Anda di halaman 1dari 113

ASP

No. Aspek Obat

1 Standar yang
dipakai

uu 36'2009 tentang kesehatna

pp 72'1998 tentang
pengamanan sed farmasi dan
alkes
PP NO.51 TH 2009 TTG
PEKERJAAN
KEFARMASIAN

PMK No. 1010 Tahun 2018


Tentang Registrasi Obat

pmk 1799'2010
pmk 1799'2010

PMK No.26 Tahun 2018 TTG


PELAYANAN PERIZINAN
BERUSAHATERINTEGRASI
SECARA ELEKTRONIK SEKTOR
KESEHATAN

2 Peryaratan industri UU 36'2009 tentang kesehatna


& distributor

UU 35 Tahun 2009 Tentang


Narkotika

UU 5 Tahun 1997 Tentang


Psikotropika
pp 72'1998 tentang
pengamanan sed farmasi dan
alkes

PP 51 Tahun 2009 tentang


pekerja kefarmasian

PP 26’2018 TENTANG
PELAYANAN PERIZINAN
BERUSAHA TERINTEGRASI
SECARA ELEKTRONIK SEKTOR
KESEHATAN
PP 26’2018 TENTANG
PELAYANAN PERIZINAN
BERUSAHA TERINTEGRASI
SECARA ELEKTRONIK SEKTOR
KESEHATAN

pmk 1010'2008 tentang


registrasi obat
pmk 1799'2010

p.kabpom 24'2017

p.kabpom 34'2018
p.kabpom 25'2017

p.kabpom PERATURAN KEPALA


BADAN PENGAWAS OBAT DAN
MAKANAN REPUBLIK
INDONESIA NOMOR
HK.03.1.34.11.12.7542 TAHUN
2012 TENTANG PEDOMAN
TEKNIS CARA DISTRIBUSI OBAT
YANG BAIK
JENIS IZIN DAN
TAHAPAN PROSES
3 PERIZINAN DAN UU 36 Tahun 2009 Tentang
PERSYARATAN TIAP Kesehatan
TAHAP

UU 5 Tahun 1997 Tentang


Psikotropika

PP no 72 Tahun 1998 Tentang


Pengamanan sediaan farmasi
dan Alat kesehatan

PP nomor 51 Tahun 2009


Tentang pekerjaan
kefarmasian

PERPRES No. 72 Tahun 2012


Tentang Sistem Kesehatan
Nasional
PMK No. 26 Tahun 2018
Tentang Pelayanan Perizinan
Berusaha Terintergritas Secara
Elektronik Sektor Kesehatan
PMK No. 1010 Tahun 2018
Tentang Registrasi Obat

PMK No. 1799 Tahun 2010


Tentang Industri Farmasi
PerKa BPOM 24 Tahun 2017
Tentang Kriteria dan tata
laksana Registrasi Obat

PerKa BPOM
HK.03.1.34.11.12.7542 Tahun
2012
Fungsi/ kegiatan yang
4 ada industri /
distributor

UU No. 36 Tahun 2009 Tentang


Kesehatan

UU No. 35 Tahun 2009 Tentang


Narkotika
UU No. 5 Tahun 1997 Tentang
Psikotropika

PP No. 72 Tahun 1998 Tentang


Pengamanan Sediaan Farmasi
Dan Alat Kesehatan
PP nomor 51 Tahun 2009
Tentang pekerjaan
kefarmasian

PERPRES No. 54 Tahun 2010


Tentang PENGADAAN
BARANG/JASA PEMERINTAH
PERPRES No. 72 Tahun 2012
Tentang Sistem Kesehatan
Nasional

PMK No. 26 Tahun 2018


Tentang Pelayanan Perizinan
Berusaha Terintergritas Secara
Elektronik Sektor Kesehatan

PMK No. 1010 Tahun 2018


Tentang Registrasi Obat
PMK
1799/MENKES/PER/XII/2010

PMK No. 30 Tahun 2017


Tentang Perubahan Kedua
Atas Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor
1148/MENKES/PER/VI/2011
Tentang Pedagang Besar
Farmasi (sanksi masih di 1148)
Per.Ka.BPOM No. 24 Tahun
2017 Tentang Kriteria Dan Tata
Laksana Registrasi Obat

Per.Ka.BPOM No.
HK.03.1.34.11.12.7542 Tahun
2012 Tentang Pedoman Teknis
Cara Distribusi Obat Yang Baik
PENDISTRIBUSIAN
5
PRODUK

uu 36'2009 tentang kesehatan


uu 36'2009 tentang kesehatan

UU No. 35 Tahun 2009 Tentang


Narkotika
UU No. 5 Tahun 1997 Tentang
Psikotropika

pp 72' 1998 tentang


pengamanan sediaan farmasi
dan alkes
pp 72' 1998 tentang
pengamanan sediaan farmasi
dan alkes

pp 51'2009 tentang pekerja


kefarmasian

PP 26’2018 TENTANG
PELAYANAN PERIZINAN
BERUSAHA TERINTEGRASI
SECARA ELEKTRONIK SEKTOR
KESEHATAN
pmk 1010'2008 tentang
registrasi obat

pmk 30'2017 tentang PBF


PERATURAN KEPALA BADAN
PENGAWAS OBAT DAN
MAKANAN REPUBLIK
INDONESIA NOMOR
HK.03.1.34.11.12.7542 TAHUN
2012 TENTANG PEDOMAN
TEKNIS CARA DISTRIBUSI OBAT
YANG BAIK

PENCATATAN & UU No. 36 Tahun 2009 Tentang


6
PELAPORAN Kesehatan

UU 5 Tahun 1997 Tentang


Psikotropika Pasal 35

UU 35 Tahun 2009 Tentang


Narkotika
PP no 72 Tahun 1998 Tentang
Pengamanan sediaan farmasi
dan Alat kesehatan

PP nomor 51 Tahun 2009


Tentang pekerjaan
kefarmasian

PMK 1799 tahun 2010

PerKa BPOM 24 Tahun 2017


Tentang Kriteria dan tata
laksana Registrasi Obat
PerKa BPOM
HK.03.1.34.11.12.7542 Tahun
2012

KEMUNGKINAN
7 PELANGGARAN DAN
SANKSI

UU No. 36 Tahun 2009 Tentang


Kesehatan

UU No. 35 Tahun 2009 Tentang


Narkotika

UU No. 5 Tahun 1997 Tentang


Psikotropika
PP No. 72 Tahun 1998 Tentang
Pengamanan Sediaan Farmasi
Dan Alat Kesehatan

PP No. 51 Tahun 2009 Tentang


Pekerjaan Kefarmasian
PERPRES No. 54 Tahun 2010
Tentang PENGADAAN
BARANG/JASA PEMERINTAH

PERPRES No. 72 Tahun 2012


Tentang Sistem Kesehatan
Nasional

PMK No. 26 Tahun 2018


Tentang Pelayanan Perizinan
Berusaha Terintergritas Secara
Elektronik Sektor Kesehatan
PMK No. 1010 Tahun 2018
Tentang Registrasi Obat

PMK No. 1799 Tahun 2010


Tentang Industri Farmasi

PMK No. 30 Tahun 2017


Tentang Perubahan Kedua Atas
Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor
1148/MENKES/PER/VI/2011
Tentang Pedagang Besar
Farmasi (sanksi masih di 1148)
-

Per.Ka.BPOM No. 24 Tahun


2017 Tentang Kriteria Dan Tata
Laksana Registrasi Obat

Per.Ka.BPOM No.
HK.03.1.34.11.12.7542 Tahun
2012 Tentang Pedoman Teknis
Cara Distribusi Obat Yang Baik
ASPEK INDUSTRI MANUFAKTUR & DISTRIBUSI

Penjelasan

Pasal 1
Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk
mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam
rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan
dan kontrasepsi, untuk manusia.

Pasal 22
Tenaga kesehatan harus memiliki kualifikasi minimum.
Pasal 23
Tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan.

Pasal 37
Pengelolaan perbekalan kesehatan yang berupa obat esensial dan alat kesehatan dasar tertentu
dilaksanakan dengan memperhatikan kemanfaatan, harga, dan faktor yang berkaitan dengan
pemerataan.

Pasal 3
Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diproduksi oleh badan usaha yang telah
memiliki izin usaha industri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Pasal 9
1. Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah memperoleh izin edar dari
Menteri.
2. Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi sediaan farmasi yang
berupa obat tradisional yang diproduksi oleh perorangan.

Pasal 15
Penyaluran sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat dilakukan oleh badan usaha yang
telah memiliki izin sebagai penyalur dari Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku untuk menyalurkan sediaan farmasi yang berupa bahan obat,
obat dan alat kesehatan;

Pasal 24
Pengemasan sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan dengan menggunakan bahan
kemasan yang tidak membahayakan kesehatan manusia dan/atau dapat mempengaruhi
berubahnya persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan sediaan farmasi dan alat
kesehatan.

Pasal 31
Iklan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang diedarkan harus memuat keterangan mengenai
sediaan farmasi dan alat kesehatan secara obyektif, lengkap, dan tidak menyesatkan.

Pasal 39
sediaan farmasi dan alat kesehatan yang bersangkutan tidak memenuhi persyaratan mutu,
keamanan, dan kemanfaatan atau dapat menimbulkan bahaya kesehatan bagi manusia, sediaan
farmasi dan alat kesehatan yang bersangkutan dicabut izin edarnya.
Pasal 59
Pembinaan dalam bidang sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf d
dilakukan dengan:
a. meningkatkan keterampilan teknis tenaga kesehatan dalam rangka pemberian pelayanan
kesehatan;
b. membentuk dan mengembangkan lembaga pendidikan dan/atau lembaga pelatihan di bidang
sediaan farmasi dan alat kesehatan;
c. menyediakan tenaga penyuluh atau ahli di bidang sediaan farmasi dan alat kesehatan.

Pasal 11
Standar prosedur & operasional harus di buat oleh Apoteker dengan kondisi dan perkembangan
zaman yg sesuai.
Standar Prosedur Operasional harus dibuat secara tertulis dan diperbaharui secara terus
menerus sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang farmasi dan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 37
Apoteker yang menjalankan Pekerjaan Kefarmasian harus memiliki sertifikat kompetensi profesi.

lzin edar adalah bentuk persetujuan registrasi obat untuk dapat diedarkan di wilayah lndonesia.
Registrasi adalah prosedur pendaftaran dan evaluasi obat untuk mendapatkan izin edar

Pasal 4
Obat yang memiliki izin edar harus memenuhi kriteria berikut:
a. Khasiat yang meyakinkan dan keamanan yang memadai dibuktikan melalui percobaan hewan
dan uji klinis atau bukti-bukti lain sesuai dengan status perkembangan ilmu pengetahuan yang
bersangkutan;
b. Mutu yang memenuhi syarat yang dinilai dari proses produksi sesuai Cara Pembuatan Obat
Yang Baik (CPOB), spesifikasi dan metoda pengujian terhadap semua bahan yang digunakan
serta produk jadi dengan bukti yang sahih;
c. Penandaan berisi informasi yang lengkap dan obyektif yang dapat menjamin penggunaan obat
secara tepat, rasional dan aman;
d. Sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat.
e. Kriteria lain adalah khusus untuk psikotropika harus memiliki keunggulan kemanfaatan dan
keamanan dibandingkan dengan obat standar dan obat yang telah disetujui beredar di Indonesia
untuk indikasi yang diklaim.
f. Khusus kontrasepsi untuk program nasional dan obat program lainnya yang akan ditentukan
kemudian, harus dilakukan uji klinik di Indonesia.

Pasal 1
Pembuatan obat adalah seluruh tahapan kegiatan dalam menghasilkan obat, yang meliputi
pengadaan bahan awal dan bahan pengemas, produksi, pengemasan, pengawasan mutu, dan
pemastian mutu sampai diperoleh obat untuk didistribusikan.
Pasal 1
Industri Farmasi adalah badan usaha yang memiliki izin dari Menteri Kesehatan untuk melakukan
kegiatan pembuatan obat atau bahan obat.
Pasal 8
(1) Industri Farmasi wajib memenuhi persyaratan CPOB.
(2) Pemenuhan persyaratan CPOB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan
sertifikat CPOB.
(3) Sertifikat CPOB berlaku selama 5 (lima) tahun sepanjang memenuhi persyaratan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara sertifikasi CPOB diatur oleh
Kepala Badan.

Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau Online Single Submission yang
selanjutnya disingkat OSS adalah Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh Lembaga OSS sesuai
ketentuan peraturan perundangundangan.

Pasal 1
Cara Pembuatan Obat yang Baik yang selanjutnya disebut CPOB adalah cara pembuatan obat
yang bertujuan untuk memastikan agar mutu obat yang dihasilkan sesuai dengan persyaratan
dan tujuan penggunaannya.

Pasal 11: (1) Menteri memberi izin khusus untuk memproduksi


Narkotika kepada Industri Farmasi tertentu yang telah memiliki izin sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan setelah dilakukan audit oleh Badan Pengawas Obat dan
Makanan.
(2) Menteri melakukan pengendalian terhadap produksi Narkotika sesuai dengan rencana
kebutuhan tahunan Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
(3) Badan Pengawas Obat dan Makanan melakukan pengawasan terhadap bahan baku, proses
produksi, dan hasil akhir dari produksi Narkotika sesuai dengan rencana kebutuhan tahunan
Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin dan pengendalian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diatur dengan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Pasal 5 : Psikotropika hanya dapat diproduksi oleh pabrik obat yang telah memiliki izin
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 2
(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang diproduksi dan/atau diedarkan harus memenuhi
persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan.
(2) Persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
untuk:
a. sediaan farmasi yang berupa bahan obat dan obat sesuai dengan persyaratan dalam buku
Farmakope atau buku standar lainnya yang ditetapkan oleh Menteri;

Pasal 3
Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diproduksi oleh badan usaha
yang telah memiliki izin usaha industri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 5
(1) Produksi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus dilakukan dengan cara produksi yang baik.
(2) Cara produksi yang baik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 5
(1) Industri Farmasi dan Industri Farmasi Bahan Obat diselenggarakan oleh Pelaku Usaha
nonperseorangan berupa perseroan terbatas.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi pemohon Izin Usaha
Industri Farmasi dan Izin Usaha Industri Farmasi Bahan Obat milik Tentara Nasional Indonesia
dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(3) Persyaratan untuk memperoleh Izin Usaha Industri Farmasi dan Izin Usaha Industri Farmasi
Bahan Obat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dan huruf b yaitu Sertifikat
Produksi Industri Farmasi atau Sertifikat Produksi Industri Farmasi Bahan Obat.
Pasal 5
(1) Industri Farmasi dan Industri Farmasi Bahan Obat diselenggarakan oleh Pelaku Usaha
nonperseorangan berupa perseroan terbatas.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi pemohon Izin Usaha
Industri Farmasi dan Izin Usaha Industri Farmasi Bahan Obat milik Tentara Nasional Indonesia
dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(3) Persyaratan untuk memperoleh Izin Usaha Industri Farmasi dan Izin Usaha Industri Farmasi
Bahan Obat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dan huruf b yaitu Sertifikat
Produksi Industri Farmasi atau Sertifikat Produksi Industri Farmasi Bahan Obat.

Pasal 2
(1) Obat yang diedarkan di wilayah Indonesia, sebelumnya harus dilakukan registrasi untuk
memperoleh Izin Edar;
(2) Izin Edar diberikan oleh Menteri;
(3) Menteri melimpahkan pemberian Izin Edar kepada Kepala Badan;
(4) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk:
a. Obat penggunaan khusus atas permintaan dokter;
b. Obat Donasi;
c. Obat untuk Uji Klinik;
d. Obat Sampel untuk Registrasi.

Pasal 4
Obat yang memiliki izin edar harus memenuhi kriteria berikut:
a. Khasiat yang meyakinkan dan keamanan yang memadai dibuktikan melalui percobaan hewan
dan uji klinis atau bukti-bukti lain sesuai dengan status perkembangan ilmu pengetahuan yang
bersangkutan;
b. Mutu yang memenuhi syarat yang dinilai dari proses produksi sesuai Cara Pembuatan Obat
Yang Baik (CPOB), spesifikasi dan metoda pengujian terhadap semua bahan yang digunakan
serta produk jadi dengan bukti yang sahih;
c. Penandaan berisi informasi yang lengkap dan obyektif yang dapat menjamin penggunaan obat
secara tepat, rasional dan aman;
d. Sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat.
e. Kriteria lain adalah khusus untuk psikotropika harus memiliki keunggulan kemanfaatan dan
keamanan dibandingkan dengan obat standar dan obat yang telah disetujui beredar di Indonesia
untuk indikasi yang diklaim.
f. Khusus kontrasepsi untuk program nasional dan obat program lainnya yang akan ditentukan
kemudian, harus dilakukan uji klinik di Indonesia.
Pasal 5
(1) Persyaratan untuk memperoleh izin industri farmasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1) terdiri atas:
a. berbadan usaha berupa perseroan terbatas;
b. memiliki rencana investasi dan kegiatan pembuatan obat;
c. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
d. memiliki secara tetap paling sedikit 3 (tiga) orang apoteker Warga Negara Indonesia masing-
masing sebagai penanggung jawab pemastian mutu, produksi, dan pengawasan mutu; dan
e. komisaris dan direksi tidak pernah terlibat, baik langsung atau tidak langsung dalam
pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang kefarmasian.
(2) Dikecualikan dari persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, bagi
pemohon izin industri farmasi milik Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia.

Pasal 25
(1) Registrasi terdiri dari:
a. tahap praregistrasi; dan
b. tahap registrasi.
(2) Permohonan praregistrasi dan registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh
Pendaftar secara tertulis kepada Kepala Badan dengan melampirkan dokumen praregistrasi dan
dokumen registrasi.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan dengan mengisi Formulir sesuai
dengan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Kepala Badan ini.
(4) Petunjuk pengisian Formulir sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Lampiran
III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala Badan ini.
(5) Dokumen praregistrasi dan dokumen registrasi harus menggunakan bahasa Indonesia atau
bahasa Inggris.
(6) Permohonan praregistrasi dan registrasi dapat diajukan secara elektronik sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
(7) Dalam hal Registrasi secara elektronik belum dapat dilaksanakan atau sistem elektronik tidak
berfungsi, Registrasi dilakukan secara manual.

-
-

-
Pasal 8: Peredaran psikotropika terdiri dari penyaluran dan penyerahan.
Pasal 9: (1) Psikotropika yang berupa obat hanya dapat diedarkan setelah
terdaftar pada departemen yang bertanggung jawab di bidang kesehatan. (2) Menteri
menetapkan persyaratan dan tata cara pendaftaran psikotropika yang berupa obat. Pasal 16:
Surat Persetujuan Impor (1) Ekspor psikotropika hanya dapat dilakukan oleh pabrik obat atau
pedagang besar farmasi yang telah memiliki izin sebagai eksportir sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Impor psikotropika hanya dapat dilakukan oleh pabrik obat atau pedagang besar farmasi
yang telah memiliki izin sebagai importir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, serta lembaga penelitian atau lembaga pendidikan.
(3) Lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilarang untuk mengedarkan psikotropika yang diimpornya. Pasal 23 : Surat persetujuan ekspor
psikotropika sebagaimana dimaksud dengan ayat (1) sekurang-kurangnya memuat keterangan
tentang :
a. nama dan alamat pengekspor dan pengimpor psikotropika;
b. jenis, bentuk dan jumlah psikotropika; dan
c. negara tujuan ekspor psikotropika. Pasal 39 : (2) Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, dan
sarana
penyimpanan sediaan farmasi pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki izin khusus penyaluran
Narkotika dari Menteri.

PRODUKSI: Pasal 3 : Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diproduksi oleh badan
usaha yang telah memiliki izin usaha industri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Izin Edar : Pasal 13
(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang lulus dalam pengujian diberikan izin edar.
(2) Izin edar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan dalam bentuk persetujuan
pendaftaran.
(3) Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak lulus dalam pengujian diberikan surat
keterangan yang menyatakan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang bersangkutan tidak
memenuhi persyaratan untuk diedarkan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai izin edar dan surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur oleh
Menteri.
Izin Usaha Industri Farmasi dan Izin Usaha Industri Farmasi Bahan Obat . Pasal 5
(1) Industri Farmasi dan Industri Farmasi Bahan Obat diselenggarakan oleh Pelaku Usaha
nonperseorangan berupa perseroan terbatas.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi pemohon Izin
Usaha Industri Farmasi dan Izin Usaha Industri Farmasi Bahan Obat milik Tentara
Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(3) Persyaratan untuk memperoleh Izin Usaha Industri Farmasi dan Izin Usaha Industri
Farmasi Bahan Obat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dan huruf b
yaitu Sertifikat Produksi Industri Farmasi atau Sertifikat Produksi Industri Farmasi Bahan
Obat.
Importir Produsen Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi
Pasal 15
(1) Importir Produsen Narkotika merupakan Industri Farmasi milik negara yang telah
memiliki izin khusus sebagai importir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(2) IP Psikotropika dan IP Prekursor Farmasi merupakan Industri Farmasi.
(3) Persyaratan untuk memperoleh Importir Produsen Narkotika, Psikotropika dan
Prekursor Farmasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf j terdiri atas:
a. Izin Usaha Industri Farmasi;
b. izin khusus importir Narkotika (untuk Importir Produsen Narkotika);
c. rencana impor bahan baku Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi.
Pasal 6 : Persyaratan untuk memperoleh Sertifikat Produksi Industri Farmasi dan
Sertifikat Produksi Industri Farmasi Bahan Obat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (3) terdiri atas:
a. Rencana Produksi Industri Farmasi atau Rencana Produksi Industri Farmasi Bahan
Obat;
b. memiliki secara tetap paling sedikit 3 (tiga) orang apoteker berkewarganegaraan
Indonesia masing
masing sebagai penanggung jawab pemastian mutu, produksi, dan pengawasan mutu.
Pasal 22: Pendaftaran Penyelenggara Sistem Elektronik Farmasi : (1) PSEF
diselenggarakan oleh Pelaku Usaha non perseorangan berbadan hukum.
Pasal 2 : (1) Obat yang diedarkan di wilayah Indonesia, sebelumnya harus dilakukan registrasi
untuk memperoleh Izin Edar;
(2) Izin Edar diberikan oleh Menteri;
(3) Menteri melimpahkan pemberian Izin Edar kepada Kepala Badan;
(4) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk: a. Obat penggunaan
khusus atas permintaan dokter;
b. Obat Donasi;
c. Obat untuk Uji Klinik;
d. Obat Sampel untuk Registrasi.
Pasal 4 : Obat yang memiliki izin edar harus memenuhi kriteria:a. Khasiat yang meyakinkan dan
keamanan yang memadai dibuktikan melalui percobaan hewan dan uji klinis atau bukti-bukti lain
sesuai dengan status perkembangan ilmu pengetahuan yang bersangkutan;
b. Mutu yang memenuhi syarat yang dinilai dari proses produksi sesuai (CPOB), spesifikasi dan
metoda pengujian terhadap semua bahan yang digunakan serta produk jadi dengan bukti yang
sahih;
c. Penandaan berisi informasi yang lengkap dan obyektif yang dapat menjamin penggunaan obat
secara tepat, rasional dan aman;
d. Sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat.
e. Kriteria lain adalah khusus untuk psikotropika harus memiliki keunggulan kemanfaatan dan
keamanan dibandingkan dengan obat standar dan obat yang telah disetujui beredar di Indonesia
untuk indikasi yang diklaim.
f. Khusus kontrasepsi untuk program nasional dan obat program
lainnya yang akan ditentukan kemudian, harus dilakukan uji klinik di Indonesia.

Pasal 4 : (2) Industri Farmasi yang membuat obat dan/atau bahan obat yang termasuk dalam
golongan narkotika wajib memperoleh izin khusus untuk memproduksi narkotika sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 5 : (1) Persyaratan untuk memperoleh izin
industri farmasi dalam Pasal 4 terdiri atas:
a. berbadan usaha berupa perseroan terbatas;
b. memiliki rencana investasi dan kegiatan pembuatan obat;
c. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
d. memiliki secara tetap paling sedikit 3 (tiga) orang apoteker Warga NegaraIndonesia masing-
masing sebagai penanggung jawab pemastian mutu,produksi, dan pengawasan mutu; dan
e. komisaris dan direksi tidak pernah terlibat, baik langsung atau tidak
langsung dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang
kefarmasian. (2) Dikecualikan dari persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf adan
huruf b, bagi pemohon izin industri farmasi milik Tentara NasionalIndonesia dan Kepolisian
Negara Republik Indonesia. Pasal 8 : (1) Industri Farmasi wajib memenuhi persyaratan CPOB.
(2) Pemenuhan persyaratan CPOB sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dibuktikan dengan
sertifikat CPOB.
(3) Sertifikat CPOB berlaku selama 5 (lima) tahun sepanjang memenuhi
persyaratan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara sertifikasi CPOB diatur oleh Kepala
Badan. Pasal 9: (1) Selain wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8ayat
(1), Industri Farmasi wajib melakukan farmakovigilans.(2) Apabila dalam melakukan
farmakovigilans sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) Industri Farmasi menemukan obat dan/atau bahan obat hasil produksinyayang tidak
memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan,khasiat/kemanfaatan dan mutu, Industri
Farmasi wajib melaporkan haltersebut kepada Kepala Badan.
Pasal 2 : (1) Obat yang akan diedarkan di wilayah Indonesia wajib
memiliki Izin Edar. (2) Untuk memperoleh Izin Edar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilakukan Registrasi.
(3) Registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan
oleh Pendaftar kepada Kepala Badan. Pasal 4 : (1) Obat yang mendapat Izin Edar harus
memenuhi kriteria:
a. khasiat yang meyakinkan dan keamanan yangmemadai dibuktikan melalui uji nonklinik dan
ujiklinik atau bukti-bukti lain sesuai dengan status perkembangan ilmu pengetahuan;
b. mutu yang memenuhi syarat sesuai dengan standar yang ditetapkan, termasuk proses produksi
sesuai dengan CPOB dan dilengkapi dengan bukti yang sahih; dan
c. Informasi Produk dan Label berisi informasi lengkap, objektif dan tidak menyesatkan yang
dapat menjamin penggunaan Obat secara tepat, rasional dan aman. (2) Selain harus memenuhi
kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Obat juga harus memenuhi kriteria sebagaiberikut:
a. khusus untuk Psikotropika baru, harus memiliki
keunggulan dibandingkan dengan Obat yang telah
disetujui beredar di Indonesia; dan
b. khusus Obat program kesehatan nasional, harus
sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh
instansi pemerintah penyelenggara program
kesehatan nasional.

Izin Edar
Dokumen yang disahkan hukum negara yang diterbitkan oleh otorita pengawasan obat dan
berisikan komposisi dan formulasi rinci dari suatu produk serta spesifikasi farmakope atau
spesifikasi lain yang dikenal umum
dari bahan-bahan yang digunakan dalam produk akhir, termasuk juga rincian dari bahan
pengemas dan penandaan serta masa edar dari produk tersebut.
Pasal 21
(1) Pemerintah mengatur perencanaan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan
pengawasan mutu tenaga kesehatan dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan.
(2) Ketentuan mengenai perencanaan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan
pengawasan mutu tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

Pasal 98
(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman, berkhasiat/bermanfaat, bermutu, dan
terjangkau.
(2) Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang mengadakan,
menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat.
(3) Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi, pengedaran sediaan
farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi standar mutu
pelayanan farmasi yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
(4) Pemerintah berkewajiban membina, mengatur, mengendalikan, dan mengawasi pengadaan,
penyimpanan, promosi, dan pengedaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

Pasal 1
3. Produksi adalah kegiatan atau proses menyiapkan, mengolah, membuat, dan menghasilkan
Narkotika secara langsung atau tidak langsung melalui ekstraksi atau nonekstraksi dari sumber
alami atau sintetis kimia atau gabungannya, termasuk mengemas dan/atau mengubah bentuk
Narkotika.
4. Impor adalah kegiatan memasukkan Narkotika dan Prekursor Narkotika ke dalam Daerah
Pabean.
5. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan Narkotika dan Prekursor Narkotika dari Daerah Pabean.
9. Pengangkutan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan memindahkan Narkotika dari
satu tempat ke tempat lain dengan cara, moda, atau sarana angkutan apapun.

Pasal 35
Peredaran Narkotika meliputi setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau
penyerahan Narkotika, baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan maupun
pemindahtanganan, untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Pasal 51 : (1) Pengadaan Prekursor Narkotika dilakukan melalui produksi dan
impor.
(2) Pengadaan Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) hanya dapat digunakan untuk tujuan industri farmasi,
industri nonfarmasi, dan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pasal 1
3. Produksi adalah kegiatan atau proses menyiapkan, mengo-lah, membuat, menghasilkan,
mengemas, dan/atau mengubah bentuk psikotropika.
5. Peredaran adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan
psikotropika, baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan maupun pemindahtanganan.
6. Perdagangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka pembelian
dan/atau penjualan, termasuk penawar-an untuk menjual psikotropika, dan kegiatan lain
berkenaan dengan pemindahtanganan psikotropika dengan memp eroleh imbalan.
7. Pedagang besar farmasi adalah perusahaan berbadan hukum yang memiliki izin dari Menteri
untuk melakukan kegiatan penyaluran sediaan farmasi, termasuk psikotropika dan alat kesehatan.
8. Pengangkutan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka memindahkan
psikotropika dari satu tempat ke tempat lain, dengan cara, moda, atau sarana angkutan apa pun,
dalam rangka produksi dan peredaran.
11. Penyerahan adalah setiap kegiatan memberikan psikotropika, baik antar-penyerah maupun
kepada pengguna dalam rangka pelayanan kesehatan.

Pasal 12
(1) Penyaluran psikotropika dalam rangka peredaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 hanya
dapat dilakukan oleh pabrik obat, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan
farmasi Pemerintah.
(2) Penyaluran psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh :
a. Pabrik obat kepada pedagang besar farmasi, apotek, sarana penyimpanan sediaan farmasi
Pemerintah, rumah sakit, dan lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan.
b. Pedagang besar farmasi kepada pedagang besar farmasi lain-nya, apotek, sarana penyimpanan
sediaan farmasi Pemerintah, rumah sakit, dan lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan.
c. Sarana penyimpanan sediaan farmasi Pemerintah kepada rumah sakit Pemerintah, puskesmas
dan balai pengobatan Pemerintah.
(3) Psikotropika golongan I hanya dapat disalurkan oleh pabrik obat dan pedagang besar farmasi
kepada lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan guna kepentingan ilmu pengetahuan.

-
Fasikitas distribusi sediaan farmasi→

Setiap fasilitas distribusi sediaan farmasi →ada apoteker sebagai penanggung jawab

Dibantu oleh Apoteker Pendamping dan/atau TTK

Pekerjaan Kefarmasian dalam fasilitas Distribusi→memenuhi ketentuan CDK ditetapkan oleh


Menteri

Tenaga Kefarmasian melaksanakan pekerjaan kefarmasian→Pada fasilitas Distribusi Sediaan


Farmasi→melalui PBF, Instalasi Sediaan Farmasi milik Pemerintah, Pemda provinsi, dan Pemda
kabupaten/kota

Pasal 26 (3) Prosedur Swakelola meliputi kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,


penyerahan, pelaporan dan pertanggungjawaban pekerjaan.

Pasal 28 (1) Kegiatan perencanaan Swakelola meliputi:


a. penetapan sasaran, rencana kegiatan dan jadwal pelaksanaan;
b. penyusunan jadwal pelaksanaan dengan mempertimbangkan waktu yang cukup bagi
pelaksanaan pekerjaan/kegiatan;
c. perencanaan teknis dan penyiapan metode pelaksanaan yang tepat agar diperoleh rencana
keperluan tenaga, bahan dan peralatan yang sesuai;
d. penyusunan rencana keperluan tenaga, bahan dan peralatan secara rinci serta dijabarkan dalam
rencana kerja bulanan, rencana kerja mingguan dan/atau rencana kerja harian; dan
e. penyusunan rencana total biaya secara rinci dalam rencana biaya bulanan dan/atau biaya
mingguan yang tidak melampaui Pagu Anggaran yang telah ditetapkan dalam dokumen anggaran.
(2) Perencanaan kegiatan Swakelola dapat dilakukan dengan memperhitungkan tenaga
ahli/peralatan/bahan tertentu yang dilaksanakan dengan Kontrak/Sewa tersendiri.
(3) Kegiatan perencanaan Swakelola dimuat dalam KAK.
(4) Perencanaan kegiatan Swakelola yang diusulkan dan dilaksanakan oleh Kelompok
Masyarakat Pelaksana Swakelola, ditetapkan oleh PPK setelah melalui proses evaluasi.
(5) Penyusunan jadwal kegiatan Swakelola dilakukan dengan mengalokasikan waktu untuk proses
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, penyerahan dan pelaporan pekerjaan.
(6) PA/KPA bertanggung jawab terhadap penetapan Kelompok Masyarakat Pelaksana Swakelola
termasuk sasaran, tujuan dan besaran anggaran Swakelola.
(7) PA/KPA dapat mengusulkan standar biaya untuk honorarium pelaksana Swakelola kepada
Menteri Keuangan/Kepala Daerah.
(8) Swakelola dapat di laksanakan melebihi 1 (satu) Tahun Anggaran.

Pasal 33 Persiapan Pengadaan


Persiapan pemilihan Penyedia Barang/Jasa terdiri atas kegiatan:
a. perencanaan pemilihan Penyedia Barang/Jasa;
b. pemilihan sistem pengadaan;
c. penetapan metode penilaian kualifikasi;
d. penyusunan jadwal pemilihan Penyedia Barang/Jasa;
e. penyusunan Dokumen Pengadaan Barang/Jasa; dan
f. penetapan HPS.
Pasal 5
SKN menjadi acuan dalam penyusunan dan pelaksanaan pembangunan kesehatan yang dimulai
dari kegiatan perencanaan sampai dengan kegiatan monitoring dan evaluasi.

Pasal 51
(1) Pelaku Usaha yang telah mendapatkan Izin Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
dapat melakukan kegiatan:
a. pengadaan tanah;
b. perubahan luas lahan;
c. pembangunan bangunan gedung dan pengoperasiannya;
d. pengadaan peralatan atau sarana;
e. pengadaan sumber daya manusia;
f. penyelesaian sertifikasi atau kelaikan;
g. pelaksanaan uji coba produksi (commisioning); dan/atau
h. pelaksanaan produksi.

-
Pasal 3 (1) Industri Farmasi dapat melakukan kegiatan proses pembuatan obat dan/atau bahan
obat untuk :
a. Semua tahapan; dan/atau
b. Sebagian tahapan

Pasal 15 : Industri Farmasi mempunyai fungsí:


a. pembuatan obat dan/atau bahan obat;
b. pendidikan dan pelatihan; dan
c. penelitian dan pengembangan.

Pasal 13
(1) PBF dan PBF Cabang hanya dapat mengadakan, menyimpan dan menyalurkan obat dan/atau
bahan obat yang memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan oleh Menteri.
(2) PBF hanya dapat melaksanakan pengadaan obat dari industri farmasi dan/atau sesama PBF.
(3) PBF hanya dapat melaksanakan pengadaan bahan obat dari industri farmasi, sesama PBF
dan/atau melalui importasi.
-

KUALIFIKASI DAN VALIDASI


3.26. Fasilitas distribusi harus menetapkan kualifikasi dan/atau validasi yang diperlukan untuk
pengendalian kegiatan distribusi. Ruang lingkup dan metode validasi harus ditetapkan
berdasarkan pendekatan analisis risiko. Kegiatan validasi harus direncanakan dan
didokumentasikan. Perencanaan harus memuat kriteria yang dipersyaratkan.
Pengadaan
11. Perencanaan kebutuhan tahunan harus dibuat dalam pengadaan narkotika atau psikotropika
12. Pengadaan narkotika atau psikotropika harus berdasarkan surat pesanan dengan format khusus
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
13. Surat Pesanan wajib:
a) asli dan dibuat paling sedikit dalam rangkap 2 (dua) serta tidak dibenarkan dalam bentuk
faksimili dan fotokopi;
b) ditandatangani oleh penanggung jawab fasilitas distribusi dan dilengkapi dengan nama jelas
dan nomor Surat Izin Kerja (SIK) / Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA);
c) mencantumkan nama dan alamat lengkap, nomor telepon / faksimili, nomor izin dan stempel
fasilitas distribusi;
d) mencantumkan nama industri farmasi atau fasilitas distribusi pemasok beserta alamat lengkap;
e) mencantumkan nama narkotika atau psikotropika, jenis dan kekuatan sediaan, isi kemasan dan
jumlah dalam bentuk angka dan huruf;
f) diberi nomor urut dan tanggal dengan penulisan yang jelas;
g) dibuat terpisah dari surat pesanan obat lain;

Penerimaan
14. Pada saat penerimaan harus dilakukan pemeriksaan terhadap:
a) kebenaran nama, jenis, nomor bets, tanggal kedaluwarsa, jumlah dan kemasan harus sesuai
dengan surat pengantar / pengiriman barang dan/atau faktur penjualan;
b) kondisi kontainer pengiriman dan/atau kemasan termasuk segel, label dan/atau penandaan
dalam kondisi baik;
c) kebenaran nama, jenis, jumlah dan kemasan dalam surat pengantar / pengiriman barang
dan/atau faktur penjualan harus sesuai dengan arsip surat pesanan.
15. Setelah dilakukan pemeriksaan pada butir 14 dan dinyatakan telah sesuai, penanggung jawab
fasilitas distribusi harus menandatangani surat pengantar / pengiriman barang dan/atau faktur
penjualan dan dibubuhi stempel fasilitas distribusi.
16. Jika setelah dilakukan pemeriksaan pada butir 14 terdapat:
a) item obat yang tidak sesuai dengan surat pesanan atau
b) kondisi kemasan tidak baik,
maka obat tersebut harus dikembalikan dengan disertai bukti retur dan surat pesanan asli, dan
segera meminta bukti terima pengembalian dari pemasok.
17. Jika terdapat ketidaksesuaian nomor bets, tanggal kedaluwarsa dan jumlah antara fisik dengan
dokumen pengadaan harus dibuat dokumentasi untuk mengklarifikasi ketidak sesuaian dimaksud
ke pihak pemasok.

Penyimpanan
18. Penyimpanan narkotika wajib memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.
19. Psikotropika harus disimpan dalam lemari atau gudang terkunci serta tidak boleh digunakan
menyimpan barang selain psikotropika untuk menjamin keamanan.

Bagian Ketiga: Perbekalan Kesehatan Pasal 36


(1) Pemerintah menjamin ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan perbekalan kesehatan,
terutama obat esensial.
(2) Dalam menjamin ketersediaan obat keadaan darurat, Pemerintah dapat melakukan kebijakan
khusus untuk pengadaan dan pemanfaatan obat dan bahan yang berkhasiat obat.
Pasal 108 Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan
farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas
resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat
tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 40
(1) Industri Farmasi tertentu hanya dapat menyalurkan Narkotika kepada:
a. pedagang besar farmasi tertentu;
b. apotek;
c. sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu; dan
d. rumah sakit.
(2) Pedagang besar farmasi tertentu hanya dapat menyalurkan Narkotika kepada:
a. pedagang besar farmasi tertentu lainnya;
b. apotek;
c. sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu;
d. rumah sakit; dan
e. lembaga ilmu pengetahuan;
(3) Sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu hanya dapat menyalurkan
Narkotika kepada:
a. rumah sakit pemerintah;
b. pusat kesehatan masyarakat; dan
c. balai pengobatan pemerintah tertentu.

Pasal 43
(1) Penyerahan Narkotika hanya dapat dilakukan oleh:
a. apotek;
b. rumah sakit;
c. pusat kesehatan masyarakat;
d. balai pengobatan; dan
e. dokter.
(2) Apotek hanya dapat menyerahkan Narkotika kepada:
a. rumah sakit;
b. pusat kesehatan masyarakat;
c. apotek lainnya;
d. balai pengobatan;
e. dokter; dan
f. pasien.
(3) Rumah sakit, apotek, pusat kesehatan masyarakat, dan balai pengobatan hanya dapat
menyerahkan Narkotika kepada pasien berdasarkan resep dokter.
(4) Penyerahan Narkotika oleh dokter hanya dapat dilaksanakan untuk:
a. menjalankan praktik dokter dengan memberikan Narkotika melalui suntikan;
b. menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan memberikan Narkotika melalui
suntikan; atau
c. menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
(5) Narkotika dalam bentuk suntikan dalam jumlah tertentu yang diserahkan oleh dokter
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dapat diperoleh di apotek.
Pasal 12
(1) Penyaluran psikotropika dalam rangka peredaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
hanya dapat dilakukan oleh pabrik obat, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan
sediaan farmasi Pemerintah.
(2) Penyaluran psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh :
a. Pabrik obat kepada pedagang besar farmasi, apotek, sarana penyimpanan sediaan farmasi
Pemerintah, rumah sakit, dan lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan.
b. Pedagang besar farmasi kepada pedagang besar farmasi lain-nya, apotek, sarana
penyimpanan sediaan farmasi Pemerintah, rumah sakit, dan lembaga penelitian dan/atau
lembaga pendidikan.
c. Sarana penyimpanan sediaan farmasi Pemerintah kepada rumah sakit Pemerintah, puskesmas
dan balai pengobatan Pemerintah.

Pasal 14
(1) Penyerahan psikotropika dalam rangka peredaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
hanya dapat dilakukan oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dan dokter.
(2) Penyerahan psikotropika oleh apotek hanya dapat dilakukan kepa-da apotek lainnya, rumah
sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter dan kepada pengguna/pasien.
(3) Penyerahan psikotropika oleh rumah sakit, balai pengobatan, puskesmas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan kepada pengguna/pasien.
(4) Penyerahan psikotropika oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, dan balai pengobatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan resep dokter.
(5) Penyerahan psikotropika oleh dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan
dalam hal :
a. menjalankan praktik terapi dan diberikan melalui suntikan;
b. menolong orang sakit dalam keadaan darurat;
c. menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
(6) Psikotropika yang diserahkan dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (5) hanya dapat
diperoleh dari apotek.

Pasal 2
(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang diproduksi dan/atau diedarkan harus memenuhi
persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan.
(2) Persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
untuk:
a. sediaan farmasi yang berupa bahan obat dan obat sesuai dengan persyaratan dalam buku
Farmakope atau buku standar lainnya yang ditetapkan oleh Menteri;

Pasal 6 Peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan terdiri dari penyaluran dan penyerahan.

Pasal 8
(1) Setiap pengangkutan sediaan farmasi dan alat kesehatan dalam rangka peredaran harus
disertai dengan dokumen pengangkutan sediaan farmasi dan alat kesehatan.
(2) Setiap pengangkut sediaan farmasi dan alat kesehatan dalam rangka peredaran, bertanggung
jawab atas kelengkapan dokumen pengangkutan sediaan farmasi dan alat kesehatan.
Pasal 26
(1) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan untuk melindungi
masyarakat dari informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak obyektif, tidak lengkap
serta menyesatkan.
(2) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan dapat berbentuk gambar,
warna, tulisan atau kombinasi antara atau ketiganya atau bentuk lainnya yang disertakan pada
kemasan atau dimasukkan dalam kemasan, atau merupakan bagian dari wadah dan/atau
kemasannya.

Pasal 28
(1) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan yang harus dicantumkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 harus memenuhi persyaratan berbentuk tulisan yang
berisi keterangan mengenai sediaan farmasi dan alat kesehatan secara obyektif, lengkap serta
tidak menyesatkan.
(2) Keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya berisi:
a. nama produk dan/atau merek dagang;
b. nama badan usaha yang memproduksi atau memasukkan sediaan farmasi dan alat kesehatan
ke dalam wilayah Indonesia;
c. komponen pokok sediaan farmasi dan alat kesehatan;
d. tata cara penggunaan;
e. tanda peringatan atau efek samping;
f. batas waktu kadaluwarsa untuk sediaan farmasi tertentu.

Pasal 41
(1) Penarikan kembali sediaan farmasi dan alat kesehatan dari peredaran karena dicabut izin
edarnya dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab badan usaha yang memproduksi
dan/atau mengedarkan sediaan farmasi dan alat kesehatan.
Pasal 41
(1) Penarikan kembali sediaan farmasi dan alat kesehatan dari peredaran karena dicabut izin
edarnya dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab badan usaha yang memproduksi
dan/atau mengedarkan sediaan farmasi dan alat kesehatan.

Pasal 14
(1) Setiap Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi berupa obat harus memiliki
seorang Apoteker sebagai penanggung jawab.
(2) Apoteker sebagai penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibantu
oleh Apoteker pendamping dan/atau Tenaga Teknis Kefarmasian.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian dalam Fasilitas
Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Menteri.

-
Pasal 2
(1) Obat yang diedarkan di wilayah Indonesia, sebelumnya harus dilakukan registrasi untuk
memperoleh Izin Edar;
(2) Izin Edar diberikan oleh Menteri;

Pasal 13
(1) PBF dan PBF Cabang hanya dapat mengadakan, menyimpan dan menyalurkan obat dan/atau
bahan obat yang memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan oleh Menteri.
(2) PBF hanya dapat melaksanakan pengadaan obat dari industri farmasi dan/atau sesama PBF.
(3) PBF hanya dapat melaksanakan pengadaan bahan obat dari industri farmasi, sesama PBF
dan/atau melalui importasi.
(4) Pengadaan bahan obat melalui importasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) PBF Cabang hanya dapat melaksanakan pengadaan obat dan/atau bahan obat dari PBF pusat
atau PBF Cabang lain yang ditunjuk oleh PBF pusatnya.
(6) PBF dan PBF Cabang dalam melaksanakan pengadaan obat atau bahan obat harus
berdasarkan surat pesanan yang ditandatangani apoteker penanggung jawab dengan
mencantumkan nomor SIPA.
Pasal 3
PBF dan PBF Cabang dalam menyelenggarakan pengadaan, penyimpanan, dan penyaluran obat
dan/atau bahan obat wajib menerapkan Pedoman Teknis CDOB.
CDOB meliputi:
1. Managemen mutu
2. Organisasi managemen dan personalia
3. Bangunan dan peralatan
4. Operasional
5. Inspeksi diri
6. Keluhan, obat, dan atau bahan obat kembalian, diduga palsu dan penarikan kembali
7. Transportasi
8. Sarana distribusi berdasarkan kontrak
9. Dokumentasi

Pasal 31 :
Fasilitas pelayanan kesehatan wajib:
a. memberikan akses yang luas bagi kebutuhan penelitian dan pengembangan di bidang
kesehatan; dan
b. mengirimkan laporan hasil penelitian dan pengembangan kepada pemerintah daerah atau
Menteri.

Pabrik obat, pedagang besar farmasi, apotek, rumah sakit, puskesmas, lembaga penelitian
dan/atau lembaga pendidikan wajib melaporkan catatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
ayat (1) kepada Menteri secara berkala.

Pasal 14 : Penyimpanan dan Pelaporan : (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
penyimpanan secara khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan jangka waktu, bentuk, isi,
dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
(4)Pelanggaran terhadap ketentuan mengenai penyimpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan/atau ketentuan mengenai pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi
administratif oleh Menteri atas rekomendasi dari Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
berupa:
a. teguran;
b. peringatan;
c. denda administratif;
d. penghentian sementara kegiatan; atau
e. pencabutan izin.

Pasal 52: Dokumen pelaporan mengenai Narkotika yang berada di bawah kewenangan Badan
Pengawas Obat dan Makanan, disimpan dengan ketentuan sekurang-kurangnya dalam waktu 3
(tiga) tahun.
Maksud adanya kewajiban untuk membuat, menyimpan, dan menyampaikan laporan adalah agar
Pemerintah setiap waktu dapat mengetahui tentang persediaan Narkotika yang ada di dalam
peredaran dan sekaligus sebagai bahan dalam penyusunan rencana kebutuhan tahunan Narkotika
Pasal 47 : (2) Laporan pemusnahan sediaan farmasi dan alat kesehatan memuat keterangan:
a. waktu dan tempat pelaksanaan pemusnahan sediaan farmasi dan alat kesehatan;
b. jumlah dan jenis sediaan farmasi dan alat kesehatan;
c. nama penanggung jawab pelaksana pemusnahan sediaan farmasi dan alat kesehatan;
d. nama satu orang saksi dalam pelaksanaan pemusnahan sediaan farmasi dan alat kesehatan.
(3) Laporan pemusnahan sediaan farmasi dan alat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) ditandatangani oleh penanggung jawab dan saksi dalam pelaksanaan pemusnahan sediaan
farmasi dan alat kesehatan.

Kewajiban untuk melakukan pencatatan dimaksudkan sebagai alat kontrol dalam rangka
pengawasan mutu Sediaan Farmasi yang disesuaikan dengan prosedur Cara Pembuatan yang
Baik.

(1) Industri Farmasi wajib menyampaikan laporan industri secara berkala mengenai kegiatan
usahanya: a. sekali dalam 6 (enam) bulan, meliputi jumlah dan nilai produksi setiap obat atau
bahan obat yang dihasilkan dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir
13 terlampir; dan b. sekali dalam 1 (satu) tahun dengan menggunakan contoh sebagaimana
tercantum dalam Formulir 14 terlampir. (2) Laporan Industri Farmasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan.
(3) Laporan Industri Farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disampaikan paling
lambat tanggal 15 Januari dan tanggal 15 Juli.
(4) Laporan Industri Farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disampaikan paling
lambat tanggal 15 Januari.
(5) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaporkan secara elektronik.
(6) Direktur Jenderal dapat mengubah bentuk dan isi formulir laporan sesuai kebutuhan.

(1) Industri Farmasi yang telah mendapatkan Izin Edar wajib membuat dan mengirimkan laporan
produksi atau laporan pemasukan Obat Impor kepada Kepala Badan. (3) Laporan produksi atau
laporan pemasukan Obat Impor dimaksud pada ayat (1) tidak menghapuskan kewajiban bagi
Industri Farmasi untuk menyampaikan laporan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
4.34.Proses pemusnahan obat dan/atau bahan obat termasuk pelaporannya harus dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 4.35.Dokumentasi terkait pemusnahan obat
dan/atau bahan obat termasuk laporannya harus disimpan sesuai ketentuan. 4.36. Pengambilan :
Obat dan/atau bahan obat yang diambil harus memiliki masa simpan yang cukup sebelum
kedaluwarsa dan berdasarkan FEFO. Nomor bets obat dan/atau bahan obat harus dicatat.
Pengecualian dapat diizinkan jika ada kontrol yang memadai untuk mencegah pendistribusian
obat dan/atau bahan obat kedaluwarsa.

Pasal 106 Mencabut izin edar dan memerintahkan penarikan dari peredaran sediaan farmasi dan
alat kesehatan yang telah memperoleh izin edar, yang kemudian terbukti tidak memenuhi
persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau kemanfaatan, dapat disita dan dimusnahkan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

Pasal 188 Tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan
berupa:
a. peringatan secara tertulis;
b. pencabutan izin sementara atau izin tetap.

Pasal 196 Dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat
kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau
kemanfaatan, dan mutu dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 197 Dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat
kesehatan yang tidak memiliki izin edar dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

Pasal 14
(4) Pelanggaran terhadap ketentuan mengenai penyimpanan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan/atau ketentuan mengenai pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi
administratif oleh Menteri atas rekomendasi dari Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
berupa:
a. teguran;
b. peringatan;
c. denda administratif;
d. penghentian sementara kegiatan; atau
e. pencabutan izin.

Pasal 51
(1) Dalam rangka pengawasan, Menteri berwenang mengambil tindakan administratif terhadap
pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek,
rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, lembaga penelitian dan/atau lembaga
pendidikan, dan fasilitas rehabilitasi yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-
undang ini.
(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa :
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. penghentian sementara kegiatan;
d. denda administratif;
e. pencabutan izin praktik.

Pasal 71 Jika hasil pemeriksaan oleh tenaga pengawas menunjukkan adanya dugaan
pelanggaran hukum di bidang sediaan farmasi dan alat kesehatan segera dilakukan penyidikan
oleh penyidik yang berwenang
Pasal 74 Dengan sengaja memproduksi dan/atau mengedarkan sediaan farmasi berupa obat
atau bahan obat yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama
15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah)

Pasal 75 Dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi dan alat kesehatan tanpa izin edar 7
(tujuh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.140.000.000,- (seratus empat puluh juta
rupiah)

Pasal 77 Dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak
mencantumkan penandaan dan informasi dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah)

Pasal 78 Berdasarkan ketentuan Pasal 83 ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
74, Pasal 75, Pasal 76 dan Pasal 77, ditambah seperempat apabila menimbulkan luka berat atau
sepertiga apabila menimbulkan kematian.

Pasal 79 Dengan sengaja:


a. Memproduksi sediaan farmasi dan alat kesehatan tanpa menerapkan cara produksi yang baik
b. Melakukan pengangkutan sediaan farmasi dan alat kesehatan dalam rangka peredaran tanpa
disertai dengan dokumen pengangkutan
c. Memasukkan sediaan farmasi ke dalam wilayah Indonesia tanpa dilengkapi dengan dokumen
yang menyatakan bahwa sediaan farmasi dan alat kesehatan yang bersangkutan telah lulus
dalam pengujian laboratorium
d. Mengedarkan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang mengalami kerusakan kemasan yang
langsung bersentuhan dengan produksi sediaan farmasi dan alat kesehatan
e. Mengiklankan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang penyerahannya dilakukan berdasarkan
resep dokter pada media cetak
Dipidana dengan denda sebesar Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)

-
Pasal 118
(1) Perbuatan atau tindakan Penyedia Barang/Jasa yang dapat dikenakan sanksi adalah:
a. berusaha mempengaruhi ULP/Pejabat Pengadaan/pihak lain yang berwenang dalam bentuk
dan cara apapun, baik langsung maupun tidak langsung guna memenuhi keinginannya yang
bertentangan dengan ketentuan dan prosedur yang telah di tetapkan dalam Dokumen
Pengadaan/Kontrak, dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. melakukan persekongkolan dengan Penyedia Barang/Jasa lain untuk mengatur Harga
Penawaran diluar prosedur pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa, sehingga
mengurangi/menghambat/memperkecil dan/atau meniadakan persaingan yang sehat dan/atau
merugikan orang lain;
c. membuat dan/atau menyampaikan dokumen dan/atau keterangan lain yang tidak benar
untuk memenuhi persyaratan Pengadaan Barang/Jasa yang ditentukan dalam Dokumen
Pengadaan;
d. mengundurkan diri dari pelaksanaan Kontrak dengan alasan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan dan/atau tidak dapat di terima oleh ULP/Pejabat Pengadaan;
e. tidak dapat menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan Kontrak secara bertanggung jawab;
dan/atau
f. berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat
(3), di temukan adanya ketidaksesuaian dalam penggunaan Barang/Jasa produksi dalam negeri.
(2) Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi berupa:
a. sanksi administratif;
b. sanksi pencantuman dalam Daftar Hitam;
c. gugatan secara perdata; dan/atau
d. pelaporan secara pidana kepada pihak berwenang.
(3) Pemberian sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dilakukan oleh
PPK/ULP/Pejabat Pengadaan sesuai dengan ketentuan.
(4) Pemberian sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dilakukan oleh PA/KPA
setelah mendapat masukan dari PPK/ULP/Pejabat Pengadaan sesuai dengan ketentuan.
(5) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan huruf d, dilakukan sesuai dengan
peraturan perundangundangan.
(6) Apabila ditemukan penipuan/pemalsuan atas informasi yang di sampaikan Penyedia
Barang/Jasa, dikenakan sanksi pembatalan sebagai calon pemenang dan dimasukkan dalam
Daftar Hitam.
(7) Apabila terjadi pelanggaran dan/atau kecurangan dalam proses Pengadaan Barang/Jasa,
maka ULP:
a. di kenakan sanksi administrasi;
b. di tuntut ganti rugi; dan/atau
c. dilaporkan secara pidana.
-

Pasal 88 ayat 4 Dalam hal hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditemukan
ketidaksesuaian atau penyimpangan, Menteri, gubernur, dan/atau bupati/wali kota mengambil
tindakan.

Pasal 88 ayat 5 Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa:
a. peringatan;
b. notifikasi pembatalan perizinan berusaha;
c. penghentian sementara kegiatan berusaha;
d. pengenaan denda administratif; dan/atau
e. pencabutan Perizinan Berusaha.
Pasal 23 Dengan tidak mengurangi ancaman pidana sebagaimana diatur dalam Undang-
undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Kepala Badan dapat memberikan
sanksi administratif berupa pembatalan izin edar apabila terjadi salah satu dari hal-hal
berikut:
a. Tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 berdasarkan data terkini.

b. Penandaan dan promosi menyimpang dari persetujuan izin edar


c. Tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
d. Selama 12 (dua belas) bulan berturut-turut obat yang bersangkutan tidak diproduksi,
diimpor atau diedarkan.
e. lzin lndustri Farmasi, yang mendaftarkan, memproduksi atau mengedarkan dicabut.
f. Pemilik izin edar melakukan pelanggaran di bidang produksi dan/atau peredaran obat.

Pasal 26
1. Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan ini dapat dikenakan sanksi administratif
berupa:
a. peringatan secara tertulis;
b. larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau perintah untuk penarikan kembali
obat atau bahan obat dari peredaran bagi obat atau bahan obat yang tidak memenuhi standar
dan persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, atau mutu;
c. perintah pemusnahan obat atau bahan obat, jika terbukti tidak memenuhi persyaratan
keamanan, khasiat/kemanfaatan, atau mutu;
d. penghentian sementara kegiatan;
e. pembekuan izin industri farmasi; atau
f. pencabutan izin industri farmasi.
2. Penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dapat
dikenakan untuk seluruh kegiatan atau sebagian kegiatan.
3. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d
diberikan oleh Kepala Badan.
4. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan huruf f diberikan oleh
Direktur Jenderal atas rekomendasi Kepala Badan.

Pasal 11 Izin PBF dinyatakan tidak berlaku, apabila:


a. masa berlakunya habis dan tidak diperpanjang;
b. dikenai sanksi berupa penghentian sementara kegiatan; atau
c. izin PBF dicabut.

Pasal 12 Pengakuan Cabang PBF dinyatakan tidak berlaku, apabila:


a. masa berlaku Izin PBF habis dan tidak diperpanjang;
b. dikenai sanksi berupa penghentian sementara kegiatan; atau
c. pengakuan dicabut.

Pasal 33 (1) Pelanggaran terhadap semua ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dapat dikenai
sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. peringatan;
b. penghentian sementara kegiatan;
c. pencabutan pengakuan; atau
d. pencabutan izin.
(3) Penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berlaku paling
lama 21 hari kerja dan harus dilaporkan kepada Direktur Jenderal.
-

Pasal 63 (1) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan Kepala Badan ini dapat dikenai
sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembatalan proses Registrasi;
c. pembekuan Izin Edar Obat;
d. pencabutan Izin Edar Obat; dan/atau
e. larangan untuk melakukan pendaftaran selama 2 (dua) tahun.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan/atau huruf e dapat
dikenai berdasarkan atau dalam hal:
a. tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4;
b. tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) huruf b; dan/atau
c. data tidak sahih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46.
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan/atau huruf d dapat
dikenai berdasarkan atau dalam hal:
a. tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) dan ayat (2);
b. izin Industri Farmasi Pemilik Izin Edar dicabut; dan/atau
c. Pemilik Izin Edar melakukan pelanggaran di bidang produksi, distribusi, promosi, dan/atau
Label Obat.

Pasal 6 Pelanggaran terhadap ketentuan Pedoman Teknis CDOB dapat dikenai sanksi
administratif sebagai berikut:
1. Peringatan tertulis;
2. Penghentian sementara kegiatan; dan
3. Pencabutan Sertifikat CDOB.

Pasal 7
Pengenaan sanksi administratif berupa Pencabutan Sertifikat CDOB sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 angka 3 diberikan dalam hal:
a. terjadi penyimpangan penerapan CDOB yang mengakibatkan penyalahgunaan pendistribusian
obat dan/atau bahan obat; atau
b. PBF atau PBF Cabang dengan sengaja melakukan tindakan yang mengakibatkan tidak
terlaksananya penerapan CDOB.
KTUR & DISTRIBUSI

PKRT

uu 36'2009 tentang kesehatna

pp 72'1998 tentang
pengamanan sed farmasi dan
alkes
PP NO.51 TH 2009 TTG
PEKERJAAN
KEFARMASIAN
PMK No.26 Tahun 2018 TTG
PELAYANAN PERIZINAN
BERUSAHATERINTEGRASI
SECARA ELEKTRONIK SEKTOR
KESEHATAN

UU 36'2009 tentang kesehatna


pp 72'1998 tentang
pengamanan sed farmasi dan
alkes

PP 51 Tahun 2009 tentang


pekerja kefarmasian

PP 26’2018 TENTANG
PELAYANAN PERIZINAN
BERUSAHA TERINTEGRASI
SECARA ELEKTRONIK SEKTOR
KESEHATAN
PP 26’2018 TENTANG
PELAYANAN PERIZINAN
BERUSAHA TERINTEGRASI
SECARA ELEKTRONIK SEKTOR
KESEHATAN
pmk 26'2018
PMK No. 26 Tahun 2018
Tentang Pelayanan Perizinan
Berusaha Terintergritas Secara
Elektronik Sektor Kesehatan
PMK No. 62 Tahun 2017
Tentang Izin Edar Alkes, Alkes In
Vitro dan PKRT

PMK 1189 Tahun 2010


Tentang Produksi Alat
Kesehatan dan Perbekalan
Kesehatan Rumah Tangga
PMK No. 70 Tahun 2014
Tentang Perusahaan Rumah
Tangga Alat Kesehatan Dan
Perbekalan Kesehatan Rumah
Tangga

PMK No. 60 Tahun 2017


Tentang Pengawasan Tata Niaga
Impor Alkes, Alkes In Vitro dan
Perbekalan Kesehatan
UU No. 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan
PP No. 72 Tahun 1998 Tentang
Pengamanan Sediaan Farmasi
Dan Alat Kesehatan
PP nomor 51 Tahun 2009
Tentang pekerjaan
kefarmasian

PERPRES No. 54 Tahun 2010


Tentang PENGADAAN
BARANG/JASA PEMERINTAH
PERPRES No. 72 Tahun 2012
Tentang Sistem Kesehatan
Nasional

PMK No. 26 Tahun 2018


Tentang Pelayanan Perizinan
Berusaha Terintergritas Secara
Elektronik Sektor Kesehatan

PMK NO.62 thn 2017


PMK No. 70 Tahun 2014
Tentang Perusahaan Rumah
Tangga Alat Kesehatan Dan
Perbekalan Kesehatan Rumah
Tangga
PMK NO 20 Thn 2017

PMK No. 60 Tahun 2017


Tentang Pengawasan Tata Niaga
Impor Alkes, Alkes In Vitro dan
Perbekalan Kesehatan

PMK No. 76 Tahun 2013


Tentang Iklan Alat Kesehatan
dan Perbekalan Kesehatan
Rumah Tangga
pmk 62' 2017 tentang ijin edar
PMK 70 Thn 2014 Tentang
Perusahaan Rumah Tangga
Alat Kesehatan dan
Perbekalan kesehatan rumah
tangga

PMK 1189 Tahun 2010


Tentang perusahaan rumah
tangga alat kesehatan dan
Perbekalan kesehatan rumah
tangga

PMK 20 Tahun 2017 Tentang


Cara Pembuatan Alat
Kesehatan Dan Perbekalan
Kesehatan Rumah Tangga
Yang Baik

PMK 62 tahun 2017 Tentang


Tentang izin edar alat
kesehatan, alat kesehatan
diagnostic in vitro dan
perbekelan kesehatan
rumah tangga
UU No. 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan

-
PP No. 72 Tahun 1998 Tentang
Pengamanan Sediaan Farmasi
Dan Alat Kesehatan

-
PMK No. 26 Tahun 2018
Tentang Pelayanan Perizinan
Berusaha Terintergritas Secara
Elektronik Sektor Kesehatan
PMK No. 62 Tahun 2017
Tentang Izin Edar Alkes, Alkes In
Vitro dan PKRT

PMK No. 70 Tahun 2014


Tentang Perusahaan Rumah
Tangga Alat Kesehatan Dan
Perbekalan Kesehatan Rumah
Tangga

-
PMK No. 20 Tahun 2017
Tentang Cara Pembuatan Alat
Kesehatan Dan Perbekalan
Kesehatan Rumah Tangga Yang
Baik

PMK No. 60 Tahun 2017


Tentang Pengawasan Tata Niaga
Impor Alkes, Alkes In Vitro dan
Perbekalan Kesehatan

PMK No. 76 Tahun 2013


Tentang Iklan Alat Kesehatan
dan Perbekalan Kesehatan
Rumah Tangga

-
Penjelasan

Pasal 1
Perbekalan kesehatan adalah semua bahan dan peralatan yang diperlukan untuk
menyelenggarakan upaya kesehatan.

Pasal 22
Tenaga kesehatan harus memiliki kualifikasi minimum.
Pasal 23
Tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan.

Pasal 37
Pengelolaan perbekalan kesehatan yang berupa obat esensial dan alat kesehatan dasar tertentu
dilaksanakan dengan memperhatikan kemanfaatan, harga, dan faktor yang berkaitan dengan
pemerataan.

Pasal 59
Pembinaan dalam bidang sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf d
dilakukan dengan:
d. meningkatkan keterampilan teknis tenaga kesehatan dalam rangka pemberian pelayanan
kesehatan;
e. membentuk dan mengembangkan lembaga pendidikan dan/atau lembaga pelatihan di bidang
sediaan farmasi dan alat kesehatan;
f. menyediakan tenaga penyuluh atau ahli di bidang sediaan farmasi dan alat kesehatan.
Pasal 11
Standar prosedur & operasional harus di buat oleh Apoteker dengan kondisi dan perkembangan
zaman yg sesuai.
Standar Prosedur Operasional harus dibuat secara tertulis dan diperbaharui secara terus
menerus sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang farmasi dan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 37
Apoteker yang menjalankan Pekerjaan Kefarmasian harus memiliki sertifikat kompetensi profesi.
Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau Online Single Submission yang
selanjutnya disingkat OSS adalah Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh Lembaga OSS sesuai
ketentuan peraturan perundangundangan.

Pasal 1
Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga yang selanjutnya disingkat PKRT adalah alat, bahan, atau
campuran bahan untuk pemeliharaan dan perawatan untuk kesehatan manusia, yang ditujukan
untuk penggunaan di rumah tangga dan fasilitas umum.

Pasal 1
Cara Pembuatan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga yang Baik yang selanjutnya disebut
CPPKRTB adalah pedoman yang digunakan untuk sarana produksi PKRT dalam mengembangkan
sistem manajemen mutu dalam rangka menjamin produk yang dibuat aman, bermutu dan
bermanfaat.

-
-

Pasal 19
(1) PRT Alat Kesehatan dan PKRT diselenggarakan oleh Pelaku Usaha
perseorangan atau nonperseorangan.
(2) Pelaku Usaha nonperseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikecualikan untuk perseroan terbatas.
(3) Persyaratan untuk memperoleh Izin PRT Alat Kesehatan dan PKRT
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf n terdiri atas:
a. sertifikat pelatihan pelaksanan perusahaan rumah tangga yang baik bagi
pelaku usaha;
b. memiliki sarana bangunan dengan status milik sendiri, kontrak atau
sewa paling singkat 2 (dua) tahun;
c. memiliki prasarana yang memadai; dan
d. berita acara pemeriksaan.
Pasal 24
(1) Sertifikat Produksi Alat Kesehatan dan PKRT diselenggarakan oleh
Pelaku Usaha nonperseorangan.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bagi
pemohon Sertifikat Produksi Alat Kesehatan dan PKRT milik Tentara
Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(3) Persyaratan untuk memperoleh Sertifikat Produksi Alat Kesehatan dan
PKRT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf r terdiri atas:
a. berita acara pemeriksaan;
b. penanggung jawab teknis;
c. pernyataan Komitmen menerapkan prinsip CPAKB/CPPKRTB;
d. laporan akhir rencana induk pembangunan/master plan dan rencana
produksi;
e. laporan produksi Alat Kesehatan atau PKRT secara elektronik (untuk
perubahan, perpanjangan dan perpanjangan dengan perubahan); dan
f. Sertifikat CPAKB/Sertifikat CPPKRTB (untuk perpanjangan dan
perpanjangan dengan perubahan).
KETENTUAN UMUM : 67. Cara Pembuatan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga yang Baik yang
selanjutnya disebut CPPKRTB adalah pedoman yang digunakan untuk sarana produksi PKRT
dalam mengembangkan sistem manajemen mutu dalam rangka menjamin produk yang dibuat
aman, bermutu dan bermanfaat.
68. Sertifikat Cara Pembuatan Alat Kesehatan yang Baik atau Sertifikat Cara Pembuatan PKRT
yang Baik yang selanjutnya disebut Sertifikat CPAKB/Sertifikat CPPKRTB adalah sertifikat yang
diberikan kepada produsen yang telah diaudit dan memenuhi kesesuaian aspek CPAKB/
CPPKRTB.
Persyaratan untuk memperoleh Izin PRT Alat Kesehatan dan PKRT sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) huruf n terdiri atas: a. sertifikat pelatihan pelaksanan perusahaan rumah tangga
yang baik bagi pelaku usaha; b. memiliki sarana bangunan dengan status milik sendiri, kontrak
atau sewa paling singkat 2 (dua) tahun; c. memiliki prasarana yang memadai; dan d. berita acara
pemeriksaan.
Sertifikat Produksi Alat Kesehatan dan PKRT Persyaratan untuk memperoleh Sertifikat Produksi
Alat Kesehatan dan PKRT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf r terdiri atas: a.
berita acara pemeriksaan; b. penanggung jawab teknis; c. pernyataan Komitmen menerapkan
prinsip CPAKB/CPPKRTB; d. laporan akhir rencana induk pembangunan/master plan dan rencana
produksi; e. laporan produksi Alat Kesehatan atau PKRT secara elektronik (untuk perubahan,
perpanjangan dan perpanjangan dengan perubahan); dan f. Sertifikat CPAKB/Sertifikat CPPKRTB
(untuk perpanjangan dan perpanjangan dengan perubahan).
Sertifikasi CPPKRTB Persyaratan untuk memperoleh Sertifikasi CPPKRTB sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1) huruf u terdiri atas: a. Sertifikat Produksi PKRT; b. data izin edar PKRT; c.
pedoman mutu; d. audit internal; e. kajian manajemen; dan f. prosedur dan rekaman mutu.
Pasal 22: Persyaratan untuk memperoleh IzinEdar PKRT :
a. Sertifikat Produksi PKRT yang berlakuefektif;
b. dokumen quality management system (ISO 9001, GMP);
c. pernyataan bersedia melepaskan hak sebagai pemegang izin edar apabila tidak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. persyaratan teknis terdiri atas informasi produk, material, formulasi, uraianproduk, deskripsi,
dan fitur produk, standa rdan proses produksi;
e. persyaratan spesifikasi dan jaminan mutu terdiri atas spesifikasi bahan baku dan Material
Safety Data Sheet (MSDS), Spesifikasi kemasan, hasil pengujian laboratorium (Certificate of
Analysis (CoA), uji stabilitas);
f. persyaratan khusus terdiri atas izin dari kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pertanian sebagai pestisida rumah tangga;
g. persyaratan penandaan terdiri atas contoh dan penjelasan penandaan, serta petunjuk
penggunaan, peringatan, perhatian, dan keterangan lain; dani. data pendukung klaim.
Sertifikasi CPPKRTB Pasal 27 :
(1) Sertifikasi CPPKRTB diajukanolehindustri PKRT.
(2) PersyaratanuntukmemperolehSertifikasi CPPKRTB sebagaimanadimaksuddalamPasal 3 ayat
(1) huruf u terdiriatas:
a. SertifikatProduksi PKRT;
b. data izinedar PKRT;
c. pedomanmutu;
d. audit internal;
e. kajianmanajemen
f. prosedurdanrekamanmutu.
Pendaftaran Penyelenggara Sistem Elektronik Farmasi Pasal 29 :
(1) PSEF diselenggarakanolehPelaku Usaha non perseoranganberbadanhukum.
(2) PersyaratanuntukmemperolehPendaftaran PSEF sebagaimanadimaksuddalamPasal 3 ayat (1)
huruf w terdiriatas:
a. STRA;
b. suratizinpraktikapoteker;
c. dokumen proses bisnisaplikasi E-Farmasi;
d. perangkatuntukakses data ketersediaansediaanfarmasi, AlatKesehatan, dan BMHP
dengandisertaipetunjukmanualnya;
e. data IndustriFarmasi, PBF dan/atauApotek yang bekerjasamadengan PSEF.
Pasal 6 : Alat Kesehatan, Alat Kesehatan Diagnostik In Vitro dan PKRT yang diberikan Izin Edar
harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. mutu, sesuai dengan cara pembuatan yang baik;
b. keamanan dan kemanfaatan yang dibuktikan dengan hasil uji klinik dan/atau bukti lain yang
diperlukan;
c. takaran tidak melebihi batas kadar yang telah ditentukan sesuai dengan standar, persyaratan dan
ketentuan yang berlaku; dan
d. tidak menggunakan bahan yang dilarang sesuai dengan standar, persyaratan dan ketentuan yang
berlaku. Pasal 9 : Permohonan Izin Edar Alat Kesehatan, Alat Kesehatan Diagnostik In
Vitro, dan PKRT dalam negeri diajukan oleh:
a. Produsen;
b. Produsen yang memberi Makloon;
c. Produsen yang melakukan Perakitan;
d. PAK Pemilik Produk yang memiliki surat perjanjian kerja sama dengan Produsen; atau
e. Produsen yang memproduksi Alat Kesehatan, Alat Kesehatan Diagnostik In Vitro dan PKRT
yang melakukan OEM. Pasal 17: Permohonan Izin Edar Alat Kesehatan, Alat Kesehatan
Diagnostik In Vitro dan PKRT, terdiri atas: a. permohonan baru; Pasal 18-22 : pemohon izin
edar baru mendaftar secara online, melengkapi persyarata administrasi dan teknis. Dirjen
melakukan verivikasi data dalam jangka waktu untuk PKRT produk dalam negeri kelas 1 paling
lama 10 (sepuluh) hari, kelas 2 paling lama 20 (dua puluh) hari, dan kelas 3 paling lama 30 (tiga
puluh) hari. Untuk PKRT impor kelas 1 paling lama 15 (lima belas) hari, kelas 2 paling lama 30
(tiga puluh) hari, dan kelas 3 paling lama 45 (empat puluh lima) hari. Bila hasil penilaian dan
verivikasi memenuhi syarat administrasi dan teknis, DirJen menerbitkan izin edar. Izin edar
berupa elektronik tidak memerlukan cap dan tanda tangan basah. Izin edar berlaku 5 tahun.
b. permohonan perpanjangan; Pasal 26-29 : pemilik izin edar melalkukan pelaporan produksi
secara elektronik sebelum memperpanjang izin, pengajuan ijin paling cepat 9 bulan sebelum habis
masa berlaku izin, dilakuakan peninjauan ulang selama 7 hari, bila masa berlaku habis dan belum
mendapat persetjuan PKRT dilarang diedarkan. Bila dinyatakan lengkap dan telah memenuhi
syarat
Pasal administrasi danproduksi
23 : Sertifikat teknis paling
PKRT lama 10 hari DitJrn mengeluarkan
diklasifikasikan izin kelas
menjadi 3 (tiga) edar. meliputi:
a. Sertifikat Produksi PKRT Kelas A, yaitu sertifikat yang diberikan kepada pabrik yang
telah menerapkan Cara Pembuatan PKRT yang Baik secara keseluruhan sehingga
diizinkan untuk memproduksi PKRT kelas I, kelas II, dan kelas III; penanggung jawab
apoteker atau sarjana lain yang sesuai. Wajib memiliki labolatorium.
b. Sertifikat Produksi PKRT Kelas B, yaitu sertifikat yang diberikan kepada pabrik yang
telah layak memproduksi PKRT kelas I dan kelas II, sesuai ketentuan Cara Pembuatan
PKRT yang Baik; penananggung jawab min D3 farmasi, kimia, teknik yang sesuai.
memiliki laboratorium atau bekerjasama dengan laboratorium terakreditasi atau diakui.
c. Sertifikat Produksi PKRT Kelas C, yaitu sertifikat yang diberikan kepada pabrik yang
telah layak memproduksi PKRT kelas I dan kelas II tertentu, sesuai ketentuan Cara
Pembuatan PKRT yang Baik. Penanggung jawab SMK Farmasi atau sederajat. menguji
produknya ke laboratorium terakreditasi atau diakui. Pasal 24 : (1) Permohonan sertifikat
produksi hanya dapat dilakukan oleh badan usaha. (2) Badan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis.
(3) Persyaratan administratif dan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan oleh Direktur Jenderal. Pasal 27 : Tata cara mendapatkan Sertifikat
Produksi Alat Kesehatan dan/atau PKRT sebagai berikut: 1. Perusahaan pemohon
harus mengajukan permohonan tertulis kepada Menteri melalui kepala dinas kesehatan
provinsi setempat, dengan menggunakan contoh Formulir 1 sebagaimana terlampir; 2.
Kepala dinas kesehatan provinsi selambat-lambatnya 12 (dua belas) hari kerja sejak
menerima tembusan permohonan, berkoordinasi dengan kepala dinas kesehatan
kabupaten/kota membentuk tim pemeriksaan bersama untuk melakukan pemeriksaan
setempat; 3. Tim pemeriksaan bersama, jika diperlukan, dapat melibatkan tenaga
Pasal 3 : (1) Setiap Perusahaan Rumah Tangga wajib memiliki Sertifikat Perusahaan
Rumah Tangga dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. (2) Sertifikat Perusahaan Rumah
Tangga sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) hanya dapat diberikan kepada Perusahaan Rumah Tangga yang telah
mendapatkan penyuluhan dari petugas kesehatan yang berwenang di
dinas kesehatan provinsi yang dibuktikan dengan surat
keterangan/rekomendasi.
(3) Sertifikat Perusahaan Rumah Tangga sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berlaku sebagai izin edar untuk setiap produk yang diedarkan di
wilayah provinsi tempat dinas kesehatan kabupaten/kota pemberi izin.
(4) Dalam hal produk diedarkan di luar wilayah provinsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), harus memiliki izin edar sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 4 : berlaku 5 (lima) tahun Pasal 5 : Untuk
memperoleh Sertifikat Perusahaan Rumah Tangga, pemohon harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. berbentuk badan usaha atau perseorangan yang
termasuk usaha mikro
yang telah memperoleh izin usaha sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
b. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
c. memiliki sarana bangunan dengan status milik sendiri, kontrak atau
sewa paling singkat 2 (dua) tahun; dan
d. memiliki prasarana yang memadai.
Pasal 6 : (1) Untuk memperoleh Sertifikat Perusahaan Rumah Tangga, Pemohon
harus mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum
dalam Formulir 1 terlampir.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan dengan
melampirkan kelengkapan sebagai berikut:
a. fotokopi izin usaha; b. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak;
c. peta lokasi dan denah bangunan;
d. daftar peralatan produksi;
e. daftar Alat Kesehatan dan/atau PKRT yang akan diproduksi; dan
f. surat keterangan/rekomendasi hasil penyuluhan dari petugas
kesehatan yang berwenang di dinas kesehatan provinsi.
(3) Paling lama 6 (enam) hari kerja sejak menerima permohonan
(4) Paling lama 12 (dua belas) hari kerja sejak menerima tugas
(5) Paling lama 12 (dua belas) hari kerja sejak menerima laporan
(6) Dalam hal jawaban berupa penundaan permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), pemohon harus melengkapi persyaratan untuk
dapat dikeluarkan sertifikat.

Pasal 2 : (1) Setiap Alat Kesehatan, Alat Kesehatan Diagnostik In Vitro dan PKRT yang diimpor
kedalam wilayah Republik Indonesia harus memiliki izin edar.
(2) Dikecualikan dari ketentuan izin edar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
AlatKesehatan dan Alat Kesehatan Diagnostik In Vitro yang sangat dibutuhkan ke dalam wilayah
Indonesia melalui Mekanisme JalurKhusus (Special Access Scheme) sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 3 :
(1) Impor Alat Kesehatan, Alat Kesehatan DiagnostikIn Vitro dan PKRT harus dilakukan oleh
perusahaan yang memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturanperundang-undangan.
(2) Perusahaan sebagaimanadimaksudpadaayat (1) yang mengimpor Alat Kesehatan dan Alat
Kesehatan Diagnostik In Vitro dilakukan oleh PAK sebagai pemilik izin edar.
(3) Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengimpor produk PKRT dilakukan
oleh Importir sebagai pemilik izin edar.
Pasal 21
(1) Pemerintah mengatur perencanaan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan
pengawasan mutu tenaga kesehatan dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan.
(2) Ketentuan mengenai perencanaan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan
pengawasan mutu tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

Pasal 98
(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman, berkhasiat/bermanfaat, bermutu, dan
terjangkau.
(2) Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang mengadakan,
menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat.
(3) Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi, pengedaran sediaan
farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi standar mutu
pelayanan farmasi yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
(4) Pemerintah berkewajiban membina, mengatur, mengendalikan, dan mengawasi pengadaan,
penyimpanan, promosi, dan pengedaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
-
Fasikitas distribusi sediaan farmasi→

Setiap fasilitas distribusi sediaan farmasi →ada apoteker sebagai penanggung jawab

Dibantu oleh Apoteker Pendamping dan/atau TTK

Pekerjaan Kefarmasian dalam fasilitas Distribusi→memenuhi ketentuan CDK ditetapkan oleh


Menteri

Tenaga Kefarmasian melaksanakan pekerjaan kefarmasian→Pada fasilitas Distribusi Sediaan


Farmasi→melalui PBF, Instalasi Sediaan Farmasi milik Pemerintah, Pemda provinsi, dan Pemda
kabupaten/kota

Pasal 26 (3) Prosedur Swakelola meliputi kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,


penyerahan, pelaporan dan pertanggungjawaban pekerjaan.

Pasal 28 (1) Kegiatan perencanaan Swakelola meliputi:


a. penetapan sasaran, rencana kegiatan dan jadwal pelaksanaan;
b. penyusunan jadwal pelaksanaan dengan mempertimbangkan waktu yang cukup bagi
pelaksanaan pekerjaan/kegiatan;
c. perencanaan teknis dan penyiapan metode pelaksanaan yang tepat agar diperoleh rencana
keperluan tenaga, bahan dan peralatan yang sesuai;
d. penyusunan rencana keperluan tenaga, bahan dan peralatan secara rinci serta dijabarkan dalam
rencana kerja bulanan, rencana kerja mingguan dan/atau rencana kerja harian; dan
e. penyusunan rencana total biaya secara rinci dalam rencana biaya bulanan dan/atau biaya
mingguan yang tidak melampaui Pagu Anggaran yang telah ditetapkan dalam dokumen anggaran.
(2) Perencanaan kegiatan Swakelola dapat dilakukan dengan memperhitungkan tenaga
ahli/peralatan/bahan tertentu yang dilaksanakan dengan Kontrak/Sewa tersendiri.
(3) Kegiatan perencanaan Swakelola dimuat dalam KAK.
(4) Perencanaan kegiatan Swakelola yang diusulkan dan dilaksanakan oleh Kelompok
Masyarakat Pelaksana Swakelola, ditetapkan oleh PPK setelah melalui proses evaluasi.
(5) Penyusunan jadwal kegiatan Swakelola dilakukan dengan mengalokasikan waktu untuk proses
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, penyerahan dan pelaporan pekerjaan.
(6) PA/KPA bertanggung jawab terhadap penetapan Kelompok Masyarakat Pelaksana Swakelola
termasuk sasaran, tujuan dan besaran anggaran Swakelola.
(7) PA/KPA dapat mengusulkan standar biaya untuk honorarium pelaksana Swakelola kepada
Menteri Keuangan/Kepala Daerah.
(8) Swakelola dapat di laksanakan melebihi 1 (satu) Tahun Anggaran.

Pasal 33 Persiapan Pengadaan


Persiapan pemilihan Penyedia Barang/Jasa terdiri atas kegiatan:
a. perencanaan pemilihan Penyedia Barang/Jasa;
b. pemilihan sistem pengadaan;
c. penetapan metode penilaian kualifikasi;
d. penyusunan jadwal pemilihan Penyedia Barang/Jasa;
e. penyusunan Dokumen Pengadaan Barang/Jasa; dan
f. penetapan HPS.
Pasal 5
SKN menjadi acuan dalam penyusunan dan pelaksanaan pembangunan kesehatan yang dimulai
dari kegiatan perencanaan sampai dengan kegiatan monitoring dan evaluasi.

Pasal 51
(1) Pelaku Usaha yang telah mendapatkan Izin Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
dapat melakukan kegiatan:
a. pengadaan tanah;
b. perubahan luas lahan;
c. pembangunan bangunan gedung dan pengoperasiannya;
d. pengadaan peralatan atau sarana;
e. pengadaan sumber daya manusia;
f. penyelesaian sertifikasi atau kelaikan;
g. pelaksanaan uji coba produksi (commisioning); dan/atau
h. pelaksanaan produksi.

BABIII pasal 39 : Penandaan dan informasi Alat Kesehatan, Alat Kesehatan Diagnostik In
Vitro dan PKRT dilaksanakan untuk melindungi masyarakat dari informasi yang tidak obyektif,
tidak lengkap serta menyesatkan. BABIII pasal 41 : Dalam hal Alat Kesehatan, Alat Kesehatan
Diagnostik In Vitro dan PKRT terdapat keterangan netto, komposisi dan kadar bahan aktif, kontra
indikasi, perhatian dan tanda peringatan atau KTD/efek samping, harus dicantumkan dalam
penandaan dan informasi. Keterangan sebagaimana dimaksud untuk PKRT paling sedikit
memuat:
a. nama dagang/merek;
b. nomor Izin Edar;
c. jenis dan varian produk;
d. berat bersih atau isi bersih;
e. nama dan alamat Produsen/Pabrikan yang memproduksi dan/atau;
f. nama dan alamat Importir PKRT;
g. daftar bahan aktif yang digunakan beserta persentase;
h. tanggal kedaluwarsa untuk produk yang memiliki batas kedaluwarsa;
i. kode Produksi;
j. kegunaan;
k. petunjuk penggunaan/penyiapan; dan
l. perhatian dan peringatan.
BAB IV pasal 42 : Dalam rangka pelaksanaan upaya pemeliharaan mutu Alat Kesehatan, Alat
Kesehatan Diagnostik In Vitro dan/atau PKRT, Direktur Jenderal menetapkan:
a. persyaratan pemeliharaan mutu Alat Kesehatan, Alat Kesehatan Diagnostik In Vitro dan/atau
PKRT.
b. pembinaan dan pengawasan pemeliharaan mutu Alat Kesehatan, Alat Kesehatan Diagnostik In
Vitro dan/atau PKRT.
BAB IX pasal 52 : Pembinaan :
a. memenuhi jumlah dan jenis kebutuhan masyarakat akan Alat Kesehatan, Alat Kesehatan
Diagnostik In Vitro dan PKRT;
b. melindungi masyarakat dari bahaya penggunaan yang salah dan penyalahgunaan dari Alat
Kesehatan, Alat Kesehatan Diagnostik In Vitro dan PKRT;
c. melindungi masyarakat dari bahaya Alat Kesehatan, Alat Kesehatan Diagnostik In Vitro dan
PKRT yang tidak memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan kemanfaatan; dan
d. menjamin terpenuhinya atau terpeliharanya persyaratan keamanan, mutu, dan kemanfaatan
Alat Kesehatan, Alat Kesehatan Diagnostik In Vitro dan PKRT yang diedarkan.
(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam bidang:
a. pemenuhan persyaratan Izin Edar;
b. sumber daya manusia;
c. informasi produk; dan
d. periklanan
CPAKB dan CPPKRTB aspek: a. sistem manajemen mutu; perusahaan harus mempunyai
sertifikat produksi yang masih berlaku sesuai dengan kategori PKRT yang diproduksi.
Persyaratan umum perusahaan harus :
- mengidentifikasi dan menetapkan proses yang dibutuhkan untuk CPPKRTB
- menentukan urutan san interaksi dari proses diatas
- menentukan criteria dan metode yang dibutuhkan untuk menjamin efektivitas implementasi dan
kendali dari proses
-menjamin ketersediaan sumberdaya dan informasi yang dibutuhkan untuk mendukung
pelaksanaan dan pemantauan proses ini
- memantau, mengukur, dan menganalisa proses ini
- mengimplementasikan tindakan yang dibutuhkan untuk mencapai hasil yang direncanakan dan
mempertahankan keefektifan proses ini
-menentukan bagian-bagian atau fungsi-fungsi pada perusahaan yang memiliki tugas dan
tanggung jawab yang ditetapkan secara jelas dan tegas
b. tanggung jawab manajemen;
c. pengelolaan sumber daya;
d. realisasi produk; dan
e. pengukuran, analisis dan perbaikan.

-
Alat Kesehatan, Alat Kesehatan Diagnostik In Vitro dan PKRT yang diberikan Izin Edar harus
memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. mutu, sesuai dengan cara pembuatan yang baik;
b. keamanan dan kemanfaatan yang dibuktikan dengan hasil uji klinik dan/atau bukti lain yang
diperlukan;
c. takaran tidak melebihi batas kadar yang telah ditentukan sesuai dengan standar, persyaratan
dan ketentuan yang berlaku; dan
d. tidak menggunakan bahan yang dilarang sesuai dengan standar, persyaratan dan ketentuan
yang berlaku.

pasal 41 (4) Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk PKRT paling sedikit memuat:
a. nama dagang/merek;
b. nomor Izin Edar;
c. jenis dan varian produk;
d. berat bersih atau isi bersih;
e. nama dan alamat Produsen/Pabrikan yang memproduksi dan/atau;
f. nama dan alamat Importir PKRT;
g. daftar bahan aktif yang digunakan beserta persentase;
h. tanggal kedaluwarsa untuk produk yang memiliki batas kedaluwarsa;
i. kode Produksi;
j. kegunaan;
k. petunjuk penggunaan/penyiapan; dan
l. perhatian dan peringatan.

Pasal 58
(1) Alat Kesehatan, Alat Kesehatan Diagnostik In Vitro dan PKRT yang tidak memenuhi
persyaratan dan/atau dicabut Izin Edarnya dilakukan penarikan dari peredaran.
(2) Penarikan Alat Kesehatan, Alat Kesehatan Diagnostik In Vitro dan PKRT dari peredaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab
perusahaan yang memproduksi dan/atau menyalurkan Alat Kesehatan, Alat Kesehatan
Diagnostik In Vitro dan PKRT.
Pasal 13 :(1) setiap perusahaan rumah tangga harus melakukan pencatatan atas aktifitas produksi
dan penyaluran/peredaran. (2) dokumen pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
disimpan paling cepat 5 (lima) tahun.
(3) apabila diminta sewaktu-waktu untuk kepentingan pemeriksaan, perusahaan rumah tangga
harus dapat menunjukkan dokumen pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pelaporan : Pasal 43 : (1) Perusahaan Yang Memproduksi, Mengemas Kembali, Merakit,


Merekondisi/Remanufakturing Harus Melaporkan Hasil Produksinya Minimal Setiap 1 (Satu)
Tahun Sekali Kepada Direktur Jenderal Dengan Tembusan Kepada Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi Dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota Setempat Dengan Menggunakan Contoh
Formulir 14 Sebagaimana Terlampir.

Tanggung jawab dan persyaratan untuk perencanaan dan pelaksanaan audit, dan hasil
laporan dan rekaman yang dipelihara harus didefinisikan dalam prosedur wajib.

(1) Setiap pemilik Izin Edar harus menyampaikan laporan meliputi laporan Produksi atau
laporan penyaluran kepada Direktur Jenderal melalui e-report Alat Kesehatan dan PKRT.
(2) pemilik Izin Edar harus menyampaikan Laporan KTD jika terjadi kejadian tidak
diinginkan melalui e-watch Alat Kesehatan dan PKRT.
Pasal 106 Mencabut izin edar dan memerintahkan penarikan dari peredaran sediaan farmasi dan
alat kesehatan yang telah memperoleh izin edar, yang kemudian terbukti tidak memenuhi
persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau kemanfaatan, dapat disita dan dimusnahkan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

Pasal 188 Tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan
berupa:
a. peringatan secara tertulis;
b. pencabutan izin sementara atau izin tetap.

Pasal 196 Dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat
kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau
kemanfaatan, dan mutu dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 197 Dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat
kesehatan yang tidak memiliki izin edar dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

Pasal 71 Jika hasil pemeriksaan oleh tenaga pengawas menunjukkan adanya dugaan pelanggaran
hukum di bidang sediaan farmasi dan alat kesehatan segera dilakukan penyidikan oleh penyidik
yang berwenang
Pasal 74 Dengan sengaja memproduksi dan/atau mengedarkan sediaan farmasi berupa obat
atau bahan obat yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama
15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah)

Pasal 75 Dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi dan alat kesehatan tanpa izin edar 7
(tujuh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.140.000.000,- (seratus empat puluh juta
rupiah)

Pasal 77 Dengan sengaja mengedarkan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak
mencantumkan penandaan dan informasi dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah)

Pasal 78 Berdasarkan ketentuan Pasal 83 ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
74, Pasal 75, Pasal 76 dan Pasal 77, ditambah seperempat apabila menimbulkan luka berat atau
sepertiga apabila menimbulkan kematian.

Pasal 79 Dengan sengaja:


a. Memproduksi sediaan farmasi dan alat kesehatan tanpa menerapkan cara produksi yang baik
b. Melakukan pengangkutan sediaan farmasi dan alat kesehatan dalam rangka peredaran tanpa
disertai dengan dokumen pengangkutan
c. Memasukkan sediaan farmasi ke dalam wilayah Indonesia tanpa dilengkapi dengan dokumen
yang menyatakan bahwa sediaan farmasi dan alat kesehatan yang bersangkutan telah lulus
dalam pengujian laboratorium
d. Mengedarkan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang mengalami kerusakan kemasan yang
langsung bersentuhan dengan produksi sediaan farmasi dan alat kesehatan
e. Mengiklankan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang penyerahannya dilakukan berdasarkan
resep dokter pada media cetak
Dipidana dengan denda sebesar Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)

-
Pasal 88 ayat 4 Dalam hal hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditemukan
ketidaksesuaian atau penyimpangan, Menteri, gubernur, dan/atau bupati/wali kota mengambil
tindakan.

Pasal 88 ayat 5 Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa:
a. peringatan;
b. notifikasi pembatalan perizinan berusaha;
c. penghentian sementara kegiatan berusaha;
d. pengenaan denda administratif; dan/atau
e. pencabutan Perizinan Berusaha.
Pasal 63 Sanksi administratif : a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara kegiatan; dan c.
pencabutan Izin Edar.
Pencabutan Izin Edar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan apabila: a. Alat
Kesehatan, Alat Kesehatan Diagnostik In Vitro dan PKRT menimbulkan akibat yang dapat
membahayakan bagi kesehatan; b. tidak memenuhi kriteria sesuai dengan data yang diajukan
pada saat permohonan pendaftaran Izin Edar; c. Sertifikat Produksi dicabut; d. izin PAK dicabut;
atau e. pemutusan penunjukan sebagai Agen Tunggal/Distributor Tunggal/Distributor Eksklusif
dan/atau pemberian kuasa.

-
-

Pasal 11 Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:


a. peringatan;
b. penghentian sementara kegiatan; atau
c. pencabutan izin.

Pasal 16 Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:


a. teguran tertulis;
b. pencabutan persetujuan iklan; dan/atau
c. pencabutan izin edar.

-
Nama Kelompok

Yesicha Prasetianingtyas (1843700308)


Siska Nurul Fitriani (1843700312)
Dameria (1843700314)
Yessica (1843700320)
Achmad Hubairi (1843700322)
Raudatul Jannah (1843700395)
Katrin (1843700411)

Anda mungkin juga menyukai