Anda di halaman 1dari 23

PARADIGMA KEPEMIMPINAN MENURUT

PANDANGAN BATAK TOBA TRADISIONAL


(Suatu Pendekatan dari Sudut Sejarah
dan Antropologi Budaya Batak)

Pendahuluan

1. Paper ini adalah satu studi dan mencoba menjelaskan: “Paradigma


Kepemimpinan Menurut Pandangan Batak Toba Tradisionil” (suatu
pendekatan dari sudut sejarah dan antropologi budaya Batak). Pada posisi
ini, penulis adalah seorang pelayan (mahasiswa) yang berusaha belajar,
bertanya, bergumul, sekaligus mengenal dan mencari bentuk, warna, gaya
kepemimpinan/pemerintahan menurut pandangan Batak Toba Tradisional
(sebelum pengaruh kekristenan). Bagipenulis, tujuan utama paper ini
merupakan bagian dari penyelesaian tugas-tugas studi bidang Sejarah
Gereja yang sedang diikuti oleh penulis sekarang (Program Studi Pasca
Sarjana S-3/Doctroal di STT-HKBP Pematangsiantar). Sebagai seorang
pendeta di HKBP (salah satu denominasi Protestan yang mengikuti
pengajaran reformasi Martin Luther), terhadap penelitian ini penulis sangat
diilhami oleh semboyan: “Ecclesia reformata, semper reformanda” (gereja
reformasi senantiasa mereformasi diri). Artinya, melalui paper ini penulis
setiap saat mau belajar dan berubah: bukan demi perubahan saja tetapi
dapat berharap dimampukan mengaktualisasikan diri di tengah jemaat dalam
pelayanan kelak. Dalam diri penulis, kesadaran ini muncul mengingat gereja
dan orang Kristen sekarang sedang berada pada titik balik sejarah dunia
(sejarah gereja) di mana banyak terjadi perubahan yang memang nyata sulit
dibayangkan beberapa decade yang lalu. Gereja sedang menghadapi realitas
dunia dengan fenomena baru yang bergerak cepat dan sering disebut
sebagai “Globalisasi”. Pada decade terakhir ini, kecepatan globalisasi nyata
sungguh luar biasa, kecepatan ini didukung oleh liberalisasi ekonomi dan
teknologi informasi yang demikian canggih dan nyata sudah meruntuhkan
banyak birokrasi dan batas-batas Negara dan wilayah. Nilai-nilai positif dan
negatif, ancaman dan peluang datang silihberganti dan secara bersamaan
dengan femomena dimaksud. Sekarang tergantung kepada gereja (umat
Kristen) umumnya, khususnya kepada mereka yang dipercayakan pemimpin
diharapkan dapat mempergunakan keadaan ini untuk mendatangkan berkat
dan kebaikan, atau justru membiarkan perubahan berjalan begitu saja
dengan konsekwensi akan tergilas jaman.

2. Sejauh penelitian dilakukan oleh penulis tentang teori-teori kepemimpinan


(pemerintahan), dan menurut para ahli sangat banyak teori serta defenisi
tentang pemimpin dan kepemimpinan. Hikmatnya, kalau ditanyakan kepada
mereka yang ahli dalam bidang ini, semuanya mungkin menjawab melalui

1
defenisi yang berbeda-beda. Contohnya Robert K. Greenleaf, 1 ia
mengumpulkan pendapat para ahli dan mencoba mendefenisikan
kepemimpinan mengatakan bahwa: “kepemimpinan adalah kapasitas dan
kemauan mengarahkan orang untuk tujuan bersama dan karakter yang
mengilhami keyakinan”. Ada yang mengatakan bahwa seorang pemimpin
adalah “dia yang memahami dengan jelas apa yang dibutuhkan dan apa yang
benar dan mengetahui bagaimana menggerakkan orang yang dipimpin dan
sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan berama”. Selanjutnya dalam
buku yang sama, Greenleaft mengutip pendapat Howard Gardner 2 berkata:
“seorang pemimpin adalah sebagai orang yang banyak mempengaruhi
pemikiran, sikap dan perasaan orang lain tentang sesuatu”. Dikatakan juga
bahwa kepemimpinan adalah “suatu kemampuan untuk menggerakkan orang
bekerjasama dengan entusiasme untuk mencapai tujuan bersama”. Dari
banyaknya defenisi tentang kepemimpinan dapat dipahami bahwa seorang
pemimpin harus memiliki kualitas-kualitas tersendiri atau kemampuan untuk
mempergunakan sumber daya manusia dan sumber daya lainnya untuk
mencapai tujuan-tujuan yang sudah ditentukan dalam sebuah organisasi
khususnya dan lembaga masyarakat umumnya. Istilah entusiasme di sini
menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus memiliki kualitas khusus untuk
mendorong atau memberi motifasi sehingga orang-orang yang dipimpin dapat
dengan semangat melakukan yang terbaik demi tercapainya visi dan misi
kepemimpinan. Pada akhirnya, dalam bukunya Greenleaft 3 menyarankan
suatu model dan konsep dalam kepemimpinan yang disebutnya sebagai:
“Servant Leadership” (kepemimpinan hamba) mengatakan bahwa “pemimpin
hamba pertama-tama ia harus bertindak sebagai hamba, itu dimulai dengan
perasaan alamiah bahwa dia benar-benar ingin untuk melayani kemudian
dengan pilihan secara sadar akan menuntun dia untuk ingin memimpin”.

3. Berhubung dengan uraian di atas, “bagaimana masyarakat Batak Tradisionil


dulu (sebelum jaman Belanda dan kekristenan) menerapkan bentuk dan
gaya kepemimpinan dan pemerintahan dalam masyarakatnya?” Inilah yang
menjadi pertanyaan dasar dan kokoh melalui studi tema ini, tentu adalah
tidak mudah menjawab dan menjelaskan ini. Mempertimbangkan pernyataan
para ahli4 di mana hampir semua menyimpulkan bahwa berhubungan dengan

1
Robert K. Greenleaf, Servant Leadership: A Journey Into The Nature Of Legitimate
Power And Greatness (New York: Paulist Press: 1991) hl. 32-36
2
Greenleaft., Ibid
3
Greenleaft, Ibid
4
Lih. Prof. Bungaran A Simanjutak, Struktur social dan Sistem Politik Batak Toba
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006) hl. 66. Buku ini awalnya merupakan sebuah Tesis B.
A. Simanjuntak untuk Instituut voor Culturele Atropologi di Leiden Belanda, yang bahan
penelitian topicnya sebelumnya telah dilakukannya antara tahun 1975-1976 sebelum penulis
kuliah di Post Graduate Anthropology Universitas Leiden Belanda (selesai 1978 ). Fokus
perhatian penulis dalam buku ini adalah perkembangan social budaya yang sangat cepat
dewasa ini telah menimbulkan banyak dampak terhadap pergaulan dan kehidupan social orang
Batak Toba, terutama yang hidup di desa-desa dan kabupaten Tapanuli. Perkembangan itu
sangat didasari sepenuhnya oleh pengaruh kemajuan pendidikan, hubungan masyarakat yang
terbuka dan sangat cepat antar propinsi dan antar suku bangsa. Perubahan yang terjadi itu,

2
system politik dan pemerintahan masyarakat Batak, bahwa: “orang Batak
dahulu (pada jaman tradisionilnya yakni sebelum masuknya kekristenan dan
sebelum berkuasanya kolonialisme Belanda) tidaklah mempunyai susunan
pemerintahan yang teratur dan tegas bidang-bidang kerajaan di Jawa seperti
Kediri, Singosari, Mataram, Mojopahit, dan lain sebagainya”. Hingga masa
penelitiannya, B. A. Simanjuntak, 5 tidak yakin bahwa ada satu kerajaan yang
betul-betul seperti kerajaan-kerajaan di negeri Eropa pada abad pertengahan,
terdapat di tanah Batak. Kalau pun ada kerajaan yang dipimpin oleh
Sisingamangaraja, sifat dan bentuknya tidak seperti kerajaan-kerajaan di
Eropa maupun di Jawa. Pemerintahan di tanah Batak sebelum pengaruh
kekristenan dan Belanda, itu bercampurbaur antara organisasi formal dengan
adat istiadat yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat, bahkan
“adat merupakan landasan pemerintahan”. Artinya bahwa bagi orang Batak
tradisionil pemerintahan masyarakatnya, itu dijalankan sebagai manifestasi
(sangat berhubungan integral) dari adat. 6 Tekanan pokok yang hendak
disampaikan melalui penjelasan ini adalah bahwa: “sampai saat kedatangan
Belanda (juga sampai sebelum kedatangan kekristenan) ke Tanah Batak,
kecuali untuk pembayaran upeti kepada colonial, tidaklah terdapat keterikatan
orang Batak terhadap bangsa-bangsa tetangganya secara hierarkis”. 7
Artinya, ke enam suku Batak, masing-masing tidaklah dipimpin oleh satu
system pemerintahan dan kekuasaan yang menganyomi seluruh wilayahnya
maupun social kemasyarakatannya. Kekuasaan politik seorang pemimpin
bagi secara umum suku Batak, hanya berlaku dan terbatas pada marga
dalam masing-masing (tidak kepada semua anggota kelompok satu suku)
suku, termasuk: “raja-imam Batak Sisingamangaraja”. Pernyataan ini
semakin jelas melalui pernyataan Lance Castle mengungkapkan bahwa:
“sebelum masa colonial Belanda, masyarakat Batak (Toba) hampir tidak
pula sangat berpengaruh kepada sturktur dan system social masyarakat Batak Toba secara
keseluruhan.
5
B.A. Simanjuntak, Ibid.
6
Masyarakat Toba pra-kolonial, tidak memiliki (mengenal) konsep Negara dan organisasi politik
dasarnya terdiri dari desa-desa kecil. Desa-desa kecil ini diperintah oleh masing-masing raja
(pemimpin) yang sebenarnya merdeka, meski pun mereka merupakan bagian dari jaringan
yang kompleks dengan desa-desa yang lain berdasarkan hubungan dan keanggotaan marga
dalam komunitas-komunitas pemujaan yang lebih besar (bius). Lih. Johan Hasselgren, Batak
Toba di Medan: Perkembangan Identitas Etno-Religius Batak toba di Medan, 1912-1965
(Medan: Penerbit Bina Media Perintis, 2008) hl. 68
7
J.R. Hutauruk, Kemandirian Gereja (Jakarta: BPK-GM, 1992) hl. 15. Dengan mengutip
pendapat J. Tiedeman, mengakatakan bahwa: “kehadiran Raja na Opat tidak
memberi/membawa perubahan yang nyata dalam tata tertib social suku bangsa Batak”.
Seperti: a). Untuk Simalungun disebut: “Raja na Opat”, yaitu keempat raja (di Silo, Pane,
Siantar, dan Tanah Jawa). b). Di kalangan suku Batak Toba di daerah Toba dan Silindung
terdapat lembaga “Raja na Opat”, di mana Raja na Opat memperoleh gelarnya dari seorang
pembesar adat di Barus, yang beragama Islam dan yang konon adalah keturunan
Minangkabau. Raja na Opat di Silindung menyandang gelar: Rangkae Tua (yakni di tengah
marga Sitompul, Panggabean, Hutabarat dan Sisangkal), Baginda Hulana (di tengah marga
Hutabarat Partali dan Hutabarat Parbaju), Raja Ilamuda (di tengah marga Hutauruk, Situmeang
dan Simanungkalit) dan Bagot Sinta (di tengah marga Hutapea, Lumbantobing dan
Hutagalung). Ke empat Raja na Opat di Silindung merupakan “Raja bawahan” dari raja-Imam
Sisingamangaraja.

3
mengenal Negara”.8 Penjelasan inilah yang mengilhami sangat kuat motivasi
penulis melakukan studi ini sekaligus merumuskan judul seperti diuraikan di
atas. Penulis sadar betul bahwa penelitian dan penjelasan tema ini masih
belum representative menguraikan dan menjelaskan konsep kepemimpinan
Batak Toba secara detail seperti dijelaskan di atas. Tulisan ini hanya sebagai
usaha dari seorang Pelayan (Pendeta) yang sedang studi dan berusaha
belajar, bertanya dan menggumuli dan lain sebagainya tentang: “Paradigma
Kepemimpinan Tradisionil Batak Toba”. Penulis berharap, akhirnya tulisan ini
dapat menjadi representative sebagai bahan bacaan bila pembaca
memberikan kritik (dukungan) dan kontribusi (sumbangan) pikiran yang tentu
membangun wacana penulis tentang makna filosofi budaya Batak Toba
tentang kepemimpinan. Sengaja sub judul tema ini dirumuskan dengan:
“Sebuah pendekatan dari sudut sejarah dan antropologi budaya (Batak
Toba)” di mana melalui pendekatan ini, penulis berharap dapat dengan
mudah mensystematisasi sekaligus mengelompokkan identitas (pokok-pokok
pikiran secara tematis) dan menekankan maksud uraian tema ini menurut
tujuan yang hendak dicapai oleh penulis sendiri.

Selayang Pandang Tentang Batak Toba Tradisionil

4. Secara ginealogis-antropologis, ada enam (cabang) suku yang mendiami


wilayah daratan bagian Utara dan Barat Laut Pulau Sumatera di mana ke
enam suku itu disebut sebagai suku “Batak”. Ke enam suku itu yakni: “Karo,
Pakfak/Dairi, Simalungun, Toba, Angkola dan Mandailing” yang masing-
masing (cabang) suku ini memiliki dialek (bahasa) tersendiri. Hingga
pertengahan abad 19 (sebelum tahun 1850-an), semuanya masih sangat sulit
menerima pengaruh-pengaruh budaya dari luar baik secara antropologis
maupun cultural9. Artinya, masing-masing suku masih sangat tertutup satu
sama lainnya namun sifat tertutup ini mulai terbuka setelah berlangsungnya
penyerbuan dan pendudukan Islam di bagian Selatan daerah Batak (pada
tahun 1830-an) yang kemudian disusul dengan masuknya Reinse Zending
(Rheinische Missionsgesellschaft: RMG) sebuah badan penginjilan dari
Jerman. Jauh sebelumnya, Hindu telah berpengaruh kepada system struktur
social dan hukum Batak. Untuk membuktikan pengaruh Hindu terhadap

8
Lance Castle, Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatera: Tapanuli, 1915-1940
(Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia: KPG, 2001) hl., 6. Penduduk tinggal di kampung-
kampung yang disebut huta di mana huta dipimpin oleh yang disebut sebagai “raja ni huta”
yang adalah pendiri kampung atau para keturunannya. Penghuni kampung tidak tunduk secara
politis kepada otoritas yang lebih tinggi.
9
Andar M. Lumbantobing, Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja (Jakarta: BPK-GM,
1996) hl., 1-2. Penjelasan ini didukung oleh J.R. Hutauruk, mengatakan: “suku-suku Batak
yang temasuk rumpun Melayu-Purba, hingga sekitar tahun 1825 tidaklah beragama Hindu,
Islam dan Kristen dan tidak tuntuk kepada suatu penguasa jajahan”. Faktor-faktor yang
mempengaruhi perubahan social budaya yang mereka alami setelah 1825 sangat ditentukan
oleh kehadiran bangsa-bangsa tetangganya yang beragama Islam (suku-suku Aceh di
Sumatera Utara, suku Melayu dari Sumatera Timur dan Minangkabau dari Sumatera Barat).
Kemudian berlangsung pengaruh agama Kristen melalui ekspansi perekonomian dan
pemerintahan Eropa. Lih. J.R. Hutauruk, Op.Cit., hl. 10-11

4
sturktur social dan hukum Batak, J. Tiedeman dan Harry Parkin masing-
masing telah menulis buku berjudul “Pengaruh Hindu di Bagian Utara Tanah
Batak/Hindoe Invloed in Noordelijk Batakland”, buku ini telah diterbitkan tahun
1936 di Amsterdam Belanda. Buku kedua ditulis Harry Parkin berjudul
“Pengaruh Hindu Kepada Kehidupan Batak/Batak Fruit of Hindu Thought”.
Menurut Bisuk Siahaan10, agaknya buku Harry Parkinlah yang lebih
mendalam dari sudut penguraiannya sebab Parkin menjelaskan persamaan
dan perbedaan antara kebudayaan dan kepercayaan Batak Toba dengan
orang Tamil yang berasal dari India Selatan. Menurut Parkin, 11 ada lima belas
kemungkinan diperkirakan dapat mempengaruhi Budaya, cara hidup dan
kepercayaan Batak, yakni: pengaruh pemukiman orang Tamil di Lobu Tua
Barus; bahasa Sanskerta dalam perbedandaharaan kata Batak Toba;
Pustaha dan tulisan Batak; kalender dan astrologi; biara dan candi Budha-
Hindu di Padang Lawas; kerajaan Hindu di tanah Jawa Simalungun; budaya
megalit dan sarkofagus; agama dan kepercayaan; konsep Debata Mula Jadi
Na Bolon; Debata Na Tolu; Roh alam; Desa Na Ualu; Bindu Matoga; Hariara
Jambu Barus”.

J.R. Hutauruk mengatakan12: “berkenaan dengan masa hingga sebelum


tahun 1825 tidak dapat disebutkan bahwa ada suku-suku Batak yang tunggal
di mana keanekaragaman dialek Batak sangat mengisayaratkan keterasingan
mereka satu dengan yang lain dan tidak terdapat sama sekali pengaruh Islam
dan Barat di dalamnya”. Bila mulai abad ke-13, melalui perdagangan dan
agama Islam telah “meraih” suku bangsa Aceh, Minangkabau dan Melayu,
maka disebabkan oleh kepentingan ekonomis dan politis berhadapan dengan
suku-suku tetangganya, kaum Batak, maka terjadilah hubungan yang
mengakibatkan orientasi keagamaan dan politis yang baru bagi kaum suku
Batak. Untuk suku Karo misalnya, bagi yang bermukim di Dusun lama:
kelamaan terpengaruh oleh kesultanan Islam-Melayu di Langkat, Deli dan
Serdang, sedangkan yang bermukim di pegunungan tetap bebas dari
pengaruh Islam. Hal serupa terjadi bagi suku Simalungun di daerah
Simalungun Hilir, khususnya di Pematangsiantar dan Bandar terdapat
beberapa orang Melayu Islam. Hingga 1902, beberapa pembesar suku sudah
memeluk Islam sebelum permulaan penjajahan Belanda di Simalungun,
misalnya raja Pematangsiantar. Untuk kalangan Batak Toba, yang menandai
perubahan terjadi ialah penyesuaiannya dengan kebudayaan Melayu di
Sumatera Timur (Asahan) sebagai akibat hubungan perniagaan dengan para
saudagar dan dengan Sultan-sultan Melayu. Selanjutnya, pengaruh Islam
dari Sumatera Barat tidak sebesar yang masuk dari daerah pantai Timur,

10
Lihat, Bisuk Siahaan, Batak Toba Kehidupan di Balik Tembok Bambu (Jakarta:
Kempala Foundation, 2005) hl. 43-44. Kesimpulan yang dibuat oleh Bisuk Siahaan terhadap
pengaruh Hindu kepada masyarakat Batak tradisionil adalah “pengaruh Hindu hanya terbatas
pada ilmu perbintangan, pengetahuan dukun, ilmu meramal, dan tulisan. Sedangkan
mengenai kepercayaan, falsapah, pandangan hidup Batak” tidak lebih jauh dipengaruhi oleh
Hindu.
11
Ibid., hl. 45
12
J.R. Hutauruk, Ibid., hl. 11

5
hanya dapat dikatakan bahwa hingga tahun 1825 pelabuhan Sibolga sudah
didominasi oleh orang Batak Toba. Namun tahun 1852, orang Batak Toba
mulai mundur ke daratan tinggi walau Sibolga tetap merupakan pusat penting
untuk perdagangan orang Batak Toba dengan Melayu Islam. Ke Selatan dari
daerah pemukiman Batak Toba, terdapat pemukiman suku Batak Angkola
dan Mandailing. Oleh kaum ilmuwan tidak diragukan bahwa mereka adalah
keturunan suku Batak Toba. Karena hidup bertetangga dengan kaum Islam
Minangkabau, sebelum tahun 1820 mereka juga terkena pengaruh agama
Islam.

Sistem Kepemimpinan dan Pemerintahan


Batak Toba Tradisionil

5. Sebagaimana sudah dijelaskan di atas (pada poin dua 2), DJ. Gultom
Rajamarpodang13 menekankan bahwa: “system pemerintahan Harajaon
Batak Toba pada masa yang lalu, ini tidak boleh dibandingkan dengan
system pemerintahan dengan bentuk sekarang di mana suatu Negara
dipimpin oleh seorang Kepala Negara”. Namun untuk menjelaskan system
pemerintahan Batak Toba Tradisionil, penting diingat bahwa menurut
keyakinan Batak tradisionil: “Dalihan Na Tolu (Tungku Nan Tiga)”14 adalah
merupakan penerapan kuasa Mulajadi Na Bolon di bumi ini. Wujud pancaran
kuasa Mulajadi Na Bolon ini nyata pada paham yang dianut sebagai:
pertama, Debata Na Tolu pada fungsi kebijakan. Kedua, Batara Guru pada
fungsi kebenaran dan kesucian. Ketiga, Debatasori Sohaliapan/
Debatabalabulan pada fungsi kekuatan. Orang Batak yakin bahwa setiap
pemimpin Batak Toba sejak dari Siraja Batak sampai dengan
Sisingamangaraja XII semuanya merupakan titisan Mulajadi Na Bolon.
Keyakinan inilah yang membuat maka setiap pemimpin Harajaon Batak
menjadi kepala pemerintahan, pemimpin ugamo sekaligus Raja Adat. Hal ini
jelas kelihatan ketika Raja Sisingamangaraja XII memimpin Harajaon Batak.15
Inilah yang mempengaruhi raja-raja Batak sejak dahulu tidak mendirikan
13
DJ. Gultom Rajamarpodang, Dalihan Na Tolu Nilai Budaya Suku Batak (Medan: CV.
Armada, 1992) hl. 422.
14
Lih. Gultom Rajamarpodang, Op.Cit., 52-53. Arti harafiah “Dalihan Na Tolu”: Tungku Yang
Tiga Batu-nya” (tungku yang disanggah oleh tiga batu). Tungku adalah alat memasak. Orang
Batak melambangkan alat memasak makanan dalihan yang tiga batunya sebagai lambing
struktur social masyarakatnya. Artinya ada tiga golongan penting dalam struktur social
masyarakat Batak, yakni: hula-hula (kelompok marga pemberi isteri), boru (kelompok marga
penerima isteri), dan dongan sabutuha/dongan tubu (kelompok marga yang satu asal
perut/satu nenek moyang/satu marga). Lih. Juga: B. A. Simanjuntak, Op.cit., hl. 100
15
Op.Cit., 420. Orang Batak tradisionil yakin bahwa awalnya Siraja Batak berpusat di Pusuk
Buhit yang kemudian pindah ke Bakkara pada Dynasti Raja Sisingamangaraja. Harajaon
Batak tradisionil terbagi atas empat wilayah dan wilayah-wilayah inilah yang disebut sebagai
Raja Maropat yang masing-masing wilayah meliputi: Raja Maropat Samosir dengan daerah
Pulau Samosir dan sekitarnya. Raja Maropat Humbang dengan wilayah daerah Humbang
hingga ke Samudera Hindia dan Aceh Selatan (Singkil). Raja Maropat Silindung dengan
wilayah Silindung sekarang sampai Samudera Hindia dan perbatasan Pagaruyung. Raja
maropat Toba dengan wilayah Toba sekarang hingga ke pantai Timur perbatasan dengan
Riau (Kerajaan Johor).

6
istananya karena istananya sendiri adalah rakyatnya sendiri. 16 Sejak
munculnya Siraja Batak (sebagai asal/nenek moyang semua orang Batak), ia
terlebih dahulu mengkonsolidasikan pemerintahannya untuk melanjutkan
kuasa kerajaan Batak dengan terlebih dahulu menanamkan kesadaran
berbangsa dan bernegara dengan penanaman pandangan ideal Dalihan Na
Tolu sesuai dengan pandangan kepercayaan Batak terhadap Mula Jadi
Nabolon. Siraja Batak adalah kepala Negara sekaligus sebagai kepala
pemerintahan, pemimpin keagamaan dan Raja Adat. Karena pemerintahan
belum dapat dijalankan sesuai dengan kedudukannya sebagai kepala Negara
maka jalan satu-satunya yang ditempuh adalah dengan menyatukan
masyarakatnya dengan keagamaan dengan adat istiadat. Keagamaan dan
adat istiadat sudah dapat dijalankan dengan baik, tetapi dalam hal
pemerintahan belum terlaksana dengan sempurna dalam pengertian yang
sebenarnya menurut hukum ketatanegaraan. Sementara itu nyata bahwa
sudah datang pula paham-paham baru yang mempengaruhi pandangan
masyarakat Batak. Pada pemerintahan Raja Sisingamangaraja, paham-
paham baru itu dihadapi dengan landasan keyakinan yang sudah menjadi
hayat masyarakatnya. Dalam hal ini pemimpin-pemimpin Batak sudah
berhasil, tetapi bagi perwujudan pemerintahan sesuai dengan
ketatanegaraan masih jauh dari pada tujuan. Pada tahap ini juga masih ada
yang mengatakan bahwa Sisingamangaraja bukanlah Raja Batak, tetapi
adalah seorang pemimpin Batak yang dapat memimpin masyarakat Batak.
Oleh sebab itu, ciri pemerintahan yang dominan nampak pada pemerintahan
Batak tradisionil adalah sebagai: “perpaduan antara pimpinan pemerintahan
dengan pimpinan keagamaan dan pimpinan adat 17”. Menegaskan hikmat
pernyataan ini, Bisuk Siahaan 18 mengatakan: “hampir di semua tempat di
Toba dapat ditemukan mata rantai yang menghubungkan antara marga dan
huta, antara kelompok suku dan daerah asalnya. Hubungan tersebut tidak
selalu jelas terlihat dan tidak mempunyai tanda-tanda yang mudah dikenal.
Terdapat tiga factor utama yang mengikat penduduk sehingga bersedia
tinggal di suatu tempat yaitu, kesilsilahan, kesamaan agama kepercayaan
dan wilayah tempat tinggal yang sama”. Ikatan yang paling menonjol adalah
kesamaan silsilah dan kedua agama. Daya pengikat yang dianggap lebih
longgar dan tidak sekuat factor kekerabatan dan agama. Dalam tiga unsur
identitas yang sangat berpadu inilah pokok penelitian ini diarahkan guna
menjelaskan system pemerintahan (kepemimpinan) pada masyarakat
tradisionil Batak Toba, di mana itu nampak pada apa yang di dalam system
struktur masyarakat Batak Toba disebut sebagai Bius, Horja dan Huta.

Bius

16
Ibid., hl. 421. Jika pada uraian penelitian ini dibicarakan system pemerintahan Batak Toba,
maksudnya adalah bahwa dalam system kemasayarakatan Batak Toba hal inilah yang terus
hidup di dalam bentuk budaya.
17
Gultom Rajamarpodang, Op.Cit., hl. 453
18
Bisuk Siahaan, Op.Cit., hl. 153.

7
6. Bius adalah struktur wilayah dari system pemerintahan Harajaon Batak
dengan wilayah tertentu dan mempunyai rakyat serta pemerintahan. Bius
adalah tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi dalam masyarakat Batak
Toba dan pemerintahan Bius sangat bersatu dengan ugamo dan adat.
Wilayah Bius terdiri dari beberapa Horja. Kepala dan pimpinan Bius disebut
sebagai Raja Doli. Bius merupakan kesatuan pemujaan sombaon maksudnya
banyaknya masalah yang tidak dapat ditangani oleh horja karena berada di
luar kemampuannya (seperti musim kering yang sangat panjang, penyakit
kolera yang mewabah, masa panceklik dan panen yang gagal dan lain
sebagainya). Untuk memohon belas kasihan serta perlindungan maka
penduduk membentuk kelompok yang beranggotakan semua marga yang
tinggal diwilayah yang tertimpa bencana. Persekutuan inilah yang disebut
sebagai Bius. Jelasnya, Bius merupakan gabungan beberapa horja yang
terdapat dalam satu kesatuan territorial yang memiliki identitas social tertentu.
Marga-marga yang menjadi anggota suatu Bius memiliki wilayah yang
berbeda. Karena itu mereka merasa bahwa sombaon yang terdapat di
wilayah mereka harus dipuja secara bersama-sama, supaya dewata dapat
memberi beri berkat dan ketenteraman di antara mereka. 19 Pusat kegiatan
Bius disebut dengan Parbiusan (tempat persidangan raja-raja Bius). Raja-raja
Bius adalah Partuho Mangajana yaitu rumpun keluarga sesuai dengan hikmat
kebijaksanaan yang dimiliki berdasarkan kelahiran (partubu). Dalam
mekanisme pengambilan keputusan rapat, apa yang menjadi keputusan raja-
raja Bius adalah sah dan mutlak menjadi keputusan rumpun keluarga yang
diwakilinya dan apa yang disetujui mereka adalah menjadi persetujuan dari
rumpun keluarga. Untuk merencanakan dan menata pembangunan demi
kesejahteraan rakyat Bius, Raja-raja Bius memilih Raja Na Opat Bius20 sesuai
dengan keahliannya berfungsi merencanakan dan menata mengenai bidang
kepercayaan rakyat Bius. Menurut fungsinya, Raja-raja Bius (dari sudut
keberadaannya) berasal dari Raja Jolo-Raja Jolo marga dan dapat diwakili
anak sibulang-bulangan marga. Raja Bius adalah wakil-wakil dari Horja.
Raja-raja Bius inilah sering disebut Partuho Mangajana yaitu pemilik hikmat
kebijaksanaan masyarakat umum sesuai dengan masing-masing marga.
Masing-masing Raja Bius memilih Uluan melalui masyarakat Horja. Uluan
adalah pemimpin pelaksana dari satu-satu Horja dari kesatuan marga pada
Lumban (beberapa Huta). System kemasyarakatan Lumban (Huta) adalah
Dalihan Natolu. Fungsi kekerabatan Dalihan Na Tolu sangat berperan bagi
setiap pelaksanaan kegiatan. Raja-raja Bius berfungsi sebagai wakil rakyat
dan menjadi penyelenggara pemerintahan yang dipercayakan kepada Raja

19
B.A. Simanjuntak, Op.Cit., hal. 186
20
Keempat Raja Na Opat Bius ini dapat disebutkan yakni: Pertama, Raja Adat berfungsi
merencanakan dan menata mengenai uhum/hukum dan adat. Kedua, Raja Parbaringin
berfungsi merencanakan dan menata mengenai bidang social politik dan keamanan Bius.
Ketiga, Raja Bondar berfungsi merencanakan dan menata mengenai perekonomian Bius.
Keempat, Pimpinan Bius yang disebut “Ulu Bius” dipilih Raja-raja Bius. Ulu Bius ini pada
mulanya disebut Ihutan karena fungsinya serupa dengan Primus Interpares yang dituakan
sesama mereka dan kemudian berkembang menjadi raja adat, pimpinan keagamaan dan
pimpinan pemerintahan.

8
Na Opat Bius. Uluan sebagai pelaksana pada Horja menugasi para Parhobas
sesuai dengan kemampuannya. Raja-raja Na Opat Bius membuat rencana
rutin tahunan program kegiatan untuk dilaksanakan Uluan Horja tiap
tahunnya. Kedudukan Ihutan adalah untuk mengayomi program. Raja-raja
Bius di dalam kesepakatan pada Mangajana (sidang umum) menetapkan
semua hal yang berkaitan dengan aspek kehidupan masyarakat Bius,
misalnya untuk perburuan demikian dalam hal perikanan termasuk semua
bentuk gotongroyong. Semua perintah dari Harajaon Batak disampaikan
kepada Ihutan melalui Raja Maropat dan diteruskan ke Bius. Semua perintah
itu dilaksanakan dengan konsekwen dan dirasakan oleh masyarakat apabila
perintah (tona) tidak dilaksanakan akan mendatangkan bala. Rencana dan
program dari Ihutan, terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Raja-raja
Bius, baru dapat dijalankan oleh Raja Na Opat Bius atas nama Raja-raja
Bius. Perihal rencana dan Program rutin yang disepekati raja-raja Bius,
Ihutan dalam hal ini adalah untuk mengayomi. Yang menyangkut hukum, baik
yang menyangkut perdata maupun pidana (termasuk adat) ada di tangan
Raja-raja Bius setelah mendengar Panimbangi dan Ihutan. Kuasa menyetujui
dan untuk melaksanakan suatu ketetapan berada di tangan Raja-raja Bius.
Ihutan juga mempunyai peranan karena ia dipandang pemilik hikmat
kebijaksanaan karena kedudukannya. Bagi masyarakat Batak Toba ikatan
yang paling mendasar bagi pengembanan aspek hukum, ini dilihat dari segi
kerohanian dan dianggap ritual. Sulit bagi masyarakat Toba mengingkari
perintah dari Ihutan termasuk perintah dari Raja-raja Bius, setiap perjanjian
baik berbentuk tulisan maupun lisan, ini sangat kuat dan sulit dibedakan
nilainya. Ungakapan Batak Toba mengatakan “Hori ihot ni doton, hata
siingoton” artinya bahwa: “kata-kata sangat mahal harganya”. Kuasa Bius, ini
didelegasikan kepada Raja Na Opat Bius yang meneruskan ke Uluan Horja
dan seterusnya kepada Raja Jolo Lumban sampai Tunggane Huta dari Huta.
Dalam hal rapat ketua sidang Bius adalah seorang dari Raja Doli21, tetapi
harus dari marga siahaan (marga yang tertua) dan yang terpilih menjadi
ketua dan dinamakan sebagai raja bolon (raja besar, raja mulia). Salah satu
bukti bahwa Bius tergolong organisasi wilayah yang menyangkut soal-soal
pemerintahan yaitu bahwa setiap keputusan Bius tidak bisa dibantah maupun
dibandingkan sebab tidak ada lagi organisasi yang lebih tinggi dari Bius.
Kalau seseorang tidak menerima keputusan rapat Bius, maka satu-satunya
jalan adalah melakukan perang yang dinamakan manguji (mencoba) antara
orang yang diadili di pengadilan Bius.

Horja

21
Bisuk Siahaan, Op.Cit., hl. 159. Seorang Raja Doli biasanya adalah seorang yang paling
kaya, paling pintar dan paling berani,mampu bertindak dan bijaksana. Jabatan Raja Doli bisa
diwariskan. Ada kalanya seseorang bisa mengangkat diri sebagai Raja Doli, dia bersama
pengikutnya menentang Raja Doli yang ada, sehinggaterjadi percekcokan hingga akhirnya
dapat menyulut perang saudara. Tugas utama Raja Doli adalah mendamaikan perselisihan
yang timbul dalam Bius,menjalankan ketentuan dan peraturan untuk pepentingan umum,
misalnyamemasang saluran air, melakukan pengamanan bersama bahkan memaklumkan
perang.

9
7. Pengertian Horja dalam masyarakat Batak Toba bermacam-macam. Ada
yang memahami sebagai pesta yang dilakukan oleh salah satu cabang
marga yang telah beratus tahun mendiami satu wilayah tertentu (pesta
sahorja). Kalau dihubungkan dengan upacara yang berbau keagamaan kuno,
maka sahorja horbo, berarti satu pesta memotong kerbau. Pengertian lain
dari Horja adalah satu kelompok cabang marga yang didasarkan kesatuan
memakan daging dari perkawinan boru (sahorja mangan tuhor ni boru-
sepesta makan tuhor boru). Di daerah Humbang, Horja diartikan sebagai
wilayah tertentu yang dihuni oleh satu marga saja. Di Tapanuli Selatan Horja
diartikan sebagai Luat (wilayah, tempat). B.A. Simanjutak 22 memberikan
defenisi Horja sebagai yang menguasai hukum pertanahan adat yang dalam
hal ini Horja sebagai wilayah marga atau territorial marga. Horja adalah
struktur dan organisasi wilayah yang terdiri dari beberapa wilayah Huta, di
mana kepala/pimpinan Horja dinamakan sebagai Raja Parjolo (raja terdepan)
yang didampingi oleh beberapa Raja Partahi (raja perencana). Dalam
masyarakat Batak, pesta horja hanya dilaksanakan oleh mereka yang
semarga. Bisuk Siahaan23 mendefesnisikan horja sebagai sebuah federasi
atau persekutuan bersama yang dibentuk oleh bebrapa kampung (huta) dan
sifat persekutuan itu adalah otonom. Fererasi huta yang disebut sebagai
horja hampir selalu memiliki kampung induk. Horja merupakan unit yang
masing-masing terikat satu dengan yang lain secara kesilsilahan, meskipun di
antaranya terselip maraga-marga lain yang sudah dianggap sebagai anggota
keluarga. Horja berhak mengikat janji dengan horja lain, misalnya untuk
kepentingan bersama antara lain pertahanan. Awalnya, federasi horja adalah
masyarakat kurban, tetapi lama-kelamaan berubah menjadi masyarakat
hukum, yang secara langsung mengurus kepentingan duniawi warganya.
Lebih jelas uraian Bisuk Siahaan24 mengenai Horja mengatakan bahwa
menurut tugasnya, Raja Parjolo sebagai pimpinan Horja, ia berhak
menyatakan perang dan mengatur pekerjaan pekerjaan besar yang ada
kaitannya dengan kepentingan anggota. Dan juga mengatur persiapan horja
rea25 (pesta persembahan besar) dan membawakan doa-doa ritual
(martonggo) walau pemimpin upacara martonggo tetap ada pada
parbaringin.26 Tugas dan wewenang parbaringin dalam ritual keagamaan

22
B.A. Simanjuntak., Op.Cit., hl. 180
23
Bisuk Siahaan., Op.Cit. hl. 154
24
Bisuk,., Ibid., 156-157
25
Biasanya pesta jenis ini dilakukan adalah untuk memohon kepada leluhur supaya panen
diberkati, menangkal penyakit menular yang sedang melanda daerah horja atau memohon
kepada leluhur atau dewata supaya mengaruniakan keturunan kepada pasangan yang sudah
lama menantinya.
26
Parbaringin berasal dari garis tertua marga cabang, jabatan ini dapat diwariskan. Cara
mewariskan jabatan parbaringin dilakukan sebagai berikut: Raja Parjolo, Raja Huta,
pengetua masyarakat dan Raja Na Mora berkumpul bermusyawarah untuk menunjuk dan
menetapkan seorang dari turunan parbaringin sebagai pewaris. Penunjukan ini diumumkan
pada pesta pasampehon (menerima masuk ke dalam lingkungan parbaringin) yang dihadiri
semua parbaringin. Pada acara tersebut parbaringin mengucapkan tonggo-tonggo kemudian
melakukan tari wajib. Bisuk Siahaan, Op.cit., hl. 159

10
adalah mempersembahkan kurban kepada “Debata Mula Jadi Na Bolon,
sombaon dan roh leluhur”. Selama menjalankan tugasnya parbaringin harus
menyisipkan ranting beringin di serbannya, inilah sebagai simbol mengapa ia
disebut parbaringin (parsanggul beringin).

Huta

8. Wilayah huta bagi orang Batak secara umum berarti kampung. J.C.
Vergouwen27, mendefenisikan makna Huta (kampung) bagi orang Batak Toba
sebagai: “ sebuah dunia kecil yang tertutup, satu kesatuan yang hidup dan
terdiri dari sekelompok kecil orang yang terikat satu sama lain secara alami,
dan sudah lama hidup di tempat ini, tempat anak-anak mereka lahir, tempat
yang diharapkan menjadi kuburan mereka sendiri”. Ciri yang menonjol dari
umumnya huta (kampung) orang Batak, umumnya dikelilingi oleh parik
(tembok yang terbuat dari tanah atau batu) yang tingginya sampai dua meter
dan lebar satu meter. Keliling huta (tembok) biasanya selalu ditanami oleh
pohon bambu duri yang gunanya sebagai benteng untuk melindungi huta dari
serangan musuh.28 Huta merupakan tempat tinggal dari orang Batak yang
berasal dari satu nenek moyang (satu ompu) dengan atau tanpa boru. Marga
pendiri huta disebut marga raja (marga tano). Marga-marga lain yang tinggal
di huta dinamakan marga boru, mereka ini tidak mempunyai hak atas tanah.
Huta didirikan oleh satu marga raja dan di dalam setiap huta Batak terdapat
raja huta yaitu seorang dari pendiri huta. Raja huta didampingi oleh pandua
(orang kedua, wakil) serta seorang dari boru yang ikut bersama dengan
marga raja. Bila satu Huta sudah dianggap padat, orang mengatasinya
dengan mendirikan huta baru yang kemudian disebut sosor/pagaran. Alasan
lain mendirikan huta karena ada pertentangan atau perkelahian di antara
penghuni sebelumnya. Demikian dengan keinginan untuk memperoleh
kehidupan yang lebih baik atau karena ingin mandiri (manjae) dan memiliki
kerajaan sendiri bebas dari kekuasan huta induk.29 Menurut Tampubolon30
selanjutnya bahwa sejak penjajahan Belanda menguasai tanah Batak dan
membawa struktur pemerintahan baru serta menerapkannya di kalangan
masyarakat Batak, maka pembukaan huta-huta baru semakin besar sebab
keinginan untuk memperoleh jabatan kepala kampung yang disebut
Hampung (dibaca: happung). Soal kepemimpian huta sesuai penelitian ini
dapat ditegaskan bahwa kepemimpinan huta diwariskan dari nenek moyang
kepada anak cucu, artinya kepemimpinan huta harus tetap di tangan marga
raja (pendiri kampung). Raja huta mengurus segala keperluan di huta secara
musyawarah dengan saudara-saudaranya serta boru termasuk mengatur

27
Lih. J.C. Vergouwen, Masyarakat Dan Hukum Adat Batak Toba (Jakarta: Pusata Azet,
1985) hl. 119
28
Lih. B. A. Simanjuntak, Op.Cit., hl. 165
29
I. Tampubolon, Adat mendirikan Huta/Kampung (Medan: Percetakan Philemon Siregar,
1968) hl. 7
30
Marmanuk ni ampang maksudnya: upacara magis, sesekor ayam dipotong dimasukkan
ke dalam ampang kemudian dilihat ketak ayam mati tersebut di dalam denah peta magis
yang sudah disediakan.

11
pendirian rumah di dalam huta juga menghukum orang yang membuat
keonaran. Raja huta berhak penuh dan mutlak mengatur hutanya dan
biasanya pola pemerintahan huta bagi orang Batak ini sangat otonom.31

9. Dalam system pemerintahan Harajaon Batak, system kepemimpinan


sebenarnya dimulai dari huta yang dipimpin oleh Raja32 Huta/Tunggane Huta
(Tetua kampung) yang didukung oleh Suhi Ni Ampang Na Opat Keluarga
berdasarkan kekerabatan Dalihan Na Tolu. Kemudian, ke tingkatan yang
lebih atas adalah Lumban yang dipimpin oleh Raja Jolo Marga Lumban dan
didukung oleh Suhi Ni Ampang Na Opat Marga Lumban berdasarkan
kekerabatan keluarga Dalihan Na Tolu. Vergouwen33 mengatakan: “hak
memerintah di huta (harajaon) adalah hak bersama (hatopan) setiap
keturunan patrilinear langsung sipendiri”. Walau menurut peraturan hukum
hak itu dipangku oleh satu orang dan mungkin hanya terbatas pada
cabangnya, keturunan lain pendiri mendapat manfaat juga dari padanya.
Mereka tidak boleh diusir dari kampung (pabilhon) dan mempunyai hak yang
tidak boleh diganggu gugat untuk masuk dan bertempat tinggal di dalamnya
jika mereka menghendaki demikian. Jadi harajaon adalah semata-mata hak
istimewa galur keturunan raja, bukan hak dari galur yang lebih besar atau dari
marga yang menjadi batang tubuhnya. Di masing-masing huta di wilayah
harajaon Batak, sebutan untuk raja huta nampak berbeda. Di Samosir raja
huta disebut sebagai tunggane huta (tetua kampung). Di tempat lain kadang-
kadang dipanggil sebagai siboan bunti (pembawa persembahan). Sebagai
siboan bunti dialah yang bertugas atas pengelolaan kampung dan penegakan
hukum serta ketertiban dan displin. Dia merupakan keturunan patrilinear
pendiri kampung yang menjadi raja huta pertama. Jabatan ini, jika mungkin
diturunkan dari bapak ke anak atau kepada uaris (ahli waris). Jaman
tradisionil Batak, dari kepala kampung dituntut satu kwalitas yang lebih
banyak sebab pekerjaan kepala kampung sama aneka ragamnya dengan
banyaknya aspek kehidupan kampung.

Tugas-tugas ini dapat diuraikan sebagai berikut 34:


31
Ibid.
32
Penting juga ditekankan bahwa pengertian raja bagi orang Batak sejak lama sangat
mendasar pada realisasi pengembanan tanggungjawab (bukan sebagai kepala
pemerintahan).
33
Vergouwen, Op.Cit., hl. 126
34
Ibid. Di Silindung, galur besar atau cabang-cabang marga mengelompok di sekeliling raja
jungjungan yang kuat. Wewenangnya adalah ia sebagai seorang kepala yang berhasil
membuat dirinya dihormati oleh kelompok silsilah yang lebih besar yang ke dalamnya ia
terbilang. Ia menangani terutama soal soal yang berkaitan dengan keamanan dan perang
dan juga dengan urusan “dalam negeri wilayah”. Dalam hal mempertimbangkan sesuatu dia
dibantu oleh raja partahi (penasehat) yang biasanya kepala cabang-cabang yang menjadi
komponennya. Tetapi jika seseorang yang tadinya merupakan tokoh kuat kehilangan
pengaruh dalam urusan wilayah, atau jika pertumbuhan cabang yang ke dalamnya dia
termasuk lebih kecil dari pada yang lain di dalam kelompok yang lebiih besar maka
persaingan orang antara sesama dan pertandingan sesama galur yang lebih kecil akan
segera muncul ke permukaan dan wilayah yang tadinya menjadi unit yang perkasa bisa
terpecah ke dalam sempalan-sempalan marga yang saling cekcok. Di sini, kejadian historis

12
a). Bertanggungjawab atas pemeliharaan pelataran kampung dan
temboknya, ia mengatur agar baris rumah-rumah lurus sambil
menjalankan pengawasan atas tanah kampung.
b). Memutuskan apakah sebuah kebun kecil mesti ditiadakan untuk memberi
tempat kepada rumah baru, ataukah tetap saja begitu, ia membimbing
perilaku hukum warga dan membantunya jika ada tuntutan terhadap
siapapun juga atau dalam hal sipeminjam uang membuat terlalu banyak
kesulitan kepadanya.
c). Membimbing perundingan pertunangan jika putera-puteri mereka akan
kawin.
d). Dia mewakili kepentingan kampung dan kerabatan seketurunan jika
terlibat urusan dengan dunia luar. Walau pun dalam tahun-tahun
belakangan ini, agak terdesak ke belakang ia masih tetap sebagai
pembesar kampung yang menjalankan perintah dari pembesar yang lebih
atasan.
e). Bertanggungjawab atas penyelenggaraan peradilan. Penduduk kampung
harus menerima kepemimpinannya dan dibimbing olehnya dan sebagai
buktik harus menghormatinya dalam transaksi seperti perkawinan,
penjualan ternak, pelepasan tanah dan lain sebagainya dan menyerahkan
sesuatu sebagai penghormatan, upa raja. Dia pada pihaknya biasanya
memeinta pendapat bawahannya yang tua-tua (natua-tua atau pangituai).
f). Dari yang paling terkemuka di antara mereka ini (Na Mora Boru), orang
terpenting dari kalangan marga penumpang, ia menerima dukungan
secara teratur terutama jika soalnya menyangkut perbedaan pendapat
antara ia dan anggota galur seketurunan, namun kata terakhir ada
padanya.
g). Jika terpaksa ia dapat menggunakan kekuasaannya sebagai kepala, agar
perintah yang dikeluarkannya dipatuhi. Ia adalah pemerintah dan polisi
sekaligus dan di masa dulu dia kadang-kadang menenpatkan pasungan di
dekat rumahnya sehingga ia dapat mengendalikan penduduk yang tidak
mau tunduk dengan cara yang terhormat kepada perintahnya.

Sudah barang tentu hanya orang berwibawa yang lebih unggul dari penduduk
kampung dan yang kata-katanya tidak dianggap enteng yang bisa menjadi
kepala kampung yang sukses (yang ototritansya dirasakan). Intinya, bagi
persekutuan tradisionil Batak kedudukan kepala kampung sangatlah penting.
Dalam praktek kadang-kadang ia tidak mempunyai kesempatan yang banyak
untuk memperlihatkannya.

Struktur Sosial Batak Tradisionil

dan pribadi memainkan peranan penting walaupun efeknya bisa agak diredakan oleh
keinginan untuk memihak kepada cabang marga tertua (haha ni partubu juga disebut haha ni
harajaon). Hal seperti ini tidak hanya tedapat di Silindung melainkan juga di Humbang
Tengah dan Timur, atau di Muara, mungkin pula di daerah Sipaettua dekat Laguboti yang
keadaannya tidak terlalu beberbeda.

13
10. Dalam masyarakat Batak Toba unsur yang dapat menjelaskan struktur social
masyarakatnya adalah “struktur kekerabatan” dan “system perkawinan” serta
“dalihan na tolu”. Unsur-unsur ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Struktur kekerabatan.
Unsur pertama dalam struktur kekerabatan Batak adalah Marga. Orang
Batak mengenal marga dengan arti: “satu asal keturunan, satu nenek
moyang, sabutuha, artinya satu perut asal”. Karena orang Batak
menganut paham garis keturunan bapak (patrilineal), maka dengan
sendirinya marga juga berdasarkan garis keturunan bapak. Sejarah
lahirnya marga ini didasarkan pada nenek moyang laki-laki. Menurut
Simanjuntak35, Raja Isumbaon dan Guru Tatea Bulan adalah merupakan
bapak pertama dari marga-marga di kalangan orang Batak. Karena
sebelumnya mereka belum punya induk marga, hanya satu moyang yaitu
si Raja Batak. Dalam masyarakat Batak, marga adalah merupakan satu
kesatuan kelompok yang mempunyai garis keturunan yang sama
berdasarkan nenek moyang yang sama. Satus social orang Batak sangat
ditentukan oleh marga. Di dalam hubungan social orang Batak, marga
merupakan dasar untuk menentukan partuturan, hubungan persaudaraan,
baik untuk kalangan semarga maupun dengan orang-orang dari marga
yang lain. Fungsi lain dari marga adalah untuk menentukan kedudukan
seseorang di dalam pergaulan masyarakat yang teratur menurut pola
dasar pergaulan yang di namakan dalihan na tolu (tungku nan tiga).
Dasarnya, dengan mengingat marga ibu, nenek, isteri (isteri saudara),
saudara perempuan dan lain sebagainya yang masih memiliki hubungan
kekerabatan sangat dekat. Dalam konteks ini marga yang menentukan
status dan kedudukan social setiap orang Batak dalam hubungan social
adat maupun kehidupan sehari-hari.

b. Perkawinan
Prinsip dasar perkawinan dalam masyarakat Batak adalah perkawinan
dengan orang di luar marganya sendiri. Artinya system eksogami yakni
patrilokal. Perkawinan semarga sangat terlarang, kalau terjadi sumbang
(incest) di dalam satu marga, kalau perlakuan itu dilakukan oleh mereka
yang masih sangat dekat hubungan kekerabatannya maka keduanya
dihukum dan diusir dari huta (dibuang dari rumpun marganya). Maksud
dari larangan ini adalah agar hubungan kekerabatan tidak menjadi kacau
dan tidak menjadi terbalik-balik juga agar hubungan social di dalam
struktur masyarakat tidak menjadi kacau atau rusak. Demikian dengan
kedudukan sebagai hula-hula tidak menjadi jatuh. Karena kalau terjadi
demikian, maka boru menjadi hula-hula dan hula-hula yang pertama
menjadi boru. Ini sama sekali tidak dikehendaki di dalam satu keluarga
dekat.

c. Dalihan Na Tolu
35
B. A. Simanjuntak, Ibid., hl. 79-80

14
Banyak ahli mengatakan bahwa system “Dalihan Na Tolu” bagi struktur
kebudayaan Batak tidaklah mencerminkan system kepemimpinan dan
pemerintahan Batak. Dalihan Na Tolu hanya terbatas pada lingkup
persaudaraan sehari-hari saja. Namun pandangan berbeda dikemukakan
oleh Togar Nainggolan36 menyimpulkan bahwa: “secara bersama sama di
dalam komunitas system Dalihan Natolu ada terbentuk system
pemerintahan Batak yang disebut sebagai “Panungganei (kaum tua-tua)”.
Panungganei adalah badan legislative dan iudikatif, ia yang membuat
aturan dan memutuskan kebijaksanaan dalam hidup bermasyarakat di
huta. Kemudian badan eksekutif ialah marga raja, yang dipimpin oleh raja
huta (kepala dalam huta). Raja huta melaksanakan aturan bersama, yaitu
mengatur ketertiban huta. Raja huta dibantu oleh raja adat, yaitu orang
yang pandai dalam adat. Raja adat ini perlu memberi nasehat kepada
marga raja sebab raja adatlah yang lebih tahu tentang penyesuaian adat
dengan perkembangan jaman. Raja adat boleh dari marga raja atau dari
marga lain. Orang pendatang yang tidak termasuk anggota Dalihan Na
Tolu yang disebut paisolat (penumpang) boleh memberi suara pada rapat
paripurna (rapot) godang.

Tekanan Kolonialisme Belanda Terhadap Sistem


Kepemimpinan dan Pemerintahan Batak Tradisionil

9. Tahun 1833, saat ini adalah merupakan awal masuknya pengaruh


pemerintahan formal dan modern di tanah Batak yakni melalui pemerintahan
kolonialisme Belanda. Sebelumnya, disebabkan oleh situasi dan kondisi yang
kurang tepat (oleh pertimbangan pemerintah colonial Belanda), baru pada
tahun 1886 tanah Batak diputuskan untuk secara resmi diatur oleh colonial
melalui keputusan Gubernur Sumatera bagian pantai Barat ketika itu yakni
tanggal 16 Oktober 1886. Intensifnya penguasaan ini menuru Lance Castle 37
kemudian berlangsung tahun 1905 melalui ditandainya permulaan kebijakan
baru di propinsi-propinsi luar” Hindia Timur Belanda (1904-1905). Tahun
1905, H. Colijn (perdana meneteri Belanda) berkunjung ke Tapanuli dengan
tugas utama untuk mengusulkan suatu reorganisasi untuk menolong daerah
terbeklakang seperti Tapanuli agar dapat meningkatkan kemampuan
keuangannya. Akibatnya, tanah Batak yang masih merdeka ketika itu, seperti:
Samosir, Uluan, Dairi, takluk di bawah kekuasan Belanda. Penaklukan inilah
yang sangat merangsang kuat colonial melakukan pengejaran terus menerus
kepada Sisingamangaraja XII yang akhirnya ia tertembak bersama dengan
dua orang puteranya tanggal 7 Juni 1907. Tiga ciri utama penaklukan
Belanda menguasai Tapanuli adalah: pertama, memberlakukan pajak
ditambah dengan pemaksaan kepada penduduk agar menanam tanaman
(misalnya kopi) yang menguntungkan perdagangan Belanda. Kedua: program
pekerjaan rodi terutama untuk pembangunan jalan-jalan membuka
ketertutupan Tapanuli dari daerah lain. Ketiga: pembentukan pemerintahan

36
Togar Nainggolan, Op.Cit., hl. 78-79
37
Lance Castle, Op.Cit., hl. 36ff

15
daerah yang terdiri dari pejabat-pejabat (orang-orang pribumi) yang digaji
dan dapat dipindah-pindahkan. Analisa Lance Castle, kebijakan
pemberlakukan pajak dan rodi oleh Belanda tidak mendapat perlawanan
(protes) berarti dari penduduk setempat ketika itu. Hanya saja penduduk
setempat sangat membencinya karena pemerintah Belanda tidak
mewajibkannya bagi penduduk non-pribumi (misalnya warga Eropa dan
Cina). Akhirnya rodi menjadi pembangkit kebencian yang efektif terhadap
colonial terutama di daerah Tapanuli yang baru saja dikuasai. 38 Sesuai
dengan pernyataan L. Castle ini, berhubungan dengan pembentukan
pemerintahan daerah yang baru oleh pemerintah Belanda di Tapanuli:
Hasellgreen39 mengatakan bahwa dengan segala pertimbangan dan saran-
saran dari bestuur ambtenar (pejabat-pejabat yang digaji langsung oleh
Belanda dan dapat dipindah-pindahkan) ketika itu, maka oleh penguasa
colonial susunan pemerintahan diatur secara bertingkat dari yang terendah
hingga ke yang tertinggi. Susunannya sebagai berikut: a).Huta atau Kampung
(bagian sulit ditentukan oleh Belanda statusnya dalam struktur pemerintahan
Belanda sendiri) dikembangkan hingga terdiri dari banyak huta dan masing-
masing huta dipimpin oleh seorang kepala kampung. b). Hundulan dipimpin
oleh seorang jaihutan dan raja pandua yang terdiri dari beberapa kampung.
Di atasnya adalah negeri yang dipimpin oleh seorang kepala negeri,
daerahnya terdiri dari beberapa hundulan. c). Sub distrik dipimpin oleh
seorang asisten demang yang wilayahnya terdiri dari 10-15 negeri. d). Distrik
dipimpin oleh seorang kepala distrik dengan wilayah 2-3 sub distrik. Jabatan
kepala distrik dinamakan demang. Demang dan asisten demang langsung
menjadi bawahan controleur.

Dalam system Harajaon Batak sebelumnya, otorisasi wilayah daerah


pemerintahan nampak pada Bius maka dalam penguasaan pemerintahan
Belanda, Bius tidak lagi disebut tetapi sudah menjadi negeri dan dipimpin
oleh seorang kepala negeri yang disebut Raja Ihutan. Pengertian raja
(sebagai gelar raja Ihutan) dalam hal ini, nampak kuasa Raja Ihutan sudah
sesuai dengan pengertian raja yang sebenarnya yakni memerintah. Hak-hak
Raja Ihutan sudah semakin banyak dan mutlak, sedangkan pengertian Bius
kemudian berubah kepada wilayah daerah kebudayaan. Semua hal yang
berkaitan dengan pemerintahan selama ini dalam hal persetujuan dan
penyelenggaraan pemerintahan atas nama Bius, semua beralih menjadi
persetujuan dan penyelenggaraan Raja Ihutan. Fungsi-fungsi Raja-raja Bius
yang sebelumnya dipimpin oleh Ulu Bius (Raja Doli), masa penguasaan
Belanda: itu kemudian hanya berkaitan pada adat istiadat baik mengenai
spiritual maupun menyangkut dengan harta (juga yang berkaitan dengan
kebudayaan). Pengertian “Horja, dan Huta”40 pun menjadi berubah yaitu
menjadi wilayah daerah kebudayaan terutama pengertian Huta dari system
38
Ibid., hl. 52
39
Johan Haselgreen. Op.cit., hl. 71 Setelah tanah Batak takluk dan dikuasai (diperintah)
maka melalui propaganda-proganda kolonial seterusnya system pemerintahan berdasarkan
pemerintahan colonial dijalankan dengan ketentuan bahwa katanya peranan Bius masih
dihargai.

16
pemerintahan ala Harajaon Batak berubah menjadi hanya tempat tinggal
yang terikat dengan adatnya sama dengan pengertian kampung sekarang ini.
Raja Ihutan berdasarkan system pemerintahan colonial dalam hal hukum
beralih dari kuasa Bius menjadi kuasa-kuasa kepala negeri (wewenang Raja
Ihutan). Jika dahulu kuasa hukum dan adat di tangan Raja-raja Bius maka
dalam system penguasa hukum dan adat berada di tangan Raja Ihutan.
Hanya dalam hal pertimbangan hukum dan adat yang diminta dari raja-raja
Bius sedang keputusan berada di tangan kepala negeri. Sebelum sesuatu
pelanggaran hukum dan adat disampaikan kepada pengadilan yang
dikuasakan kepada asisten demang, demang dan controleur ini masih dapat
diselesaikan oleh Raja Ihutan dengan Raja-raja Bius. Kalau pelanggaran tadi
tidak dapat diselesaikan, maka baru disampaikan kepada pengadilan
kepolisian colonial Belanda. Melalui cara ini setahap demi setahap dan pasti
kekuasaan pemerintah colonial semakin diutamakan di tanah Batak dan
akhirnya membuat dan menetapkan belasting (pajak) rakyat dan upah raja
ditetapkan besarnya dari setiap kegiatan termasuk dari hasil jual beli
(termasuk jual beli ternak babi).

11. Dalam bukunya Lance Castle mengatakan bahwa Belanda sangat


memanfaatkan unsur karakter Batak dalam menunjang program politiknya
terhadap soal pemerintahannya di tanah Batak. Unsur itu adalah konsep
tentang “sahala dan hasangapon”.41 Didefenisikan oleh Castle bahwa
“sahala” merupakan kwalitas tertentu dari tondi seseorang Batak. Seorang
pemimpin yang kuat harus memiliki “sahala” demikian orang tua terhadap
anaknya, datu terhadap muridnya, hula-hula terhadap boru-nya. Para dewa
dan leluhur yang mempunyai banyak keturunan mempunyai sahala. Pada
kaitannya, sahala adalah perwujudan kekuatan supranatural juga sebagai
perwujudan dari konsep ketuhanan yang tertinggi bagi orang Batak. Seorang
pemilik sahala dengan sendirinya memperoleh hasangapon (kehormatan).
Bagi orang Batak umumnya sahala harajaon adalah suatu kwalitas
kekuasaan yang diperlukan untuk memerintah. Oleh sebab itu, sebuah
sahala harajaon hanya dapat dilihat dari buahnya. Bagi orang Batak
tradisionil, seorang laki-laki dengan banyak anak cucu dan menjadi kaya raya
karena bertani, berdagang atau berjudi, yang lewat perkawinan mempunyai
kerabat yang berpengaruh, pandai berpidato serta gagah perkasa dalam
perang, jelas sebagai seorang yang sempurna dari sudut sahala dan
hasangapon. Mendapatkan “hasangapon dan sahala”, inilah merupakan motif
politik utama yang dilihat dan dimanfaatkan oleh Belanda jaman penguasaan

40
Hal ini dapat dijelaskan: Horja adalah wilayah kekuasaan pemerintahan, ugamo dan adat.
Satu-satu Horja adalah gambaran kesatuan satu paradatan. Horja terdiri dari beberapa
Lumban sebagai satu wilayah pemerintahan, ugamo dan adat dan didukung oleh marga.
Lumban terdiri dari beberapa Huta Bolon yang juga didukung oleh marga. Huta Bolon terdiri
dari Huta yaitu wilayah pemerintahan, ugamo dan adat yang menjadi wilayah pemerintahan,
ugamo dan adat yang terendah dari struktur organisasi Harajaon Batak. Pembagian-
pembagian wilayah seperti inilah yang menjadi kabur dengan munculnya pembagian wilayah
oleh penjajahan Belanda .
41
Lance Castle, Op.Cit., hl. 10-11

17
mereka di tanah Batak. Oleh karena itu, dalam hal pembagian wilayah
pemerintah colonial Belanda sangat berusaha memadukannya menurut
system bentukan mereka dengan system Harajaon Batak. Melaluinya,
Belanda membuat system pemerintahan Harajaon Batak berubah menjadi
system kebudayaan. Bila masa sebelum penjajahan Belanda, kegiatan
menyeluruh masyarakat Batak Toba langsung dilaksanakan sendiri tanpa
campur tangan penguasa colonial, maka masa sejak awal penguasaan
colonial, dengan berkedok budaya Batak Toba, mereka kemudian
memperalat orang-orang Batak untuk menjalankan prinsip penjajahannya di
tanah Batak sendiri42. Intinya, sebagai akibat penjajahan maka wilayah
pemerintahan Harajaon Batak, ini berubah menjadi wilayah kebudayaan.
Caranya yakni dengan dengan memadukan kuasa pemerintahan Belanda
dengan kuasa Bius yang sudah dikebiri. Oleh Belanda Ihutan (sebagai Ulu
Bius) dipilih oleh Raja-raja Bius melalui musyawarah Mangajana. Raja Ihutan
kemudian menjadi kepala negeri yang dipilih langsung oleh rakyat negeri dari
marga-marga tanah (marga-marga yang mula pertama mendirikan huta di
satu-satu wilayah/daerah, merekalah yang disebut Sisuan Bulu/Sisuan
Baringin). Masing-masing marga tanah menentukan calonnya menjadi Raja
Ihutan. Semua rakyat yang sudah berumahtangga berhak untuk memilih
sedang para pemuda (naposo) belum diperkenankan untuk memilih. Siapa
yang memperoleh suara terbanyak dialah yang diajukan kepada controleur
dan beslitnya (surat keputusannya) diterbitkan asisten residen atau residen.
Penyelenggara pemilihan adalah Raja-raja Bius dibantu oleh Ulu Balang di
negeri itu. Apa bila Raja Ihutan sudah mendapat beslit (surat keputusan)
maka ia dilantik dengan jalan memberikan pakaian kelengkapan untuk
seorang raja dalam arti sebenarnya. Melalui Raja Ihutan, apa maksud dan
tujuan pemerintah colonial dapat diwujudkan. Melalui ini, fungsi raja-raja Bius
semakin berkurang karena keputusan sudah berada di tangan Raja Ihutan.
Jika Ulu Bius (Ihutan) mempunyai hak untuk mengayomi dan merestui
keputusan Raja-raja Bius maka fungsi Raja Ihutan sudah berubah menjadi
mutlak.43
42
Gultom Rajamarpodang, Ibid., hl. 422. Dijelaskan oleh Gultom Rajamarpodang bahwa
system kemasyarakatan Batak Toba sekarang masih menggambarkan demikian sehingga
dalam penetrapan kegiatan masyarakat, sulit dipadu antara kegiatan masyarakat dengan
budyanya dengan system pemerintahan yang dijalankan sekarang.
43
Lih. Togar Nainggolan, Batak Toba di Jakarta: Kontuinitas dan Perubahan Identitas
(Medan: Penerbit Bina Media, 2006) hl. 53-54. Togar Nainggolan menjelaskan dalam
bukunya, penguasaan atas tanah Batak oleh Belanda merupakan tujuan utama kolonialisme.
Demi efektifitas dan sentralisasi adalah alasan utama kolonialisme Belanda membagi-bagi
daerah Batak menjadi beberapa daerah residen. Untuk ini, beberapa huta disatukan dalam
beberapa regio pemerintahan, dengan demikian kemerdekaan huta dikurangi dan kekuasan
pemerintahan diperbesar. Dewan pemerintahan pusat dibentuk yang terdiri dari raja-raja
huta. Mereka ini bertugas untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi di huta
sesuai dengan hukum adat, kemudian pemerintah colonial Belanda meneguhkan hukum
adat. Pemerintah colonial (termasuk misi) sangat mempergunakan struktur hierarki
masyarakat Batak Toba untuk mencapai tujuan mereka. Belanda membentuk pemerintahan
regio yang terdiri dari raja-raja huta dan mereka ini disebut hundulan (dewan regio). Tujuan
akhir pemerintah Belanda adalah untuk mengganti struktur huta dengan system
pemerintahan colonial untuk mengatur dan menjamin aturan dan hukum yang berlaku demi

18
Tanggapan Dari Orang Batak
Terhadap Tekanan Belanda

12. Awal perkembangan baru terjadi di Tapanuli akibat tekanan Belanda mulai
nampak tahun 1890, dengan munculnya berbagai sekte agama tradisionil
baru yang mengandung unsur-unsur sinkritisme (mereka inilah yang disebut
Parmalim). Kelompok ini awalnya didirikan oleh Guru Somalaing Pardede dari
Balige yang sebelumnya ia adalah seorang datu yang menguasai ilmu mistik
Batak tradisionil seperti ilmu gaib, penyembuhan dan aksara Batak. Guru
Somalaing adalah salah seorang contoh orang Batak tradisionil yang
kehilangan reputasi (sahala/wibawa) akibat perkembangan kekristenan di
tanah Batak. Dalam menyebarluaskan pengaruhnya Guru Somalaing
menaburkan propaganda kebencian kepada Belanda juga kepada para
misionaris di Tapanuli. Pada akhirnya unsur kebencian inilah yang sangat
menentukan bagi Belanda membuangnya dari Sumatera tahun 1896 walau
sebelum ia ditangkap ia telah berhasil menyebarluaskan ajarannya ke
berbagai daerah Toba (Habinsaran) hingga ke daerah Asahan. Sepeninggal
Guru Somalaing, para pengikutnya kemudian mengembangkan aliran ini
dengan berbagai cara. Salah satu di antaranya yakni melalui munculnya
aliran tradisional baru dengan apa yang dinamakan sebagai: Parsiakbagi
(artinya: yang bernasib malang). Aliran ini dimunculkan oleh Jaga Siborutorop
(nama samaran). Gerakannya agak hati-hati dan ajarannya agak bercampur
dengan ajaran Parmalim menurut Guru Somalaing dengan ajaran kekristenan
sebab dalam ajaran Parsiakbagi ditekankan: “hanya Yesus sebagai sang
guru”. Aliran ketiga adalah kaum Parsitekka: kelompok ini merupakan
perkembangan lanjutan dari Parmalim dan Parsiakbagi. Parsitekka dalam
mengembangkan ajarannya agak berbeda dengan dua aliran disebutkan
yang mendahuluinya. Sebab bagi Parsitekka, tokoh-tokoh mitos Batak (Naga
Padoha, Raja Uti, dan lain sebagainya) ini tegas ditolak. Aliran keempat
adalah Parhudamdam dengan tekanan akan munculnya Harajaon Batak yang
baru di bawah kepemimpinan Raja Sisingamangaraja yang melepaskan
orang Batak dari system kerja paksa (rodi) dan pajak yang diberlakukan oleh
Belanda. Menurut Lance Castle44 bahwa yang terpenting diperhatikan bagi
munculnya berbagai gerakan paganisme Batak tradisionil baru seperti
disebutkan di atas adalah semangat mereka yang ditimbulkan oleh kebencian
terhadap orang kulit putih (Belanda dan para misionaris) juga dengan
harapan bahwa orang-orang itu suatu waktu akan dapat diusir pada hari
perhitungan kelak.

Refleksi Teologis Tema ini


Terhadap Kepemimpinan Jemaat

ketertiban masyarakat.
44
Lance Castle, Op.Cit., hl. 57-69

19
13. Penting diperhatikan pernyataan William Skidmore 45 tentang beberapa hal
dalam rangka mempertahankan sebuah system kemasyarakatan, yakni:
a. Setiap system harus memiliki suatu alat untuk memobilisasi sumber-
sumbernya agar dapat mencapai tujuan-tujuannya (goal attainment).
b. Setiap system harus mempertahankan koordinasi internal dari dalam
bagian-bagiannya dan membangun cara-cara yang bertautan dengan
deviasinya. Dengan kata lain, dia harus mempertahankan kesatuannya
(integration).
c. Setiap system harus mempertahankan dirinya sedapat mungkin dalam
keadaan seimbang.

Melalui hikmat pernyataan W. Skidmore ini, beberapa hal dapat dikatakan


bahwa:
a. Kepemimpinan Kolektif
Ketika praktek kepemimpinan Batak sebagai sebuah system, maka di
dalamnya ada persyaratan fungsi yang harus dipenuhi sebagai sebuah
system yakni: “adaptasi, tujuan yang memelihara, dan mempertahankan
kesatuannya”. Di dalam aplikasinya, hal itu diperlihatkan melalui system
“Dalihan Na Tolu, Bius, Horja dan Huta” yang sekaligus beberapa hal ini
menjadi landasan normative yang memperlihatkan konsep keseimbangan
di dalam kebudayaan Batak Toba. Di atas keseimbangan system: Bius,
Horja, Huta dan Dalihan Natolu, inilah sekaligus sebagai sudut pandang
(world view) masyarakat Batak Toba dalam kehidupan sehari-hari. Dalam
hubungan ini, maka berefleksi dari Timoteus dan Titus terhadap
kepemimpinan keduanya pada jemaat mula-mula: kepada mereka
diberikan sebuah tugas menjaga kemurnian ajaran dengan terlebih dahulu
mengiontensifkan sumber daya yang ada di dalam jemaat (I Tim. 4:1-11).
Upaya ini direalisasikan dengan terlebih dahulu mengangkat presbyteros
(penatua) dan episkopos (penilik/pengawas: uskup) sebagai pemimpin di
setiap kota. Di dalam perkembangannya, para presbyter akhirnya
berperan sebagai penilik pastoral yang mengatasi penatua Yahudi.
Akhirnya, perkembangan dan praksis penilik pastoral ini melahirkan
konsep tentang episkopos. Inilah indikasi yang memberi bahwa episkopos
dan presbyteros merupakan dua bagian yang tidak terpisahkan. Sepintas,
melalui kesamaan episkopos dan presbyteros dalam kepemimpinan ini,
nampak kesejajaran bahwa model kepemimpinan di dalam gereja adalah
kolektif. Kolektif bukan berarti meniadakan seorang pemimpin yang
mengkoordinasikan potensi kekuatan dan keuasaan yang ada. Di dalam
Alkitab tidak dikenal jabatan yang memunculkan asosiasi-asosiasi klerikal
dan hierarkis tetapi Alkitab sangat menekankan jabatan yang diakonal.

b. Kepemimpinan yang kolektif, koordinati dan organistik

45
William Skidmore, Theoretical Thinking in Sociology (London: Cambridge University
Press, 1975) hl. 175

20
Menarik pernyataan Frans Magnis Suseno 46 mengenai legitimasi
kekuasaan sosiologis secara tradisionil, mengatakan: “salah satu
legitimasi kekuasaan kepemimpinan tradionil secara sosiologis adalah
wibawa (sahala: kharisma). Dalam pengalaman orang Batak tradisionil
bahwa legitimasi kekuasaan melalui charisma/wibawa (keabsahan
kekuasaan berdasarkan charisma) inilah yang palig menonjol di mana
keberhasilan kepemimpinan sangat ditentukan oleh rasa hormat dan
kagum terhadap pribadi yang mengesankan, sehingga membuat orang
lain yang dipimpin menjadi taat/patuh. Dalam hal ini, legitimasi merupakan
keyakinan yang ada dan hidup di dalam sebuah konteks serta dilakoni
masyarakat dengan penuh kesadaran bahwa seorang pemimpin itu
memang wajar dan patut dipatuhi dan dihormati. Sejauh ini, bingkai
kepemimpinan yang kolektif, organisitik dan koordinatif sebagai ciri yang
paling menonjol nampak pada system kemimpinan tradisionil Batak Toba.
Ketiga bingkai ini, menurut penulis sangat sesuai dengan cita-cita hidup
masyarakat Batak Toba yang tidak dapat dipisahkan dari tujuan hidup
sebagai manusia yang sempurna. Maksudnya terhadap kesempurnaan
hidup seseorang masyarakat Batak Toba, ini sangat ditentukan oleh
kemampuannya melakukan tiga fungsi di dalam perannya sehari-hari
yakni: “kolektif, koordinatif dan organistik” yang nampak dalam aktifitasnya
hidupnya di: Huta, Marga, Dalihan Na Tolu, Bius dan Horja sebagaimana
telah di jelaskan di atas.

Kesimpulan

14.

Kepustakaan

Castle, Lance

46
Frans Magnis Suseno, Etika Politik (Jakarta: Gramedia, 2000) hl. 59.

21
2001 : Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatera:
Tapanuli, 1915-1940 (Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia-KPG)

Greenleaf, Robert K
1991 : Servant Leadership: A Journey Into The Nature Of
Legitimate Power And Greatness (New York: Paulist
Press)

Hasselgren, Johan
2008 : Batak Toba di Medan: Perkembangan Identitas Etno-
Religius Batak toba di Medan, 1912-1965 (Medan:
Penerbit Bina Media Perintis)

Hutauruk, J.R
1992 : Kemandirian Gereja (Jakarta: BPK-GM)

Lumbantobing, Andar M
1996 : Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja (Jakarta: BPK-GM)

Nainggolan, Togar
2006 : Batak Toba di Jakarta: Kontuinitas dan Perubahan
Identitas (Medan: Penerbit Bina Media)

Rajamarpodang, DJ. Gultom


1992 : Dalihan Na Tolu Nilai Budaya Suku Batak (Medan: CV.
Armada)

Siahaan, Bisuk
2005 : Batak Toba Kehidupan di Balik Tembok Bambu (Jakarta:
Kempala Foundation)

Simanjutak, Bungaran A
2006 : Struktur social dan Sistem Politik Batak Toba (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia)

Skidmore, William
1975 : Teoretical Thinking in Sociology (London: Cambridge
University Press)

Suseno, Frans M
2000 : Etika Politik (Jakarta: Gramedia)

Tampubolon, I
1968 : Adat mendirikan Huta/Kampung (Medan: Percetakan
Philemon Siregar)

Vergouwen, J.C
1985 : Masyarakat Dan Hukum Adat Batak Toba (Jakarta:
Pusata Azet)

22
23

Anda mungkin juga menyukai