada tungkai yang lumpuh tidak
akan terjadi fleksi.

Gambar 16. Pemeriksaan Brudzinski I


5. Tanda Brudzinski II(tanda tungkai kontralateral menurut Brudzinski)
Pemeriksaan ini dikatakan positif bila saat salah satu tungkai difleksikan atas difleksikan, dalam kondisi
tungkai bawah ekstensi atau diekstensikan kemudian, maka tungkai lainnya terjadifleksi. Pada
tungkai yang lumpuh tidak terjadi fleksi.

Gambar 17. Pemeriksaan Brudzinski II (gambar kurang sesuai???)

Referensi
1. Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates’ Guide to Physical Examination and History Taking, 10th edition.
Lippincott Williams & Wilkins, China, 2009.
2. Duijnhoven, Belle. Skills in Medicine: The Neurology Examination. 2009.
3. Campbell, WW. DeJong’s Neurological Examination 6th Edition. Lippincott Williams & Wilkins, 2005.
4. Sidharta P. Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Dian Rakyat, 1995.
5. Lumbantobing. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta. Balai penerbit FKUI. 2008.
p18-20.
3. Pemeriksaan Nervus Kranialis
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan:
menilai fungsi ke-12 saraf kranial.

Alat dan Bahan


1. Bubuk kopi
2. Teh
3. Tembakau
4. Gula
5. Garam
6. Jeruk
7. Pen light
8. Kartu Snellen
9. Ophtalmoskop
10. Kapas dipilin ujungnya
11. Garpu tala

Teknik Pemeriksaan
1. Siapkan alat dan bahan.
2. Jelaskan kepada pasien jenis pemeriksaan yang akan dilakukan dan prosedurnya.
3. Pastikan pasien tidak mengalami sistem penghidu (contoh pilek)
4. Memeriksa N.I: olfaktorius.
a. Pemeriksaan ini dapat dilakukan saat pasien dalam posisi duduk atau berbaring (sesuai
kondisi klinis)
b. Minta pasien untuk menutup kedua matanya dan menutup salah satu lubang hidung.
Pemeriksaan dilakukan dari lubang hidung sebelah kanan.
c. Dekatkan beberapa benda di bawah lubang hidung yang terbuka, seperti kopi, teh, dan sabun
satu per satu.
d. Tanyakan kepada pasien apakah ia menghidu sesuatu, bila ya, tanyakan jenisnya. Pemeriksa
juga dapat memberikan pilihan jawaban bila pasien merasa menhidu sesuatu namun tidak
dapat mengenalinya secara spontan, seperti, “Apakah ini kopi, atau teh?”
e. Kemudian lakukan prosedur yang sama pada lubang hidung yang lain.

5. Melakukan pemeriksaan pupil (N. II):


a. Pemeriksaan ini dapat dilakukan saat pasien dalam posisi duduk atau berbaring (sesuai
kondisi klinis)
b. Inspeksi kedua pupil dan catat ukuran dan bentuknya.
c. Bandingkan kanan dan kiri.
d. Tempatkan tangan diantara kedua mata.
e. Minta pasien untuk memfiksasi pandangan ke depan. Sinari salah satu mata dari arah tepi
(pasien tidak boleh melihat kearah sinar dan sumber cahaya harus cukup terang)
f. Catat reaksi pupil baik langsung maupun tidak langsung.
g. Lakukan prosedur yang sama pada mata yang lain.

6. Prosedur pemeriksaan lapang pandang (N. II):


a. Untuk pemeriksaan ini, pemeriksa dan pasien duduk berhadapan dengan lutut pemeriksa
hampir bersentuhan dengan lutut pasien. Tinggi mata pemeriksa sama dengan pasien.
b. Pemeriksaan dilakukan satu per satu (monokuler), dimulai dengan mata kanan.
c. Pada saat memeriksa mata kanan, pasien diminta menutup mata kiri dengan telapak tangan
pasien, tidak ditekan. Sedangkan pemeriksa menutup mata kanannya.
d. Tempatkan tangan pemeriksa yang bebas di bidang imajiner antara lutut pasien dan
pemeriksa. Jarak antara bidang imajiner ini dengan mata pemeriksa sama dengan jaraj bidang
imajiner dengan mata pasien.
e. Pemeriksa dan pasien saling bertatapan, pasien diminta untuk memfiksasi pandangannya
kedepan. Kemudian pemeriksa menggerakkan tangannya pada bidang imajiner tersebut dari
tepi ke tengah bidang. Saat melakukan ini, pemeriksa dapat menggerakan jari-jarinya atau
diam dan minta pasien menyebutkannya. Tanyakan kepada pasien apakah ia dapat melihat
tangan pemeriksa atau tidak. Lakukan pemeriksaan pada empat kuadran kuadran (temoral
atas, nasal bawah, nasal atas, temporal bawah).
f. Lakukan prosedur yang sama terhadap mata yang lain.

7. Pemeriksaan fundus mata (N. II):


a. Untuk memeriksa fundus, pupil harus cukup berdilatasi, sehingga sebelum melakukan
pemeriksaan pasien dapat diberikan cairan midriatikum.
b. Cahaya pada ruang periksa diredupkan.
c. Pemeriksa dan pasien duduk berhadapan.
d. Nyalakan oftalmoskop.
e. Atur lensa pada oftalmoskop (sesuaikan bila pemeriksa memiliki kelainan refraksi). Atur
dioptri funduskopi sesuai dengan visus pasien, mata pemeriksa harus normal atau
menggunakan kacamata sesuai visus.
f. Atur jenis cahaya pada jenis lingkaran penuh.
g. Pasien diminta memfiksasi pandangan jauh melewati bahu pemeriksa.
h. Saat memeriksa mata kanan pasien, pemeriksa meletakkan oftalmoskop didepan mata
kanannya, dipegang dengan tangan kanan. Sedangkan tangan kiri pemeriksa memfiksasi
kepala pasien.
i. Amati ke dalam pupil dengan sudut aksis 0o untuk melihat diskus optikus dan pembuluh darah
retina. Nilai retina, diskus optikus, cup-disc ratio dan pembuluh darah retina. Kemudian
arahkan 15o ke temporal untuk menilai daerah sekitarnya.
j. Lakukan prosedur yang sama terhadap mata lainnya.
k. Pemeriksaan refleks cahaya dilakukan bersama dengan pemeriksaan N III dihapus saja.

8. Pemeriksaan NIII (Occulomotorius):


Inspeksi kelopak mata
a. Pemeriksa dan pasien duduk berhadapan
b. Amati kedua kelopak mata pasien, bandingkan kanan dan kiri.
c. Amati bila pasien menengadahkan kepala atau mengangkat alisnya untuk mempertahankan
mata tetap terbuka.
d. Apabila pemeriksa mencurigai adanya ptosis pada mata kanan, kiri atau kedua mata, minta
pasien menutup matanya beberapa menit kemudian buka mata pasien dan nilai kembali.

9. Menilai posisi bola mata:


a. Inspeksi posisi kedua mata
b. Nilai bila mata pasien juling.
c. Tanyakan apakah pasien memiliki keluhan pandangan ganda.
d. Apabila pemeriksa tidak yakin bila pasien memiliki strabismus, sinari mata dari jarak 30 cm
dengan letak tepat di tengah antara kedua mata dan minta pasien melihat ke sumber cahaya.
e. Lihat refleksi cahaya pada kedua mata pasien. Normalnya refleksi cahaya berada tepat di
tengah pupil.

10. Pemeriksaan reaksi konvergensi:


a. Persiapkan pasien dalam posisi berbaring.
b. Minta pasien untuk memfiksasi penglihatan pada jari anda yang berjarak 1 m di depan wajah
pasien. Tangan pemeriksa yang lain dapat digunakan untuk mengangkat kelopak mata atas
pasien agar pupil lebih terlihat.
c. Sambil memperhatikan ukuran pupil pasien, pemeriksa secara perlahan mendekatkan jarinya
mendekati pasien ke titik antara kedua alis pasien.
d. Minta pasien untuk mengikuti pergerakan tangan pemeriksa.
e. Amati reaksi pupil selama pemeriksaan kovergensi ini.

11. Pemeriksaan pergerakan bola mata (NIII, IV, VI):


a. Persiapkan pasien dalam posisi berbaring.
b. Pemeriksa mengangkat telunjuknya didepan mata pasien dan minta pasien untuk memfiksasi
penglihatannya pada ujung jari pemeriksa dan untuk mengikuti pergerakan tangan pemeriksa.
c. Minta pasien untuk memfiksasi kepalanya sehingga hanya bola matanya saja yang bergerak.
d. Pemeriksa menggerakkan tangannya ke kanan dan kiri, kiri atas, kanan atas, kiri bawah dan
kanan bawah serta atas bawah melewati titik tengah (6 arah).
e. Pada saat melakukan pemeriksaan ini, sudut penglihatan tidak boleh lebih dari 45 o.
f. Tanyakan kepada pasien apakah ia merasakan adanya penglihatan ganda pada saat mengikuti
gerakan jari.
g. Bila ya, tanyakan di arah mana saja.
h. Kembali periksa arah dimana pasien merasakan adanya penglihatan ganda, lalu tutup salah
satu mata secara bergantian.
i. Tanyakan pada mata sebelah mana pasien tidak dapat melihat tangan pemeriksa.

12. Pemeriksaan refleks kornea (N. V):


a. Persiapkan pasien dalam posisi berbaring. Pemeriksa berada di sisi pasien.
b. Angkat kelopak mata atas pasien, kemudian minta pasien untuk melirik ke sisi berlawanan
dari tempat peeriksa.
c. Sentuh sklera dengan ujung kapas dari sisi ke arah kornea tanpa menyentuh bulu mata
maupun konjungtiva.
d. Perhatikan adanya refleks mengedip dari pasien.
e. Lakukan pemeriksaan pada mata lainnya dan bandingkan hasilnya.
f. Pemeriksaan N V juga digunakan untuk menilai lesi pada herpes di V.1 V.2 dan V.3Dihapus
saja

13. Penilaian otot temporal dan masseter(N. V komponen motorik):


a. Minta pasien untuk mengatupkan rahangnya sekuat mungkin.
b. Pemeriksa melakukan palpasi pada otot temporal dan masseter pasien. Kemudian nilai
kekuatan tonusnya.

14. Penilaian sensasi wajah (N. V):


a. Persiapkan pasien dalam posisi duduk atau berbaring.
b. Pemeriksaan awal pasien dengan mata terbuka sehingga ia dapat melihat stimulus apa yang
akan ia identifikasi.
c. Sentuh pasien di daerah wajah dengan kapas di beberapa tempat, sesuai dengan percabangan
N.V yaitu regio supraorbital dan frontal kiri dan kanan (cabang oftalmikus), regio maksilaris
(cabang maksilaris), dan regio mandibularis (cabang mandibularis). Bandingkan kanan dan
kiri.
d. Kemudian dengan mata tertutup, tanyakan apakah pasien merasakan stimuli sentuhan yang
diberikan dan minta ia mengidentifikasi letak stimuli. Bandingkan kanan dan kiri.
e. Perhatikan adanya penurunan fungsi sensoris yang ditandai dengan adanya perbedaan sensasi
stimuli pada pasien. Walaupun pasien dapat menyebutkan seluruh letak stimuli sehingga perlu
ditanyakan apakah ia merasakan adanya perbedaan sensasi dari setiap stimuli yang diberikan.

15. Penilaian kesimetrisan wajah (N. VII):


a. Amati wajah pasien dan nilai kesimetrisannya sisi kanan dan kiri. Adanya ketidaksimetrisan
yang ringan pada saat istirahat bersifat fisiologis.
b. Minta pasien untuk:
a. Mengangkat kedua alis
b. Menutup kedua mata dengan kuat
c. Menggembungkan pipi
d. Mencucu
e. Memperlihatkan gigi-giginya
c. Amati apakah pasien dapat melakukan seluruh gerakan yang diminta dan nilai
kesimetrisannya.
d. Amati seluruh mimik spontan pada pasien, seperti tersenyum atau tertawa dan nilai
kesimetrisannya. Pemeriksaan simetris wajah.dibedakan atas dan bawah untuk membedakan
tipe sentral dan perifer.
e. Periksa pula refleks dan sensori khusus di lidah 2/3 anterior.

16. Penilaian indra pendengaran: lateralisasi, konduksi udara dan tulang (N. VIII)lihat BAB INDERA:
Tes Pendengaran

17. Pemeriksaan nistagmus:


a. Persiapkan pasien dalam posisi duduk di hadapan pemeriksa.
b. Minta pasien memfiksasi matanya pada jari anda yang berjarak 75 cm di depan wajah pasien
dan minta ia mengikuti gerakan tangan anda tanpa menggerakkan kepala.
c. Sundut pandang mata tidak lebih dari 45o. Nistagmus yang terjadi pada sudut pandang yang
lebih besar dapat bersifat fisiologis.
d. Amati timbulnya nistagmus. Tentukan arah nistagnus, lamanya, dan apakah terjadi pada fase
cepat atau lambat.
e. Perlu disebutkan apakah kelainan bersifat sentral dan perifer, vestibuler dan non vestibuler.

18. Inspeksi palatum(N IX & X):


a. Minta pasien untuk membuka mulutnya dan nilai posisi arkus palatum
b. Minta pasien mengatakan “aaa”.
c. Nilai apakah arkus palatum berkontaksi secara simetris.

19. Penilaian otot sternomastoid dan trapezius (N. XI):


Otot Sternocleidomastoideus:
a. Pemeriksa berdiri di belakang pasien dan letakkan tangan kanan pada rahang bawah kanan
pasien.
b. Minta pasien untuk mendorong tangan anda dengan menggerakkan kepala ke sisi kanan.
c. Dengan cara ini, nilai kekuatan otot sternocleidomastoideus kiri.
d. Lakukan prosedur ini terhadap rahang kiri untuk menilai kekuatan otot
sternocleidomastoideus kanan.
Otot Trapezius:
a. Pemeriksa berada di belakang pasien.
b. Minta pasien mengangkat kedua bahunya.
c. Tempatkan kedua tangan pemeriksa diatas bahu pasien dan coba untuk menurunkannya.
d. Nilai kekuatan otot trapezius dan bandingkan kanan dan kiri.

20. Pemeriksaan lidah (N. XII):


a. Minta pasien untuk membuka mulutnya.
b. Nilai bentuk dan kedudukan lidah di dalam rongga mulut.
c. Nilai apakah lidah merapat kearah kanan atau kiri.
d. Minta pasien menekan pipi kanan dan kiri menggunakan lidah sedangkan pemeriksa
mendorong lidah pipi luar.
e. Nilai kekuatan lidah dan bandingkan kanan dan kiri.
f. Nilai ada tidaknya atrofi (lidah terlihat licin) dan fasikulasi (gelombang pada otot-otot lidah).
g. Minta pasien menjulurkan lidah.
h. Nilai bentuk dan posisi lidah saat dijulurkan. Apakah lurus ditengah, deviasi ke arah kanan
atau kiri.

Analisis Hasil Pemeriksaan


1. Pemeriksaan N I:
Kehilangan kemampuan menghidu dapat disebabkan oleh beberapa hal, termasuk penyakit pada
rongga hidung, trauma kepala, akibat merokok, proses penuaan, dan pengguanaan kokain.
Kelaianan ini dapat juga bersifat kongenital.
2. Pemeriksaan N II :
Refleks pupil:
Normalnya ukuran pupil kanan dan kiri sama besar. Saat diberikan rangsangan cahaya pupil
mengalami konstriksi.
Pada pupil anisokor yang nyata pada pencahayaan terang, ukuran pupil tidak sama kanan dan kiri.
Pupil yang berukuran lebih besar tidak dapat berkonstriksi dengan baik. Penyebab kelaianan ini
antara lain trauma tumpul pada mata, glaukoma sudut terbuka, dan gangguan saraf parasimpatik
pada iris, seperti pada tonic pupil dan paralisis n.okulomotorius. Saat pupil anisokor pada cahaya
yang redup, pupil yang lebih kecil tidak dapat berdilatasi dengan baik, seperti pada Horner’s
syndrome. Hal ini disebabkan oleh gangguan saraf simpatik.
Gambar 18. Pupil anisokor

3. Pemeriksaan lapang pandang


(lihat Pemeriksaan Lapang Pandang, hal. 114)

4. Pemeriksaan fundus mata

Gambaran funduskopi normal


 Warna kuning-orange
 Pembuluh darah
sedikit pada disc
 Batas disc tegas
Atrofi optic
 Warna putih
 Tidak terdapat
pembuluh darah pada
disc
Papiledema
 Warna pink,
hiperemis
 Pembuluh darah disc
lebih terlihat dan
banyak
 Disc sembab
Coupping pada glaucoma
 Cup membesar,
warna pucat

Gambar 19. Hasil funduskopi 1

5. Inspeksi kelopak mata


Ptosis terjadi pada palsy N III, Horner’s syndrome (ptosis, meiosis,
anhidrosis) dan miastenia gravis.
6. Posisi bola mata dan pergerakan bola mata
Berikut ini adalah kelaianan posisi bola mata dan pergerakan mata:

Strabismus konvergen
(esotropia)

Strabismus divergen
(eksotropia)

Paralisis N VI kiri

1
Bickley. Bates Guide to Physical Examination and History Taking 8th Edition. 2002-08.
Paralisis NIV kiri

Paralisis N III kiri

Gambar 20. Kelainan posisi bola mata

7. Reaksi konvergensi
Pada tes konvergensi normalnya pupil mengecil (miosis).
8. Refleks kornea
Pada pemeriksaan ini reaksi normal yang ditimbulkan adalah refleks berkedip. Refleks ini
menghilang ada kerusakan atau lesi N V. Lesi pada n VII juga dapat menyebabkan gangguan pada
refleks ini.
9. Penilaian otot temporal dan masseter
Kelemahan atau hilangnya kontraksi otot temporal dan masseter pada salah satu sisi dapat
menunjukkan adanya lesi N V. Adanya kelemahan bilateral disebabkan oleh gangguan perifer atau
sentral. Pada pasien yang tidak memiliki gigi, hasil pemeriksaan ini mungkin sulit dinilai.
10. Kesimetrisan otot wajah
Lipatan nasolabial yang mendatar dan kelopak mata yang jatuh kebawah menandakan adanya
kelemahan fasial. Cedera perifer n VII, seperti pada Bell’s palsy, mempengaruhi otot wajah atas dan
bawah sisi ipsilateral, sedangkan lesi sentral hanya mempengaruhi otot wajah bagian bawah. Pada
paralisis wajah unilateal, sudut mulut sisi yang paralisis jatuh ke bawah saat pasien tersenyum
atau meringis.
11. Penilaian sensasi wajah
Penurunan atau kehilangan sensasi wajah unilateral menunjukkan adanya lesi N V atau jalur
interkoneksi sensoris yang lebih tinggi.
12. Pemeriksaan nistagmus
Nistagmus dapat menunjukkan adanya gangguan vestibular ataupun kelaianan sentral. Pada
kelaianan nistagmus yang perlu dinilai antara lain:
a. Arah komponen cepat dan komponen lambat
b. Gerakan nistagmus
- Vertikal
- Horizontal
- Rotatoar
c. Arah pandangan dimana nistagmus muncul
13. Inspeksi palatum
Palatum tidak dapat naik pada lesi bilateral dari nervus vagus. Pada kelumpuhan unilateral, satu
sisi palatum tidak dapat terangkat dan bersama-sama uvula tertarik ke arah sisi yang normal.
14. Penilaian otot sternomastoid dan trapezius
Kelemahan yang disertai atrofi dan fasikulasi menunjukkan adanya gangguan saraf perifer. Saat
m.trapezius mengalami paralisis, bahu terkulai dan skapula terjatuh kebawah dan lateral.
Pada pasien dengan posisi berbaring yang mengalami kelemahan otot strenokleidomastoideus
bilateral akan mengalami kesulitan mengangkat kepalanya dari bantal.
15. Pemeriksaan lidah
Pada pasien dengan paralisis N XII, inspeksi saat di dalam rongga mulut, dapat terlihat lidah
terdorong ke sisi yang sakit dan saat lidah dijulurkan, maka akan terdorong ke sisi yang sehat.
Interpretasi hasil perlu disebutkan apakah paralisis terjadi sentral atau perifer.

Referensi
1. Bickley. Bates Guide to Physical Examination and History Taking 8th Edition. 2002-08.
2. Duijnhoven, Belle. Skills in Medicine: The Pulmonary Examination. 2009.
4. Pemeriksaan Refleks Fisiologis
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan:
Menilai refleks fisiologis serta mengenali kelainannya.

Alat dan Bahan:


Palu refleks.

Teknik Pemeriksaan
1. Persiapkan alat yang dibutuhkan
2. Menilai Refleks tendon (bisep, trisep, pergelangan, patella, tumit):
Tendon bisceps (posisi pasien duduk)
a. Apabila pemeriksa tidak kidal, pegang siku pasien dengan tangan kiri.
b. Lengan bawah pasien harus rileks berada diatas lengan bawah pemeriksa.
c. Jempol kiri pemeriksa harus berada diatas tendon biscep di lipat siku pasien.
d. Ketuk jempol anda dengan palu refleks.
e. Nilai adanya kontraksi pada otot bisceps dan pergerakan lengan bawah, bandingkan kanan
dan kiri.

Tendon biceps (posisi pasien berbaring)


a. Fleksikan lengan dan letakkan lengan bawah di atas abdomen.
b. Pastikan otot biscep dalam keadaan rileks dengan menggerakkan siku secara pasif.
c. Tempatkan jempol atau telunjuk kiri pemeriksa pada tendon bisceps di lipat siku pasien
sebagai pemandu lokasi tendon otot biceps.
d. Ketuk jari pemandu dengan palu refleks.
f. Nilai adanya fleksi lengan bawah dan kontraksi pada otot bisceps, bandingkan kanan dan kiri.

Tendon triceps (posisi pasien duduk)


a. Fleksikan lengan bawah pasien secara pasif sehingga sikunya membentuk sudut 90 o. Pegang
pergelangan tangan pasien sehingga otot pasien benar-benar dalam keadan rileks.
b. Letakkan jari telunjuk pada tendon triceps sebagai pemandu.
c. Ketuk jari telunjuk dengan palu refleks, sekitar 3 cm diatas olecranon.
d. Nilai adanya ekstensi lengan bawah dan kontraksi pada otot triceps, bandingkan kanan dan
kiri.

Tendon triceps (posisi pasien berbaring)


a. Lengan bawah pasien diposisikan diatas dadanya dalam posisi rileks, dengan siku fleksi 90 o.
b. Dengan menggunakan satu tangan, pemeriksa memegang tangan atau pergelangan tangan
pasien memfleksikannya sedikit lebih dari 90o, dengan terlebih dahulu mengerakkan siku
pasien fleksi-ekstensi secara pasif.
e. Letakkan jari telunjuk pada tendon triceps sebagai pemandu.
f. Ketuk jari telunjuk dengan palu refleks, sekitar 3 cm diatas olecranon.
c. Ketuk tendon triceps dengan palu refleks, sekitar 3 cm diatas olecranon.
g. Nilai adanya ekstensi lengan bawah dan kontraksi pada otot triceps, bandingkan kanan dan
kiri.

Pemeriksaan Refleks brachioradialis/ pergelangan tangan (pasien posisi duduk)


a. Posisi awal memegang lengan pasien seperti saat melakukan pemeriksaan refleks bisceps.
b. Kemudian ketuk di daerah 1 cm diatas prosesus radiostyloid dengan palu refleks.
c. Nilai adanya fleksi lengan bawah dan kontraksi otot brachioradialis, bandingkan kanan dan
kiri.

Pemeriksaan Refleks brachioradialis/ pergelangan tangan (pasien posisi berbaring)


a. Posisi awal memegang lengan pasien seperti saat melakukan pemeriksaan refleks bisceps.
b. Pegang jari telunjuk pasien dengan satu tangan dan gerakkan dengan bawah dan pergelangan
tangan pasien hingga otot rileks.
c. Kemudian ketuk di daerah 1 cm diatas prosesus radiostyloid dengan palu refleks.
d. Nilai adanya fleksi lengan bawah dan kontraksi otot brachioradialis, bandingkan kanan dan
kiri.

Pemeriksaan Refleks Patella (pasien posisi duduk)


a. Tungkai bawah pasien harus dalam keadaan menggantung dan rileks.
b. Yakinkan otot quadriceps pasien dalam keadaan rileks.
c. Ketuk tendon quadriceps dengan palu refleks, diantara patella dan tuberositas tibial.
d. Nilai adanya ekstensi tungkai bawah dan kontraksi otot quadriceps, bandingkan kanan dan
kiri.

Pemeriksaan RefleksPatella (pasien posisi berbaring)


a. Pemeriksa menempatkan tangannya pada salah satu lutut pasien melewati bawah lutut yang
akan diperiksa.
b. Yakinkan tangan pemeriksa yang bebas mengecek bahwa otot quadriceps pasien dalam
keadaan rileks.
c. Ketuk tendon quadriceps dengan palu refleks, diantara patella dan tuberositas tibial.
d. Nilai adanya ekstensi tungkai bawah dan kontraksi otot quadriceps, bandingkan kanan dan
kiri.

Pemeriksaan Refleks Achilles (pasen posisi berbaring)


a. Letakkan kaki pasien dalam posisi menyilang, satu kaki diatas kaki lainnya.
b. Pemeriksa memegang ujung kaki pasien dan menggerakkan pergelangan kakinya fleksi-
ekstensi hingga otot rileks.
c. Pemeriksa menekan kaki pasien sehingga kaki pasien sedikit dorso fleksi.
d. Ketuk tendon Achilles dengan palu refleks.
e. Nilai adanya fleksi dorsum pedis atau ekstensi plantar pedis, bandingkan kanan dan kiri.

3. Refleks abdominal
a. Pasien berbaring dalam keadaan rileks.
b. Goreskan ujung lancip palu refleks dengan arah dari tepi ke umbilikus di enam regio abdomen
(epigastrik, mesogastrik, hipogastrik, kanan dan kiri)
c. Nilai adanya pergerakan umbilikus yang disebabkan oleh adanya kontraksi otot abomen.

4. Refleks kremaster
a. Pasien berbaring diatas meja periksa
b. Goreskan ujung lanciip palu refleks didaerah paha dalam dengan arah dari distal ke proksimal.
c. Nilai bila terlihat testis terangkat, bandingkan kanan dan kiri.

5. Refleks anal
a. Pasien berbaring dengan posisi litotomi.
b. Dengan perlahan, goreskan ujung lancip palu refleks di sekitar anus dengan gerakkan
melingkar.
c. Nilai adanya kontraksi dari muskulus sfingter ani eksternal.

6. Snout refleks(refleks regresi)


a. Dengan perlahan ketukkan jari pemeriksa diantara hidung dan mulut pasien.
b. Nilai respon mulut pasien berupa gerakan mencucu.

Analisis Hasil Pemeriksaan


1. Penilaian hasil pemeriksaan refleks:
a. 0 : tidak ada refleks
b. 1 : refleks lemah
c. 2 : refleks normal
d. 3 : refleks cepat
e. 4 : refleks cepat dengan disertai klonus (beberapa kontraksi pendek dan ritmik)

2. Kelainan yang dapat ditemukan antara lain:


a. Hiporefleksia: Refleks menurun pada kelainan lower motor neuron.
b. Arefleksia. Dapat disebabkan oleh:
- Lesi yang melibatkan saraf tepi (jalur aferen dan/atau eferen lengkung refleks).
- Lesi pada bagian sentral (spinal root) dari lengkung refleks, seperti syringomalasia.
- Fase akut dari cedera spinal.
- Koma dalam.
- Arefleksia kongenital, biasanya pada tungkai.
c. Hiperefleksia: refleks meningkat pada gangguan yang melibatkan upper motor neuron.
d. Adanya klonus merupakan tanda patologis dan indikasi adanya lesi pada central motor neuron
(CML) diatas refleks cabang spinal. Pada bayi baru lahir atau pasien dengan refleks yang
sangat cepat, klonus bertahan selama 3-4 ketukan didapatkan dikedua sisi.

Referensi
1. Bickley. Bates Guide to Physical Examination and History Taking 8th Edition. 2002-08.
2. Duijnhoven, Belle. Skills in Medicine: Neurology Examination. 2009.
5. Pemeriksaan Refleks Patologis
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan:
Melakukan pemeriksaan
1. Hofmann tromner
2. Babinski
3. Oppenheim
4. Chaddock
5. Gordon
6. Schaefer
7. Gonda

Alat dan Bahan:


palu refleks

Teknik pemeriksaan
1. Siapkan alat dan bahan.
2. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang dilakukan.
3. Mencuci tangan.
4. Refleks Hoffman tromner
a. Minta pasien untuk melakukan hiperekstensi di pergelangan tangannya, kemudian ujung jari
tengah disentil (snapped)
b. Lihat gerakan jari lainnya, hasil positif adalah bila jari-jari fleksi dan ibu jari adduksi
5. Kemudian, minta pasien berbaring di meja periksadengan kedua tungkai diluruskan.
6. Refleks babinski
a. Pemeriksa memegang pergelangan kaki untuk memfiksasi kaki pasien.
b. Gunakan ujung tajam palu refleks untuk menggores telapak kaki bagian lateral, mulai tumit
menuju pangkal jempol kaki.
c. Goresan dilakukan secara perlahan dan tidak sampai mengakibatkan rasa nyeri.
d. Lakukan prosedur pemeriksaan ini pada kaki lainnya dan bandingkan hasilnya.

Gambar 21. Refleks Babinski

7. Refleks Chaddock
Rangsangan diberikan dengan cara menggoreskan ujung runcing palu refleks di bagian lateral
maleolus.
Gambar 22. Refleks Chaddock

8. Refleks Oppenheim
Rangsangan diberikan dengan mengurut dengan kuat tibia dan otot tibialis anterior dari arah
proksimal ke distal.

Gambar 23. Refleks Oppenheim

9. Refleks Gordon
Rangsangan diberikan dengan mencubit otot gastroknemius.

Gambar 24. Refleks Gordon

10. Refleks Scaeffer


Rangsangan diberikan dengan mencubit tendon achilles
Gambar 25. Refleks Scaeffer

11. Refleks Gonda


Rangsangan diberikan dengan menekan kalah satu jari kaki dan melepaskannya.

Analisis hasil pemeriksaan


- Refleks Hoffman tromner positif bilateral pada 25% orang normal, sedangkan bila unilateral
merupakan indikasi lesi UMN diatas segmen servikal VIII.
- Refleks dikatakan positif apabila pada saat dilakukan manuver-manuver diatas didapatkan gerakan
dorsofleksi ibu jari kaki yang dapat disertai dengan gerak mekarnya jari-jari lainnya. Refleks-refleks
ini positif pada lesi traktus piramidalis.

Referensi
1. Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates’ Guide to Physical Examination and History Taking, 10th edition.
Lippincott Williams & Wilkins, China, 2009.
2. Duijnhoven, Belle. Skills in Medicine: The Neurology Examination. 2009
3. Lumbantobing. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta. Balai penerbit FKUI. 2008.
p46-47.
6. Pemeriksaan Sistem Sensorik (Eksteroseptif dan Proprioseptif)
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan:
menilai fungsi sistem sensorik.

Alat dan Bahan


1. Tusuk gigi
2. Cotton bud
3. Dua buah tabung reaksi
4. Air panas
5. Air dingin
6. Garpu tala

Teknik Pemeriksaan
Disusun berdasar dermatom, mulai dari C3 untuk rangsang nyeri, raba halus dan suhu
1. Siapkan alat dan bahan.
2. Jelaskan kepada pasien jenis pemeriksaan yang akan dilakukan dan prosedurnya.
3. Penilaian sensasi nyeri:
a. Biarkan pasien merasakan perbedaan rangsangan saat pemeriksa menekan ujung runcing
tusuk gigi dan ujung tumpul cotton bud pada area dimana pemeriksa yakin tidak terdapat
defisit sensorik.
b. Minta pasien menutup mata.
c. Kemudian lakukan prosedur ini di beberapa tempat dengan menekankan ujung tajam tusuk
gigi dan ujung tumpul cotton bud secara bergantian dan acak. Tanyakan kepada pasien setiap
pemeriksa menekankan salah satu benda diatas, apakah pasien merasakan tajam atau tumpul.
d. Apabila terdapat gangguan membedakan sensasi tajam dan tumpul, gunakan istilah hipalgesia
atau analgesia dan catat bagian tubuh yang mengalami gangguan.
4. Penilaian sensasi suhu:
a. Pada pemeriksaan ini, siapkan dua buah tabung reaksi yang berisi air dingin dan air panas.
b. Biarkan pasien merasakan perbedaan rangsangan suhu yang diberikan pada area dimana
pemeriksa yakin tidak terdapat defisit sensorik.
c. Minta pasien menutup mata.
d. Sentuhkan rangsangan panas dan dingin di beberapa area pada tubuh pasien, tanyakan apa
yang pasien rasakan setiap kali memberikan rangsangan.
e. Catat bagian tubuh mana saja yang mengalami gangguan dalam membedakan rangsangan
suhu.
5. Penilaian sesasi raba halus:
a. Untuk pemeriksaan ini, gunakan ujung cotton bud.
b. Minta pasien untuk menutup mata.
c. Selalu sentuh pasien dengan sentuhan ringan, jangan di tekan.
d. Minta pasien mengatakan “ya” setiap kali pasien merasakan kontak.
e. Minta pasien untuk menyebutkan bila pasien merasakan sensasi yang berbeda saat disentuh.
f. Catat bagian tubuh mana saja yang mengalami gangguan dalam membedakan rangsangan
suhu.
6. Penilaian rasa posisi (propioseptif):
a. Minta pasien menutup mata.
b. Pegang jempol kaku pasien diantara jempol dan jari telunjuk pemeriksa.
c. Pastikan bahwa pemeriksa tidak menyentuh jari pasien yang lainnya.
d. Gerakkan jempol kaki pasien dan tanyakan bila pasien merasakan gerakan tersebut dan
menyebutkan arahnya.
e. Lakukan juga prosedur ini pada ekstremitas atas.
f. Lakukan pula pemeriksaan getar dan posisi dua tempat (two point discrimination).

Analisis Hasil Pemeriksaan


1. Dengan menandai area yang mengalami defisit neurologis, pemeriksa dapat mengetahui adanya
kelainan mononeuropathy, polineuropathy, lesi saraf tepi maupun lesi pada saraf sentral.
2. Penilaian sensasi nyeri dan suhu merupakan penilaian fungsi sensoris spinothalamikus sehingga
kelainan pada pemeriksaan ini merupakan tanda adanya gangguan pada fungsi sensoris
spinothalamiskus.
3. Penilaian sensasi raba dan posisi (propioseptif) merupakan penilaian fungsi sensoris kolumna
dorsalis sehingga kelainan pada pemeriksaan ini merupakan tanda adanya gangguan pada fungsi
sensoris kolumna dorsalis.
4. Kondisi yang melibatkan korda spinalis dapat menyebabkan gangguan pada salah satu fungsi
tersebut, misanya fungsi sensoris spinothalamikus yang intak namun ada defisit dari fungsi
sensoris kolumna dorsalis.
5. Berdasarkan lokasi gangguan fungsi sensoris, pemeriksa dapat memperkirakan kemungkinan letak
lesi.

Referensi
1. Bickley. Bates Guide to Physical Examination and History Taking 8th Edition. 2002-08.
2. Duijnhoven, Belle. Skills in Medicine: Neurology Examination. 2009.
7. Pemeriksaan Sistem Motorik

Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan
1. Menilai postur dan habitus (lihat Bab III General Survey).
2. Menilai adanya gerakan involunter.
3. Menilai tonus otot.
4. Menilai kekuatan otot.

Alat dan Bahan:


-

Teknik Pemeriksaan
1. Siapkan alat dan bahan.
2. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang dilakukan.
3. Cuci tangan sebelum melakukan prosedur pemeriksaan.
4. Inspeksi:
1. Minta pasien berdiri dengan santai.
2. Nilai postur tubuh pasien dan kontur otot. Amati tanda-tanda adanya hipertrofi maupun atrofi
otot.
3. Nilai adanya gerakan involunter seperti tremor, fasikulasi dan gerakan koreiform.
5. Penilaian tonus otot:
a. Persiapkan pasien dalam posisi berbaring, se-rileks mungkin.
b. Pegang lengan pasien dengan menempatkan tangan pemeriksa disekitar pergelangan tangan
pasien (hanya di sendi siku dan lutut;sendi-sendi besar). Siku dalam keadaan menempel pada
meja periksa.
c. Tempatkan jari-jari pemeriksa pada tendon biceps.
d. Fleksi dan ekstensikan sendi siku beberapa kali.
e. Nilai tonus otot-otot lengan atas pasien dan bandingkan kanan dan kiri.
f. Nilai juga tonus otot-otot tungkai atas dengan fleksi dan ekstensi secara pasif sendi panggul
dan lutut.
6. Penilaian kekuatan otot:
a. Untuk menilai kekuatan otot, pasien harus mengkontraksikan ototnya secara maksimal.
b. Coba untuk membuat tahanan terhadap otot yang diperiksa dengan menggunakan tangan
pemeriksa.
c. Saat menilai kekuatan otot pasien, coba untuk membuat perbandingan dengan kekuatan
pemeriksa.
a. Buat penilaian semi kuantitatif berdasarkan skala 0-5.

Area kepala dan leher


Lihat BAB SISTEM SARAF dalam pemeriksaan saraf kranial

Ekstremitas atas
M. serratus anterior
a. Pasien berdiri dengan kedua tangan diregangkan dan disandarkan pada dinding. Tinggi tangan
yang menempel pada dinding kurang lebih sejajar dengan bahu.
b. Minta pasien mendorong tembok. Nilai kekuatan ototnya, bandingkan kanan dan kiri.

M. deltoideus
a. Minta pasien untuk mengekstensikan kedua lengannya ke arah samping dan minta ia untuk
mempertahankan posisi tersebut.
b. Pemeriksa mencoba menekan kedua lengan pasien ke bawah dan nilai kekuatan ototnya,
bandingkan kanan dan kiri.

M. biceps brachii
a. Minta pasien memfleksikan sendi sikunya dengan maksimal ke arah bahu, dengan posisi supinasi
lengan bawah.
b. Pemeriksa mencoba meluruskan lengan pasien dan nilai kekuatan ototnya, bandingkan kanan dan
kiri.

M. triceps brachii
a. Minta pasien mengekstensikan maksimal lengannya pada sendi siku.
b. Pemeriksa mencoba menekuk lengan pasien pada sendi siku, nilai kekuatan ototnya, bandingkan
kanan dan kiri.

Muskulus-muskulus ekstensor pergelangan tangan


a. Minta pasien untuk mengekstensikan pergelangan tangannya dengan pronasi lengan bawah.
b. Pemeriksa mencoba memfleksikan pergelangan tangan, nalai kekuatan ototnya, bandingkan kanan
dan kiri.

Muskulus-muskulus fleksor pergelangan tangan


a. Minta pasien meletakkan lengan bawahnya diatas meja pada posisi supinasi dan fleksi pada sendi
pergelangan tangan.
b. Pemeriksa mencoba mengekstensikan pergelangan tangan pasien, nilai kekuatan ototnya,
bandingkan kanan dan kiri.

Muskulus-muskulus fleksor jari


a. Minta pasien untuk menggenggam jari pemeriksa sekuatnya.
b. Pemeriksa mencoba melepaskan jari-jarinya dan nilai kekuatan ototnya, bandingkan kanan dan
kiri.
Muskulus-muskulus ekstensor jari
a. Minta pasien meluruskan sendi-sendi jari tangannya.
b. Pemeriksa mencoba memfleksikan sendi-sendi jari pasien dan nilai kekuatan ototnya, bandingkan
kanan dan kiri.

M. opponens pollicis
a. Minta pasien untuk menautkan ujung jempol dan ujung kelingkingnya sehingga membentuk
lingkaran.
b. Pemeriksa mencoba melepaskan lingkaran tersebut dengan jarinya, nilai kekuatan ototnya,
bandingkan kanan dan kiri.

Muskulus-muskulus interoseus
a. Minta pasien untuk mengekstensikan seluruh jarinya dan regangkan.
b. Pemeriksa melakukan hal yang sama dan menempatkan jari-jarinya diantara jari-jari pasien.
c. Minta pasien untuk merapatkan jari-jarinya sekuatnya.
d. Nilai kekuatan ototnya, bandingkan kanan dan kiri.

Ekstremitas bawah
M. gluteus medius dan m. gluteus minimus
a. Minta pasien untuk berdiri tegak.
b. Amati apakah tubuh bagian atas pasien terlihat membungkuk.
c. Amati apakah pasien dapat mempertahankan pelvis pada posisi sejajar garis horizontal.

M. iliopsoas
a. Minta pasien berbaring di meja periksa dengan posisi sendi panggul fleksi maksimal.
b. Pemeriksa mencoba meluruskan sendi panggul pasien dan nilai kekuatan ototnya, bandingkan
kanan dan kiri.

M. quadricep
a. Pemeriksa berdiri di sebelah kanan pasien.
b. Tempatkan tangan kanan pemeriksa pada pergelangan kaki kanan pasien yang sedang dalam
posisi lurus, angkat sedikit kaki pasien.
c. Letakkan tangan kiri pemeriksa dibawah kaki kanan pasien tepat melewati bawah lutut dan
pegang lutut kaki kiri pasien.
d. Tangan kanan pemeriksa mencoba untuk menekuk sendi lutut kanan pasien dan nilai kekuatan
ototnya.
e. Lakukan prosedur yang sama untuk kaki sebelah kiri dan bandingkan kekuatannya.

M. femoral adductor
a. Pasien berbaring dengan posisi fleksi pada sendi panggul dan lutut. Rapatkan kedua lutut.
b. Pemeriksa mencoba memisahkan kedua lutut pasien dan nilai kekuatan ototnya, bandingkan
kanan dan kiri.

M. hamstrings
a. Pasien berbaring dengan posisi fleksi pada sendi panggul dan fleksi maksimal pada sendi lutut
sehingga tumit pasien menyentuh paha atas.
b. Pemeriksa mencoba mengekstensikan sendi lutut pasien dan nilai kekuatannya, bandingkan kanan
dan kiri.

M. tibialis anterior dan m. extensor digitorum


a. Pasien berbaring dengan posisi kedua tungkai ekstensi. Minta pasien untuk menarik telapak
kakinya ke arah kranial sehingga fleksi pada sendi pergelangan kaki (dorso fleksi).
b. Pemeriksa mencoba mendorong kaki pasien menjauhi tubuh dan nilai kekuatannya, bandingkan
kanan dan kiri.

M. gastrocnemius
a. Pasien berbaring dengan posisi kedua tungkai ekstensi. Minta pasien untuk meluruskan telapak
kakinya seperti menginjak rem (plantar fleksi).
b. Pemeriksa mencoba mendorong kaki pasien mendekati tubuh dan nilai kekuatannya, bandingkan
kanan dan kiri.

M. peroneal
a. Tangan pemeriksa diletakkan di sisi luar kaki pasien sejajar jari kelingking.
b. Minta pasien mendorong tangan pemeriksa sekuatnya dan nilai kekuatan ototnya, bandingkan
kanan dan kiri.

M. extensor hallucis longus


a. Tangan pemeriksa diletakkan di sisi dalam kaki pasien sejajar jempol.
b. Minta pasien mendorong tangan pemeriksa sekuatnya dan nilai kekuatan ototnya, bandingkan
kanan dan kiri.

M. flexor hallucis longus


a. Minta pasien untuk memfleksikan kedua jempol kakinya.
b. Pemeriksa mencoba meluruskan kedua jempol pasien dan nilai kekuatan ototnya, bandingkan
kanan dan kiri.

Analisis Hasil Pemeriksaan


1. Atrofi otot dapat ditemukan pada:
- Penyakit kronis dan malnutrisi
- Penyakit muskular
- Setelah terjadi kerusakan saraf perifer
- Setelah kerusakan traktus kortikospinal
Bentuk atrofi dapat berupa:
a. Atrofi asimetris terjadi pada contohnya mononeuropathy.
b. Atrofi simetris terjadi pada contohnya penyakit muskular.

2. Gerakan involunter:
a. Fasikulasi merupakan kontraksi otot yang tidak beraturan. Kadaan ini dapat mengindikasikan
adanya lesi motor neuron (contohnya polimielitis, amyotrophic lateral sclerosis) namun dapat
juga tidak memiliki makna patologis.
b. Tremor merupakan gerakan involunter yang relatif berirama, yang kurang lebih dapat dibagi
menjadi tiga kelompok:
- Resting (Static) Tremors
Tremor ini paling mencolok saat istirahat dan dapat berkurang atau menghilang dengan
adanya pergerakan.
- Postural Tremors
Tremor ini terlihat saat bagian yang terkena aktif menjaga postur. Contohnya tremor pada
hipertiroid dan tremor pada kecemasan atau kelelahan. Tremor ini dapat memburuk bila
bagian yang terkena disengaja untuk mempertahankan suatu postur tertentu.
- Intention Tremors
Merupakan tremor yang hilang saat istirahat dan timbul saat aktivitas dan semakin
memburuk bila target yang akan disentuh semakin dekat. Penyebabnya antara lain
gangguan jaras serebelar seperti pada multiple sclerosis.

Gambar 26. Tremor

c. Tick
Tics merupakan gerakan yang singkat, berulang, stereotip, gerakan terkoordinasi yang terjadi
pada interval yang tidak teratur. Contohnya termasuk berulang mengedip, meringis,
danmengangkat bahu bahu. Penyebab termasuk sindrom dan obat-obatan seperti Tourette,
fenotiazin dan amfetamin.

Gambar 27. Tick

d. Chorea
Gerakan Choreiform merupakan gerakan yang singkat, cepat, tidak teratur, dan tak terduga.
Terjadi saat istirahat atau mengganggu gerakan terkoordinasi normal. Tidak seperti tics,
chorea jarang berulang. Wajah, kepala, lengan bawah, dan tangansering terlibat. Penyebabnya
termasuk chorea Sydenham (dengan demam rematik) dan penyakit Huntington.
Gambar 28. Chorea

e. Athetosis
Gerakan Athetoid lebih lambat dan lebih memutar dan menggeliat dibandingkan gerakan
choreiform, dan memiliki amplitudo yang lebih besar. Paling sering melibatkan wajah dan
ekstremitas distal. Athetosis sering dikaitkan dengan spastisitas. Penyebabnya antara
laincerebral palsy.

Gambar 29. Athetosis

3. Penilaian tonus otot:


a. Rigiditas: adanya tahanan pada seluruh pergerakan. Kondisi ini menandakan adanya
keterlibatan sistem ekstrapiramidal.
b. Spastisitas: adanya tahanan pada bagian tertentu dari suatu gerakan, letaknya dapat
bervariasi. kondisi ini menandakan adanya keterlibatan jaras kortikospinal (sistem piramidal).
c. Hipotonia: pada keadaan relaksasi pun biasanya otot teraba sedikit berkontraksi. Namun
konduksi sensoris ke otot dapat terganggu, misalnya pada kerusakan saraf tepi yang berat atau
kerusakan akut jalur kortikospinal, sehingga tonus otot dapat menghilang.
4. Penilaian pemeriksaan kekuatan otot:
0: Tidak ada pergerakan sama sekali, tonus otot tidak teraba.
1: Tonus otot teraba namun tidak ada pergerakan. Hanya bisa menggerakkan sendi kecil
2: Terdapat pergerakan namun tidak dapat melawan gravitasi (gerakan menggeser ke kanan dan
kiri). Hanya bisa menggeser di permukaan.
3: Kekuatan otot hanya cukup untuk melawan gravitasi namun tidak dapat melawan tahanan
ringan.
4: Kekuatan otot dapat menahan tahanan ringan namun tidak dapat melawan tahanan maksimal.
5: Kekuatan otot dapat menahan tahanan maksimal.

Referensi
1. Bickley. Bates Guide to Physical Examination and History Taking 8th Edition. 2002-08.
2. Duijnhoven, Belle. Skills in Medicine: Neurology Examination. 2009.
8. Pemeriksaan Koordinasi

Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan:
Menilai fungsi koordinasi.

Alat dan Bahan:


-

Teknik Pemeriksaan
1. Jelaskan kepada pasien jenis pemeriksaan yang akan dilakukan dan prosedurnya.
2. Inspeksi cara berjalan (gait):
a. Minta pasien untuk berjalan melintasi ruangan beberapa kali.
b. Amati cara berjalan pasien, pola kontak kaki dengan lantai, ayunan tangan dan lebar langkah.

3. Pemeriksaan tandem gait:


a. Minta pasien untuk berjalan dalam satu garis lurus dengan cara ujung tumit menyentuh ujung
jempol kaki dibelakangnya. Bila dibutuhkan, berikan contoh kepada pasien.
b. Amati cara berjalan pasien. Perhatikan bilamana pasien terlihat kehilangan keseimbangan.

4. Tes Romberg dan Romberg dipertajam:


a. Minta pasien berdiri dengn kedua kaki dirapatkan.
b. Pemeriksa berdiri di belakang pasien dengan posisi tangan pemeriksa berada di sisi pasien
tanpa menyentuhnya.
c. Minta pasien untuk merentangkan kedua tangannya ke depan sejajar bahu dengan posisi
supinasi.
d. Instruksikan kepada pasien untuk mempertahankan posisi kedua tangannya.
e. Bila pasien tidak terjatuh saat dilakukan pemeriksaan dengan mata terbuka, minta pasien
untuk menutup kedua matanya.
f. Amati bila pasien kehilangan keseimbangan atau terjatuh. Nilai arah jatuh atau ayunan pasien.

5. Tes Telunjuk-Hidung:
a. Minta pasien menutup mata dan tentangkan tangan kanan jauh ke samping.
b. Minta pasien menyentuh hidungnya dengan jari telunjuk kanan, ulangi beberapa kali. Lakukan
prodedur yang sama terhadap tangan kiri.
c. Nilai tandatanda hipermetria atau kecenderungan tremor saat pasien melakukan prosedur
diatas.
d. Bila pemeriksa menemukan tanda hipermetria atau tremor, minta pasien melakukan prosedur
pemeriksaan dengan mata terbuka.
e. Nilai apakah dengan mata terbuka pasien lebih mudah melakukan prosedur pemeriksaan.
Bandingkan kanan dan kiri.

6. Tes Tumit-Lutut:
a. Minta pasien untuk menutup kedua matanya, kemudian menempatkan tumit kanan di atas
lutut kiri.
b. Minta pasien untuk menurunkan tumitnya menyusuri tungkai bawah kaki kiri kebawah.
c. Lakukan rosedur bergantian dengan kaki kiri.
d. Nilai bila pasien menunjukkan tanda-tanda hipermetria atau ataksia, yaitu bila tumit berkali-
kali terjatuh dari jalurnya pada tungkai bawah.
e. Bila pemeriksa menemukan tanda hipermetria atau ataksia, minta pasien melakukan prosedur
pemeriksaan dengan mata terbuka.
f. Bandingkan kanan dan kiri.

7. Pemeriksaan Disdiadokokinesis:
a. Minta pasien melakukan gerakan tangan pronasi dan supinasi. Tangan kanan dimulai dari
pronasi, tangan kiri dimulai dari supinasi, lakukan gerakan ini secepat mungkin.
b. Bila diperlukan pemeriksa boleh memberikan contoh pemeriksaan terhadap pasien.
c. Bandingkan kanan dan kiri.

Analisis Hasil Pemeriksaan


1. Keseimbangan pasien dipengaruhi oleh fungsi cerebellum dan sistem vestibular, serta propriosptif
ekstremitas bawah, sehingga kelainan pada keseimbangan berhubungan dengan gangguan pada
sistem-sistem tersebut.
2. Pola kontak kaki-lantai. Kondisi yang berhubungan dengan N.peroneal dapat menyebabkan drop
foot. Pada keadaan ini, saat berjalan bagian kaki pasien yang lebih dulu menyentuh lantai adalah
jempol kaki, diikuti telapak kaki, terakhir tumit.
3. Jarak antar langkahdapat memendek pada pasien dengan penyakit Parkinson. Pada keadaan ii juga
dapat dilihat ayunan tangan berkurang saat pasien berjalan.
4. Pada pemeriksaan Romberg, dinyatakan positif bila pasien terlihat berayun atau pemeriksa harus
memegang pasien untuk mencegah pasien terjatuh.
5. Apabila pasien terganggu koordinasinya hanya saat pasien menutup mata, maka pasien mengalami
gangguan koordinasi karena proprioseptif yang tidak adekuat. Kondisi ini juga dikenal dengan
ataksia sensoris.
6. Bila gangguan koordinasi meningkat saat pasien menutup mata, maka pasien mengalami gangguan
koordinasi disebabkan oleh kondisi vestibular.
7. Bila gangguan koordinasi sama saat pasien menutup maupun membuka mata, maka gangguan
koordinasi ini disebabkan oleh kondisi cerebelar.
8. Tes telunjuk hidung tidak terganggu pada pasien dengan gangguan ekstrapiramidal, namun
mungkin terdapat tremor yang hilang bila pasien diminta melakukan gerakan yang bertujuan.
Namun saat berdiri dan berjalan, pasien mengalami kesulitan akibat adanya gerakan involunter
yang berlebihan, seperti pada pasien Parkinson.

Referensi
1. Bickley. Bates Guide to Physical Examination and History Taking 8th Edition. 2002-08.
2. Duijnhoven, Belle. Skills in Medicine: Neurology Examination. 2009.

Pemeriksaan Fungsi Luhur belum ada


Tingkat kemampuan 4A untuk Orientasi, berbahasa, konsentrasi/Atensi, dan memori.

Usul untuk pemeriksaan fungsi Luhur digunakan MMSE (Mini Mental State Examination)
Catatan: Pemeriksaan Atensi/Kalkulasi juga termasuk pemeriksaan Konsentrasi.
Pemeriksaan MMSE merupakan skrining fungsi memori, dimana kemungkinan adanya gangguan
kognitif berat yang mengarah ke Demensia adalah jika skor <24. MMSE merupakan pemeriksaan
fungsi luhur sederhana yang bisa dilakukan secara bed-side.
9. Pemeriksaan Neurologis Lainnya: Patrick dan Kontra Patrick
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan
Melakukan pemeriksaan Patrickdan kontra Patrick

Alat dan Bahan:


-

Teknik Pemeriksaan
1. Siapkan alat dan bahan.
2. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang dilakukan.
3. Minta pasien berbaring di meja periksadengan kedua tungkai diluruskan.
4. Patrick’s sign
a. Pemeriksa melakukan fleksi sendi lutut, abduksi dan internal rotasi pada salah satu tungkai
pasien.
b. Salah satu tangan pemeriksa diletakkan pada anterior superior os iliaka untuk menstabilkan
panggul, sedangkan tangan lainnya diletakkan pada lutut pasien yang fleksi kemudian ditekan.
c. Nilai adakah nyeri dan lokasinya, bandingkan tungkai kanan dan kiri.

Gambar 30. Patrick’s sign


5. Contra-patrick’s sign
a. Pemeriksa melakukan fleksi sendi lutut, abduksi dan eksternal rotasi pada salah satu tungkai
pasien.
b. Salah satu tangan pemeriksa diletakkan pada anterior superior os iliaka untuk menstabilkan
panggul, sedangkan tangan lainnya diletakkan pada lutut pasien yang fleksi kemudian ditekan.
c. Nilai adakah nyeri dan lokasinya, bandingkan tungkai kanan dan kiri.

Analisis hasil pemeriksaan


Patrick’s sign
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengevaluasi kelainan pada sendi panggul atau sendi sakroiliaka. Jika
rasanyeri timbul pada sisi ipsilateral anterior, maka hal ini menandakan adanya gangguan sendi panggul
pada sisi ipsilateral. Jika nyeri timbul pada sisi kontralateral posterior sekitar sendi panggul, maka hal ini
menandakan adanya kelainan pada sendi tersebut.

Contra-patrick’s sign
Pemeriksaan ini merupakan kebalikan dari tindakan patrick’s sign. Bila nyeri timbul pada pemeriksaan
ini, maka hal ini menandakan adanya kelainan pada sendi sakroiliaka.

Referensi
Buckup K. Clinical test for the musculoskeletal system: examinations-signs-phenomena. 2 nd ed. Stuttgart:
Thieme; 2008.
BAB XVI.Sistem Kulit dan Integumen

10. Pemeriksaan Fisik Kulit, Mukosa dan Kuku

Tujuan:
melihat dan menilai kelainan kulit dan jaringan penunjang

Prior Knowledges and skills:


 Mengetahui anatomi, histologi dan fisiologi kulit
 Mengetahui morfologi kelainan kulit
 Mengetahui mekanisme kerja diaskopi, pemeriksaan lampu Wood, pemeriksaan
dermografisme

Alat dan Bahan:


Lup (kaca pembesar), lampu pemeriksaan, gelas obyek, lampu Wood

Teknik Pemeriksaan
Kulit
Inspeksi dan palpasi
- Warna  lihat apakah banyak peningkatan pigmentasi, hilangnya pigmentasi, kemerahan, pucat,
sianosis dan kekuningan di kulit
- Kelembaban  lihat dan rasakan apakah kulit pasien kering, banyak keringat atau berminyak
- Suhu  dengan menggunakan punggung jari tangan untuk memeriksa ini. Sebagai tambahan
untuk mengidentifikasi kehangatan generalisata atau kulit yang dingin, catat temperatur di setiap
tempat yang kemerahan
- Tekstur  nilai dan rasakan kelembutan atau kekasaran kulit pasien
- Turgor dan mobilitas  angkat sedikit dari lipatan kulit dan catat kemudahannya dalam terangkat
dan kembali ke bentuk semula

Lesi kulit
Observasi setiap kelainan yang ditemukan
- Tentukan lokasi anatomi dan distribusinya di tubuh  generalisata, lokal, universalis, difus,
sirkumskripta, unilateral, bilateral, regional
- Tipe lesi kulit  setinggi permukaan (makula), diatas permukaan kulit (urtika, vesikel, bula, kista,
pustul, papul, nodus), lesi sekunder (ekskoriasi, krusta, skuama, erosi) disertai keterangan warna
(sewarna kulit, eritem, hipo/hiperpigmantasi)
- warna
- Pola dan bentuk  liniar, anular, arsinar polisiklik, korimbiformis pola dan bentuk diganti
dengan konfigurasi, ukuran dan distribusi lesi

Rambut
Inspeksi dan palpasi rambut. Catat kuantitas, distribusi rambut dan teksturnyaditambahkan:
pemeriksaan skalp, warna rambut, kerapuhan batang rambut

Kuku
Inspeksi dan palpasi kuku jari tangan dan kuku jari kaki. Lihat warna, bentuk dan kelainan bentuk.
Garis longitudinal seperti pigmen mungkin dapat terlihat pada orang normal dengan kulit yang lebih
gelapditambahkan: permukaan, alur kuku, kerapuhan dan lokasi kelainan (Nailplate, nail bed, lateral
kuku, dll)
Analisis Hasil Pemeriksaan
1. Pucat yang terjadi oleh karena penurunan kemerahan akibat anemia dan kekurangan aliran darah,
yang biasa terjadi pada orang yang sering pingsan atau insufisiensi arteri.
2. Penyebab sianosis sentral adalah penyakit paru lanjut, penyakit jantung kongenital, dan
hemoglobinopati.
3. Sianosis di gagal jantung kongestif sering perifer, merefleksikan menurunnya aliran darah, tetapi
di edema paru kemungkinan sentral. Obstruksi vena mungkin menyebabkan sianosis perifer.
4. Jaundice menandakan penyakit hepar atau hemolisis dari sel darah merah yang terlalu banyak.
5. Kulit kering pada hipotiroid, kulit berminyak pada jerawat.
6. Kehangatan kulit generalisata ada pada demam, kulit dingin pada hipotiroid, kehangatan lokal
akibat inflamasi atau selulitis.
7. Kulit keras pada hipotiroid, kulit seperti beludru pada hipertiroid.
8. penurunan mobilitas pada edema dan skrofuloderma, penurunan turgor akibat dehidrasi.
9. Banyak penyakit kulit punya distribusi yang tipikal. Jerawat berada di wajah, dada bagian atas dan
punggung. Psoriasis sering pada lutut, siku dan punggung bawah dan infeksi kandida pada area-
area lipatan.
10. Vesikel yang unilateral dan bersifat dermatom khas pada herpes zoster.
11. Kemerahan lokal di kulit menandakan akan terjadi nekrosis, walaupun beberapa luka akibat
tekanan dalam terjadi tanpa didahului oleh kemerahan.
12. Alopesia artinya rambut rontok, bisa difus, bercak atau total. Rambut yang jarang pada hipotiroid,
rambut yang lembut seperti sutra pada hipertiroid.
13. belum ada analisis hasil pemeriksaan kuku

Referensi
 Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates’ Guide to Physical Examination and History Taking, 10th edition.
Lippincott Williams & Wilkins, China, 2009, p 168-170
 Andrew's Disease of the skin, Edisi XII, 2016
 Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine, 2012

Contoh Kasus:
 Seorang laki-laki, usia 18 tahun, pelajar, datang dengan keluhan bercak-bercak putih yang
disertai rasa gatal bila berkeringat di punggung sejak 3 bulan yang lalu. Mulanya sedikit dan
makin lama semakin luas. Pasien mudah berkeringat bila beraktivitas.
Pada pemeriksaan dermatologis di regio punggung didapatkan makula hipopigmentasi,
multipel, berukuran lentikuler hingga numuler, dengan skuama halus diatasnya. Kulit teraba
lembab.
Pada pemeriksaan lampu Wood didapatkan fluoresensi kuning keemasan di punggung dan
lengan atas.
11. Pemeriksaan Efloresensi Kulit dan Pemeriksaan Jaringan
Penunjang
Pemeriksaan Efloresensi Kulit

Tujuan:
mampu menilai kelainan kulit yang terlihat dengan objektif.ditambahkan:konfigurasi, ukuran dan
distribusi lesi / kelainan kulit

Prior Knowledges and skills:


 Mengetahui anatomi, histologi dan fisiologi kulit
 Mengetahui morfologi kelainan kulit
 Mengetahui mekanisme kerja diaskopi, pemeriksaan lampu Wood, pemeriksaan dermografisme

Alat dan Bahan:


 ditambahkan: pemakaian lup (kaca pembesar), pemakaian lampu periksa/senter, gelas obyek,dan
lampu Wood

Teknik Pemeriksaan
Efloresensi terdiri dari efloresensi primer dan sekunder.
Efloresensi primer, yaitu:
 Makula: kelainan kulit berbatas tegas setinggi permukaan kulit, berupa perubahan warna semata-
mata.
 Papula: penonjolan di atas permukaan kulit, sirkumskrip, berukuran diameter <0,5 cm dan berisi zat
padat.
 Plak: peninggian di atas permukaan kulit, permukaan rata dan berisi zat padat, diameter ≥2 cm
 Urtika: edema setempat yang timbul mendadak dan hilang perlahan-lahan.
 Nodus: massa padat sirkumskrip, terletak di kutan dan subkutan, dapat menonjol.
 Nodulus: nodus yang berukuran <1 cm
 Vesikel: gelembung berisi cairan serum, beratap, berukuran <0,5 cm garis tengah, mempunyai dasar.
Vesikel yang berisi darah disebut vesikel hemoragik.
 Bula: vesikel yang berukuran lebih besar, disebut juga dengan bula hemoragik, bula purulen dan bula
hipopion.
 Pustul: vesikel yang berisi nanah, bila nanah mengendap di bagian bawah vesikel disebut dengan
vesikel hipopion.
 Kista: ruanganrongga berdinding dan berisi cairan, sel maupun sisa sel. Kista tidak terbentuk karena
peradangan, namun dapat terjadi radang.
 Tumor: penonjolan di atas permukaan kulit yang merupakan pertumbuhan sel atau jaringan tubuh.

Efloresensi sekunder, yaitu:


 Skuama: lapisan stratum korneum terlepas dari kulit, dapat berbentuk seperti tepung atau tebal dan
luas, seperti kertas. Bentuknya dibedakan menjadfi pitiriasiformis (halus), psoriasiformis (berlapis-
lapis), iktiosiformis (seperti ikan), kutikular (tipis), lamellar (berlapis), membranosa atau eksfoliativa
(lembaran-lembaran) dan keratotik (terdiri dari zat tanduk)
 Krusta: cairan badan yang mengering, dapat bercampur dengan jaringan nekrosis maupun benda
asing. Warna krusta terdiri dari kuning muda (dari serum), kuning kehijauan (dari pus), kehitaman
(dari darah). Diganti: Krusta dapat berwarna kuning (berasal dari serum), kuning kehijauan
(berasal dari pus), kehitaman (berasal dari darah)
 Erosi: kelainan kulit yang disebabkan jaringan yang tidak melampaui stratum basal.  Diganti:
kehilangan jaringan yang tidak melampaui stratum basal
 Ditambahkan: Ekskoriasi: kehilangan jaringan sampai stratum papilare di dermis
 Ulkus: hilangnya jaringan yang lebih dalam dari ekskoriasi, memiliki dasar, dinding, tepi dan isi.
 Ditambahkan: Fisura: hilangnya kontinuitas kulit tanpa kehilangan jaringan
 Sikatriks: terdiri dari jaringan tak utuh, relief kulit tidak normal, permukaan kulit licin dan tidak
terdapat adneksa kulit. Sikatriks dapat berbentuk atrofik (kulit mencekung) dan hipertrofik
(menonjol). Jika sikatriks hipertrofik melebihi batas luka disebut dengan keloid.
 Abses: kumpulan nanah dalam jaringan atau kutis/subkutis.
 Likenifikasi: penebalan kulit hingga garis-garis lipatan atau relief kulit tampak lebih jelas.

Efloresensi khusus antara lain adalah kanalikuli, milia, komedo, eksantema, telangiektasi, vegetasi,
raseola, dst.

perlu penambahan penjelasan mengenai ukuran dan distribusi lesi.


Ditambahkan:
Konfigurasi:
 Linier: lesi tersusun linier (lurus) seperti garis
 Sirsiner / anuler : lesi tersusun mirip cincin (lingkaran)
 Arsiner : lesi berbentuk setengah lingkaran (arcus)
 polisiklik: beberapa lesi arsiner sambung menyambung
 Irisformis: lesi tersusun menyerupai iris mata
 konfluens: dua atau beberapa lesi menyatu
 Korimbiformis: satu lesi dikelilingi beberapa lesi yang lebih kecil
 Herpetiformis: beberapa vesikel berkelompok menyerupai lesi herpes
 Monomorfi: kelaianan kulit terdiri atas 1 jenis morfologi
 Polimorfi: bermacam-macam kelainan kulit atau morfologi
Ukuran Lesi:
 Milier: ukuran lesi sebesar jarum pentul(ukuran terkecil)
 Lentikuler: ukuran lesi sebesar biji jagung
 Numuler: ukuran lesi sebesar koin
 Plakat: ukuran lesi sebesar telapak tangan
 Geografis:
Distribusi Lesi:
 Regional: lesi terbatas hanya ditemukan di satu tempat saja.
 Universalis: lesi ditemukan tersebar hampir di seluruh tubuh (90-100%), hampir tidak ada kulit
yang sehat
 Generalisata: lesi tersebar ditemukan di setiap bagaian tubuh. Umumnya meliputi 50-90% luas
permukaan tubuh
 Bilateral: lesi tersebar di kedua belahan tubuh kanann kiri, tidak perlu persis baik letak maupun
ukuran.
 Diseminata: penjalaran dari 1 bagian tubuh ke satu bagian tubuh yang lain
 Fagadenik: proses penjalaran yang meluas ke dalam dan ke samping dari satu lesi awal
 Diskret: lesi tersebar satu per satu, ada dimana-mana
 Serpiginosa: penjalaran lesi ke satu arah, diikuti oleh proses penyembuhan di sisi yang
ditinggalkan

Analisis Hasil Pemeriksaan


- Makula misalnyaditemui pada tanda lahir, vitiligo, melanoderma, leukoderma, ekimosis, petekie.
- Papul misalnya ditemui pada dermatitis atau eksim, folikulitis, keratosis folikularis, veruka vulgaris.
Ditambahkan:
- Nodul ditemui pada eritema nodosum leprosum, neurofibromatosis.
- Tumor ditemui pada neurofibromatosis, dermatofibroma
- Vesikel misalnya ditemui pada herpes simpleks, herpes zoster, varisela, impetigo vesikobulosa.
- Bula misalnya ditemui pada impetigo vesikobulosa, luka bakar, herpes zoster.
- Plak ditemui pada morbus hansen, dermatitis kronis.
- Pustul ditemui pada folikulitis, furukulosis.
- Kista ditemui pada kista atherom, kista Bartholin.

Referensi
 Sri Linuwih, dkk Djuanda A, dkk. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 5 7. Balai Penerbit FKUI:
Jakarta. 2007 2015. Hal 96-97.
 Andrew's Disease of the skin, Edisi XII, 2016
 Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine, 2012
Contoh Kasus:
Seorang perempuan, 30 tahun, pekerjaan pegawai swasta, datang dengan keluhan bercak merah dengan
bintil-bintil berair disertai rasa nyeri mulai dari punggung kanan hingga dada kanan sejak 3 hari yang
lalu.Mulanya pasien merasakan nyeri di pungung sejak 1 minggu sebelumnya, kemudian muncul bintil-
bintil berair di punggung dan kemudian meluas ke dada.Pasien tidak mengeluhkan demam.
Pada pemeriksaan dermatologikus pada regio punggung dan dada didapatkan plak eritem berukuran
plakat dengan vesikel berkelompok diatasnya, disertai krusta kuning yang tersebar dermatomal,
unilateral, setinggi thorakal IV.
PANDUAN MAHASISWA
PENILAIAN AKTIVITAS KEHIDUPAN SEHARI-HARI/ ADL
Penulis: dr. Indrayuni Lukitra Wardhani, Sp.KFR (FK Unair)

12. Penilaian Aktivitas Kehidupan Sehari-hari/ADL (dengan Berthel


Index)
Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari topik ini,mahasiswa mampu :
Menetapkan nilai aktivitas kehidupan sehari- hari pasien menurut Barthel Index
tingkat ketergantungan pasien berdasarkan kondisinya

Prior Knowledge & Skills


a. Memahami teknik komunikasi dengan pasien
b. Mengetahui skoring ADL/ AKS menurut Barthel Indeks
c. Memahami masing-masing item/komponen dalam Barthel indeks dan mampu menerapkannya.

Prosedur Keterampilan
a. Mahasiswa mengucapkan salam dan memperkenalkan diri
b. Mahasiswa mmenjelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan kepada pasien, meminta izin/informed
consent, dan meminta pasien untuk rileks
c. Mahasiswa meminta pasien untuk melakukan kegiatan sesuai item dalam BaRTHEL Indeks,
(terlampir)
d. Mahasiswa mampu menginterpretasikan hasil pengamatan terhadap aktivitas yang dilakukan pasien
e. Mahasiswa mengisi skor masing-masing aktivitas pasien

Lampiran: Barthel Index


Nama Pasien : __________________ Pemeriksa: ____________________ Tanggal: ______________

Aktivitas Skor
Makan
0 =Tidak mampu
5 =Memerlukan bantuan memotong, mengoles mentega, dll, atau 0 / 5 / 10
memerlukan modifikasi diet
10 =Independen
Mandi
0 = Bergantung pada orang lain 0 / 5
5 = Independen
Grooming
0 = Perlu bantuan dalam perawatan diri 0 / 5
5 = Independen merawat wajah/rambut/gigi/cukur
Berpakaian
0 = Bergantung pada orang lain
5 = Dibantu, namun dapat melakukan separuhnya sendiri 0 / 5 / 10
10 = Independen (termasuk kancing, resleting, tali, dll)
Buang Air Besar
0 = Inkontinen (atau perlu bantuan enema) 0 / 5 / 10
5 = Kadang tidak terkontrol
10 = Terkontrol
Buang Air Kecil
0 = Inkontinen (atau terpasang kateter) 0 / 5 / 10
5 = Kadang tidak terkontrol
10 = Terkontrol
Penggunaan Toilet
0 = Bergantung kepada orang lain 0 / 5 / 10
5 = Perlu bantuan, namun dapat melakukan sebagian sendiri
10 = Independen (melepas pakaian, cebok, berpakaian)
Transfer (Ranjang ke kursi dan kembali ke ranjang)
0 = Tidak mampu, tidak ada keseimbangan duduk
5 = Bantuan besar (1-2 orang, bantuan fisik), dapat duduk 0 / 5 / 10 / 15
10 = Bantuan kecil (verbal atau fisik)
15 = Independen
Mobilitas (Pada permukaan rata)
0 = Imobil atau < 45,72 meter
5 = Kursi roda independen, termasuk belok, >45, 72 meter 0 / 5 / 10 / 15
10 = Berjalan dibantu 1 orang, >45.72 meter
15 = Independen (namun dapat menggunakan bantuan, seperti tongkat),
>45,72 meter
Naik Tangga
0 = Tidak mampu 0 / 5 / 10
5 = Perlu bantuan
10 = Independen

Total Skor (0-100): ___________

Mahasiswa mampu menginterpretasikan hasil Barthel Index


Interpretasi hasil Barthel Index:
100 : mandiri
60-95 : Ketergantungan ringan
45-55 : Ketergantungan sedang
25-40 : Ketergantungan berat
0-20 : Ketergantungan total

Menyampaikan hasil penilaian ke pasien dan mengakhiri pertemuan dengan menyampaikan terimakasih
atas kerjasamanya.

Catatan:
dalam menginterpretasi barthel index perlu untuk menghindari penilaian kemampuan pasien
berdasarkan pemeriksaan fisik saat itu. Barthel-Index harus dinilai berdasarkan kemampuan pasien
sesungguhnya.

Variasi Istilah dan Keterampilan


Sementara belum ada

Contoh Kasus
Ny Maerah, 50 tahun ,guru SD, mengalami serangan Stroke 1 bulan yang lalu. Beliau mengalami
hemiparese dekstra dan disartri. Di rumah tinggal bersama suami dan 1 anaknya. Beliau menanyakan,
kapan boleh mulai mengajar. Tentukan tingkat ketergantungannya berdasarkan BaRTHEL Index.

Referensi
1. Panduan Rehabilitasi Stroke , Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi
Indonesia ( PB PERDOSRI),2014, cetakan pertama.
2. Walter R Frontera. Joel A DeLisa. DeLisa’s Physical Medicine & Rehabilitation, Principle and Practice,
5th Ed 2011
3. Michael WO Dell, C David lin, Andre Panagos, The Physiatric History and Physical Examination in
Randall L Braddom : Physical medicine and Rehabilitation. 5th Ed.
PANDUAN MAHASISWA
BANTUAN HIDUP DASAR
Penulis: dr. Christrijogo Sumartono, Sp.An-KAR (FK Unair)

13. Bantuan Hidup Dasar


Tujuan
Mampu melakukan bantuan hidup dasar sesuai kompetensi dokter di pelayanan primer.

Prior Knowledge & Skills


1. Memahami Ilmu Anatomi.
2. Memahami ilmu Fisiologi Jantung.
3. Memahami Fisiologi Jalan napas dan Pernapasan.
4. Memahami Respon time.
5. Memahami komunikasi Kegawatdaruratan.
6. Memahami etical prosedure
7. Mampu melakukan Cuci tangan .
8. Mampu menggunakan Alat Proteksi diri /APD.

Prosedur Keterampilan
1. Dimulai dengan menilai respons dilakukan setelah penolong yakin bahwa dirinya sudah aman untuk
melakukan pertolongan. Penilaian respons dilakukan dengan menepuk-nepuk dan menggoyangkan
penderita sambil memanggil penderita.

Gambar 1 : Check respon pada pasien tidak


sadar.

a. Jika penderita menjawab atau bergerak terhadap respons yang diberikan, usahakan tetap
mempertahankan posisi seperti pada saat ditemukan atau posisikan ke posisi mantap.
b. Jika penderita tidak merespons serta tidak bernapas atau bernapas tidak normal , maka dianggap
mengalami kejadian henti jantung. (untuk Orang Awam).
2. Jika pasien tidak respons, lakukan aktivasi system layanan gawat darurat dengan minta bantuan
orang terdekat atau penolong sendiri yang menelepon jika tidak ada orang lain.
3. Periksa denyut nadi arteri karotis dalam waktu maksimal 10 detik
4. Lakukan kompresi dada:
a. Penderita dibaringkan di tempat yang datar dan keras.
b. Tentukan lokasi kompresi dada dengan cara meletakkan telapak tangan yang telah saling
berkaitan di bagian setengah bawah sternum.
c. Frekuensi minimal 100 kali per menit dengan kedalaman minimal 5 cm.
d. Penolong melakukan kompresi dengan perbandingan kompresi dan ventilasi 30:2.
5. Setelah lakukan kompresi 30 kali, lakukan ventilasi dengan membuka jalan napas dengan teknik:
a. Head tilt chin lift maneuver.
- Dorong kepala korban dengan mendorong dahi ke belakang (head tilt) dan pada saat yang
bersamaan dagu korban (chin lift)
Langkah Head tilt tidak boleh dilakukan pada pasien dengan kasus trauma, sampai
bisa dibuktikan tidak ada cidera tulang leher.

Gambar 2 : A. Pada
Pasien tidak sadar
sering lidah jatuh ; B Head tilt dan
chin lift.

b. Jaw thrust
- Letakkan siku-siku pada bidang datar tempat korban dibaringkan. Cari rahang bawah.
Pegang rahang bawah dengan jari-jari kedua tangan dari sisi kanan dan kiri korban
- Dorong rahang bawah dengan mendorong kedua sudutnya ke depan dengan jari-jari kedua
tangan
- Buka mulut korban dengan ibu jari dan jari telunjuk kedua tangan.

Gambar 3 : Jaw thrust

c. Pasang OPA, Oropharingeal Airway

Gambar 4 : Oropharing Airway

d. Pasang NPA , Nasopharingeal Airway.


Gambar 5 : Nasopharing Airway

6. Berikan napas bantuan dengan metode:


Mulut ke mulut:
a. Pertahankan posisi head tilt chin lift. Jepit hidung dengan menggunakan ibu jari dan telunjuk
tangan.
b. Buka sedikit mulut penderita, tarik napas panjang, dan tempelkan rapat bibir penolong
melingkari mulut penderita. Hembuskan napas lambat setiap tiupan selama 1 detik. Pastikan
dada terangkat.
c. Lepaskan mulut penolong dari mulut penderita, lihat apakah dada penderita turun waktu
ekshalasi.

Gambar 6. Resusitasi Mulut ke Sungkup

Mulut ke sungkup
a. Letakkan sungkup pada muka penderita dan dipegang dengan kedua ibu jari
b. Lakukan head tilt chin lift/ jaw thrust. Tekan sungkup ke muka penderita dengan rapat.
c. Hembuskan udara melalui lubang sungkup hingga dada terangkat.
d. Amati turunnya pergerakan dinding dada.

Dengan kantung pernapasan


a. Tempatkan tangan untuk membuka jalan japas.
b. Letakkan sungkup menutupi muka dengan teknik E-C clamp (bila seorang diri) yaitu dengan
meletakkan jari ketiga, keempat, kelima membentuk huruf E dan diletakkan dibawah rahang
bawah dan mengekstensi dagu serta rahang bawah; ibu jari dan telunjuk membentuk huruf C
untuk mempertahankan sungkup.
c. Bila 2 penolong, 1 penolong berada pada posisi di atas kepala penderita dan dengan
menggunakan ibu jari dan telunjuk tangan kiri dan kanan mencegah agar tidak terjadi kebocoran
disekitar sungkup. Jari-jari yang lain mengektensikan kepala sambil melihat pergerakan dada.
Penolong kedua memompa kantung sampai dada terangkat.

Gambar 7 : A. Tehnik E-C


Clamp ( penolong
sendiri ventilasi) ; B. 2 penolong ventilasi

7. Evaluasi nadi carotis dan ulangi siklus setiap 2 menit.

8. Bila masih belum teraba denyut nadi leher, lanjutkan 30 x pijat jantung dan 2 x nafas buatan.
9. Lakukan tindakan ini terus sampai datang bantuan atau ambulans dengan peralatan lengkap atau
masuk tahapan Advance Life Support

Teknik Tindakan pada Anak


1. Pemeriksaan nadi bayi kurang dari satu tahun dilakukan pada arteri brachialis atau arteri femoralis.
Untuk anak diatas satu tahun, pemeriksaan dilakukan sama seperti pada orang dewasa.
2. Jika pulsasi teraba, berikan 1 bantuan napas tiap 3 detik. Berikan kompresi jika denyut jantung
<60/menit dengan perfusi yang buruk walaupun setelah oksigenasi dan ventilasi yang adekuat.
3. Kompresi pada anak usia 1-8 tahun:
a. Menekan sternum sekitar 5 cm dengan kecepatan minimal 100 kali per menit.
b. Setelah 30 kali kompresi, buka jalan napas dan berikan 2 kali napas bantuan sampai dada
terangkat (1 penolong).
c. Kompresi dan napas buatan dengan rasio 30:2 (2 penolong).
4. Kompresi dada pada bayi:
a. Letakkan 2 jari satu tangan pada setengah bawah sternum; lebar 1 jari berada di bawah garis
intermammari.
b. Menekan sternum sekitar 4 cm kemudian angkat tanpa melepas jari dari sternum dngan
kecepatan minimal 100 kali per menit.
c. Setelah 30 kali kompresi, buka jalan napas dan berikan 2 kali napas bantuan sampai dada
terangkat (1 penolong).
d. Kompresi dan napas bantuan dengan rasio 30 :2 jika 2 penolong.
5. Jika bayi atau anak sudah kembali ke dalam sirkulasi spontan, maka baringkan anak atau bayi ke
posisi mantap.
a. Gendong bayi di lengan penolong sambil menyangga perut dan dada bayi dengan kepala bayi
terletak lebih rendah.
b. Usahakan tidak menutup mulut dan hidung bayi.
c. Monitor dan rekam tanda vital, kadar respons, denyut nadi, dan pernapasan.

Variasi Istilah dan Keterampilan


1. Dalam penaganan kegawat daruratan untuk pertolongan “Bantuan Hidup
Dasar” ada pembenda antara penolong awam dan orang terlatih dimana karena orang awam tidak
mengerti dan tidak diajarkan meraba nadi karotis, karena itu memposisikan penolong sebagai orang
awam atau medis terlatih sangat krusial dan penting.
Dalam Guidelide IlCor 2015.di tekankan kualitas pertolongannya yaitu kompresi yang keras sedalam
2 inci /atau sedalam 5 -6 cm dengan kecepatan 100 -120 x/menit atau 2 kompresi per detik.
2. Beberapa istilah penggunaan alat bantu, sering menjadi kendala.
Misalnya ;
1. Oropharing Airway ( OPA) = Guidel (nama product). = Mayo ( nama product).
2. Bag-Valve Ventilation (BVA) = ambu-bag (nama product) = balon-sungkup pernapasan = Jackson-
Reeze (nama product)

Contoh Kasus
Seorang laki-laki mengeluh sakit dada saat sedang bermain sepak bola dan kemudian jatuh pingsan (tidak
sadarkan diri).

Referensi
1. Purwanto A, GELS /General Emergency Life Support –PPGD/ Penanggulangan Penderita Gawat
Darurat 2014 , FK Unair, RSUD dr.Sutomo, edisi 12.
2. Gavin Perkins et all ,Resuscitation council (UK) guideline 2015
3. AHA, Guideline 2015 CPR & ECC.
4. European Resuscitation Council Guidelines for Resuscitation 2015
PANDUAN MAHASISWA
PEMERIKSAAN MANUAL MUSCLE TESTING
Penulis: dr. Indrayuni Lukitra Wardhani, Sp.KFR (FK Unair)

14. Pemeriksaan Manual Muscle Testing


Tujuan
Setelah mempelajari keterampilan ini, mahasiswa diharapkan:
a. Mampu melakukan pemeriksaan kekuatan otot secara manual.
b. Mampu mengukur besar kekuatan otot secara manual

Prior Knowledge & Skills


a. Memahami teknik komunikasi dengan pasien.
b. Memahami struktur anatomi otot-otot tubuh dan arah gerakannya.
c. Memahami makna nilai kekuatan otot.

Prosedur Keterampilan
f. Mahasiswa mengucapkan salam dan memperkenalkan diri
g. Mahasiswa menjelaskan tujuan-prosedur pemeriksaan kepada pasien, meminta izin/informed consent,
dan meminta pasien untuk rileks
h. Mahasiswa melakukan cuci tangan
i. Mahasiswa meminta pasien menggerakkan sendi yang akan diperiksa melawan gravitasi ,sepanjang
luas gerak sendinya (bila bisa, kemungkinan nilai otot 3, 4, atau 5)
j. Mahasiswa mengukur/menentukan kekuatan otot dengan cara :
- Bila pasien mampu melakukannya, mahasiswa meminta pasien
mengulangi gerakan tersebut sambil memberikan tahanan pada - bagian distal sendi dengan tangan
dominan, sedangkan tangan non dominan digunakan untuk smem-fiksasi bagian proksimal sendi
- Bila pasien tak mampu menggerakkan sendi melawan gravitasi , mahasiswa meminta pasien
menggerakkan sendi dengan menghilangkan pengaruh gravitasi ( bila bisa nilai otot 2)
- Bila tak ada gerakan ,maka dilihat / diraba pada bagian belly otot yang diperiksa
(bila bisa, nilai MMT otot 1, bila tak tampak ,nilai MMT otot 0 )
k. Mahasiswa menentapkan hasil pemeriksaan dan mencatatnya dalam muscle chart yang tersedia dalam
rekam medis.
l. Mahasiswa menyampaikan hasil pemeriksaan ke pasien dan menyampaikan terimakasih atas
kerjasamanya.

Variasi Istilah dan Keterampilan


Kecuali menurut MRC (Medical Research Council) hasil MMT bisa ditulis sesuai Lovett : N/Normal; G/
Good; F/Fair; P/ Poor; T/Trace; Z/ Zero.

Contoh Kasus
Maranu yang mengalami fraktur femur 2 bulan yang lalu merasa otot-otot pahanya makin mengecil.
Lakukan pemeriksaan MMT otot Quadriceps femoris .

Referensi
1. Pedoman Keterampilan Medik 1 Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.Editor ;Prof Dr N Margarita
Rehatta,dr.,Sp.AnKIC., KNA; Suwandito,dr.,MS; Fundhy Sinar IP,dr.,M.Med.Ed. Cetakan Pertama,
Airlangga university Press, 2015
2. Hislop H., Montgomery J. Daniels and Worthingham’s Muscle Testing ,Technique of Manual
Examination, 8 th ed. Saunders Elsevier. Philadelphia, 2007
3. Clarkson HZ. Musculoskeletal Joint Range of Motion and Manual Muscle Testing. 2nd eds. Lippincott
William & Wilkins. Philadelphia,2000
4. Neuman DA.Kinesiology of the Musculoskeletal System. Mosby. St Louis Missouri, 2002
PANDUAN MAHASISWA
PENGUKURAN LINGKUP GERAK SENDI
Penulis: dr. Indrayuni Lukitra Wardhani, Sp.KFR (FK Unair)

15. Pengukuran Lingkup Gerak Sendi/ Range of Motion (ROM)


Tujuan
Setelah mempelajari topik ini, mahasiswa :
-mengetahui jenis gerakan tiap sendi
-mampu melakukan pengukuran lingkup gerak sendi
-mampu mendeteksi adanya stffness, kontraktur sendi, laxity

Prior Knowledge & Skills


Memahami ilmu anatomi sistem muskuloskeletal
Memahami nilai normal lingkup gerak tiap sendi

Prosedur Keterampilan
m. Mahasiswa mengucapkan salam dan memperkenalkan diri
n. Mahasiswa menjelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan kepada pasien dan meminta pasien untuk
rileks
o. Mahasiswa melakukan cuci tangan
p. Meminta pasien melepas/ membuka pakaian yang menutupi sendi yang akan diperiksa.
q. Mahasiswa memeriksa sendi yang akan diukur, memastikan tak ada udem,nyeri, fraktur, deformitas.
r. Menetapkan posisi netral sendi yang akan diukur.
s. Menetapkan fulkrum sendi yang akan diperiksa,
t. Menempatkan goniometer pada sendi yang akan diperiksa
u. Melakukan pengukuran lingkup gerak sendi ,dengan melihat besar sudut lingkup gerak sendi pada
masing-masing gerakan , sesuai sendi yang bersangkutan (fleksi-ekstensi)
v. Mencatat hasil pengukuran lingkup gerak sendi.
w. Menyampaikan hasilnya kepada pasien
x. Mengakhiri pertemuan dengan mengucapkan terimakasih kepada pasien atas kerjasamanya.

Variasi Istilah dan Keterampilan


Ada beberapa versi saat proses pengukuran yang berhubungan dengan letak fulcrum serta cara
penulisan hasil pengukuran, namun bagi mahasiswa S1 FK , yang penting adalah mengetahui besar luas
lingkup sendinya.

Contoh Kasus
An Adrian, 4 tahun, mengalami fraktur humerus dekstra dan dilepas gips nya 2 minggu yang lalu, lakukan
pengukuran lingkup gerak sendi siku kanannya.

Referensi
1. Walter R Frontera. Joel A DeLisa. DeLisa’s Physical Medicine & Rehabilitation, Principle and Practice,
5th Ed
2. Pedoman Keterampilan Medik 1 Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.Editor ;Prof Dr N Margarita
Rehatta,dr.,Sp.AnKIC., KNA; Suwandito,dr.,MS; Fundhy Sinar IP,dr.,M.Med.Ed. Cetakan Pertama,
Airlangga university Press, 2015
3. Hislop H., Montgomery J. Muscle Testing Technique of Manual Examination, 8 th ed. WB Saunders Co.
Philadelphia,2007
4. Clarkson HZ. Musculoskeletal Joint Range of Motion and Manual Muscle Testing. 2nd eds. Lippincott
William & Wilkins. Philadelphia,2000
5. Michael WO , Dell, C David lin, Andre Panagos, The Physiatric History and Physical Examination in
Randall L Braddom : Physical medicine and Rehabilitation. 5th Ed.

PANDUAN MAHASISWA
RESUSITASI CAIRAN
Penulis: dr. Christrijogo Sumartono, Sp.An-KAR (FK Unair)

16. Resusitasi Cairan


Tujuan
Menilai dan menentukan status dehidrasi., hipivolemik shock ,Sehingga dapat melakukan penggantian
kehilangan cairan tubuh yang terjadi secara akut.

Prior Knowledge & Skills


9. Memahami Ilmu Anatomi.
10. Memahami Fisiologi Jalan napas , pernapasan ,Jantung,serta tingkat kesadaran .
11. Memahami Patofisiologi Jalan napas , pernapasan ,Jantung,serta tingkat kesadaran akibat kehilangan
cairan dan elektrolit tubuh
12. Memahami Fisiologi Keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh.
13. Memahami mekanisme gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh.
14. Memahami patofisologi kehilangan cairan elektrolit tubuh.
15. Memahami terapi dan cara penanganan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit .
16. Mampu melakukan Cuci tangan .
17. Mampu menggunakan Alat Proteksi diri /APD.

Prosedur Keterampilan
1. Dimulai dengan penyakit atau cedera atau apapun yang dapat mengubah keseimbangan cairan dan
elektrolit dan distribusi kebutuhan dalam banyak
cara karena :
- Respon metabolik nonspesifik terhadap stres (terutama di sakit parah atau
terluka);
- Perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit karena disfungsi organ atau sistem atau efek dari
obat-obatan atau terapi .
- Kehilangan cairan tubuh akut karena perdarahan yang menyebabkan shock.
2. Identifikasi tanda atau gejala gangguan keseimbangan cairan atau elektrolit, baik tanda-tanda
interstial sgn (mata cowong , tugor, rasa hasus) atapun plasma sign (nadi cepat , tekanan darah turun,
sampai produksi urine menurun bahkan warna urine berubah. Bila perubahan keseimbangan cairan
menjadi memberat maka tanda-tanda kegawatan akan mulai mengganggu organ atau sistem vital,
misalnya , pernapasan, jantung dan saluran pembuluh darahnya serta keasadaran otak.

Gambar 1 : A .kesadaran menurun akibat Diare, B . Peritonitis , Tensi 80/50, nadi


150, urine = 0, Nafas 35x, flare (+)

3. Menentukan status hidrasi atau status shock sesuai dengan kehilangan cairan yang disebabkan suatu
penyakit atau trauma.

Ganbar status
dehidrasi
(masih dicarikan)

Gambar 2 : A . Status Dehidrasi , B. Status hypovolemic shock

Pemeriksaan: nilai dan catat hasil pemeriksaan untuk indikasi kebutuhan resusitasi cairan: tekanan
darah, frekuensi nadi, frekuensi pernapasan (lihat Bab Tanda Vital) capillary refill time (lihat Bab
Kardiovaskular) perabaan ekstrimitas (lihat Bab Kardiovaskular)

Algoritme Resusitasi
a. Berikan oksigenasi.
b. Pasang kanula IV berkururan besar.
c. Identifikasi penyebab gangguan yang terjadi dan respons pasien.
d. Berikan bolus 500 ml cairan kristaloid.
e. Nilai ulang kondisi pasien dengan menggunakan ABCDE (lihat Bagian Bantuan Hidup Dasar).
Pertimbangkan apakah pasien masih membutuhkan resusitasi cairan.
f. Jika cairan yang diberikan masih kurang dari 2000 ml, berikan lagi 250-500 ml bolus cairan
kristaloid. Setelah pemberian cairan selesai, nilai ulang kondisi pasien dengan ABCDE .
g. Jika tidak, nilai kebutuhan cairan dan elektrolit pasien.
h. Jika penderita tidak membutuhkan resusitasi cairan, pastikan kebutuhan cairan dan nutrisi
terpenuhi.
i. Nilai kebutuhan cairan dan elektrolit pasien dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan laboratorium yang dibutuhkan.
j. Jika terdapat tanda-tanda kekurangan dan kelebihan cairan serta cairan yang keluar masih
berlangsung, maka lanjut ke bagian penggantian dan redistribusi cairan. Jika tidak lanjut ke bagian
rumatan rutin.

Penggantian dan redistribusi cairan


a. Lihat apakah masih terdapat defisit cairan dan/atau elektrolit.
b. Jika ada, perkirakan defisit atau kelebihan cairan lalu tambah atau kurangi dari kebutuhan rumatan
normal per hari.
c. Resepkan kebutuhan rumatan rutin ditambah suplemen cairan dan elektrolit yang dibutuhkan
berdasarkan pengukuran sebelumnya.
d. Jika kondisi tidak membaik, konsultasi ke spesialis.
e. Jika tidak ada, periksa adanya kehilangan cairan yang masih berlangsung. Jika iya, kembali ke nomor
b.

Rumatan rutin
a. Berikan rumatan cairan IV sesuai dengan kebutuhan cairan dan elektrolit normal harian 25-30
ml/kg/hari air.
b. Nilai ulang dan awasi kondisi pasien.
c. Stop cairan IV jika sudah tidak ada indikasi yang sesuai.

Pada luka bakar


a. Pemberian terapi cairan dilakukan dengan memberikan 2-4 ml RL/RA per kg BB tiap %luka bakar.
- ½ dosis diberikan 8 jam pertama
- ½ dosis berikut 16 jam kemudian
b. Sesuaikan dosis infus untuk menjaga urin 30-50 ml/jam pada dewasa
c. Jika respon membaik, turunkan laju infus secara bertahap.

Catatan dan Pertimbangan Umum


a. TD<100 mmHg, CRT >2 detik, dan perabaan akral dingin; frekuensi nadi >90 per menit; serta
frekuensi napas >20 kali per menit menandakan kebutuhan resusitasi.
b. Medikasi harus diberikan secara IV selama resusitasi.
c. Perubahan Natrium, dapat menyebabkan hiponatremia yang serius. Na serum harus dimonitor,
terutama pada pemberian infus dalam volume besar.
d. Transfusi diberikan bila hematokrit dibawah 30.

Variasi Istilah dan Keterampilan


(tuliskan variasi istilah-istilah atau variasi keterampilan yang mungkin terkait teknik atau referensi yang
berbeda)

5.1. Istilah
Beberapa istilah dengan resusitasi cairan

Contoh Kasus
Seorang Wanita 32 tahun dibawa temannya serumah kost ke Rumah sakit Primer dengan kesadaran
menurun , napas cepat akibat 3 hari mengalami diare dan muntah-muntah hebat.

Referensi
1. Purwanto A, GELS /General Emergency Life Support –PPGD/ Penanggulangan
Penderita Gawat Darurat 2013 , FK Unair,RSUD dr.Sutomo, edisi 12.
2. Gavin Perkins et all ,Resuscitation council (UK) guideline 2015.
3. European Resuscitation Council Guidelines for Resuscitation 2015.
4. PTC , Primary Trauma Care, Indonesia, Perdatin, WFSA, UK University 2008.
5. ATLS, Advance Trauma Life Support , 2010, edisi ke 9.
6. Simadibrata, M.Daldiyono 2006, Diare Akut in Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid VI
Jakarta.
7. Hooper L, Abdelhamid A, Ali A, Bunn DK, Jennings A, John WG, Kerry S, Lindner G,
Pfortmueller CA, Sjö strand F, Walsh NP, Fairweather-Tait SJ, Potter JF, Hunter PR, Shepstone L.
Diagnostic accuracy of calculated serum osmolarity to predict dehydration in older people: adding
value to pathology laboratory reports. BMJ Open. 2015 Oct 21;5(10):e008846. doi:10.1136/bmjopen-
2015-008846. PubMed PMID 26490100.
PANDUAN MAHASISWA
SIRKUMSISI
Penulis: dr. Adi Muradi Muhar, Sp.B-KBD (FK USU)

17. Sirkumsisi
Tujuan Pembelajaran
Tujuan Umum:
Setelah selesai latihan ini mahasiswa diharapkan mampu melakukan tindakan sirkumsisi secara mandiri.

Prior Knowledge & Skills


Knowledge
1. Memahami dan mengetahui indikasi dan kontraindikasi sirkumsisi
2. Memahami dan mengetahui anatomi penis
3. Memahami dan mengetahui teknik penjahitan luka

Skills
1. Menyiapkan peralatan sirkumsisi
2. Melakukan tindakan sirkumsisi

Prosedur Keterampilan
PERALATAN DAN BAHAN
1. Manekin
2. Meja/troli ukuran sedang.
3. Linen penutup meja steril.
4. Sarung tangan steril .
5. Larutan antiseptik.
6. (Povidon iodine 10%) 10 cc.
7. Kasa steril 5 helai.
8. Linen penutup berlubang (Perforated surgical drape) dan linen penutup.
9. Anaestetik lokal (Lidocaine 2 % tanpa adrenalin) 5 cc dan kapas alkohol.
10. Disposable syringe 5cc 1 buah
11. Alat bedah minor (minor surgery kit) + 2 buah klem lurus
12. Benang absorbable (Plain catgut) nomor 3.0

PERKENALAN
1. Sapa dan perkenalkan diri.
2. Tanyakan identitas pasien dan cocokkan dengan data rekam medik.
3. Informasikan tindakan yang dilakukan dan minta persetujuan pasien.

PERSIAPAN PASIEN
1. Posisikan pasien terlentang (supine) dan buka celana.
2. Tutup anggota gerak bawah pasien dengan linen penutup.
3. Periksa keadaan penis : normal atau tidak
Catatan : jika tidak ada kontra indikasi lanjutkan)
PERSIAPAN DOKTER
1. Berdiri di sebelah kanan pasien.
2. Pakai sarung tangan dengan metode hand to hand pada tangan kanan saja.
3. Pegang vial lidocaine 2 % dengan tangan kiri, bersihkan bagian atasnya dengan kapas alkohol,
tusukkan jarum dan ambil larutan sebanyak 5 cc
4. Simpan vial di luar daerah steril, pasang kembali tutup jarum dan letakkan syringe di atas meja.
5. Pakai sarung tangan dengan metode glove to glove untuk tangan kiri (sekarang kedua tangan sudah
memakai sarung tangan).

TEKNIK SIRKUMSISI
1. Bersihkan daerah genital dengan povidon iodine
2. Memasang linen penutup berlubang pada daerah genital sehingga penis keluar dari lubang dan
letakkan linen penutup pada paha.
3. Suntikkan lidocaine 2 % tanpa adrenalin pada pangkal penis jam 2,4,8,10, masing masing 1 cc
subkutan, aspirasi apakah ada darah atau tidak.
4. Coba efek anaestesi dengan mencubit kulit penis menggunakan pinset.
5. Tarik foreskin ke belakang, bersihkan glans penis dari smegma dengan kasa yang telah dibasahi
povidon iodine
6. Klem foreskin pada jam 11 dan jam 1 sampai 0.5 cm dari sulcus coronarius.
7. Klem foreskin pada jam 6 sampai ke frenulum.
8. Gunting foreskin di antara klem jam 11 dan 1 dari sulcus coronarius sampai ke frenulum, gunting
foreskin pada klem jam 6 sampai 0,5 cm dari frenelum kemudian gunting foreskin sirkumferensial
0,5 cm.
9. Setiap pembuluh yang mengeluarkan darah diklem dan diikat dengan plain catgut.
10. Jahit tepi kulit dan mukosa yang telah terpotong dengan plain catgut secara interrupted.
11. Bersihkan penis menggunakan kasa yang telah dibasahi povidon iodine.
12. Tutup luka dengan kasa steril dan plaster.
13. Buang perlengkapan yang habis pakai dan bersihkan perlengkapan yang tidak habis pakai.

DOKUMENTASI
1. Catat tanggal dan waktu pelaksanaan
2. Nama dokter yang melakukan
3. Anjuran tindakan selanjutnya.

Variasi Istilah dan Keterampilan


Tindakan sirkumsisi dikenal juga teknik operasi Klasik (guillotine) harus lebih hati hati karena dapat
mencederai glans penis.
Tidak menggunakan obat anestesi lokal yang mengandung adrenalin

Contoh Kasus
Seorang laki-laki usia 12 thn datang ke dokter umum bersama ayahnya karena ingin disirkumsisi.
Lakukan penatalaksanaan sirkumsisi.

Referensi
1. Bickley LS, Szilagyi PG. Guide to Physical Examination and History Taking. 9th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2007
2. Hanno et al. Clinical Manual of Urology 3rd ed, McGraw Hill ; 2001
3. Tanagho, McAninch. Smith’s General Urology, 16th ed, McGraw Hill ; 2004
PANDUAN MAHASISWA
TEKNIK PENJAHITAN LUKA
Penulis: dr. Adi Muradi Muhar, Sp.B-KBD (FK USU)

18. Teknik Penjahitan Luka

Tujuan Pembelajaran
Tujuan Umum:
Setelah latihan ini mahasiswa diharapkan dapat memahami berbagai aspek penjahitan luka serta dapat
melakukannya dengan baik dan benar.

Tujuan Khusus:
Mahasiswa mampu melakukan :
1. Teknik penjahitan terputus berulang (simple interrupted)
2. Teknik penjahitan terputus matras vertikal (Donati)
3. Teknik penjahitan intrakutan

Prior Knowledge & Skills


Knowledge
1. Memahami dan mengetahui Anatomi kulit
2. Memahami dan mengetahui Jenis jenis luka
3. Memahami dan mengetahui jenis dan kegunaan Jarum dan Benang jahit bedah
4. Memahami dan mengetahui Jenis jahitan bedah
5. Mengetahui jenis dan fungsi alat alat bedah minor (tangkai dan mata pisau bedah, gunting bedah,
gunting benang, gunting perban, pinset anatomis, pinset jaringan/chirurgis, klem hemostatik,
pemegang jarum, klem koher)
Skill
1. Mengetahui dan mampu tindakan asepsis dan antisepeis
2. Mengetahui dan mampu tindakan anestesi lokal
3. Mengetahui dan mampu tindakan penatalaksanaan awal luka robek berdasar jenis luka
4. Mengetahui dan mampu melakukan penjahitan luka dengan teknik jahitan dasar, jahitan donati dan
jahitan intracutan

Prosedur Keterampilan

Peralatan dan Bahan


1. Meja 1 buah + alat tulis
2. Tempat tidur pasien 1 buah
3. Minor Surgery Kit 1 set
4. Kain kasa steril 1 bungkus
5. Plester perekat 1 inchi 1 rol
6. Syringe 3 ml 2 buah
7. Larutan NaCl 0.9% 3 fls
8. Larutan H2O2 3% 100 – 200 ml
9. Larutan antiseptik (pov. iodine) 50 ml
10. Alkohol 70% 100 ml
11. Lidokain 0,5% atau 1% 5 ampul
12. Manekin
13. Perforated surgical drape 1 helai

Teknik Tindakan
Jahitan dasar (simple interrupted)
1. Jelaskan tindakan yang akan dilakukan dan prosedurnya
2. Minta pasien untuk berbaring
3. Tanyakan riwayat alergi tentang obat anestesi atau iodine
4. Tempatkan cahaya ke area luka yang akan dijahit
5. Disinfeksi luka dan area-area disekitarnya
6. Cuci tangan 6 langkah dan pakai sarung tangan steril
7. Tutup luka dengan drape steril
8. Berikan anestesi lokal atau blok saraf lokal dengan metode oberst, tunggu sampai anestesi bekerja
9. Pasangkan benang sutera (silk) pada jarum berpinggir tajam yang telah diposisikan pada needle
holder dengan menjepitnya pada 1/3 bagian ekor jarum
10. Pegang pinset chirurgis seperti memegang pensil dengan satu tangan. Tangan yang lainnya
memegang needle holder yang tadi sudah terpasang jarum
11. Dengan menggunakan pinset, pegang ujung luka di tempat yang terjauh untuk meminimalisasi
kerusakan jaringan, bagian pinset yang memiliki satu gigi harus berada di tepi luka dan bagian
dengan dua gigi harus berada di kulit
12. Posisikan jarum tegak lurus terhadap kulit kurang lebih 0,5 cm dari tepi luka dan masukkan ke
dalam kulit
13. Dengan pergerakan tangan supinasi, bawa jarum menuju tepi luka dengan gerakan seperti busur
panah, mirip dengan lekukan jarum. Untuk luka yang tidak melampaui kutis dan tidak ada
ketegangan di tepi lukanya, langsung saja melangkah ke langkah 18. Untuk luka yang dalam,
langkah penjahitan ada 2 langkah (buat jahitan dari tepi luka ke tengah luka, lalu pindahkan
needle holder ke ujung jarum yang telah melewati tepi luka dan lanjutkan dari tepi luka yang
berlawanan hingga keluar ke tepi luka)
14. Buka needle holder dan tarik jarum menuju ke luka
15. Tarik jarum melalui kulit dan keluar dari luka dalam jalur melengkung
16. Reposisi jarum di posisi yang benar di needle holder
17. Tarik benang melalui kulit, tinggalkan panjang yang cukup untuk nanti dijahit (sekitar 2 cm jika
diikat dengan needle holder atau 10 cm jika diikat dengan tangan)
18. Dengan menggunakan pinset, pegang ujung luka yang paling dekat dengan kita dan putar batas
luka ke arah luar
19. Dengan pergerakan melengkung, masukkan jarum ke batas luka dan bawa sedalam mungkin
sampai ke dasar luka dan bawa kembali ke atas sampai ujung jarum terlihat menembus kulit
20. Buka needle holder saat berdekatan dengan luka dan gunakan untuk memegang kembali jarum di
bagian luar dari kulit
21. Tarik jarum dengan bentuk melengkung melalui kulit dengan menggunakan pinset untuk
memfiksasi titik keluar jarum di luka
22. Dengan menggunakan ibu jari dan jari telunjuk, pegang jarum pada pangkalnya dengan aman dan
hati-hati, lalu buka needle holder
23. Tarik benang pada pangkal jarum dengan tangan kiri hingga menyisakan 2-3 cm pada sisi yang
pertama.
24. Lilitkan benang satu kali pada ujung needle holder ke arah dalam kemudian jepit ujung sisa
benang lalu tarik benang mendekati tubuh operator sehingga terbentuk simpul pertama.
25. Ulangi poin (24) untuk membentuk simpul kedua dengan menarik benang ke arah sebaliknya
hingga terbentuk simpul yang kuat.
26. Gunting benang dengan menyisakan kira-kira 1 cm dari simpul.
27. Lakukan penjahitan yang sama hingga seluruh panjang luka tertutup.
28. Pantau aproksimasi kulit dan hindari tension (ditandai dengan warna kulit sama dengan
sekitarnya).

1 2 3
4 5 6

Jahitan matras vertikal (donati)


1. Pasangkan benang sutera (silk) pada jarum berpinggir tajam yang telah diposisikan pada
pemegang jarum (needle holder) dengan menjepitnya pada 1/3 bagian ekor jarum.
2. Tembuskan jarum pada kulit di satu sisi kira-kira 5-6 mm dari pinggir luka (sisi-I) yang akan
dijahit sambil menahannya dengan pinset jaringan.
3. Tembuskan jarum menuju kulit sisi kontralateral (sisi-II) kira-kira 5-6 mm dari pinggir luka
sambil menahannya dengan pinset jaringan
4. Tarik benang pada pangkal jarum dengan tangan kiri hingga menyisakan 2-3 cm pada sisi yang
pertama selanjutnya arah mata jarum diputar 180 derajat dengan memakai pinset anatomis.
5. Tembuskan jarum pada sisi yang sama (sisi-II) kira-kira 1-2 mm dari pinggir luka.
6. Tembuskan jarum menuju kulit pada sisi kontralateral (sisi-I) kira-kira 1-2 mm dari pinggir luka.
7. Lilitkan benang satu kali pada ujung needle holder ke arah dalam kemudian jepit ujung sisa
benang lalu tarik benang ke arah kiri sehingga terbentuk simpul pertama.
8. Ulangi poin (7) untuk membentuk simpul kedua dengan menarik benang ke arah kanan hingga
terbentuk simpul yang kuat.
9. Gunting benang dengan menyisakan kira-kira 1 cm dari simpul.
10.Lakukan penjahitan yang sama hingga seluruh panjang luka tertutup.
11.Pantau aproksimasi kulit dan hindari tension (ditandai dengan warna kulit sama dengan
sekitarnya).
Jahitan intrakutan
1. Tetapkan titik masuk pertama bersama dengan ekstensi luka ± 1 cm dari permulaan luka
2. Bubuhkan benang ke kulit dengan mengikat jahitan di ujung
3. Masukkan jarum di ujung luka
4. Masukkan jarum secara intrakutan di salah satu batas luka
5. Keluarkan intrakutan dan masukkan lagi intrakutan di batas luka yang berlawanan arah
6. Lakukan terus seperti ini (zig-zag) sampai mencapai ujung dari luka
7. Titik keluar yang terakhir harus bersama dengan penarikkan seleuruh garis luka hingga tepi satu
bertemunya dengan tepi lainnya
8. Bubuhkan kembali jahitan di ujung lukanya dan ikat

Variasi Istilah dan Keterampilan


1. Benang jahitan terbuat dari material yang dapat diabsorbsi dan yang tidak diabsorbsi
2. Kedua kategori tersebut mengandung monofilamen dan multifilamen
3. Ketebalan benang : 6 – 5 – 4 – 3 – 2 – 1 – 0 – 00 – 000 – 0000 – 00000 – 000000 (diameter dalam
0, dimana semakin tinggi angka semakin tipis)
4. Dalam praktek sehari-hari 3/0 atau 4/0 digunakan untuk jahitan simpel (5/0 digunakan untuk
bagian wajah), 3/0 yang reabsorbable digunakan untuk subkutan
5. Dalam memilih benang jahitan harus memikirkan beberapa aspek sebagai berikut:
a. Kekuatan regangan
b. Keamanan simpul
c. Reaksi jaringan
d. Aksi kapiler
e. Reaksi alergi
6. Jahitan intrakutan harus memenuhi kriteria
a. Tidak ada tarikan di batas luka
b. Kondisi luka harus aman dari kontaminasi
c. Ujung-ujung luka harus lurus

Contoh Kasus
Seorang laki-laki usia 20 tahun datang ke Puskesmas karena mengalami luka sayat terkena pecahan kaca
pada lengan kanan bawah kira kira 1 jam sebelumnya.
Tentukan diagnosa pada pasien tersebut ?
Lakukan penatalaksanaan nonfarmakologi pada pasien tersebut (teknik jahitan dasar)

Referensi
1. Prof. Stapert J, Dr. Kunz M. Skills in Medicinie: Minor Surgery. Mediview: Maastricht University,
Netherlands, 2009, p 15, p 41-47
2. Brunicardi, F.C., Andersen, D.K., Billiar, T.R. Schwartz’s Manual of Surgery. Ed. 9. McGraw Hill. 2011
3. Boros, M. Surgical Techniques Textbook for Medical Students. Ed. 1. University of Szeged Faculty of
Medicine Institute of Surgical Research
4. Russel,R.G.C., Williams, N.S. Bailey & Love’s Short Practice of Surgery, Ed. 26. London: Hodder Arnold.
2013
5. Sjamsuhidajat, R., de Jong, W. Buku Ajar Ilmu Bedah, Ed. 4. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC,
2012
Pedoman Mahasiswa
Ketrampilan Klinis Paru

19. Pemeriksaan Fisik


Tujuan
Setelah melakukan pemeriksaan fisis paru dengan sistematis dan benar maka mahasiswa dapat
menemukan kelainan fisis patologis paru dan mampu menganalisis temuan sebagai dasar diagnosis
penyakit paru

Prior knowledge and skill


a. Anatomi dan fisiologi paru
b. Histologi saluran napas dan paru

PEMERIKSAAN FISIS PARU


Memperkenalkan diri, memberikan informasi tentang pemeriksaan yang akan dilakukan, meminta izin
dan peminta pasien melepaskan pakaian atas serta berbaring

Pemeriksaan inspeksi
 Inspeksi keadaan umum berkaitan dengan pernapasan
o Menyebutkan pasien tampak sesak atau tidak
o Menyebutkan ada tidaknya napas cuping hidung, ada idaknya penggunaan otot bantu napas
o Menyebutkan terdengar tidaknya suara serak, mengi, stridor
 Inspeksi warna kulit berkaitan dengan pernapasan
o Menyebutkan ada tidaknya penggunaan otot bantu napas M. Sternokleidomastoideus,
suprasternal
o Menyebutkan ada tidaknya bendungan vena leher
 Inspeksi ekstremitas berkaitan dengan pernapasan
o Menyebutkan ada tidaknya jari tabuh
 Inspeksi dada depan
o Menyebutkan ada tidaknya bendungan vena, benjolan (tumor), ginecomastia, emfisema subkutis
o Menyebutkan ada tidaknya retraksi M. Interkostal
o Menyebutkan bentuk dada dengan menilai diameter anteroposterior dibandingkan diameter
sagital, serta besar sudut angulus costae
o Menyebutkan ada tidaknya penyempitan dan pelebaran sela iga
o Menyebutkan kesimetrisan hemitoraks kiri dan kanan (statis) dan saat bernapas (dinamis)
o Menyebutkan frekuensi pernapasan dengan melihat gerakan dada
o Menyebutkan sifat pernapasan dengan menilai pergerakan toraks dan abdomen
o Menyebutkan irama pernapasan

Pemeriksaan palpasi dada depan


a. Palpasi leher
o Melakukan perabaan kelenjar limfe : palpasi dengan ujung jari pada daerah submandibula,
sepanjang M. Sternokleidomatoideus dan supraklavikula
o Melakukan pemeriksaan posisi trakea dengan meletakkan jari telunjuk pada daerah antara
trakea-sternokleidomastoideus, kiri –kanan atau meletakkan ujung-ujung jari telunjuk, jari
tengah, jari manis kanan pada suprasternal notch
b. Palpasi dada depan
o Palpasi umum: Melakukan perabaan di seluruh dada untuk menilai ada tidaknya emfisema
subkutis, sela iga dan menilai benjolan/ tumor bila ada
o Melakukan pemeriksaan ekspansi dada dengan meletakkan kedua telapak tangan pada dada
kiri dan kanan dengan kedua ibu jari saling bertemu dan meminta subyek inspirasi dalam
o Melakukan pemeriksaan fremitus raba dengan meletakkan permukaan palmar jari-jari kedua
tangan pada dada kiri dan kanan
- Meminta PS menyebutkan angka 77 atau 99 berulang-ulang, dan merasakan dengan teliti
getaran suara napas yang ditimbulkannya.
- Melakukan konfirmasi antara tangan kanan dan kiri pada setiap lokasi
- Melakukan pemeriksaan fremitus secara sistematis dari atas ke bawah

Pemeriksaan Perkusi dada depan


Perkusi umum: Melakukan perkusi seluruh dada depan untuk menilai secara umum ada tidaknya
kelainan
a. Melakukan perkusi paru secara sistematis
- Dilakukan dari apeks paru (daerah supraklavikula) sampai kebawah
- Membandingkan paru kiri dan kanan pada setiap lokasi pemeriksaan
b. Perkusi batas –batas organ pada rongga dada
Batas paru-hati:
 Perkusi pada garis midklavikula kanan sampai mendapatkan perubahan dari sonor menjadi
redup Kemudian menilai peranjakannya atau batas paru hati saat inspirasi dibandingkan
ekspirasi
 Batas jantung kanan (paru dan mediastinum kanan)
 Pada posisi 2 jari di atas batas paru-hati dilakukan perkusi ke medial untuk menentukan batas
jantung kanan (mediastinum)
c. Batas paru – lambung
 Perkusi pada garis aksilaris anterior kiri sampai mendapatkan perubahan dari sonor mejadi
timpani (lambung kosong) atau redup (lambung penuh)
 Batas jantung kiri (paru dan mediastinum kiri)
 Pada posisi 2 jari di atas batas paru-lambung dilakukan perkusi ke medial untuk menentukan
batas jantung kiri (mediastinum)

Pemeriksaan auskultasi dada depan


Melakukan auskultasi paru secara sistematis
a. Dilakukan dari apeks paru (daerah supraklavikula) sampai kebawah
b. Membandingkan paru kiri dan kanan pada setiap lokasi pemeriksaan
c. Konsentrasi pada saat fase inspirasi dan ekspirasi

Inspeksi dada belakang


Menyebutkan ada tidaknya benjolan (tumor), kelainan bentuk tulang belakang atau benjolan pada tulang
belakang

Palpasi dada belakang


a. Palpasi umum
o Melakukan perabaan di seluruh dada belakang untuk menilai ada tidaknya emfisema subkutis
dan menilai benjolan/ tumor bila ada
o Melakukan pemeriksaan ekspansi pada dada belakang dengan meletakkan kedua telapak tangan
pada dada belakang kiri dan kanan dengan kedua ibu jari saling bertemu dan meminta subyek
inspirasi dalam
o Melakukan mulai dari bawah skapula
o Melakukan pemeriksaan fremitus raba dengan meletakkan permukaan palmar jari-jari kedua
tangan pada dada belakang kiri dan kanan
o Meminta PS menyebutkan angka 77 atau 99 berulang-ulang, dan merasakan dengan teliti getaran
suara napas yang ditimbulkannya.
o Melakukan di daerah paru belakang mulai dari daerah interskapula ke bawah
o Melakukan konfirmasi antara tangan kanan dan kiri pada setiap lokasi
b. Perkusi umum
a. Melakukan perkusi seluruh dada belakang untuk menilai ada tidaknya
b. Melakukan perkusi paru secara sistematis
c. Melakukan dari apeks paru (daerah atas skapula) sampai kebawah (interskapula terus ke bawah
skapula)
d. Membandingkan paru kiri dan kanan pada setiap lokasi pemeriksaan
e. Batas paru belakang:
Perkusi pada garis skapula kanan dan kiri untuk mencari batas paru belakang kanan dan kiri ,
dengan berpedoman kepada korpus vertebra mulai dari vertebra prominens (C7)
c. Auskultasi dada belakang
 Melakukan auskultasi paru secara sistematis
 Melakukan dari apeks paru (daerah atas skapula), daerah interskapula terus ke bawah
 Membandingkan paru kiri dan kanan pada setiap lokasi pemeriksaan
 Konsentrasi pada fase inspirasi dan ekspirasi

20. Ketrampilan Klinis Inhalasi

Tujuan Pembelajaran
Setelah melakukan ketrampilan klinis inhalasi maka mahasiswa mampu untuk melakukan terapi inhalasi
berupa nebuliser, inhalasi dosis terukur dan turbuhaler dengan sistematis dan benar

Prior knowlegde and skill:


- Anatomi dan fisiologi sistem respirasi
- Farmakoterapi obat inhalasi
o Beta-2 agonis inhalasi
o Steroid inhalasi
o Antikolinergik inhalasi

Alat dan bahan


- Peralatan nebuliser: masker aerosol, nebuliser, tube
- Turbuhaler
- Inhalasi dosis terukur
- Spacer
- Obat inhalasi

Pemakaian inhalasi dosis terukur (IDT)


- Inhalasi dosis terukur dikocok lebih dulu agar obat homogen lalu tutupnya dibuka
- IDT dipegang tegak, kemudian dilakukan maksimal ekspirasi pelan-pelan
- Mulut IDT diletakkan di antara kedua bibir, lalu katupkan kedua bibir dan pada waktu yang bersamaan
melakukan inspirasi dalam perlahan-lahan sambil menekan kanister
- Tahan napas sampai 10 detik
- Pemakaian IDT dengan spacer
- IDT dikocok lebih dahulu dan buka tutupnya kemudian hubungkan dengan spacer mulut
- Mouth piece spacer diletakkan diantara kedua bibir lalu dikatupkan pastikan tidak ada kebocoran
- Tangan kiri memegang spacer dan tangan kanan memegang kanister IDT
- Tekan kanister sehingga obat akan masuk ke dalam spacer kemudian inspirasi dalam perlahan-lahan,
tahan napas sejenak lalu keluarkan napas lagi. Hal ini bisa diulang sampai merasa yakin obat dalam
spacer sudah terhirup habis

Pemakaian turbuhaler
- Buka penutup turbuhaler
- Pegang turbuhaler tegak lurus dan putar grip bawah ke arah kanan sampai penuh dan kemudian ke
arah kiri sampai terdengar bunyi klik
- Hembuskan napas maksimal di luar turbuhaler
- Letakkan mouth piece di antara gigi, rapatkan kedua bibir sehingga tidak ada kebocoran di sekitar
mouth piece kemudian tarik napas dengan kekuatan inspirasi yang kuat
- Sebelum menghembuskan napas, keluarkan turbuhaler dari mulut. Jika yang diberikan lebih dari satu
dosis ulangi tahap 2-5 dengan selang waktu 1-2 ment
- Pasang kembali tutupnya

Pemakaian nebuliser
- Masukkan obat ke dalam wadah/tube nebuliser
- Pasangkan mouth piece atau masker (sesuai kondisi pasien), tekan tombol ”on” pada nebulizer, atau
pasang oksigen sampai keluar uap dari nebuliser tersebut
- Anjurkan pasien untuk bernapas seperti biasa jika memakai masker
- Anjurkan pasien untuk bernapas lewat mulut jika memakai mouth piece
- Hal ini dilakukan berulang-ulang sampai obat habis (10-15 menit)
- Kumur-kumur daerah tenggorok pada penggunaan steroid inhalasi

Variasi
 Prosedur kumur-kumur pascainhalasi hanya dilakukan pada penggunaan steroid inhalasi
 Apabila tidak menggunakan spacer maka pemakaian langsung di mouthpiece
 Untuk anak harus ditemani dengan orangtua, misalnya saat dilakukan inhalasi anak dipangku oleh
orangtua

Kasus
Seorang laki-laki usia 25 tahun datang ke IGD RS, dengan keluhan sesak napas semakin memberat sejak 1
hari sebelumnya. Sesak napas berbunyi “ngi-ngik” disertai dada seperti tertekan. Seminggu sebelumnya
pasien menderita influenza dengan gejala batuk, hidung tersumbat nyeri otot. Dalam dua bulan terakhir
pasien sering serangan seperti ini sekitar 3-4 x seminggu, pasien minum obat sesak napas yang dijual di
warung hampir setiap hari dan serangan tersebut menganggu tidur malam sekitar 2-3 kali seminggu.
Pasien menderita penyakit ini sejak usia 5 tahun

Pemeriksaan fisik
o Sadar, keadaan umum sedang
o TD; 130/80 mmHg, Frekuensi nadi 120x/menit, frekuensi pernapasan 26 x/menit, suhu: 35.6 C, Sat
O2: 94%
o PF Paru
 Inspeksi: simetris statis dan dinamis
 Perkusi: sonor dikedua paru
 Palpasi: fremitus kanan dan kiri sama
 Auskutasi: vesikuler +/+, ronki -/-, mengi +/+

Pertanyaan:
 Sebutkan kelainan yang didapati pada pasien tersebut?
 Sebutkan obat-obatan yang akan digunakan untuk pasien tersebut?
 Sebutkan jenis inhalasi yang digunakan untuk tatalaksana pasien di gawat darurat?

Jawaban:
 Kelainan yang didapati:
- Frekuensi napas meningkat (> 18 x/menit)
- Frekuensi nadi meningkat (> 80 x/menit)
- Saturasi oksigen menurun (< 95%)
 Obat yang digunakan dalam situasi kegawatdaruratan adalah beta-2 agonis kerja singkat
 Inhalasi nebuliser

Daftar Pustaka
1. Pedoman Pemeriksaan Fisis Paru. Departemen Pulmonologi & I. Kedokteran Respirasi FKUI, RS
Persahabatan, 2007, Jakarta
2. Wilkins R & Specht L. Fundamentals of Physical Examination. In : Wilkins R, Sheldon RL, Krider JS eds.
Clinical Assessment in Respiratory Care. 5ed Elsevier Mosby. St Louis, 2000 : 63-82
3. Thorax and the Lung. Bickley LS & Szilagyi PG eds. In : Guide to Physical Examination. And history
taking. 9ed. Lippincott William &Wilkins, Philadelphia, 2007 : 241-267
4. Unit Laboratorium Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Panduan dan daftar tilik
ketrampilan klinik dasar. 2015.

21. Pemeriksaan Ginjal dan Saluran Kemih


Infeksi Saluran Kemih

Pemeriksaan Ginjal dan Seluran Kemih

Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan
1. Menilai ukuran dan kontur ginjal
2. Menilai apakah terdapat proses inflamasi pada ginjal
3. Menilai kemungkinan terdapat batu dan pielonefritis
4. Menilai tinggi kandung kemih di atas simfisis pubis
5. Menilai nyeri pada kandung kemih

Pengetahuan dasar:
Mahasiswa mengetahui anatomi saluran kemih dan ginjal
Mahasiswa mengetahui patofisiologi saluran kemih
Mahasiswa mengetahui tatacara pemeriksaan ginjal dan saluran kemih
Mahasiswa mengetahui tanda patologis dari pemeriksaan ginjal dan saluran kemih

Alat dan Bahan: -

Teknik Pemeriksaan
1. Jelaskan kepada pasien prosedur dan tujuan pemeriksaan.
2. Posisikan pasien berbaring dengan rileks.
3. Ekspos bagian abdomen dari daerah prosesussi poideus sampai dengan simpisis pubis.
4. Pemeriksa berdiri di sisikanan pasien. Untuk melakukan palpasi ginjal kiri,
pemeriksasebaiknyaberdiri di sisikiripasien.
5. Letakkan tangan kanan di bawah pinggang pasien tepat di bawah kosta ke-12 dan jari-jari tangan
menyentuh sisi bawah sudut kostover tebra. Kemudian dorong ginjal kearah anterior.
6. Tangan kiri diletakkan di kuadran kiri atas abdomen.
Gambar 101. Posisi tangan saat pemeriksaan bimanual ginjal

7. Minta pasien untuk bernapas dalam, saat pasien inspirasi maksimal, tekan abdomen tepat di
bawah kostaun tuk menilai ginjal, saat ginjal ada di antara kedua tangan pemeriksa. Nilai ukuran
dan kontur ginjal.
8. Kemudian minta pasien untuk menghembuskan napas perlaha sambil tangan pemeriksa
dilepaskan secara perlahan.
9. Lakukan cara yang sama untuk menilai ginjal kanan, dengan pemeriksa berdiri di sisi sebelah
kanan pasien.

Penilaian Tinggi Kandung Kemih


1. Pasien dalam posisi berbaring.
2. Lakukan palpasi di atas simfisis pubis, rasakan kubah kandung kemih, rasakan kandung kemih
yang meregang akan terasa membulat dan icin, nilai apakah palpasi menimbulkan rasa nyeri atau
tidak
3. Lakukan perkusi untuk menentukan seberapa tinggi kandung kemih di atas simfisis pubis.

Pemeriksaan Nyeri Ketok Ginjal


1. Pasien dalam posisi duduk, pemeriksa berdiri di sisi ginjal yang akan di periksa.
2. Jelaskan kepada pasien tindakan yang akan dilakukan.
3. Letakkan tangan kiri di sudut costovertebra, terkadang penekanan oleh jari-jari tangan sudah
dapat menimbulkan nyeri.
4. Lakukan perkusi dengan mengepalkan tangan kanan untuk member pukulan di atas tangan kiri di
sudut costovertebra pasien. Berikan pukulan sedang dengan permukaan ulnar. Kemudian nilai
apakah maneuver ini menimbulkan rasa sakit atau tidak.

Gambar 1. Posisi tangan saat melakukan ketok CVA

Analisis Hasil Pemeriksaan


1. Pada kondisi normal, ginjal kanan dapat teraba, khususnya pada orang yang kurus. Sedangkan
ginjal kiri jarang dapat teraba.
2. Secara normal, kandung kemih tidak teraba. Dalam keadaan distensi, kandung kemih dapat teraba
di atas simfisis pubis.

Istilah dan Variasi :


Tehnik ketok sudut costovertebra dapat juga dilakukan tanpa menggunakan telapak tangan sebagai
landasan. Pukulan dapat dilakukan langsung kesudut costovertebra namun hal ini lebih menimbulkan
rasa sakit yang lebih berat pada pasien.

Contoh Kasus:
Seorang wanita berusia 35 tahun dating keklinik dengan keluhan nyerisaat berkemih, terasa panas dan
disertai dengan demam sejak 2 hari yang lalu. BAK Nampak lebih keruh. Ia merasakan hal seperti ini
berulang kali dalam 2 tahun terakhir. Ia juga sering mengalami keputihan.

22. Suntikan Intrakutan, Subkutan DN Intramuskular

TUJUAN
Mahasiswa mampu menjelaskan indikasi, kontraindikasi, komplikasi dan melakukan pemberian obat
secara intra kutan, subkutan,intramuskular, dan intravena.

PRIOR KNOWLEDGE & SKILL


1. Komunikasi interpersonal (inform consent)
2. Universal precaution
3. Anatomi dan Fisiologi Kulit (penyuntikan intrakutan dan subkutan)
4. Anatomi dan Fisiologi Otot (penyuntikan intramuskular)
5. Anatomi dan Fisiologi Pembuluh Darah (penyuntikan intravena)

PROSEDUR
 Menjelaskan indikasi, kontraindikasi, dan komplikasi pemberian obat intrakutan, subkutan,
intramuskular, dan intravena.
Intrakutan Subkutan Intramuskular Intravena
Indikasi Vaksinasi Anastesi Vaksinasi DPT Antibiotik
BCG, skin lokal, parenteral
test insulin
Kontraindikas Alergi bahan yang akan disuntikkan, luka pada lokasi penyuntikkan
i
Komplikasi Nyeri Nyeri, Nyeri, neuritis Nyeri,
lipoatropi (bila perdarahan,
(insulin) mengenai hematom,
saraf) flebitis

 Melakukan inform consent.


 Memastikan obat yang akan diberikan dan tanggal kadaluarsanya.
 Melakukan prosedur aseptik dan antiseptik (handschoen)
 Memilih jarum yang sesuai
 Mengeluarkan obat dari vial
 Memilih sudut penyuntikan dan lokasi yang tepat
 Melakukan penyuntikan
 Mengevaluasi tindakan

PEMBERIAN OBAT MELALUI JARINGAN INTRAKUTAN


Merupakan cara memberikan atau memasukkan obat ke dalam jaringan kulit (dermis atau epidermis),
umumnya dilakukan pada daerah lengan tangan bawah bagian ventral.

PEMBERIAN OBAT MELALUI JARINGAN SUBKUTAN


Merupakan cara memberikan obat melalui suntikan di bawah kulit. Biasanyapada daerah lengan atas
sebelah luar atau 1/3 bagian dari bahu, paha sebelah luar, daerah dada dan daerah sekitar umbilikus
(insulin) atau lokasi yang akan dilakukan tindakan (anastesi lokal). Lokasi penyuntikan secara subkutan
dapat dilihat pada gambar berikut:
PEMBERIAN OBAT MELALUI INTRAMUSKULAR
Merupakan cara memasukkan obat ke dalam jaringan otot. Lokasi penyuntikan dilakukan pada daerah
paha (vastus lateralis), ventrogluteal (dengan posisi berbaring), dorsogluteal (posisi tengkurap) atau
lengan atas (deltoid). Absorpsi obat lebih cepat bila dibandingkan pemberian subkutan, namun lebih
lambat dibandingkan intravena. Gambar berikut menunjukkan lokasi pada penyuntikan intramuskular:

PEMBERIAN OBAT INTRAVENA


Merupakan cara memasukkan obat ke dalam pembuluh darah vena. Lokasi penyuntikkan pada pembuluh
darah vena yang jelas, biasanya pada vena ante cubiti.

CONTOH KASUS
Intrakutan, subkutan& intravena :
Kasus : Seorang perempuan 54 tahun datang berobat ke poliklinik dengan keluhan sesak nafas
sejak 2 hari yang lalu. Pasien juga mengeluhkan demam dan batuk berdahak yang berwarna kekuningan
sejak 4 hari yang lalu. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 110/70, frekuensi nadi 98
kali/menit, frekuensi nafas 24 kali/menit, suhu 38,9 oC, dan suara nafas bronkovesikuler, rhonki basah
halus di ½ lapangan paru kiri. Pasien juga diketahui menderita DM sejak 10 tahun yang lalu dan sudah
mendapat terapi insulin sejak 6 bulan yang lalu.
Diagnosis : Pneumonia lobaris sinistra
Tatalaksana : Rawat inap, diet sesuai kebutuhan dan antibiotik intravena. Sebelum pemberian
antibiotik intravena, dilakukan terlebih dahulu skin test.

REFERENSI
1. Alimul Hidayat, Azis. 2008. Edisi 2 Keterampilan Dasar Praktik Klinik untuk Kedokteran. Jakarta :
Salemba Medika
2. Eko W Nurul dan Ardiani Sulistiani. 2010. KDPK (Keterampilan Dasar Praktik Klinik Kedokteran).
Yogjakarta : Pustaka Rihama
3. WHO guideline on the use of safety-engineered syringes for intramuscular, intradermal and
subcutaneous injections in health-care settings. WHO. 2015.
23. Resusitasi Jantung Paru/RJP (CPR/Cardio Pulmonary Resucitation)

TUJUAN
Mahasiswa mengetahui indikasi dan dapat melakukan RJP.

PRIOR KNOWLEDGE & SKILL


1. Mengetahui anatomi dan fisiologi kardiovaskuler
2. Mengetahui anatomi dan fisiologi respirasi

PROSEDUR KETERAMPILAN
1. Bila menemukan orang tidak sadar. Pastikan tingkat kesadarannya dengan memanggil secara
keras, menepuk atau menggoyang bahunya. Pastikan lingkungan aman untuk penolong
memberikan pertolongan.
2. Nilai pernafasan dan denyut nadi. Penilaian pernafasan dan denyut nadi dapat dilakukan
bersamaan.
3. Bila nafas terhenti atau tidak normal dan denyut tidak teraba dalam 10 detik. Aktifkan sistem
gawat darurat dan ambil AED (bila penolong sendiri) atau minta orang lain melakukannya.
Lakukan kompresi dada 30 pijat jantung luar diikuti 2 nafas buatan (1 atau 2 penolong) dengan
kecepatan100-120 kali/menit selama 5 siklus atau 2 menit. (Circulation, C)
 Pijat jantung luar dilakukan dengan meletakkan kedua tangan pada ½ bagian bawah
sternum
 Kedalaman kompresi minimum 2 inci (5 cm), maksimal 2,4 cm (6 cm)
 Rekoil penuh setiap kali kompresi, jangan bertumpu pada dada setelah kompresi.
 Minimal jeda setiap kompresi, maksimal jeda 10 detik.
4. Pastikan jalan nafas paten, lakukan manuver head tilt - chin lift atau jaw thrust. (Airway, A)
5. Memberikan ventilasi yang cukup hingga dada terangkat (tidak berlebihan), 2 kali setelah 30
kompresi. Bila mendapat fasilitas nafas lanjut, berikan pernafasan setiap 6 detik. (Breathing, B)
6. Gunakan AED (Automatic External Defibrillator) atau defibrilator segera bila tersedia.
7. Lanjutkan kembali RJP. Berikan satu shock terlebih dahulu bila terdapat indikasi.

VARIASI
Pada kasus trauma, ahli bedah menggunakan urutan yang berbeda yaitu A-B-C.

CONTOH KASUS
Seorang laki-laki, 48 tahun datang ke IGD dengan keluhan nyeri dada sejak 4 jam yang lalu, nyeri
dirasakan semakin meningkat, menjalar ke lengan kiri, disertai keringat dingin. Saat akan dilakukan
pemeriksaan, tiba-tiba pasien tidak sadar. Nadi teraba halus pada karotis, pernasan tersengal.
Diagnosis : Sudden Cardiac Arrest
Tatalaksana : resusitasi jantung paru

REFERENSI
2015 American Heart Association Guidelines Update for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular Care. Circulation. 2015 ; 132 (2) : S315-S367.
24. Pemeriksaan Fisik Ginekologi Wanita

Tujuan Pembelajaran
Mampu melakukan pemeriksaan fisik ginekologi wanita (Kompetensi 4A)

Prior Knowledge/Skill
1. Memahami anatomi organ reproduksi wanita
2. Memahami fisiologi organ reproduksi wanita
3. Memahami kelainan yang dapat terjadi pada organ reproduksi wanita

Prosedur
1. Informed consent: Jelaskan kepada pasien jenis pemeriksaan, tujuan, dan prosedur pemeriksaan yang
akan dilakukan. Informasikan bahwa pemeriksaan yang akan dilakukan tidak menyebabkan nyeri
namun pasien mungkin akan merasa tidak nyaman.
2. Persiapkan alat dan bahan.
a. Meja periksa ginekologi
b. Cairan antiseptik
c. Kasa steril
d. Kapas lidi
e. Sarung tangan, minimal DTT
f. Apron
g. Handuk kering
h. Lubrikan gel
i. Lampu sorot
j. Spekulum dan nampan
k. Meja instrumen
l. Larutan Klorin 0,5%
m. Kursi pemeriksa
n. Air kran dan sabun.
3. Minta pasien untuk mengosongkan kandung kencingnya dan membersihkan genitalia eksterna
terlebih dahulu.
4. Minta pasien melepaskan pakaian dalam dan berbaring di meja periksa dengan posisi litotomi.
5. Nyalakan lampu dan diarahkan ke arah genitalia
6. Pemeriksa mencuci tangan dan menggunakan sarung tangan kemudian duduk menghadap aspektus
genitalia pasien.
7. Menyampaikan kepada pasien bahwa pemeriksaan akan dimulai.
8. Sentuh paha sebelah dalam terlebih dahulu, sebelum menyentuh daerah genital pasien.
9. Lakukan Pemeriksaan Inspeksi: Perhatikan labia, klitoris dan perineum, apakah terdapat parut, lesi,
inflamasi atau retakan kulit.
10. Lakukan Pemeriksaan Palpasi:
a. Pisahkan labia majora dengan dua jari, memeriksa labia minora, klitoris, mulut uretra dan mulut
vagina.Palpasi labia minora. Apakah terdapat benjolan, cairan, ulkus dan fistula. Rasakan apakah
ada ketidakberaturan atau benjolan dan apakah ada bagian yang terasa nyeri.
b. Periksa kelenjar Skene untuk melihat adanya keputihan dan nyeri. Dengan telapak tangan
menghadap ke atas masukkan jari telunjuk ke dalam vagina lalu dengan lembut mendorong ke
atas mengenai uretra dan menekan kelenjar pada kedua sisi kemudian langsung ke uretra
c. Periksa kelenjar Bartholin untuk melihat apakah ada cairan dan nyeri. Memasukkan jari telunjuk
ke dalam vagina di sisi bawah mulut vagina dan meraba dasar masing-masing labia majora.
Dengan menggunakan jari telunjuk dan ibu jari, mempalpasi setiap sisi untuk mencari apakah ada
benjolan atau nyeri.
d. Minta ibu untuk mengejan ketika menahan labia dalam posisi terbuka. Periksa apakah terdapat
benjolan pada dinding anterior atau posterior vagina
11. Pemeriksaan In spekulo
a. Ambil spekulum dengan tangan kanan, masukkan ujung jari telunjuk kiri pada introitus (agar
terbuka), masukkan spekulum dengan arah sejajar introitus (yakinkan bahwa tidak ada bagian
yang terjepit) lalu dorong bilah ke arah lumen
b. Setelah masuk setengah panjang bilah, putar spekulum 90 0 hingga tangkainya ke arah bawah. Atur
bilah atas dan bawah dengan membuka kunci pengatur bilah atas dan bawah (hingga masing-
masing bilah menyentuh dinding atas dan bawah vagina)
c. Tekan pengungkit bilah sehingga lumen vagina dan serviks tampak jelas (perhatikan ukuran dan
warna porsio, dinding dan sekret vagina ataupun forniks). Fiksasi/kunci spekulum pada posisi
terbuka sehingga pandangan di serviksdapat terjaga selama pemeriksaan.
d. Bersihkan lendir dan getah vagina apabila menghalangi pandangan ke serviks
e. Periksa serviks apakah ada kecurigaan kanker serviks, servisitis, ektopion, tumor, ovula Naboti
atau luka (Bila ada indikasi, dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan pap smear)
f. Lepaskan spekulum dan letakkan ke dalam wadah berisi larutan klorin 0.5%
12. Pemeriksaan bimanual:
a. Pemeriksa dalam posisi berdiri.
b. Buka labium mayus kiri dan kanan dengan ibu jari dan telunjuk tangan kiri, kemudian
memasukkan jari telunjuk dan tengah kedalam vagina (vaginal toucher)
c. Letakkan ujung-ujung jari tangan kiri pada suprasimfisis, lakukan penilaian:
1. Nilai dinding vagina. Apakah teraba massa, atau ada infiltrasi massa?
2. Nilai porsio: konsistensi, ukuran, besar, ektopi, adanya masa, adanya nyeri goyang porsio.
3. Nilai korpus uteri: konsistensi, ukuran, posisi (antefleksi/retrofleksi), adanya benjolan atau
massa (Bila curiga ada kehamilan, periksa tanda hegar)
4. Nilai adneksa: adanya nyeri tekan, masa/benjolan, tegang/kaku (pada penyakit radang
panggul/PRP, perdarahan intraabdomen).
5. Nilai kavum Douglasi: menonjol atau tidak (adanya masa, cairan).
d. Kemudian, keluarkan jari tangan pemeriksa secara perlahan.
e. Bersihkan kembali area vulva dengan kasa kering atau yang diberi antiseptik.
(Pemeriksaan colok dubur/rectal touché dapat dilakukan pada pasien anak atau wanita yang belum
menikah)
13. Setelah selesai melakukan pemeriksaan:
a. Buang bahan habis pakai pada tempat sampah medis yang tersedia.
b. Kumpulkan semua alat yang telah digunakan dan lakukan dekontaminasi alat dalam larutan
klorin 0,5%.
c. Pemeriksa melepaskan sarung tangan di dalam larutan klorin dan mencuci tangan.
14. Minta pasien mengenakan kembali pakaian dalamnya dan komunikasikan temuan klinis yang
didapatkan saat pemeriksaan.
15. Catat hasil pemeriksaan dalam rekam medis pasien dan jika diperlukan lakukan pemeriksaan
penunjang atau rujukan.
16. Beritahukan pasien apabila diperlukan kunjungan selanjutnya

Contoh Kasus
Seorang perempuan,P2A0, usia 43 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan benjolan di perut bagian
bawah yang dirasakan sejak 3 bulan terakhir tanpa nyeri. Siklus haid tidak teratur dalam 3 bulan terakhir
ini. Saat ini tidak menggunakan alat kontrasepsi.

Referensi
1. Saifuddin AB, Rachimhadhi T, Wiknjosastro GH. Ilmu Kandungan. Sarwono Prawirohardjo. Ed 3.
Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2011.
2. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Penerbit JNPKKR-POGI-
Yayasan Bina Pustaka Sarwono, 2006
3. Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular. Pencegahan Kanker Leher Rahim dan Kanker
Payudara. Jakarta:Depkes RI. 2007
25. Pemeriksaan jamur dengan KOH
Tingkat Keterampilan: 4A
Alat dan Bahan
1. Kaca objek, kaca penutup
2. Selotip
3. Lampu Bunsen
4. Mikroskop
5. Pisau tumpul steril
6. Larutan KOH 10% dan 20%

Teknik Pemeriksaan
1. Bagian kulit/rambut/kuku yang intak (tidak luka) sebelumnya dibersihkan dengan swab alkohol,
untuk daerah yang tidak intak/luka dapat dibersihkan dengan larutan fisiologis
2. Ambilah bahan untuk pemeriksaan laboratorium dan taruh di kaca objek
- Kulit tidak berambut  dari bagian tepi kelainan sampai dengan bagian sedikit siluar kelainan
sisik kulit
- Kulit berambut  rambut dicabut pada bagian yang mengalami kelainan, kulit di daerah
tersebut dikerok untuk mengumpulkan sisikkulit
- Kuku  diambil dari permukaan kuku yang sakit dan dipotong sedalam-dalamnya hingga
mengenai seluruh tebal kuku
- Mukosa mulut  diambil dari permukaan mukosa (lidah, bukal) dengan cara mengusapkan
lidi kapas (digeser dan diputar 3600) sambil agak ditekan.
3. Kemudian ditambahkan 1-2 tetes larutan KOH
- KOH 10% untuk sediaan rambut
- KOH 20% untuk sediaan kulit dan kuku (untuk kuku ditambahkan DMSO 40%)
4. Setelah dicampur dengan larutan KOH, tunggu 15-20 menit untuk melarutkan melisiskan jaringan
5. Dapat dipercepat dengan dengan melakukan pemanasan sediaan basah di atas api kecil dan
dilewatkan beberapa kali (jangan sampai menguap).
6. Setelah itu langsung dapat dilihat di bawah mikroskop

Analisis Hasil Pemeriksaan


1. Pada sediaan kulit dapat terlihat adalah hifa, sebagai 2 garis sejajar, terbagi oleh sekat dan bercabang,
artrospora, atau hifa pendek dengan spora bulat berkelompok, atau blastospora dan pseudohifa.
2. Pada sediaan kuku dapat terlihat hifa panjang, artrospora, atau pseudohifa dan blastospora.
3. Pada sediaan rambut yang dilihat adalah spora dapat tersusun di luar batang rambut (ektotriks) atau
di dalam batang rambut (endotriks), atau hifa panjang atau artrospora.

Referensi
Djuanda A, dkk. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 5. Balai Penerbit FKUI : Jakarta. 2007. Hal 96-97.
26. Pemeriksaan Genitalia Pria

Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan
1. Inspeksi penis, inspeksi skrotum,
2. Palpasi penis, testis, duktus spermatikus, epididimis
3. Transluminasi skrotum

Prior Knowledges and skills:


 Mengetahui anatomi genitalia eksterna laki-laki
 Mengetahui morfologi kelainan kulit
 Mengetahui macam-macam duh tubuh genital
 Mengetahui mekanisme kerja diaskopi, pemeriksaan lampu Wood
 Mengetahui langkah-langkah mencuci tangan

Alat dan Bahan


1. Ruang pemeriksaan
2. Sarung tangan
3. kaca pembesar dan lampu periksa

Teknik Pemeriksaan
1. Jelaskan kepada pasien tujuan dan prosedur pemeriksaan
2. Dokter ditemani oleh asisten dalam melakukan pemeriksaan
3. Kondisikan ruang pemeriksaan yang nyaman
4. Cuci tangan dan gunakan sarung tangan
5. Bebaskan alat genital untuk pemeriksaan  meminta pasien membuka pakaian bagian bawah

Penis
1. Lakukan inspeksi pada penis, nilai kulit di sekitar penis apakah terdapat  lesi kulit ekskoriasi
atau inflamasi.
2. Preputium: apabila pasien tidak disirkumsisi, tarik preputium ke belakang atau minta pasien yang
melakukan, perhatikan apakah terdapat karsinoma lesi (ulserasi, skar, nodul, atau tanda-tanda
inflamasi), smegma, atau kotoran di bawah lipatan kulit dan gland penis, perhatikan apakah
terdapat ulserasi, skar, nodul, atau tanda-tanda inflamasi.
3. Nilai posisi dari meatus uretra.
4. Tekan glans penis menggunakan ibu jari dan telunjuk, untuk menilai apakah terdapat duh tubuh
(discharge). Jika tidak terdapat duh tubuh discharge, namun pasien mengeluhkannya terdapat
discharge, maka lakukan pemijatan penis dari pangkal hingga glans untuk mengeluarkan duh
tubuh discharge. Sediakan tabung untuk kultur discharge.

Gambar 116. Pemeriksaan duh tubuh discharge


5. Lakukan palpasi pada penis, nilai apakah terdapat benjolan atau indurasi.
6. Kembalikan preputium ke posisi semula sebelum melakukan pemeriksaan lainnya.

Skrotum
1. Lakukan inspeksi, nilai kulit dan kontur dari skrotum. Angkat skrotum untuk menilai permukaan
posterior skrotum, perhatikan apakah ada lesi kulit (benjolan, atau pelebaran pembuluh darah
vena, dll).
2. Palpasi testis dan epididimitis menggunakan ibu jari, telunjuk, dan jari tengah. Nilai ukuran,
bentuk, konsistensi, dan perhatikan apakah terdapat kelainan testis nodul.
3. Palpasi korda spermatikus, menggunakan ibu jari jari-jari dari belakang epididymis ke cincin
inguinal superfisial. Perhatikan apakah ada nodul atau pembengkakan. -->urologi
4. Untuk menilai pembesaran skrotum di luar testis, dapat dilakukan pemeriksaan transluminasi. Di
dalam ruang pemeriksaan yang gelap, arahkan sinar senter dari belakang skrotum, jika terdapat
cairan, maka akan tampak bayangan merah dari transmisi sinar melewati cairan. ---> urologi

Analisis Hasil Pemeriksaan


1. Jika preputium tidak dapat ditarik ke belakang, disebut fimosis, dan jika setelah dapat ditarik tidak
dapat dikembalikan, disebut parafimosis.
2. Terdapatnya inflamasi pada gland penis, disebut balanitis, inflamasi pada gland penis dan
preputium, disebut balanopostitis.
3. Adanya ekskoriasi di sekitar pubis dan genital, dicurigai adanya skabies.
4. Jika posisi meatus uretra berada di bagian ventral penis, disebut hipospadi.
5. Terdapatnya sekret berwarna kuning keruh dicurigai ke arah urethritis gonokokus, sekret bening
dicurigai ke arah urethritis non gonokokus, pemeriksaan diagnosis pastinya menggunakan kultur.
6. Terdapatnya indurasi sepanjang permukaan ventral penis, mengarah pada striktur uretera atau
kemungkinan keganasan. Adanya nyeri di daerah indurasi, kemungkinan terdapatnya inflamasi
periuretral akibat striktur uretra.
7. Adanya salah satu skrotum yang tidak berkembang, dicurigai adanya kriptodisme. --> Urologi
8. Pembengkakan skrotum dapat terjadi pada hernia, hidrokel, dan edema skrotum. nyeri dan
bengkak dapat terjadi pada akut epididymitis, akut orkhitis, torsio korda spermatikus, atau adanya
hernia strangulata. --> Urologi
9. Adanya nodul yang tidak nyeri pada skrotum, dicurigai ke arah kanker testikular. --> Urologi

Referensi
Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates’ Guide to Physical Examination and History Taking, 10th edition. Lippincott
Williams & Wilkins, China, 2009.

Contoh Kasus:
Seorang laki-laki, 27 tahun, pekerjaan pedagang, datang dengan keluhan keluar cairan putih dari
kemaluan sejak 4 hari. Satu minggu yang lalu, pasien melakukan hubungan seksual dengan seorang
perempuan yang baru dikenalnya di tempat karaoke. Cairan putih lebih banyak keluar pada pagi hari.
Pasien mengeluhkan sakit bila buang air kecil. Pasien tidak merasakan demam.
Pada pemeriksaan genitalia, kulit penis, prepusium dan skrotum tidak tampak kelainan. Dengan
penarikan prepusium tampak glands penis sedikit eritem, orifisium uretra eksterna eritem dan sedikit
udem. Duh tubuh uretra berwarna kekuningan, seropurulen, dan banyak. Pada palpasi penis tidak
didapatkan nyeri pada bagian ventral penis dan skrotum.
27. Palpasi Kelenjar Limfe
Tingkat Keterampilan: 4A

Tujuan:
Menilai kelenjar limfe

Prior Knowledge :
Fisiologi Sistem Limfatik

Prosedur Keterampilan
1. Jelaskan kepada pasien jenis pemeriksaan yang akan dilakukan dan prosedurnya
2. Lakukan Sanitasi Tangan (Tidak perlu dilakukan jika pemeriksaan ini merupakan lanjutan dari
pemeriksaan sebelumnya)
3. Palpasi menggunakan bantalan dari jari telunjuk dan jari tengah dengan gerakan memutar yang
lemah lembut, minta pasien untuk santai

Area kepala dan leher


1. Inspeksi daerah leher
a. Perhatikan kesimetrisan, massa atau scars
b. Lihat apakah ada kelenjar limfe yang terlihat
2. Dengan leher pada posisi fleksi lakukan palpasi pada lokasi berikut:
a. Preauricular  di depan telinga
b. Posterior auricular  superfisial di mastoid
c. Occipital  dasar tulang kepala posterior
d. Tonsillar  di bawah angulus mandibula
e. Submandibular di tengah di antara sudut dan ujung mandibula
f. Submental  di garis tengah beberapa sentimeter di belakang ujung mandibula
g. Superficial cervical  superfisial di sternomastoid
h. Posterior cervical sepanjang tepi anterior dari trapezius
i. Deep cervical chain  bagian dalam di sternomastoid dan terkadang sulit untuk diperiksa.
Kaitkan kedua ibu jari dengan jari-jari di sekitar otot sternomastoid
j. Supraclavicular  di dalam sudut yang dibentuk oleh klavikula dan sternomastoid
Area lengan dan tungkai
1. Inspeksi kedua lengan pasien, nilai dari ujung jari hingga bahu
a. Minta pasien untuk mengangkat kedua lengannya ke arah depan.
b. Nilai ukuran, kesimetrisan dan lihat apakah ada pembengkakan
2. Palpasi epitrochlear node
a. Minta pasien untuk memfleksikan siku 90° dan angkat serta tahan lengan pasien dengan tangan
pemeriksa (bagian kanan dengan bagian kanan dan sebaliknya).
b. palpasi di lekukan di antara otot biceps dan triceps, sekitar 3 cm di atas epikondilus medial. Jika
teraba, nilai ukuran, konsistensi dan nyeri.
3. pemeriksaan kelenjar getah bening aksilla pada fossa aksillaris, sebaiknya pada posisi duduk karena
pada posisi ini fosa aksillaris menghadap ke bawah sehingga lebih banyak kelenjar yang dapat
dicapai. Palpasi dilakukan di area posterior, pusat, ujung atas fossa aksillaris.
4. Inspeksi kedua ekstremitas bawah pasien dari pangkal paha dan pantat hingga kaki:
d. Minta pasien untuk berdiri dengan santai
e. Nilai ukuran, kesimetrisan dan lihat apakah ada pembengkakan.
5. Palpasi kelenjar limfe inguinal superfisial, termasuk grup vertikal dan horizontal:
a. Palpasi inguinal
b. Nilai ukuran, konsistensi, persebaran dan nyeri

Analisis Hasil Pemeriksaan


1. Pada palpasi dinilai jumlah kelenjar, ukuran, konsistensi, terfiksir atau tidak dan ada nyeri tekan atau
tidak
2. Palpasi kelenjar limfe daerah kepala dan leher:
a. Kelenjar limfe tonsillar yang ada pulsasi kemungkinan itu adalah arteri karotis
b. Pembesaran kelenjar limfe supraklavikula, terutama sebelah kiri harus dicurigai sebagai
keganasan yang metastasis dari torakal atau abdominal.
c. Kelenjar limfe yang teraba lunak kemungkinan merupakan inflamasi, kelenjar limfe yang teraba
keras atau yang tidak bergerak kemungkinan merupakan keganasan
d. Limfadenopati yang difus harus dicurigai sebagai HIV atau AIDS
3. Palpasi kelenjar limfe daerah lengan dan tungkai:
a. Edema kelenjar limfe di lengan dan tangan mungkin akibat dari diseksi kelenjar limfe aksila dan
terapi radiasi
b. Limfe epitrochlear yang membesar kemungkinan merupakan infeksi lokal atau distal atau
berhubungan dengan limfadenopati generalisata
c. Limfadenopati berarti pembesaran kelenjar limfe dengan atau tanpa nyeri. Coba untuk
membedakan antara limfadenopati lokal dan generalisata dengan menemukan (1) lesi penyebab
di drainage area atau (2) pembesaran limfe setidaknya di area yang tidak berdekatan

Variasi
Prosedur ini dapat dilakukan pada posisi berbaring maupun duduk, sesuai dengan posisi KGB yang akan
diperiksa

KGB=Kelenjar Getah Bening


Limfadenopati=Pembesaran KGB=Pembesaran kelenjar Limfe

Contoh Kasus
Seorang laki-laki berusia 35 tahun, datang ke Praktek Dokter Umum dengan keluhan benjolan pada leher
sejak setahun terakhir. Dari anamnesis diketahui benjolan awalnya sebiji kelereng di leher kiri lalu makin
lama makin membesar namun tidak nyeri. Ada riwayat pengobatan 6 bulan dan kencing berwarna merah
selama terapi tersebut.

Diagnosis : Limfadenopati DD/Limfoma Maligna

Referensi
1. Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates’ Guide to Physical Examination and History Taking, 10th edition. Lippincott
Williams & Wilkins, China, 2009, p 481-483
2. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FK UI Jilid 1 EdisiVI, Interna Publishing, Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam

Catatan:

Perlu ditambahkan gambar-gambar ilustrasi untuk mempermudah pemahaman


28. Penentuan Indikasi dan Jenis Transfusi
Tingkat Keterampilan: 4A

Tujuan:
Mengetahui Indikasi dan Jenis Transfusi

Prior Knowledge :
Safety Blood Transfusion
Reaksi Transfusi
Uji Kompatibilitas
- Golongan darah ABO
- Faktor Rhesus
- Jenis komponen darah

Prosedur Keterampilan
1. Menentukan Darah yang akan ditransfusikan sesuai dengan golongan darahnya
Gologan darah Donor
Golongan darah Pasien
Sel Darah Merah Plasma
AB Pilihan 1 : AB Pilihan 1 : AB
Pilihan 2 : A atau B
Pilihan 3 : O
A Pilihan 1 : A Pilihan 1 : A
Pilihan 2 : O Pilihan 2 : AB
B Pilihan 1 : B Pilihan 1 : B
Pilihan 2 : O Pilihan 2 : AB
O Pilihan 1 : O Pilihan 1 : O
Pilihan 2 : A atau B
Pilihan 3 : AB

2. Menentukan Jenis komponen darah sesuai dengan indikasinya


Jenis Komponen darah Indikasi
Darah Lengkap ( Whole Blood) - Perdarahan aktif (kehilangan darah
>25%
- Operasi Jantung
- Tidak tersedia fasilitas pemisahan
darah
Sel Darah Merah Pekat (Packed Red - Anemia
Cells)
Sel darah Merah Pekat Cuci (Washed - Pencegahan reaksi alergi berat atau
Red Cells) reaksi berulang
Trombosit Pekat (Trombocyte - Kasus perdarahan akibat
Concentrate) trombositopenia (platelet <50.000)
- Pencegahan perdarahan pada kondisi
tombositopenia berat (platelet <
10.000) akibat gangguan produksi
Plasma segar beku (Fresh Frozen - Koreksi gangguan faktor pembekuan
Plasma) (mis: DIC, TTP)
Cryoprecipitate - Kekurangan Faktor VIII (Hemofilia A)
- Kekurangan Faktor XIII
- Kekurangan fibrinogen (Penyakit Von
Willebrand)
-
Contoh Kasus
Seorang wanita berusia 19 tahun datang ke Unit Gawat Darurat RS dengan keluhan bercak-bercak
kemerahan di seluruh tubuh. Dari anamnesis diketahui tidak ada riwayat trauma maupun pengobatan
apapun sebelumnya.
Tanda-tanda Vital dalam batas normal.
Hasil lab, HB: 11; Leukosit: 7800; Platelet: 8000

Tentukan Tatalaksana Non-Farmakologi yang tepat pada pasien ini!

D/ Immune Thrombocytopenia

Tatalaksana Non Farmakologi : Transfusi Trombosit Concentrate

1. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FK UI Jilid 1 EdisiVI, Interna Publishing, Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam
29. Konseling Anemia Defisiensi Besi
Tingkat Keterampilan: 4A

Tujuan:
Melakukan konseling pada pasien yang mengalami anemia defisiensi Fe

Langkah konseling (prosedur tindakan)

Anemia Defisiensi Besi


Prinsip konseling pada anemia defisiensi besi adalah memberikan pengertian kepada pasien dan
keluarganya tentang perjalanan penyakit dan tata laksananya, sehingga meningkatkan kesadaran dan
kepatuhan dalam berobat serta meningkatkan kualitas hidup pasien untuk mencegah terjadinya anemia
defisiensi besi.

Menekankan pentingnya tindakan pencegahan berupa:


1. Pendidikan Kesehatan
a. kesehatan & kebersihan lingkungan misalnya pemakaian jamban, perbaikan lingkungan kerja,
pemakaian alas kaki untuk pencegahan kecacingan
b. penyuluhan gizi untuk membantu penyerapan gizi
2. Pemberantasan infeksi cacing tambang (misalnya pemberian antihelmentik dan perbaikan sanitasi
Suplementasi besi profilaksi terutama pada kelompok penduduk yang rentan seperti ibu hamil dan anak
balita

Contoh Kasus
Seorang wanita berusia 18 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan cepat lelah dan mudah pusing
sejak 1 bulan. Dari anamnesis diketahui pekerjaan membantu orang tua berkebun, jarang makan daging,
rumah tidak berlantai (lantai tanah), jarang memakai sendal dan jarang mencuci tangan sebelum makan.
Pada Pemeriksaan fisik hanya didapatkan tanda-tanda anemia
Pada pemeriksaan lab didapatkan Hb: 6,8; Leukosit 8900; Trombosit 560.000; Hapusan Darah Tepi :
Anemia Mikrositik Hipokrom

Berikan Edukasi yang sesuai dengan masalah pada pasien ini!

Referensi
1. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FK UI Jilid 1 EdisiVI, Interna Publishing, Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam

Acuan Keterampilan Endokrin


30. Keterampilan Menyuntik Insulin
Penyuntikan insulin dan konseling pra insulin

Tujuan pembelajaran
- Melakukan konseling secara baik dan benar saat pasien sudah membutuhkan terapi insulin
- Melakukan penyuntikan insulin subkutan

Prior knowledge dan skill


- Anatomi kulit
- Jenis-jenis insulin dan jarum insulin

Prosedur keterampilan

Bahan dan alat


- Sarung tangan non steril
- Sediaan insulin sesuai kebutuhan dan indikasi
- Jarum insulin 1 cc = 100 u
- Kapas alkohol
- Sharp container
- Alcohol scrub
- Tempat sampah infeksi
- Trolley
- Manekin suntikan subkutan

Langkah prosedur
- Melakukan konseling pra insulin

- Menjelaskan mengapa pasien tersebut butuh insulin


- Menjelaskan mitos-mitos tentang insulin
- Menjelaskan lokasi suntikan insulin
- Menjelaskan cara penyimpanan insulin
- Menjelaskan cara penyuntikan insulin

- Memeriksa kelengkapan alat-alat

- Mencuci tangan dan menggunakan sarung tangan non steril


- Mencocokkan spuit insulin dengan konsentrasi insulin yang dipakai
- Mengisi spuit insulin sesuai dosis dengan cara tegak lurus terhadap botol insulin, setelah itu
mengeluarkan udara yang masih tersisa di ujung spuit
- Menentukan lokasi suntikan kemudian mencubit kulit dengan ibu jari dan jari telunjuk, lalu
menyuntikkan jarum secara tegak lurus
- Menekan tuas spuit sehingga insulin masuk ke subkutan, lalu membiarkan jarum tetap di lokasi
selama 5-10 detik
- Menarik jarum dari kulit dan jika ada rembesan darah cukup dengan memberikan tekanan ringan
dengan kapas atau kasa di lokasi penyuntikan
- Untuk suntikan dengan insulin pen, pastikan bahwa semua bagian-bagian pen sudah terpasang
dengan benar, lalu memutar dosis sesuai yang diinginkan. Lalu menusukkan pen secara tegak lurus
terhadap permukaan kulit di lokasi suntikan
- Melakukan semua prosedur secara lege artis dan menyenangkan
- Merapikan semua peralatan dan atau membuang barang yang tidak diperlukan lagi
- Mencuci tangan

a. Variasi istilah dan cara


Tidak ada

b. Contoh kasus
Seorang pria 48 tahun datang dengan keluhan berat badan yang semakin turun sejak 6 bulan
sebelum ke puskesmas. Pasien adalah penyandang diabetes selama 10 tahun dengan pengobatan
terakhir metformin 3x850 mg dan glibenklamid 2x10 mg. Selain mengeluhkan penurunan berat
badan 8 kg dalam waktu 6 bulan, pasien juga mengeluhkan sering kencing malam dan rasa lemas.
Pasien membawa hasil gula darah puasa 276 mg/dl dan gula darah 2 jam sesudah makan 354
mg/dl.

Instruksi:
Lakukan konseling untuk rencana pemberian insulin pada pasien lalu peragakan penyuntikan
insulin 8 unit subkutan.

c. Referensi

1. Konsensus Terapi Insulin PERKENI 2015


2. New Insulin Injection Recommendation. Diabetes and Metabolism. 2010. Vol. 36. S19-29
31. Pemeriksaan Kelenjar Tiroid
Tujuan
Melakukan pemeriksaan tiroid secara lege artis

Prior knowledge dan skill


 Anatomi leher
 Cara menggunakan stetoskop

Prosedur keterampilan

Bahan dan alat


- Manekin tiroid dan leher
- Stetoskop
- Trolley

Langkah prosedur

- Mencuci tangan
- Memperkenalkan diri, menjelaskan pemeriksaan yang akan dilakukan serta meminta ijin
- Meminta pasien untuk duduk dan sedikit mengekstensikan kepalanya
- Melakukan inspeksi tiroid dari sisi depan pasien
- Berdiri di belakang pasien
- Melakukan palpasi pada regio tiroid dengan menggunakan ujung jari dari kedua tangan
- Meminta pasien melakukan gerakan menelan
- Memeriksa seluruh bagian kelenjar tiroid
- Menggunakan stetoskop untuk menilai adanya bruit
- Melaporkan hasil dengan benar
- Melakukan pemeriksaan dengan cara yang menyenangkan.
- Mencuci tangan setelah pemeriksaan

a. Variasi istilah dan cara


- Memeriksa dari depan pasien atau dari belakang pasien
- Melakukan pemeriksaan Pamberton’s sign

b. Contoh kasus
Seorang wanita berusia 30 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan adanya benjolan di leher
depan sejak 3 bulan. Benjolan awalnya dirasakan sebesar kelereng dan tidak bertambah besar
sejak dirasakan. Pasien tidak merasa ada gangguan menelan atau kesulitan bernafas. Selain
keluhan benjolan di leher pasien tidak mengeluhkan adanya keluhan lain.

Instruksi:
Lakukan pemeriksaan fisik kelenjar tiroid lalu laporkan hasil pemeriksaan.

Referensi
1. Bickley, LS & Szilagyi PG 2009, Bates’ Guide to Physical Examination and History Taking, 10th edn,
Lippincott Williams & Wilkins, China, h. 166-167
2. Braverman LE, Cooper DS. The Thyroid: A Fundamental and Clinical Text. Werner and Ingbar. 2013.
10th edition.
32. Kanulasi vena perifer
prosedur memasukkan kanula ke dalam vena perifer untuk mendapatkan akses intra vena. Prosedur ini
sangat sering dilakukan di dunia kedokteran, sehingga dokter atau calon dokter seringkali menganggap
kanulasi vena sebagai tindakan yang rutin dan mendelegasikannya kepada sejawat perawat.Akibatnya
para dokter atau calon dokter justru tidak bisa melakukan prosedur ini dengan benar dan tidak dapat
menyelesaikan masalah terkait prosedur kanulasi vena perifer saat di mintakan rujukan dari sejawat
perawat.

Kompetensi
Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) 2012, menyebutkan bahwa insersi kanula vena perifer
adalah kompetensi yang harus dapat dikerjakan secara mandiri oleh seorang dokter (level kompetensi
4A). Hal ini berarti seorang dokter harus memahami latar belakang teori, indikasi dan kontra indikasi,
prosedur tindakan, komplikasi dan cara penanggulangannya.

Tujuan Pembelajaran
Tujuan Pembelajaran Umum :
Mahasiswa mampu melaksanakan prosedur kanulasi intravena perifer dengan benar pada manekin /
boneka

Tujuan Pembelajaran Khusus :


Setelah proses pembelajaran, mahasiswa mampu untuk:
1. Menjelaskan indikasi dan kontra indikasi kanulasi intravena perifer
2. Menjelaskan pemilihan cairan infus
3. Mampu melakukan prosedur pemasangan infus intravena pada manekin
4. Mampu melakukan penghitungan tetesan cairan infus
Skenario Kasus
Seorang laki laki berusia 30 tahun 50 kg di bawa ke UGD karena diare sejak 2 hari sebelumnya. Dari
pemeriksaan didapatkan tidak ada tanda distress nafas perfusi dingin, basah, pucat, nadi 100 kali
permenit, tekanan darah terukur 100/50 mmHg, dan pemeriksaan turgor menurun. Pasien masih sadar
dan mengeluh haus.
Setelah dilakukan survey primer dan sekunder disimpulkan diagnosa pasien adalah diare dengan
dehidrasi sedang (kehilangan cairan ~6% total cairan tubuh).Untuk mengatasi dehidrasi dilakukan
kanulasi vena perifer dan pemberian infus kristaloid sesuai dengan jumlah cairan intersisial yang hilang.

Dasar Teori
a. Indikasi dan kontra indikasi kanulasi vena perifer
Indikasi kanulasi vena antara lain :
 pemberian obat-obatan secara bolus atau kontinyu untuk terapi maupun diagnostik
 pemberian infus cairan dan elektrolit atau nutrisi parenteral
 transfusi komponen darah
 monitoring hemodinamik

Secara umum tidak ada kontra indikasi untuk pemasangan kanulasi vena, namun harus diperhatikan
kanulasi vena pada ekstremitas yang cedera, terinfeksi, atau mengalami luka bakar harus dihindari bila
memungkinkan.
Beberapa cairan dan obat obatan dengan karakteristik tertentu yaitu pH <5, pH >5, osmolaritas >600
mOsm/L termasuk larutan skleroterapi, obat kemoterapi, dan vasopressor dapat menyebabkan
kerusakan pada vena atau jaringan bila terjadi kebocoran ke jaringan.Bahan bahan tersebut harus
diberikan melalui akses vena sentral.

b. Terapi cairan
60% tubuh manusia terdiri dari air.Cairan tubuh total terbagi dalam dua kompartemen yaitu cairan
intra seluler dan cairan ekstra seluler. Cairan ekstra seluler terbagi dalam dua bagian yaiut cairan
intravaskuler dan intersisial.Caiarn tubuh relatif berada dalam kesetimbangan antara masing masing
kompartemen dengan jumlah yang relatif konstan.Pada kondisi normal, tubuh mengalami kehilangan
cairan dari keringat, urine, feses dan insensible water loss melalui penguapan respirasi dan kulit. Input
cairan didapatkan dari sejumlah air yang diminum dan produksi air hasil metabolisme energi.
Cairan yang diperlukan untuk mengganti kehilangan cairan normal disebut cairan rumatan.
Pemberian cairan rumatan harus memperhitungkan kebutuhan elektrolit, kalori, dan protein yang
dibutuhkan pasien. Jumlah cairan yang diperlukan untuk pasien dewasa secara umum adalah 30-40
ml/kg/24 jam sedangkan pada pasien anak kebutuhan cairan rumatan selama 24 jam dapat dihitung
dengan rumus Holliday-Segar yaitu:

100 ml/kg untuk 10 kg pertama


50 ml/kg untuk 10 kg kedua
20 ml/kg untuk sisa berat badannya
Kondisi patologis dapat menyebabkan tubuh kehilangan cairan berlebihan dari kompartemen
intravaskuler karena perdarahan dan kompartemen intersisial karena dehidrasi. Kehilangan cairan dari
salah satu kompartemen tersebut akan dikompensasi oleh kompartemen yang lain. Kehilangan cairan
yang berat akan menimbulkan syok yaitu gangguan perfusi dan oksigenasi jaringan.Syok karena
kehilangan sebagian cairan tubuh digolongkan dalam syok hipovolemik.
Tanda klinis syok antara lain adalah adanya gangguan perfusi, pada perabaan akan didapatkan akral
yang dingin, basah, dan pucat, capilary refil time memanjang >2 detik. Nadi akan meningkat >100
kali/menit, dan pada kondisi lanjut akan didapatkan tekanan darah sistolik turun samapai <100 mmHg.
Tanda lain dapat berupa pernafasan yang cepat, produksi urine menurun sampai < 1ml/kgBB/jam, atau
kesadaran yang menurun sampai coma.
Idealnya pasien yang mengalami syok dapat didiagnosa di ruang triase dan segera ditransfer ke
ruang resusitasi. Semua pasien diberikan oksigen konsentrasi tinggi, dipasang iv line berdiameter besar
dan monitor vital sign. Setelah jalan nafas dan pernafasan stabil bila pasien mengalami syok hipovolemik
diberikan loading cairan kristaloid 20 ml/kg dalam waktu cepat (15 – 30 menit).Respon hemodinamik
pasien dievaluasi bila didapatkan perbaikan perfusi, nadi, dan tekanan darah loading cairan dihentikan
dan diberikan terapi cairan lanjutan sesuai causa syoknya apakah karena sebab defisit cairan ekstra
seluler atau defisit cairan intravaskuler.

Langkah-langkah Prosedur Kanulasi Vena Perifer


Prosedur kanulasi vena perifer meliputi:
a. Informed Consent
Tindakan kedokteran terutama tindakan invasif harus didahului dengan pemberian penjelasan kepada
pasien atau keluarga dan persetujuan dari pasien atau keluarga.
Sebelum melakukan kanulasi vena perifer pasien atau keluarga diberikan penjelasan sesuai bahasa
yang mereka mengerti,meliputi :
 Tindakan kanulasi vena perifer yang akan dilakukan
 Indikasi / tujuan kanulasi vena perifer, misalnya untuk penggantian kehilangan cairan
 Bagaimana prosedur tindakan, misalnya jarum akan disuntikkan ke pembuluh darah di tangan
 Resiko atau komplikasi yang mungkin terjadi, misalnya nyeri
 Resiko atau komplikasi yang dapat terjadi bila tidak dilakukan prosedur kanulasi bena perifer
Pada kondisi gawat darurat yang mengancam nyawa kanulasi vena perifer tidak memerlukan
persetujuan dari pasien atau keluarga meskipun sebaiknya penjelasan harus tetap diberikan pada
pasien atau keluarga bila memungkinkan.

b. Persiapan alat dan bahan


Alat dan bahan yang diperlukan antara lain :
 Sarung tangan (tidak steril)
 Antiseptik: alkohol 70%, povidon iodine 10%, atau larutan chlorhexidine gluconate 1-2%
 Jarum infus (IV kateter/venopcath) sesuai pasien dan tujuan kanulasi vena perifer (no. 16G –
26G)
 Infus set atau transfusion set
 Cairan RL atau NS 0.9%
 Torniket
 Tiang/Standar infus
 Plester atau plester transparan
 Gunting
 Bengkok
 Bidai / spalk
 Kasa steril
 Tempat sampah plastik
 Manikin lengan

Pertama-tama disiapkan kelengkapan alat-alat dan bahan serta memastikannya siap pakai dengan
memperhatikan prinsip asepsis.

Pemilihan ukuran jarum infus harus memperhatikan tujuan dan ukuran vena akan dikanulasi. Secara
umum pada orang dewasa digunakan no 18G atau 20G, untuk pasien anak digunakan nomer 20G atau
22G, dan pada pasien bayi digunakan nomer 24G atau 26G.Bila diperlukan pemberian infus yang cepat
dapat dipasang nomer yang lebih besar.

Plester dipotong sepanjang sekitar 10 cm sebanyak 2 buah

Infus set berberda dengan transfusi set. Transfusion set di dalam chambernya terdapat filter sebesar
170 micron.

Botol infus sesuai tujuan terapi cairan di gantung di standar infus kemudian ujung infus set /
transfusion set di tusukkan ke botol infus dengan posisi tegak lurus. Perhatikan bahwa ujung infus set /
transfusion set yang dimasukkan ke botol infus dan kanul vena harus tetap steril dan tidak boleh
disentuh.
Gambar 1. Cairan yang umum digunakan untuk cairan intravena

Gambar 2. kanul intra vena berbagai ukuran

Tekan chamber infus/transfusion set sampai setengah camber terisi cairan kemudian cairan
dialirkan ke bengkok melalui selang infus sampai seluruh selang infus terisi cairan, kemudian selang infus
diklem. Perhatikan bahwa tidak boleh ada gelembung udara yang tersisa di dalam selang infus, karena
bila gelembung udara tersebut masuk ke aliran darah dapat menyebabkan emboli dan kematian.
Gambar 4. Infus set
Gambar 3. Transfusion set

Gambar 5.Infus set dengan


tetesan mikro
c. Pemilihan vena
Pemilihan lokasi kanulasi harus memperhatikan faktor spesifik pasien misalnya pada lengan
dengan aterio venous (AV) shunt tidak boleh dilakukan kanulasi vena atau pada pasien gagal
ginjal yang mungkin memerlukan dialisis dihindari kanulasi pada vena sefalika. Bila pada vena
yang dipilih sudah ada bekas kanulasi maka kanulasi yang baru dilakukan di sebelah
proksimalnya.
Kanulasi vena perifer dianjurkan dilakukan pada vena distal lengan yang tidak dominan,
misalnya vena dorsum manus, vena sefalika, vena basilika atau vena antecubiti.Vena yang dipilih
adalah vena yang lurus dan tidak bercabang.Bila kesulitan mendapatkan vena di lengan dapat
dipilih vena di bagian kaki misalnya vena dorsum pedis atau safena magna, namun harus
diperhatikanbahwa kanulasi pada vena kaki resiko terjadinya trombophlebitis dan trombosis
lebih tinggi dibandingkan vena lengan.Pada bayi vena di kepala dapat dijadikan alternatif lokasi
kanulasi bila kesulitan mendapatkan vena di tangan dan kaki.
Bila didapatkan vena pada pasien kolaps dapat dilakukan pemasangan tourniket diatas vena
yang akan dikanulasi dan diposisikan lebih rendah dari jantung, ditepuk pelan-pelan, digosok-
gosok, dihangatkan, menggengam dan membuka telapak tangan agar darah yang diotot masuk ke
vena. Pemasangan tidak boleh terlalu erat karena akan menyebabkan bendungan arteri dan vena
akibatnya vena akan tetap tidak terisi darah.

d. Prosedur Pencegahan infeksi


Prosedur pencegahan infeksi menjadi hal penting yang harus diperhatikan dalam prosedur kanulasi
vena.Mulai dari tahap persiapan sampai selesai pemasangan, pastikan kita selalu menggunakan prinsip
asepsis. Setelah persiapan kita melakukan cuci tangan memakai sabun/antiseptic dengan prosedur WHO
dan memasang handschoen (bersih – non steril)
Kulit lokasi kanulasi dilakukan preparasi asepsis dengan desinfektan yang dioleskanmelingkar satu
arah dan tidak boleh bolak-balik. Bahan desinfektan yang dapat digunakan antara lain :

1) Povidon-iodine 10%
- Dioleskan dua kali
- Tunggu 30 detik
- Tak perlu dibilas dengan alkohol
2) Tingtura jodium
- Konsentrasi 2%
- Tunggu 30 detik
- Cuci dengan alkohol 70%
3) Etil Alkohol
- Konsentrasi 70%
- Tunggu 60 detik
- Biarkan yang kering
Setelah dilakukan desinfeksi lokasi kanulasi tidak boleh disentuh tangan atau benda yang tidak steril.

e. Insersi kanul vena

Setelah larutan desinfeksi di kulit mengering, tusukkanlah kanul vena searah aliran vena ke
jantung dengan lubang pada ujung jarum menghadap keatas. Penusukan dilakukan dengan jarak
±0,5 cm dari vena yang dituju dengan sudut 20-45 0, arahkan kateter untuk menembus sisi
samping vena sampai terlihat aliran balik darah didalam chamber kanul vena. Stylet (jarum
penuntun) ditarik sedikit kemudian kateter didorong kedalam sampai seluruh kateter masuk di
dalam vena.Mendorong kateter vena dengan cara dipilin dapat memudahkan kateter masuk ke
dalam vena.Setelah dipastikan catheter masuk vena jarum ditarik sampai keluar dengan
menekan vena di proksimalvena yang dikanulasi agar darah tidak tercecer.Kemudian
sambungkan dengan ujung selang infus.Buka klem selang infus / transfusion set bila pemasangan
berhasil, maka tetesan akan berjalan lancar, selanjutnya selang di klem kembali. Perhatikan
bahwa tourniket harus dilepas sebelum meneteskan cairan infus.

f. Fiksasi
Jarum atau kanula sudah terpasang harus dilakukan fiksasi dengan baik agar tidak bergerak-gerak
dan tercabut, jarum atau kanula yang bergerak akan:

 Menembus dinding vena


 Melukai dinding dalam vena
 Mengundang infeksi
Fiksasi dilakukan dengan plester atau semacamnya sedemikian rupa sehingga jarum atau kanula
tidak bergerak dan tidak mudah tercabut.

Bila tidak fiksasi steril tidak dapat dikerjakan, harus diperhatikan bahwa lokasi tusukan tidak boleh
ditutup dengan plester non steril. Kasa steril dapat digunakan untuk menutup lokasi tusukan sebelum
kemudian dilakukan fiskasi dengan plester.Perhatikan juga sambungan kanul vena dan selang infus tidak
boleh tertutup oleh plester.

Pada anak-anak/bayi kadangperlu ditambahkan spalk untuk fiksasi agar catheter tidak
lepas/tercabut.

Bersihkan sisa sampah. Pisahkan sampah tajam, medis dan non medis. Buka handskon dengan cara
yang benar dan buanglah pada tempat sampah medis.Kemudian cuci tangan kembali.

Beri identitas pada infuse atau slang infuse dengan plester : tanggal dan waktu pemasangan, nama,
umur, jenis kelamin pasien, dokter yang bertanggung jawab, jenis cairan, jumlah tetesan dan ukuran iv
cath.
g. Menghitung tetesan
Setelah terpasang kanula vena cairan infus di teteskan sesuai dengan :

 Volume cairan infus yang akan diberikan


 Waktu pemberian (24 jam, 12 jam, 6 jam, dll)
 Macam penetes (dripper) dari infus set :
i. untuk dewasa 1 ml = 20 tetes
ii. untuk anak 1 ml = 60 tetes
 Jumlah tetesan per menit:

 Dewasa
Jumlah cairan infus (ml) X 20= Jumlah cairan infus (ml)
Lamanya infus (jam) X 60 Lamanya infus (jam) X 3

 Anak

Jumlah cairan infus (ml) X 60 = Jumlah cairan infus (ml)

h. Lamanya infus (jam) X 60 Lamanya infus (jam)

Monitoring dan perawatan


Dalam setiap pemasangan kanulasi vena harus diperhatikan hal-hal berikut:
 Beri identitas pada infuse atau slang infuse dengan plester meliputi tanggal dan waktu
pemasangan, nama, umur, jenis kelamin pasien, dokter yang bertanggung jawab, jenis cairan,
jumlah tetesan dan ukuran iv cathether.
 Kanula vena harus diganti setiap 48 – 72 jam dengan tujuan mencegah flebitis atau infeksi kulit
pada tempat tusukan.
 Kelancaran tetesan yang semula lancar menjadi tidak lancar mungkin ada sumbatan, kanula
tertekuk, atau ekstravasasi (keluar dari pembuluh darah).
 Keluhan nyeri. Bila ada nyeri mungkin akibat iritasi oleh cairan yang hipertonis, ada infeksi atau
ekstravasasi.
 Infeksi, biasanya disertai nyeri, panas dan kemerahan disekitar kanula merupakan hal yang
berbahaya karena dapat menyebar ke sistemik. Kanula harus segera dicabut dan dipindah.
 Pembengkakkan,mungkin ekstravasasi cairan atau hematoma. Segera dicabut dan dipindah.
 Perawatan secara aseptis dilakukan tiap hari, dijaga sebagai suatu sistem tertutup (sambungan
ujung infus dan kanul/jarum tak boleh dilepas).
 Darah pada ujung slang harus dibersihkan karena dapat menyumbat dan merupakan media yang
baik untuk pertumbuhan kuman.

RENCANA PEMBELAJARAN
Pembelajaran keterampilan kanulasi intravena dilakukan dalam 2 kali pertemuan @ 2 jam, bertempat di
Laboratorium Keterampilan Klinik yang disetting dengan manikin beserta alat dan bahan kanulasi
intravena.

No. Tahapan Pembelajaran Yang Keterangan


Terlibat
1. Persiapan Instruktur Sebelum
Mahasiswa Mahasiswa kegiatan
i. Membaca dan memahami sasaran belajar, dasar pembelajaran
teori, dan materi sesuai skenario dimulai,
ii. Kuliah tentang kanulasi intravena sifatnya
Instruktur mandiri
i. Telah mengikuti pelatihan
ii. Kompeten dalam pemasangan kanulasi intravena

1. Pembukaan:
- Pembuka Instruktur 15 menit
- Presensi dan mengumpulkan workplan Mahasiswa
- Skenario dan pre-tes mahasiswa
- Tujuan Pembelajaran  instruktur
2. Aktivitas Utama:
- Mahasiswa bergantian untuk melakukan kanulasi Mahasiswa 15 menit
intravena. Instruktur
- Mahasiswa lain mengamati sesi praktik teman satu 60 menit
kelompok
- Setiap selesai satu mahasiswa, anggota kelompok
yang melakukan observasi memberikan umpan balik
dengan dipandu instruktur.
iii. Diskusi
10 menit
3. Penutupan:
- Refleksihasil praktik, aspek positif yang harus Instruktur 20 menit
diperkuat dan aspek negatif yang perlu untuk
dihindari selanjutnya.
- Penjelasan mengenai tugas untuk meningkatkan
ketrampilan melalui belajar mandiri.
- Mengingatkan mahasiswa tentang pentingnya
ketrampilan ini
- Refleksi oleh mahasiswa terhadap sesi praktik
(masukan untuk Skills Lab)
- Penutup

Pengayaan sesi praktik


Pada tahap lanjutan, bila mahasiwa telah mahir untuk melakukan pada manekin, sesi praktik dapat
diperkaya dengan melibatkan pasien simulasi sehingga dapat diciptakan suasana yang mendekati kondisi
nyata.Suatu skenario juga dapat dikembangkan untuk melatih secara lebih terintegrasi dan kompleks
menjadi suatu high fidelity simulation (Gordon et al, 2001) yang dikombinasikan dengan pasien simulasi
untuk meghindarkan perasaan bekerja terhadap boneka.
Pasien simulasi diaharapkan mengetahui kondisi saat dipasang kanulasi intravena dalam kacamata
sebagai pasien, sehingga diutamakan untuk yang pernah dipasang kanulasi intravena sehingga dapat
memberikan respons yang sesuai, bila tidak pernah, pasien simulasi harus dilatih dengan baik. Pasien
simulasi dapat memberikan umpan balik yang sangat berguna bagi mahasiswa.
Penggunaan video dapat memperkaya proses pembelajaran (Hansen et al, 2011) dengan memberikan
kesempatan mahasiswa untuk mengulang observasi yang dilakukan baik kepada diri sendiri, teman
kelompoknya, atau peragaan yang disiapkan
REFERENSI
1. Center of Health Care Related Infection Surveillance and Prevention & Tuberculosis Center. 2013.
Guideline Peripheral Intravenous Catheter. In: QUEENSLAND, Dept. Of Health. (ed.). Queensland,
Australia.
2. Graham, C. & Parke, T. 2005. Critical Care in The Emergency Department: Shock and Circulatory
Support.EmergMedJ, 22, 17-21.
3. Gordon JA, Wilkerson WM, Shaffer W, dan Armstrong AG, 2001 ‘‘Practicing’’ Medicine without Risk:
Students’ and Educators’ Responses to High-fidelity Patient Simulation, Acad. Med.:76:469–472.
4. Guyton, C. & Hall, J. 2006. Text Book of Medical Physiology,Philadelphia, Elsevier Saunders.
5. Hansen M, Oosthuizen G, Windsor J, Doherty I, Greig S, McHardy K, dan McCann L, 2011,
Enhancement of Medical Interns' Levels of Clinical Skills Competence and Self-Confidence Levels via
Video iPods: Pilot Randomized Controlled Trial, J Med Internet Res, 13(1): e29.
6. Muhiman, M., Thalib, R., Dkk. 1999. Anestesiologi, Jakarta, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
7. Perry, Peterson & Potter. 2005. Keterampilan dan Prosedur dasar : Buku Saku, Jakarta, EGC.
8. Shlamovitz, G. 2013. Intravenous Canulation [Online]. Available: www.eMedicine.medscape.com
9. The Royal Children’s Hospital Melbourne. 2012. Clinical Nursing Guide : Peripheral Intravenous (IV)
Device Management [Online]. Available: www.rch.org.au.
33. Ketrampilan Elektrokardiografi

Tujuan pembelajaran:
A. Mahasiswa mampu menjelaskan indikasi pemeriksaan elektrokardiografi
B. Mahasiswa mampu melakukan perekaman elektrokardiografi pada pasien dewasa dengan benar
C. Mahasiswa mampu menafsirkan irama hasil rekam anelektrokardiografi, laju denyut jantung,
sumbu listrik EKG.

Prior knowledge and skills


Memahami anatomi jantung, fisiologi kardiovaskular, siklus jantung.

Prosedur ketrampilan:

Elektrokardiografi (EKG)
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan: Mengetahui aktifitas elektrik jantung

Alat dan Bahan


1. Mesin EKG yang dapat merekam 12 lead
2. 10 lead EKG (4 lead kaki, 6 lead dada): harus terhubung dengan mesin
3. Elektroda EKG
4. Pisau cukur
5. Alcohol
6. Water based gel
7. Alat tulis

Teknik Pemeriksaan
1. Memperkenalkan diri, konfirmasi identitas pasien, jelaskan prosedur dan mendapatkan izin secara
verbal.
2. Posisikan pasien pada posisi yang nyaman (duduk atau tidur) dengan bagian atas badan, kaki dan
badan terlihat.
3. Membersihkan lokasi yang akan dipasang elektroda dengan mencukur rambut dan membersihkan
kulit dengan alkohol untuk mencegah hambatan hantaran gelembong elektrik.
4. Memberikan gel pada lokasi penempelan elektroda.
5. Masing-masing elektroda dipasang dengan menempelkan atau penjepitan bantalan atau ujung
elektroda pada kulit pasien. Bantalan elektroda biasa diberi label dan berbeda dari segi warna
untuk mencegah kesalahan pemasangan.
6. Lokasi pemasangan elektroda ekstremitas secara umum:
- Tangan kanan: merah
- Tangan kiri: kuning
- Kaki kanan: hijau
- Kaki kiri: hitam
7. Lokasi pemasangan elektroda precordial
- V1 : ICS 4 tepat disebelah kanan sternum
- V2 : ICS 4 tepat di sebelah kiri sternum
- V3 : garis tengah antara V2 dan V4
- V4 : ICS 5 garis midklavikula sinistra
- V5 : garis aksilaris anterior sinistra, sejajar dengan V4
- V6 : garis midaksilaris, sejajar dengan V4
8. Setelah terpasang, nyalakan mesin EKG, mengoperasikan sesuai prosedur tetap sesuai jenis mesin
EKG (manual atau otomatis).
9. Cek kalibrasi dan kecepatan kertas (1 mV harus digambarkan dengan defleksi vertikal sekitar 10
mm dan kecepatan kertas 25 mm/detik atau setara dengan 5 kotak besar/detik).
10. Memastikan nama pasien, catat tanggal dan waktu pencatatan.
11. Setelah hasil didapatkan, lepaskan elektroda yang terpasang.
Analisis Hasil Pemeriksaan
1. Sinus atau tidak.
Irama sinus yaitu selalu ada satu gelombang P yang diikuti oleh satu komplek QRS dan satu
gelombang T.

Gambar 72. Irama sinus 2

2. Irama regular atau aritmia/disritmia.


Caranya adalah memperhatikan gelombang R. jarak antar gelombang R atau R-R harus sama. Atau
jarak gelombang P-P harus sama untuk sebuah EKG yang normal.

3. Menghitung heart rate (HR).


a. Menggunakan kotak sedang/besar
Khusus untuk EKG dengan irama regular. Rumusnya 300 dibagi jumlah kotak sedang dari
interval RR.
b. Menggunakan kotak kecil
kKhusus untuk EKG dengan irama regular. Rumusnya 1500 dibagi jumlah kotak kecil antara
RR interval.
c. Menggunakan 6 detik
Dapat digunakan untuk irama regular maupun irregular. Hitung kompleks QRS dalam 6 detik
(biasanya di lead II). Jumlah kompleks QRS yang ditemukan dikalikan dengan 10.

Gambar 73. Perhitungan irama jantung 7


4. Lihat axis
Batas normal sumbu jantung berada antara -30° sampai +90°. Jika lebih besar dari -30° maka
deviasi ke kiri, dan jika lebih besar dari +90° maka sumbu jantung deviasi ke kanan.

5. Gelombang P
Analisis adakah kelainan dari gelombang P. lihat pula bentuknya apakah P mitral atau P pulmonal.

2
Sumber: Goldberger AL. Clinical electrocardiography a simplified approach. 7 th ed. Philadelphia: Mosby Elsevier, 2005.
Normalnya tinggi tidak lebih dari 3 kotak kecil, lebar tidak lebih dari 3 kotak kecil, positif kecuali di
AVR, gelombang simetris.

Gambar 74. A. Gambaran P mitral dan P bifasik; B. Gambaran P pulmonal 3

6. PR interval
PR interval normal adalah 0,12-0,2 detik. Jika PR interval memanjang curiga sebagai suatu block
jantung.

Gambar 75. PR interval 8

7. Gelombang Q
Lebar gelombang Q normal kurang dari 0,04 detik, tinggi kurang dari 0,1 detik. Keadaan patologis
dapat dilihat dari panjang gelombang Q >1/3 R, ada QS pattern dengan gelombang R tidak ada.
Adanya gelomang Q patologis ini menunjukkan adanya old miocard infark.

8. QRS kompleks
Adanya kelainan kompleks QRS menunjukkan adanya kelainan pada ventrikel (bisa suatu block
saraf jantung atau kelainan lainnya). Lebar jika aliran listrik berasal dari ventrikel atau terjadi blok
cabang berkas. Normal R/S = 1 di lead V3 dan V4. Rotasi menurut arah jarum jam menunjukkan
penyakit paru kronik. Artinya gelombang QRS menjadi berbalik. Yang tadinya harus positif di V5
dan V6 dan negative di V1 dan V2 maka sekarang terjadi sebaliknya.

Gambar 76. QRS interval 4

9. Segmen ST
Segmen ST normal di V1-V6 bisa naik 2 kotak kecil atau turun 0,05 kotak kecil. Patologis: elevasi
(infark miokard akut atau pericarditis), depresi (iskemia atau terjadi setelah pemakaian digoksin).

3
Sumber: Goldberger AL. Clinical electrocardiography a simplified approach. 7 th ed. Philadelphia: Mosby Elsevier, 2005.
4
Sumber: Goldberger AL. Clinical electrocardiography a simplified approach. 7 th ed. Philadelphia: Mosby Elsevier, 2005.
Gambar 77. A. EKG normal, B. ST Elevasi, C. ST depresi 9
10. Gelombang T
Gelombang T normal = gelombang P. Gelombang ini positif di lead I, II, V3-V6 dan negatif di AVR.
Patologis:
- Runcing: hiperkalemia
- Tinggi lebih dari 2/3 R dan datar: hipokalemia
- Inversi: bisa normal (di lead III, AVR, V1, V2 dan V3 pada orang kulit hitam) atau iskemia,
infark, RVH dan LVH, emboli paru, sindrom WPW, blok berkas cabang.

11. Kriteria untuk membantu diagnosis LVH (left ventricle hypertrophy): Jumlah kedalaman gelombang
S pada V1ditambah dengan ketinggian gelombang R pada V5 atau V6 lebih dari 35 mm, atau;
gelombang R di V1 11-13 mm atau lebih, atau; ST depresi diikuti inversi T dalam dan luas, atau;
Left axis deviation (LAD), atau; gelombang P yang lebar pada lead ekstrimitas atau gelombang P
bifasik pada V1.

12. Gelombang R yang lebih besar disbanding gelombang S pada V1menandakan namun tidak
mendiagnosis RVH (right ventricle hypertrophy); Gelombang R yang lebih tinggi pada lead
prekordial kanan; right axis deviation; inverse gelombang T pada lead prekordial menandakan
RVH.

Gambar 78. Kompleks QRS di V1 dan V6 ada pasien normal, LVH, dan RVH 5
13. Atrial Flutter

5
Sumber: Goldberger AL. Clinical electrocardiography a simplified approach. 7 th ed. Philadelphia: Mosby Elsevier, 2005.
Ciri cirinya:
- Irama teratur
- Ciri utama yaitu gelombang P yang mirip gigi gergaji
- Komplek QRS normal, interval PR normal

Gambar 79. Atrial flutter 6

14. Atrial fibrilasi


- Frekuensi denyut sangat cepat hingga 350-600 kali per menit.
- Gelombang berombak ireguler menggantikan gelombang P yang normal. Gelombang ini
disebut f waves.

Gambar 80. Atrial fibrilasi 11

15. Ventrikular takikardi dan Ventrikular flutter


Ciri-cirinya:
- Irama regular
- Frekuensi 100-250 x/menit
- Tidak ada gelombang P
- Komplek QRS lebar atau lebih dari normal
- VT yang sangat cepat dengan sine-wave appearance disebut ventricular flutter.

Gambar 81. Ventricular takikardi 7

Gambar 82. Ventrikular fibrilasi 12

16. Ventrikular ekstra sistol


Ciri-cirinya:
- Munculnya pada gambaran EKG dimana saja

6
Sumber: Goldberger AL. Clinical electrocardiography a simplified approach. 7 th ed. Philadelphia: Mosby Elsevier, 2005.
7
Sumber: Goldberger AL. Clinical electrocardiography a simplified approach. 7 th ed. Philadelphia: Mosby Elsevier, 2005.
- Denyut dari ventrikel yang jelas sekali terlihat
- Denyut ini bisa ke arah defleksi positif atau negatif, tergantung di lead mana kita melihat.

Gambar 83. Perbedaan ventricular premature beat (atas) dan atrial premature beat (bawah) 13
17. Akut miokard infark
- Fase akut yaitu ditandai dengan ST segmen elevasi yang sudah disertai atau tidak dengan
gelombang Q patologis. Fase ini terjadi kurang lebih dari 0-24 jam.
- Fase early evolution, yaitu ditandai masih dengan elevasi segmen ST tapi gelombang T mulai
inverted. Proses ini terjadi antara 1 hari sampai beberapa bulan.
- Fase old infarck, yaitu gelombang Q yang menetap disertai gel T kembali ke normal. Proses ini
dimulai dari beberapa bulan MI sampai dengan tahun dan seumur hidup.
Berikut daftar lead yang mengalami kelainan dan tempat dicurigai kelainan tersebut :
- I, III, AVF: inferior
- V1-V2: lateral kanan
- V3-V4: septal atau anterior
- I, AVL, V5-V6: lateral kiri
- V1-V3: posterior

Gambar 84. Evolusi segmen ST pada infark miokard inferior. A. fase akut infark miokard: ST elevasi; B.
fase perubahan ditandai dengan T inverted dalam; C. revolving phase, regresi parsial atau total segmen
ST, terkadang timbul gelombang Q 8

18. Blok AV:


a. Blok AV derajat I:
Interval PR yang memanjang pada seluruh lead.
b. Blok AV derajat II:
- Mobitz tipe I (wenckebach): pemanjangan interval PR yang progresif diikuti gelombang P
nonkonduktif; PR interval kembali memendek setelah denyut non konduktif.

8
Sumber: Goldberger AL. Clinical electrocardiography a simplified approach. 7 th ed. Philadelphia: Mosby Elsevier, 2005.
Gambar 85. Mobitz tipe I 9

- Mobitz tipe II: kegagalan konduksi mendadak tanpa ada kelainan interval PR sebelumnya.

Gambar 86. Mobitz tipe II 14

c. Blok AV derajat III: terdapat gelombang P, dengan denyut atrial lebih cepat dari denyut ventricular;
terdapat kompleks QRS dengan frekuensi ventrikuler yang lambat (biasanya tetap); gelombang P
tidak berhubungan dengan kompleks QRS, dan interval PR sangat bervariasi karena hubungan
listrik atrium dan ventrikel terputus.

Gambar 87. AV blok derajat III 14

Referensi
1. Bickley, LS. Szilagyi PG. Bates’ Guide to Physical Examination and History Taking,10 th Ed. China:
Lippincott Williams & Wilkins, 2009.
2. Goldberger AL. Clinical electrocardiography a simplified approach. 7 th ed. Philadelphia: Mosby
Elsevier, 2005.
3. Taylor GJ, 150 Practice ECGs: Interpretation and review. 3 rd ed., Massachussets, Blackwell
publishing, 2006.

Variasi :
Istilah yang sama:
- ECG = EKG
- Sandapan = lead = electrode
- Lajudenyutjantung = laju QRS = QRS rate
- Sumbu = axis
- Terdapatvariasialat EKG yang tersedia di pasaran, ada yang manual ada yang otomatis.

Contoh kasus:
Seorang pasien laki-laki usia 50 tahun dating ke Poli Jantung di Rumah Sakit tempat anda bekerja dengan
keluhan utama nyeri dada bila melakukan aktifitas naik tangga satu lantai, yang berkurang dengan
istirahat. . Pasien memiliki riwayat tekanan darah tinggi sejak 2 tahun yang lalu dan merokok 5 batang
dalam sehari sejak 20 tahun yang lalu.

9
Sumber: Goldberger AL. Clinical electrocardiography a simplified approach. 7 th ed. Philadelphia: Mosby Elsevier, 2005.
Riwayat pengobatan: pasien tidak rutin control dan tidak rutin minum obat. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan tekanan darah 160/90 mmHg, denyut nadi 90 kali per menit, laju pernapasan 18 kali per
menit. Pemeriksaan fisik lainnya tidak diketemukan kelainan.
Instruksi: Lakukan pemeriksaan rekamelektro kardiografi.

34. Pemeriksaan Jantung (Inspeksi, Palpasi, Perkusi, danAuskultasi)

Tujuan pembelajaran:
Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan fisik jantung yang berupa inspeksi, palpasi, perkusi dan
auskultasi secara berurutan dan benar.

Prior knowledge and skills:


Anatomi dan fisiologi jantung

Prosedur ketrampilan :
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan: Menilai kondisi fisik jantung

Alat dan Bahan:


Stetoskop, Mejaperiksa

Teknik Pemeriksaan
Inspeksi dada
1. Minta pasien berbaring dengan nyaman.
2. Lepaskan pakaian yang menghalangi dada.
3. Perhatikan bentuk dada dan pergerakan dada saat pasien bernafas. Perhatikan jika terdapat
deformitas atau keadaan asimetris, retraksi interkostae dan suprasternal, dan kelemahan pergerakan
dinding dada saat bernafas.

Palpasi apeks jantung


a. Pemeriksa berdiri di sebelah kanan pasien, sedang pasien dalam sikap duduk dan kemudian
berbaring terlentang. Jika dalam keadaan terlentang apeks tidak dapat dipalpasi, minta pasien
untuk posisi lateral dekubitus kiri.
b. Telapak tangan pemeriksa diletakkan pada prekordium dengan ujung-ujung jari menuju ke
samping kiri torakss. Perhatikan lokasi denyutan.
c. Menekan lebih keras pada iktus kordis untuk menilai kekuatan denyut.

Gambar 66. Palpasi apeks jantung

Perkusi batas jantung


a. Batas jantung kiri. Melakukan perkusi dari arah lateral ke medial.
b. Batas jantung kanan. Melakukan perkusi dari arah lateral ke medial.
Auskultasi jantung
a. Posisikan pasien dalam keadaan berbaring.
b. Gunakan bagian diafragma dari stetoskop, dan letakan di garis parasternal kanan ICS (intracostae
space) 2 untuk menilai katup aorta, parasternal kiri ICS 2 untuk menilai katup pulmoner,
parasternal kiri ICS 4 atau 5 untuk menilai katup trikuspid, dan garis midklavikula kiri ICS 4 atau 5
untuk menilai apeks dan katup mitral.
c. Selama auskultasi yang perlu dinilai: irama jantung, denyut jantung, bunyi jantung satu, bunyi
jantung dua, suara splitting, bunyi jantung tambahan, murmur.

Gambar 67. Auskultasi jantung

Analisis Hasil Pemeriksaan


1. Inspeksi
Pada umumnya kedua belah dada adalah simetris. Perikordium yang cekung dapat terjadi akibat
perikarditis menahun, fibrosis atau atelektasis paru, skoliosis atau kifoskoliosis. Prekordium yang
gembung dapat terjadi akibat dari pembesaran jantung, efusi epikardium, efusi pleura, tumor paru,
tumor mediastinum dan skoliosis atau kifoskoliosis.

2. Palpasi apeks jantung


Pada keadaan normal iktus kordis dapat teraba pada ruang intercostal kiri V, agak ke medial (2cm)
dari linea midklavikularis kiri. Apabila denyut iktus tidak dapat dipalpasi, bisa diakibatkan karena
dinding torakss yang tebal misalnya pada orang gemuk atau adanya emfisema, tergantung pada hasil
pemeriksaan inspeksi dan perkusi.

3. Perkusi batas jantung


Perubahan antara bunyi sonor dari paru-paru ke redup kita tetapkan sebagai batas jantung.

4. Auskultasi jantung
a. Murmur sistolik
Menjalar ke karotis, dapat terjadi pada stenosis/sklerosis aorta
b. Murmur diatolik
Terdengar paling keras di tepi sternal kiri bawah, dapat terjadi pada regurgiasi pulmonal,
regurgitasi aorta
c. Murmur pansistolik
Paling keras di apeks, dapat terjadi pada regurgitasi mitral, regurgitasi trikuspid
d. Murmur mid-diastolik
Paling keras di apeks, dapat terjadi pada stenosis mitral, stenosis tricuspid
e. Intensitas murmur.

Tabel 12. Intensitas Murmur


Grade Deskripsi
Grade 1 Sangat lemah, hanya terdengar setelah pendengar benar-benar memperhatikan; dapat
terdengar tidak disemua posisi
Grade 2 Lemah, namun segera terdengar setelah menempatkan stetoskop di dada
Grade 3 Cukup keras
Grade 4 Keras, dengan thrill yang teraba
Grade 5 Sangat keras, dengan thrill. Dapat terdengar dengan stetoskop terletak sebagian di dada.
Grade 6 Sangat keras, dengan thrill. Dapat terdengar dengan stetoskop tidak ditempelkan di dada.

Referensi
1. Bickley, LS. Szilagyi PG. Bates’ Guide to Physical Examination and History Taking, 10th Ed. China: Lippincott
Williams & Wilkins, 2009.
2. Goldberg C, A Practical Guide to Clinical Medicine. A comprehensive physical examination and clinical
education site for medical students and other health care professionals.University of California, San Diego
School of Medicine, 2004.
3. Constant J, Essentials of Bedside Cardiology, 2nd ed., Humana press, New York, 2003

1. Variasi istilah:
2. Contoh kasus:

Seorang pasien laki-laki usia 60 tahun dating ke poli tempat anda bekerja dengan keluhan dada sering
berdebar dan mudah letih. Keluhan ini dialami sejak 3 bulan yang lalu. Pasien diketahui memiliki
riwayat diabetes mellitus dan hiper kolesterolemia. Tekanan darah 150/90 mmHg, dengan laju nadi
112 kali per menit, tidak teratur.
Instruksi untuk kandidat:
Lakukan pemeriksaan fisik jantung yang benar pada pasien tersebut.

35. PEMERIKSAAN JUGULAR VENOUS PRESSURE

Judul ketrampilan :
Pemeriksaantekanan vena jugulari sinterna

Tujuan pembelajaran:
Mahasiswa mampu melakukan pemeriksaan tekanan vena jugularis dengan benar dan legeartis.

Prior knowledge and skills:


Anatomi dan fisiologi jantung,

Prosedur ketrampilan :

Pemeriksaan JVP
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan: menilai fungsij Antung dan status cairan pasien

Alat dan Bahan:


1. Tempat tidur dan bantal
2. Dua buah penggaris

Teknik Pemeriksaan
1. Pemeriksa berada di sebelah kanan pasien.
2. Penderita dalam posisi santai, kepala sedikit terangkat dengan bantal, dan otot sternomastoideus
dalm keadaan rileks.
3. Lepaskan pakaian yang sempit/menekan leher.
4. Naikkan ujung tempat tidur setinggi 30°, atau sesuaikan sehingga pulsasi vena jugularis tampak
jelas. Miringkan kepala menghadap arah yang berlawanan dari arah yang akan diperiksa.
5. Gunakan lampu senter dari arah miring untuk melihat bayangan (shadow) vena jugularis.
Identifikasi pulsasi vena jugularis interna. Apabila tidak dapat menemukan pulsasi vena jugularis
interna dapat mencari pulsasi vena jugularis eksterna.
6. Tentukan titik tertinggi dimana pulsasi vena jugularis interna/eksterna dapat dilihat.
7. Pakailah sudut sternum (manubrium) sebagai tempat untuk mengukur tinggi pulsasi vena. Titik ini
±4-5 cm di atas pusat dari atrium kanan.
8. Gunakan penggaris.
a. Penggaris ke-1 diletakkan secara tegak (vertikal), dimana salah satu ujungnya menempel pada
manubrium.
b. Penggaris ke-2 diletakkan mendatar (horizontal), dimana ujung yang satu tepat di titik
tertinggi pulsasi vena, sementara ujung lainnya ditempelkan pada penggaris ke-1.

Gambar 68. Pengukuran JVP

9. Ukurlah jarak vertikal (tinggi) antara manubrium dan titik tertinggi pulsasi vena
10. Catat hasilnya.

Analisis Hasil Pemeriksaan


1. Menulisdanmembacahasil
- Contoh, JVP = 5+2
- 5 adalah jarak dari atrium kanan ke manubrium sternum dan titik tertinggi pulsasi vena.
- +2 adalah hasilnya
2. Nilai normal kurang dari 3 atau 4 cm di atas manubrium, pada posisi tempat tidur bagian kepala
ditinggikan 30°-45°
3. Nilai lebih dari normal, mengindikasi kanpeningkatan tekanan atrium/ventrikel kanan,
misalnyaterjadipadagagaljantungkanan, regurgitasi tricuspid
4. Nilai kurang dari normal, mengindikasikan deplesi volume ekstrasel.

Penulisan Hasil Pemeriksaan


JVP: 5+2

Referensi
1. Bickley, LS. Szilagyi PG. Bates’ Guide to Physical Examination and History Taking, 10th ed. Lippincott
Williams & Wilkins, 2009; p 265 – 266.
2. .Goldberg C, A Practical Guide to Clinical Medicine. A comprehensive physical examination and
clinical education site for medical students and other health care professionals.University of
California, San Diego School of Medicine, 2004.
3. Constant J, Essentials of Bedside Cardiology, 2nd ed., Humana press, New York, 2003

Variasi istilah:
JVP = jugular venous pressure = tekanan vena jugularis.

Contoh kasus:
Seorang laki-laki berusia 63 tahun dating ke IGD tempat anda bekerja dengan keluhan utama mudah lelah
dan kaki bengkak. Pasien merasa lebih nyaman bila tidur denngan 4 bantal. Keluhan ini dirasakan sejak 2
bulan yang lalu. Pasien diketahui mengidap hipertensi, tidak berobat teratur.
Pada pemeriksaan tanda vital diketahui tekanan darah 110/70 mmHg, laju denyut nadi 100 kali per
menit.
Instruksi : Lakukan pemeriksaan jugular venous pressure dengan benar. ‘
Pemeriksaan tekanan darah dan pemeriksaan denyut nadi
36. Pemeriksaan Tekanan Darah

Tujuan pembelajaran:
Mahasiswa mampu melakukan perabaan denyut nadi dan pemeriksaan tekanan darah secara legeartis.

Prior knowledge and skills:


Anatomi jantung, Fisiologi jantung, Siklus jantung, Fisiologi pengendalian tekanan darah

Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan: Mengukur tekanan darah

Alat dan Bahan


1. Sphygmomanometer
2. Stetoskop
3. Kursi atau meja periksa

Teknik Pemeriksaan
1. Siapkan alat dan bahan.
2. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang akan dilakukan.
3. Mempersilahkan pasien untuk istirahat paling tidak 5 menit dalam posisi pemeriksaan (posisi
duduk).
4. Pastikan ruang pemeriksaan tenang dan nyaman.
5. Lengan yang akan diperiksa harus bebas dari pakaian. Pastikan pada lengan tersebut tidak terdapat
cimino untuk dialisis, bekas luka yang disebabkan putusnya arteri brachial sebelumnya maupun
limfaoedem.
6. Lakukan palpasi pada arteri brakhialis untuk memastikan terabanya denyut.
7. Posisikan lengan pasien sedemikian rupa sehingga arteri brakhialis sejajar dengan jantung. Apabila
pasien dengan posisi duduk maka letakkan lengan pada meja sedikit diatas pinggul.
8. Tentukan ukuran manset. Bila manset terlalu besar untuk lengan pasien, seperti pada anak-anak,
maka pembacaannya akan lebih rendah dari tekanan sebenarnya. Bila manset terlalu kecil, misalnya
pada penggunaan manset standar pada pasein obes, maka pembacaan tekanan akan lebih tinggi
dibanding tekanan sebenarnya.
9. Pasang manset dengan membalutkannya dengan kencang dan lembut pada lengan atas. Batas bawah
manset berada pada 2.5 cm di atas fossa antecubiti, dan balon manset harus berada di tengah arteri
brakialis.
10. Posisikan lengan pasien sedemikan rupa sehingga siku sedikit fleksi.
11. Pompa manset hingga mengembang. Untuk menentukan seberapa tinggi tekanan manset, pertama-
tama perkirakan tekanan sistolik dengan palpasi. Raba arteri radialis dengan satu tangan,
kembangkan manset secara cepat sampai dengan pulsasi arteri radialis menghilang. Baca tekanan
yang terbaca pada manometer, lalu tambahkan 30 mmHg. Gunakan jumlah ini sebagai target untuk
mengembangkan manset sehingga mengurangi ketidaknyamanan karena manset yang terlalu
kencang.
12. Kempiskan manset dan tunggu 15-30 detik.
13. Tempatkan membran stetoskop pada arteri brachialis.
14. Kembangkan manset secara cepat sampai dengan tekanan yang telah ditentukan sebelumnya.
15. Kempiskan secara perlahan dengan kecepatan 2-3 mmHg per detik.
16. Dua bunyi pertama yang terdengar adalah tekanan sistolik pasien.
17. Turunkan tekanan 10-20 mmHg.
18. Kemudian kempiskan manset secara cepat hingga nol.
19. Titik dimana bunyi terdengar menghilang merupakan tekanan diastolik pasien.
20. Tunggu selama 2 menit, kemudian ulangi pemeriksaan untuk mendapatkan nilai rata-rata.
Gambar 9. Teknik pemeriksaan tekanan darah

mmHg

Gambar 10. Bunyi sistolik dan diastolik

Analisis Hasil Pemeriksaan


Bunyi pertama yang terdengar pada auskultasi arteri brakhialis saat manset dikempiskan adalah tekanan
darah sistolik (fase korotkof I).Bunyi terkahir yang masih dapat terdengar adalah tekanan diastolic (fase
korotkof II).

Tabel 6. Klasifikasi tekanan darah dewasa (> 18 th) menurut JNC VII
Kategori Sistolik (mm Hg) Diastolik (mm Hg)
Normal <120 <80
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi
Stage 1 140-159 90-99
Stage 2 ≥160 ≥100
Catatan: target tekanan darah pada pasien dengan hipertensi,
DM atau penyakit ginjal <130/80 mmHg

Apabila tekanan darah sistolik dan diastolik berada pada kategori yang berbeda, gunakan kategori
yang tertinggi. Misalnya, tekanan darah 170/92 mmHg berada pada kategori hipertensi stage II; tekanan
darah 135/100 mmHg berada pada kategori hipertensi stage I.
Hipotensi ortostatik adalah penurunan tekanan darah sistolik ≥ 20 mmHg atau tekanan darah diastolik
≥ 10 mmHg setelah pasien berdiri sampai dengan 3 menit.

Referensi
1. Bickley LS, Szilagyi PG. Bates’ guide to physical examination and history taking. 10th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams&Wilkins, 2009.
2. Douglas G, Nicol S, Robertson C. Macleod’s clinical examination. Ed 13. Edenburg: Elsevier. 2013.
3. Pickering TG, Hall JE, Appel LJ, Falkner BE, Graves J, Hill MN, Jones DW, Kurtz T, Sheps SG, Roccella EJ.
Recommendations for Blood Pressure Measurement in Humans and Experimental Animals. Part 1:
Blood Pressure Measurement in Humans. A Statement for Professionals From the Subcommittee of
Professional and Public Education of the American Heart Association Council on High Blood Pressure
Research. Hypertension. 2005;45:142-161.
4. Beevers G, Lip GY, O’Brien E. ABC of hypertension: blood pressure measurement. II. Conventional
sphygmomanometry: technique of auscultatory blood pressure measurement. BMJ 2001;322:1043-7
5. Williams JS, Stacey M. Brown SM, Conlin PR. Blood-Pressure Measurement. N Engl J Med 2009;360:e6
6. Ogedegbe G, Pickering T. Principles and techniques of blood pressure measurement. Cardiol Clin. 2010
November ; 28(4): 571–586.
37. Pemeriksaan Denyut Nadi
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan: Menilai sirkulasi perifer

Alat dan Bahan:


Meja Periksa

Teknik Pemeriksaan
1. Pasien dalam posisi terlentang
2. Dengan menggunakan telunjuk dan jari tengah, tekan arteri radialis sampai dengan terdeteksi
denyut maksimal. Yang perlu dinilai adalah frekuensi, irama dan kuat angkat.
3. Apabila didapatkan frekuensi denyut dan irama normal, maka hitung frekuensi selama 30 detik
lalu kalikan 2. Jika frekuensi denyut nadi sangat cepat atau sangat lambat, hitung selama 60
detik.
4. Untuk menilai irama, rasakan denyut radialis. Apabila didapatkan irama ireguler, cek kembali
irama dengan menempelkan stetoskop pada apeks jantung.

Gambar 11. Pemeriksaan A. radialis

Analisis Hasil Pemeriksaan


1. Frekuensi
Frekuensi nadi normal adalah antara 50 – 90 x/menit. Frekuensi nadi kurang dari 50 x/menit
disebut bradikardia. Frekuensi nadi lebih dari 100 x/menit disebut takikardia.
2. Irama
Untuk menilai irama, rasakan denyut arteri radialis. Apabila denyut teraba ireguler, periksa
kembali irama dengan mendengarkan detak jantung pada apeks kordis dengan menggunakan
stetoskop. Apakah irama jantung reguler atau ireguler? Apabila didapatkan irama jantung
ireguler, identifikasi polanya.
a. Apakah terdapat detak jantung tambahan pada irama yang reguler?
b. Apakah irama ireguler berubah secara konstan sesuai respirasi pasien?
c. Apakah irama ireguler total?
Irama ireguler dapat disebabkan oleh fibrilasi atrial dan kontraksi prematur atrial atau
ventrikel. Untuk seluruh pola denyut arteri ireguler diperlukan pemeriksaan EKG untuk
mengidentifikasi aritmia.

Referensi
1. Bickley LS, Szilagyi PG. Bates’ guide to physical examination and history taking. 10th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins, 2009.
2. Douglas G, Nicol S, Robertson C. Macleod’s clinical examination. Ed 13. Edenburg: Elsevier. 2013.
3. Walker HK, Hall DW,Hurst JW.Clinical Methods: The History, Physical, and Laboratory
Examinations. 3rd edition, Butterworths 1990.
38. Palpasi Arteri Karotis dan Deteksi Bruit
Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan:
Menilai denyut arterikarotis dan mendeteksi bruit di arteri

Alat dan Bahan:


stetoskop

Teknik Pemeriksaan
1. Palpasi arteri karotis pada bagian ventral dari otot sternikleidomastoideus kanan dan kiri
2. Palpasi dilakukan secara bergantian antara kanan dan kiri
3. Lakukan penilaian.
4. Dengarkan thrill dan bruit pada arteri karotis dengan menggunakan stetoskop.
5. Letakkan stetoskop pada daerah arteri karotis, minta pasien untuk menahan napasnya agar
auskultasi terdengar jelas dan tidak tersamarkan oleh bunyi napas.

Gambar 69. Palpasi arteri karotis

Analisis Hasil Pemeriksaan


1. Gambaran nadi yang terjadi menyerupai gelombang nadi yang terjadi pada arterira dialis.
2. Pulsasikarotis yang berlebihan dapat timbul karena tekanan nadi yang besar, misalnya pada
insufiensi aorta ditandai dengan naik dan turunnya denyut berlangsung cepat.
3. Bunyi jantung yang terdengar pada auskultasi arteri karotis tidak dianggap sebagai bruit.
4. Bruit arterikarotis dengan atau tanpa thrill pada orang tua atau usia pertengahan menandakan
namun tidak membuktikan adanya penyempitan arteri.
5. Murmur aorta dapat menjalar hingga arterikarotis dan terdengar seperti bruit.

Referensi
1. Bickley, LS. Szilagyi PG. Bates’ Guide to Physical Examination and History Taking, 10th ed. China:
Lippincott Williams & Wilkins, 2009; p 267-268.
2. Goldberg C, A Practical Guide to Clinical Medicine. A comprehensive physical examination and
clinical education site for medical students and other health care professionals.University of
California, San Diego School of Medicine, 2004.
3. Constant J, Essentials of Bedside Cardiology, 2nd ed., Humana press, New York, 2003

Variasi istilah:

Contoh kasus:
Seorang pasien perempuan usia 75 tahun dating ke IGD Rumah sakit tempat anda bekerja dengan
keluhan badan lemas tidak bertenaga. Pasien diketahui tidak mau makan dan minum empat hari
terakhir. Riwayat penyakit dahulu: pasien diketahui menderita hipertensi namun tidak rutinberobat.
Instruksi untuk kandidat:
Lakukan pemeriksaan tanda vital berupa: perabaan denyut nadi, dan pemeriksaan tekanan darah.

Anda mungkin juga menyukai