Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN PROTESTAN

Dosen Pengampu : Pdt. Selfi Sihombing, S.Th., M.Si

OLEH :

Nama : Arif Kurniawan Siahaan (4193111015)


Agnes Yemima Simanjuntak (4193111046)
Agnes Yulitya ( 4193111079 )
Marince (4193111065)
Maria Nadia Sirait (4193111078)
Sartika Rismaya Manihuruk (4193111076 )
Yunita Maranata Tindaon ( 4193111071 )

Prodi : Pendidikan Matematika 2019

JURUSAN MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2021
KATA PENGANTAR

Seiring dengan kemajuan jaman, tradisi dan kebudayaan daerah yang pada
awalnya dipegang teguh, dipelihara dan dijaga keberadaannya oleh setiap suku, kini
sudah hampir punah. Pada umumnya masyarakat merasa gengsi dan malu apabila masih
mempertahankan dan menggunakan budaya lokal atau budaya daerah. Kebanyakan
masyarakat memilih untuk menampilkan dan menggunakan kesenian dan budaya
modern daripada budaya yang berasal dari daerahnya sendiri yang sesungguhnya justru
budaya daerah atau budaya lokallah yang sesuai dengan kepibadian bangsanya. Mereka
lebih memilih dan berpindah ke budaya asing yang belum tentu sesuai dengan
kepribadian bangsa bahkan masyarakat lebih merasa bangga terhadap budaya asing
daripada budaya yang berasal daridaerahnya sendiri. Tanpa mereka sadari bahwa
budaya daerah merupakan faktor utama terbentuknya kebudayaan nasional dan
kebudayaan daerah yang mereka miliki merupakan sebuah kekayaan bangsa yang
bernilai tinggi yang perlu dijaga kelestarian dan keberadaannya oleh setiap individu di
masyarakat. Padaumumnya mereka tidak menyadari bahwa sesungguhnya kebudayaan
merupakan jati diri bangsa yang mencerminkan segala aspek kehidupan yang berada
didalamnya. Besar harapan kami dengan dibuatnya makalah yang berjudul Budaya ini
menjadi salah satu sarana agar masyarakat menyadari betapa berharganya sebuah
kebudayaan bagi suatu bangs, yang akhirnya akan membuat masyarakat menjadi merasa
bangga terhadap budaya daerahnya sendiri.

Medan, 1 Maret
2021

Kelompok 1
KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii

DAFTAR ISI...........................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................4

1.1 Latar Belakang...............................................................................................................4


1.2 Tujuan Makalah.............................................................................................................6

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................3

2.1 Kebudayaan sebagai Pola Hidup....................................................................................7


2.2 Kebudayaan Batak Toba................................................................................................7
2.3 Kematian dan Pemakaman Orang Mati Menurut Adat Dalihan Na Tolu......................9
2.4 Sebuah Kajian Terhadap Peranan Adat Batak Dan Iman Kristen..................................12
2.5 Kontroversi Upacara Adat dan Pemakaman Orang Mati...............................................13

BAB III PENUTUP..................................................................................................................15

3.1 Kesimpulan.....................................................................................................................15
3.2 Saran...............................................................................................................................15
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Keanekaragaman suku dan budaya adalah salah satu karakteristik bangsa
Indonesia. Indonesia merupakan negara kepulauan (terdiri atas 1700 pulau) yang
didiami oleh beragam suku, seperti suku Sunda, Jawa, Minang, Asmat, Dayak,
Bugis, dll. Suku-suku tersebut memiliki agama dan kebudayaan yang berbeda satu
dengan yang lainnya. Suku Batak adalah salah satu suku bangsa Indonesia, yang
terdiri dari 6 sub suku yaitu Toba, Karo, Simalungun, Pakpak, Angkola dan
Mandailing.
Suku Batak Toba sebagai salah satu suku di Indonesia, mengagungkan
kesadaran dan kebanggaan akan budaya Batak Toba. Maka penggalian,
pemeliharaan dan pengembangan budaya Batak Toba sangat mutlak diperlukan
untuk tetap menjadi salah satu akar kuat dari pohon besar budaya nasional. Dalam
budaya Batak Toba yang dimaksud dengan kebudayaan adalah ‘Ugari’. Terdapat
pepatah yang dipegang teguh masyarakat Batak Toba, yaitu : Adat do ugari,
Sinihathon ni Mulajadi. Siradotan manipat ari, Silaon di siulubalang ari.
(Maksudnya : Adat itu yang diilhamkan oleh Tuhan pencipta alam untuk dipelihara
selama hidup), sehingga masyarakat Batak Toba sangat memegang teguh adat-
istiadatnya. (Tambunan, 1982)
Identitas budaya Batak Toba yang tidak dimiliki oleh suku lain di Indonesia
ialah pembagian masyarakat atas 3 golongan fungsional yang disebut dengan
Dalihan Na Tolu, yaitu dasar kehidupan bagi seluruh warga masyarakat Batak Toba
yang terdiri dari tiga unsur atau kerangka yang merupakan kesatuan yang tidak
terpisah, yakni : hula hula, yaitu keluarga marga pihak istri sehingga disebut somba
marhula-hula yang berarti harus hormat kepada keluarga pihak istri agar
memperoleh keselamatan dan kesejahteraan. Kedua, dongan tubu, yaitu saudara
semarga sehingga disebut manat mardongan tubu, artinya menjaga persaudaraan
agar terhindar dari perseteruan. Ketiga, boru, yaitu saudara perempuan dan pihak
marga suaminya, keluarga perempuan pihak ayah. Sehingga dalam kehidupan
sehari-hari disebut elek marboru artinya agar selalu saling mengasihi supaya
mendapat berkat. Ketiganya bergerak dan saling berhubungan selaras, seimbang dan
teguh oleh adanya marga dan prinsip marga.
Menurut keyakinan masyarakat Batak, keberadaan Dalihan Na Tolu merupakan
persatu-paduan kebudayaan kerohanian dan kemasyarakatan yang meliputi
kehidupan, keagamaan, kesusilaan, hukum, kemasyarakatan, dan kekerabatan. Juga
berfungsi sebagai hukum dasar musyawarah dan mufakat (demokrasi) masyarakat
batak serta hukum adat masyarakat Batak yang wajib dipatuhi. Masyarakat Batak
percaya bahwa tata cara hidup telah diatur sejak semula oleh leluhur dan nenek
moyang yang diilhami oleh Tuhan pencipta alam semesta (Debata Mulajadi
Nabolon). Hidup dan perbuatan yang bersumber dari adat, berdasarkan adat dan
dijiwai oleh adat, akan dapat memelihara keserasian, keselarasan serta
keseimbangan kehidupan bermasyarakat dan membawa kesejahteraan bersama
untuk mendapatkan : banyak keturunan (hagabeon), kekayaan (hamoraon) dan
kemuliaan (hasangapon).
Kehidupan adat dan keagamaan pada masyarakat Batak Toba saat ini sudah
tidak dapat dipisahkan lagi, karena upacara keagamaan khususnya Kristen sudah
menjadi suatu bagian penting dari upacara adat. Hal ini dikarenakan seorang
missionaris asal Jerman yang bernama Pdt. Dr. Ingwer Ludwig Nommensen
menjalani hidupnya di tanah Batak selama 57 tahun. Kedatangan Nommensen telah
membawa perubahan paradigma sosioreligius bagi masyarakat Batak. Habatakon
(hal-hal yang sangat berkaitan dengan kebudayaan Batak tradisional dengan
melibatkan pemanggilan arwah) yang selama ini menjadi paradigma sosioreligius
bagi masyarakat Batak dengan tatanan adatnya yang kuat, mengikat, mengatur, dan
mempersatukan. Nommensen membawa Hakristenon (ajaran Kristen) sebagai
paradigma baru dengan nilai-nilai Injil yaitu cinta kasih, pendidikan, serta
mengajarkan kebersihan, kesehatan dan tentu saja kemajuan. Oleh karena itu dalam
makalah ini kelompok kami akan membahas mengenai hubungan agama dengan
budaya batak toba
1.2 TUJUAN

Adapun tujuan dari makalah ini yaitu :

1.Mengetahui maksud dan tujuan pelaksanaan adat pemakaman orang mati salam
masyarakat batak

2. Mengetahui klasifikasi tingkatan sosial dari orang yang sudah meninggal menurut
dalihan na tolu.

3. Mengetahui tujuan dari kajian terhadap peranan adat Batak dan iman Kristen
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kebudayaan sebagai Pola Hidup

Kebudayaan adalah pola hidup manusia dalam kelompok yang dihayati


dan diamalkan dalam hubungan dengan sesama anggota kelompok atau sebuah
komunitas. Kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu “budaya”. Budaya
adalah bentuk jamak dari kata “budi” yang berarti ‘roh' atau ‘akal'. Kata
kebudayaan menyatakan : 'segala sesuatu yang diciptakan oleh budi manusia'.
Jadi budaya atau kebudayaan itu adalah segala sesuatu yang dihasilkan atau
diciptakan oleh akal atau budi manusia (Verkuyl 1979, 13). Menurut
Koentjaraningrat kebudayaan berarti: “Keseluruhan gagasan dan karya manusia,
yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi
dan karyanya itu” (Koentjaraningrat 1992,9). Semua suku bangsa di dunia ini
memiliki kebudayaan yang lahir dari aktivitas pengalaman dan praktik sehari-
hari. Semakin tua umur suatu bangsa akan semakin tinggi pula nilai-nilai
kebudayaannya. Kebudayaan mencakup berbagai kehidupan, yang mengatur
semua praktik kehidupan seperti bekerja; proses kelangsungan hidup, mulai dari
kelahiran, perkawinan, sampai kepada kematian; hukum, tatanan sosial, dan
kepercayaan.

2.2 Kebudayaan Batak Toba

Demikian pula halnya dengan Batak Toba sebagai salah satu suku di
Indonesia yang juga memiliki kebudayaan atau agama yang telah diwarisi secara
turun-temurun sebelum agama-agama besar (Kristen dan Islam) masuk ke Tanah
Batak. Kebudayaan Batak Toba juga mencakup berbagai kehidupan. Kehidupan
Batak Toba lebih dikenal dengan sebutan adat, yang mengatur seluruh tatanan
dan perilaku, paho habatahon (moral kebatakan). Perumpamaan Batak yang
mengatakan: "Adat do ugari, sinihathon ni ompunta Mulajadi", menunjukkan
bahwa adat adalah ugari atau hukum yang diilhamkan (sinihathon) Tuhan
Pencipta Alam Semesta. Dari perumpamaan ini dapat diketahui bahwa orang
Batak memahami adat Batak sebagai hukum yang bukan ciptaan manusia
melainkan berasal dari Yang llahi, sehingga adat Batak bermakna religius (D.
Lumbantobing 2007, 324). Itulah sebabnya, adat Batak tidak terpisahkan dari
kepercayaan atau agama Batak.

Masyarakat Batak dikenal sebagai masyarakat yang sangat ketat


memelihara adat-istiadatnya, sekaligus sebagai masyarakat yang sangat religius,
yang hidup dengan nilai-nilai keagamaan. Semua tindakan dan rencana yang
hendak dilakukan selalu dipahami dalam konteks adat dan kepercayaan. Orang
Batak percaya bahwa Sang llahi senantiasa campur tangan dalam kehidupan
manusia. adat dan kepercayaan atau agama saling terkait dan tidak terpisahkan
satu sama lain, baik fungsi dan peranannya maupun pelaksanaannya. Pengaruh
itu masih ditemukan sampai sekarang ini, sekalipun masyarakat Batak sudah
menganut agama Kristen. Bagi orang Batak, ketaatan terhadap adat tecermin
dalam sikap dan tindakan melaksanakan adat Batak. Adat dilihat sebagai sesuatu
yang mencakup seluruh aspek kehidupan sekarang dan yang akan datang. Adat
merupakan tata tertib kosmos yang mendasari hubungan harmonis antara
manusia dan kosmos (P. Lumbantobing, t.t., 79-94). Adat adalah hukum dan tata
alami yang bersifat mutlak dan ilahi yang diturunkan oleh Mulajadi Na Bolon
yang harus dipatuhi oleh manusia (orang Batak) agar tercipta ketertiban hidup
manusia dan kelestarian alam. Orang Batak percaya bahwa Sang Ilahi senantiasa
campur tangan dalam kehidupan manusia. Perumpamaan "la disi sirungguk, di si
do sitata; ia di si hita juguk, di si do Ompunta Debata" menekankan kehadiran
dan campur tangan Sang llahi dalam semua aspek kehidupan. Dengan demikian,
tata tertib masyarakat yang kemudian dikenal dengan istilah "adat" merupakan
bagian atau unsur yang tidak dapat dipisahkan dari kepercayaan atau agama
Batak. Mereka percaya bahwa adat itu berasal dari Sang llahi, Mulajadi Na
Bolon, yang diajarkan kepada manusia supaya diajarkan secara turun-temurun:
"Adat do ugari; sinihathon ni Mulajadi". Oleh sebab itu, orang senantiasa
berusaha mematuhi dan melaksana- kan adat.

Keharusan adat ini juga diungkapkan dengan perumpamaan: "pantun


hangoluan tois hamagoan" ('santun kehidupan, leceh kehancuran'). Kemutlakan
ini juga terlihat dari ungkapan: "berdiri adat tidak boleh ditebang, tergeletak adat
tidak boleh dilangkahi". Segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan orang
Batak, benar atau salah, baik atau jahat, yang boleh dilakukan dan yang
dipantang, kepemilikan tanah, dan semua aturan dan tätanan kehidupan lainnya
selalu diatur dan berlandaskan adat Batak. Agama dan adat tidak dapat
dipisahkan. Itulah sebabnya, orang Batak sangat tersinggung apabila ia dituduh
sebagai orang yang tidak beradat. Teranglah bahwa "naso maradat" ('yang tidak
punya adat') berarti berada di luar habatahon (di luar suku Batak), suatu
penghinaan yang terdalam bagi seseorang Batak (A. Lumbantobing 1992, 65).
Ketaatan mematuhi dan melaksanakan adat berarti turut terlibat dalam menjaga
ketertiban kosmos. Melanggar adat akan menyebabkan terganggunya ketertiban
kosmos dan juga berarti melanggar perintah leluhur.

2.3 Kematian dan Pemakaman Orang Mati Menurut Adat Dalihan Na Tolu

Dalam adat atau agama Batak, sangat sulit ditentukan batas yang tegas
antara orang mati dan hidup, sehingga orang Batak yang masih teguh memegang
adat selalu mentari pengaruh atau berkat dari orang yang telah meninggal,
terutama jika orang itu mulia, kaya, atau mempunyai banyak keturunan. Orang
Batak memahami bahwa meskipun manusia sudah mati, rohnya (tondi) masih
tetap hidup, sebab kematian dipahami bukan akhir dan keberadaan dan tindakan
dari roh (tondi). Roh orang mati (begu) masih dapat berhubungan dengan orang
yang masih hidup, mampu memberi pengaruh, bahkan memberikan berkat bagi
orang hidup. Orang Batak yakin bahwa tubuh orang mati akan menjadi tanah
sedangkan roh (tondi)-nya akan menjadi begu (hantu).

Dalam adat atau agama Batak, terutama mengenai kematian, terlihat


adanya pandangan dualisme tubuh dan roh. Meskipun tubuh manusia telah mati,
tondi-nya dianggap masih tetap hidup. Dualisme ini sangat mendukung
keyakinan orang Batak akan kuasa dan wibawa orang yang telah mati, terutama
para leluhur. Hal ini penting bagi orang Batak karena roh leluhur tetap hidup dan
mempunyai pengaruh bagi orang hidup, dapat memberi berkat. Persekutuan
antara orang hidup dengan orang yang sudah mati, terlebih dengan para leluhur,
merupakan suatu hal yang penting bagi orang Batak. Hal ini bersumber dari
pemahaman orang Batak bahwa adat terikat kepada leluhur. Adat
mempersatukan orang yang masih hidup dengan yang telah mati. Melalui adat
akan terjalin hubungan dengan para leluhur.

Pelaksanaan adat pemakaman orang mati dalam masyarakat Batak


merupakan pengakuan bahwa masih ada kehidupan di balik kehidupan di dunia
ini. Agama Batak tradisional mengakui bahwa masih ada kehidupan dibalik
kematian. Oleh karena itu, adat pemakaman orang mati itu dilaksanakan dengan
beberapa maksud dan tujuan:

1. Memberikan perpisahan dan penghormatan terakhir kepada yang meninggal


serta melengkapi segala bekal yang diperlukan dalam perjalanannya menuju
alam yang dituju.
2. Memberikan penghiburan bagi anggota keluarga yang ditinggalkan, serta rasa
syukur kepada Mulajadi Na Bolon atas segala berkat yang telah diterima oleh
almarhum atau almarhumah dan keturunannya semasa hidupnya.
3. Membebaskan diri dari roh si mati, sehingga yang hidup tak diganggu lagi.
4. Memberi makan kepada ilah-ilah supaya tidak mengganggu perjalanan roh si
mati, atau meminta pertolongan ilah-ilah itu untuk menghantar roh si mati
sampai ke tempatnya. Menyelesaikan segala kewajiban terhadap yang mati,
sehingga perjalanan roh itu mencapai tujuannya.
5. Upacara ritual atau adat pemakaman orang mati ini juga diperuntukkan bagi
orang-orang yang hidup, dalam arti menunjukkan status sosial dan kesempatan
untuk melunasi (manggararadat) yang telah diterima almarhum atau almarhumah
dan membalas sumbangan serta bantuan terhadap keluarga.

Beberapa bentuk pemakaman yang dijumpai di kalangan orang Batak di


mana gereja hidup dan melayani, yaitu: Pemakaman di dalam tanah dengan
mempergunakan peti mati, tetapi setelah lewat beberapa tahun dan apabila
memenuhi persyaratan menurut adat, jenazah orang tertentu akan digali atau
dibongkar kembali (bagi masyarakat Batak disebut mangongkalholi) dan tulang-
tulangnya dipindahkan ke batu na pir, sebuah makam atau kuburan baru yang
dibangun tinggi atau bertingkat, terbuat dari batu, yang biasanya dibangun secara
bersama oleh kelompok satu marga (klan) atau saompu (satu nenek moyang) yang
dimotivasi oleh berbagai faktor, seperti: menunjukkan identitas diri, mempersatukan
anggota keluarga, atau menghormati roh nenek moyang agar diberikan perlindungan
dan berkat. Biasanya pesta pemakaman kembali, menggali tulang-belulang, ini juga
memakan biaya yang cukup besar.

Dalam proses adat pemakaman, sewaktu memasukkan mayat ke dalam peti


jenazah, ada beberapa acara yang sering dilakukan oleh anggota keluarga yang
sudah beragama Kristen, antara lain :

1. Pada akhir acara adat pesta mati sarimatua atau saurmatua, sebelum acara
diserahkan ke pengurus gereja, keluarga melaksanakan acara yang disebut
dondon tua. Kata mardondon tua terdiri dari kata: dondon dan tua. Dondon
artinya 'timpa' dan tua artinya 'tuah: berkat. Maksudnya adalah untuk
memindahkan tuah (berkat) orang itu kepada keturunannya.
2. Anak-anak dan keluarga si mati masih ada yang meminta maaf kepada
almarhum atau almarhumah.
3. Kehadiran musik modern fantara lain trompet, gitar, kibor, saksofon) yang
menggantikan posisi musik Batak tradisional gondang (gendang), hasapi
(kecapi), dan lain-lain dalam adat pemakaman orang mati. Melodi lagu-lagu
yang dibawakan pada umumnya berasal dari lagulagu rohani dan pop Batak.

Kematian dan pemakaman menurut adat Dalihan Na Tolu, disesuaikan


dengan tingkatan sosial dari orang yang meninggal dapat diklasifikasikan sebagai
berikut :

1. Mate tilahaon, apabila seorang bayi atau anak meninggal dari keluarga atau
rumah tangga. Keluarga atau rumah tangga yang berduka itu disebut tilahaon,
Dalam ajaran agama Batak tradisional, apabila seseorang bayi atau anak
meninggal sebelum martutuaek, roh bayi itu tidak akan dapat berhubungan
dengan penghuni Benua Atas. Untuk mengatasi masalah tersebut, ayah dan
ibunya diberi wewenang untuk melaksanakan acara martutueak bagi anaknya
yang sakit keras di rumah.
2. Mate di paralangalangan, apabila seseorang telah berumah tangga namun belum
mempunyai anak atau apabila seseorang belum berumah tangga.
3. Mate mangkar (matipul ulu, matompas tataring), apabila almarhum atau
almarhumah sudah mempunyai anak tetapi belum satupun yang berumah tangga
atau anak-anaknya masih kecil.
4. Mate sarimatua, apabila almarhum atau almarhumah, baik suami maupun istri,
sudah mempunyai anak laki-laki maupun perempuan yang telah berumah tangga
serta sudah memperoleh cucu dari satu atau beberapa anaknya, akan tetapi masih
mempunyai anak yang belum berumah tangga. Mereka yang meninggal
sarimatua dianggap telah mengalami kehidupan yang mendekati sempurna,
dengan demikian perasaan sedih tidak mendominasi keluarga maupun pelayat.
5. Mate saurmatua, apabila seluruh anak-anaknya, baik laki-laki maupun
perempuan, sudah berumah tangga dan sudah memperoleh cucu dari sebagian
atau semua anaknya. Mereka yang meninggal saurmatua dianggap telah
mengalami kehidupan sempurna, dengan demikiap baik keluarga maupun
pelayat tidak mencerminkan kesedihan, karena penonjolan rasa syukur
tergambar pada sebagian besar keturunannya.
6. Mate maulibulung apabila almarhum atau almarhumah memiliki anak laki laki
dan perempuan yang semuanya sudah berumah tanggadan almarhum atau
almarhumah sudah mempunyai nini (cucu anak laki-laki) dan nono (cucu anak
perempuan) serta belum pernah kematian anak, perumean (istri anak laki-laki),
dan hela (suami anak perempuan). Mate maulibulung merupakan kematian yang
sangat sempurna dan sangat jarang terjadi. Apabila dicapai kematian seperti ini,
keturunannya dan para pelayat mencerminkan rasa syukur dan penuh sukacita.

2.4 Sebuah Kajian Terhadap Peranan Adat Batak Dan Iman Kristen

Walaupun sebagian besar orang Batak beragama Kristen dan sebagian kecil
beragama Islam tetap menjalankan ritual adat kematian dan pemakaman orang
mati menurut Dalihan Na Tolu, termasuk penggalian tulang-belulang
(pemakaman kembali) dan pembangunan tugu, yang dalam pelaksanaannya
memakai biaya yang tidak sedikit. Kondisi dan situasi ini mengandung
pertanyaan mengapa orang Batak, khususnya Batak Toba, yang sudah menganut
agama Kristen, masih tetap menjalankan pesta kematian dan pemakaman orang
mati menurut adat Dalihan Na Tolu yang disinyalir oleh Sebagian masyarakat
Kristen Batak sebagai warisan kekafiran (sipelebegu). Harus diakui bahwa
masalah ini timbul disebabkan oleh dampak langsung dari
kesalingterpengaruhan antara adat-budaya Batak dan nilai-nilai teologis
kekristenan secara timbal balik. Disamping itu, pelaksanaan adat kematian dan
pemakaman orang mati menurut Dalihan Na Tolu sudah sangat beragam, tidak
efisien, dan banyak menyita waktu, daya, dan dana. Masalah inilah yang akan
dibicarakan dalam tulisan ini, untuk melihat apa pertimbangan, makna, dan
hubunganya sehingga masyarakat Kristen Batak tetap melaksanakan upacara
tersebut sampai saat ini. Demikian juga, berbagai pelaksanaan peribadatan
Kristen selalu dipengaruhi oleh unsur-unsur tradisi budaya Batak. Pada satu sisi
dominasi kekristenan juga sangat kuat terhadap adat-budaya Batak. Hal ini perlu
dikaji agar kita dapat menempatkan dan memfungsikan adat Batak dan
kekristenan secara proporsional dalam kehidupan sehari-hari.

2.5 Kontroversi Upacara Adat dan Pemakaman Orang Mati

Kematian merupakan suatu hal yang pasti akan dialami oleh semua
orang, tanpa terkecuali. Setiap manusia tidak akan mengetahui kapan seseorang
akan meninggal, dan setiap kelompok masyarakat memiliki tradisi yang
berbeda-beda dalam melaksanakan ritual-ritual kematian. Kematian adalah
bagian dari setiap orang dan makhluk ciptaan Tuhan, yang tidak mungkin
dihindari. Ia begitu menyengat nyawa, tidak memandang ras, ekonomi, usia,
jabatan, dan Agama. Untuk menghormati seseorang yang telah meninggal
tentunya ada ritual yang harus dijalankan, biasanya ritual itu berdasarkan
kepercayaan yang telah dianut oleh masing-masing orang. Upacara kematian
merupakan salah satu tardisi yang saat ini masih sering dijalankan oleh berbagai
etnis.

Adanya sebuah kontroversi timbul di tengah-tengah masyarakat Kristen


Batak akibat adanya pelaksanaan upacara kematian dan pemakaman orang mati
menurut adat Dalihan Na Tolu. Cenderung sebagian orang Kristen Batak
melihat bahwa adat batak menilai adat tersebut dengan curiga, antipasti, sikap
bermusuhan, membuat kehadiran adat Batak semakin berarti lagi,
sertaberanggapan bahwa adat batak adalah kafir yang harus dimusnahkan.
Mereka menilai bahwa adat batak adalah sebaga alat atau pekerjaan iblis yang
harus diperangi dan harus dimusnahkan. Hal ini dapat kita lihat dari berbagai
kejadian seperti salah satunya dalam sebuah tindakan demonstrative membakar
ulos batak dan menghimbau orang Kristen Batak untuk tidakambil bagian dalam
upacara-upacara adat Batak atau lebih tepatnya untuk tidak mengikuti tradisi
menurut adat Dalihan Na Tolu-pen, yang dinilai bersifat demonis dan diabolik.
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Adapun kesimpulan dari makalah ini yaitu :

1. Memberikan perpisahan dan penghormatan terakhir kepada yang


meninggal serta melengkapi segala bekal yang diperlukan dalam
perjalanannya menuju alam yang dituju, memberikan penghiburan bagi
anggota keluarga yang ditinggalkan, serta rasa syukur kepada Mulajadi
Na Bolon atas segala berkat yang telah diterima oleh almarhum atau
almarhumah dan keturunannya semasa hidupnya, membebaskan diri dari
roh si mati, sehingga yang hidup tak diganggu lagi, menunjukkan status
sosial dan kesempatan untuk melunasi (manggararadat) yang telah
diterima almarhum atau almarhumah dan membalas sumbangan serta
bantuan terhadap keluarga.
2. Klasifikasi tingkatan sosial dari orang meninggal menurut dalihan
natolu :
 Mate tilahaon
 Mate di paralangalangan,
 Mate mangkar (matipul ulu, matompas tataring)
 Mate sarimatua
 Mate saurmatua
 Mate maulibulung
3. Hal ini perlu dikaji agar kita dapat menempatkan dan memfungsikan adat
Batak dan kekristenan secara proporsional dalam kehidupan sehari-hari.

3.2 SARAN

Saran dari kelompok kami adalah sekiranya dengan adanya tugas ini
dapat menambah wawasan pembaca mengenai budaya Batak serta kaitannya
dengan kristen agar tidak menjadi salah kaprah atau terhadap budaya Batak dan
kaitannya dengan Kristen.

Anda mungkin juga menyukai