Anda di halaman 1dari 18

PENGETAHUAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA PADA PETANI DI KELURAHAN

BORIMASUNGGU KECAMATAN LABAKKANG KABUPATEN PANGKEP

1
Alifah Luthfiyah Thamrin, 2Fatmawaty Mallapiang, 3Andi Susilawati 1,2,3Jurusan
Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri
Alauddin Makassar
alifahluthfiyahthamrin@gmail.com

ABSTRAK

Sektor pertanian di Indonesia memegang peranan penting, mengingat lebih dari 40%
masyarakat Indonesia menggantungkan hidup di sektor pertanian. Petani ditempatkan sebagai
salah satu pekerjaan paling berbahaya dengan tingkat kematian 21% dari 100.000 orang yang
disebabkan oleh faktor perilaku manusia. Penelitian ini bertujuan untuk melihat determinan
perilaku keselamatan dan kesehatan kerja pada petani di Kelurahan Borimasunggu Kecamatan
Labakkang Kabupaten Pangkep. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan
pendekatan etnografi serta penentuan informan dengan menggunakan teknik purposive
sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa petani dikelurahan borimasunggu dari aspek
pengetahuan mengenai perilaku keselamatan dan kesehatan kerja, masih mengandalkan
pengetahuan dari pengalaman yang dimiliki dikarenakan tidak adanya program penyuluhan
khusus untuk keselamatan dan kesehatan kerja petani. Petani juga memahami bahwa arti
keselamatan yaitu tetap dalam keadaan selamat dan sehat baik sebelum, saat dan sesudah
bertani. Sebelum melakukan pertanian, petani di kelurahan Borimasunggu juga melaksanakan
sebuah ritual yang disebut ritual Mappalili sebagai penghormatan bagi leluhur dan sebagai
ungkapan permintaan keselamatan bagi diri petani serta kesuksesan hasil panen.

Kata Kunci : Pengetahuan, Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Alat Pelindung Diri, Iklim Kerja,
Petani.
9. PENDAHULUAN

Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang memiliki potensi pertanian yang cukup
besar dengan mata pencaharian berjumlah 42 juta orang atau sekitar 40% sebagai petani.
Berdasarkan hasil survei pertanian antar sensus tahun 2018 menunjukkan bahwa jumlah
petani di Indonesia sebanyak 33.487.806 orang dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak
25.436.478 orang dan jenis kelamin perempuan sebanyak 8.051.328 orang. (BPS, 2019)

Menurut laporan Internasional Labour Organitation (ILO) pada tahun 2017 tercatat setiap
tahunnya lebih dari 2 juta orang yang meninggal akibat kecelakaan kerja dan penyakit akibat
kerja, sekitar 160 juta orang menderita penyakit akibat kerja dan terjadi sekitar 270 juta kasus
kecelakaan kerja pertahun di seluruh dunia. (ILO, 2015)

Dari data Census of Fatal Occupational Injuries (CFOI) oleh U.S. Bureau of Labor Statistic,
pada tahun 2015 di Amerika Serikat terdapat 48000 kasus fatality di tempat kerja. Sedangkan
untuk kasus nonfatal terdapat sebanyak 1,1 juta kasus dengan incident rate 104 kasus dari
10000 per pekerja full time, pada sektor pertanian kasus nonfatal akibat kecelakaan dan kasus
penyakit sebanyak 18.660 dengan rata rata 6 kasus perhari. (CFOI, 2018)

Sektor pertanian di Indonesia memegang peranan penting, mengingat lebih dari 40%
masyarakat Indonesia menggantungkan hidup di sektor ini. Berdasarkan data International
Labor Organitation (ILO), 6.000 kasus K3 fatal terjadi setiap harinya dan setiap 100.000 tenaga
kerja bidang pertanian terdapat 20 orang terkena kasus K3 fatal di Indonesia. (ILO, 2015)

Petani ditempatkan sebagai salah satu pekerjaan paling berbahaya dengan tingkat
kematian 21% dari 100.000 orang yang disebabkan oleh faktor perilaku manusia. Penggunaan
mesin-mesin dan alat-alat berat seperti traktor, mesin permanen, alat tanam dan sebagainya di
sektor pertanian merupakan sumber bahaya yang dapat mengakibatkan cedera dan
kecelakaan kerja yang fatal. Selain itu, penggunaan pestisida dapat menyebabkan keracunan
atau penyakit yang serius, serta debu binatang dan tumbuhan yang mengakibatkan alergi dan
penyakit pernafasan. Faktor lain yang memicu terjadinya kecelakaan kerja di bidang pertanian
adalah terbatasnya waktu yang tersedia untuk menyelesaikan suatu pekerjaan yang
diakibatkan oleh batasan iklim sehingga petani cenderung bekerja terburu-buru tanpa
memperhatikan keselamatan dirinya. (Indriana et al., 2020)
Menurut penelitian Hilpadira (2018) yang menyimpulkan bahwa dari 20 orang petani di
Desa Kendalrejo Bogor 90% diantaranya pernah mengalami kecelakaan kerja di sawah
dengan rincian 39% terkena sabit, 61% terkena cangkul, 16,7% terpeleset, 11% tertusuk benda
tajam (duri, batu atau ranting) dan 5,5% terkena sekop saat mengelolah lahan pertanian.
Selain itu dari 20 orang petani 95% diantaranya mengalami penyakit akibat kerja.

Konsep peningkatan perilaku selamat dan sehat bagi petani, dapat dipengaruhi dari tiga
faktor yaitu faktor dasar (predisposing factor), faktor pendukung (enabling factor) serta faktor
penguat (reinforcing factor) (Lawrence Green, 2000). Perilaku tersebut kemudian dapat diamati
dalam 3 domain yaitu pengetahuan, sikap dan keyakinan. Faktor sosial budaya yang melekat
pada petani juga tidak dapat dipungkiri menjadi salah satu pembentuk perilaku kerja pada
petani. Hal ini dibuktikan dengan masih adanya anggapan bahwa kecelakaan kerja disebabkan
karena nasib sial sehingga tidak perlu dilakukan pencegahan. (Notoatmodjo, 2016)

Islam juga menganjurkan umatnya untuk bekerja dengan mengutamakan menjaga


keselamatan dan kesehatan kerja. Allah berfirman :
َ
َُ َ ُ َْ
… ‫… ِةكلهلتا ْ َّ ِل َإمكي ِديأْ ِـِْْباوقلتل ََُو‬

Terjemahannya :

“… dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) dalam kebinasaan dengan tangan sendiri …
(QS. Al Baqarah : 195)
Berdasarkan Tafsir Al-Madinah Al-Munawwarah, ayat di atas menjelaskan bahwa janganlah
kalian menyerahkan diri kepada hal-hal yang menyebabkan kebinasaan, akan tetapi
rencanakanlah untuk kalian sebab-sebab keselamatan.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa mencegah terjadinya bahaya pada diri
sendiri merupakan tindakan keselamatan yang harus dilakukan bagi setiap muslim.

Berdasarkan studi pendahuluan yang peneliti lakukan di Kelurahan Borimasunggu


Kecamatan Labakkang Kabupaten Pangkep, didapatkan hasil bahwa dari 5 orang petani
sebagai informan awal, 3 orang diantaranya memiliki 28% pengetahuan tentang K3 dalam
kategori rendah, dibuktikan dengan 50% sikap kerja yang kurang baik serta 56% kepedulian
terhadap penggunaan alat pelindung diri secara lengkap juga masih rendah.
Dari uraian di atas, menjadi alasan yang mendasari peneliti untuk mengetahui dan
melakukan penelitian lebih lanjut mengenai “Pengetahuan Petani di Kelurahan Borimasunggu
Kecamatan Labakkang Kabupaten Pangkep Terhadap Keselamatan dan Kesehatan Kerja”.

35. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan etnografi yang merupakan
studi yang sangat mendalam tentang perilaku yang terjadi secara alami pada sebuah budaya
atau sebuah kelompok sosial yang bertujuan untuk memahami sebuah budaya tertentu dari
sudut pandang pelakunya. Penelitian ini untuk menganalisis determinan perilaku keselamatan
dan kesehatan kerja pada petani di Kelurahan Borimasunggu Kecamatan La’bakkang
Kabupaten Pangkep.

Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Borimasunggu Kecamatan Labakkang Kabupaten


Pangkep pada 2 September – 13 Oktober 2020. Penentuan informan dengan menggunakan
metode purposive sampling. Informan terdiri dari 7 orang, 4 orang petani sebagai informan kunci
dan 1 orang petugas kesehatan, 1 orang tokoh adat, 1 orang lurah sebagai informan tambahan.

Metode pengumpulan data pada penelitian ini dengan melakukan observasi dan
wawancara mendalam kepada informan yang berada di Kelurahan Borimasunggu Kecamatan
Labakkang Kabupaten Pangkep dengan tetap memperhatikan protokol Covid-19 (dengan
pemakaian APD dan physical distancing) sesuai dengan kriteria informan penelitian. Peneliti
melakukan wawancara mendalam berdasarkan pedoman wawancara yang telah disusun yang
mengacu pada masalah yang diteliti dan Informan memberikan jawaban atas pertanyaan yang
disampaikan oleh peneliti.

Sumber data dalam penelitian ini yaitu dari data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh peneliti dari hasil wawancara mendalam secara langsung kepada informan.
Sedangkan Data sekunder diperoleh peneliti dari kantor lurah Borimasunggu berupa data
gambaran lokasi penelitian, dan data yang di peroleh dari internet dengan melakukan studi
pustaka karya tulis ilmiah.

Instrumen utama dalam penelitian ini yaitu pedoman wawancara dan peneliti itu sendiri.
Selain itu, peneliti juga menggunakan alat perekam yang berfungsi untuk mengumpulkan hasil
wawancara dan sebagai bukti penelitian, buku kecil, alat tulis, dan kamera sebagai pelengkap
penelitian dalam kelancaran penelitian yang dilakukan.
Teknik analisis data dalam penelitian ini yaitu reduksi data, penyajian data, penarikan
kesimpulan dan verifikasi data. Reduksi data dilakukan oleh peneliti dengan cara merangkum,
memilih hal-hal pokok, mengklasifikasikan data pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya.
Dengan kata lain peneliti menyederhanakan data hasil dari wawancara untuk memperoleh data
yang lebih focus. Penyajian data dilakukan oleh peneliti dengan cara menyajikan uraian dalam
bentuk teks naratif mengenai Determinan Perilaku Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pada Petani
di Kelurahan Borimasunggu Kecamatan Labakkang Kabupaten Pangkep. Penarikan kesimpulan
dan verifikasi data dilakukan oleh peneliti secara secara berkesinambungan untuk memperoleh
kesimpulan dengan bukti yang kuat dan bersifat kredibel.

Pengujian keabsahan data dalam penelitian ini dengan menggunakan triangulasi sumber
dan menggunakan bahan referensi. Triangulasi sumber yaitu dengan cara membandingkan
(cross check) antara informan yang satu dengan yang lain, untuk melihat kolerasi informan
yang didapatkan. Menggunakan bahan referensi yaitu bahan referensi di sini adalah adanya
bahan pendukung untuk membuktikan data yang telah peneliti temukan. Sebagai contoh, data
hasil wawancara perlu didukung dengan adanya rekaman/transkrip wawancara, foto-foto atau
dokumen autentik untuk mendukung kredibilitas data. Selain itu hasil penelitian diperkuat
dengan membandingkan hasil penelitian terdahulu.

61. HASIL PENELITIAN

Informan terdiri dari 4 orang petani, 1 orang petugas kesehatan, 1 orang tokoh adat dan 1
orang lurah. Semua Informan berjenis kelamin laki-laki dengan variasi umur mulai dari 35 tahun
sampai dengan 65 tahun. Masa kerja informan mulai dari 10 tahun sampai dengan 45 tahun.
Pendidikan terakhir untuk 7 informan adalah SD, SMP, dan S1.

a. Mengkaji Pengetahuan Petani Terkait Konsep K3 (Sebelum Bertani)

Pertanyaan ini untuk memperoleh informasi mengenai pengetahuan informan tentang


konsep keselamatan dan kesehatan kerja sebelum bertani. Berdasarkan hasil wawancara ke-4
informan beranggapan bahwa keselamatan sebelum bertani yaitu sehat sebelum turun ke
sawah.

“Jika kondisi tubuh dalam keadaan sehat sebelum turun di sawah” (S, Laki-Laki, Petani, 47
Tahun)

Salah satu informan juga mengatakan bahwa arti selamat yaitu sehat secara fisik sebelum

turun ke sawah.
“Artinya itu kita sehat secara fisik sebelum pergi bertani” (AM, Laki-Laki, Petani, 65 Tahun)

Semua informan juga menambahkan bahwa sebelum bertani, terdapat ritual/tradisi

keselamatan yang dilaksanakan di Kecamatan yang bernama ritual Mappalili.

“Ada, namanya ritual Mappalili yang dilakukan sebelum turun ke sawah” (R, Laki-Laki,
Petani, 55 Tahun)

“Kalau ritual ada disini, tetapi hanya di Kecamatan dilaksanakan, namanya yaitu
Mappalili yang artinya memulai untuk turun sawah” (AM, Laki-Laki, Petani, 65 Tahun)

Hal ini juga diperjelas oleh tokoh adat yang mengatakan bahwa di Kecamatan Labakkang

terdapat ritual/tradisi yang dilakukan sebelum turun sawah.

“Iya memang ada, namanya ritual Mappalili, Mappalili itu sebuah kebudayaan yang sudah
jadi tradisi yang sudah dilakukan sejak lama yang biasanya dilakukan setiap memasuki
masa tanam padi dengan tujuan supaya tanaman padi terhindar dari kerusakan yang akan
mengurangi produksi padi” (T, Laki-Laki, Toko Adat, 60 Tahun)

Informan juga menambahkan bahwa ritual/tradisi keselamatan tersebut dilaksanakan di

rumah adat Kecamatan Labakkang pada saat masuk musim hujan.

“Terdapat tempat khusus di Labakkang, yaitu mulai dari Balla Lompoa sampai ke
Pammenrekang” (S, Laki-Laki, Petani, 47 Tahun)

“Biasa dilaksanakan pada bulan 11, disaat musim hujan. Karena disini tidak ada pengairan,
jadi hanya tada hujan” (AM, Laki-Laki, Petani, 65 Tahun)

Salah satu informan juga mengatakan bahwa waktu ritual/tradisi Mappalili tersebut sudah

ditentukan di rumah adat.

“Kita sebagai petani hanya mengikut dengan waktu yang telah ditentukan di rumah adat”
(AR, Laki-Laki, Petani, 55 Tahun)

Dalam pelaksanaan ritual/tradisi Mappalili tersebut, informan dalam hal ini tokoh adat

mengatakan bahwa yang terlibat dalam proses Mappalili itu adalah pemerintah setempat, petani,

pemangku adat dan warga setempat.

“Semua kalangan ikut, mulai dari pemerintah, pemangku adat, petani dan warga setempat,
tapi yang melaksanakan itu ada memang yang sudah ditunjuk namanya pinati (yang
mengetahui seluruh rangkaian dari proses ritual” (T, Laki-Laki, Tokoh Adat, 60 Tahun)
Alasan dilaksanakannya ritual/tradisi Mappalili yang sudah turun temurun ini sebagai

penghormatan bagi leluhur dan sebagai ungkapan permintaan keselamatan bagi diri petani serta

kesuksesan hasil panen.

“Alasan ritual ini dilakukan karena adat yang sudah turun temurun, ini juga sebagai
penghormatan kepada leluhur kita supaya kita diberi keselamatan dalam bertani dan hasil
tani kita juga sukses” (T, Laki-Laki, Tokoh Adat, 60 Tahun)

Informan dalam hal ini tokoh adat juga menambahkan proses pelaksanaan ritual/tradisi

Mappalili yang diadakan selama 3 hari 3 malam yang berlangsung di rumah adat.

“Dimulai dari persiapan bahan-bahan ritual seperti beras ketan, kelapa, gula, dupa, dan
daun sirih. Nantinya beras ketan itu diolah menjadi songkolo dengan bermacam-macam
warna, adapun makna dari setiap warna yaitu merah artinya api, kuning artinya angin, putih
artinya air, dan hitam artinya tanah. Kalau kelapa dan gula dijadikan palopo’, makna dari
kelapa itu tumbuhan yang seluruh bagiannya mempunyai manfaat untuk kehidupan, kalo
gula maknanya semua yang diniatkan mendapatkan hasil yang manis. Kalau dupa
maknanya itu agar kita selalu merasakan aroma-aroma positif. Dan kalau daun sirih itu
tumbuhan yang mempunyai banyak manfaat terutama untuk menyembuhkan penyakit jadi
maksudnya itu kita sebagai manusia hidup seperti daun sirih yang mempunyai banyak
manfaat. Setelah persiapan bahan dilanjutkan dengan proses ritual yang berlangsung
selama 3 hari, di hari pertama itu kita upacara persembahan dan doa-doa, hari kedua
dilanjutkan dengan tari-tarian, kemudian hari ketiga itu arak-arakan ke sawah di
pammenrekang” (T, Laki-Laki, Tokoh Adat, 60 Tahun)

2. Mengkaji Pengetahuan Petani Terkait Konsep K3 (Saat Bertani)

Pertanyaan ini untuk memperoleh informasi mengenai pengetahuan informan tentang

konsep keselamatan dan kesehatan kerja saat bertani. Berdasarkan hasil wawancara ke-4

informan beranggapan bahwa keselamatan saat bertani yaitu tidak ada


kejadian yang

membahayakan atau keadaan baik saat di sawah.

“Tidak terjadi bahaya saat di sawah” (R, Laki-Laki, Petani, 65 Tahun)

“Keadaan baik pada saat bertani” (AR, Laki-Laki, Petani, 55 Tahun)

Salah satu informan juga mengatakan bahwa ritual/tradisi Mappalili berdampak pada

keselamatan saat bertani.


“Kalau kita tidak Mappalili sebelum turun ke sawah itu salah menurut saya, karena biasa
umur kita tidak panjang, apalagi disaat ritual sudah dimulai lalu kita lewat maka kita kena
celaka” (R, Laki-Laki, Petani, 55 Tahun)

Lain halnya dengan hasil wawancara dari ke-3 informan yang beranggapan bahwa

ritual/tradisi Mappalili tidak berdampak bagi keselamatan saat bertani.

“Kalau menurut saya tidak berpengaruh, hanya saja ini adalah kebiasaan yang sudah
menjadi tradisi, yang dimana tidak ada yang boleh turun ke sawah sebelum dimulai ritual,
yang di istilahkan sebagai kebesaran” (AM, Laki-Laki, Petani, 65 Tahun)

“Tidak berpengaruh bagi saya” (S, Laki-Laki, Petani, 47 Tahun)

3. Mengkaji Pengetahuan Petani Terkait Konsep K3 (Sesudah Bertani)

Pertanyaan ini untuk memperoleh informasi mengenai pengetahuan informan tentang

konsep keselamatan dan kesehatan kerja sesudah bertani. Berdasarkan hasil wawancara ke-4

informan beranggapan bahwa keselamatan sesudah bertani yaitu sehat wal afiyat sampai di

rumah.

“Kalau kita tiba di rumah dengan keadaan sehat wal afiyat” (AR, Laki-Laki, Petani, 55
Tahun)

“Kalau kita selamat sampai di rumah” (S, Laki-Laki, Petani, 47 Tahun)

Salah satu informan juga beranggapan bahwa keselamatan sesudah bertani artinya tidak

terkena bahaya sampai tiba di rumah.

“Tidak terkena bahaya sampai di rumah” (R, Laki-Laki, Petani, 55 Tahun)

Dari ke-4 informan juga menjelaskan bentuk keselamatan kerja yang dilakukan sesudah

bertani yaitu mandi, makan dan istirahat.

“Membersihkan diri, makan lalu istirahat” (AR, Laki-Laki, Petani, 55 Tahun)

“Langsung mandi karena kita kotor saat pulang di rumah, kemudian istirahat” (AM, Laki-
Laki, Petani, 65 Tahun)

“Kita istirahat terlebih dahulu untuk memasukkan keringat karena kita dari panas matahari
baru kita mandi” (S, Laki-Laki, Petani, 47 Tahun)

d. Mengkaji Pengetahuan Petani Terkait Alat Pelindung Diri (Sebelum Bertani)


Pertanyaan ini untuk memperoleh informasi mengenai pengetahuan penggunaan alat

pelindung diri sebelum bertani pada petani. Berdasarkan wawancara diperoleh hasil bahwa

seluruh informan mengetahui tentang APD yang digunakan sebelum bertani. Ke-4 informan juga

mengetahui akan pentingnya penggunaan APD.

“APD itu sangat penting” (AR, Laki-Laki, Petani, 55 Tahun)

“APD itu sangat penting karena hanya kita yang dapat bahayanya” (R, Laki-Laki, Petani, 55
Tahun)

e. Mengkaji Pengetahuan Petani Terkait Alat Pelindung Diri (Saat Bertani)

Pertanyaan ini untuk memperoleh informasi mengenai pengetahuan penggunaan alat

pelindung diri saat bertani pada petani. Berdasarkan wawancara diperoleh hasil bahwa seluruh

informan kurang memperhatikan alat pelindung diri yang tepat untuk digunakan saat bertani. Ke-

4 informan mengatakan bahwa alat pelindung diri yang sering digunakan hanyalah topi caping

dan mereka memakai alat pelindung diri lengkap pada saat penyemprotan pestisida saja.

“Sauraungji, tetapi jika penyemprotan kita pakai masker juga” (S, Laki-Laki, Petani, 47
Tahun)

“Kalau penyemprotan kita memakai APD lengkap, misalnya masker dan baju lengan
panjang” (AM, Laki-Laki, Petani, 65 Tahun)

Salah satu informan juga menambahkan bahwa terdapat bentuk perlindungan diri lain yang

digunakan saat bertani yaitu doa-doa keselamatan yang diwariskan dari orang tua.

“Oh ada kalau kita turun di sawah, ada dari orang tua dulu, seperti baca-baca untuk
keselamatan di sawah, maksud dari baca-baca yang saya lakukan itu hanyalah
memanjatkan doa kepada Allah SWT agar diberi keselamatan saat kita bekerja” (R, Laki-
Laki, Petani, 55 Tahun)

Informan juga mengatakan bahwa terdapat risiko jika tidak menggunakan APD saat bertani.

“Terdapat risiko jika tidak menggunakan APD karena bahaya, misalnya jika penyemprotan
lalu tidak menggunakan masker, maka racun itu masuk di tubuh kita” (S, Laki-Laki, Petani,
47 Tahun)
“Jika tidak menggunakan APD, maka racun akan masuk” (AR, Laki-Laki, Petani, 55 Tahun)

6. Mengkaji Pengetahuan Petani Terkait Alat Pelindung Diri (Sesudah Bertani)

Pertanyaan ini untuk memperoleh informasi mengenai pengetahuan penggunaan alat

pelindung diri sesudah bertani pada petani. Berdasarkan wawancara diperoleh hasil bahwa

seluruh informan mengetahui bentuk perlindungan diri yang dilakukan sesudah bertani.

“Kalau pulang, alat-alat yang sudah digunakan di simpan baik-baik” (S, Laki-Laki, Petani,
47 Tahun)

“Biasanya di gantung di tempat khusus yang ada di belakang rumah” (AM, Laki-Laki,
Petani, 65 Tahun)

Informan juga menambahkan bahwa alat dan benda tajam yang telah digunakan disimpan

di tempat yang aman agar tidak membahayakan.

“Seperti sabit, harus di simpan baik-baik agar tidak ada yang kena” (R, Laki-Laki, Petani, 55
Tahun)

“Kalau yang tajam seperti cangkul itu, saya simpan di gudang” (AR, Laki-Laki, Petani, 55
Tahun)

7. Mengkaji Pengetahuan Petani Terkait Iklim Kerja (Sebelum Bertani)

Pertanyaan ini untuk memperoleh informasi mengenai pengetahuan petani terkait kondisi

cuaca sebelum bertani. Berdasarkan wawancara diperoleh hasil dari salah satu informan

mengatakan bahwa kondisi cuaca tidak berpengaruh sebelum bertani yang jelas ada air.

“Cuaca sangat tidak berpengaruh sebelum turun ke sawah, yang jelas ada air” (S, Laki-
Laki, Petani, 47 Tahun)

Namun salah satu informan juga mengatakan bahwa kondisi cuaca tidaklah dipedulikan,

yang jelas tiba saatnya untuk kerja, maka harus kerja.

“Kita tidak pedulikan cuaca, yang penting kalau tiba saat waktu kerja, kita berangkat” (AM,
Laki-Laki, Petani, 65 Tahun)

Lain halnya dari hasil wawancara ke-2 informan yang mengatakan bahwa kondisi cuaca

sebelum bertani dilihat dari situasi langit atau alam.

“Kita melihat langit, kalau kilat-kilatki kita tidak pergi, karena biasa kita kena” (R, Laki-Laki,
Petani, 55 Tahun)
“Dilihat dari situasi alam” (AR, Laki-Laki, Petani, 55 Tahun)

8. Mengkaji Pengetahuan Petani Terkait Iklim Kerja (Saat Bertani)

Pertanyaan ini untuk memperoleh informasi mengenai pengetahuan petani terkait kondisi

cuaca saat bertani. Berdasarkan wawancara diperoleh hasil bahwa kondisi cuaca yang paling

cocok saat bertani yaitu saat mendung.

“Kondisi cuaca yang paling baik yaitu kalau tidak terlalu panas dan tidak hujan” (AR, Laki-
Laki, Petani, 55 Tahun)

Salah satu informan juga beranggapan bahwa semua kondisi cuaca itu cocok yang jelas air

tersedia saat bertani.

“Semua kondisi cuaca cocok, yang jelas air tersedia” (AM, Laki-Laki, Petani, 65 Tahun)
Informan juga menambahkan cara untuk mencegah diri dari keterpaparan sinar matahari

saat bertani dengan memakai topi caping dan baju lengan panjang.

“Itu gunanya saraung, kalau panas matahari tidak langsung kena kita” (R, Laki-Laki, Petani,
55 Tahun)

“Memakai saraung dan baju lengan panjang” (AR, Laki-Laki, Petani, 55 Tahun)

1. Mengkaji Pengetahuan Petani Terkait Iklim Kerja (Sesudah Bertani)

Pertanyaan ini untuk memperoleh informasi mengenai pengetahuan petani terkait kondisi

cuaca sesudah bertani. Berdasarkan wawancara diperoleh hasil bahwa semua informan

mengetahui risiko dari cuaca buruk sesudah bertani, misalnya segera pulang ke rumah jika

terjadi kilat, guntur dan petir.

“Iya makanya kalau kilat atau guntur, kita lari cepat pulang” (R, Laki-Laki, Petani, 55 Tahun)

Salah satu informan juga menambahkan bahwa cuaca buruk sesudah bertani itu risikonya

sangat tinggi.

“Iya biasa resikonya itu tinggi, seperti kalau kita kena petir” (AR, Laki-Laki, Petani, 55 Tahun)

IV. PEMBAHASAN
Pengetahuan merupakan hasil tahu yang terjadi setelah orang melakukan pengindraan
terhadap suatu objek tertentu (Retnaningsih, 2016). Pengetahuan informan dalam hal ini petani
di Kelurahan Borimasunggu adalah segala sesuatu yang diketahui tentang upaya mewujudkan
perilaku keselamatan dan kesehatan kerja agar terhindar dari penyakit akibat kerja dan
kecelakaan kerja. Semakin tinggi pengetahuan petani terhadap keselamaran dan kesehatan
kerja maka semakin baik sikap petani dalam mewujudkan keselamatan (Wismaningsih &
Oktaviasari, 2015).

Keselamatan dan Kesehatan Kerja selama ini diartikan oleh petani sebagai sebuah fenomena
namun lemah dalam hal pengetahuan teknis terkait penjabaran dari keselamatan dan kesehatan
kerja itu sendiri. Sehingga K3 disalahartikan hanya sebatas mengetahui selamat dan sehat namun
minim implementasi untuk mewujudkan keselamatan dan kesehatan kerja itu sendiri. Hal ini
dikarenakan petani di Kelurahan Borimasunggu umumnya hanya lulusan Sekolah Dasar. Dilihat dari
sisi sumber daya manusia, mayoritas usaha pertanian belum di dukung oleh tenaga kerja yang
terampil dan berpendidikan, umumnya hanya lulusan Sekolah Dasar (SD) berbekal keterampilan
yang diperoleh secara turun-temurun (Susilowati, 2016).

Kalangan petani di Kelurahan Borimasunggu yang menjadi informan penelitian telah


menjelaskan mengenai konsep keselamatan dan kesehatan kerja ketika dilakukan wawancara
mendalam, petani mengartikan bahwa keselamatan dapat ditinjau dari keadaan mereka
sebelum, saat dan sesudah bertani tetap dalam keadaan selamat dan sehat. Pengetahuan
akan budaya sehat merupakan salah satu aspek penting yang harus di miliki oleh seorang
petani agar meningkatkan produktivitas kerja (Roga, 2018).

Keselamatan dan kesehatan kerja yang diterapkan pada petani hanya berdasarkan
pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya dan yang diwariskan dari orang tua terdahulu.
Hal ini juga dikarenakan tidak adanya program penyuluhan dari puskesmas khususnya untuk
petani di Kelurahan Borimasunggu. Padahal dengan adanya intervensi pelatihan keselamatan
dan kesehatan kerja pada petani sawah dapat meningkatkan pemahaman akan manfaat
penggunaan alat pelindung diri guna mengurangi bahaya paparan pestisida dan bahan kimia
terkait (Roga, 2018).

Pengetahuan petani mengenai keadaan tubuh mereka sebelum bertani juga menjadi hal
yang sangat menentukan ketika hendak bertani atau tidak. Hal ini dipengaruhi karena durasi
waktu kerja yang sangat lama. Lama kerja petani mempengaruhi produktivitas serta
kecenderungan untuk timbulnya kelelahan, penyakit dan kecelakaan. Bagi petani gejala fisik
yang dialami akan menjadi indikasi penilaian secara pribadi apakah masih sanggup untuk
bertani atau tidak (Utami et al., 2017).

Gejala yang paling sering dirasakan oleh petani adalah pusing, demam, masuk angina dan
panas dingin serta pegal-pegal. Pegal yang dialami petani disebabkan oleh posisi tubuh yang
tidak ergonomi saat bekerja. Sekitar 90% dari seluruh nyeri punggung bukan disebabkan oleh
kelainan organik, melainkan oleh kesalahan posisi tubuh saat bekerja (Aeni & Awaludin, 2020).
Ketika mengalami gejala fisik yang berlebihan, maka petani akan memutuskan untuk
beristirahat dan kembali bertani ketika merasa jauh lebih baik. Namun ketika 3-4 hari belum
ada perubahan signifikan, maka petani akan berobat ke puskesmas terdekat. Hal ini dipicu
adanya kesadaran diri bahwa kesehatan menjadi aspek penunjang dari produktivitas hasil tani
yang dapat diperoleh (Purwanti & Musadieq, 2017).

Dari hasil observasi yang dilakukan petani juga secara tidak sengaja sebenarnya sudah
menerapkan beberapa prosedur kerja aman yang dianjurkan seperti minum air yang cukup,
memakai masker, memakai pakaian lengan panjang dan topi, serta membawa persediaan
makanan yang cukup. Tapi hal itu belum sepenuhnya diterapkan sesuai dengan standar
operasional prosedur kerja yang dianjurkan dari pihak Dinas Kesehatan. APD yang harus
digunakan petani yaitu topi caping, sarung tangan, sepatu boots, kacamata, masker, dan
apron/clemet (SOP, 2016).

Adapun alat keselamatan dan pelindung diri pada petani, petani memahami bahwa APD
seperti sepatu boots tidak penting bagi petani, petani menganggap alat tersebut hanya
merepotkan jika digunakan. Seorang pekerja tidak menggunakan APD karena adanya
perasaan tidak nyaman (rishi, panas, berat, terganggu) karena itulah perlu ditanamkan
kesadaran akan manfaat penggunaan APD pada setiap tenaga kerja (E. Prasetyo, 2015).

Alat pelindung diri khususnya pakaian yang digunakan petani yaitu baju lengan panjang,
jas hujan serta topi caping. Hal ini dilatarbelakangi dari kebermanfaatan yang dirasakan petani
dimana mereka menuturkan bahwa topi caping dapat digunakan untuk melindungi wajah dari
panas matahari. Begitupun dengan penggunaan jas hujan untuk melindungi tubuh saat hujan
datang. Khusus untuk penyemprotan pestisida mereka menggunakan alat pelindung diri
lengkap terutama memakai masker untuk melindungi tubuh dari racun pestisida. Alat pelindung
diri yang dianjurkan untuk digunakan saat bekerja dengan pestisida yaitu yang dapat
menghindari kontak dengan kulit, saluran nafas dan ingesti (Mayasari, 2017).
Sedangkan sepatu tidak digunakan oleh petani karena dianggap hanya mengganggu gerak
kerjanya. Petani memilih untuk tidak menggunakan alas kaki sama sekali termasuk juga sendal
dengan alasan agar lebih mudah untuk berakselerasi. Sepatu atau alas kaki mengganggu
aktifitas kerja petani dan membutuhkan waktu yang lama untuk dipasang saat bekerja
(Mayasari, 2017). Sedangkan untuk sarung tangan, petani menganggap bahwa
penggunaannya justru membuat tidak nyaman saat bekerja. Sama halnya dengan hasil
penelitian yang mengatakan bahwa petani tidak menggunakan sarung tangan dengan alasan
ketidaknyamanan saat bekerja (Wismaningsih & Oktaviasari, 2015).

Ketika hendak digali lebih dalam perihal sumber informasi mengenai pentingnya
penggunaan alat keselamatan dan pelindung diri saat bertani, petani mengatakan bahwa hal
tersebut bersumber dari internal maupun eksternal. Sumber informasi tersebut berasal dari
proses telaah aktifitas kerja yang telah berulang-ulang dilakukan yang bahkan telah
berlangsung selama bertahun-tahun. Petani mengatakan bahwa yang paling utama bersumber
dari pengalaman mereka sendiri saat bertani. Dengan pengalaman yang memang langsung di
rasakan dan di lakukan tersebut, petani kemudian dapat memilah terkait penggunaan alat
keselamatan dan pelindung diri yang memang menujang keselamatan mereka saat bertani.
Salah satu cara memperoleh kebenaran nonilmiah yaitu berdasarkan pengalaman pribadi. Hal
itu dilakukan dengan cara mengulang kembali pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan
permasalahan yang dihadapi pada masa yang lalu (Notoatmodjo, 2016).

Informan petani seluruhnya memiliki > 10 tahun pengalaman menjadi petani dan umur yang
telah lebih dari 30 tahun menjadikan mereka sebagai petani yang berpengalaman. Aspek umur
dan pengalaman tersebut yang kemudian menurut mereka sudah cukup menjadi modal saat
bertani yang menjadikan mereka terkadang tidak terlalu memperhatikan aspek keselamatan
saat bertani. Umur menjadi salah satu aspek sosial yang berpengaruh terhadap terbentuknya
persepsi kerentanan, karena kemampuan yang dimiliki dapat diperoleh melalui pengalaman
sehari-hari. Semakin bertambah umur maka semakin bertambah matang dalam mental dan
perilaku (M. Hayati et al., 2018).

Namun itu tidak cukup untuk mengubah perilaku petani untuk menggunakan alat
keselamatan dan pelindung diri. Padahal untuk membentuk proses perilaku “TAHU” petani,
diperlukan sebuah upaya yang mampu membuat mereka menjadi merasa tertarik, dimana
individu mulai menaruh perhatian dan tertarik pada stimulus yang diberikan untuk
menggunakan alat keselamatan dan pelindung diri (Wismaningsih & Oktaviasari, 2015).
Adapun pengetahuan terkait kondisi cuaca sebelum bertani juga menjadi hal yang sangat
penting bagi mereka yang menggantungkan hidup sebagai petani. Sebab cuaca merupakan
kondisi alam yang sulit ditebak. Oleh karenanya melihat tanda-tanda alam menjadi hal yang
sangat dianjurkan bagi petani sebelum bertani untuk menjamin keselamatan dan kesehatan
mereka. Petani menyatakan bahwa untuk mengetahui kondisi cuaca sebelum bertani mereka
melakukan beberapa analisa terhadap kondisi awan dan situasi alam. Awan juga dapat
digunakan sebagai tanda untuk memprediksi kondisi cuaca, awan tebal yang berwarna abu-
abu kehitaman di percaya menjadi tanda datangnya cuaca buruk (Djamaluddin, 2015).

Informan juga menambahkan bahwa selama ini yang menjadi prioritas petani dalam
mewujudkan keadaan selamat saat bertani adalah tidak memaksakan untuk tetap ke sawah
jika cuaca sedang tidak mendukung seperti kilat, guntur dan petir. Begitupun juga ketika
informan sementara bertani dan kondisi cuaca menjadi buruk maka informan memutuskan
segera untuk pulang. Hal itu didasari dari pengalaman kecelakaan kerja yang biasa terjadi
seperti terkena petir dan merupakan langkah taktis dalam melakukan upaya pencegahan
secara dini (Djamaluddin, 2015).

Adapun ritual sebelum memulai untuk turun ke sawah, masyarakat Kecamatan Labakkang
melakukan ritual/tradisi yang disebut Mappalili. Secara umum, petani memahami bahwa
Mappalili sebagai bentuk ritual sebelum turun ke sawah. Tradisi ini telah dilakukan sejak dahulu
setiap memasuki masa tanam padi dengan maksud agar tanaman padi terhindar dari
kerusakan yang akan mengurangi produksi padi (Liswati, 2016).

Petani memahami bahwa ritual tersebut hanya sebagai rangkaian budaya saja, sebagai
tanda syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan taufiknya masyarakat
dapat hidup tentram, aman, dan cukup pangan, serta sebagai penghormatan bagi leluhur dan
sebagai ungkapan permintaan keselamatan bagi diri petani atas kesuksesan hasil panen.
Apabila upacara ritual tersebut tidak dilakukan, maka akan terjadi suatu bencana berupa hasil
panen padi yang gagal sehingga dapat mengurangi produksi dan akan membuat mereka
kesusahan (Khaedir, 2018).

Ritual Mappalili di Kecamatan Labakkang dilaksanakan satu kali dalam satu tahun yaitu pada
bulan November (memasuki musim penghujan) yang digelar selama 3 hari 3 malam di Balla
Lompoa (rumah kebesaran) dan dipimpin oleh seorang pemangku adat yang disebut dengan pinati.
Adapun proses dari ritual Mappalili yaitu dimulai dari persiapan seperti beras ketan yang diolah
menjadi songkolo dengan berbagai macam warna yang setiap warnanya memiliki makna
tersendiri, merah artinya api, kuning artinya angina, putih artinya air, dan hitam artinya tanah.
Kelapa dan gula akan diolah menjadi palopo’, kelapa bermakna sebagai tumbuhan yang
seluruh bagiannya bermanfaat bagi kehidupan manusia. Dan gula bermakna segala sesuatu
yang diniatkan akan menghasilkan yang manis. Dupa bermakna agar kita selalu merasakan
aroma-aroma positif. Dan daun sirih sebagai tumbuhan yang mempunyai banyak manfaat
terutama untuk menyembuhkan penyakit diartikan agar kita sebagai manusia hidup seperti dau
sirih yang punya banyak manfaat. Setelah proses persiapan bahan, dilanjutkan dengan proses
ritual yang berlangsung selama 3 hari, yaitu di hari pertama dilaksanakan upacara
persembahan dan doa - doa, hari kedua dilanjutkan dengan tari-tarian, kemudian hari ketiga itu
arak-arakan ke sawah di Pammenrekang (Liswati, 2016).

22. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Petani di Kelurahan Borimasunggu memiliki pemahaman mengenai konsep K3 yaitu sehat dan
selamat sebelum, saat dan sesudah bertani.
2. Petani di Kelurahan Borimasunggu memahami pentingnya penggunaan APD sebelum, saat dan
sesudah bertani.
3. Petani di Kelurahan Borimasunggu dalam memahami iklim kerja sebelum, saat dan sesudah
bertani dengan melihat kondisi alam.

VI. SARAN

Saran yang dapat diberikan peneliti sebagai berikut:


1. Meningkatkan pengetahuan petani mengenai perilaku keselamatan dan kesehatan kerja melalui
penyuluhan secara rutin dan pendampingan yang intens dengan memberdayakan kelompok tani.
2. Mendorong petugas kesehatan untuk mengadakan program Unit Kesehatan Kerja khusus petani.
3. Mendorong pemerintah untuk memprioritaskan pemberian bantuan alat pelindung diri kepada
petani.
4. Melakukan pemeriksaan kesehatan terhadap petani secara rutin.
UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih diucapkan kepada Pemerintah Kabupaten Pangkep dan Pemerintah di
Kelurahan Borimasunggu atas perizinan melakukan penelitian di Kelurahan Borimasunggu.

DAFTAR PUSTAKA

Aeni, H. F., & Awaludin, A. (2020). Hubungan Sikap Kerja Duduk Dengan Keluhan Nyeri
Punggung Bawah Pada Pekerja Yang Menggunakan Komputer. Jurnal Kesehatan, 8(1),
887– 894. https://doi.org/10.38165/jk.v8i1.92
Al-Qur'an dan Terjemahannya. Kementrian Agama Republik Indonesia

BPS. (2019). Badan Pusat Statistik. Indonesian Statistics, Jakarta: Badan Pusat Statistik.
CFOI. (2018). National Census Of Fatal Occupational Injuries. Bureau Of Labor Statistics, 202,
1–9. https://www.bls.gov/news.release/pdf/cfoi.pdf
Djamaluddin, R. (2015). Cara atau Kebiasaan Membaca Cuaca. 1–10.

Hayati, M., Sudiana, K., & Kristiawati. (2018). Analisis Faktor Umur.
Hayati, R., Kasman, & Jannah, R. (2018). Factors Related To The Usage Of Appliance Protector Of
Self On Farmers Use Of Pesticides. Promotif : Jurnal Kesehatan Masyarakat, 8(1), 11–17.

ILO. (2015). Keselamatan dan Kesehatan Kerja Sarana Untuk Produktivitas.

Indriana, K. N. B., Asmara, I. W. S., & Aryasih, I. G. A. M. (2020). Tingkat Pengetahuan Sikap
dan Tindakan Petani tentang Penggunaan Alat Pelindung Diri di Subak Cepik Kabupaten
Tabanan. Jurnal Kesehatan Lingkungan, 10(1), 32–41.
Khaedir, K. (2018). Makna Ritual Mappalili oleh Komunitas Bissu Bugis di Pangkep.
http://repositori.uin-alauddin.ac.id/12970/
Liswati. (2016). Ritual Adat Mappalili di segeri Kabupaten Pangkep. 3345–3356.

Mayasari, D. (2017). Gambaran Perilaku Kerja Aman pada Petani Hortikultura Pengguna
Pestisida Di Desa Gisting Atas sebagai Faktor Risiko Intoksikasi Pestisida. JK Unila, 1(3),
530–535.
Notoatmodjo, S. (2016). Promosi Kesehatan & Ilmu Perilaku. In Jakarta: Rineka Cipta.
Prasetyo, E. (2015). Pengaruh Pengetahuan, Sikap, dan Ketersediaan Alat Pelindung Diri (APD)
Terhadap Kepatuhan dalam Menggunakan APD di Unit Coating PT. Pura Barutama Kudus.
Jurnal Keperawatan Dan Kesehatan Masyarakat Cendekia Utama, 2(3), 526–535.

Purwanti, L., & Musadieq, M. (2017). Pengaruh Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Terhadap
Kualitas Kehidupan Kerja Dan Produktivitas Kerja. Jurnal Administrasi Bisnis S1
Universitas Brawijaya, 44(1), 118–126.
Retnaningsih, R. (2016). Hubungan Pengetahuan Dan Sikap Tentang Alat Pelindung Telinga
Dengan Penggunaannya Pada Pekerja. Journal of Industrial Hygiene and Occupational
Health, 1(1), 67. https://doi.org/10.21111/jihoh.v1i1.607

Roga, A. U. (2018). Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Sektor Pertanian (Kajian
Pada Petani Sawah Desa Sinduharjo Kecamatan Ngaglik Kabupaten Sleman Daerah
Istimewa Yogyakarta). March 2015, 0–52. https://doi.org/10.13140/RG.2.2.12750.92488
SOP. (2016). Standar Operasional Prosedur Agro. 2–7.

Susilowati, S. H. (2016). Fenomena Penuaan Petani dan Berkurangnya Tenaga Kerja Muda
serta Implikasinya bagi Kebijakan Pembangunan Pertanian. Forum Penelitian Agro
Ekonomi, 34(1), 35. https://doi.org/10.21082/fae.v34n1.2016.35-55

Utami, U., Karimuna, S., & Jufri, N. (2017). Hubungan Lama Kerja, Sikap Kerja Dan Beban
Kerja Dengan Muskuloskeletal Disorders (MSDs) Pada Petani Padi Di Desa Ahuhu
Kecamatan Meluhu Kabupaten Konawe. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kesehatan Masyarakat
Unsyiah, 2(6), 198186.

Wismaningsih, E. R., & Oktaviasari, D. I. (2015). Factors Related the Used of Personal Protective
Equipment in Farmers in Ngantru Tulungagung District. Jurnal Wiyata, 2(2), 102–107.

Anda mungkin juga menyukai